You are on page 1of 28

KEHAMILAN ABDOMINAL

I.

Pendahuluan
Kehamilan abdominal extrauteri merupakan kasus yang sangat jarang dari
kehamilan ektopik dimana implantasi terjadi dirongga pertitoneum, di luar tuba
fallopii dan ovarium. Kasus ini diperkirakan mengenai 10 dari 100.000
kehamilan di Amerika Serikat. Diagnosis kehamilan abdominal sering
terlewatkan saat asuhan antenatal, meskipun dilakukan pemeriksaan rutin
ultrasonografi. Namun demikian, sangat penting untuk mendeteksi kehamilan
abdominal sejak dini karena terkait dengan penyebab kematian ibu yang
diperkirakan lima dari 1000 kasus, kira-kira tujuh kali lebih tinggi dari tingkat
kematian karena kehamilan ektopik secara umum dan 90 kali lebih tinggi dari
persalinan normal di Amerika Serikat.1 Selain itu, kehamilan abdominal juga
mempengaruhi hasil konsepsi, meskipun mencapai aterm, didapatkan angka
kematian perinatal bayi baru lahir 40%-95%.1 Meskipun demikian, telah
dilaporkan keberhasilan persalinan dengan operasi pada bayi yang sehat
dengan kehamilan abdominal yang aterm pada primigravida, dimana
sebelumnya diagnosis terlewatkan meskipun telah dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi berulang selama periode antenatal.1
Kehamilan abdominal yang lebih dari usia 20 minggu dengan janin yang dapat
hidup setelah dilahirkan adalah kasus yang jarang, dengan prevalensi
diperkirakan satu dari 8099 kelahiran di Rumah Sakit. 2 Cavum peritoneum
dapat menjadi tempat implantasi primer atau sekunder dari mudigah atau janin.
Kehamilan abdominal primer sebelum usia 12 minggu mirip seperti kehamilan
ektopik lainnya. Dimana didapatkan saluran tuba dan ovarium yang normal,
dan tidak adanya perforasi pada uterus.3 Tempat implantasi dari kehamilan
ektopik abdominal primer adalah cavum douglas, fundus uteri, dinding
belakang uterus, hati, limpa, omentum, bursa omentum dan diafragma.
Kehamilan abdominal primer yang terjadi pada omentum merupakan kasus
1
Kehamilan Abdominal

yang sangat jarang, pada literatur Inggris didapatkan 9 kasus yang


berhubungan dengan peningkatan angka kematian ibu.4 Sebagian besar kasus
kehamilan abdominal adalah sekunder karena keluarnya hasil konsepsi dan
plasenta yang dapat hidup dari lokasi sebelumnya yang mengalami ruptur yaitu
tuba, ovarium atau uterus.3 Kehamilan abdominal sekunder biasanya akan
menimbulkan gejala setelah kehamilan 12 minggu berupa nyeri abdomen, nyeri
karena pergerakan janin serta mual dan muntah yang berlebihan. 3 Angka
kematian ibu dan perinatal yang berhubungan dengan kehamilan abdominal
masing-masing memiliki rentang dari 0,5% sampai 18% dan 40% sampai
95%.1,3 Diagnosis kehamilan abdominal memiliki indeks keraguan yang tinggi.
Riwayat klinis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan ultrasonografi tidak
spesifik untuk memastikan kehamilan abdominal.5
II. Definisi
Kehamilan abdominal adalah kehamilan ektopik yang terjadi di dalam cavum
peritoneum, dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Kehamilan
abdominal primer terjadi bila ovum yang telah dibuahi dari awal mengadakan
implantasi di cavum peritoneum. Kehamilan abdominal sekunder berasal dari
kehamilan tuba, ovarium atau uterus yang mengalami ruptur dan embrio
berkembang di cavum peritoneum.3,6

Uterus
Gambar 1. Kehamilan Ektopik Abdominal. (Kepustakaan 6)

III.

Insidensi

2
Kehamilan Abdominal

Kehamilan ektopik extrauteri paling sering terjadi pada tuba fallopii, dan
sangat jarang pada ovarium dan cavum abdominal. Kira-kira 2% dari seluruh
kehamilan adalah ektopik, dan 95% dari kehamilan ektopik adalah kehamilan
pada tuba. Kehamilan abdominal mengenai 1-4% dari seluruh kehamilan
ektopik.3 Sebagian besar kasus kehamilan abdominal adalah sekunder karena
ruptur dari tempat kehamilan sebelumnya, sedangkan kehamilan abdominal
primer dilaporkan sebanyak 24 kasus diatas tahun 2007. 1 Risiko kematian
pada kehamilan abdominal 7.7 kali lipat dari kehamilan tuba dan 90 kali lipat
dari kehamilan intrauteri.5 Morbiditas dan mortalitas ibu terjadi karena
perdarahan, infeksi, toksemia, anemia, koagulasi intravaskular diseminata,
emboli paru, atau pembentukan fistula antara kantung ketuban dan usus
disebabkan oleh penetrasi tulang janin.5 Angka kematian maternal yang
berhubungan dengan kehamilan ektopik berkisar antara 0.5 sampai 18%.3
Pada kehamilan abdominal lanjut, kemungkinan bayi lahir hidup sekitar 10%
sampai 25%. Namun, dari bayi tersebut didapatkan 20% sampai 40% akan
mengalami malformasi dan hanya 50% yang akan bertahan hidup setelah 1
minggu. Selanjutnya, malformasi tersebut dapat berupa tortikolis, asimetri
wajah, kelainan anggota badan dan malformasi thorax, hal ini terjadi karena
oligohidramnion berat pada lingkungan ekstrauteri.5 Angka kematian perinatal
yang berhubungan dengan kehamilan abdominal berkisar antara 40% sampai
95%.1,3
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Faisalabad, India
dari tahun 2000 sampai 2007, didapatkan sebanyak 8 kasus kehamilan
abdominal dengan rata-rata usia maternal adalah 30.125 tahun dan usia akhir
kehamilan adalah 20.62 minggu dan 50% kasus terjadi pada primigravida. 3 Di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari tahun 1967 sampai 1972, ditemukan
1 kasus kehamilan ektopik lanjut diantara 1065 persalinan.8

3
Kehamilan Abdominal

Gambar 2. Bayi dari Kehamilan Abdominal dengan Multipel Kompresi dan


Deformitas. (Kepustakaan 7)

IV.

Faktor Risiko
Faktor risiko untuk kehamilan abdominal secara umum sama dengan
kehamilan ektopik lainnya.9 Yaitu sebagai berikut :10
Faktor Risiko
Risiko (odds ratio)
Risiko tingi
Bedah korektif tuba
21.0
Sterilisasi tuba
9.3
Riwayat kehamilan ektopik
8.3
5.6
Pajanan dietilstilbestrol
4.5-45
Alat kontrasepsi dalam rahim
3.8-21
Patologi tuba
Risiko sedang
Infertilitas
2.5-21
Riwayat infeksi genital
2.5-3.7
2.1
Banyak pasangan
Risiko rendah
0.93-3.8
Riwayat bedah panggul
2.3-2.5
Merokok
1.1-3.1
Vaginal douche
1.6
Hubungan seks < 18 tahun
Nilai-nilai tunggal adalah Odds ratio umum dari penelitian-penelitian
homogen; nilai-nilai ganda adalah kisaran nilai dari penelitian-penelitian
heterogen. Dimodifikasi dari Pisarska dan Carson (1999), dengan izin
Tabel 1. Faktor Risiko Kehamilan Ektopik secara Umum. (Kepustakaan 10)

Pada risiko tinggi kehamilan ektopik diatas, didapatkan adanya gangguan


motilitas tuba baik secara mekanik maupun fungsional atau terjadinya
perubahan anatomi yang diduga akibat proses infeksi dan manipulasi pada
tuba fallopii, hal ini menyebabkan pergerakan ovum yang telah dibuahi
terhambat dan tidak mencapai cavum uteri.
4
Kehamilan Abdominal

Penggunaan kokain oleh maternal merupakan faktor risiko spesifik untuk


kehamilan abdominal.9 Faktor risiko mutlak kehamilan abdominal sebenarnya
masih diperdebatkan dan baru-baru ini dikemukakan bahwa kemungkinan
mekanisme yang terjadi adalah migrasi dari embrio melalui mikrofistula yang
terbentuk di dalam tuba menuju cavum peritoneum.11 Faktor risiko lain yang
perlu dipertimbangkan adalah kelainan kromosom dan penggunaan
kontrasepsi progesteron oral.12
Faktor risiko berdasarkan data demografi adalah sebagai berikut :
1. Usia maternal
Berdasarkan data didapatkan ibu dengan usia yang lebih tua memiliki
risiko yang lebih tinggi terjadinya kehamilan abdominal. Dengan usia
rata-rata adalah 31.2 tahun.13
2. Ras
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Atrash dkk., Delke
dkk., Beacham dkk., sebagian besar kasus terjadi pada ras kulit hitam.
Pada penelitian oleh Clark 100% (35 kasus) terjadi pada ras kulit hitam.13
3. Sosial Ekonomi
Penelitian yang dilakukan oleh Delke dkk., menunjukkan hasil 100%
subjek (10 kasus) terjadi pada maternal dengan sosial ekonomi yang
rendah.13
V. Fisiologi dan Etiopatogenesis
A. Implantasi Normal
Implantasi blastokista normalnya terjadi di dalam endometrium corpus
uteri, dimana proses ini terjadi karena adanya komunikasi dua arah antara
jaringan embrional dan maternal semenjak transportasi dari tuba fallopii
menuju cavum uteri. Jaringan embrional berkomunikasi dengan jaringan
maternal dengan memproduksi dan mensekresi beberapa sitokin, kemokin
dan faktor pertumbuhan dalam perkembangannya. 14 Pada saat terjadinya
implantasi,

terjadi

peningkatan

kadar

prostaglandin

(terutama

prostaglandin E2) dan peningkatan permeabilitas stroma endometrium,


pada saat ini pula aktivitas sekresi endometrium mencapai puncaknya dan
sel-sel kaya akan glikogen dan lipid. Rentang waktu penerimaan
blastokista oleh endometrium ini adalah antara 20-24 hari pada siklus 28
hari yang normal dan teratur. Hormon progesteron menginduksi

5
Kehamilan Abdominal

terbentuknya pinopoda (permukaan sel epitel dengan tonjolan halus) pada


permukaan endometrium. Pinopoda mampu menyerap cairan didalam
cavum uteri sehingga blastokista dapat terbawa mendekati area permukaan
pinopoda tersebut. Pinopoda ini muncul hari ke 21 pada siklus yang
normal dan bertahan selama beberapa hari.14
Jika ovum tidak dibuahi dan blastokista tidak terbentuk, jaringan desidua
mensintesis insulin-like growth factor binding protein-1 (IGFBP-1), tissue
inhibitors of metalloproteinases (TIMPs). Dilain pihak, terbentuknya
blastokista akan mempromosikan sekresi faktor-faktor yang menangkal
mekanisme pertahanan maternal sehingga implantasi dapat terjadi. Faktorfaktor tersebut adalah enzim matrix metalloproteinases (MMPs),
leukaemia inhibitory factor (LIF), epidermal growth factor (EGF), insulin
like growth factor II (IGF II), dan interleukins (IL). Penetrasi oleh
trofoblas pada membran basal uterus dipengaruhi oleh beberapa enzim
proteolitik, enzim yang paling penting dalam proses implantasi dan
rekonstruksi stroma endometrium adalah enzim matrix metalloproteinase
(MMPs). Enzim ini bekerja dengan mendegradasi komponen matriks
ekstraseluler seperti kolagen, proteoglikan dan glikoprotein. Diantara
MMPs, MMP-2 dan MMP-9 tampaknya memainkan peran penting dalam
remodeling jaringan yang menyertai implantasi dan desidualisasi. MMP-2
terutama bekerja pada fase awal dari remodeling desidua serta
neoangiogenesis, sedangkan MMP-9 bekerja mengkoordinasi invasi oleh
trofoblas dalam lapisan endometrium. Perubahan dalam ekspresi dari
kedua enzim ini selama proses implantasi dapat terjadi tanpa sinyal
langsung dari blastokista. Beberapa peneliti menyebutkan ekspresi dari
enzim MMPs ini mungkin disebabkan oleh beberapa sitokin atau faktor
pertumbuhan, seperti vascular endothelial growth factor (VEGF),
transdorming growth factor (TGF), epidermal growth factor (EGF) serta
TIMPs.14 Berikut ini adalah tabel mediator kimiawi yang terlibat dalam
implantasi embrional :

6
Kehamilan Abdominal

Tabel 2. Faktor Biokimia yang Terlibat dalam Implantasi Embrional. (Kepustakaan 14)

Mediator kimia yang tersebut diatas bekerja secara simultan dalam


menyebabkan implantasi blastokista pada endometrium uteri. Secara
ringkas, implantasi pada endometrium terjadi setelah melewati beberapa
proses sebagai berikut :
1. Transportasi embrional pada tuba fallopii
2. Adhesi blastokista pada pinopoda endometrium
3. Invasi stroma endometrium
Setelah proses implantasi selesai hasil konsepsi akan terus berkembang
didalam endometrium (plasentasi) dan cavum uteri (organogenesis).

7
Kehamilan Abdominal

Gambar 3. Fertilisasi dan Perkembangan Minggu Pertama serta Implantasi pada


Endometrium. (Kepustakaan 15)

8
Kehamilan Abdominal

Gambar 4. Implantasi pada Endometrium, Proses Biokimiawi. (Kepustakaan 16)

B. Implantasi Abdominal
Segera setelah menembus zona pellucida, sel sperma menyentuh
permukaan oosit dan akan bertemu dengan membran plasma oosit, hal ini
menyebabkan perubahan permeabilitas pada zona pellucida sehingga
impermeabel terhadap sperma lain. Impermeabilitas zona pellucida
disebabkan oleh kerja enzim lisosom yang dikeluarkan oleh granul-granul
korteks dekat membran plasma oosit. Zona pellucida yang telah terbentuk
sebenarnya tidak hanya berperan mencegah sperma lain memasuki ovum,
namun juga berperan menjamin pembelahan sel zigot yang baru terbentuk
9
Kehamilan Abdominal

agar tidak terganggu dan mencegah terjadinya implantasi zigot ke tuba


fallopii.17,18 Zona pellucida normalnya akan mengalami lisis pada saat
mencapai cavum uteri sebelum implantasi blastokista oleh kerja enzim
proteolitik dari sel-sel trofoblas . Selama proses pembelahan sel ini,
embrio memperoleh nutrisi dari sekresi pada lumen tuba.18,19
Namun, oleh karena suatu sebab, transpotasi ovum yang telah dibuahi ini
tidak mencapai cavum uteri sehinggga implantasi tidak terjadi pada
endometrium uteri. Seperti Infeksi pelvis, salpingitis, endometriosis tuba,
divertikel tuba kongenital, bedah plastik tuba atau sterilisasi tuba yang tak
sempurna dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi tuba. Disfungsi tuba
ini dapat berupa mekanik dan fungsional. Faktor lain yang ikut berperan
adalah adanya massa tumor yang menekan dinding tuba sehingga lumen
menjadi sempit.8
Disfungsi tuba selanjutnya menyebabkan ovum yang telah dibuahi
menetap dituba atau dapat keluar dari fimbria tuba menuju cavum
peritoneum. Sementara itu perkembangan embrional terus berlanjut
menjadi blastokista yang mengandung sel-sel trofoblas yang dapat melisis
zona pellusida dan mendegradasi jaringan permukaan yang berkontak
dengannya. Implantasi primer abdominal berarti blastokista mengadakan
implantasi pertamanya dalam cavum peritoneum, hal ini kemungkinan
dapat terjadi karena :
1. Migrasi embrio melewati mikrofistula pada tuba fallopii memasuki
cavum peritoneum.11
2. Embrio masuk kedalam cavum peritoneum melalui ostium tuba
abdominale.
3. Setelah ovulasi, terjadi migrasi luar, yaitu ovum mengadakan
perjalanan pada tuba kontralateral, namun sebelum mencapai fimbria
ovum telah dibuahi, atau karena pertumbuhan ovum yang terlalu cepat
sehingga terjadi implantasi prematur yang belum memasuki fimbria.8
Kebanyakan kasus kehamilan abdominal adalah sekunder karena
implantasi embrio sebelumnya pada tuba yang mengalami ruptur. Proses
implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada dasarnya sama

10
Kehamilan Abdominal

halnya dengan yang terjadi di kavum uteri. 8 Pada kehamilan tuba, MMP-9
dan TIMP-1, 2, 3 diproduksi oleh semua sel sitotrofoblas ekstravili
(EVCT), sedangkan MMP-2 dan MMP-14 terutama diproduksi oleh sel
distal column cytotrophoblast (CCT) dan sel invasif EVCT. Selama
terjadinya implantasi, MMP-14 dan TIMP-1 dan 2 meningkat sepanjang
jalur invasi menuju sel interstisium tuba. MMP-2, 9, 14 dan TIMP-1,2,3
semuanya terdeteksi pada sel vilus citotrofoblas (VCT).20 Enzim-enzim ini
mendegradasi jaringan tuba dan embrio dapat mengadakan implantasi
secara kolumner maupun interkolumner. Implantasi secara kolumner yaitu
embrio berimplantasi pada permukaan atau sisi silia endosalping.
Perkembangan embrio pada implantasi ini tidak sempurna dan biasanya
akan mati secara dini karena kurangnya vaskularisasi dan kemudian
diresorbsi. Pada implantasi secara interkolumner embrio berimplantasi
antara silia endosalping atau masuk kedalam interstisium tuba. Setelah
tempat implantasi tertutup, maka embrio dipisahkan dari lumen tuba oleh
lapisan

jaringan

yang

menyerupai

desidua

dan

dinamakan

pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna,


dengan mudah vili korialis menembus endosalping dan masuk ke dalam
lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah.
Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti
tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang
terjadi oleh invasi trofoblas.8
Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum
graviditatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek; endometrium
dapat berubah pula menjadi desidua. Pada sebagian kehamilan ektopik
dapat ditemukan perubahan-perubahan pada endometrium yang disebut
fenomena Arias-Stella, dimana sel epitel membesar dengan inti hipertrofik,
hiperkromatik, lobuler dan berbentuk tak teratur. Sitoplasma sel dapat
berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang ditemukan mitosis. Setelah
janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian

11
Kehamilan Abdominal

dikeluarkan berkeping-keping atau pun dilepaskan secara utuh. Perdarahan


yang dijumpai berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan desidua
yang degeneratif.8
Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan 6-10
minggu. Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh
darah oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat
melepaskan embrio dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya.
Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dan selaputnya dikeluarkan dalam
lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba
abdominale. Pada saat ini dapat terjadi reimplantasi pada jaringan di
rongga peritoneum. Bukti adanya implantasi tuba setelah terjadinya
kehamilan abdominal adalah tampak adanya distorsi dan kerusakan pada
tuba yang berhubungan.1,8
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstitialis
terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan
ruptur ialah penembusan villi koriales ke dalam lapisan muskularis tuba
terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena
trauma ringan. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui
ostium tuba abdominale. Bila ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder
dapat terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba yang telah menipis oleh invasi
trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba. Jika ruptur mengarah ke
rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan tuba
kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba.
Nasib janin bergantung pada tuanya kehamilan dan kerusakan yang
diderita. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorpsi seluruhnya, dan
bila besar dapat mengalami kalsifikasi dan diubah menjadi litopedion.
Dapat pula terjadi pernanahan sehingga kantong kehamilan menjadi abses

12
Kehamilan Abdominal

dan dapat pecah melalui dinding perut atau masuk kedalam usus atau
kandung kemih, bersama keluarnya nanah dapat pula ditemukan tulang,
rambut dan potongan-potongan kulit. Selain itu janin dapat berubah
menjadi zat kuning seperti minyak kental (adipocere).6,8
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong
amnion dan dengan plasenta masih utuh kemungkinan tumbuh terus dalam
rongga perut, sehingga terjadi kehamilan ektopik lanjut atau kehamilan
abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin,
plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya
misalnya ke sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul dan usus
dan pada beberapa kasus dapat pula terjadi pada omentum.8

Gambar 5. Implantasi Ektopik pada Tuba, Sebelum Kehamilan Abdominal Sekunder.


(Kepustakaan 21)

VI.

Manifestasi Klinis
Kehamilan abdominal mempunyai gejala yang mirip dengan kehamilan
ektopik lainnya. Namun jika kehamilan abdominal berlanjut sering terjadi
misdiagnosis karena diduga kehamilan intrauteri. Hal ini terjadi mungkin
karena pada awal masa kehamilan, gejala-gejala kehamilan ektopik mungkin
tidak dikeluhkan oleh ibu atau mungkin tidak dilakukannya asuhan antenatal

13
Kehamilan Abdominal

trimester pertama. Berikut ini adalah tanda dan gejala kehamilan abdominal
yaitu :
A. Tanda dan Gejala Subyektif
1. Nyeri abdomen bagian bawah, konstan atau intermitten, merupakan
gejala yang sering pada kehamilan abdominal. Nyeri ini terjadi
karena adanya perangsangan peritoneum. Jika janin hidup, setiap
gerakan janin akan terasa lebih nyeri.
2. Amenore biasanya berkorelasi dengan umur kehamilan.
3. Pada kehamilan abdomen sekunder, mungkin pasien pernah
mengalami sakit perut yang hebat disertai pusing atau pingsan, yaitu
sewaktu terjadinya ruptur tuba.
4. Gejala gangguan gastrointestinal yang bervariasi akibat penekanan
pada saluran gastrointestinal. Seperti nausea, vomitus, konstipasi dan
diare.
5. Malaise yang disebabkan perdarahan ke rongga abdomen akibat
ruptur tuba sebelumnya yang tidak ditangani sehingga terjadi
anemia.6,10
B. Tanda dan Gejala obyektif
1. Tidak ada kontraksi braxton Hicks selama kehamilan, pada bagian
abdomen yang mengandung janin tidak pernah mengeras.
2. Bunyi jantung janin terdengar lebih jelas.
3. Bagian-bagian janin teraba lebih jelas karena hanya terpisah oleh
dinding abdomen.
4. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan massa disamping janin yang
merupakan uterus yang ikut membesar.
5. Jika dilakukan pemeriksaan foto rontgen sering menunjukkan letak
miring, melintang atau sikap dan lokasi yang abnormal. Pada
pemeriksaan ulangan lokasi janin tetap sama.
6. Adanya sufel vaskular medial dari spina iliaka. Sufel ini diduga
berasal dari arteri ovarica ibu.
7. Serviks sering berpindah tempat ke anterior dan superior. Sering
serviks teraba lembek seperti pada kehamilan intrauterin. Palpasi
forniks dapat membedakan bagian-bagian janin atau kepala janin di
luar uterus.

14
Kehamilan Abdominal

8. Kalau sudah ada his dapat terjadi pembukaan sebesar kurang lebih 1
jari dan menjadi tidak lebih besar, dan tidak teraba bagian janin
apapun pada saat jari masuk kedalam cavum uteri.6,8,10
VII.

Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesa tidak jarang memberikan petunjuk yang penting dalam
membuat diagnosis. Pada riwayat sebelumnya atau pada kehamilan
muda, diketahui adanya perdarahan dan nyeri perut bagian bawah.
Penderita mungkin dapat mengingat adanya spotting atau perdarahan
iregular bersama dengan nyeri abdomen yang biasanya paling menonjol
pada salah satu atau kedua kuadran bawah. Pada ibu multigravida,
penderita merasakan bahwa kehamilan ini tidak berjalan seperti biasa,
dimana gejala gastrointestinal lebih nyata, dan gerakan anak dirasakan
lebih nyeri.8,10
B. Pemeriksaan Fisik
Pada kehamilan lebih lanjut dan pada pemeriksaan abdomen sering
ditemukan kelainan letak janin. Bagian-bagian janin sering teraba lebih
jelas di bawah kulit, walaupun pada multipara dan pada wanita dengan
dinding perut yang tipis kesan tersebut kadang-kadang diperoleh.
Massase abdomen pada kehamilan tidak merangsang massa tersebut
berkontraksi sebagaimana yang hampir selalu terjadi pada kehamilan
intrauteri lanjut. Pada pemeriksaan vagina, serviks biasanya bergeser,
bergantung sebagian pada posisi janin, dan serviks mungkin berdilatasi
tetapi pendataran bermakna tidak terjadi. Uterus seolah-olah tampak
melapisi massa kehamilan atau dapat bergeser menyamping. Bagian
kecil janin atau kepala dipalpasi melalui forniks dan teridentifikasi
dengan jelas berada diluar uterus.8,10
C. Uji Laboratorium
Pada masa awal, kehamilan mungkin dapat ditentukan dengan
pemeriksaan urin atau pemeriksaan -hCG serum. Uji laboratorium pada
kehamilan abdominal mungkin dapat ditemukannya anemia transien
yang tidak dapat dijelaskan pada awal kehamilan dapat menyertai awal
suatu ruptur tuba atau abortus. Peningkatan nilai alfafetoprotein serum
15

Kehamilan Abdominal

yang tidak dapat dijelaskan mengisyaratkan kemungkinan adanya


kehamilan abdominal.10
D. Stimulasi Oksitosin
Stimulasi oksitosin dilakukan untuk membedakan janin berada dalam
cavum uteri atau berada di dalam cavum peritoneum. Pada uterus yang
terletak di belakang atau disamping massa abdomen yang berisi janin,
pemberian infus oksitosin 50 mU/menit tidak menyebabkan massa
tersebut berkontraksi. Bila hasil kontraksi ini negatif pada dua kali
pemeriksaan dapat diduga kehamilan abdominal. Namun jika uterus
berada di anterior massa abdomen yang berisi janin, uterus tersebut
dapat berkontraksi sebagai respon terhadap pemberian oksitosin dan
mungkin menimbulkan salah diagnosis menjadi kehamilan intrauteri.10
E. Sonografi
Temuan ultrasonografik pada kehamilan abdominal seringkali tidak
memungkinkan untuk ditegakkan diagnosis pasti. Perubahan lingkungan
hormonal pada kehamilan ektopik dapat memproduksi kumpulan cairan
intrauteri

yang

dapat

menyerupai

kantung

gestasional.22 Pada

pemeriksaan USG kehamilan abdominal terkadang salah diagnosis


karena diduga uterus bikornus.1

Gambar 6. Kehamilan 14 minggu dengan Ukuran sesuai Usia Kehamilan, Hasil


USG ini Diduga Uterus Bikornus. (Kepustakaan 1)

16
Kehamilan Abdominal

Pada separuh kasus, terjadi missdiagnosis dengan pemeriksaan USG


(50-90%),5 namun ada beberapa kriteria yang bersifat sugestif terhadap
kehamilan abdominal :10
1. Visualisasi janin yang terpisah dari uterus.
2. Kegagalan memvisualisasi dinding uterus diantara janin dan
kandung kemih.
3. Bagian-bagian janin amat berdekatan dengan dinding abdomen ibu.
4. Posisi (hubungan antara janin dan dinding uterus) eksentrik atau
sikap janin (hubungan antara bagian-bagian janin dengan bagian
janin lainnya) yang abnormal dan visualisasi jaringan plasenta
ekstrauteri.

Gambar 7. Transvaginal Ultrasonogram, Tampak Kepala Fetus Berada di Luar Uterus yang
Kosong. (Kepustakaan 5)

Pemeriksaan USG bukan merupakan prosedur diagnostik definitif untuk


kehamilan abdominal.10
F. Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)
Teknik ini telah digunakan untuk mengkonfirmasi kehamilan abdominal
setelah ditemukan kecurigaan pada pemeriksaan sonografi. Meskipun
teknik ini sangat akurat dan spesifik, namun kehamilan abdominal
pernah salah diagnosis dengan plasenta previa. Selain itu pemeriksaan

17
Kehamilan Abdominal

ini pernah pula salah diagnosis degenerasi fibroid sebagai kehamilan


abdominal.10
G. CT-Scan
Meskipun tampilan untuk jaringan MRI lebih baik dari CT-scan, namun
beberapa peneliti berpendapat CT-scan pada kehamilan abdominal lebih
baik daripada MRI, tetapi penggunaannya terbatas karena efek
berbahaya radiasi terhadap janin. Pada kasus-kasus kematian janin, CTscan dapat bersifat diagnostik dan boleh dipertimbangkan.10

Gambar 8 dan 9. Kehamilan Abdominal, Panel A CT-Scan dan Panel B MRI.


(Kepustakaan 23)

VIII. Diagnosa Banding


Kehamilan abdominal lanjut pada penampakan luar mirip dengan
kehamilan normal dan seringkali salah diagnosa dengan kehamilan
intrauteri. Kesalahan diagnosa selama 50 tahun terakhir ini diperkirakan
mencapai 40-90% kasus.3 Jika kehamilan abdominal terjadi sekunder
beberapa saat setelah terjadi ruptur tuba, diagnosa banding dapat berupa
salpingitis, torsio kista ovarii, torsio subserosis mioma uteri. Jika
kehamilan abdominal tidak berlangsung lama setelah ruptur tuba dapat
pula didiagnosa banding dengan abortus iminens atau insipien.8

18
Kehamilan Abdominal

Gambar 10 Penampakan Luar Kehamilan Abdominal seperti Kehamilan Normal.


(Kepustakaan 2)

IX.

Penatalaksanaan
Risiko kematian maternal yang tinggi pada kehamilan abdominal
berhubungan erat dengan berlanjutnya kehamilan karena kesalahan diagnosa
dan kesalahan manajemen plasenta pada saat dilakukan tindakan operasi. 24
Untuk meminimalisir risiko tersebut terjadi tiba-tiba, karena perdarahan
intraabdominal yang dapat mengancam kehidupan maternal, tampaknya
bijaksana jika dilakukan intervensi segera setelah terdiagnosis. Sejauh ini
tidak ada kontroversi pada tatalaksana kehamilan abdomen jika didapatkan
ibu dengan hemodinamik yang tidak stabil, janin mati atau tidak dapat hidup
diluar uterus (24 minggu), dan adanya oligohidramnion atau abnormalitas
janin pada USG agar dilakukan intervensi bedah. Hipotesis yang
menyebutkan kematian janin menyebabkan involusi plasenta dan mengurangi
perdarahan pada saat laparotomi belum sepenuhnya dapat dibuktikan.24
Beberapa klinisi berpendapat bahwa, jika usia kehamilan abdominal lebih
dari 24 minggu, pendekatan konservatif harus diambil untuk memungkinkan
kematangan dan kelangsungan hidup janin. Namun, meskipun telah dari 30
minggu, angka kelangsungan hidup janin hanya 63% dan 20% dari janin
tersebut mengalami deformasi (cacat kraniofasial dan berbagai macam
kelainan sendi) dan malformasi (cacat sistem saraf pusat dan anggota tubuh).
Selain itu pula, dengan kemajuan usia kehamilan, plasenta terus berkembang

19
Kehamilan Abdominal

dan meningkatkan risiko perdarahan. Oleh karena itu, pengelolaan


konservatif dengan menunggu kehamilan sampai aterm setelah diagnosis
ditegakkan merupakan suatu keputusan yang jarang dilakukan.24
Pada kehamilan abdominal tindakan laparoskopi perlu dipertimbangkan.
Tindakan pembedahan dengan laparoskopi pada kehamilan abdominal yang
terdiagnosis sejak dini sangat menguntungkan karena dapat dikerjakan
dengan invasi minimal yang dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas
maternal. Namun kesulitan pada laparoskopi adalah menentukan tempat
implantasi ektopik dari plasenta pada kehamilan lanjut.11

Gambar 11. Awal Prosedur Laparoskopi, (a) uterus, (b) tuba kiri, (c) ovarium kiri, (d)
kantong gestasional. (Kepustakaan 11)

Gambar 12. Diseksi Kantong gestasional. (Kepustakaan 11)

20
Kehamilan Abdominal

Gambar 13. Tampak Embrio. (Kepustakaan 11)

Pada kehamilan abdominal lanjut dengan janin hidup, dengan pecahnya


kantong janin selalu ada bahaya perdarahan dalam rongga perut. Hal ini dapat
timbul setiap waktu. Maka setelah diagnosis dibuat segera dilakukan operasi
tanpa memandang tuanya kehamilan. Persediaan darah paling sedikit 1 liter
karena perdarahannya sangat banyak dapat terjadi bila plasenta tanpa
disengaja lepas sebagian. Sebelum operasi harus dipasang dua jalur infus
intravena yang masing-masing dapat menghantarkan volume cairan dalam
jumlah besar dengan cepat. Bila waktunya memungkinkan, persiapan usus
dengan puasa secara mekanis harus dilakukan. Hemostasis tempat implantasi
plasenta pada kehamilan abdominal lanjut tidak ada karena alat-alat sekitar
uterus tidak mengandung otot yang dapat menutup pembuluh darah pada
bekas implantasi plasenta, seperti pada kehamilan intrauterin. Hal ini
menyebabkan terjadi perdarahan masif pada saat pembedahan disebabkan
oleh kurangnya konstriksi pembuluh darah yang mengalami hipertrofi dan
terbuka setelah pelepasan plasenta. Pelepasan plasenta parsial kadang kala
terjadi secara spontan pada saat pelaksanaan operasi ketika mencoba
menentukan secara tepat lokasi perlekatan plasenta, dan mengharuskan bedah
laparotomi. Karena itu yang paling baik adalah menghindari eksplorasi yang
tidak perlu pada organ sekitar.8,10
Jika janin sudah meninggal, operasi tetap perlu dilakukan tapi keadaannya
tidak begitu mendesak. Setelah dinding perut dibuka, selaput janin dipotong
pada daerah yang mengandung sedikit pembuluh darah, janin dikeluarkan
21
Kehamilan Abdominal

hati-hati, dan dihindarkan tarikan yang berlebihan pada tali pusat. Tali pusat
dipotong dekat pada plasenta, dan plasenta pada umumnya ditinggalkan.8
Penatalaksanaan plasenta diperlukan pada kasus kehamilan abdominal
disebabkan karena pengangkatan plasenta selalu membawa risiko perdarahan,
pembuluh darah yang memberi darah pada plasenta harus di ligasi sebelum
plasenta diangkat.

Gambar 14. Laparotomi Eksplorasi, Tampak Bokong Bayi Berada di Luar Uterus yang
Intak. (Kepustakaan 2)

Gambar 15. Bayi Dikeluarkan Bersama Plasenta. (Kepustakaan 2)

Plasenta hanya dikeluarkan bila perdarahan dapat dikontrol dan berimplantasi


pada alat yang bersama-sama dapat dikeluarkan dengan pengikatan
pembuluh-pembuluh darah. Dengan meninggalkan plasenta dalam rongga
perut ada kemungkinan terjadi infeksi, supurasi, perlekatan, luka perut
terbuka, atau kadang-kadang ileus. Hidronefrosis reversibel pada ibu juga

22
Kehamilan Abdominal

dapat timbul. Dalam sebuah penelitian disebutkan terjadinya preeklampsia


persisten selama 99 hari pascapartum sampai plasentanya diangkat, ibu
tersebut normotensif sebelum kehamilan dan kembali normotensif setelah
plasenta diangkat. Meskipun komplikasi tertinggalnya plasenta dapat
menyusahkan dan biasanya kemudian memerlukan laparotomi, kejadian ini
mungkin tidak terlalu fatal bila dibandingkan dengan perdarahan yang sangat
banyak pada saat pengangkatan plasenta pada pembedahan pertama.8,10
Luka dinding perut ditutup tanpa meninggalkan drain, kecuali bila ada
supurasi atau perdarahan yang tidak banyak tetapi difus. Plasenta
ditinggalkan dalam rongga perut lambat laun akan mengecil karena proses
resorbsi dan memerlukan waktu beberapa bulan sampai beberapa tahun.8
Jika plasenta tertinggal, involusinya dapat dipantau dengan menggunakan
ultrasonografi dan berbagai macam hormon plasenta. Kadar -hCG serum
telah terbukti akurat. Pada banyak kasus, fungsi plasenta cepat menurun, dan
plasenta diresorbsi. Dalam sebuah kasus dari suatu penelitian resorbsi
plasenta berlangsung selama lebuh dari 5 tahun. Penggunaan metotreksat
masih kontroversial. Obat ini pernah dianjurkan untuk mempercepat involusi
tetapi dapat menyebabkan percepatan perusakan plasenta yang disertai
dengan penumpukan jaringan nekrotik dan infeksi yang disertai dengan
pembentukan abses. 10
Peneliti lain menganjurkan embolisasi transkateter praoperasi yang diikuti
dengan intervensi bedah, dengan tindakan tersebut dapat mengurangi
perdarahan masif yang mungkin terjadi.10
X. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pada ibu yaitu :
1. perdarahan dalam berbagai derajat menyebabkan
a. anemia
b. koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
c. syok hipovolemik
2. Infeksi yang dapat berkembang menjadi abses dan sespis.
3. Emboli paru
4. Toksemia menyebabkan terjadinya preeklampsi
5. Terbentuknya fistula antara membran amnnion

dan

saluran

gastrointestinal

23
Kehamilan Abdominal

Masing-masing komplikasi ini berperan penting dalam menyebabkan


peningkatan angka morbiditas dan mortalitas ibu dengan kehamilan
abdominal.5
Komplikasi pada hasil konsepsi dapat berupa :
1. Janin mati karena abortus spontan
2. Malformasi organ tubuh dan sistem saraf pusat
3. Deformitas kraniofasial dan kelainan sendi
Malformasi dan deformitas terjadi karena lingkungan cavum peritoneum
sangat berbeda dengan intrauteri, dimana pada kehamilan abdominal mungkin
menyebabkan perkembangan plasenta dan embrio tidak sempurna, dan sering
terjadi oligohidramnion yang mengurangi bantalan fisiologis janin sehingga
tidak dapat meredam gaya mekanik dari organ disekitar cavum abdominal.
XI.

Prognosis
Angka kematian pada ibu sangat meningkat bila dibandingkan dengan
kehamilan normal. Berdasarkan penelitian didapatkan angka kematian ibu
berkisar antara 0.5-18%. Namun dengan diagnosis dini dan perencanaan
preoperasi yang tepat, angka kematian ibu dapat diturunkan secara
signifikan. Pada banyak kasus terdapat banyak morbiditas yang diderita ibu
yang selamat.
Bayi yang lahir dari kehamilan abdominal memiliki morbiditas jangka
panjang dan mortalitas perinatal yang tinggi. Angka kematian bayi perinatal

XII.

berkisar antara 40-95%.1,10


Kesimpulan
Kehamilan abdominal merupakan bentuk kehamilan yang sangat jarang
terjadi dan dapat berakibat fatal bagi ibu maupun janin yang dikandungnya.
Angka kematian ibu berbanding lurus dengan peningkatan usia kehamilan
ibu. Semakin tua usia kehamilan, semakin besar risiko ibu untuk terjadinya
perdarahan saat operasi dan infeksi pascaoperasi. Oleh karena itu, setelah
kehamilan abdominal terdiagnosis, perencanaan preoperasi harus segera
dilakukan mengingat besarnya risiko perdarahan yang dapat terjadi tiba-tiba
akibat lepasnya plasenta dari tempat implantasinya. Jika telah terdiagnosis

24
Kehamilan Abdominal

sejak

dini,

tindakan

bedah

intervensi

seperti

laparoskopi

perlu

dipertimbangkan. Beberapa klinisi menganjurkan terapi konservatif pada


ibu dengan kehamilan abdominal lanjut dengan janin yang masih hidup
pada usia kehamilan diatas 24 minggu. Namun, terapi konservatif ini
hendaknya harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu, kondisi ibu dan
janin, kepatuhan ibu untuk terus memantau kehamilannya, ketersediaan
sarana rumah sakit, dokter yang menangani, dan transportasi atau jarak ke
rumah sakit memungkinkan ibu dapat ditangani segera jika di kemudian hari
situasi berubah menjadi gawat. Kondisi ibu yang sehat dan janin yang
sejahtera serta kemungkinan buruk dapat disingkirkan terapi konservatif
mungkin menjadi pilihan yang utama. Akan tetapi, jika pertimbangan
tersebut tidak terpenuhi atau kondisi ibu cenderung memburuk jika
kehamilan dipertahankan, terminasi kehamilan dengan pembedahan
merupakan pilihan yang bijaksana.

DAFTAR PUSTAKA

25
Kehamilan Abdominal

1. Dahab et al. Full-term Extrauterine Abdominal Pregnancy: a Case Report.


Journal

of

Medical,

2011.

[Cited

2014

Jan

13];

available

from:

http://www.jmedicalcasereports.com/content/pdf/1752-1947-5-531.pdf
2. Nkusu Nunyalulendho D, Einterz EM: Advanced abdominal pregnancy: case
report and review of 163 cases reported since 1946. Rural Remote Health
2008, 8:1087.
3. Sarwat & Nadia. Abdominal Pregnancy. A Diagnostic Dilema. Medical
Journal,

July

2011.

[Cited

2014

Jan

13];

available

from:

http://www.theprofesional.com/article/2011/Vol-18-no-3/027-Prof.1635.pdf
4. Yildizhan et al. Primary Omental Pregnancy. Medical Journal, February
2008.

[Cited

2014

Jan

13];

available

from:

http://www.smj.org.sa/pdffiles/Apr08/03Primary20071143.pdf
5. Kun et al. Abdominal Pregnancy Presenting as a Missed Abortion at 16
Weeks Gestation. Medical Journal, Dec 2000. [Cited 2014 Jan 13]; available
from: http://www.hkmj.org/article_pdfs/hkm0012p425.pdf
6. Sastrawinata dkk. Fakultas Kedoteran Universitas Padjadjaran.

Ilmu

Kesehatan Reproduksi. Obstetri Patologi. Edisi 2. Jakarta : EGC, 2005.


7. Belete, Wondwossen. Advanced abdominal pregnancy managed at Ambo
hospital: A case report. Medical Journal, May 2007. [Cited 2014 Jan 13];
available from: http://www.esog.org.et/esog_journal_files/Vol%201/Advanced
%20abdominal%20pregnancy%20managed%20at%20Ambo%20hospital__
%20A%20case%20report.pdf
8. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka, 2007.
9. Bertrand et al. Imaging in the Management of Abdominal Pregnancy : A
Case Report and Review of the Literature. Medical Journal, July 2008.

26
Kehamilan Abdominal

[Cited

2014

Jan

18];

available

from:

http://www.jogc.com/abstracts/full/200901_CaseReport_2.pdf
10. Cunningham dkk. Obstetri Williams. Kehamilan Ektopik. Edisi 21. Jakarta
: EGC, 2006.
11. Gerly et al. Early Ultrasonographic Diagnosis and Laparoscopic
Treatment of Abdominal Pregnancy. Medical Journal, May 2003. Elsevier.
[Cited

2014

Jan

18];

available

from:

http://vottorio.simply-

website.it/1/upload/early_ultrasonographic_diagnosis_and_iaparoscopic_treat
ment_of_abdominal_pregnacy.pdf
12. Schueler et al. Abdominal Pregnancy. Freemd : Medical Article, Aug 2010.
[Cited 2014 Jan 18]; available from: http://www.freemd.com/abdominalpregnancy/risk-factors.htm
13. Audin et al. Cocaine Use as a Risk Factor for Abdominal Pregnancy.
Medical Journal, May 1998. [Cited 2014 Jan 18]; available from:
http://pubmedcentralcanada.ca/picrender.cgi?
accid=PMC2608343&blobtype=pdf
14. Pawel Kuc. Optimal Environment for the Implantation of Human
Embryo. Medical Journal, 2012. [Cited 2014 Jan 18]; available from:
http://www.intechopen.com/download/get/type/pdfs/id/30619
15. Pansky, Ben. Medical Embryology. Week 1 of Embryonic Development :
Ovulation to Implantation. Review Medical Embyology Book. [Cited 2014
Jan 18]; available from: http://discovery.lifemapsc.com/library/review-ofmedical-embryology/chapter-14-week-1-of-embryonic-developmentovulation-to-implantation
16. Cha et al. Mechanisms of Implantation : Strategies for Succesful Pregnancy.
Nature Medicine, January 2013. [Cited 2014 Jan 18]; available from:
http://home.med.wayne.edu/embryo/pdf/impl_rev_dey_natmed_2012.pdf
17. Sadler. Langman : Embriologi Kedokteran. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2000.
18. LifeMap Discovery. Embryonic Development Modeling in LifeMap
Discovery. Medical Article. [Cited 2014 Jan 18]; available from:
http://discovery.lifemapsc.com/in-vivo-development#modeling
19. Guyton & Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC,
2008.

27
Kehamilan Abdominal

20. Velalopoulou et al. Ectopic Pregnancy and Assisted Reproductive


Technologies : A Sistematic Review. Medical Journal, InTech, Oct 2011.
[Cited

2014

Jan

18];

available

from:

http://www.intechopen.com/download/get/type/pdfs/id/22231
21. Shao, Ruijin. Defining the Molecular Mechanisms for Tubal Ectopic
Pregnancy Using Mouse Models. Medical Journal, March 2012. [Cited 2014
Jan 18]; available from: http://www.omicsonline.org/2157-7536/2157-75363-e102.php?aid=4977
22. Chaudhari & Prajapati. Full-Term Abdominal Pregnancy with Dead
Fetus: A Case Report. India ; Medical Journal, 2012. [Cited 2014 Jan 18];
available from: http://www.omicsonline.org/scientific-reports/2165-7920-SR434.pdf
23. Gayer, Gabriela. Abdominal Ectopic Pregnancy. England Journal of
Medicine,

Dec,

2012.

[Cited

2014

Jan

20];

available

from:

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMicm1111814
24. Dastur et al. Treating Hemorrhage from Secondary Abdominal
Pregnancy: then and now. Medical Journal : Case Report. [Cited 2014 Jan
20]; available from: http://www.aogm.org.mo/assets/Uploads/aogm/PPHFiles/PPH-Chap-48.pdf

28
Kehamilan Abdominal

You might also like