Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Sejarah laparoskopi dimulai pada tahun 1901 ketika seorang ahli bedah
Jerman, Dr George Kelling pertama kali menginsuflasi udara melalui sebuah
jarum kedalam rongga peritoneum seekor anjing yang dianestesi. Penemuan
transmisi cahaya sistem serat optik pada tahun 1952 oleh Hopkins yang
dimodifikasi oleh Wolfe, Storz dan kawan-kawan kemudian digunakan
sebagai sumber cahaya tehnik laparoskopi sekaligus memacu perkembangan
dan penggunaan laparoskopi untuk kepentingan klinis. Awal penggunaan
dalam klinis dikembangkan oleh ahli ginekologi untuk ligasi tuba pada
tahun 1960-an, kemudian makin meluas ke hampir semua disiplin tindakan
pembedahan. Tahun 1989 dilaporkan adanya tindakan kolesistektomi
dengan bantuan laparoskopi yang menandai antusiasme penggunaan
laparoskopi dalam pembedahan subspesialistik (1,2,3,4).
Laparoskopi kini dapat menggantikan operasi-operasi konvensional yang
menimbulkan nyeri pasca operatif berat, sikatrik luas dan waktu pemulihan
lama. Beberapa keuntungan tindakan bedah laparoskopik adalah :
1) Insisi dan dampak kosmetik kecil
2) Gambaran lapangan dan pandangan operasi yang baik
3) Berkurangnya perdarahan
4) Berkurangnya rasa nyeri
5) Waktu pulih dan rawat rumah sakit lebih pendek.
Bagi pasien keuntungan diatas berarti mereka lebih cepat memperoleh kembali fungsi
sosialnya, yaitu melakukan aktivitas sehari-hari dan bekerja mencari nafkah (1,3,4,5).
Makin berkembangnya tehnik dan peralatan membuat jumlah / frekuensi
tindakan laparoskopi makin meningkat. Sebagai konsekuensi meningkatnya frekuensi
tindakan tersebut, para ahli anestesi dalam menentukan penatalaksanaan anestesi untuk
tindakan laparoskopi perlu memahami secara mendalam mengenai prosedur tindakan,
.
Pneumoperitoneum dihasilkan dengan memasukkan jarum Verees ( diameter 2
mm ) melalui insisi kecil tepat diatas umbilikus kedalam rongga abdomen dengan
kemiringan 30 derajat kearah bawah depan pelvis. Hal ini bertujuan mengurangi
kemungkinan ujung jarum menusuk pembuluh darah utama. Biasanya ada perasaan
pop saat jarum menusuk fasia. Untuk memastikan posisi ujung jarum dapat dilakukan
dengan cara drop test, aspirasi dan tekanan (1,2,3).
Jarum Verees dihubungkan dengan insuflator CO2. Tekanan negatif 0 5
mmHg terbaca pada skala tekanan di insuflator sebagai konfirmasi ulang bahwa jarum
berada pada rongga peritoneum. Batas atas tekanan insuflator disetel pada 15 mmHg.
CO2 dialirkan dengan kecepatan pelan yaitu 1 l/menit kedalam rongga peritoneum.
Keempat kuadran abdomen diperkusi untuk memastikan ratanya distribusi gas. Pada
saat pneumoperitoneum yang adekuat tercapai ( sekitar 1,5 liter ), kecepatan aliran
ditingkatkan menjadi 2 3 l/menit. Bila batas atas tekanan yaitu 12 15 mmHg
tercapai (biasanya 3 5 liter CO2 ), aliran secara otomatis terputus (1,3).
Jarum Verees dilepas dan kanula 11 ml dimasukkan pada insisi yang sama
menggunakan trokar. Setelah sampai pada tempatnya trokar dilepas dan insuflator
dipasang pada kanula dan disetel pada aliran maksimum 6 10 l/menit. Hal ini harus
menjadi
perhatian
dimana
kanula
yang
menghantarkan
pneumoperitoneum
dipertahankan oleh rongga abdomen dan bukan oleh jaringan subkutan. Bila tidak,
emfisema subkutis dapat terjadi dengan cepat. Laparoskop dipasang dan isi rongga
abdomen dilihat. Insisi tambahan dapat dibuat agar alat-alat tambahan ( bertangkai
panjang ) dapat dipasang masuk ke rongga abdomen. Biasanya ditempatkan dibawah
pandangan langsung laparoskop (1,3).
KARBON DIOKSIDA : GAS INSUFLATOR DAN HOMEOSTASIS
Laparoskopi dari rongga abdomen atas dan bawah dilakukan dengan insuflasi
peritoneal agar operator mendapatkan pandangan dan akses ke daerah operasi yang
lebih
baik.
Karbon
dioksida
merupakan
gas
of
choice
untuk
insuflasi
mudah larut
dipergunakan sebagai gas insuflator. Udara bertekanan tinggi juga tidak digunakan lagi
karena selain menginduksi luka bakar, juga beresiko terjadi emboli. Helium dan
nitrous oksida (N2O) pernah dicobagunakan sebagai gas insuflator. Absorbsi nitrous
oksida sulit diprediksi sehingga bisa beresiko emboli maupun hipoksia. Nitrous oksida
juga menginduksi luka bakar. Helium dalam keadaan inert memiliki kelarutan dalam
air dan kapasitas difusi yang jauh lebih rendah daripada CO2 (1).
Karbon dioksida membentuk asam karbonat bila kontak dengan peritoneum
yang basah. Asam karbonat ini menyebabkan nyeri pada laparoskopi dengan anestesi
lokal. Kadar CO2 dapat dipantau dengan spektrometri atau kapnografi dan
eliminasinya dapat ditingkatkan dengan hiperventilasi. Prosentase CO2 tinggi masih
dapat ditoleransi dalam darah, udara inspirasi maupun ekspirasi asalkan kebutuhan O 2
terpenuhi. Hiperkarbia dan asidosis respiratorik dapat timbul apabila jumlah CO 2 yang
besar melampaui kapasitas buffer darah dan kapasitas ekskresi paru (1).
Selama ventilasi kontrol dan dengan insuflasi peritoneal meningkatkan tekanan
intraabdominal 15 mmHg, meningkatkan secara nyata PaCO 2 10mmHg dan PACO2 4
mmHg disertai penurunan komplians paru total 25%. Terjadi absorbsi CO 2 yang
ditandai dengan peningkatan end-tidal CO2 selama ventilasi kontrol. Pada kenyataan
klinis, kecepatan absorbsi CO2 terlihat relatif sedikit dan hanya diperlukan sedikit
peningkatan volume semenit ( hiperventilasi) untuk menghilangkan CO 2 ekstra ini.
Peningkatan tekanan intraabdominal akan menyebabkan elevasi diafragma. Hal ini
menyebabkan penurunan FRC, komplians paru total sampai atelektasis yang
mengakibatkan kurang efisiennya ventilasi semenit sehingga PaCO2 akan meningkat.
Situasi ini diperburuk dengan posisi Trendelenburg dan sebaliknya diperbaiki dengan
posisi anti Trendelenburg. Semua parameter respirasi diatas dapat dikompensasi
menggunakan ventilasi mekanik disertai pemantauan end-tidal CO2 (3,4,5,7,8).
HIPERKARBIA SAAT LAPAROSKOPI
Hiperkarbia saat pneumoperitoneum CO2 dapat timbul karena beberapa faktor :
1. Absorbsi CO2 dari rongga peritoneum ( mekanisme utama )
2. Ketidakseimbangan ventilasi pulmoner dan perfusi ( VA/Q mismatch ) oleh faktor
mekanik, seperti meningkatnya ruang mati fisiologik, distensi abdomen, posisi
pasien, ventilasi mekanik terkontrol dan penurunan curah jantung yang diperburuk
dengan obesitas atau status fisik ASA tinggi.
3. Peningkatan metabolisme ( anestesi yang dangkal )
4. Depresi ventilasi oleh anestesi ( pada tehnik nafas spontan )
5. Kejadian kecelakaan ( emfisema CO2, kapnotoraks atau emboli CO2 ) (1,4).
cairan ekstraseluler,
2)
3)
10
jantung dan tekanan pengisian jantung akan meningkat secara progresif. Bila tekanan
abdomen meningkat lebih lanjut, tekanan pengisian akan menurun disertai penurunan
curah jantung. Respon ini membaik saat tekanan intraabdominal kembali normal.
Perubahan kardiovaskuler yang bifasik ini terjadi karena peningkatan tekanan
intraabdominal memiliki dua efek yang berlawanan terhadap sistem kardiovaskuler.
Pertama, mendorong darah keluar dari organ dan pembuluh vena intraabdomen
kedalam vena sentral. Kedua, menghalangi venous return dari regio kaki dan pelvis
sehingga mengurangi volume darah di vena sentral. Respon refleks baroreseptor
terhadap peningkatan tekanan hidrostatik vena sentral juga akan menyebabkan
vasodilatasi dan bradikardia.
Selama pneumoperitoneum hingga 15 mmHg pada pasien dengan posisi
horizontal, CVP dapat meningkat 8 mmHg. Posisi Trendelenburg sendiri sudah akan
meningkatkan CVP. Bila ditambahkan pneumoperitoneum, CVP akan meningkat lagi
sebesar 6 mmHg. Bila tekanan intraabdomen ditambah lagi, pembuluh darah kapasitan
di abdomen akan kosong, serta blokade aliran balik dari kaki dan pelvis akan lebih
progresif sehingga volume darah di vena sentral akan berkurang, CVP dan curah
jantung akan menurun. Untuk laparoskopi abdomen bagian atas digunakan posisi anti
Trendelenburg. Posisi ini dapat menyebabkan berkurangnya venous return akibat
gravitasi ( venous pooling ) sehingga mengurangi peningkatan CVP akibat insuflasi
peritoneum. Untuk mencegah keadaan-keadaan diatas mungkin diperlukan suatu
volume loading ( infus plasma ekspander ).
Refleks tonus vagal yang meningkat dapat muncul akibat peregangan
peritoneum yang mendadak saat insuflasi gas atau elektrokoagulasi organ / jaringan
tertentu seperti tuba Fallopii. Bradikardi, aritmia jantung hingga asistol dapat timbul
karena refleks ini dan dapat diperberat dengan anestesia yang dangkal atau pemberian
obat penghambat beta sebelumnya. Terapinya berupa penghentian insuflasi, pemberian
atropin atau mendalamkan anestesi setelah laju jantung pulih (1,3,4,5,7).
Efek terhadap Respirasi
11
12
Posisi Trendelenburg akan menyebabkan kongesti vena daerah kepala dan leher
yang dapat mengakibatkan terjadinya edema jalan nafas bagian atas termasuk
orofaring dan nasofaring pada akhir operasi.
Komplikasi insuflasi gas ekstraperitoneal, sering terjadi pada bedah laparaskopi
urologi, dapat menimbulkan emfisema retroperitoneal dan subkutis. Emfisema
subkutis yang meluas hingga kepala dan leher akan sangat mengganggu jalan nafas.
Ekstubasi dini harus dihindari dan perlu pemeriksaan foto toraks untuk menilai
kemungkinan terjadi pneumomediastinum dan pneumotoraks.
Peningkatan tekanan vena jugularis harus selalu diperhatikan pada posisi
Trendelenburg karena peningkatan tekanan intraabdomen dan intratoraks selanjutnya
akan meningkatkan pula tekanan cairan serebrospinal.
Kongesti pada mata dapat menyebabkan peningkatan ringan tekanan
intraokuler ( memperberat glaukoma ) dan terlepasnya retina (jarang) (1,4).
Efek terhadap Temperatur Tubuh
Efek vasodilatasi pembuluh darah kulit akibat hiperkarbia dan anestesia umum
ditambah dengan efek pendinginan (cooling effect) gas insuflasi CO2 pada dinding
peritoneum akan menyebabkan terjadinya hipotermia (1).
Efek Gastrointestinal
Hipoksia usus yang diukur dengan tekanan oksigen jaringan usus dapat timbul
selama insuflasi gas ( selain CO2 ) dengan tekanan tinggi. Peningkatan tekanan
intraabdominal pada laparoskopi secara mekanik menyebabkan menurunnya aliran
darah splanchnic, namun pada insuflasi CO2 efek tersebut terkoreksi karena CO2
memiliki efek langsung vasodilatasi splanchnic.
Efek / komplikasi gastrointestinal lain adalah aspirasi regurgitasi. Posisi
Trendelenburg dapat mencegah cairan regurgat masuk kedalam jalan nafas.
Perencanaan anestesi dengan pipa endotrakea dan dekompresi lambung dengan
pemasangan NGT akan lebih baik untuk mencegah refluks isi lambung (1,4,6,7,10).
13
Kerusakan Saraf
Penekanan saraf merupakan komplikasi potensial selama posisi head-down.
Penyangga bahu perlu digunakan secara hati-hati agar tidak menekan pleksus
brakhialis. Posisi litotomi yang terlalu lama dapat menyebabkan sindroma kompartmen
ekstremitas bawah (4,10).
PENGELOLAAN ANESTESI
Evaluasi Preoperatif dan Premedikasi
Kontraindikasi
absolut
untuk
laparoskopi
adalah
koagulopati
dan
14
Teknik Anestesi
Anestesi Umum
Anestesia umum dengan intubasi endotrakhea dan ventilasi kontrol tekanan
positif merupakan teknik paling aman dan direkomendasikan untuk pasien rawat inap
dan prosedur laparoskopik lama. Selama pneumoperitoneum, ventilasi kontrol harus
selalu diatur untuk mempertahankan PET CO2 sekitar 35 mmHg. Hal ini membutuhkan
15
peningkatan ventilasi semenit tidak lebih dari 15 25%, kecuali apabila ditemukan
emfisema CO2 subkutis. Peningkatan laju nafas lebih dianjurkan daripada menambah
volume tidal pada pasien PPOM, pasien dengan riwayat pneumotoraks spontan atau
emfisema bulosa untuk mencegah peningkatan inflasi alveolar dan resiko
pneumotoraks.
Agen anestetik yang langsung mendepresi jantung harus dihindari pada pasien
dengan gangguan fungsi jantung dan lebih dianjurkan yang mempunyai sifat
vasodilatasi seperti isofluran. Infus obat vasodilator seperti nikardipin akan
mengurangi reperkusi hemodinamik dari pneumoperitonium dan terpilih untuk pasien
dengan kelainan jantung. N2O tetap dapat dipergunakan. Kontribusi N2O dalam
menimbulkan distensi usus dan mual-muntah masih kontroversial. Hingga saat ini
tidak ada bukti keuntungan klinis apabila N2O tidak digunakan dalam laparoskopi.
Pilihan obat / teknik anestesi tampaknya bukan merupakan faktor utama yang
menentukan outcome pasien. Propofol misalnya, sedikit menimbulkan efek samping
pasca operasi, sementara isofluran paling tidak sensitif terhadap aritmia akibat
peningkatan katekolamin.
Tekanan intraabdominal harus selalu dipantau, dipertahankan serendah
mungkin, tidak lebih dari 20 mmHg, untuk mengurangi perubahan hemodinamik dan
respiratorik. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat dicegah dengan memastikan
kedalaman anestesia. Relaksasi otot sempurna pada laparaskopi tidak mutlak
diperlukan. Blokade neuromuskuler dengan pelumpuh otot non depolarisasi dapat pula
digunakan, karena bagaimanapun relaksasi otot abdomen yang cukup akan membantu
keadekuatan pneumoperitoneum pada insuflasi dengan tekanan lebih rendah dan dapat
mengurangi efek serta komplikasi akibat peningkatan tekanan intraabdominal. Agen
beraksi singkat seperti vekuronium atau atrakurium ideal untuk tindakan laparoskopi
singkat. Tindakan laparoskopi sangat berpotensi meningkatkan refleks tonus vagal
sehingga atropin harus diberikan sebelum induksi anestesia atau setidaknya siap
tersedia bila diperlukan. Narkotik dapat digunakan sebagai tambahan analgesi dengan
memperhatikan efek spasme sfingter Oddi yang dapat menyulitkan interpretasi
kolangiografi ( dapat dilawan dengan glukagon atau nalokson ).
16
17
menimbulkan kecemasan, nyeri dan perasaan tidak nyaman selama manipulasi organ
pelvis dan abdomen. Dengan alasan tersebut, anestesia lokal biasanya ditambah
dengan sedasi intravena. Efek kombinasi antara pneumoperitoneum dan sedasi ini
dapat menimbulkan hipoventilasi dan desaturasi oksigen arterial. Keberhasilan teknik
anestesia lokal sangat membutuhkan ketenangan dan kerjasama pasien, staf kamar
operasi yang mendukung dan ahli bedah yang trampil. Tekanan intraabdominal harus
serendah mungkin untuk mengurangi nyeri dan gangguan ventilasi. Teknik anestesia
lokal dapat diindikasikan untuk ligasi tuba laparoskopik. Prosedur laparoskopik lain
yang membutuhkan banyak lokasi tusukan, manipulasi organ, kemiringan head up
head down yang tajam dan volume pneumoperitoneum besar akan membuat
pernafasan spontan menjadi sulit bagi pasien dan menimbulkan ketidaknyamanan serta
tidak boleh dikelola dengan anestesia lokal.
Anestesia regional, termasuk teknik epidural dan spinal, dikombinasikan
dengan posisi head-down dapat digunakan pada laparoskopi ginekologi tanpa
ketidakseimbangan ventilasi yang mengganggu. Respon metabolik berkurang dengan
anestesia regional. Secara keseluruhan, anestesia epidural dan lokal saling membagi
keuntungan dan kekurangan. Anestesia regional memiliki keuntungan dalam hal
mengurangi kebutuhan sedatif dan narkotik, menghasilkan relaksasi yang lebih baik
dan dapat digunakan untuk prosedur laparoskopik selain sterilisasi. Nyeri bahu akibat
iritasi diafragma dan perasaan tidak nyaman karena distensi abdomen masih sering
dijumpai bila menggunakan anestesia epidural tunggal. Blok sensorik yang ekstensif
(T4-L5) cukup untuk bedah laparoskopi, namun dapat juga menjadi tidak nyaman bagi
pasien. Pemberian opiat dan atau klonidin epidural dapat membantu memberikan
analgesia yang adekuat. Efek hemodinamik pneumoperitoneum dengan anestesia
epidural belum pernah diteliti. Vasodilatasi dan tidak digunakannya ventilasi tekanan
positif dapat mengurangi perubahan kardiovaskuler selama pneumoperitoneum,
meskipun blok simpatis anestesia epidural dapat memfasilitasi timbulnya refleks vagal.
Kerjasama pasien, ahli bedah yang trampil dan berpengalaman serta rendahnya
tekanan intraabdominal dan kemiringan posisi sangat diperlukan untuk menjamin
18
keberhasilan anestesia epidural. Teknik ini tidak dianjurkan untuk prosedur bedah yang
lama (3,4).
Pemantauan Pemulihan dan Pasca Operasi
Pemantauan hemodinamik harus tetap dilakukan di unit rawat pasca anestesia.
Perubahan hemodinamik akibat pneumoperitoneum, khususnya peningkatan tahanan
vaskuler sistemik, pulih kembali setelah pelepasan (release) pneumoperitoneum.
Keadaan hiperdinamik yang timbul setelah laparoskopi biasanya terjadi pada pasien
dengan penyakit jantung.
Berkaitan dengan penurunan fungsi pulmonal pasca operasi, PaO 2 masih
menurun setelah kolesistektomi laparoskopik. Kebutuhan oksigen meningkat setelah
laparoskopi, sehingga pemberian O2 suplemen tetap diperlukan pasca operasi,
sekalipun laparoskopi yang dilakukan termasuk prosedur bedah minor dan pasien
tersebut sehat. Pada periode pasca operasi awal, laju respirasi dan PET CO2 pada pasien
dengan nafas spontan lebih tinggi dibandingkan pasien dengan operasi terbuka.
Apabila pasien mengalami hiperkarbia, gas darah harus dipantau hingga normal
kembali, khususnya bila dijumpai pula adanya emfisema subkutis. Jalan nafas harus
dipantau secara ketat setelah ekstubasi.
Diuresis spontan biasanya terjadi di unit rawat pasca anestesia setelah fase
oliguria intraoperatif. Pencegahan dan pengobatan mual, muntah dan nyeri pasca
operasi sangat penting diperhatikan, terutama pada prosedur laparoskopi rawat jalan
(1,3,4)
DAFTAR PUSTAKA
1. Weingram J. Laparoscopic and laser surgery. In: Malhotra V (ed). Anesthesia for
renal and genito-urologic surgery. New York : McGraw-Hill 1996 : 151 76
19
2. Smith TC, Collins VJ. Physiology and pharmacology of carbon dioxide. In:
Collins VJ (ed). Physiologyc and pharmacologic bases of anesthesia. Baltimore :
Williams-Wilkins 1996 : 496 512
3. Black. Anaesthesia for laparoscopic assisted surgery. In: Healy TEJ, Cohen PJ
(eds). Wylie and Churchill-Davidsons a practise of anaesthesia. 6 th ed. Boston :
Edward Arnold 1995 : 1391 6
4. Joris JL. Anesthesia for laparoscopic surgery. In: Miller RD (ed) Anesthesia. 5th ed.
Philadelphia : Churchill Livingstone 2000 : 2003 17
5. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology. 2 nd ed. Stamford : Appleton &
Lange 1996 : 450 2
6. Bogod DG. Anaesthesia for gynaecological, genitourinary and orthopaedic
surgery. In: Aitkenhead AR, Smith G (eds). Textbook of anaesthesia. 3 rd ed. New
York : Churchill Livingstone 1996 : 471 80
7. Stoelting RK, Dierdof SF. Anesthesia and co-existing disease. 3rd ed. New York :
Churchill Livingstone 1993 : 272 3
8. Wadlington JS. Anesthesia for obstetrics and gynecology. In: Davison JK,
Eckhardt WF, Perese DA (eds). Clinical anesthesia procedures of the
Massachusetts General Hospital. 4th ed. Boston : Little Brown & Co 1993 : 472
9. Halperin ML, Goldstein MB. Fluid, electrolyte, and acid-base physiology. 2 nd ed.
Philadelphia : WB Saunders Co 1994: 187 200
10. Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN. Lees synopsis of anaesthesia. 12 th ed.
Oxford : Butterworth-Heinemann 1999 : 547 - 9