You are on page 1of 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Complete Spinal Transection (Transeksi Medula Spinalis) merupakan


kerusakan total medula spinalis akibat lesi transversal yang menyebabkan
hilangnya seluruh fungsi neurologis medula spinalis di bawah area yang terkena.
Fungsi neurologis yang dimaksud adalah sensoris, motoris, dan otonom.
Manifestasi yang paling terasa oleh penderita adalah kelumpuhan (disfungsi
motorik). Definisi asia menyebutkan bahwa Complete injury merupakan
hilangnya fungsi sensoris dan motoris di segmen sacral terakhir (S4-S5), disebut
dengan klasifikasi ASIA A. (Jacob. 2004)
Complete spinal transection (CST) merupakan salah satu penyakit yang
mengakibatkan kelumpuhan kedua kaki. CST paling sering diakibatkan oleh
trauma kecelakaan kendaraan bermotor. Dengan berkembangnya ilmu pengobatan
modern, 94% pasien dapat bertahan hidup dengan raawat inap awal, dibandingkan
pada tahun 1927 ketika perang dunia pertama, hingga 80% korban dengan cedera
medula spinalis meninggal dalam beberapa minggu pertama akibat komplikasi.
(John. 1994)
Prognosis kelumpuhan pada cedera tulang belakang termasuk buruk, karena
regenerasi neuron hampir bisa dikatakan mustahil terjadi. Karenanya, penanganan
cedera medula spinalis lebih dititikberatkan pada pencegahan primer dan
sekunder. Pada makalah ini akan dibahas Complete Spinal Transection (CST)
yang mengakibatkan manifestasi lumpuh kedua kaki (paraplegia).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Complete Spinal Transection merupakan kerusakan pada spinal
atau tulang belakang - kerusakan pada setiap bagian dari sumsum tulang
belakang atau saraf pada akhir kanal tulang belakang - sering
menyebabkan perubahan permanen dalam kekuatan, sensoris dan fungsi
tubuh lainnya di bawah tempat cedera (Mayo Clinic Staff, 2012). Menurut
NINDS (2012) cedera tulang belakang adalah kerusakan dimulai pada saat
cedera fragmen tulang, bahan disc, memar atau robek ligamen menekan
jaringan saraf tulang belakang. Cedera spinal dapat merusak sebagian atau
semua bagian dari spinal cord.
Masalah: lumpuh kedua kaki (paraplegia). Complete Spinal
Transection (Transeksi Medula Spinalis) memiliki gejala paraplegia yang
kelumpuhannya bersifat LMN dan topisnya berasal dari medula spinalis.

B. EPIDEMIOLOGI
Menurut Corke (1995) prevalensi dari 20 sampai 40 per juta.
Dalam 12.000 kasus baru Amerika Serikat per tahun. Kematian 50%.
Kelompok usia muda (15-24 tahun). Insiden lengkap turun dari angka
65% ke 45%. Hal ini kemungkinan karena manajemen ditingkatkan.
Penyebab utama adalah jatuh, olahraga, dan berbagai kecelakaan.
Alkohol dan penyalahgunaan obat merupakan faktor yang berperan.
Faktor lokal tertentu mempengaruhi cedera kejadian tersebut. Di
Malaysia dan Singapura kelapa jatuh di atas kepala buruh adalah
penyebab yang relatif umum. Luka tembak adalah penyebab utama
paraplegia di California. Menurut Dahlberg (2005) prevalensi
penderita yang terkena penyakit ini sekitar 57% dari seluruh pasien
yang menderita cedera tulang belakang. Laki-laki lebih banyak terkena
dibandingkan perempuan 3:1. Umur yang paling sering terkena adalah
31 tahun.
Kejadian pertahun cedera tulang belakang diperkirakan pada
30 sampai 40 per 1.000.000 orang, dengan sekitar 8.000 hingga 10.000
kasus baru per tahun. Prevalensinya sekitar 900-950 per 1.000.000,
dengan sekitar 250.000 pasien sekarang di Amerika Serikat. Angka
kematian diperkirakan sebesar 48%, sekitar 80% dari kematian terjadi
di tempat kecelakaan. Setelah masuk rumah sakit, kematian
diperkirakan sebesar 4% sampai 17%. Cedera yang paling umum
terjadi pada C-5 diikuti oleh C-4 dan C-6. Tingkat yang lebih rendah
paling umum adalah T-12 diikuti oleh L-1 dan T-10. Penderita yang
terkenal cedera spinal (Marotta, 2000).

C. KLASIFIKASI
1. TMS Cervical
TMS (Transeksi Medula Spinalis) cervical, di atas Ver. C.III
fatal karena dapat menghilangkan fungsi N. frenikus dan N.
interkostales secara total sehingga dapat menghentikan pernapasan.
Pasien hanya akan dapat bertahan apabila diberikan ventilasi buatan
dalam beberapa menit setelah trauma penyebabnya. Keadaan ini
sangat jarang dijumpai. Gejala lain: nyeri hebat di occiput dan leher,
bisa diikuti oleh gejala N. V. Transeksi pada tingkat cervical di
bawahnya

(C5-C6)

dapat

menyebabkan

quadriparesis

dengan

keterlibatan otot-otot intercostal, pernapasan dapat sangat terganggu.


Muscle wasting: deltoid, biceps, brakhioradialis, infraspinatus,
supraspinatus, rhomboideus. (M. Baehr. 2010)
Autonomic

dysreflexia

peningkatan

tekanan

darah

abnormal, berkeringat, dan respon otonom lainnya terhadap gangguan


sensoris.

Ketidakmampuan

untuk

meregulasi

tekanan

darah,

pengeluaran keringat, dan suhu tubuh.


2. TMS Thoraks
TMS Thoraks bagian atas tidak mengganggu ekstrimitas atas
tapi mengganggu pernapasan dan menimbulkan ileus paralitik melalui
keterlibatan N. splankhnikus. Cidera di atas T6 menimbulkan
autonomic dysreflexia (kehilangan regulasi kranial) hipertensi,
retensi urin/alvi, berkeringat, nyeri kepala. TMS thoraks bagian bawah
tidak mengganggu otot abdomen dan pernapasan.

3. TMS Lumbal

TMS Lumbal sering menyebabkan gangguan yang berat karena


diikuti kerusakan arteri utama yang menyuplai medulla spinalis bagian
bawah, arteri radikularis mayor (Adamkiewicz). Hasilnya adalah
infark seluruh medulla spinalis lumbalis dan sakralis.
Efek cedera medula spinalis lumbal menyebabkan disfungsi
kandung kemih, usus, dan seksual.
4. Sindrom Epikonus
Sindrom epikonus isebabkan lesi medulla spinalis setinggi L4S1: kelemahan rotasi eksterna panggul, ekstensi panggul, fleksi lutut,
fleksi dan ekstensi pergelangan kaki dan jari-jari kaki. Reflek Achilles
menghilang,

reflek

lutut

tetap

ada,

potensi

seksual

hilang,

pengosongan kandung kemih dan rectum secara refleksif, kemampuan


berkeringat hilang sementara.
5. Sindrom Konus
Sindrom konus disebabkan oleh lesi medulla spinalis S3 ke
bawah. Sering disebabkan oleh tumor spinal, iskemia atau herniasi
diskus lumbal yang masif. Menifestasi: arefleksia detrusor
inkontinensia overflow, retensi urin, inkontinensia alvi, impotensi,
saddle anesthesia, hilangnya reflek ani. Ekstrimitas bawah tidak
paresis dan reflek Achilles tetap ada.

Adapun klasifikasi dari cedera spinal menurut Corke (1995) adalah:


1. Hiperfleksi.

Biasanya hasil dari pukulan ke bagian belakang kepala atau deselerasi kuat
yang mungkin terjadi dalam MVA itu. Mereka biasanya stabil dan jarang
berhubungan dengan cedera neurologis.
2. Hiperfleksi-rotasi.
Gangguan kompleks ligamen posterior terjadi dan meskipun serviks cedera
akar saraf tulang belakang adalah umum stabil dan tidak biasanya
berhubungan dengan kerusakan saraf tulang belakang.
3. Kompresi vertikal atau beban aksial.
Tergantung pada besarnya kekuatan kompresi, berkisar cedera akibat
hilangnya tinggi badan vertebral dengan margin relatif utuh, untuk
menyelesaikan gangguan tubuh vertebral. Perpindahan posterior fragmen
comminuted dapat mengakibatkan, menghasilkan cedera tulang. Meskipun
cedera tulang tulang belakang biasanya stabil.
4. Hiperekstensi.
Biasanya hasil dari pukulan ke bagian anterior dari kepala atau dari cedera
whiplash. Dua kali yang biasa seperti cedera fleksi dan lebih sering dikaitkan
dengan kerusakan saraf. Kekerasan hiperekstensi dengan fraktur pedikel C2
dan maju gerakan C2 pada C3 menghasilkan "fraktur Hangman itu" tersebut.
5. Ekstensi-rotasi.
Terlihat pada cedera menyelam. Karena kolom anterior dan posterior yang
terganggu cedera ini keduanya tidak stabil dan dikaitkan dengan tingginya
insiden disfungsi pita.
6. Fleksi lateral.
Sering dikaitkan dengan ekstensi dan fleksi pada cedera.

D. ETIOLOGI
Complete Spinal Transection / Transeksi Medula Spinalis (TMS) dapat
disebabkan oleh:
a. Kompresi Medula Spinalis:
i. Fraktur kompresi
ii. Tumor
iii. Herniasi diskus
iv. Spondylosis
v. Epidural abcess
vi. Pott disease (TB spinal)
vii. Oklusi arteri
b. Systemic degeneration
i. Multiple sclerosis
ii. Motor Neuron disease
iii. Subacute combined degeneration of cord
c. Infeksi
i. Transverse myelitis
1. Akut: Staphylococcal, Kronis: Tuberculous,

Syphilitic

(Neurosyphilis=Tabes Dorsalis)
2. Parasit: Hydatid, Cysticercosis, Schistosomiasis, Falciparum
Malaria
3. Viral: Thypus Fever, Spotted Fever
4. Fungal: Cryptococcus, Actinomycosis, Coccidiomycosis
d. Autoimun
i. Guillain-Barre Syndrome (paraplegia without sensory loss)
ii. Kelainan autoimun
iii. Sindrom post-vaksin (Rabies, Tetanus, Polio)

E. PATOFISIOLOGI
Cedera hasil dari dampak dan kompresi saraf tulang belakang yang
mengakibatkan

kerusakan

pada

pembuluh

darah

intramedullary

menyebabkan perdarahan di sentral zona abu-abu dan kemungkinan


adanya vasospasme. Trauma primer jarang mengakibatkan complete

spinal injury meskipun kehilangan fungsional secara sempurna. Cedera


primer tidak dapat diobati dan hanya dapat dicegah dengan program
pendidikan yang bertujuan untuk mengurangi angka kejadian. Akibat
suatu trauma mengenai tulang belakang, seperti jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas, kecelakan olahraga. Kerusakan dapat berakibat
terganggunya peredaran darah, blok syaraf, pelepasan mediator kimia,
kelumpuhan otot pernafasan, nyeri hebat dan akut anestesi. Pemburukan
klinis

dapat

diatasi

dengan oksigenasi,

perfusi dan asam-basa

keseimbangan yang diperlukan untuk mencegah memburuknya cedera


spinal (Sheerin, 2005).
Respon awal setelah adanya trauma yang menyebabkan SCI adalah
stimulasi simpatis yang hebat dan aktivitas reflek parasimpatis yang
biasanya bertahan 3 4 menit dan dimediasi oleh reseptor alfaadrenergik. Efek hemodinamik yang ditimbulkan adalah severe
hypertension, reflek bradikardi atau takiaritmia. (Dumont. 2001)
Setelah respon awal ini muncul defisit fungsi neurologi yang disebut
spinal shock yang ditandai dengan flaccid paralysis bersamaan dengan
menghilangnya

seluruh

reflek

di

bawah

lesi

termasuk

reflek

bulbocavernosus. Paralisis flasid di GI tract dan kandung kemih


menyebabkan ileus dan retensi urin. Hilangnya inervasi autonomik
menyebabkan vasodilatasi pada area yang terkena. Lesi di atas T5
menyebabkan bradikardi dan hipotensi arterial akibat terputusnya inervasi
simpatis yang menuju ke jantung. Fase spinal shock ini berlangsung
beberapa minggu dan bisa sampai berbulan-bulan.
Fase spinal shock diikuti fase peningkatan spastisitas otot dan
munculnya kembali reflek spinal (hyperreflexia phase). Awalnya gerakan
spastik spontan pada pasien dikira gerakan sadar dan menyebabkan

kesalahan asesmen proses penyembuhan. Biasanya aktifitas hiperefleksia


ini ditandai dengan peningkatan ekstrim tekanan darah arteri selama
manipulasi kandung kemih dan saluran cerna dan diakibatkan oleh
hilangnya inhibisi dari aktifitas reflek di daerah di bawah level lesi.
(Gbandi. 2005)
Patofisiologi kerusakan sel neuron pada medula spinalis dimulai dari
cedera primer. Mekanisme cedera primer dibagi menjadi empat:
a. Tumbukan ditambah dengan kompresi yang menetap;
b. Tumbukan saja, tanpa kompresi;
c. Distraksi; dan
d. Laserasi atau transeksi. Laserasi atau transeksi merupakan bentuk
akhir dari mekanisme primer cedera.
Berbagai jenis cedera primer ini menyebabkan hipoksia dan iskemia
jaringan yang akhirnya berujung pada infark yang diawali oleh substansia
grisea (gray matter) medula spinalis. Neuron-neuron yang melawati
daerah ini secara fisik terputur dan mengalami penipisan myelin.
Transmisi saraf juga lama kelamaan akan terputus oleh karena
microhemorrhage atau edema di sekitar daerah cedera. Dalam satu jam
gray matter rusak secara irreversibel, sedangkan white matter dalam 72
jam. (Dumont, 2001)
Cedera medula spinalis dapat menyebabkan neurogenic shock (perfusi
jaringan yang inadekuat akibat dari kelumpuhan input vasomotor),
ditandakan dengan bradikardi, hipotensi, dan hipotermia dengan
penurunan resistensi kapiler dan penurunan cardiac output. Hal ini bisa
memperparah kerusakan jaringan saraf. (Dumont. 2001)

10

Seperti dijelaskan sebelumnya peran vaskular dapat memperparah


cedera medula spinalis. Venul dan kapiler rusak di sekitar tempat cedera
baik ke arah rostral maupun kaudal akibat cedera mekanis awal.
Keberlanjutan iskemik postrauma ini tergantung dari kemampuan aliran
darak. Vasospasme sering terjadi akibat trauma langsung. Trombosis
intravaskular dapat juga berkontribusi pada iskemik postrauma ini.
Kelainan autoregulasi homeostasis (penurunan kemampuan memelihara
aliran darah pada cakupan tekanan yang luas) dapat memperparah iskemia
akibat hipoperfusi sistemik (neurogenic shock) atau dapat juga
memperparah perdarahan dengan peningkatan tajam tekanan darah
sistemik. Proses reperfusi dapat memperparah cedera dan kematian sel
akibat dihasilkannya radikal bebas dan produk toksik lainnya (cedera
sekunder). (Dumont. 2001)
Kekacauan biokimia bersamaan dengan gangguan cairan dan
elektrolit berperan utama dalam mekanisme sekunder pada cedera akut
medula spinalis. Neurotransmiter excitator dilepaskan dan terkumpul dan
hal ini menyebabkan kerusakan langsung pada jaringan medula spinalis
bersamaan dengan kerusakan tidak langsung akibat dari produksi ROS
dan RNS, juga dari perubahan fungsi mikrosirkulasi dan iskemia
sekunder.glutamat, neurotransmiter excitatory utama di CNS, dilepaskan
secara eksesif setelah cedera.
Aktivasi reseptor NMDA dan AMPA-kainate penting dalam
mennyebabkan iskemia. Proses ini disebut excitotoxicity yaitu aktivasi
eksesif reseptor glutamat yang menyebabkan cedera neuron. Lebih lanjut,
proses ini menyebabkan akumulasi awal natrium intraseluler, sehingga
menyebabkan edema sitotoksik dan asidosis intraseluler. Kegagalan NaK-ATPase memperparah penumpukan air dan natrium intrasel dan
hilangnya kalium ekstrasel. Sebagai tambahan, kalsium intrasel

11

menumpuk dan menyebabkan perubahan fisiologi dan kerusakan yang


akan datang. Akumulasi kalsium intrasel ini disebut sebagai hasil akhir
toxic cell death di CNS.
Konsentrasi tinggi ion kalsium dalam sel berkontribusi dalam
kerusakan sekunder melalui berbagai mekanisme.
a. Bekerjasama dengan fungsi mitokondria. Keterkaitan ini berperan
dalam menghambat respirasi sel yang sebelumnya sudah terganggu
oleh hipoksia dan iskemia.
b. Stimulasi penyusunan calpain, fosfolipase A2, lipooksigenase dan
siklooksigenase.
c. Aktivitas dan ekspresi calpain meningkat pada sel-sel glia dan
inflamasi di penumbra pada lesi medula spinalis. Calpain dapat
menghancurkan struktur penting di CNS termasuk protein di unit
akson-myelin.
d. Calcium-dependent protease dan kinse lainnya menghancurkan
membran sel dan berakibat pada larutnya komponen ultrastruktur sel
seperti neurofilament.
e. Aktivasi Lipase, lipooksigenase, siklooksigenase mengakibatkan
konversi asam arakhidonat menjadi tromboksan, prostaglandin,
leukotrien, dan peningkatan level metabolit-metabolit ini.
f. Peningkatan asam arakhidonat yang lambat berhubungan dengan
penghambatan Na-K-ATPase dan edema jaringan.
g. COX-1 menumpuk menyebabkan penurunan aliran darah dan
menyebabkan agregasi platelet serta vasokonstriksi.

12

h. Semuanya ini menyebabkan respon inflamasi dan peroksidasi lipid dan


akhirnya kerusakan membran sel
i. Peroksidasi lipid menyebabkan pembentukan radikal bebas. Lingkaran
ini terus berputar kecuali bila dihentikan dengan entioksidan endogen
seperti vitamin E dan SOD.
Setelah cedera, regulasi homeostasis oleh sel glia gagal, menyebabkan
asidosis jaringan dan proses excitotoxic. Aktivitas sel glia yang lain yang
berfungsi untuk membuang debris sel menyebabkan peningkatan
oksidatif tertentu dan enzim lisosom yang menyebabkan kerusakan sel
lebih lanjut. Pada fase awal infiltrasi neutrofil mendominasi. Pelepasan
enzim lisis dari leukosit dapat memperparah kerusakan neuron, sel glia
dan pembuluh darah. Fase kedua berkaitan dengan rekrutmen dan migrasi
makrofag yang memfagosit jaringan yang rusak.
Mekanisme ekstrinsik (receptor dependent) apoptosis sel dipengaruhi
sinyal TNF. Mekanisme intrinsik (receptor independent) dipengaruhi
sinyal intraseluler saat konsentrasi kalsium dalam sel tinggi menginduksi
kerusakan mitokondria, pelepasan sitokrom c, dan aktivasi caspase.
Kerusakan mitokondria dapat menyebabkan kematian sel secara
langsung maupun tidak langsung melalui toleransi kepada stress seluler.
Trauma pada CNS menyebabkan gangguan respirasi dan fosforilasi
oksidatif. (Dumont. 2001)

13

CEDERA PRIMER

Faktor sistemik: syok


neurogenik, gagal napas

Peradangan

FAKTOR LOKAL
Dampak vaskular
Microglia
Peningkatan
permeabilitas

Kegagalan
autoregulasi:
vasospasm,
thrombosis,
hemorrhage

Neutrofil
Release Glutamat
Sitokin
Edema interstisial dan compresi
medula

EKSITOTOKSISITAS
ISCHEMIA

Aktivasi reseptor glutamat:


NMDA, metabotrobik
IL6, TNF, IL1

Perubahan pada potensial


membran dan aktivasi kanal ion

Perubahan pada
ekspresi gen

ROS

APOPTOSIS

Reperfusi/
reoksigenasi
KEMATIAN SEL

Kerusakan membran
sel

14

CEDERA PRIMER

Faktor sistemik: syok


neurogenik, gagal napas

FAKTOR LOKAL:
dampak vaskular,
kerusakan membran,
kompresi medula,
release glutamat,
edema, peradangan
Pembengkakan sel

ISKEMIA
Vasospasme

Gambar 1. Patofisiologi
Spinal energi
Cord Injury (Penekanan pada Peran Faktor Lokal)
O , Kegagalan
2

glukosa
Depolarisasi
membran

Ca 2+ INTRASEL
Lipolisis
Aktivasi caspase dan
calpain

ROS

Kerusakan mitokondria

Transisi permeabilitas,
release sitokrom C

produksi ATP

Kerusakan oksidatif protein,


lipid, DNA dan degradasi
membran

Proteolisis dan
kerusakan sitoskeleton

APOPTOSIS

KEMATIAN SEL

15

Gambar 2. Patofisiologi Spinal Cord Injury (Penekanan pada Peran Iskemia)


F. TANDA DAN GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala yang dapat timbul menurut AANS (2005):

Ekstrim nyeri atau tekanan di leher, kepala atau punggung

Kesemutan atau hilangnya sensasi di tangan, jari, kaki, tangan atau


kaki

Parsial atau lengkap kehilangan kontrol atas setiap bagian dari tubuh

Kemih atau usus urgensi, inkontinensia, atau retensi

Kesulitan dengan keseimbangan dan berjalan

Abnormal-band seperti sensasi di dada - nyeri, tekanan

Gangguan pernapasan setelah cedera

Benjolan di kepala atau tulang belakang

16

Transeksi Medula Spinalis menyebabkan terputusnya jaras sensoris


dari bawah level lesi dan jaras desendens dari atas lesi seperti terlihat pada
Gambar 3.
(Gregory. 2008) Meskipun kelainan sensoris mencakup seluruh modalitas
terjadi di bawah level lesi, letak lesi sebenarnya dapat diketahui dari
adanya nyeri radikuler atau parestesia yang segmental.
Kelemahan, baik itu paraplegia maupun tetraplegia muncul di
bawah level lesi akibat terputusnya jaras corticospinal desenden. Awalnya
paralisis bisa berupa flaccid dan arefleksif akibat spinal shock.
Selanjutnya muncul hipertonus, hiperrefleksia, paraplegia atau tetraplegia
disertai dengan menghilangnya reflek dinding abdomen dan cremaster.
Pada level lesi muncul manifestasi Lower Motor Neuron (paresis, atrofi,
fasciculasi, dan arefleksia) pada distribusi segmentalnya.
Disfungsi sfingter rektal dan uretral yang

menyebabkan

inkontinensia, disfungsi seksual dan tanda-tanda disfungsi otonom


(anhidrosis, perubahan tropis kulit, kegagalan mengontrol suhu tubuh, dan
ketidakstabilan vasomotor) dibawah level lesi juga muncul. (Gregory.
2008)

Gambar 3. Modalitas Neurologis yang Terganggu pada Spinal Cord Injury


dan Tanda serta Gejala Klinis Spinal Cord Injury

17

G. PEMERIKSAAN FISIK
1. Inspeksi: deformitas pada tulang belakang (akibat trauma, proses
destruktif neoplasma atau infeksi)
2. Palpasi: nyeri radikuler, krepitasi, tenderness di tulang belakang
(akibat trauma, proses destruktif neoplasma atau infeksi)
3. Pemeriksaan khusus sensoris: menggunakan pinprick dan sentuhan
ringan pada tubuh (Gambar 5)
4. Pemeriksaan khusus motoris: pasien diminta menggerakan kelompok
otot sesuai dengan miotom masing-masing radiks medulla spinalis.
( VIH.2001) (Tabel 1)

18

Gambar 4. Titik-titik Lokasi Pemeriksaan Pinprick dan Sentuhan Ringan Pada Tubuh

Tabel 1. Otot-otot Kunci untuk Pemeriksaan Neurologis

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Wexner Medical Center (2012) pemeriksaan yang dapat
digunakan pada penyakit ini adalah:
1. Plain foto: Cervical, thoraks, abdomen/lumbal (AP/Lat) untuk melihat
adanya fraktur vertebrae. Dapat ditambah posisi Odontoid (open
mouth), Swimmers view (untuk melihat C7 dan T1).
Tanda degenerasi spina:

2.
3.
4.
5.

Ruang intervertebral menyempit


Foramina intervertebral menyempit
Bentukan osteofit
Pelebaran foramina
Darah lengkap, urin lengkap
Pungsi Lumbal analisis CSF
MRI Vertebral: merupakan definitive imaging technique
Neurofisiologi: EMG (untuk memeriksa continuitas myelin dan akson)

19

6. Tes perspirasi menilai fungsi saraf otonom

I.

DIAGNOSIS
1. Anamnesa
a. Cara kejadian: trauma, riwayat infeksi
b. Usia muda: penyakit bawaan
c. Usia tua: keganasan
d. Durasi: akut (GBS, transverse myelitis, kompresi), kronis
(MND, polyneuropathy, muscle dystrophy)
e. Gangguan sfingter retensi urin/alvi
f. Nyeri radikuler
g. Keluhan unilateral/bilateral
h. Nyeri kepala
i. Nyeri punggung
2. Pemeriksaan fisik
a. Kesadaran lesi cerebral/spinal shock
b. Meningeal sign tanda infeksi meningen
c. Penilaian skor ASIA (motoris dan sensoris)
d. Pemeriksaan tonus otot, reflek fisiologis dan reflek patologis
3. Pemeriksaan penunjang
a. Tes perspirasi menilai fungsi saraf otonom

20

b. Analisis CSF
c. X-ray cervical, thoracal, lumbal, sacral (AP/Lat/Obl)
menilai abnormalitas tulang
d. MRI vertebrae menilai abnormalitas medula spinalis
(jaringan lunak)

J.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding Transeksi Medula Spinalis adalah penyakitpenyakit yang dapat bermanifestasi paraplegia yang berasal dari medula
spinalis seperti dapat dilihat pada Tabel 2. (Scheweinkreis. 2006)

21

Tabel 2. Differential Diagnosis Paraplegia


DDx. Penyakit-penyakit dengan manifestasi Paraplegia dengan tipe LMN
maupun yang berasal dari Cerebri. (Scheweinkreis. 2006):
1. Lesi LMN
a. Poliomyelitis

22

b. MND
c. Myasthenia gravis
d. Muscular dystrophy
2. Lesi UMN cerebral:
a. Tumor
b. Thrombosis
c. Hydrocephalus

K. TERAPI
Pengobatan pasien tulang belakang meliputi lima tahap:

perawatan darurat dengan memperhatikan sirkulasi, saluran napas


paten, sesuai imobilisasi tulang belakang, dan mengirim ke pusat
khusus;

pengobatan masalah medis umum (misalnya, hipotensi, hipoksia,


poikilothermy, ileus),

keselarasan tulang belakang,

dekompresi bedah dari sumsum tulang belakang, jika diindikasikan

program rehabilitasi terstruktur dengan baik.


Manajemen pra-rumah sakit sangat penting dalam mencegah

komplikasi lebih lanjut. Cedera sekunder dari spinal dapat diakibatkan


oleh hipotensi, hipoksia, imobilisasi tulang belakang, ekstrikasi yang
buruk, pemantauan pasien dalam perjalanan ke rumah sakit, dan
ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan dokter di pusat trauma atau

23

yang menerima. Traksi serviks harus ditunda sampai bagian radiologis. Di


pusat trauma, ABC ditinjau: saluran napas, pernapasan, dan sirkulasi.
Selain itu, D dan E telah ditambahkan, mewakili, disability dan exposure
(Marotta, 2000).
Kecacatan mengacu pada penilaian status neurologis, dan paparan
menunjukkan bahwa penghapusan semua pakaian diperlukan untuk
pemeriksaan lengkap. Karena cedera tulang dapat mengakibatkan
hilangnya nada simpatik dengan vasodilatasi perifer, bradikardia, dan
hipotensi, kerusakan iskemik sekunder dapat memperburuk cedera tulang
belakang akibat penyebab mekanik. Pengobatan meliputi administrasi
cairan infus untuk mencegah overload cairan, alpha-agonis, dan, kadangkadang,

intravena

menyebabkan

atropin.

hilangnya

Kelumpuhan

termal

vasomotor

mengontrol

dan

juga

dapat

menyebabkan

poikilothermy, yang biasanya dapat diobati dengan penggunaan yang tepat


dari selimut.
Pelepasan pasien dari mobil harus dicoba hanya setelah kepala pasien
dan kembali telah diikat dalam posisi netral pada basis yang kuat. Sana
harus menjadi perhatian yang sama untuk kepala dan leher stabilitas dalam
kecelakaan menyelam. Evakuasi cepat ke rumah sakit sangat penting.
Pada fase akut, kateterisasi kandung kemih intermiten harus digunakan
untuk mencegah atonia kandung kemih permanen yang mungkin timbul
dari retensi urin (Marotta, 2000).
Menyisipkan sebuah tabung nasogastrik akan mengendalikan distensi
perut, mengurangi risiko gangguan pernapasan sekunder. Pada fase akut
dan sebelum pencitraan, metilprednisolon terapi ditunjukkan. The akut
Nasional Cord Cedera Spinal Studi menunjukkan manfaat dari dosis tinggi
methylprednisolone dalam mengurangi keparahan kerusakan neurologis.
Methylprednisolone diperkirakan untuk meningkatkan fungsi sumsum
tulang belakang oleh menghambat lipid peroksidase. Agen farmakologis

24

lain

yang

sedang

nonglucocorticoid

dipelajari
sintetis

termasuk

yang

21-aminosteroid,

bertindak

sebagai

steroid

antioksidan.

Ganglioside (glycosphingolipids asam) juga sedang dievaluasi.


Agen ini diperkirakan menjadi bagian dari lapisan ganda lipid dari
membran

plasma

dan

mensimulasikan

pembentukan

gangliosides

endogen. GM1 gangliosides dimulai dalam waktu 72 jam dari cedera dan
berlangsung selama 18 sampai 32 dosis lebih dari 3 sampai 4 minggu.
Kombinasi terapi metilprednisolon diikuti oleh gangliosides sedang diuji.
Methylprednisolone diberikan melalui suntikan bolus 30 mg / kg diikuti
dengan 5,4 mg / kg perjam selama 23 jam (Marotta, 2000).
Manfaat ditemukan untuk lesi baik lengkap dan tidak lengkap.
Komplikasi medis dan angka kematian tidak berubah. Perawatan ini harus
dimulai dalam waktu 8 jam dari cedera. Dengan kontrol fungsi sistemik,
perhatian diarahkan mengoreksi malalignment atau ketidakstabilan tulang
punggung. Pada serviks, dislokasi fraktur, ini biasanya dilakukan oleh
traksi skeletal eksternal (misalnya, dengan penjepit Crutchfield, penjepit
Gardner-Wells,

atau

fiksasi

halo).

Cedera

torakolumbalis

dapat

distabilisasi dengan perangkat seperti batang Harrington. Pasien dengan


cedera tulang belakang membutuhkan fasilitas unit perawatan khusus
tulang belakang. Setelah fase pengobatan akut, khusus dan terapi
berkelanjutan diperlukan.
Perangkat mekanik untuk mengubah pasien tidak diperlukan, ketika
keperawatan terampil tersedia, tempat tidur rumah sakit biasa dapat
digunakan. Mobilisasi dari pasien dan penggunaan bantal atau bantalan
mencegah dekubitus. Stoking antiembolik mengurangi kejadian trombosis
vena, dan administrasi dosis rendah heparin mengurangi risiko pulmonary
embolus. Kateterisasi intermiten kandung kemih telah menggantikan
penggunaan kateter dan cystostomy suprapubik. Rehabilitasi Terapi harus
dimulai sesegera mungkin (Marotta, 2000).

25

L. REHABILITASI
Tujuan utama untuk semua pasien dengan cedera spinal adalah
ambulasi dan kemandirian ekonomi. Hal ini dapat dicapai dalam banyak
pasien yang mengalami luka di bawah area serviks dan paling baik
dilakukan di sebuah pusat rehabilitasi dengan personil terlatih dan
peralatan yang memadai. Kerjasama yang baik antara pasien dengan
therapist dibutuhkan. Ketika lengan yang lumpuh, tujuan terapi lebih
terbatas.
Implantasi

stimulator

dapat

meningkatkan

angka

kehidupan.

Pengembangan tim spinal cord yang mengkhususkan diri dalam perawatan


tetraplegia

dan

paraplegia

penting.

Peningkatan

harapan

hidup,

pengurangan frekuensi komplikasi, meningkatkan moral pasien, dan


pengembangan teknik baru sangat bermanfaat. Pengobatan terbaik adalah
pencegahan.
Program pendidikan nasional harus peduli dengan kendaraan bermotor
dan keamanan air, batas kecepatan harus diturunkan, dan penggunaan
sabuk pengaman harus wajib untuk mengurangi timbulnya luka-luka
(Marotta, 2000).

M. PROGNOSIS
Prognosis untuk pemulihan fungsi neurologis perubahan/perbaikan
skala ASIA dan oleh perubahan dalam tingkat sumsum tulang belakang.
Pemulihan fungsi neurologis tergantung pada sifat dan keparahan cedera,

26

cedera yang berhubungan, usia, kesehatan umum, perawatan darurat,


operasi yang tepat, dan komplikasi.
Pengetahuan tentang tempat dan keparahan cedera dan tingkat
hilangnya fungsi neurologis sangat penting dalam memprediksi pemulihan
fungsi. Sekarang penting untuk membedakan antara pemulihan neurologis
dan pemulihan fungsional.
Pada review sejumlah penelitian, pengamatan tertentu menjadi jelas:
1. Pasien dengan cedera paling parah memiliki prognosis paling untuk
setiap pemulihan neurologis, lama tinggal di rumah sakit, kematian
tertinggi, dan kebanyakan komplikasi.
2. Sebagian besar pasien dengan complete spinal injury tidak
menunjukkan perbaikan
Setiap pemulihan complete spinal transection jarang. Singkatnya,
penilaian neurologis dalam 24 sampai 48 jam pertama setelah cedera
tulang belakang menawarkan metode terbaik untuk memprediksi hasil
akhir. Awal Penilaian harus dilakukan kooperatif pasien, penggunaan
alkohol atau obat-obatan dapat mengganggu penilaian. Dalam lesi
complete atau incomplete kembalinya fungsi neurologis tidak konsisten.
Sebuah tanda serius merupakan sulit kembalinya fungsi apapun dalam
waktu 48 jam dari kecelakaan itu (Marotta, 2000).

BAB III
PENUTUP

27

A. KESIMPULAN
Transeksi medula spinalis merupakan penyakit yang sering mengakibatkan
kecacatan, meskipun penangannyanya sudah cukup baik. Kecacatan yang
ditimbulkan seringkali membawa dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Pencegahan primer dan sekunder sangat diutamakan untuk mendapatkan kualitas
hidup yang lebih baik.
Transeksi medula spinalis merupakan kerusakan seluruh penampang
medula spinalis akibat trauma, inflamasi, kompresi, dan lain-lain. Penyebab
paling sering dari transeksi medula spinalis adalah trauma saat kendaraan
bermotor. Hal ini sering dialami laki-lagi usia SMA dengan rentang usia 16 30
tahun.
Patofisiologi transeksi medula spinalis berkaitan dengan primary injury dan
secondary injury. Primary injury berasal dari proses mekanis yang mengawali
terjadinya cedera. Secondary injury berasal dari proses vaskular dan imunitas
yang memperparah cedera yang terjadi pada medula spinalis.
Gejala yang ditimbulkan pada transeksi medula spinalis adalah hilangnya
seluruh modalitas neurologis (motoris, sensoris, dan otonom) di bawah level lesi.
Gejala ini bervariasi sesuai dengan tinggi lesi, dan yang paling sering
membahayakan adalah lesi cervical atas (C2-C4) yang dapat menimbulkan
depresi napas dan sering menyebabkan kematian secara cepat.
Diagnosis ditegakkan dari anamnesa singkat mengenai cara kejadian
(trauma), progresifitas keluhan, dan riwayat penyakit dahulu, dilanjutkan
pemeriksaan fisik yang berfokus untuk mencari tinggi level cedera neurologis
dengan pemeriksaan sensoris (pinprick dan raba halus) dan motoris sesuai
miotom.

28

Differential diagnosis Transeksi Medula Spinalis adalah penyakit-penyakit


yang bermanifestasi paraplegia yang topisnya berasal dari medula spinalis itu
sendiri, dari cerebri maupun paraplegia yang bertipe LMN.

B. SARAN
1. Saran bagi pasien, agar bisa lebih hati-hati dalam beraktifitas khususnya
yang banyak menggunakan aktivitas lebih, pasien saat beraktifitas bila
terasa nyeri sebaiknya di kompres dengan air hangat selain menjalani terapi
yang teratur, latihan di rumah juga lebih baik dalam menentukan
keberhasilan pasien dan kesabarannya juga diperlukan untuk mendapatkan
hasil dari pasien yang diinginkan.
2. Kepada masyarakat, hendaknya tetap menjaga kesehatan dan kebugaran
melalui aktifitas yang seimbangan.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

29

AANS. 2005. Spinal Cord Injury. https://www.aans.org/Patient


%20Information/Conditions%20and%20Treatments/Spinal%20Cord
%20Injury.aspx. (diakses pada 14 April 2015).
Corke PJ. 1995. Spinal Injuries: Acute Management and Anaesthetic Implications.
http://www.anaesthesia.med.usyd.edu.au/resources/lectures/spinal_inj_pjc95.ht
ml#Path. (diakses pada 12 April 2012).
Dahlberg A, Kotila M, Leppanen P, Kautiainen H, Alaranta H. 2005. Prevalence of
spinal cord injury in Helsinki. Spinal Cord. 43: 4750.
Dumont, et. Al., 2001. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic
Mechanisms dalam Clinical Neuropharmacology. Vol. 24, No. 5, pp. 254264.
Lippincott Williams & Wilkins, Inc. Philadelphia.
Gbandi, R dan Kanonidou Z. 2005. Management of patients with transection injury
of the spinal cord. Dept. of Anesthesiology, Hippokratio General Hospital,
Thessaloniki, Greece.
Gregory Gruener dan Jose Biller. 2008. Spinal Cord Anatomy, Localization, And
Overview Of Spinal Cord Syndromes. American Academy of Neurology.
Jacob dan Nash. 2004. Exercise Recommendations for Individuals with Spinal Cord
Injury. Sport Medicine 2004.
John F. Ditunno, Jr., and Christopher S. Formal. 1994. Chronic Spinal Cord Injury,
The New England Journal of Medicine
M. Baehr dan M. Frotscher. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Edisi 4. Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Marotta JT. 2000. Spinal Injury. In: Merritt's Neurology. 10th Ed. New York.
Lippincott Williams & Wilkins Publishers. pp: 313-317.
Mayo Clinic Staff. 2012. Spinal Cord Injury.
http://www.mayoclinic.com/health/spinal-cord-injury/DS00460. (diakses pada
12 April 2015).
Scheweinkreis, Peter et. al. 2006. Differential Diagnosis of Acute and Subacute NonTraumatic Paraplegia. Dtsch Arztebl.
Sheerin F. 2005. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emergency
Nurse. 12(9): 29-38.

30

Veteran Health Initiative. 2001. Medical Care of Person with Spinal Cord Injury.
Departement of Veterans Affairs Employee Education System. Washington DC.
Wexner Medical Center. 2012. Acute Spinal Cord Injury.
http://medicalcenter.osu.edu/patientcare/healthcare_services/nervous_system/ac
utespinal/Pages/index.aspx. (diakses pada 12 April 2015).

You might also like