You are on page 1of 19

Tinjauan Pustaka

ANESTESI PADA LAPAROSKOPI


R Christanto Nugroho, Marwoto
Bagian / SMF Anestesiologi FK UNDIP / RS Dr Kariadi
Semarang

Anestesi pada Laparoskopi

PENDAHULUAN
Sejarah laparoskopi dimulai pada tahun 1901 ketika seorang ahli bedah
Jerman, Dr George Kelling pertama kali menginsuflasi udara melalui sebuah
jarum kedalam rongga peritoneum seekor anjing yang dianestesi. Penemuan
transmisi cahaya sistem serat optik pada tahun 1952 oleh Hopkins yang
dimodifikasi oleh Wolfe, Storz dan kawan-kawan kemudian digunakan
sebagai sumber cahaya tehnik laparoskopi sekaligus memacu perkembangan
dan penggunaan laparoskopi untuk kepentingan klinis. Awal penggunaan
dalam klinis dikembangkan oleh ahli ginekologi untuk ligasi tuba pada
tahun 1960-an, kemudian makin meluas ke hampir semua disiplin tindakan
pembedahan. Tahun 1989 dilaporkan adanya tindakan kolesistektomi
dengan bantuan laparoskopi yang menandai antusiasme penggunaan
laparoskopi dalam pembedahan subspesialistik (1,2,3,4).
Laparoskopi kini dapat menggantikan operasi-operasi konvensional yang
menimbulkan nyeri pasca operatif berat, sikatrik luas dan waktu pemulihan
lama. Beberapa keuntungan tindakan bedah laparoskopik adalah :
1) Insisi dan dampak kosmetik kecil
2) Gambaran lapangan dan pandangan operasi yang baik
3) Berkurangnya perdarahan
4) Berkurangnya rasa nyeri
5) Waktu pulih dan rawat rumah sakit lebih pendek.
Bagi pasien keuntungan diatas berarti mereka lebih cepat memperoleh kembali fungsi
sosialnya, yaitu melakukan aktivitas sehari-hari dan bekerja mencari nafkah (1,3,4,5).
Makin berkembangnya tehnik dan peralatan membuat jumlah / frekuensi
tindakan laparoskopi makin meningkat. Sebagai konsekuensi meningkatnya frekuensi
tindakan tersebut, para ahli anestesi dalam menentukan penatalaksanaan anestesi untuk
tindakan laparoskopi perlu memahami secara mendalam mengenai prosedur tindakan,

Anestesi pada Laparoskopi

problem-problem yang potensial untuk timbul dan perubahan-perubahan fisiologis


yang mungkin terjadi (1,3,4).
PROSEDUR DASAR LAPAROSKOPI
Persiapan pada penderita yang penting dilakukan adalah mengosongkan
kandung kemih dan lambung dengan DC dan NGT untuk menghindari kemungkinan
trauma saat pemasangan jarum Verees dan trokar, kemudian harus disiapkan pula
penyangga bahu ( pada posisi Trendelenburg ) untuk mencegah bergesernya bahu yang
bisa menyebabkan kerusakan n. asesorius. Perlu pula disiapkan larutan salin berheparin ( 2 unit/ml atau 2000 g/liter larutan ) untuk memperlambat terbentuknya
jendalan darah. Mengingat bisa saja terjadi kecelakaan operasi, tindakan laparatomi
emergensi harus disiapkan termasuk persediaan darah dan ijin tindakan laparatomi
(1,3,6)

.
Pneumoperitoneum dihasilkan dengan memasukkan jarum Verees ( diameter 2

mm ) melalui insisi kecil tepat diatas umbilikus kedalam rongga abdomen dengan
kemiringan 30 derajat kearah bawah depan pelvis. Hal ini bertujuan mengurangi
kemungkinan ujung jarum menusuk pembuluh darah utama. Biasanya ada perasaan
pop saat jarum menusuk fasia. Untuk memastikan posisi ujung jarum dapat dilakukan
dengan cara drop test, aspirasi dan tekanan (1,2,3).
Jarum Verees dihubungkan dengan insuflator CO2. Tekanan negatif 0 5
mmHg terbaca pada skala tekanan di insuflator sebagai konfirmasi ulang bahwa jarum
berada pada rongga peritoneum. Batas atas tekanan insuflator disetel pada 15 mmHg.
CO2 dialirkan dengan kecepatan pelan yaitu 1 l/menit kedalam rongga peritoneum.
Keempat kuadran abdomen diperkusi untuk memastikan ratanya distribusi gas. Pada
saat pneumoperitoneum yang adekuat tercapai ( sekitar 1,5 liter ), kecepatan aliran
ditingkatkan menjadi 2 3 l/menit. Bila batas atas tekanan yaitu 12 15 mmHg
tercapai (biasanya 3 5 liter CO2 ), aliran secara otomatis terputus (1,3).
Jarum Verees dilepas dan kanula 11 ml dimasukkan pada insisi yang sama
menggunakan trokar. Setelah sampai pada tempatnya trokar dilepas dan insuflator

Anestesi pada Laparoskopi

dipasang pada kanula dan disetel pada aliran maksimum 6 10 l/menit. Hal ini harus
menjadi

perhatian

dimana

kanula

yang

menghantarkan

pneumoperitoneum

dipertahankan oleh rongga abdomen dan bukan oleh jaringan subkutan. Bila tidak,
emfisema subkutis dapat terjadi dengan cepat. Laparoskop dipasang dan isi rongga
abdomen dilihat. Insisi tambahan dapat dibuat agar alat-alat tambahan ( bertangkai
panjang ) dapat dipasang masuk ke rongga abdomen. Biasanya ditempatkan dibawah
pandangan langsung laparoskop (1,3).
KARBON DIOKSIDA : GAS INSUFLATOR DAN HOMEOSTASIS
Laparoskopi dari rongga abdomen atas dan bawah dilakukan dengan insuflasi
peritoneal agar operator mendapatkan pandangan dan akses ke daerah operasi yang
lebih

baik.

Karbon

dioksida

merupakan

gas

of

choice

untuk

insuflasi

pneumoperitoneum dalam laparoskopi karena :


-

tidak mudah terbakar

tidak menginduksi luka bakar

mudah larut

berdifusi dengan cepat

resiko embolisasi minimal

cepat dieliminasi melalui paru

banyak tersedia / mudah didapat (1,3).


Sejak elektrokauter digunakan selama laparoskopi, oksigen tidak lagi

dipergunakan sebagai gas insuflator. Udara bertekanan tinggi juga tidak digunakan lagi
karena selain menginduksi luka bakar, juga beresiko terjadi emboli. Helium dan
nitrous oksida (N2O) pernah dicobagunakan sebagai gas insuflator. Absorbsi nitrous
oksida sulit diprediksi sehingga bisa beresiko emboli maupun hipoksia. Nitrous oksida
juga menginduksi luka bakar. Helium dalam keadaan inert memiliki kelarutan dalam
air dan kapasitas difusi yang jauh lebih rendah daripada CO2 (1).
Karbon dioksida membentuk asam karbonat bila kontak dengan peritoneum
yang basah. Asam karbonat ini menyebabkan nyeri pada laparoskopi dengan anestesi

Anestesi pada Laparoskopi

lokal. Kadar CO2 dapat dipantau dengan spektrometri atau kapnografi dan
eliminasinya dapat ditingkatkan dengan hiperventilasi. Prosentase CO2 tinggi masih
dapat ditoleransi dalam darah, udara inspirasi maupun ekspirasi asalkan kebutuhan O 2
terpenuhi. Hiperkarbia dan asidosis respiratorik dapat timbul apabila jumlah CO 2 yang
besar melampaui kapasitas buffer darah dan kapasitas ekskresi paru (1).
Selama ventilasi kontrol dan dengan insuflasi peritoneal meningkatkan tekanan
intraabdominal 15 mmHg, meningkatkan secara nyata PaCO 2 10mmHg dan PACO2 4
mmHg disertai penurunan komplians paru total 25%. Terjadi absorbsi CO 2 yang
ditandai dengan peningkatan end-tidal CO2 selama ventilasi kontrol. Pada kenyataan
klinis, kecepatan absorbsi CO2 terlihat relatif sedikit dan hanya diperlukan sedikit
peningkatan volume semenit ( hiperventilasi) untuk menghilangkan CO 2 ekstra ini.
Peningkatan tekanan intraabdominal akan menyebabkan elevasi diafragma. Hal ini
menyebabkan penurunan FRC, komplians paru total sampai atelektasis yang
mengakibatkan kurang efisiennya ventilasi semenit sehingga PaCO2 akan meningkat.
Situasi ini diperburuk dengan posisi Trendelenburg dan sebaliknya diperbaiki dengan
posisi anti Trendelenburg. Semua parameter respirasi diatas dapat dikompensasi
menggunakan ventilasi mekanik disertai pemantauan end-tidal CO2 (3,4,5,7,8).
HIPERKARBIA SAAT LAPAROSKOPI
Hiperkarbia saat pneumoperitoneum CO2 dapat timbul karena beberapa faktor :
1. Absorbsi CO2 dari rongga peritoneum ( mekanisme utama )
2. Ketidakseimbangan ventilasi pulmoner dan perfusi ( VA/Q mismatch ) oleh faktor
mekanik, seperti meningkatnya ruang mati fisiologik, distensi abdomen, posisi
pasien, ventilasi mekanik terkontrol dan penurunan curah jantung yang diperburuk
dengan obesitas atau status fisik ASA tinggi.
3. Peningkatan metabolisme ( anestesi yang dangkal )
4. Depresi ventilasi oleh anestesi ( pada tehnik nafas spontan )
5. Kejadian kecelakaan ( emfisema CO2, kapnotoraks atau emboli CO2 ) (1,4).

Anestesi pada Laparoskopi

Efek Fisiologik Hiperkarbia


Dalam keadaan keseimbangan, tubuh manusia berisi sekitar 120 liter CO 2,
terdistribusi dan tersimpan pada berbagai organ. Mula timbulnya hiperkarbia
mencetuskan berbagai respon yang spesifik pada tingkat seluler, organik atau tubuh
keseluruhan. Respon total tubuh keseluruhan terhadap hiperkarbia tergantung suatu
keseimbangan yang kompleks dari efek-efek stimulan terhadap berbagai jaringan /
organ dan efek-efek depresan terhadap yang lainnya, serta dari efek langsung
melawan efek tidak langsung. Pada orang yang sadar, sehat dan bernafas spontan, efek
keseluruhan terhadap hiperkarbia meliputi peningkatan progresif pada pernafasan
volume semenit, curah jantung, tekanan darah, laju nadi dan kadar katekolamin
plasma pada saat PaCO2 mencapai 80-100 mmHg. Tanda dan gejala klinik meningkat
cepat mulai dari sakit kepala, sendawa, mual, muntah, berkeringat, gelisah, kejang,
halusinasi dan hilang kesadaran. Ditandai dengan peningkatan temperatur,
peningkatan end-tidal CO2 (tanpa perubahan ventilasi), peningkatan kebutuhan
oksigen, serta peningkatan curah jantung dan kerja pernafasan; secara keseluruhan
hiperkarbia akan memicu suatu keadaan hipermetabolik (1,2).
Sistem Kardiovaskuler
Pada tingkat seluler, hiperkarbia merupakan depresan langsung terhadap
kontraktilitas miokard dan laju kontraksi, serta stimulan langsung terhadap iritabilitas
dan aritmisitas miokardial yang kemungkinan berkaitan dengan asidosis. Hiperkarbia
juga menurunkan respon sel miokard terhadap katekolamin.
Efek langsung hiperkarbia pada pembuluh darah adalah vasodilatasi, terutama
pada pembuluh darah postarterioler ( kapiler dan vena ) yang merupakan kapasitan
vaskuler utama. Efek langsung ini menyebabkan pooling periferal, penurunan venous
return, penurunan curah jantung dan menurunnya respon terhadap katekolamin.
Pengecualian efek dilator dari hiperkarbia dan asidosis pada pembuluh darah
terlihat pada pembuluh darah pulmoner, yaitu terjadi vasokonstriksi saat asidosis. Hal
ini dapat menyebabkan meningkatnya rongga mati dan D(a-A)CO2 ( perbedaan tekanan

Anestesi pada Laparoskopi

CO2 arterial-alveolar ). Asidosis berat dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmoner,


hipertensi pulmoner dan kemungkinan gagal jantung kanan.
Pada kenyataan klinik, berbagai efek langsung terhadap sistem kardiovaskuler
tersebut dapat dilawan ( counteracted ) oleh berbagai efek multisistem dari
hiperkarbia. Aktivasi simultan terhadap susunan saraf pusat dan sistem simpatoadrenal
berakibat peningkatan secara keseluruhan terhadap kontraktilitas miokard, hipertensi,
takikardia dan peningkatan curah jantung, dengan PaCO2 lebih dari 90 torr. Dibawah
kadar tersebut, CO2 menyebabkan penurunan curah jantung.
Hiperkarbia dapat menimbulkan aritmia selama pemberian halotan. Aritmia ini
biasanya tidak muncul dengan agen anestetik lain, sekalipun dengan PaCO 2 sangat
tinggi ( lebih dari 80 mm ). Anestesia umum menekan respon terhadap hiperkapnia.
Yang perlu diperhatikan adalah kenaikan CO2 yang signifikan dapat saja terjadi tanpa
tanda dan gejala yang diperkirakan (1,2,3,4).
Keseimbangan Asam Basa
Sebelumnya perlu diingat bahwa :
1. Pada pasien sadar, setiap milimeter kenaikan PaCO 2 diatas garis dasar akan
meningkatkan ventilasi 2 hingga 3 ml/liter. Respon ini hilang bila teranestesi.
2. Pada asidosis respiratorik akut, setiap kenaikan 10 mmHg PaCO2 berakibat
penurunan pH 0,1 unit.
3. Konsentrasi bikarbonat plasma meningkat hanya sekitar 1 mmol/liter atau 1
mEq/liter untuk setiap kenaikan 10 mmHg PaCO2 diatas 40 mm.
4. Pada alkalosis respiratorik akut ( biasanya timbul bila pasien dihiperventilasi
selama pneumoperitonium ), pH meningkat kurang lebih 0,15 untuk setiap
penurunan 10 mm PaCO2.
Apabila kapasitas penyangga ( buffering ) terlampaui oleh hiperkarbia atau bila respon
respiratorik tidak mampu mengakomodasi persamaan Henderson-Hasselbach, akan
timbul asidosis respiratorik. Kompensasi ginjal belum dimulai sebelum 6 sampai 12
jam kemudian. Sesuai dengan kenaikan asidosis respiratorik, H+ intraseluler
meningkat, menggantikan K+ dan Ca++ intraseluler ke

cairan ekstraseluler,

Anestesi pada Laparoskopi

menyebabkan hiperkalemia dan pergeseran elektrolit lain yang berbahaya. Untuk


setiap penurunan pH 0,1, K+ serum meningkat sekitar 0,3 mEq/liter (1,2,9).
Kapasitas Mengikat Oksigen dalam Darah
Hiperkarbia menyebabkan kurva disosiasi oksigen bergeser ke kanan. Hal ini
dikenal sebagai efek Bohr. Saturasi yang lebih rendah dari perkiraan dapat timbul
pada penambahan PO2. Pada kasus yang ekstrim, pasien dapat mengalami sianotik
padahal tampaknya telah mendapat PO2 adekuat. Pada keadaan asidosis, tambahan
oksigen perlu untuk mempertahankan saturasi ekuivalen (1,2).
Sistem Respirasi
Hiperkarbia merupakan stimulan respiratorik pada pasien sadar. Efek stimulan
maksimal timbul pada tekanan 100 hingga 150 mm setelah didahului efek depresif.
Efek langsung CO2 pada otot polos bronkus dan efek mekanisme aktivasi adrenergik
oleh CO2 (neural maupun humoral) adalah dilatasi bronkus. Respon ini ditekan selama
anestesi dan tergantung pada kedalaman anestesi dan agen anestetik yang digunakan.
Schultz tahun 1960 pernah melaporkan bahwa salah satu pasiennya tetap bernafas
spontan pada PaCO2 234 dengan anestesi dietil eter (1,2,4).
Susunan Saraf Pusat
Pada susunan saraf pusat, membran sel tidak permeabel terhadap H + atau
HCO3-, tetapi permeabel terhadap CO2. Perubahan PaCO2 menyebabkan perubahan
cepat pada pH cairan serebrospinal (CSF), sedangkan perubahan HCO 3- hanya sedikit
merubah pH CSF.
Hiperkarbia ringan sampai sedang menyebabkan peningkatan eksitabilitas
neuron. Hiperkarbia juga menyebabkan peningkatan aliran darah otak (CBF) dan
tekanan intrakranial (ICP). CBF normal adalah sekitar 20 persen dari curah jantung
atau 50 cc / 100 g per menit. Setiap kenaikan 1 mm PCO 2 antara 25 dan 100 mmHg,
CBF meningkat 2 cc/100g per menit (1,2).

Anestesi pada Laparoskopi

Sistem Saraf Otonom


Hiperkarbia dan asidosis menstimulasi kemoreseptor badan aorta dan karotis
untuk secara refleks merangsang pusat respirasi dan vasomotor. Stimulasi langsung
dari pusat-pusat ini juga muncul. Akibat yang ditimbulkan adalah hiperventilasi,
peningkatan aktivitas otot skelet dan peningkatan bangkitan saraf simpatis.
Peningkatan bangkitan saraf simpatis memicu peningkatan laju dan kekuatan kontraksi
jantung, hipertensi dan vasokonstriksi. Kombinasi efek sentral dan otonom ini juga
menimbulkan agitasi yang biasanya sering muncul di ruang pasca anestesia.
Nahas pada tahun 1960 memperlihatkan bahwa hiperkarbia menyebabkan
peningkatan kadar epinefrin dan norepinefrin plasma, namun asidosis kemudian
menurunkan sensitivitas organ terhadap katekolamin sistemik yang beredar tersebut.
Pada berbagai kadar PCO2, kadar katekolamin bervariasi sesuai dengan agen anestetik
yang digunakan (1,2).
Otot
Otot skelet, seperti juga otot polos dan jantung, dapat terdepresi oleh asidosis
respiratorik yang ekstrim. Juan dkk menemukan bahwa tekanan end tidal CO2 54
hingga 60 mmHg dapat menyebabkan penurunan kontraktilitas (10-30%) dan
kelelahan dini dari diafragma (2).
PERUBAHAN FISIOLOGIK DAN KOMPLIKASI SELAIN HIPERKARBIA
Selain karena efek hiperkarbia, efek fisiologik laparoskopi berkaitan dengan
kombinasi tiga faktor utama, bisa saling sinergis atau berlawanan, yaitu :
1)

efek kimia dan fisika dari insuflasi CO2

2)

efek peningkatan tekanan abdomen

3)

efek posisi penderita (1,3).

Efek terhadap Kardiovaskuler


Perubahan kardiovaskuler selama laparoskopi cenderung paralel terhadap
tekanan pengisian jantung yang dipengaruhi oleh insuflasi abdomen. Ketika tekanan
intraabdominal meningkat hingga 20-30 mmHg akan terjadi kompensasi, dimana curah

Anestesi pada Laparoskopi

10

jantung dan tekanan pengisian jantung akan meningkat secara progresif. Bila tekanan
abdomen meningkat lebih lanjut, tekanan pengisian akan menurun disertai penurunan
curah jantung. Respon ini membaik saat tekanan intraabdominal kembali normal.
Perubahan kardiovaskuler yang bifasik ini terjadi karena peningkatan tekanan
intraabdominal memiliki dua efek yang berlawanan terhadap sistem kardiovaskuler.
Pertama, mendorong darah keluar dari organ dan pembuluh vena intraabdomen
kedalam vena sentral. Kedua, menghalangi venous return dari regio kaki dan pelvis
sehingga mengurangi volume darah di vena sentral. Respon refleks baroreseptor
terhadap peningkatan tekanan hidrostatik vena sentral juga akan menyebabkan
vasodilatasi dan bradikardia.
Selama pneumoperitoneum hingga 15 mmHg pada pasien dengan posisi
horizontal, CVP dapat meningkat 8 mmHg. Posisi Trendelenburg sendiri sudah akan
meningkatkan CVP. Bila ditambahkan pneumoperitoneum, CVP akan meningkat lagi
sebesar 6 mmHg. Bila tekanan intraabdomen ditambah lagi, pembuluh darah kapasitan
di abdomen akan kosong, serta blokade aliran balik dari kaki dan pelvis akan lebih
progresif sehingga volume darah di vena sentral akan berkurang, CVP dan curah
jantung akan menurun. Untuk laparoskopi abdomen bagian atas digunakan posisi anti
Trendelenburg. Posisi ini dapat menyebabkan berkurangnya venous return akibat
gravitasi ( venous pooling ) sehingga mengurangi peningkatan CVP akibat insuflasi
peritoneum. Untuk mencegah keadaan-keadaan diatas mungkin diperlukan suatu
volume loading ( infus plasma ekspander ).
Refleks tonus vagal yang meningkat dapat muncul akibat peregangan
peritoneum yang mendadak saat insuflasi gas atau elektrokoagulasi organ / jaringan
tertentu seperti tuba Fallopii. Bradikardi, aritmia jantung hingga asistol dapat timbul
karena refleks ini dan dapat diperberat dengan anestesia yang dangkal atau pemberian
obat penghambat beta sebelumnya. Terapinya berupa penghentian insuflasi, pemberian
atropin atau mendalamkan anestesi setelah laju jantung pulih (1,3,4,5,7).
Efek terhadap Respirasi

Anestesi pada Laparoskopi

11

Kombinasi efek peningkatan tekanan intraabdominal, posisi head-down dan


hiperkarbia selama laparoskopi akan mempengaruhi fungsi paru. Efek posisi
Trandelenburg berupa penurunan kapasitas paru, peningkatan V/Q mismatching,
pengembangan paru yang tidak adekuat ( hingga atelektasis ) dan resiko emboli.
Pada pasien teranestesi yang dilumpuhkan dengan posisi Trendelenburg,
peningkatan tekanan intraabdominal selanjutnya akan menurunkan kapasitas residu
fungsional, kapasitas vital dan komplians paru, apalagi pada pasien obesitas atau tua.
Perubahan ini dapat dikompensasi dengan meningkatkan tekanan inspiratorik puncak
dan tekanan jalan nafas rerata agar ventilasi tetap adekuat. Tindakan ini dapat
mengganggu venous return dan meningkatkan resiko barotrauma. Posisi anti
Trendelenburg tidak terlalu mengganggu respirasi.
Selama laparoskopi, tekanan end-tidal CO2 tidak bisa digunakan untuk
menggambarkan PACO2. Perbedaan P(a-ET)CO2 biasanya meningkat, namun dapat
pula menurun pada keadaan tertentu.
Komplikasi respirasi yang sering dijumpai adalah emfisema CO2 subkutis,
pneumotoraks-pneumomediastinum-pneumoperikardium, intubasi endobronkhial dan
emboli gas (1,3,4,5,7,8).
Efek terhadap Fungsi Ginjal
Oliguria sering terjadi selama bedah urologi laparoskopik. Selain karena
penyebab pre-renal seperti hipovolemia, penurunan output urin dapat disebabkan
karena ventilasi tekanan positif atau aplikasi tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP)
serta karena perubahan sekunder neurohumoral akibat hiperkarbia dan peningkatan
tekanan intraabdominal. Stimulasi simpatis merangsang pelepasan katekolamin dengan
efek adrenergik berupa penurunan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus.
Peningkatan sekresi hormon antidiuretik selanjutnya akan mendukung terjadinya
oliguria (1,4).
Efek terhadap Kepala, Leher dan Jalan Nafas

Anestesi pada Laparoskopi

12

Posisi Trendelenburg akan menyebabkan kongesti vena daerah kepala dan leher
yang dapat mengakibatkan terjadinya edema jalan nafas bagian atas termasuk
orofaring dan nasofaring pada akhir operasi.
Komplikasi insuflasi gas ekstraperitoneal, sering terjadi pada bedah laparaskopi
urologi, dapat menimbulkan emfisema retroperitoneal dan subkutis. Emfisema
subkutis yang meluas hingga kepala dan leher akan sangat mengganggu jalan nafas.
Ekstubasi dini harus dihindari dan perlu pemeriksaan foto toraks untuk menilai
kemungkinan terjadi pneumomediastinum dan pneumotoraks.
Peningkatan tekanan vena jugularis harus selalu diperhatikan pada posisi
Trendelenburg karena peningkatan tekanan intraabdomen dan intratoraks selanjutnya
akan meningkatkan pula tekanan cairan serebrospinal.
Kongesti pada mata dapat menyebabkan peningkatan ringan tekanan
intraokuler ( memperberat glaukoma ) dan terlepasnya retina (jarang) (1,4).
Efek terhadap Temperatur Tubuh
Efek vasodilatasi pembuluh darah kulit akibat hiperkarbia dan anestesia umum
ditambah dengan efek pendinginan (cooling effect) gas insuflasi CO2 pada dinding
peritoneum akan menyebabkan terjadinya hipotermia (1).
Efek Gastrointestinal
Hipoksia usus yang diukur dengan tekanan oksigen jaringan usus dapat timbul
selama insuflasi gas ( selain CO2 ) dengan tekanan tinggi. Peningkatan tekanan
intraabdominal pada laparoskopi secara mekanik menyebabkan menurunnya aliran
darah splanchnic, namun pada insuflasi CO2 efek tersebut terkoreksi karena CO2
memiliki efek langsung vasodilatasi splanchnic.
Efek / komplikasi gastrointestinal lain adalah aspirasi regurgitasi. Posisi
Trendelenburg dapat mencegah cairan regurgat masuk kedalam jalan nafas.
Perencanaan anestesi dengan pipa endotrakea dan dekompresi lambung dengan
pemasangan NGT akan lebih baik untuk mencegah refluks isi lambung (1,4,6,7,10).

Anestesi pada Laparoskopi

13

Kerusakan Saraf
Penekanan saraf merupakan komplikasi potensial selama posisi head-down.
Penyangga bahu perlu digunakan secara hati-hati agar tidak menekan pleksus
brakhialis. Posisi litotomi yang terlalu lama dapat menyebabkan sindroma kompartmen
ekstremitas bawah (4,10).

PENGELOLAAN ANESTESI
Evaluasi Preoperatif dan Premedikasi
Kontraindikasi

absolut

untuk

laparoskopi

adalah

koagulopati

dan

hemoperitonium. Kontraindikasi relatif diantaranya adalah penyakit kardiopulmoner


berat, obesitas berat, peritonitis dan obstruksi intestinal, hiatus hernia, hernia yang tak
terkoreksi, massa intraabdomen yang besar, operasi abdomen besar sebelumnya
dengan dugaan perlengketan intraabdominal, peningkatan tekanan intrakranial,
hipovolemia, pintas ventrikular peritoneal / peritoneojugular, glaukoma dan gagal
ginjal. Perlu diperhatikan pula pasien yang lama mendapat terapi obat acetazolamida
( suatu inhibitor anhidrase karbonik untuk glaukoma ) karena obat ini menurunkan
transport CO2 di susunan saraf pusat dan jaringan lain.
Pasien harus diberitahu kemungkinan perlunya operasi terbuka ( laparatomi ),
persiapan darah transfusi, puasa preoperatif dan pengosongan saluran cerna.
Premedikasi yang akan diberikan harus memperhatikan durasi laparoskopi dan
perlunya pemulihan yang cepat pada tindakan rawat jalan. Pemberian NSAID akan
membantu mengurangi nyeri pasca operasi dan kebutuhan opioid. Klonidin dan
deksmedetomidin perlu pula diberikan untuk menurunkan respon stres intraoperatif
dan meningkatkan stabilitas hemodinamik (1,3,4,10).
Persiapan, Pemantauan dan Posisi Pasien
Suatu jalur intravena dengan kateter besar dipasang dan direkomendasikan
untuk memberikan infus cairan kristaloid 3 5 cc/kgBB per jam pada pasien dewasa.

Anestesi pada Laparoskopi

14

Kehilangan cairan pada laparoskopi minimal, sehingga tidak dianjurkan pemberian


cairan berlebihan ( sekalipun sering timbul oliguria ) terutama pada pasien tua.
Apabila tersedia, stocking kompresi vena intermiten pada ekstremitas bawah
dengan tekanan hingga 40 mmHg dapat digunakan. Pasien diposisikan dengan hatihati untuk mencegah cedera saraf dimana penekanan saraf harus dihindarkan dengan
pemasangan bantalan-bantalan. Alat pemantauan standar adalah pemantau tekanan
darah arterial, laju jantung, elektrokardiograf, oksimetri denyut dan kapnograf untuk
mengukur end-tidal CO2. Kateter arteri radialis diperlukan pula untuk mengukur
tekanan CO2 arterial dan pH gas darah, terutama pada prosedur bedah yang lama dan
ekstensif. Kateter Folley untuk dekompresi kandung kemih dan monitor output urin
serta pipa nasogastrik untuk dekompresi lambung juga perlu dipasang. Peralatan
Doppler bila tersedia dapat digunakan untuk mendeteksi adanya emboli gas.
Pasien dimiringkan ( setelah induksi anestesi dan intubasi ) sesuai prosedur
operasi tidak lebih dari 15-20 derajat. Pemiringan dilakukan secara perlahan untuk
mencegah perubahan hemodinamik dan respiratorik yang mendadak. Posisi pipa
endotrakhea harus selalu diperiksa setiap kali terjadi perubahan posisi dan insuflasi
gas. Induksi dan penglepasan (release) pneumoperitoneum harus halus dan bertahap.
Ventilasi dengan sungkup sebelum intubasi dapat memasukkan gas kedalam lambung
sehingga harus diaspirasi sebelum penempatan trokar untuk mencegah perforasi gaster,
terutama untuk laparoskopi abdomen atas (1,3,4,5,6,7).

Teknik Anestesi
Anestesi Umum
Anestesia umum dengan intubasi endotrakhea dan ventilasi kontrol tekanan
positif merupakan teknik paling aman dan direkomendasikan untuk pasien rawat inap
dan prosedur laparoskopik lama. Selama pneumoperitoneum, ventilasi kontrol harus
selalu diatur untuk mempertahankan PET CO2 sekitar 35 mmHg. Hal ini membutuhkan

Anestesi pada Laparoskopi

15

peningkatan ventilasi semenit tidak lebih dari 15 25%, kecuali apabila ditemukan
emfisema CO2 subkutis. Peningkatan laju nafas lebih dianjurkan daripada menambah
volume tidal pada pasien PPOM, pasien dengan riwayat pneumotoraks spontan atau
emfisema bulosa untuk mencegah peningkatan inflasi alveolar dan resiko
pneumotoraks.
Agen anestetik yang langsung mendepresi jantung harus dihindari pada pasien
dengan gangguan fungsi jantung dan lebih dianjurkan yang mempunyai sifat
vasodilatasi seperti isofluran. Infus obat vasodilator seperti nikardipin akan
mengurangi reperkusi hemodinamik dari pneumoperitonium dan terpilih untuk pasien
dengan kelainan jantung. N2O tetap dapat dipergunakan. Kontribusi N2O dalam
menimbulkan distensi usus dan mual-muntah masih kontroversial. Hingga saat ini
tidak ada bukti keuntungan klinis apabila N2O tidak digunakan dalam laparoskopi.
Pilihan obat / teknik anestesi tampaknya bukan merupakan faktor utama yang
menentukan outcome pasien. Propofol misalnya, sedikit menimbulkan efek samping
pasca operasi, sementara isofluran paling tidak sensitif terhadap aritmia akibat
peningkatan katekolamin.
Tekanan intraabdominal harus selalu dipantau, dipertahankan serendah
mungkin, tidak lebih dari 20 mmHg, untuk mengurangi perubahan hemodinamik dan
respiratorik. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat dicegah dengan memastikan
kedalaman anestesia. Relaksasi otot sempurna pada laparaskopi tidak mutlak
diperlukan. Blokade neuromuskuler dengan pelumpuh otot non depolarisasi dapat pula
digunakan, karena bagaimanapun relaksasi otot abdomen yang cukup akan membantu
keadekuatan pneumoperitoneum pada insuflasi dengan tekanan lebih rendah dan dapat
mengurangi efek serta komplikasi akibat peningkatan tekanan intraabdominal. Agen
beraksi singkat seperti vekuronium atau atrakurium ideal untuk tindakan laparoskopi
singkat. Tindakan laparoskopi sangat berpotensi meningkatkan refleks tonus vagal
sehingga atropin harus diberikan sebelum induksi anestesia atau setidaknya siap
tersedia bila diperlukan. Narkotik dapat digunakan sebagai tambahan analgesi dengan
memperhatikan efek spasme sfingter Oddi yang dapat menyulitkan interpretasi
kolangiografi ( dapat dilawan dengan glukagon atau nalokson ).

Anestesi pada Laparoskopi

16

Sungkup laring sedikit menimbulkan nyeri tenggorokan dan dianjurkan sebagai


alternatif pengganti intubasi endotrakhea, meskipun peralatan ini tidak dapat
memproteksi jalan nafas dari aspirasi isi lambung. Penggunaan sungkup laring
membutuhkan ventilasi kontrol dan pemantauan PET CO2 yang akurat. Penurunan
komplians torakopulmoner selama pneumoperitoneum sering diikuti peningkatan
tekanan jalan nafas hingga melebihi 20 cmH 2O. Sungkup laring tidak dapat menjamin
ketertutupan jalan nafas ( airway seal ) diatas batas tekanan tersebut, sehingga
penggunaannya terbatas pada pasien yang sehat dan tidak gemuk.
Teknik nafas spontan dalam laparoskopi dianjurkan oleh beberapa ahli.
Kekurangan teknik ini adalah seringnya terjadi hiperkapnia, yang apabila dikombinasi
dengan halotan dapat menimbulkan aritmia serius. Tingginya tekanan CO2 pada pasien
dengan nafas spontan ini disebabkan oleh terjadinya depresi respirasi akibat obat
premedikasi / anestesi dan gangguan ventilasi akibat faktor mekanik seperti distensi
abdomen dan posisi Trendelenburg. Teknik nafas spontan lebih dipilih untuk
laparoskopi abdomen bawah dengan waktu singkat dan tidak dianjurkan untuk pasien
obesitas, kurang sehat dan pada prosedur tindakan yang lama.
Beberapa ahli menyatakan bahwa anestesia umum pada pasien dengan nafas
spontan tanpa intubasi dapat dikerjakan secara aman tanpa iritasi trakhea sama baiknya
dengan teknik pemberian pelumpuh otot. Teknik ini harus dibatasi hanya pada
prosedur laparoskopi singkat dengan tekanan intraabdominal rendah dan derajat
kemiringan head up- head down pasien yang kecil. Pada kasus seperti ini, penggunaan
sungkup laring dapat meningkatkan keamanan anestesia dan direkomendasikan untuk
laparoskopi dengan nafas spontan (1,3,4,6,10).
Anestesia Lokal dan Regional
Anestesia lokal memberikan beberapa keuntungan seperti pemulihan yang
lebih cepat, rendahnya kejadian mual-muntah pasca operasi, diagnosis komplikasi
yang lebih dini dan perubahan hemodinamik yang lebih sedikit. Sekuele anestesia
umum seperti nyeri tenggorokan, nyeri otot dan trauma jalan nafas dapat dihindarkan.
Teknik anestesi ini membutuhkan teknik bedah yang tepat dan lembut serta rawan

Anestesi pada Laparoskopi

17

menimbulkan kecemasan, nyeri dan perasaan tidak nyaman selama manipulasi organ
pelvis dan abdomen. Dengan alasan tersebut, anestesia lokal biasanya ditambah
dengan sedasi intravena. Efek kombinasi antara pneumoperitoneum dan sedasi ini
dapat menimbulkan hipoventilasi dan desaturasi oksigen arterial. Keberhasilan teknik
anestesia lokal sangat membutuhkan ketenangan dan kerjasama pasien, staf kamar
operasi yang mendukung dan ahli bedah yang trampil. Tekanan intraabdominal harus
serendah mungkin untuk mengurangi nyeri dan gangguan ventilasi. Teknik anestesia
lokal dapat diindikasikan untuk ligasi tuba laparoskopik. Prosedur laparoskopik lain
yang membutuhkan banyak lokasi tusukan, manipulasi organ, kemiringan head up
head down yang tajam dan volume pneumoperitoneum besar akan membuat
pernafasan spontan menjadi sulit bagi pasien dan menimbulkan ketidaknyamanan serta
tidak boleh dikelola dengan anestesia lokal.
Anestesia regional, termasuk teknik epidural dan spinal, dikombinasikan
dengan posisi head-down dapat digunakan pada laparoskopi ginekologi tanpa
ketidakseimbangan ventilasi yang mengganggu. Respon metabolik berkurang dengan
anestesia regional. Secara keseluruhan, anestesia epidural dan lokal saling membagi
keuntungan dan kekurangan. Anestesia regional memiliki keuntungan dalam hal
mengurangi kebutuhan sedatif dan narkotik, menghasilkan relaksasi yang lebih baik
dan dapat digunakan untuk prosedur laparoskopik selain sterilisasi. Nyeri bahu akibat
iritasi diafragma dan perasaan tidak nyaman karena distensi abdomen masih sering
dijumpai bila menggunakan anestesia epidural tunggal. Blok sensorik yang ekstensif
(T4-L5) cukup untuk bedah laparoskopi, namun dapat juga menjadi tidak nyaman bagi
pasien. Pemberian opiat dan atau klonidin epidural dapat membantu memberikan
analgesia yang adekuat. Efek hemodinamik pneumoperitoneum dengan anestesia
epidural belum pernah diteliti. Vasodilatasi dan tidak digunakannya ventilasi tekanan
positif dapat mengurangi perubahan kardiovaskuler selama pneumoperitoneum,
meskipun blok simpatis anestesia epidural dapat memfasilitasi timbulnya refleks vagal.
Kerjasama pasien, ahli bedah yang trampil dan berpengalaman serta rendahnya
tekanan intraabdominal dan kemiringan posisi sangat diperlukan untuk menjamin

Anestesi pada Laparoskopi

18

keberhasilan anestesia epidural. Teknik ini tidak dianjurkan untuk prosedur bedah yang
lama (3,4).
Pemantauan Pemulihan dan Pasca Operasi
Pemantauan hemodinamik harus tetap dilakukan di unit rawat pasca anestesia.
Perubahan hemodinamik akibat pneumoperitoneum, khususnya peningkatan tahanan
vaskuler sistemik, pulih kembali setelah pelepasan (release) pneumoperitoneum.
Keadaan hiperdinamik yang timbul setelah laparoskopi biasanya terjadi pada pasien
dengan penyakit jantung.
Berkaitan dengan penurunan fungsi pulmonal pasca operasi, PaO 2 masih
menurun setelah kolesistektomi laparoskopik. Kebutuhan oksigen meningkat setelah
laparoskopi, sehingga pemberian O2 suplemen tetap diperlukan pasca operasi,
sekalipun laparoskopi yang dilakukan termasuk prosedur bedah minor dan pasien
tersebut sehat. Pada periode pasca operasi awal, laju respirasi dan PET CO2 pada pasien
dengan nafas spontan lebih tinggi dibandingkan pasien dengan operasi terbuka.
Apabila pasien mengalami hiperkarbia, gas darah harus dipantau hingga normal
kembali, khususnya bila dijumpai pula adanya emfisema subkutis. Jalan nafas harus
dipantau secara ketat setelah ekstubasi.
Diuresis spontan biasanya terjadi di unit rawat pasca anestesia setelah fase
oliguria intraoperatif. Pencegahan dan pengobatan mual, muntah dan nyeri pasca
operasi sangat penting diperhatikan, terutama pada prosedur laparoskopi rawat jalan
(1,3,4)

DAFTAR PUSTAKA
1. Weingram J. Laparoscopic and laser surgery. In: Malhotra V (ed). Anesthesia for
renal and genito-urologic surgery. New York : McGraw-Hill 1996 : 151 76

Anestesi pada Laparoskopi

19

2. Smith TC, Collins VJ. Physiology and pharmacology of carbon dioxide. In:
Collins VJ (ed). Physiologyc and pharmacologic bases of anesthesia. Baltimore :
Williams-Wilkins 1996 : 496 512
3. Black. Anaesthesia for laparoscopic assisted surgery. In: Healy TEJ, Cohen PJ
(eds). Wylie and Churchill-Davidsons a practise of anaesthesia. 6 th ed. Boston :
Edward Arnold 1995 : 1391 6
4. Joris JL. Anesthesia for laparoscopic surgery. In: Miller RD (ed) Anesthesia. 5th ed.
Philadelphia : Churchill Livingstone 2000 : 2003 17
5. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology. 2 nd ed. Stamford : Appleton &
Lange 1996 : 450 2
6. Bogod DG. Anaesthesia for gynaecological, genitourinary and orthopaedic
surgery. In: Aitkenhead AR, Smith G (eds). Textbook of anaesthesia. 3 rd ed. New
York : Churchill Livingstone 1996 : 471 80
7. Stoelting RK, Dierdof SF. Anesthesia and co-existing disease. 3rd ed. New York :
Churchill Livingstone 1993 : 272 3
8. Wadlington JS. Anesthesia for obstetrics and gynecology. In: Davison JK,
Eckhardt WF, Perese DA (eds). Clinical anesthesia procedures of the
Massachusetts General Hospital. 4th ed. Boston : Little Brown & Co 1993 : 472
9. Halperin ML, Goldstein MB. Fluid, electrolyte, and acid-base physiology. 2 nd ed.
Philadelphia : WB Saunders Co 1994: 187 200
10. Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN. Lees synopsis of anaesthesia. 12 th ed.
Oxford : Butterworth-Heinemann 1999 : 547 - 9

You might also like