You are on page 1of 21

Memahami Takdir Secara Adil

admin
February 4, 2015
Artikel Khutbah Jumat
Khutbah Pertama:





.
:
.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Bagi sebagian orang, memahami masalah takdir tidaklah mudah. Buktinya, dalam hal ini banyak
di antara kaum muslimin yang terjebak pada salah satu di antara dua kutub kesesatan yang saling
berlawanan.
Pertama: Kesesatan Jabariyah. Yaitu golongan yang berlebihan dalam masalah takdir hingga
menganggap bahwa manusia tidak memiliki kehendak dan tidak memiliki pilihan untuk berbuat.
Semua serba dipaksa oleh Allah, laksana gerakan getar tubuh yang tidak dapat dikendalikan oleh
pemiliknya.
Kedua: Kesesatan Qadariyah. Yaitu golongan yang berlebihan menolak takdir hingga semua
kegiatan manusia tidak dicampuri oleh Allah Azza wa Jalla dan kehendak-Nya.
Mengapa demikian? Sebab dalam memahami takdir, sebagian orang lebih banyak berpijak pada
asas logika. Padahal masalah takdir termasuk perkara ghaib yang tidak akan dapat dijangkau
detail-detailnya hanya berdasarkan logika. Bukan wilayah logika untuk memahami takdir dengan
tuntas. Ia harus dipahami berdasarkan wahyu dan keimanan. Ketika takdir sudah terjadi pun,
kadang orang tidak mampu menangkap hikmah yang terkandung di baliknya.
Yang pasti, takdir Allah Azza wa Jalla harus diimani sebagaimana orang mengimani ketetapan
syariat-Nya. Keduanya merupakan ketetapan Allah Subhanahu wa Taala. Ketika orang
menjalankan ketetapan-ketetapan syariat Allah Subhanahu wa Taala dan mengimaninya,
misalnya syariat shalat, orang juga harus mengimani ketetapan takdir Allah Azza wa Jalla,
misalnya takdir hidup, mati, laki-laki, perempuan, sakit, miskin, dan takdir-takdir lainnya.
Karena semuanya berasal dari Allah Subhanahu wa Taala, Pencipta alam semesta dan penetap
syariat bagi sekalian hamba-Nya.

Iman kepada takdir merupakan salah satu rukun dan asas keimanan di antara rukun Iman yang
enam. Barangsiapa yang mengingkari takdir, maka ia bukanlah seorang mukmin yang
sesungguhnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Malaikat Jibril Alaihissallam
tentang Iman, Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

.
Iman ialah jika engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasulNya, hari akhirat, dan jika engkau beriman kepada takdir, baiknya dan buruknya. (HR. Muslim).
Jadi orang yang beriman adalah orang yang beriman kepada takdir, dan beriman kepada rukunrukun iman lainnya. Sebab, takdir merupakan kekuasaan, kewenangan dan kehendak Allah Azza
wa Jalla. Iman kepada takdir, tidak bisa dipisahkan dengan Iman kepada Allah Azza wa Jalla dan
kepada rukun-rukun iman yang lain. Semua saling terkait erat. Maka orang yang beriman kepada
Allah Subhanahu wa Taala, kepada Malaikat-malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya,
dan hari akhirat, harus pula beriman kepada takdir.
Sebagaimana halnya nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla serta masalah ghaib lainnya, takdir
juga merupakan masalah yang diluar jangkauan akal manusia. Maka kebenaran dalam
memahami takdir harus sesuai dengan petunjuk wahyu yang datangnya dari Allah Azza wa Jalla,
Dzat yang Maha menentukan takdir bagi segala sesuatu. Bukan dengan petunjuk logika atau
perasaan orang yang serba terbatas.
Sama halnya ketika orang mengimani Allah Subhanahu wa Taala, nama-nama dan sifat-Nya
pun, harus berdasarkan wahyu. Demikian pula ketika orang menjalankan dan mengimani syariat,
juga harus sesuai dengan petunjuk wahyu. Dan di antara wahyu Allah Subhanahu wa Taala
adalah Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sebab Beliau adalah utusan-Nya yang
dipercaya untuk menerima dan menyampaikan wahyu-Nya, baik berupa Alquran maupun
Sunnah.
Dalam hal ini Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

.
Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi wahyu Alquran, dan yang semisal Alquran (Sunnah)
didatangkan bersamanya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Hadits ini menunjukkan bahwa ada wahyu lain yang datang bersama Alquran, yaitu Sunnah Nabi
shallallahu alaihi wa sallam.
Kaum muslimin rahimani wa rahimakumullah,

Supaya seorang Muslim bisa benar dalam memahami dan mengimani takdir, maka ia harus
memahami dan mengimani empat peringkat (perkara) takdir secara benar, seperti dinyatakan
oleh para Ulama.
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Syifaul Alil, menyatakan, Bab kesepuluh
tentang peringkat-peringkat Qadha dan Qadar. Barangsiapa tidak mengimani peringkatperingkat ini berarti ia belum beriman kepada Qadha dan Qadar.
Di bawahnya beliau menjelaskan peringkat-peringkat tersebut, beliau katakan: peringkat takdir
ada empat:
Pertama: Mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Taala mengetahui segala sesuatu sebelum
kejadiannya.
Kedua: Mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Taala menuliskan segala sesuatu itu (di Lauh
Mahfuzh) sebelum kejadiannya.
Ketiga: Mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Taala Maha menghendaki kejadian segala
sesuatu itu.
Keempat: Mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Taala pasti menciptakan dan mengadakan
segala sesuatu yang telah diketahuinya itu.
Itulah empat peringkat atau empat perkara yang hakikatnya merupakan takdir itu sendiri.
Artinya, ketetapan takdir Allah pada hakikatnya tidak lepas dari ilmu pengetahuan Allah Azza wa
Jalla terhadap segala sesuatu semenjak sebelum segala sesuatu itu ada, kemudian apa yang
diketahuinya ini dituliskan di Lauh Mahfuzh, selanjutnya apa yang diketahui dan dituliskan itu
pasti dikehendaki terjadinya oleh Allah Azza wa Jalla . Terakhir, Allah Subhanahu wa Taala
pasti menciptakan dan mengadakan apa yang telah diketahui dan dikehendaki-Nya itu.
Takdir baik ataupun buruk, iman atau kufur, semuanya merupakan takdir Allah. Sebab Allah
Azza wa Jalla sudah mengetahui sebelumnya bahwa itu akan terjadi dan sudah dituliskannya di
Lauh Mahfuzh. Dengan demikian, maka pasti Allah menghendaki terjadinya, dan jika Allah
menghendaki, pasti Allah akan mengadakannya.
Tidak mungkin Allah menghendaki suatu kejadian sedangkan sebelumnya Allah tidak tahu. Atau
mengetahui bahwa sesuatu akan terjadi, tetapi kemudian Allah menghendaki lain. Misalnya,
seseorang yang sudah diketahui Allah bahwa ia akan mati kafir, maka tidak mungkin Allah Azza
wa Jalla menghendaki agar ia tidak mati dalam keadaaan kafir. Sebab antara ilmu dan kehendakNya tidak mungkin saling berlawanan; Tidak mungkin apa yang diketahui-Nya bertentangan
dengan apa yang dikehendaki-Nya. Maha suci Allah dari hal-hal yang demikian. Tidak mungkin
dalam wilayah kekuasaan-Nya terjadi sesuatu yang diluar kehendak-Nya.
Tetapi perlu dipahami bahwa sesuatu yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla tidak selalu identik
dengan sesuatu yang di sukai dan dicintai-Nya. Tidak setiap yang Allah Subhanahu wa Taala

kehendaki terjadi, pasti Allah Azza wa Jalla sukai. Misalnya, homoseksual terjadi dengan
kehendak Allah Azza wa Jalla, tetapi Allah tidak menyukai kemasiatan itu.
Fakta yang semacam ini banyak sekali contohnya. Itulah yang disebut dengan iradah kauniyah,
kehendak Allah yang bersifat takdir. Salah satu contohnya adalah pencurian. Pencurian tidak
akan terjadi tanpa kehendak kauniyah Allah Azza wa Jalla. Buktinya, banyak pencurian yang
gagal meskipun sudah dengan perhitungan yang super teliti. Sebab, Allah tidak menghendaki
pencurian itu terjadi.
Maka terjadinya pencurian adalah karena kehendak Allah, tetapi apakah lantas berarti pencurian
itu diridhai oleh Allah Azza wa Jalla? Tentu tidak. Jadi tidak setiap yang Allah Azza wa Jalla
kehendaki terjadi, pasti Allah sukai.
Empat peringkat itu sangat banyak dalilnya, baik dari Alquran maupun Sunnah yang shahih. Dan
bahkan merupakan kesepakatan seluruh para Nabi Allah dan kitab-kitab-Nya.
Oleh sebab itu, berkaitan dengan empat peringkat takdir tersebut, Imam Ibnu al-Qayyim
selanjutnya menjelaskan, ringkasnya antara lain sebagai berikut:
Adapun yang pertama, yaitu bahwa Allah Subhanahu wa Taala sudah terlebih dahulu
mengetahui segala sesuatu sebelum segala sesuatu itu terjadi. Ini sudah menjadi kesepakatan
seluruh Rasul Allah Subhanahu wa Taala, mulai dari Rasul Allah yang pertama hingga Rasul
Allah penutup. Demikian pula telah menjadi kesepakatan seluruh Sahabat Nabi shallallahu
alaihi wa sallam serta umat Islam sesudahnya yang mengikuti jejak mereka. Yang menyelisihi
kesepakatan mereka adalah golongan Majusinya umat Islam ini. Dan penulisan segala sesuatu di
Lauh Mahfuzh sebelum kejadiannya, membuktikan bahwa Allah sudah mengetahui segala
sesuatu itu sebelum kejadiannya.
Beliau juga mengatakan hal yang sama tentang peringkat kedua, ketiga, dan keempat, tentang
penulisan takdir segala sesuatu di Lauh Mahfuzh, tentang kehendak Allah bagi terjadinya segala
sesuatu dan tentang penciptaan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Bahwa hal itu semua juga
sudah merupakan kesepakatan seluruh rasul Allah dan kesepakatan semua kitab-Nya yang
diturunkan kepada para rasulNya.
Di antara dalil-dalilnya yang sangat banyak antara lain firman Allah Subhanahu wa Taala,




Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat, dan Dialah
yang menurunkan hujan (yang mengandung berkah), dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.
Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa hasil yang diusahakannya
besok, dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui, Maha Mengenal. (QS. Luqman:34).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,









:








.

Kunci-kunci perkara ghaib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah: Tidak ada
yang mengetahui apa yang terjadi esok kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui apa yang
berkurang dari rahim kecuali Allah, tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan hujan datang
kecuali Allah, tidak ada seorang pun yang mengetahui di bumi mana ia mati, dan tidak ada yang
mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah. (HR. Bukhari dan lainnya).
Dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
.(.. ) :
Kunci-kunci perkara ghaib ada lima. Lalu Beliau shallallahu alaihi wa sallam membaca
firman Allah (Luqman/31: 34): Sesungghnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan
tentang hari kiamat,. (HR. Bukhari).
Allah Subhanahu wa Taala juga berfirman,




Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali
Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun
pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam
kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab
yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Al-Anam: 59).
Juga firman-Nya,



Bukankah engkau mengetahui bahwa Allah Maha Mengetahui apa-apa yang ada di langit
maupun bumi. Sesungguhnya yang demikian itu sudah tertulis di dalam sebuah kitab (Lauh
Mahfuzh). Sesungguhnya penulisan yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. Al-Hajj: 70).
Dua ayat di atas merupakan sebagian dalil tentang penulisan takdir segala sesuatu di Lauh
Mahfuzh, sekaligus juga dalil tentang ilmu Allah terhadap segala sesuatu. Tidak ada sesuatupun
yang tersembunyi bagi Allah, dan tidak ada sesuatupun yang tidak tertuliskan di Lauh Mahfuzh.
Penulisan itu sangatlah mudah bagi Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda antara lain,



. : .

Allah telah menuliskan ketetapan takdir bagi segenap makhluk-Nya lima puluh ribu tahun
sebelum Dia menciptakan langit-langit dan bumi. Nabi bersabda: Dan (waktu itu) Arsy-Nya
sudah ada di atas air. (HR. Muslim).
Demikianlah kekuasaan Allah dalam menetapkan takdir bagi makhluk-Nya. Dia berkuasa atas
segala sesuatu. Ilmu-Nya meliputi segala hal. Dialah Rab kita, falaa haula walaa quwwata illaa
billaah..


.
Khutbah Kedua:



.
:
.
Kaum muslimin rahimakumullah
Ada banyak hikmah yang terkandung dalam beriman kepada takdir, diantaranya bahwa, beriman
kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Di samping itu juga merupakan
sempurnanya keyakinan seseorang terhadap tauhid Rububiyah Allah Azza wa Jalla . Kemudian,
dengan beriman kepada takdir, akan terwujud tawakkal yang benar kepada Allah tanpa
mengabaikan usaha-usaha. Pun orang akan merasa tenang dalam kehidupannya karena
memahami bahwa apa yang menimpanya pasti memang harus menimpanya, dan apa yang tidak
akan menimpanya pasti tidak akan menimpanya.
Dengan beriman kepada takdir, orang juga tidak akan membanggakan diri sendiri ketika berhasil
memperoleh sesuatu yang diinginkannya, dan tidak akan merasa sangat sedih ketika gagal
memperolehnya. Sebab ia memahami bahwa kesuksesannya memperoleh sesuatu tidak lain
kecuali karena ketetapan takdir dari Allah Azza wa Jalla . Sedangkan usaha yang ia lakukan
hingga berhasil mendapatkan sesuatu, bukan lain karena usaha itu merupakan sebab yang
dimudahkan oleh Allah baginya. Adapun ketika gagal memperoleh sesuatu, iapun memahami
bahwa itu adalah ketetapan Allah, sehingga ia ridha menerimanya.
Allah Subhanahu wa Taala telah mengisyaratkan dua sikap di atas; tidak bangga terhadap diri
sendiri ketika sukses meraih cita-cita, dan tidak sedih secara berlebihan ketika gagal meraih
sukses, dalam firman-Nya,





Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah
tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu
mudah bagi Allah . Agar kamu tidak bersedih hati terhadap yang luput dari kamu, dan tidak pula
menjadi bangga terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Al-Hadid: 22-23).
Demikianlah, sebenarnya sangat mudah memahami dan mengimani takdir Allah secara benar,
yaitu hanya dengan tunduk kepada wahyu, dan tidak mendewakan akal. Akal harus tunduk
kepada wahyu, bukan wahyu tunduk kepada akal. Sementara mengimani takdir tidak berarti
meniadakan usaha, karena melakukan usaha merupakan perintah, sedangkan antara perintah dan
takdir tidak bertentangan sama sekali. Wallahu al-Muwaffiq

:

))
:

]:

.((


.


.
.
:

.
(Diadaptasi dari tulisan Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin di majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun
XVI/1433H/2012M).
www.KhotbahJumat.com

Description: khutbah jumat singkat tentang qada dan qadar, khutbah jumat tentang takdir,
memahami takdir hidup, khutbah jumat takdir, khutbah singkat tentang qadha dan qadar
Keywords: khutbah, jumat, tentang, iman, kepada, taqdir, memahami, takdir, allah, qadha, dan,
qadar, download, file, qada
https://khotbahjumat.com/3103-memahami-takdir-secara-adil.html

Kesialan dan Keberuntungan


admin
February 11, 2015
Artikel Khutbah Jumat
Khutbah Pertama:



))

))((


))((

.(( :

.


Maasyiral mukminin,
Allah Jalla wa Ala berfirman mengabarkan tentang keadaan Firaun dan kaumnya:


Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: Itu adalah karena
(usaha) kami. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada
Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah
ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Al-Araf: 131).
Agama Islam adalah agama yang memotivasi agar pemeluknya menjadi seorang yang optimis.
Agama Islam adalah agama kegembiraan dan kebahagiaan. Kebahagiaan tersebut terwujud
dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Taala dan berserah diri kepada-Nya. Kepada-Nya
lah berserah diri orang-orang yang bertawakkal. Dan kepada-Nya orang-orang bertakwa
mengusahakan amal ibadah mereka.
Sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diutus, manusia hidup dalam kejahiliyahan
yang fanatik dan kesesatan yang buta. Suara burung dapat menghalangi mereka dari sesuatu,
karena anggapan sial. Mereka hidup dalam khurofat dan hawa nafsu yang mungkar. Dan di
antara kebiasaan jahiliyah tersebut yang dilarang oleh Islam adalah sifat pesimis karena
anggapan sial.
Pesimis dan merasal sial adalah lawan dari anugerah dan keberkahan. Anggapan sial adalah
sebuah sikap yang menunjukkan prasangka buruk kepada Allah Subhanahu wa Taala.
Sedangkan optimis artinya berprasangka baik kepada-Nya. Dan seorang mukmin adalah orang
yang berprasangka baik kepada Allah Taala dalam setiap keadaan.

Syariat Islam datang dengan melarang tathayyur. Karena hal ini termasuk bentuk pesimis yang
disebabkan melihat atau mendengar sesuatu. Dan ini juga merupakan bentuk keyakinan yang
lemah dari orang-orang yang berbuat syirik. Mereka tidak bertawakal kepada Allah Azza wa
Jalla.
Tathayyur adalah anggapan sial karena melihat atau mendengar bunyi burung, kijang, bintang,
atau selainnya. Apa yang mereka lihat dan dengar menghalangi mereka dari aktivitas yang
mereka niatkan. Maka syariat Islam datang menghapuskan hal ini. Islam menekankan bahwa
yang demikian sama sekali tidak berdampak dalam mendatangkan manfaat dan menolak bahaya.
Yang demikian hanyalah keyakinan-keyakinan yang tidak berdasar sama sekali.
Allah Azza wa Jalla berfirman,


Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Al-Araf: 131).
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Taala menjelaskan bahwa tathayyur adalah
amalannya orang-orang musyrikin. Dan perbuatan itu dicela oleh syariat. Dahulu, kaum Firaun
apabila mereka ditimpa pacek kelik dan kemarau panjang, mereka sangka bahwa musibah dan
bala itu karena Musa dan kaumnya yang membawa sial. Sebagaimana dalam firman Allah,


Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan
orang-orang yang besertanya. (QS. Al-Araf: 131).
Maka Allah bantah mereka dengan firman-Nya,


Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Al-Araf: 131).
Yakni musibah yang menimpa mereka merupakan qadha dan qadar yang telah Allah tetapkan
disebabkan kekufuran, dosa, dan pengingkaran mereka terhadap risalah yang dibawa Nabi Musa
alaihissalam. Setelah itu Allah sifati mayoritas mereka sebagai orang-orang yang bodoh.
Musa alaihissalam adalah utusan Rabb semesta alam. Ia datang dengan membawa kebaikan,
keberkahan, dan kemenangan bagi siapa yang beriman dan mengikutinya.
Allah Azza wa Jalla berfirman,

Mereka menjawab: Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang
besertamu. Shaleh berkata: Nasibmu ada pada sisi Allah, (bukan kami yang menjadi sebab),
tetapi kamu kaum yang diuji. (QS. An-Naml: 47).
Allah Subhanahu wa Taala juga menjelaskan keadaan orang-orang musyrik di selain zaman
Nabi Musa. Ketika mereka ditimpa musibah, maka mereka merasa pesimis dan menyangka
bahwa sebab musibah tersebut datangnya dari para rasul.

Mereka menjawab: Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. (QS. Yasin: 18).
Allah bantah mereka dengan mengatakan,

Rasul-rasul itu berkata: Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. (QS. Yasin: 19).
Tidaklah orang-orang musyrik itu ditimpa musibah yang telah Allah tetapkan dengan qadha dan
qadar-Nya, kecuali dikarenakan dosa-dosa mereka. Para rasul datang dengan kebaikan dan
keberkahan bagi orang-orang yang mengikuti mereka.
Dalam sebuah hadits yang muttafaqun alaih, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,



Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada tiyaroh (mengkaitkan nasib buruk
dengan apa yang dilihat atau didengar), tidak ada burung yang menunjukkan akan ada anggota
keluarga yang mati, dan tidak ada kesialan di bulan shafar (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Imam Muslim ada tambahan lafadz,


Tidak benar juga meyakini bintang, dan tidak pula mempercayai hantu.
Kehidupan pada masa jahiliyah, dipenuhi dengan hal-hal yang berbau klenik dan khurofat.
Ketika Islam datang, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membuang jauh-jauh keyakinan
demikian dengan sabdanya Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya).
Penyakit itu tidak menular dengan sendirinya, akan tetapi ia menular atas takdir dan ketetapan
dari Allah Subhanahu wa Taala. Hadits yang menjelaskan bahwa penyakit tidak menular dengan
sendirinya ini, tidak bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang lain.
Semisal sabda beliau,

Menjauhlah (menghindarlah) dari penyakit kusta sebagaimana engkau menjauh dari


singa.(HR. al-Bukhari dan yang lainnya).
Hadits ini menjelaskan agar seseorang bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Taala dengan
cara berusaha menjauhi musibah tersebut. Dan Allah Azza wa Jalla berfirman,


Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (QS. Al-Baqarah: 195).
Dan di antara bentuk khurofat lainnya yang terjadi di masa jahiliyah adalah pesimis dengan
sesuatu yang mereka dengar di suatu tempat. Jika ada bunyi burung tertentu di sebuah rumah,
maka penghuni rumah itu merasa akan ditimpa kesialan dan musibah. Mereka berkeyakinan
salah seorang di antara mereka penghuni rumah akan meninggal. Dan Nabi shallallahu alaihi
wa sallam menepis keyakinan ini dengan mengatakan,


Tidak ada tiyarah (mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau didengar) dan tidak
ada burung yang menunjukkan akan ada anggota keluarga yang mati.
Burung adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Taala yang tidak memiliki campur tangan dalam
urusan ketetapan takdir-Nya. Suatu ketika ada burung tertentu yang lewat lalu berkicau, maka
seseorang berkata akan datang kebaikan dan kebaikan. Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma
berkata, Tidak ada keberuntungan (karena burung itu) dan tidak juga keburukan. Beliau
mengingkari keyakinan demikian.
Di antara bentuk pesimis dan anggapan sial yang lainnya adalah anggapan sial dengan angka.
Biasanya angka 13 dijadikan angka sial. Inilah keyakinan orang-orang Nasrani. Ada lagi
anggapan sial pada hari tertentu. Kemudian juga anggapan sial atau tidak beruntung ketika orang
menyatukan jari-jari tangan kanan dan jari-jari tangan kiri (tasybiq). Atau benda tertentu pecah.
Atau tanggal pernikahan. Dll.
Bentuk anggapan sial lainnya adalah anggapan sial kepada seseorang. Seperti perkataan: Fulan
wajahnya membawa sial. Atau juga anggapan sial pada warna. Seperti warna hitam karena
dianggap warna kesedihan dan duka cita.
Demikian juga orang-orang yang membuka Alquran saat mereka akan berdagang atau bersafar.
Mereka berkeyakinan akan mendapatkan keberuntungan. Apabila saat membuka Alquran,
mereka langsung menemukan ayat-ayat yang bercerita tentang surga, maka mereka yakin akan
dapat keberuntungan. Mereka pun dengan percaya diri dan optimis melakukan aktivitasnya.
Namun apabila berjumpa dengan ayat-ayat tentang neraka, mereka pun tidak berani melanjutkan
atau mengurungkan safarnya.

Ini sama persis dengan amalan orang-orang jahiliyah yang mengundi nasib dengan anak panah.
Di antara bentuk khurofat orang-orang jahiliyah juga adalah anggapan sial pada bulan-bulan
tertentu seperti bulan Shafar. Orang-orang jahiliyah juga tidak mengadakan resepsi pernikahan di
bulan-bulan tertentu. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberantas keyakinan
demikian dengan sabda beliau yang telah khatib sebutkan



Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada tiyaroh (mengkaitkan nasib buruk
dengan apa yang dilihat atau didengar), tidak ada burung yang menunjukkan akan ada anggota
keluarga yang mati, dan tidak ada kesialan di bulan shofar (HR. Bukhari dan Muslim).
Bulan Shafar itu sama dengan bulan-bulan lainnya. Tidak memiliki pengaruh terhadap ketetapan
takdir Allah.
Orang-orang jahiliyah juga memiliki keyakinan yang menyimpang tentang bintang-bintang.
Mereka berkeyakinan letak-letak bintang atau bintang tertentu menentukan datangnya hujan.
Mereka juga berkeyakinan kalau ada hantu yang bisa mencelakakan mereka. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam menghapus keyakinan demikian dengan sabdanya,


Tidak benar juga meyakini bintang, dan tidak pula mempercayai hantu.
Bintang tidak berpengaruh sama sekali pada turunnya hujan. Bintang dan juga setan atau hantu
tidak akan mampu menyesatkan dan mencelakakan seseorang kecuali atas izin Allah. Dan
seorang muslim disyariatkan untuk berlindung dari kejelekannya.




.
Khutbah Kedua:



.
:
Ibadallah,
Wajib bagi kaum muslimin menjauhkan dan menjaga diri dari keyakinan-keyakinan batil seperti
yang telah khotib sebutkan. Kaum muslimin wajib bertawakal hanya kepada Allah dan bersandar
kepada-Nya. Di tangan Allah lah segala ketentuan yang terjadi. Tidak ada yang bisa
menangkalnya.

Maasyiral mukminin,
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,

.
Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah) dan
tidak dibenarkan beranggapan sial. Sedangkan al-falu membuatkan takjub. Para sahabat
bertanya, Apa itu al-falu? beliau bersabda,Kalimat yang baik thayyib. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Anggapan sial hanya memandang jelek dan pesimis. Misalnya seseorang berkeinginan untuk
menikah atau bersafar, kemudian dia melihat atau mendengar sesuatu yang membuatnya
khawatir atau benci, ia pun membatalkan keinginannya tadi. Hukum yang demikian adalah
syirik. Karena yang demikian sama saja berburuk sangka kepada Allah Subhanahu wa Taala.
Hal seperti ini hanyalah was-was dan khayalan. Dimana hati bersandar kepada selain Allah Azza
wa Jalla.
Adapun al-falu yakni kalimat-kalimat yang baik, terjadi karena adanya sifat optimis dan merasa
lapang. Ia merasa mudah dan kuat rasa harapnya kepada Allah Subhanahu wa Taala. Seperti
seorang yang menderita sakit, kemudian ia mendengar seseorang berkata kepadanya wahai
orang yang sehat, maka di hatinya akan tertanam energi positif. Ia yakin akan sembuh dari
sakitnya.
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam takjub dengan orang yang memiliki sifat al-falu.
Karena ia memasukkan kebahagiaan kepada hati seseorang tanpa bersandar kepada dirinya. Yang
demikian dianjurkan dalam agama kita karena menanamkan prasangka baik kepada Allah
Subhanahu wa Taala. Allah Taala berfirman,

Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahankesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. (QS. Ath-Thalaq: 5).



) : .


Diterjemahkan dari khotbah Jumat Syaikh Sulthan bin Abdurrah al-Id dengan judul (at-Tafa-ul
)wa Tasya-um
Oleh tim KhotbahJumat.com
Artikel www.KhotbahJumat.com

Description: warna keberuntungan menurut islam, kesialan menurut islam, dalil tentang
keberuntungan, tasyaumkesialan dalam islam, warna keberuntungan dalam islam
Keywords: hukum, mempercayai, hoki, menurut, islam, kesialan, dalam, ayat, alquran,
keberuntungan, khutbah, jumat, sebab
https://khotbahjumat.com/3106-kesialan-dan-keberuntungan.html

Kedudukan Akal Dalam Islam


admin
February 11, 2015
Nasehat
1 Comment

Khutbah Pertama:





.
:
.
Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla, yang telah menganugerahkan kepada umat manusia hati
nurani, yang dengannya mereka menjadi berakal, mampu berfikir, merenung, dan membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman,




Dialah yang menjadikan kalian memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kalian
bersyukur. (QS. An-Nahl: 78).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, Allah Azza wa Jalla
memberikan mereka telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan hati -yakni akal yang
tempatnya di hati- untuk membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan
Dan Allah Azza wa Jalla memberikan umat manusia kenikmatan-kenikmatan ini, agar
dengannya mereka dapat beribadah kepada Rabb-nya.
Shalawat dan salam, semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa
sallam, sang teladan yang telah mendorong umatnya, untuk terus meningkatkan kemampuan
akalnya dalam memahami agama ini, sebagaimana dalam sabdanya,

Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan dipahamkan dalam
agamanya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu pula dalam sabdanya,

Orang yang paling baik di masa jahiliyyah, adalah orang yang paling baik setelah masuk Islam,
jika mereka menjadi seorang yang faqih (ahli dan alim dalam ilmu syariat). (HR. Bukhari dan
Muslim).
Ibadallah,
Lihatlah bagaimana Rasul shallallahu alaihi wa sallam memberikan dorongan kepada umatnya
untuk menjadi muslim yang benar-benar memahami syariat Islam, dan itu tidak mungkin dicapai,
kecuali dengan memanfaatkan sebaik mungkin akalnya.
Perlu diketahui bahwa sebagian ulama membagi akal menjadi dua jenis yaitu akal insting dan
akal tambahan. Akal insting adalah kemampuan dasar manusia untuk berfikir dan memahami
sesuatu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan akal tambahan adalah kemampuan berfikir dan
memahami, yang dibentuk oleh pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, Jika dua akal ini berkumpul pada seorang hamba,
maka itu merupakan anugerah besar yang diberikan oleh Allah kepada hamba yang dikehendakiNya, urusan hidupnya akan menjadi baik, dan pasukan kebahagiaan akan mendatanginya dari
segala arah.
Tentunya adanya pembedaan dua jenis akal di atas, tidak berarti adanya pemisah antara akal
insting dengan akal tambahan. Karena akal tambahan pada dasarnya adalah akal insting yang
telah berkembang seiring bertambahnya ilmu dan pengalaman yang diperoleh seseorang. Bisa
dikatakan, bahwa akal tambahan melazimkan adanya akal insting. Sebaliknya, sangat jarang
adanya akal insting yang tidak berkembang seiring berjalannya waktu, wallahu alam.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Akal merupakan karunia agung yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada bani Adam. Ia
adalah pembeda antara manusia dengan hewan, dengannya mereka dapat terus berinovasi dan
membangun peradaban, dan dengannya mereka dapat membedakan mana yang bermanfaat dan
mana yang berbahaya sesuai jangkauan akal mereka.
Karena besarnya karunia akal ini, Islam menggariskan banyak syariat untuk menjaga dan
mengembangkannya, seperti:

Mengharamkan apapun yang dapat menghilangkan akal, baik makanan,


minuman, ataupun tindakan. Juga memberikan hukuman khusus berupa
cambuk, bagi mereka yang sengaja makan atau minum apapun yang
memabukkan.

Memasukkan akal dalam lima hal primer yang harus dijaga dalam syariat
Islam, yakni: agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.

Menjadikannya sebagai syarat utama taklif (kewajiban dalam syariat). Oleh


karena itu, ada batasan baligh, karena orang yang belum baligh biasanya
kurang sempurna akalnya. Oleh karena itu pula, semua orang yang hilang
akalnya, bebas atau gugur kewajibannya menjalankan syariat.

Menganjurkan, bahkan mewajibkan umatnya untuk belajar. Lalu memberikan


derajat yang tinggi bagi mereka yang berilmu dan mengamalkan ilmunya.

Melarang umatnya membaca bacaan atau mendengarkan perkataanperkataan, yang dapat menyesatkannya dari pemahaman yang benar.

Semua hal di atas digariskan oleh Islam, terutama untuk menjaga nikmat akal, mensyukurinya,
dan mengembangkannya. Bahkan dalam Alquran, sangat banyak kita dapati ayat-ayat yang
mendorong manusia agar memanfaatkan akalnya untuk hal-hal yang berguna, terutama untuk
mencari hakikat kebenaran. Berikut ini, merupakan sebagian kecil dari contoh ayat-ayat tersebut:

Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Dia pula yang mengatur pergantian malam dan
siang. Tidakkah kalian menalarnya?! (QS. Al-Mukminun: 80).



Katakanlah: samakah antara orang yang buta dengan orang yang melihat?! Tidakkah kalian
memikirkannya?! (QS. Al-Anam: 50).


Perhatikanlah, bagaimana kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda kekuasaan Kami, agar
mereka memahaminya! (QS. Al-Anam: 65).

Tidakkah mereka merenungi Alquran?! Sekiranya ia bukan dari Allah, pastilah mereka
menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya. (QS. An-Nisa: 82).






Tidakkah kalian memperhatikan pada onta, bagaimana ia diciptakan? Dan pada langit,
bagaimana ia ditinggikan? Dan pada gunung-gunung, bagaimana itu ditegakkan? Dan pada
bumi, bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah
pemberi peringatan. (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20).
Kaum muslimin rahimakumullah,

Betapa pun jenius dan tingginya kemampuan akal, tetap saja ia merupakan salah satu dari
kekuatan manusia. Dan tidak bisa kita pungkiri bahwa semua kekuatan manusia pasti memiliki
batasan dan titik lemah. Tidak lain, itu disebabkan karena sumber kekuatannya adalah makhluk
yang lemah, dan sumber yang lemah, tentu akan menghasilkan sesuatu yang ada lemahnya pula.
Di antara bukti adanya titik lemah pada akal manusia, adalah adanya banyak hakikat yang tidak
bisa dijelaskan olehnya, seperti: hakikat ruh, mimpi, jin, mukjizat, karamah, dan masih banyak
lagi. Belum lagi, seringnya kita dapati adanya perubahan pada hasil penelitiannya; dahulu
berkesimpulan dunia ini datar, lalu muncul teori bulat, lalu muncul teori lonjong. Dahulu
mengatakan minyak bumi adalah sumber energi tak terbarukan, lalu muncul teori sebaliknya.
Dahulu mengatakan matahari mengitari bumi, lalu muncul teori sebaliknya, dan begitu
seterusnya.
Kenyataan ini menunjukkan, bahwa akal tidak layak dijadikan sebagai sandaran untuk
menetapkan kebenaran hakiki. Apabila ada sumber kebenaran hakiki yang diwahyukan, maka
itulah yang harus dikedepankan, sedangkan akal diberi ruang untuk memahami dan menerima
dengan apa adanya.
Oleh karenanya kaum muslimin rahimakumullah-, Islam memberi ruang khusus bagi akal, ia
hanya boleh menganalisa sesuatu yang masih dalam batasan jangkauannya, ia tidak boleh
melewati batasan tersebut, kecuali dengan petunjuk nash-nash yang diwahyukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, Akal merupakan syarat dalam
mempelajari semua ilmu. Ia juga syarat untuk menjadikan semua amalan itu baik dan sempurna,
dan dengannya ilmu dan amal menjadi lengkap. Namun (untuk mencapai itu semua), akal
bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tapi akal merupakan kemampuan dan kekuatan
dalam diri seseorang, sebagaimana kemampuan melihat yang ada pada mata. Maka apabila akal
itu terhubung dengan cahaya iman dan Alquran, maka itu ibarat cahaya mata yang terhubung
dengan cahaya matahari atau api.
Ibadallah,
Karena kenyataan ini, maka hendaklah kita mengetahui batasan-batasan akal, sehingga kita tahu,
kapan kita boleh melepas akal kita di lautan pandangan, dan kapan kita harus mengontrolnya
dengan wahyu Allah Azza wa Jalla. Ini merupakan bentuk lain dari penghormatan Islam
terhadap akal. Islam menempatkannya pada posisi yang layak, sekaligus menjaganya agar tidak
terjatuh ke dalam jurang kesesatan yang membingungkan.
Di antara beberapa hal, yang kita tidak boleh mengedepankan akal dalam membahasnya adalah:

Hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan perkara-perkara ghaib. Seperti


menetapkan atau menafikan Nama dan Sifat Allah Azza wa Jalla, surga dan
neraka, nikmat dan siksa kubur, jin dan setan, malaikat, keadaan hari kiamat,
dan lain-lain.

Dasar-dasar akhlak dan adab yang tidak bertentangan dengan syariat,


seperti adab makan dan minum, adab buang hajat, akhlak terhadap orang
tua, sesama, dan anak kecil, dan lain-lain.

Ajaran syariat Islam, terutama dalam masalah ibadah, seperti menetapkan


atau menafikan syariat shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dan lain-lain.

Dalam perkara-perkara ini, memang dibutuhkan akal untuk memahami, merenungi, dan
menyimpulkan suatu hukum dari dalil, tapi akal tidak boleh keluar dari dalil yang ada, ia tidak
boleh menentangnya, ataupun mengada-ada.
Adapun yang berhubungan dengan alam semesta yang kasat-mata, maka itulah lautan luas yang
diberikan kepada akal manusia untuk terus menganalisa dan meneliti, terus menemukan dan
mengolahnya. Inilah yang banyak disinggung dalam firman-firman Allah Subhanahu wa Taala:



Tidakkah mereka memperhatikan kerajaan langit dan bumi, serta segala sesuatu yang diciptakan
Allah?! (QS. Al-Araf: 185).




Di bumi itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang yakin dan juga pada
diri kalian sendiri, tidakkah kalian memperhatikannya?! (QS. Adz-Dzariyat: 20-21).





Maka tidakkah mereka memperhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana cara Kami
membangun dan menghiasinnya dan tidak ada keretakan sedikitpun padanya? Dan
(bagaimana) bumi Kami hamparkan, Kami pancangkan di atasnya gunung-gunung yang kokoh,
dan Kami tumbuhkan di atasnya tanaman-tanaman yang indah Agar menjadi pelajaran dan
peringatan bagi setiap hamba yang kembali (tunduk kepadaNya). (QS. Qaf: 6-8).
Demikianlah syariat Islam menegaskan fungsi akal bagi manusia. Ia tidak dilebih-lebihkan
dengan menganggapnya serba bisa, karena hakikatnya memang akal memiliki batasan. Ia juga
tidak diremehkan, karena dengannya juga syariat bisa diterima dan ditalar.
.
.
Khutbah Kedua:

.


:
.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Setelah kita memahami uraian sebelumnya, tentu kita akan sampai pada kesimpulan, bahwa akal
merupakan nikmat yang sangat agung, namun ia bukanlah segalanya. Kita harus
menempatkannya pada tempat yang layak, dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak
bisa dijangkau olehnya.
Jika ada keterangan wahyu dalam masalah apapun, maka itulah yang harus didahulukan, dan
akal harus menyesuaikan dengannya, memahaminya, dan menerimanya dengan apa adanya.
Memang, kadang keterangan wahyu menjadikan akal tertegun, namun ia tidak akan
menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil.
Akhirnya, khotib tutup khotbah yang singkat ini dengan perkataan yang layak ditorehkan dengan
tinta emas, dari salah seorang ulama besar Islam, beliau adalah Ibnu Abil Izz rahimahullah
dalam Syarah Aqidah Thahawiyyah:

,
, ,

, ,
, ,

,
,
Telah datang keterangan dalam banyak hadits yang telah mencapai derajat mutawatir, tentang
adanya adzab kubur dan nikmatnya bagi orang yang berhak, serta pertanyaan kubur bagi mereka
yang mukallaf. Maka itu wajib diyakini dan diimani kebenarannya, dan kita tidak boleh
membicarakan tentang gambaran detailnya, karena memang akal tidak boleh menerka gambaran
detailnya, demikian itu, karena akal tidaklah menyaksikan kecuali dunia yang ada ini. Dan
syariat tidak akan datang dengan sesuatu yang dimustahilkan akal, meski kadang datang dengan
sesuatu yang membingungkannya.
Mudah-mudahan khotbah yang singkat ini bermanfaat, terutama bagi penulis sendiri, dan
umumnya bagi para jamaah sekalian.
-


- :
:




)) :
] [56:

. ((





.




.


. .

.




.





} . { }.

. {
:

.
(Diadaptasi dari tulisan Ustadz Musyafa di majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun
XVI/1433H/2012M).
www.KhotbahJumat.com

Description: khutbah jumat akal dan wahyu, akal dalam syariat, khutbah jumat jangan
menafsirkan al wuran dg akal
https://khotbahjumat.com/3108-kedudukan-akal-dalam-islam.html

You might also like