You are on page 1of 19

PERCOBAAN V

EMULSIFIKASI
I.

TUJUAN
1. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam
pembuatan emulsi.
2. Membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan.
3. Mengevaluasi kestidakstabilan suatu emulsi.
4. Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan daiam pembuatan
emulsi.
5. Mengidentifikasi jenis emulsi dengan metode pengeceran dan metode
pewarna dengan metilen blue.

II. LATAR BELAKANG


Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam
cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Emulsi dapat distabilkan dengan
penambahan emulgator (Depkes RI, 1995). Suatu emulsi adalah suatu sistem yang
tidak stabil secara termodinamik yang mengandung paling sedikit dua fase cair
yang tidak bercampur, dimana suatu satu diantaranya didispersikan sebagai bolabola dalam fase cair lain (Martin, dkk. 1993). Kegagalan dari dua cairan yang
tidak bisa bercampur karena gaya kohesi antara molekul-molekul tiap cairan yang
memisah lebih besar dibandingkan gaya adhesi (Martin, 1993).
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor
yang penting karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak dipengaruhi oleh
emulgator yang digunakan. Metode yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi
emulgator yang ditambahkan adalah metode HLB (Hydrophilic-Lipophilic
Balance). Dalam kenyataannya, jarang sekali ditemukan HLB dengan harga yang
persis dibutuhkan oleh suatu emulsi. Oleh karena itu pada praktiknya sering
digunakan kombinasi dari beberapa emulgator dengan harga HLB rendah dan
harga HLB tinggi.
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Emulsi

Emulsi adalah suatu dispersi dimana fase terdispers terdiri dari bulatanbulatan kecil zat cair yang terdistribusi keseluruh pembawa yang tidak tercampur.
Proses emulsifikasi menyebabkan farmasi dapat membuat suatu preparat yang
stabil dan rata dari campuran dua cairan yang saling tidak bisa bercampur.
Komponen utama emulsi berupa fase disper (zat cair yang terbagi-bagi menjadi
butiran kecil kedalam zat cair lain (fase internal)); Fase kontinyu (zat cair yang
berfungsi sebagai bahan dasar (pendukung) dari emulsi tersebut (fase eksternal));
dan Emulgator (zat yang digunakan dalam kestabilan emulsi) (Ansel, 1989).
Komponen emulsi dapat digolongkan menjadi 2 macam:
3.1.1

Komponen dasar

: Komponen dasar adalah bahan pembentuk emulsi

yang harus terdapat dalam emulsi, antara lain Fase dispersi/ fase internal/
fase discontinu/ fase terdispersi/ fase dalam, yaitu zat cair yang terbagibagi menjadi butiran kecil di dalam cairan lain. Fase eksternal/ fase
kontinu/ fase pendispersi/ fase luar, yaitu zat cair dalam emulsi yang
berfungsi sebagai bahan dasar (bahan pendukung) emulsi tersebut.
Emulgator adalah bagian dari emulsi yang berfungsi untuk menstabilkan
3.1.2

emulsi.
Komponen tambahan

: Komponen tambahan adalah bahan tambahan

yang ditambahkan ke dalam emulsi untuk memperoleh hasil yang lebih


baik. Misalnya corrigen saporis, odoris, colouris, pengawet (preservative),
dan antioksidan (Syamsuni, 2007).
Dalam bidang farmasi, emulsi umumnya terdiri dari fase minyak dan fase
air. Berdasarkan fase terdispersinya dikenal dua jenis emulsi, yaitu :
1.

Emulsi minyak dalam air (o/w)


Merupakan suatu jenis emulsi yang fase terdispersinya berupa air dan fase
luar atau medium pendispersinya berupa minyak. Emulsi tipe A/M
umumnya mengandung kadar air yang kurang dari 25% dan mengandung
sebagian besar fase minyak emulsi. Emulsi jenis ini dapat diencerkan atau
bercampur dengan minyak, akan tetapi sangat sulit bercampur atau dicuci
dengan air.

2.

Emulsi air daiam minyak (w/o)


Merupakan suatu jenis emulsi yang fase terdispersinya berupa minyak yang
terdistribusi dalam bentuk butiran-butiran kecil didalam fase kontinu yang
berupa air. Emulsi tipe ini umumnya mengandung kadar air yang lebih dari
31% sehingga emulsi M/A dapat diencerkan atau bercampur dengan air dan
sangat mudah dicuci.
(Anief, 1993).
Adapun berbagai cara yang dapat digunakan untuk membedakan tipe

emulsi, yaitu:
1. Dengan pengenceran fase
Setiap emulsi dapat diencerkan dengan fase eksternalnya. Dengan prinsip
tersebut, emulsi tipe w/o dapat diencerkan dengan minyak.
2. Dengan pengecatan atau pewarnaan
Zat warna akan tersebar merata dalam emulsi jika zat tersebut larut dalam
fase eksternal emulsi tersebut. Misalnya (dilihat dibawah mikroskop):
a. Emulsi + larutan sudan III dapat memberi warna biru pada emulsi tipe
w/o, karena sudan III larut dalam minyak.
b. Emulsi + larutan metilen biru dapat memberikan warna biru pada tie
emulsi o/w, karena metilen biru larutdalam air. Selain metilen biru, metilen
merah dan amaranth juga dapat digunakan untuk emulsi o/w kerena
memberikan warna merah.
3. Dengan kertas saring atau kertas tisu
Jika emulsi diteteskan pada kertas saring tersebut terjadi noda minyak, berarti
emulsi tersebut tipe w/o, tetapi jika terjadi basah merata berarti emulsi
tersebut tipe o/w.
4. Dengan konduktifitas listrik
Alat yang dipakai adalah kawat dan stop kontak, kawat dengan K watt dan
neon watt, semua dihubungkan secara seri. Lampu neon akan menyala jika
elektroda dicelupkan dalam cairan emulsi tipe o/w, dan akan mati jika
dicelupkan pada emusi tipe w/o.
(Syamsuni, 2007).
3.2 Metode Pembuatan Emulsi
Emulsi dapat dibuat dengan metode-metode dibawah ini :
a. Metode Gom Kering (Metode Kontinental)
Metode ini khusus untuk emulsi dengan zat pengemulsi gom kering.Basis
mulsi (corpus emulsi) dibuat dengan 4 bagian minyak, 2 bagian air, 1
2

bagian gom, lalu sisa air dan bahan lainnya ditambahkan kemudian.
Caranya minyak dan gom dicampur, dua bagian air kemudia ditambahkan
sekaligus dan campuran tersebut digerus dengan segera dan dengan cepat
serta terus-menerus hingga terdengar bunyi lengket, bahan lainnya
kemudian ditambahkan dengan pengadukan.
a. Metode Gom Basah (Metode Inggris)
Metode ini digunakan untuk membuat emulsi dengan musilago atau gom
yang dilarutkan sebagai zat pengemulsi. Dalam metode ini digunakan
proporsi minyak, air dan gom yang sama seperti metode gom kering.
Caranya, dibuat musilago kental dengan sedikit air, minyak ditambahkan
sedikit demi sedikit dengan diaduk cepat.Bila emulsi terlalu kental, air
ditambahkan lagi sedikit agar mudah diaduk dan bila semua minyak sudah
masuk, ditambahkan air sampai volume yang dikehendaki.
b. Metode Botol
Metode ini digunakan untuk membuat emulsi dari minyak-minyak
meenguap yang juga mempunyai viskositas rendah. Caranya, serbuk gom
arab dimasukkan kedalam suatu botol kering, ditambahkan dua bagian air,
kemudian campuran tersebut dikocok dengan kuat dalam wadah tertutup.
Minyak ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus mengocok
campuran tersebut setiap kali ditambahkan air.Jika semua air telah
ditambahkan, basis emulsi yang terbentuk dapat diencerkan sampai
mencapai volume yang dikehendaki.
(Anief, 1999; Ansel, 1989).

3.3 Stabilitas Emulsi


Kerusakan atau destabilisasi emulsi terjadi melalui tiga mekanisme utama
yaitu
1. Flokulasi dan Creaming
Creaming adalah peristiwa terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi
yang berbeda-beda di dalam emulsi. Lapisan dengan konsentrasi paling pekat
akan berada di sebelah atas atau bawah tergantung dari bobot jenis fase.
Flokulasi adalah peristiwa terbentuknya kelompok-kelompok globul yang

posisinya tidak beraturan di dalam emulsi. Flokulasi serta creaming yang


dihasilkan menggambarkan tahap-tahap potensial terhadap terjadinya
penggabungan fase dalam yang sempurna. Proses creaming menyebabkan
ketidakrataan distribusi obat dan tanpa pengocokan yang belum sempurna
sebelum digunakan berakibat terjadinya pemberian dosis yang berbeda
(Syamsuni, 2007).
2. Koalesensi (Breaking) dan Demulsifikasi
Koalesensi adalah peristiwa terjadinya penggabungan globul-globul menjadi
lebih besar. Sedangkan demulsifikasi adalah peristiwa yang disebabkan oleh
terjadinya proses lanjut dari koalesensi. Kedua fase akhirnya terpisah kembali
menjadi dua cairan yang tidak bercampur. Untuk kedua peristiwa semacam
ini, emulsi tidak dapat diperbaiki melalui pengocokan (Syamsuni, 2007).
3. Inverse phase
Inverse phase adalah peristiwa berubahnya tipe emulsi O/W menjadi W/O
secara tiba-tiba atau sebaliknya (irreversible) (Syamsuni, 2007).

Gambar 3.1. Jenis-jenis kerusakan emulsi (McClements, 2004)


Pemilihan pengemulsi atau emulsifier sangat penting dalam pembentukan
emulsi. Zat pengemulsi bisa dibagi menjadi 3 golongan sebagai berikut:
3.3.1

Surfaktan, zat-zat yang aktif pada permukaan yang teradsorpsi pada


antarmuka

minyak/air

membentuk

lapisan

monomolekular

dan

mengurangi tegangan antarmuka. Ada beberapa jenis surfaktan yaitu

surfaktan anion, kation dan non-ionik. Surfaktan anionic adalah surfaktan


yang memiliki gugus hidrofil anion contohnya Na-lauril sulfat, Na-oleat,
dan Na-stearat. Surfaktan kationik adalah surfaktan yang mempunyai
gugus hidrofil kation contohnya Zehiran klorida dan setil trimetil
ammonium bromide. Sedangkan surfaktan non ionik adalah surfaktan
3.3.2

yang gugus hidrofilnya non ionik, contohnya Tween 80 dan Span 80.
Koloid hidrofilik yang membentuk suatu lapisan multimolekular sekitar
tetesan-tetesan terdispers dari minyak dalam suatu emulsi O/W. Beberapa
contoh kelompok ini adalah protein, gom, amilum dan turunan dari zat
sejenis dekstrin, metal selulosa, dan beberapa polimer sintetik seperti

3.3.3

polivinil alkohol.
Partikel-partikel padat yang terbagi halus, yang diadsorpsi pada batas
antarmuka dua fase cair yang tidak bercampur dan membentuk suatu
lapisan partikel di sekitar bola-bola terdispers. Contohnya adalah bentonit
dan veegum.

Ada beberapa peranan penting emulsifier selama proses homogenisasi yakni


menurunkan tegangan antar muka antara fase air dengan fase minyak sehingga
mengurangi energi bebas yang diperlukan untuk mengubah dan mengacaukan
droplet, serta membentuk coating yang protektif disekeliling droplet yang akan
mencegah koalesen (McClements, 2004).
3.4 Sistem HLB ( Hydrophilic - Lypophilic Balance )
Metode HLB digunakan untuk pemilihan surfaktan untuk suatu emulsi. Telah
ditemukan secara empiris bahwa kombinasi surfaktan hidrofilik dan hidrofobik
sering lebih baik daripada surfaktan tunggal. Keuntungan dari campuran
emulsifier atau surfaktan juga berhubungan dengan laju penyerapan molekul
surfaktan selama proses emulsifikasi. Dengan adanya emulsifier yang terlarut
dalam minyak maupun dalam air, maka antar muka minyakair yang baru
terbentuk akan dipenuhi oleh surfaktan dari dua sisi secara simultan (Supriyo,
2007).
Dalam suatu sistem HLB, harga HLB juga ditetapkan untuk minyak-minyak
dari zat-zat yang seperti minyak. Dengan menggunakan dasar HLB dalam
5

penyiapan suatu emulsi, seseorang dapat memilih zat pengemulsi yang


mempunyai harga HLB sama atau hampir sama sebagai fase minyak dari emulsi
yang dimaksud (Ansel, 1989). Tetapi pada kenyataannya jarang sekaliditemukan
surfaktan dengan HLB yang nilainya persis sama dengan nilai HLB butuh fase
minyak. Oleh karena itu, penggunaan kombinasi surfaktan dengan nilai HLB
rendah dan tinggi akan memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini disebabkan
karena penggunaan kombinasi surfaktan dapat diperoleh nilai HLB mendekati
nilai HLB butuh minyak (Setyawan, dkk, 2015).
Dengan metode ini tiap zat mempunyai harga HLB atau angka yang
menunjukkan polaritas dari zat tersebut. Walaupun angka tersebut telah ditentukan
sampai kirakira 40, kisaran lazimnya antara 1 dan 20. Bahanbahan yang sangat
polar atau hidrofilik angkanya lebih besar dari pada bahanbahan yang kurang
polar dan lebih lipofilik (Ansel, 1989).
Daftar dibawah ini menunjukkan hubungan nilai HLB dengan bermacammacam tipe sistem:
Nilai HLB
3-6
7-9
8-18
13-15
15-18

Tipe Sistem
A/M emulgator
Zat pembasah (wetting agent)
M/A Emulgator
Zat pembersih (detergent)
Zat penambah pelarutan (stobubilizer)
(Anief, 2000).

Pada proses emulsifikasi dengan menggunakan kombinasi beberapa


emulsifier maka harga HLB dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut :
HLB rata-rata = X1 HLB1 + X2 HLB2
Keterangan :
X1 dan X2 adalah massa surfaktan 1 dan 2.
HLB1 dan HLB2 adalah harga individu HLB surfaktan 1 dan 2.
(Supriyo, 2007).
3.5 Tween dan Spam

Tween

80

merupakan

nama

komersial

dari

polysorbate

80

atau

polyoxyethylene 20 sorbitan monooleat (C 64H124O26). Tween 80 merupakan cairan


kental dengan nilai kekentalan 300-500 centistokes, berwarna kuning, bersifat
sangat larut dalam air, larut dalam minyak, dan pelarut lain seperti etnol, etil
asetat, methanol dan toluene (Rita, 2011).
Tween 80 adalah surfaktan non ionik yang dibuat dengan mereaksikan span
dengan etilen oksida. Span merupakan pengemulsi lipofilik dan ionik yang dibuat
dengan mereaksikan sorbitol dengan asam lemak. Tween 80 mempunyai gugus
hidrofilik yaitu grup polioksietilen yang merupakan polimer dari etilen oksida dan
gugus lipofilik yaitu asam oleat. Istilah tween 80 menunjukkan bahwa emulsifier
ini memiliki jumlah gugus hidrofilik 20% dan gugus lipofilik 80%. Tween 80
digunakan sebagai emulsifier dalam produk pangan seperti es krim untuk
meningkatkan homogenitas adonan, melembutkan tekstur dan menjaga es krim
agar tidak cepat meleleh (Rita, 2011).
Tween dan Span merupakan senyawa derivat sorbitan, merupakan surfaktan
dari Atlas Company. Span merupakan ester dari sorbitan dengan asam lemak.
Jenis-jenis dari Span antara lain:
Span 20

: Sorbitan monolaurat, cair.

Span 40

: Sorbitan monopalmitat, padat seperti malam.

Span 60

: Sorbitan monostearat, padat seperti malam.

Span 65

: Sorbitan tristearat, padat seperti malam.

Span 80

: Sorbitan monooleat, cair seperti minyak.

Span 85

: Sorbitan trioleat, cairan encer seperti minyak.

Tween merupakan ester dari sorbitan dengan asam lemak di samping


mengandung ikatan eter dengan oksi etilen. Jenis-jenis dari Tween adalah:
Tween 20 : Polioksi etilen sorbitan monolaurat, cairan seperti minyak.
Tween 40 : Polioksi etilen sorbitan monopalmitat, cairan seperti minyak.
Tween 60 : Polioksi etilen sorbitan monostearat, semi padat seperti
minyak.
Tween 65 : Polioksi etilen sorbitan tristearat, semi padat seperti minyak.
Tween 80 : Polioksi etilen sorbitan monooleat, cair seperti minyak.

Tween 85 : Polioksi etilen sorbitan trioleat, cair seperti minyak.


(Anief, 2000).
IV. METODE KERJA
4.1 Alat dan Bahan
4.1.1 Alat

a. Gelas ukur
b. Gelas beker
c. Penangas air
d. Pengaduk air
e. Tabung sedimentasi
f. Timbangan analitik
g. Batang pengaduk
h. Sendok tanduk
i. Pipet tetes
4.1.2 Bahan
a. Span 80
b. Tween 60
c. Minyak kelapa
d. Aquadest
4.2 Prosedur Kerja
4.2.1 Perhitungan Tween 80 dan Span 60
Diketahui :
HLB Span 60 = 4,7
HLB Tween 80 = 15
R/

Minyak
Tween

20 gram
Total 3 gram

Span
Air
Ad 100 gram
Misal jumlah Tween yang dibutuhkan adalah a gram maka jumlah Span yang
dibutuhkan adalah (3 a) gram. Sehingga perhitungannya menjadi :
Pembuatan Emulsi HLB 5
Tween
(a x 15) + ((3-a) x 4,7

=3x5

15 a + 14,1 - 4,7a

= 15

15 a 4,7 a

= 15 14,1

10,3 a

= 0,9
a

= 0,08 gram

Maka :

Tween = a; Tween

= 0,08 gram

Span

= 3-a

Span

= 3 0,08 gram
= 2,92 gram

Pembuatan Emulsi HLB 6


(a x 15) + ((3-a) x 4,7)

=3x6

15 a + 14,1 - 4,7a

= 18

15 a 4,7 a

= 18 14,1

10,3 a

= 3,9
a

= 0,37 gram

Maka :
Tween = a ; Tween

= 0,37 gram

Span

= 3-a

Span

= 3 0,37 gram
= 2,63 gram

PembuatanEmulsi HLB 7
(a x 15) + ((3-a) x 4,7)

=3x7

15 a + 14,1 - 4,7a

= 21

15 a 4,7 a

= 21 14,1

10,3 a

= 6,9
a

= 0,66 gram

Maka :
Tween = a; Tween
Span

= 3-a

Span

= 3 0,66

= 0,66 gram

= 2,34 gram
Karena bobot jenis air = 1, maka perhitungan untuk volume air yang diperlukan
adalah

10

V. Analisis Data
5.1 Tabel Jumlah Tween dan Span untuk Nilai HLB 5, 6, 7.
No.

HLB

Jumlah Tween (g)

Jumlah Span (g)

1.

0,08 gram

2,92 gram

2.

0,37 gram

2,63 gram

3.

0,66 gram

2,34 gram

5.2 Tabel Penimbangan


No.
1.

2.

3.

Nama Bahan

Jumlah

HLB 5
Tween 80
Span 60
Air
Minyak

0,08gram
2,93gram
77 mL
20,0 gram

HLB 6
Tween 80
Span 60
Air
Minyak

0,3675 gram
2,63 gram
77 mL
20 gram

HLB 7
Tween 80
Span 60
Air
Minyak

0,655 gram
2,35 gram
77 mL
20 gram

Paraf

TERLAMPIR

TERLAMPIR

TERLAMPIR

11

5.3 Tabel Pengamatan


No.

1.

2.

3.

4.

Waktu

Selasa,
24.05.16

Rabu,
25.05.16

Kamis,
26.05.16

Jumat,
27.05.16

HLB

Emulsi

Busa

HLB 5

15,5 cm

1,5 cm

HLB 6

15,5 cm

3,5 cm

HLB 7

15,5 cm

3 cm

HLB 5

15,4 cm

2,6 cm

HLB 6

15,2 cm

4,4 cm

HLB 7

15,5 cm

1,5 cm

HLB 5

15,5 cm

1,3 cm

HLB 6

15,2 cm

3,6 cm

HLB 7

15,4 cm

2,6 cm

HLB 5

15,4 cm

1,5 cm

HLB 6

15,4 cm

4 cm

HLB 7

15,7 cm

2,5 cm

15,5 cm

1,2 cm

HLB 6

15,2 cm

3,9 cm

HLB 7

15,6 cm

2,8 cm

HLB 5

16,5 cm

HLB 6

18,2 cm

0,3 cm

HLB 7

17 cm

1,1 cm

HLB 5

16,4

HLB 6

18,5

HLB 7

16,4

1,4

HLB 5
5.

6.

7.

Sabtu,
28.05.16

Minggu,
29.05.16

Senin,
30.05.16

Tinggi Lapisan

12

5.4 Tabel pengujian jenis emulsi


Uji Tipe Emulsi
Metode Pewarnaan
Emulsi

Metode Pengenceran

dengan Metilen Blue

(penambahan akuades)
(3 tetes )
HLB 5

Larut dalam air (M/A)

Metilen blue terdispers


sempurna (M/A)

HLB 6

Larut dalam air (M/A)

Metilenblue terdispers
sempurna (M/A)

HLB 7

Larut dalam air (M/A)

Metilenblue terdispers
sempurna (M/A)

VI. PEMBAHASAN
Emulsi adalah suatu sistem heterogen yang tidak stabil secara termodinamika,
yang terdiri dari paling sedikit dua fase cairan yang tidak bercampur, dimana salah
satunya terdispersi dalam cairan lainnya dalam bentuk tetesan-tetesan kecil, yang
berukuran 0,1-100 mm, yang distabilkan dengan emulgator/surfaktan yang cocok
(Martin dkk., 2008). Menurut fase terdispersinya ada dua jenis emulsi yaitu
emulsi minyak dalam air (o/w) dan emulsi air dalam minyak (w/o). Pembuatan
jenis emulsi dapat dilihat dari banyaknya jumlah fase minyak atau air. Jumlah fase
yang lebih banyak akan menyebabkan fase tersebut menjadi fase eksternalnya.
Emulsi yang akan dibuat pada praktikum ini adalah emulsi minyak dalam air
dengan HLB yang berbeda. Nilai HLB merupakan angka yang menunjukkan
ukuran keseimbangan gugus hidrofilik yang suka air/polar dan gugus lipofilik
yang suka minyak atau non polar Semakin tinggi nilai HLB (hydrofilik-lypophilic
balance) suatu surfaktan, sifat kepolarannya akan meningkat (Supriyo, 2007).
Dalam pembuatan emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor yang penting

13

karena kestabilan suatu emulsi banyak dipengaruhi oleh emulgator yang


digunakan. Salah satu emulgator yang sering digunakan adalah surfaktan.
Surfaktan bekerja dengan cara menurunkan tegangan antarmuka dari dua fase
zat yang tak saling campur. Span merupakan pengemulsi lipofilik dan tween
merupakan pengemulsi hidrofilik. Kombinasi surfaktan hidrofilik dan lipofilik
sering lebih baik daripada surfaktan tunggal karena dengan adanya campuran
surfaktan maka antarmuka dari minyak dan air akan dipenuhi oleh surfaktan dari
dua sisi secara simultan (Supriyo, 2007). Kombinasi dari surfaktan juga dapat
meningkatkan kestabilan dari emulsi dengan membentuk lapisan mono molekuler
yang lebih rapat pada permukaan globul fase terdispersi.
Pada praktikum ini digunakan emulgator golongan surfaktan yaitu tween 80
dan span 60. Percobaan diawali dengan menghitung jumlah tween dan span yang
dibutuhkan pada masing-masing HLB. HLB butuh yang dibuat adalah 5, 6, dan 7.
Tujuan dibuat nilai HLB yang berbeda adalah untuk menentukan nilai HLB
berapa yang dihasilkan suatu emulsi yang stabil. Semua bahan ditimbang sesuai
kebutuhan kemudian dicampurkan Tween 80 dengan air, sementara span 60
dicampur dengan minyak. Air yang digunakan adalah sebanyak 77 mL.
Perhitungan jumlah air yang dibutuhkan adalah :
Air

= 100 gram (20 gram minyak + 3 gram emulgator)


= 77 gram

Masing-masing campuran dipanaskan hingga mencapai suhu 600C. Campuran


minyak dan span 60 dituang ke beaker yang berisi akuades dan tween 80,
kemudian dilakukan pengadukan menggunakan magneticstirrer dengan kecepatan
700 rpm sambil dipanaskan. Pemanasan dilakukan untuk mempermudah
bercampurnya minyak, air, tween 80, dan span 60 dan tujuan dari pengadukan
adalah memberikan kesempatan fase minyak untuk terdispersi dengan baik dalam
fase air serta emulgator dapat membentuk lapisan film pada permukaan fase
terdispersi. Magneticstirrer digunakan untuk pengadukan campuran karena
magneticstirrer dapat mengaduk dengan kecepatan tinggi dimana pada pembuatan
emulsi ini diperlukan pengadukan dengan kecepatan tinggi agar fase terdispersi
tidak menyatu lagi sehingga terbentuk emulsi yang baik. Pada saat peletakan besi

14

magnet ke dalam campuran diharapkan besi magnet terletak di tengah-tengah agar


proses pengadukan merata pada seluruh bagian campuran. Terbentuknya emulsi
ditandai dengan adanya perubahan warna pada campuran menjadi warna putih
susu yang menunjukkan kehomogenan emulsi telah tercapai.
Emulsi yang telah dibuat kemudian dimasukkan kedalam tabung sedimentasi
dan diberi tanda sesuai dengan nilai HLB. Masing-masing emulsi dituangkan
sedikit ke dalam 3 botol vial untuk pengujian jenis emulsi yang terbentuk pada
masing-masing HLB.
Setelah semua emulsi dibuat, dilakukan identifikasi jenis emulsi dengan
metode pengenceran dan pewarnaan metilen biru. Setelah dilakukan pengenceran
pada semua emulsi dengan menambahkan sedikit air ke dalam masing-masing
emulsi, air menjadi terlarut dalam emulsi. Hal ini menunjukkan fase luar emulsi
merupakan air. Selain dengan pengenceran, dilakukan pewarnaan dengan
menggunakan metilen biru. Hasil pewarnaan menunjukkan ketiga emulsi berubah
warna menjadi biru setelah diteteskan dengan metilen biru. Pewarna terlarut
dalam fase luar emulsi yang berarti fase luar emulsi adalah air karena metilen biru
larut dalam air. Dapat disimpulkan bahwa jenis ketiga emulsi merupakan emulsi
minyak dalam air (o/w). Emulsi tipe minyak dalam air akan mudah terjadi dengan
surfaktan yang cenderung bersifat hidrofilik (jumlah tween yang lebih banyak).
Semakin rendah nilai HLB maka surfaktan semakin larut dalam minyak.
Sebaliknya, semakin tinggi nilai HLB maka surfaktan semakin cenderung larut
dalam air (Sonntag, 1976). Semakin tinggi nilai HLB maka semakin polar sifat
dari surfaktan dan semakin mudah membentuk emulsi tipe o/w.
Kestabilan emulsi diamati selama 6 hari. Ketidakstabilan emulsi ditandai
dengan terbentuknya creaming, flokulasi dan koalesen (McClements, 2004).
Kestabilan emulsi dinilai secara fisik. Emulsi akan dikatakan baik apabila emulsi
yang terbentuk secara fisik masih sama hingga pengamatan berikutnya dan setelah
dilakukan pengocokan pada hari ketiga dimana antara fase air dan fase minyak
tidak terpisah atau terjadi koalesen ataupun creaming.
Dari hasil pengamatan, pada hari ke-0 sampai hari ke-6 dari masing-masing
HLB 5, 6, dan 7 emulsi masih stabil dan tidak terbentuk creaming, flokulasi dan

15

koalesen. Dimana creaming merupakan proses pemisahan yang terjadi akibat


terjadi karena gerakan-gerakan ke atas/ke bawah, hal ini terjadi karena gaya
gravitasi terhadap fase-fase yang berbeda densitasnya (McClements, 2004).
Namun pada hari ke-5 tidak terdapat busa pada HLB 5 dan begitupula pada hari
ke-6 tidak terdapat busa pada HLB 5 dan 6.
Dari hasil pengamatan, diperoleh bahwa emulsi dengan HLB 5, 6 dan 7
merupakan emulsi yang baik karena tidak mengalami creaming. Ketiga emulsi
kemudian dikocok dan ketiganya kembali seperti semula, tidak terjadi pemisahan
antara lapisan air dan lapisan minyak. Hal ini menandakan bahwa ketiga emulsi
mengalami ketidakstabilan yang reversible (dapat kembali seperti semula).
VII. KESIMPULAN
7.1 Jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dapat dihitung dengan
metode HLB. Untuk membuat emulglator sebanyak 3 gram dengan HLB
butuh minyak 5, 6, dan 7 dibutuhkan jumlah tween 80 berturut-turut adalah
0,08 gram; 0,3675 gram; dan 0,655 gram. Untuk jumlah span 60 yang
digunakan berturut-turut adalah 2,93 gram; 2,63 gram; dan 2,35 gram.
7.2 Emulgator golongan surfaktan yang digunakan adalah Tween 80 dan Span 60.
Campuran surfaktan antara tween dan span dapat meningkatkan kestabilan
emulsi dengan membentuk lapisan pada permukaan yang lebih rapat.
7.3 Ketidakstabilan suatu emulsi ditandai dengan terbentuknya creaming.
7.4 Nilai HLB butuh yang paling baik yang diperoleh berdasarkan hasil
praktikum adalah HLB 5, 6, dan 7 karena menunjukkan tidak adanya
creaming.
7.5 Hasil identifikasi jenis emulsi dengan metode pengenceran dan pewarnaan
metilen biru menunjukkan bahwa semua emulsi yang dibuat merupakan
emulsi minyak dalam air (o/w).

16

DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 1993. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Ansel, Howard C, 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Universitas
Indonesia Press
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia.Edisi IV . Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Martin, Alfred, James Swarbrick, and Arthur Cammarata. 2008. Farmasi Fisika 2,
Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press.
McClements, DJ. 2004. Food Emulsion Principles, Practices, and Techniques.
New York: CRC Press.
Rita, Irma. 2011. Proses Emulsifikasi dan Analisis Biaya Produksi Minuman
Emulsi Minyak Sawit Merah. Surabaya: Universitas Narotama.

17

Setyawan, E.I.,I. G. N. J. Prasetia, C. I. S. Arisanti, I. G. N. Agung Dewantara,


dan P. A. D Wijayanti. 2014. Petunjuk Praktikum Farmasi Fisika. Jimbaran:
Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana
Syamsuni, H. 2007. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Supriyo, Edy. 2007. Pengaruh Konsentrasi Surfactant pada Formulasi Propuxure
20 Ec dan Efektifitasnya dalam Membasmi Nyamuk Aedes Aegypti.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Sonntag, N. D. V., 1979. Composition and Characteristics of Individual Fats and
Oils Edisi IV. Toronto: John Wiley and Sons.

18

You might also like