You are on page 1of 156

GERAKAN FUNDAMENTALIS DI PERGURUAN TINGGI ISLAM

(Studi: Pola Gerakan dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia


di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:
Akhmad Haris Khariri
106033201158

PRODI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014

ABSTRAKSI

AKHMAD HARIS KHARIRI


Gerakan Fundamentalis di Perguruan Tinggi; Studi tentang Pola Gerakan dan
Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Jakarta
Skripsi ini menganalisa pola gererakan dan strategi kaderisasi Hizbut Tahrir
Indonesia (HT) dan gejala fundamentalisme Islam yang ada di Kampus UIN Jakarta.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola gerakan dan strategi kaderisasi
yang dikembangkan HTI dan untuk mengetahui gejala fundamentalisme Islam di
Kampus UIN Jakarta. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan studi pustaka
(library research) dan wawancara. Penulis menemukan bahwa, pola gerakan dan
strategi kaderisasi HTI di lingkungan kampus UIN Jakarta relatif intens dilakukan
dan mengambil beberapa bentuk diantaranya dengan memanfaatkan berbagai sarana
baik yang dimiliki internal organisasi maupun sarana-sarana kampus seperti
memanfaatkan media kampus Radio Dakwah dan Komunikasi RDK Fakultas
Dakwah dan Komunikasi, sarana ibadah Student Center SC, afiliasi dengan Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan lain-lain. Adapun sarana internal HTI
mengembangkan sumber daya organisasi seperti pengembangan kelompok-kelompok
studi seperti SRIKAYA, Gema Pembebasan, Muslim Science Comonity MSC, Lisma
HTI dan lain-lain. Berbagai subsistem ini dimanfaatkan HTI untuk mengembangkan
berbagai gagasannya melalui beberapa varian kegiatan-kegiatan seperti diskusi,
seminar, aksi demonstrasi, pengajian, melakukan pendekatan pertemanan dan lainlain.
Selanjutnya strategi kaderisasi yang dikembangkan HTI yaitu dengan melakukan
pembinaan intensif terhadap calon kadernya. Proses pembinaan tersebut ditempuh
melalui berbagai tahapan seperti tahapan pembinaan dan pengkaderan (al-tathqif),
tahapan berinteraksi dengan umat (marhalah al-tafaul maa al-umah), dan tahapan
pengambilan kekuasaan (istilam al-hukm). Selanjutnya terkait dengan
fundamentalisme Islam penulis menemukan beberapa kemiripan-kemiripan
karakteristik HTI dengan gerakan fundamentalisme Islam seperti sikap HTI dalam
merespon gagsan-gagasan Barat, memiliki unsur politik yang kuat, cara memahami
terhadap doktrin keagamaan dan lain-lain.
Argumentasi ini dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat gejala
pertumbuhan HTI dan menganalisis berbagai aktifitas yang dilakukan para aktivis
dan proses kaderisasi HTI di Kampus UIN Jakarta. Selain itu, penulis berusaha
menghubungkan beberapa indikator yang melekat pada HTI dengan karakteristik
fundamentalisme yang telah diklasifikasikan oleh para ahli. Kerangka teori yang
digunakan dalam skripsi ini adalah fundamentalisme Islam, teori gerakan sosial dan
teori strategi.

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah AWT yang telah menganugerah
kannikmatan Islam dan Iman. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan
kepada Nabi Muhamad SAW, sebagai rasul pembawa misi pembebasan dari
pemujaan terhadap berhala, rasul dengan misi suci untuk menyempurnakan
akhlak. Semoga kesejahteraan senantiasa menyelimuti keluarga, sahabat nabi serta
seluruh umat.
Dengan tetap mengharapkan pertolongan, karunia dan hidayahnya,
Alhamdulillah penulis mampuh menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk
melengkapi salahsatu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
judul Gerakan Islam Fundamentalis di PerguruanTinggi Studi Tentang Pola
Gerakan dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Jakarta
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tentunya tidak bisa lepas
dari kelemahan dan kekurangan serta mejadi pekerjaan yang berat bagi penulis
yang jauh dari kesempurnaan intelektual. Namun, berkat pertolongan Allah SWT
dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
sedalam-dalamnya kepada
Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terima kasih kepada jajaran pembantu Dekan, bapak Hendro Prasetyo
Ph.D sebagai Pengurus Dekan (Pudek) I FISIP, ibu Dra.Hj. Wiwi Siti Sajaroh,
MA Sebagai Pudek II dan Bapak Ahmad Abrori M.Si sebagai Pudek III FISIP.
Bapak Ali Munhanif, Ph. D. Sebagai Ketua Prodi Ilmu Politik. Bapak M. Zaki
Mubarak. M. Si. Sebagai Sekertaris Prodi Ilmu Politik.
Bapak Idris Thaha, M.Si selalu dosen pembingbing skripsi yang dengan
sabar dan bijak terus membimbing, menasehati dan mengarahkan penulis untuk
menghasilkan karya terbaik yang penulis miliki. Kepada dosen-dosen Prodi Ilmu
Politik yaitu bapak Bakir Ikhsan, bapak Syirojudin Ali, ibu Suryani, ibu Haniah

Hanafie, ibu Gefarina Djohan, bapak Burhanudin Mukhtadi, dan dosen-dosen


Prodi Ilmu Politik lainnya yang tidak bisa sayasebutkan satu-per satu.
Kepada staf-staf tatausaha FISIP yang telah banyak membantu penulis dalam
administrasi perkuliahan.
Ayah Abdul Karim Bakhri dan Ibunda Sulsiyah, terima kasih atas kasih sayang
dan bimbingan motivasi yang tidak kenal henti dari mereka berdua sehingga
penulis mampuh mengenyam pendidikan yang layak untuk bekal masa depan.
Terima kasih juga kepada kaka-kakaku Ufi Ulfiyah, Nasrul Umam Syafii,
Akhmad Maehi, Susilawati, Huzaemah, Humaerah yang telah memberikan
semangat kepada penulis.Terima kasih kepada sahabat-sahabat seperjuangan
penulis di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2006/2007 yaitu Bara
Ilyasa, Rifqi Zabadi Assegaf, Dedi Candra, Agam Dilya Ulhaq, Rido, Santi,
Afrina, Hadi Mustofa, Bangbang, Akhmad Riki, Dede Sahrudin, Khawasih Qudri,
Torik, Anwar, Eko Aryo, yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada sahabat-sahabat di Sanggar
Kreatif Anak Bangsa yaitu Diki (Ucok), Riswan, Hamzah, Kiki, Ipah, Mas Adit,
Anisa Zahra, Lyna, IrhamMudzakir, Kumi Laila, Sofa, Sofi, Akhmad Suparjo dan
yang lainnya. Terima kasih kepada DPP HTI yang telah bersedia memberikan
rekomendasi kepada penulis dalam proses pencarian data dan terimakasih kepada
pengurus HTI Cabang Ciputat yang telah bersedia memeberikan penulis
kesempatan untuk melakukan penelitian mengenai skripsi ini.
Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada sepuruh komponen yang telah
berjasa memberikan kontribusinya,semoga Allah SWT membalas segala kebaikan
amalbudi baik mereka dengan sebaik-baiknya balasan. Dan skripsi ini walaupun
masih banyak kekurangan semoga bermanfaat bagi kita semua.Wassalam

Jakarta, 21 Januari 2014

Penulis

DAFTAR ISI

ABSTRAK .....iv
KATA PENGANTAR ...v
DAFTAR ISI ..vi
BAB I

PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ..... 1
B. Pertanyaan Penelitian ... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. .13
D. Tinjauan Pustaka ....... 14
E. Kerangka Teoritis ...16
F. Metodologi Penelitian ............... 21
G. Sistematika Penelitian ... 22

BAB II KERANGKA TEORITIS


A. Teori Fundamentalisme .... 25
B. Teori Gerakan Sosial .... 32
1. Struktur Kesempatan Politik ............ 34
2. Mobilisasi Sumber daya ... 37
3. Proses Pembingkaian ........... 40
C. Teori Strategi .... 42

BAB III SEKILAS TENTANG GERAKAN ISLAM HIZBUT TAHRIR


A. Sejarah Hizbut Tahrir di Indonesia ............................................... 51
B. Hizbut Tahrir Indonesia Sebagai organisasi yang berideologi
Islam............................................ 55
C. HTI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta........... 60
D. Hizbut Tahrir Sebagai Eksemplar Fundamentalisme Islam .......... 65
BAB IV POLA GERAKAN DAN STRATEGI KADERISASI HIZBUT
TAHRIR INDONESIA DI KAMPUS UIN JAKARTA
A. Masjid Sebagai Instrumen Pengembangan Jejaring Sosial HTI
UIN

Jakarta

(Ilustrasi

Masjid

Fatullah

dan

Masjid

Baitulrrahmah Legoso) . 73
B. Memanfaatkan Relasi Personal (Pertemanan dan Keluarga) .... 76
C. Membentuk Kelompok Studi dan Memanfaatkan Sarana
Kampus... ...80
D. Pembingkaian Isu Sebagai Pola Gerakan HTI di UIN Jakarta .... 83
E. Strategi Kaderisasi HTI di UIN Jakarta 89
1. Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Al-Tahqif) ...... 90
2. Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Al-Tafaul

maa al- Ummah) ................................................................. 94


3. Tahapan Pengambilan Kekuasaan (Istilam Al-Hukum) ........... 109
F. Faktor-faktor yang Mendukung Eksistensi HTI di Kampus
UIN Jakarta .................................................. 111
1. Jaringan ........... 112
2. Keberadaan Para Aktivis HTI sebagai Sumber Daya .. 115
G. Eksistensi HTI sebagai Indikator dari Fundamentalisme Islam di
Kampus UIN Jakarta .... 118
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .122
B. Saran ...126
DAFTAR PUSTAKA .
LAMPIRAN-LAMPIRAN .....

Bab I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari sekian banyak organisasi
relogio-politik yang berkembang pasca Orde Baru. Ditinjau secara historis
keberadaan HTI di Indonesia dapat ditelusuri sejak 1982-1983 atas prakarsa seorang
mubaligh dari pesantren Al-Ghozali yaitu Abdullah Nuh.1 Pada awalnya aktivitas
HTI hanya berpusat di lingkungan pesantren saja, namun berkat interaksi yang terus
dilakukan oleh para aktivisnya maka gagasan-gagasan HTI terus menyebar hingga ke
Masjid Al-Gifari di Institute Pertanian Bogor (IPB). Di kampus inilah HTI
menemukan momentum pertamanya untuk bersentuhan secara langsung dengan para
mahasiswa.2
Pada saat HTI pertama kali diperkenalkan di Indonesia, keberadaan anggota
HTI sangat terbatas. Namun, karena para aktivis HTI memiliki semangat besar dalam
mengemban misi dakwah Islam, maka gerakan mereka sangat cepat menyebar ke
kampus-kampus lainnya di Indonesia. Mengutip apa yang pernah ditulis oleh M. Zaki
Mubarak yaitu:

Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman
Hizb al-Tahrir Indonesia, (Malang: Universitas Muhamadiyah Press, 2005), 121-122.
2
M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek
Demokrasi, (Jakarta: LPS, 2008), h. 76.

Gerakan HTI banyak tersebar di kampus-kampus di Indonesia seperti Institute


Pertanian Bogor (IPB), Universitas Padjajaran (UNPAD), IKP Malang, Universitas
Airlangga Surabaya, Universitas Hasanudin Makasar, Universitas Indonesia Depok dan
lain-lain. Simpul-simpul jaringan ini pula terbagun secara merata di banyak kota di
Indonesia diantaranya Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Surabaya, dan lain-lain.
Kampus-kampus kemudian dijadikan center-center untuk melakukan aktivitas HTI dan
melakukan kaderisasi anggotanya.3

Selain di kampus-kampus yang telah disebutkan di atas, aktivitas HTI juga


tumbuh di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarata).
Dalam hal ini, menurut Aat Yuliawati menyebutkan bahwa momentum pertama HTI
di kampus UIN Jakarta adalah sejak 2001. Pada fase pertama HTI bersentuhan
dengan UIN Jakarta, gerakan mereka masih mengambil langkah ekslusif dan hanya
terbatas pada beberapa orang saja. Ruang lingkup gerakan mereka juga masih bersifat
personal dan hanya mengandalkan ikatan-ikatan pertemanan. Bagi anggota baru yang
tertarik pada ide-ide HTI akan langsung dibina dengan metode halaqah am4
(pertemuan atau forum untuk mendiskusikan maslah-masalah agama).5
Selanjutnya sekitar tahun 2002 aktivitas dakwah HTI mulai lebih terorganisisr
dengan rapi, kemudian pada tahun ini pula mereka melakukan beberapa kali

M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek
Demokrasi, (Jakarta: LP3S, 2008), h. 75-76.
4
Halaqaham biasanya dilakukan untuk memperkenalkan dan membina siapa saja yang
memiliki ketertarikan dengan ide-ide HTI. Halaqaham ini dilakukan oleh aktivis HTI sebagai
pembinanya. Adapun peserta halaqaham ini sangat terbatas, biasanya satu orang pembina akan
menangani maksimal lima orang peserta. Halaqoh ini dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan dan
minimal delapan minggu waktu yang digunakan. Setelah selasai mengikuti Halaqoh umum ini, maka
peserta akan ditawarkan ke tahap selanjutnya dengan syarat peserta harus setuju dengan gagasangagasan HTI. Sumber diambil dari wawancara penulis dengan Ust. Fadlan, selaku ketua Komisariat
HTI UIN Jakarta, di Masjid Al-Mukhlisisn Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang
Selatan Prov. Banten, pada 5 februari 2013. Pukul 15.00 wib.
5
Aat Yuliawati, Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta 2009, (Skripsi SI
Fakultas Dakwah dan Komunikasi 2009), h. 65.

halaqaham (pertemuan atau forum untuk mendiskusiakan masalah-masalah Islam)


dan pelatihan untuk perluasan organisasi.6 Di tahun 2003-2004 HTI mulai merambah
ke fakultas-fakultas di sekitar kampus UIN Jakarta. Pola gerakan yang mereka
bangun adalah dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi, kajian lesehan,
pengajian sederhana di masjid-masjid, kajian rutin anggota dan seminar. Salah satu
kegiatan seminar HTI yang paling banyak mendapat sorotan pada fase awal HTI
adalah Seminar Nasional Khilafah dengan tajuk Penegakan Syariat Islam
Relefankah ?.... Acara tersebut di selenggarakan pada tahun 2004 di Aula Student
Center UIN Jakarta. Adapun yang menjadi pembicara dalam senimar tersebut yaitu,
DPP HTI yaitu Ust. Hafid Abdurahman dan Ust. Abu Zaid.7
Sejak menit pertama kedatangannya di kampus UIN Jakarta hingga saat ini para
aktivis HTI masih konsisten dalam melakukan aktivitas gerakan. Asumsi ini dapat
dibuktikan dengan adanya beberapa kegiatan/aktivitas HTI yang sampai saat ini tetap
berlangsung seperti halnya terlihat pada kegiatan-kegiatan HTI di tahun 2012 yang
lalu. Menjelang tahun 2012 para aktivis HTI mengadakan halaqah rutin dengan tema
Islam: Aqidah, dan Syariah, Solusi Problematika Umat 2012, yang bertempat di
masjid-masjid sekitar kampus seperti masjid Al-Mukhlisin, Baiturrahmah, Fatullah,

Halaqaham dalam pengertian kalangan HTI merupakan kegiatan yang dilakukan aktivis
HTI untuk memperkenalkan HTI kepada orang-orang yang belum mengenal HTI. Halaqah am sendiri
dalam HTI dilakukan dengan berbagai uslub (cara) seperti diskusi, seminar, dialog dan bahkan
mengunakan pendekatan personal seperti dengan memanfaatkan hubungan teman kost, teman kuliah,
saudara, dan keluarga. Lihat Arifin dalam Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis:
Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 155-161.
7
Yuliawati, Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta 2009, h. 65.

al-Mugirah dan lain-lain.8 Menurut keterangan Andriansyah dalam wawancara


dengan penulis menyebutkan bahwa, dalam rentang waktu dua bulan antara
Desember dan Oktober 2012 HTI telah mengadakan lima kali halaqah di Masjid
Baiturrahmah dan dalam halaqah tersebut ada sekitar 15 peserta baru di tiap-tiap
pertemuannya.9
Adapun yang menjadi pemateri dalam seminar tersebut HTI langsung
mendatangkan pengurus DPP HTI seperti Drs. Wahyudi Al-Marokay (anggota
Lajnah Faaliyah DPP HTI) dan Ust. Ade Sudiyana. LC (anggota Lajnah Tsaqafiyah
DPP HTI), dan acara tersebut bersifat umum.10
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, seminar adalah salah satu bagian dari
strategi HTI UIN Jakarta untuk memperluas pengaruh mereka di lingkungan kampus
UIN Jakarta. Selain melalui halaqaham, HTI juga memangfaatkan media serta
tulisan-tulisan kecil sebagai instrumen dakwahnya seperti pembuatan web site
www.uinjakartamenujukhilafah.or.id, www.hizb-tahrir.or.id, pembuatan pamflet,
buletin (Al-Islam, Gema Pembebasan UIN Jakarta) majalah (al-Waie), selembaranselembaran, koran (media umat) dan mereka juga terlibat dalam media elektronik
8

Wawancara penulis dengan Firman Kelana (koordinator lapangan HTI UIN Jakarta dalam
acara daurah Islam, Aqidah, Syariah: Solusi Problematika Umat 2012), di Masjid Fathullah Kec.
Cipuat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 4 Desember 2012, pukul 20.30 wib.
9
Wawancara penulis dengan Andriansyah (pengurus Masjid Baiturrahmah Legoso Kec.
Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten. Selain menjadi pengurus masjid, Andriyansah juga aktif
sebagai Mahasiswa di Fakultas Science dan Teknologi, smester 8 UIN Jakarta), di Masjid
Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 12 April
2012, pukul 15.00 wib.
10
Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), di Masjid
Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten. Pada 5
Febriari 2013, pukul 15.00 wib.

yaitu Radio Dakwah dan Komunikasi (RDK) di fakultas dakwah dan komunikasi
UIN Jakarta.
Pola gerakan lainnya yang lakukan oleh HTI UIN Jakarta adalah dengan
memanfaatkan sumber daya organisasi. Pemanfaatan sumber daya organisasi ini
diwujudkan dalam bentuk perluasan subsistem-subsistem di internal organisasi,
seperti pembuatan kelompok-kelompok kecil yang memiliki relasi langsung dengan
HTI. Kelompok-kelompok ini di bentuk selain untuk pengembangan intelektual, juga
bertujuan untuk mengenalkan ide-ide HTI ke para mahasiswa. Beberapa sub
organisasi tersebut diantaranya adalah kelompok diskusi Gema Pembebasan yang
memliki agenda rutin setiap satu minggu satu kali, diskusi LISMA untuk kaum
perempuan HTI, Muslimah HTI, Muslim Science Comunity (MSC), SRIKAIA (Seri
Kajian dan Analisa), dan lain-lain.11
Pada 3 April 2013, kelompok diskusi Muslimah HTI UIN Jakarta mengadakan
dialog interaktif di Saung Bambu. INA Ciputat dan tema yang diangkat adalah
Menjawab Pertanyaan Seputar Khilafah.12 Aktivitas diskusi ini sengaja bersifat
terbuka, sehingga bagi siapa saja yang tertarik terhadap kajian keilmuan bisa mudah
bergabung didalamnya tanpa diberikan sekat-sekat golongan.

11

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), di Masjid
Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, Pada 5
Febriari 2013, pukul 15.00 wib.
12
Muslimah HTI Chapter UIN Jakarta, Dialog Interaktif:Menjawab Pertanyaan Seputar
Khilafah, Pamflet , 10 April 2013, bg 1.

Berkat pola gerakan tersebut HTI UIN Jakarta menjadi mudah dikenal oleh para
mahasiswa di kampus UIN Jakarta. Hal lain yang penting diperhatikan terkait
pengembangan organisasi HTI adalah strategi kaderisasi. Dalam melakukan
kaderisasi HTI memiliki strategi yang berbeda dengan organisasi-organisasi internal
kampus pada umumnya seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
Himpunan Mahasiswa Indinesia (HMI), Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan lainlain. Di HTI calon kader tidak akan menemukan proses kaderisasi seperti LK
(Latihan Kader) di HMI atau MAPABA (Masa Pengkaderan Anggota Baru) di PMII.
Pada umumnya baik di PMII ataupun di HMI, setiap mahasiswa yang ingin menjadi
kader cukup dengan mengikuti MAPABA atau LK, setelah selesai mereka sudah bisa
dinyatakan sebagai kader.13 Meskipun di HMI maupun di PMII juga memiliki
tingkatan-tingkatan dalam proses kaderisasi namun tidak serumit seperti di HTI.
Di HTI proses kaderisasi terbagi ke dalam beberapa tahapan-tahapan yang harus
dilalui oleh calon kader. Setelah kader dinyatakan selesai mengikuti tahap-tahap yang
telah ditentukan, baru mahasiswa/anggota dinyatakan menjadi kader HTI. Tahapan
yang pertama biasanya dikenal dengan halaqaham (pengajian sederhana untuk
peserta awal). Halaqaham ini dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan dengan
durasi waktu paling cepat delapan minggu. Setelah kader mengikuti halaqaham,
biasanya darsin (peserta yang bersetatus sebagai pengkaji ide-ide HTI dalam
halaqaham) diberikan penawaran apakah mereka setuju atau tidak dengan gagasan-

gagasan HTI, apabila setuju maka darisin layak mengikuti tahap selanjutnya dan
apabila tidak, maka proses kaderisasi dihentikan.14
Potret seperti inilah yang menjadi pembeda HTI dengan organisasi-oragnisasi
lain pada umumnya. Selain memiliki pola gerakan dan strategi khusus HTI juga
terkenal dengan keberadaan para aktivis/kader yang konsisten, militan dan kritis yang
siap memperjuangkan ideologinya. Sumbangsih yang diberikan para aktivis terhadap
organisasi sangat berpengaruh besar terhadap pengembangan organisasi. Dalam
perspektif teori gerakan sosial, persoalan massa atau anggota diklasifikasikan ke
dalam kerangka konsep resouce mobilisation (mobilisasi sumber daya), yang menjadi
salah satu modal sosial bagi gerakan sosial. Keberadaan para anggota sangat penting
bagi gerakan sosial karena mereka akan berperan memobilisasi, mengkader, dan
menyebarkan ide-ide organisasi melalui proses interaktif.
Untuk memotret keterlibatan aktivis/anggota dalam melakukan mobilisasi dapat
dilihat ketika persiapan menjelang Mukhtamar Khilafah HTI pada 2013 di Gelora

14

Dalam proses halaqaham ini biasanya terbagi ke dalam dua tahap. Tahap yang pertama
seorang calon anggota diwajibkan mengikuti halaqaham tahap pengenalan tentang HTI, tahapan ini
peserta halaqah tidak langsung mengkonsumsi/mengkaji kitab-kitab wajib HTI seperti Nizhamul Islam
(Peraturan Hidup dalam Islam), Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam), dll. Tetapi,
peserta awal hanya diberikan materi umum dan gambaran tentang HTI secara umum. Adapun waktu
yang diberikan untuk halaqah ini yaitu delapan minggu dari delapan kali pertemuan. Setelah tahapan
ini dilalui, maka peserta diberikan kesempatan untuk memilih apakah dia siap atau tidak mengikuti
halaqah selanjutnya dengan syarat harus komitmen dan setuju dengan ide-ide HTI bila peserta
menyatakan siap. Dalam halaqah am lanjutan inilah peserta akan diwajibkan mengkaji kitab-kitab
HTI dan tentunya dengan waktu yang lebih panjang bahkan bisa menghabiskan waktu hingga hitungan
tahun. Wawancara penulis dengan Gustar (salah satu pembina halaqah am HTI UIN Jakarta), pada 25
Maret 2013, pukul 20.00 wib, di Masjid Fathullah Komplek UIN Jakarta Kel. Pisangan Kec. Ciputat
Kota Tangerang Selatan Prov. Banten,.

Bung Karno Senayan Jakarta. Dalam upaya mobilisasi massa, hampir seluruh aktivis
HTI di UIN Jakarta dilibatkan untuk berperan baik itu sosialisasi, perekrutan peserta,
maupun kepanitiaan di acara tersebut. Menurut keterangan Ust. Zen menyebutkan:
Dalam mukhtamar khilafah kali ini HTI UIN Jakarta menargetkan sekitar 700 lebih
peserta yang dihandle oleh HTI UIN Jakarta. Dan tadi pagi sudah ada beberapa bus
yang telah diberangkatkan yaitu bus khusus akhwat. Keseluruhan bus yang telah
disediakan sekitar 20 bus untuk wilayah ciputat dan HTI UIN sebagai
penanggungjawab nya.15

Keterangan yang dipaparkan di atas, merupakan sebuah prestasi yang cukup


gemilang bagi usaha mobilisasi. Bagaimana tidak, dalam tenggang waktu yang tidak
terlalu lama para aktivis HTI mampu memobilisasi massa yang relatif banyak.
Keberhasialan HTI dalam memobilisasi massa tidak terlepas dari peran aktivis yang
konsisten dan memiliki loyalitas tinggi terhadap organisasi. Selain dalam hal
mobilisasi, para aktivis juga terlibat dalam berbagai kegiatan HTI seperti
halaqaham, pengajian lesehan, dan sosialisasi tentang ide-ide HTI baik melalui
lisam maupun tulisan.
Misi besar HTI adalah membangun sebuah tatanan masyarakat secara global
yang diatur oleh syariat Islam. Bagi HTI, sebuah tatanan masyarakat yang Islami
akan terwujud jika di dukung oleh keberadaan struktur politik Islam. Maka dari itu,
15

Wawancara dilakukan ketika menjelang keberangkatan rombongan HTI UIN Jakarta.


Dalam keterangan Ust. Zen, tidak disebutkan berapa peserta yang sudah pasti ikut dalam acara tersebut
meskipun HTI menargetkan 700 lebih peserta dari Ciputat dan UIN Jakarta. Dalam pantauan penulis,
peserta yang ikut cukup banyak dan hampir mendekati mendekati dengan jumlah yang Zen
kemukakan. Namun, dalam temuan penulis meskipun jumlah yang ikut cukup banyak tetapi peserta
yang ikut tidak semua menyandang status HTI/kader HTI tapi ada sebagaian dari peserta sengaja
didatangkan dan statusnya sebagai undangan. Wawancara penulis dengan Ustdz. Zen (salah satu
koordinator Mukhtamar Khilafah UIN Jakrta), pada 2 Juni 2013, pukul 05.30 wib, di depan Masjid
Fathullah Komplek UIN Jakarta Ke. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten.

HTI menawarkan struktur politik Khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya sistem


politik yang dapat menciptakan tatanan Islami, sistem khilafah juga diyakini sebagai
sistem yang bersumber dari al-quran dan sunah.16
Penerimaan HTI terhadap institusi khilafah secara total merupakan bagian dari
indikator bahwa mereka memahami teks keagamaan atau doktrin agama itu secara
skriptual.17 Selain dimensi politik, HTI juga sangat berhati-hati dalam menyikapi
segala macam gagasan-gagasan Barat. Sikap ekslusif ini diekspresikan ke dalam
bentuk penolakan mereka terhadap ide-ide dari Barat, seperti demokrasi, komunisme,
matrealisme, kapitalisme, pluralisme, liberalisme dan isme-isme lainnya.18
Sikap HTI yang menolak gagasan-gagasan Barat dan cenderung tektual dalam
memahami doktrin agama tersebut telah menjadi karakter tersendiri bagi kelompok
ini. Maka dari itu, sebagian para sarjana ilmu sosial-keagamaan mengelompokan HTI
ke dalam kerangka konseptual gerakan fundamentalis Islam.
Dalam menyikapi Islam fundamentalis, dikalangan para sarjana memang masih
mengundang kontoversi. Tidak sedikit para sarjana yang menolak terhadap istilah
fundamentalis untuk disejajarkan dengan fenomena gerakan Islam. Seperti halnya
Martin Van Bruessen mengatakan bahwa: Penerapan terminologi fundamentalis dalam
16

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia, h. 100.
17
Skriptual yang di maksud adalah cara memahami atau mengartikan teks keagamaan secara
harfiah atau mereka menolak segala bentuk penafsiran yang bersifat aqliyah dan kontekstual, karena
dihawatirkan dapat mengurangi otensititas teks agama. Lihat Nurkhakim, Islam Tradisi dan
Reformasi: Pragmatisme Agama dalam Pemikiran Hasan Hanafi, h. 35-42.
18
Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia, h. 95-98.

10

konteks

Islam

menimbulkan

beberapa

asosiasi,

bagaimanapun

kita

berusaha

mendeskripsikannya akan tampak sulit difahami.19

Selain Van Bruisen, pemikir lain seperti Khursid Ahmad menolak dengan alasan
istilah fundamentalisme adalah tradisi Kristen Barat, jika tetap digunakan berarti
terjadi pemerkosaan yang besar-besaran terhadap sejarah.20
Merujuk pada pendapat para sarjana di atas, menghubungkan HTI dengan
gerakan fundamentalisme Islam memang bukanlah perkara mudah sebab dari sisi
historis, karakter, tempat dan rentang waktu pertumbuhan gerakan tersebut sudah
berbeda. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa gerakan fundamentalis lahir dari
tradisi gereja Protestan di Barat (Amerika) pada paruh abad ke-19 dan permulaan
abad ke 20-an.21 Lain halnya dengan gerakan HTI, mereka lahir dan berkembang
seiring dengan kemunculan gerakan-gerakan Islam kontemporer di Timur Tengah
sekitar tahun 1952. Selanjutnya Hizbut Tahrir ditransfer ke Indonesia sekitar
1982/1983, dan mendapatkan penambahan nama Indonesia pada akhir kata tersebut
sebagai penunjuk identitas suatu negara.22
Meskipun banyak sarjana yang menolok kedua istilah disejajarkan, namun ada
pula sarjana yang justru menerima kedua istilah itu disejajarkan. Di antara para
19

Ufi Ulfiyah, Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Taswirul Afkar Edisi ke-13
Tahun 2012, (Skripsi SI Fakultas Dakwah dan Komunikasi, 2008), h. 39.
20
Khursid Ahmad, Sifat Kebangkitan Islam, John L Esposito (ed). Dinamika Kebangkitan
Islam, trj. Hasan (Jakarta: Rajawali Perss, 1985), h. 283.
21
Karen Amstrong, Berperang Demi Tuahan, trj. Satrio Wahono, dkk. (Bandung: Mizan,
2001), h. 10.
22
Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi, Revivalisme Islam Timur Tengah ke
Indonesia, h. 100.

11

sarjana yang setuju adalah Roxanne L. Euben dan Bassam Tibi. Menurut kedua
sarjana tersebut bahwa fundamentalisme merupakan kelompok dan gerakan religiopolitik

yang berusaha mengubah sistem sekuler dengan sistem politik yang

didasatkan pada agama.23 Senada dengan Euben dan Tibi, sarjana lain seperti Leonard
Binder mendefinisikan fundamentalisme di dunia Islam bertujuan menetapkan
tatanan politik Islam yang mana syariah akan diakui secara umum dan dilaksanakan
sebagai sebuah hukum secara legal.24
Berdasarkan pandangan dari para sarjana di atas, paling tidak penulis sudah
sedikit mendapatkan dukungan teoritis untuk menggabungkan kedua istilah yang
berbeda tersebut. Apabila HTI telah dapat diklasifikasikan ke dalam kerangka konsep
gerakan fundamentalis, maka usaha selanjutnya penulis akan menghubungkan
fenomena HTI ke dalam konteks sosial di UIN Jakarta.
Sebagaimana telah umum diketahui bahwa UIN Jakarta adalah kampus Islam
yang sedang melakukan proses modernisasi pendidikan. Secara teoritis moderenisasi
bertujuan untuk merubah sebuah tatanan yang dianggap kolot, fundamental, tradisionl
ke dalam tatanan yang dianggap modern sesuai dengan perkembangan zaman.
Logikanya, apabila istilah moderenisasi dihadapkan dengan istilah fundamental yang

23

Dikutip dari Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis:
Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 320.
24
Ulfiyah, Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Taswirul Afkar Edisi ke-13
Tahun 2012, h. 41.

12

lebih mencerminkan tradisional maka akan terjadi benturan yang mengarah pada
pengkikisan nilai-nilai, nilai tradisional oleh modern atau pun sebaliknya.
Dalam skripsi ini HTI diklasifikasikan sebagai gerakan Islam yang
merepresentasikan nilai-nilai fundamental. Lain halnya dengan UIN Jakarta, ia adalah
institusi pendidiakan yang mengusung proses moderenisasi dalam berbagai aspek
baik secara struktural maupun kultural. Oleh karena itu, tidak menuntut kemungkinan
akan terjadi pembendungan ruang gerak bagi pertumbuhan gerakan Islam
fundamental termasuk HTI.
Untuk membenarkan hipotesis di atas, maka skripsi ini akan menganalisis
keberadaan HTI di kampus UIN Jakarta. Adapun tema masalah yang akan di kaji
dalam skripsi ini adalah: Gerakan Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Studi
Tentang (Pola gerakan dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus
UIN Jakarta)
B. Pertanyaan Penelitian
Gerakan HTI adalah gerakan Islam yang tergolong aktif melakukan kaderisasi
di hampir seluruh kampus-kampus di Indonesia. Di UIN Jakarta organisasi HTI
merupakan organisasi yang juga terbilang berhasil dalam menjalankan aktivitas
keorganisasian seperti proses kaderisasi, penyebaran opini, pengembangan sumber
daya organisasi, maupun dalam penyeberan gagasan-gagasan ke HTI-an (Ideologi,
visi-misi, pola keberagamaan, orientasi politik dll).

13

Agar penelitian ini bersifat sistematis dan objektif, maka perlu dirumuskan
beberapa pertanyaan yang menjadi fokus dalam skripsi ini:
a. Bagaimana pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI di kampus UIN
Jakarta ?
b. Faktor apa saja yang menjadi pendukung keberadaan HTI di kampus UIN
Jakarta ?
c. Apakah

di

UIN

Jakarta

telah

terjadi

pertumbuhan

gerakan

fundamentalisme Islam ?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini yaitu untuk mengetahui pola gerakan
dan strategi kaderisasi HTI dan mengetahui faktor apa saja yang menjadi pendukung
keberadaan HTI di kampus UIN Jakarta. Selanjutnya, mengingat UIN Jakarta adalah
kampus Islam yang sedang melakukan proses moderenisasi di berbagai sektor, maka
penelitian ini juga bertujuan untuk mengetehui apakah di UIN Jakarta terjadi
peretumbuhan gerakan Islam fundamentalis serta mencari beberapa indikator nya.
2. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini untuk menambah wawasan mahasiswa pada
umumnya dan bagi penulis pribadi pada khususnya bahwa gerakan HTI di kampus
UIN Jakarta memiliki berbagai pola dan strategi tersendiri dalam mengembangkan
organisasinya. Kemudian UIN Jakarta yang statusnya sebagai kampus modern juga

14

tidak luput dari tumbuhnya gerakan Islam fundamentalis didalamnya. Maka dari itu,
perlu kita amabil hikmah dari fenomena tersebut sebagai tambahan pengetahun
khususnya dalam mengembangkan ilmu sosial dan politik.
D. Tinjauan Pustaka
Dewasa ini telah terdapat banyak penelitian yang mengkaji masalah gerakan
sosial keagamaan dengan mengambil objek penelitian tentang HTI. Di antara
penelitian tersebut yang mendekati dengan penelitian penulis saat ini adalah
penelitian Syamsul Arifin yang bertema Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum
Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia. Peneliian Arifin dilakukan di
kampus-kampus di Malang, khususnya UIN Malang pada 2005. Arifin melakukan
analisis mendalam tentang ideologi HTI dan berusaha untuk menghubungkan HTI
dengan gerakan fundamentalis terutama pada analisis ideologi. Kemudian, Arifin juga
berupaya memaparkan penemuannya terkait dengan pola gerakan HTI di kampuskampus di Malang.
Sisi pembeda yang akan coba peneliti lakukan terkaiat penelitian skripsi ini
dengan penelitaian Arifin adalah penulis mengambil lokasi di kampus UIN Jakarta
dan daerah Jakarta. Dengan mengambil lokasi yang berbeda, paling tidak akan
nampak perbedaan terhadap ruang, mengingat jarak antara Malang dan Jakarta cukup
jauah. Kemudian durasi waktu yang dilakukan Arifin pada 2005 cukup jauh dengan
yang dilakukan penulis di 2013. Sebagaimana halnya sejarah, setiap ruang dan waktu

15

pastinya akan meniscayakan pengalaman-pengalaman baru yang berbeda pengalaman


sebelumnya. Secara substansi penelitian ini hanya akan berfokus pada strategi
kaderisasi dan pola-pola gerakan, sehingga ini akan berbeda dengan penelitian Arifin
yang memfokskan tidak hanya pada pola gerakan tetapi Arifin lebih meluas dan
menekankan dimensi ideologi HTI.
Selain Arifin, penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Aat Yuliawati, yang
meneliti tentang eran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta. Penelitian
yang dilakukan Aat dilakukan pada 2009, dan memfokuskan penelitiannya pada
materi-materi isi dakwah HTI di Kampus UIN Jakarta sebagai fokus analisisnya.
Meskipun penelitian ini mengambil objek yang sama dan tempat yang sama, namun
fokus penelitian penulis dengan Aat terdapat sisi perbedaannya yaitu, penelitian
penulis lebih fokus pada pola gerakan dan strategi HTI dalam melakukan kaderisasi,
sedangkan Aat memfokuskan pada materi dakwah HTI. Maka dari itu, penelitian
yang akan dilakukan penulis akan nampak jelas perbedaannya.
Adapun Imdadun Rahmat dalam dalam bukunya Arus Baru Islam radikal:
Transmisi, Revivalisme Islam timur Tengah ke Indonesia, juga pernah menyinggung
tentang HTI, namun Rahmat mengutarakan HTI dalam konteks general. Rahmat
melakukan analisis relasional antara gerakan-gerakan Islam Indonesia dan Timur
Tengah yang kemudian disimpulkan pada konsep revivalisme Islam transnasional.
Selain Rahmat, penelitian serupa juga dilakukan oleh M. Zaki Mubarak dalam buku
Geneologi Islam Radikal Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi.

16

Karya Mubarak, juga hampir serupa dengan Rahmat, yakni kedua peneliti tersebut
meletakan HTI ke dalam konteks yang lebih general. Keduanya tidak mengangkat
satu objek tunggal, sehingga penelitiannya terlihat hanya mendeskripsikan saja.
Namun, usaha yang dilakukan kedua peneliti tersebut patut diapresiasi karena
keduanya telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap pengetahuan akademisi
dan kontribusi refrensi tentang gerakan sosial. Oleh karena itu, penelitian yang
dilakukan penulis saat ini tidak lepas dari kontribusi para sarjana di atas, khususnya
dalam hal pemberian refrensi.
E. Kerangka Teoritis
1. Teori Fundamentalis Islam
Menghubungkan

gerakan

Hizbut

Tahrir

Indonesia

dengan

gerakan

fundamentalis bukanlah perkara yang mudah bagi siapapun yang tertarik meneliti
kedua gerakan ideologis tersebut. Dalam wacana gerakan-gerakan sosial kedua
gerakan di atas (HizbutTahrir dan fundamentalis) tersebut nampak jelas sisi
perbedaannya baik secara historis maupun dari sumber keduanya dilahirkan. Selain
itu, Penelaahan para sarjana mengenai gerakan Islam fundamentalis masih
mengundang pro dan kontra. Terlebih gerakan fundamentalis seolah sudah terlanjur
tercederai oleh stigma negatif, sehingga cukup sulit bagi penulis untuk
menghubungkan kedua gerakan ini dengan gerakan Islam.
Berangkat

dari

teoritisasi

Eumen

dan

Tibi,

yang

menggolongkan

fundamentalisme sebagai gerakan-religio politik dan berorientasi membangun sebuah

17

tatanan politik agama, maka langkah penulis meletakan fundamentalisme sebagai


kerangka teori dalam penelitian ini sedikit banyak telah menuai dukungan teoritis.25
Adapun soal istilah fundamentalisme dalam penelitian ini digunakan hanya sebagai
tipe ideal (ideal type), agar cara penggunaannya lebih fleksibel, sehingga dengan
meletakan

HTI

sebagai

ideal

type,

maka

akan

mempermudah

penulis

menghubungkan gerakan HTI ke dalam kerangka fundamentalisme.


Cara kerja peletakan ideal type yang dilakukan penulis adalah dengan
mengidentifikasi berbagai karakteristik yang dianggap memiliki kesamaan yang satu
dengan yang lain. Tentu saja berbagai kriteria HTI yang sama dengan gerakan
fundamentalis tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai apakah HTI dapat
dikatagorikan fundamentalis atau tidak. Namun, berbagi ciri-ciri tertentu semata-mata
berfungsi sebagai woring hypothesis untuk membantu melihat persoalan yang
mengandung kemiripan-kemiripan. Dengan kata lain, jika suatu fenomena
kaberagamaan hanya memenuhi satu atau dua kriteria bukan berati dia tidak dapat
diasosiasikan pada suatu golongan tertentu (fundamentalis). Sebaliknya, bila
fenomena tersebut memiliki kriteria lebih dari tiga, ia juga tidak dapat dikeluarkan
dari katagori kelompok tertentu (fundamentalis).
Penelitian yang dilakuakan Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, ketika
meneliti tentang fundamentalisme dan radikalisme menunjukan cara pendekatan yang

25

Dikutup dari Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis:
Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 320.

18

hampir sama. Dalam menjelaskan istilah fundamentalisme, mereka tidak sekedar


mendaftar kriteria-kriteria yang mencari istilah tersebut. Lebih dari itu, mereka
meletakan kriteria fundamentalisme dalam kerangka ideal type agar cara
penggunannya lebih fleksibel.26
2. Teori Gerakan Sosial
Sebagaian kalangan dari para sarjana ilmu sosial umumnya memiliki
perbedaan pandangan ketika memahami gerakan sosial. Namun, dari berbagai
perbedaan itu ada semacam kesepakatan yang muncul di kalangan mereka yaitu
terkait dengan tiga faktor: kesempatan politik (political opportunities), mobilisasi
sumber daya (resource mobilitation), dan proses pembingkaian (framing processes).
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan ketiga faktor yang muncul
dalam studi gerakan sosial sebagai bagian dari media analisis untuk mengetahui
berbagai masalah yang menjadi fokus penelitian ini. Seperti pada umumnya para
peneliti gerakan sosial, penelitian ini juga akan berangkat dari analisis kemunculan
sebuah gerakan sosial dalam hal ini HTI di kampus UIN Jakarta.
Untuk mendeteksi kemunculan gerakan sosial tersebut, maka akan diletakan
pendekatan struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang
bertujuan untuk menganalisis kontek sosial dari kemunculan gerakan sosial. Argumen

26

h.xvii-xix.

Bahtiar Efendy dan Hendro Prasetyo, ed., Radikalisme Agama (Jakarta: PPIM, 1998),

19

utama dari pendekatan ini adalah bahwa berhasil atau tidaknya aktivis gerakan dalam
mengembangkan

klaim-klaim

tertentu,

atau

mobilisasi

massa/suporter

dan

menyebarkan pengaruh sangat tergantung pada konteks sosial-politik.27 Adapun


wilayah kerja pendekatan ini penulis gunakan hanya pada konteks mikro yaitu hanya
pada scope HTI di kampus UIN Jakarta. Variabel selanjutnya yang tidak kalah
penting untuk digunakan dalam penelitian ini adalah studi tentang alat atau instrumen
atau mekanisme relasional dalam rangka menyediakan infrastruktur pendukung yang
mereka butuhkan. Paling tidak terdapat tiga elemen penting dalam infrastruktur: basis
keanggotaan, jejaring komunikasi, dan pimpinan atau tokoh gerakan.28 Studi tentang
alat atau instrumen ini dikenal sebagai mobilisasi sumber daya .29
Selain dimensi-dimensi kesempatan politik dan mobilisasi sumber daya,
dalam teori gerakan sosial dibutuhkan untuk mengkaji bagaimana individu-individu
peserta mengkonseptualisasikan diri mereka sebagai suatu kolektivitas. Selain itu,
gerakan sosial juga penting untuk mengetahui bagaimana para calon peserta
diyakinkan untuk berpartisipasi, dan cara dimana makna diproduksi, diartikulasikan
dan disebarkan oleh aktor-aktor gerakan melalui proses interaktif. Dalam
perkembangan sebuah teoritis terhadap gerakan-gerakan sosial, minat ini umumnya
mewujudkan melalui studi tentang framing (pembingkaian).

27

Mukhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, h. 20.


Ibid., h. 22.
29
Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, h. 32-39
28

20

Trend pembingkain ini akan coba penulis gunakan sebagai alat analisis dalam
penelitian ini. Di beberapa aksinya HTI UIN Jakarta sering melakukan proses
framing untuk memobilisasi anggota, seperti terlihat dalam pembingkain terhadap
isu-isu nasional maupun internasional.
3. Strategi
Dalam penelitian ini, HTI diklasifikasikan sebagai salah satu dari eksemplar
kelompok fundamentalisme Islam dan ingin dipahami melalui perspektif teori
gerakan sosial. Dalam teori gerakan sosial dikemukakan bahwa, selain ideologi
gerakan sosial juga dipengaruhi oleh basis massa dan strategy for action.30
Sebagaimana disebutkan di atas, massa dalam gerakan sosial memiliki posisi
penting karena melalui kekuatan massa atau kader, suatu gerakan akan lebih mudah
untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam ideologi. Selanjutnya, karena
keberadaan massa/kader sangat amat penting maka gerakan sosial juga meniscayakan
pada strategi yang dirancang secara cermat. Strategi ini berkaitan dengan tata cara
untuk memperluas basis massa, pembinaan, serta strategi lainnya yang bisa
mengarahkan gerakan sosial agar bisa meraih tujuan secepat-cepatnya.
Mengingat pentingnya sebuah strategi, maka HTI sebagai gerakan sosial
membutuhkan strategi-strategi untuk membina dan memperluas basis massa nya.

30

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia, h. 68.

21

Penelitian ini akan meletakan strategi ke dalam satu kerangka teori secara terpisah,
agar mampu menggambarkan dengan komprehensishif

bagaimana strategi HTI

dalam merekrut kader-kadernya. Langkah seperti ini, berawal dari asumsi bahwa HTI
dikenal sebagai organisasi yang cukup selektif dalam merekrut kader-kadernya,
namun selektifitas terhadap perekrutan kader ini justru membuat HTI terbilang sukses
dalam merekrut anggota.
F. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini
adalah library research dan observasi. Adapun library reseach yaitu metode
penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan
berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari
buku-buku, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan tentang subjek yang
dituju.31 Kemudian metode observasi yaitu penulis melakukan upaya pencaharian
data dengan cara terlibat langsung di lapangan dalam beberapa kegiatan-kegiatan HTI
dan penulis melakukan wawancara pada beberapa responden yang dianggap
representatif dengan penelitian yang penulis lakukan.
Penelitian gerakan sosial ini juga bersifat kualitataif yang berangkat dari
generalisasi empiris atau realitas sosial sejarahnya. Realitas-realitas tersebut
dideskripsikan dan dianalisis secara komprehensif. Aspek yang bersifat fenomenal

31

Mohamad Kasiram, Metodelogi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman dan


Penguasaan Metodelogi Penelitian, (Malang: UIN Press, 2008), h. 111.

22

juga dideskripsikan dan ditelaah secara kritis. Penelitian kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan prilaku yang
dapat di amati dari subjek itu sendiri. Pendekatan ini menunjukan langsung dari
setting itu secara keseluruhan. Subjek setudi baik berupa organisasi, lembaga, atau
pun individu tidak di persempit menjadi variabel yang terpisah atau menjadi
hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari satu keseluruhan.32
Metode kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analitis ini bertujuan
untuk menggambarkan pola gerakan Hizbut Tahrir Indonesia dan faktor pendukung
gerakan mereka di Kampus UIN Jakarta. Kemudian penulisan dalam skripsi ini
disesuaikan dengan standar karya ilmiah (skripsi, tesis, dan desertasi) yang
diterbitkan Center for Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Teknik penulisan ini yang digunakan adalah merujuk pada
pedoman penulisan skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2011. Selain itu penulis juga mewawancarai sejumlah pengurus organisasi
HTI khususnya yang masuk pada struktur organisasi HTI di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam hal ini, penulis akan menanyakan seputar pola gerakan
dan faktor yang mendukung HTI di lingkungan kampus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Jawaban dari pengurus HTI tersebut akan dijadikan sumber rujukan data
analisa untuk menambahkan referensi dalam skripsi ini. Penulis paling tidak

32

Burhan Bungin, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodelogis Ke Arah Ragam


Farian Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 31.

23

mewawancarai ketua atau anggota yang memiliki posisi strategis dalam kepengurusan
HTI di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penelitian
Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini maka penulis menggunakan
beberapa hal tentang sistemmatika penulisan dan disusun menurut bab per bab.
Kemudian dijelaskan sub per seb dari setiap tema pembahasan. Bab I, merupakan
pendahuluan yang mencakup tentang penyataan masalah, pertanyaan penelitian,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metedologi
penelitian dan sistematika penulisan. Bab II meliputi tinjauan teoritis yang
mengedepankan beberapa teori yaitu fundamentalisme, teori gerakan sosial yang
dilengkapi dengan beberapa sub tema yaitu struktur kesempatan politik, mobilisasi
sumberdaya dan pembingkaian dan teori strategi. Bab III, membahas tentang
gambaran gerakan Islam Hizbut Tahrir, sejarah Hizbut Tahrir di Indonesia, Hizbut
Tahrir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi
yang berideologi Islam, visi dan misi HTI di Kampus UIN Jakarta.
Bab IV, menganalisa pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI di Kampus
UIN Jakarta dengan sub tema masjid sebagai instrumen pengembangan jaringan
sosial HTI UIN Jakarta, memanfaatkan relasi personal (pertemanan dan keluarga),
membentuk kelompok studi dan memanfaatkan sarana kampus, pembingkaian isu
sebagai pola gerakan HTI UIN Jakarta, strategi kaderisasi HTI di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahapan pembinaan dan pengkaderan, tahapan berinteraksi

24

dengan umat, tahapan pengambilan kekuasaan, faktor yang mendukung eksistensi


HTI di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jaringan, keberadaan aktivis
sebagai sumberdaya, dan eksistensi HTI sebagai indicator fundamentalisme Islam di
Kampus UIN Jakarta. Bab V, mengenai sumber-sumber dan rujukan yang dipakai
dan dukumpulkan dalam daftar pustaka.

25

BAB II
TEORITIS
Berdasarkan pernyataan masalah yang telah dipaparkan dalam bab I bahwa
yang menjadi pertanyaan masalah dalam skripsi ini adalah bagaimana pola gerakan
dan strategi kaderisasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) di Kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selain itu, karena HTI adalah organisasi yang eksis relatif lama,
maka penulis akan mencari faktor-faktor pendukung keberadaan HTI di kampus UIN
Jakarta.
Selanjutnya dalam skripsi ini HTI juga digolongkan sebagai eksemplar dari
gerakan fundamentalisme Islam. Oleh karena itu, penting kiranya penilitian ini
menyinggung soal fundamentalisme Islam yang kemudian akan dicari relevansinya
dengan gerakan HTI. Untuk itu, penulis mengawali analisa bab ini dengan teori-teori
yang sekiranya mendukung pembahasan pada masalah-masalah tersebut. Teori yang
digunakan penulis akan diawali dengan teori yang bersifat umum kemudian diikuti
dengan teori-teori yang lebih spesifik penunjang skripsi ini.
Sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelumnya bahwa menghubungkan
gerakan fundamentalis dengan HTI bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam wacana
gerakan sosial kedua gerakan ideologis tersebut terlihat jelas dimensi perbedaannya
baik secara historis, kultural, maupun sumber kedua gerakan itu dilahirkan.
Memahami kata fundamentalis sebenarnya telaah penulis masih berkutat pada

26

tataran kata yang masih belum dikonotasikan pada suatu objek khusus. Namun,
berbeda dengan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia yang telah memiliki sifat khusus
karena kata ini telah merujuk pada suatu objek tentang kelompok tertentu. Kata
fundamentalis kemudian akan menjadi bermakna ketika dialamatkan pada suatu
peristiwa khususnya pada term gerakan keagamaan yang melibatkan sekte kristen
Protestan di Amerika pada abad ke-19 dan permulaan abad ke 20.1
Bersumber dari fenomena ini, maka oleh para sarjana ilmu sosial dan
keagamaan term fundamentalis memiliki makna dan merujuk pada suatu kelompok.
Gerakan fundamentalis Barat yang jelas-jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir yang
lahir dan berkembang dalam tradisi Islam di Timur Tengah. Pada tahun 1982/1983
gerakan ini ditransfer ke Indonesia dengan sebutan HTI. 2 Berangkat dari perbedaan di
atas, maka dibutuhkan dalam melakukan analisis empiris terkait kedua masalah
tersebut.
A. Teori Fundamentalisme
Sejak pertama kali dibentuk HTI telah menyebut identitas mereka sebagai
gerakan politik, bahkan para aktivis HTI mengaku bahwa HTI adalah nereka adalah
sebuah partai politik. Oleh karena itu, pola gerakan yang dibangun oleh HTI
dimanapun mereka berada selalu bersifat politis. Selain membentuk identitas politik

Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, trj. Satrio Wahono, dkk. (Bandung: Mizan,
2001), h. 10
2
Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi, Revivalisme Islam Timur Tengah ke
Indonesia,(Yogyakarta: LKIS, 2008), h. 100.

27

HTI juga banyak bergerak dalam ranah sosial-keagamaan sehingga sebagaian sarjana
mengasumsikan bahwa HTI sebagai gerakan keagamaan dan politik.
Sebagai gerakan politik ideologi yang dibangun HTI adalah ideologi Islam
artinya nilai-nilai Islam menjadi ruh untuk membangun sepirit perjuangan bagi HTI
serta Islam diyakini dapat mempersatukan umat di seluruh dunia Khilafah Islamiyah.3
Untuk memperkokoh keyakinan terhadap ideologi Islam An-Nabhani menegaskan:
Kami meyakini, bahwa filsafat kebangkitan Islam yang hakiki sesungguhnya bermula
dari adanya sebuah mabda (ideologi) yang menggabungkan fikrah dan tariqah secara
terpadu, ideologi tersebut adalah Islam. Sebab, Islam pada hakikatnya adalah sebuah
aqidah yang melahirkan peraturan untuk mengatur seluruh urusan negara dan umat,
serta merupakan pemecahan untuk seluruh msalah kehidupan.4

Menurut bahasa,kata khilafah berasal dari bahasa Arab khalafa ,yakhlifu,khilafatan yang
artinya menggantikan atau menjadi khalifah atau penguasa .Kata khalafa dapat diartikan kekuasaan
atau pemerintahan. Sedang menurut istilah ,khilafah yaitu susunan pemerintahan yang diatur menurut
ajaran Islam,dimana aspek-aspek yang berkenaan dengan pemerintahan seluruhnya berlandaskan
ajaran Islam. Bentuk khilafah yang benar-benar murni berlandaskan hukum-hukum Al Quran dan
sunnah pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW. Dan masa khulafaur rasyidin,dimana hukumhukum Al Quran dan As Sunnah benar-benar diikuti dan ditaati secara konsisten oleh seluruh kaum
muslimin. Khilafah dapat diwujudkan dan ditegaskan oleh umat Islam sendiri dan tidak mungkin hal
itu terwujud tanpa kemauan dan kehendak umat Islam yang bersangkutan.Adanya khilafah memang
sangat dibutuhkan oleh umat Islam ,sebab menyangkut segala aspek kehidupan umat Islam itu sendiri
,tanpa adanya khilafah ,kehidupan bersama umat Islam tidak akan teratur,kemakmuran bersama tidak
akan tercapai,bahkan eksistensi Islam dan umatnya dapat terancam. Konsep khilafah Islamiyah dewasa
ini mengandung dua pengertian yaitu a. Negara Islam yaitu negara yang sumber hukum atau undangUndangnya Al Qur an dan Sunnah dan dilaksanakan secara konsisten ,misalnya sekarang adalah Arab
Saudi. b. Negara Islam dalam arti negara yang mayoritas penduduknya Beragama Islam ,undangundangnya tidak secara eksplisit berdasarkan Al Qur an dan Sunnah,tetapi umat Islam menjalankan
agamanya dengan sebaik-bauknya .Misalnya sekarang adalah negara-negara Arab,Malaysia ,Iran
,Brunai Darussalam dan negara-negara anggauta Organisasi Konprensi Islam (OKI). Drs.Suyono,
Pengertian Khilafah Islamiyah, Internet di unduh pada 5 Februari 2013, dalam
http://suyono1978.blogspot.com/2012/06/pengertian-khilafah-islamiyah.html.
4

Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman
Hizb al-Tahrir Indonesia,(Malang: Universitas Muhamadiyah Press, 2005), h. 100.

28

Misi besar politik HTI adalah membangun tatanan sosial politik Islam
dibawah struktur politik khilafah Islamiyah.5 Oleh karena itu, HTI menolak konsepkonsep politik di luar konsep politik Islam seperti demokrasi, monarki, presidensial,
negara bangsa (nation state) dan lain sebagainya. Selain itu, ideologi-ideologi politik
dari Barat seperti kapitalisme, komunisme, dan fasisme dianggap sebagai ideologi
kafir yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan bagi umat Islam harus waspada
dan menghindarinya.6
Barjuang melawan negera-negara kafir imprealis yang menguasai negara-negara Islam.
Mengahadapi segala macam bentuk penjajahan, baik yang berupa pemikiran, politik,
penjajahan, maupun militer. Menentang para penguasa di negeri-negeri Arab dan
negeri-negeri Islam lainnya yang menjadi tempat kegiatan HT, serta mengungkapkan
kejahatan mereka, memberi kritik, nasehat.Berusaha menghapus kekuasaannya dan
menggantikan dengan hukum-hukum Islam.7

Ciri politis yang terangkum dalam gerakan HTI selama ini diasumsikan oleh
sebagian para sarjana sebagai gerakan fundamentalis Islam. Adapun dalam skripsi ini,
menghubungkan gerakan HTI dengan gerakan fundamentalis Islam penulis berangkat
dari kerangka teori yang dikonseptualisasikan oleh Ronnex L. Euben dan Basam Tibi
yaitu fundamentalisme merupakan kelompok dan gerakan religio-politik yang
berusaha mengubah sistem sekuler dengan sistem politik yang didasarkan pada

Farid Wadjidi, Mengenal Hizbut Tahrir, al-Waie, 20 Maret 2005, 55


KH.Shiddiq al-Jawi, Islam Menolak Demokrasial-Waie, 1-31 Maret 2013, 18-21.
7
Anonim, Mengenal Hizb al-Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis (Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah, 2012), h. 38.
6

29

agama.8 Di antara kedua sarjana tersebut sama-sama meletakan perhatiannya pada


unsur politik ketika mendefinisikan gerakan fundamentalisme Islam.
Selain kedua pemikir di atas, Syamsul Arifin menyebutkan beberapa aspek
penting untuk menghubungkan gerakan Islam dengan gerakan fundamentalis.
Pertama, meskipun tetap mempertahankan motivasi keagamaan, fundamentalisme
juga memiliki aspek politik. Dalam pandangan kaum fundamentalis, keselamatan
tidak hanya bisa didapatkan dengan pengasingan diri dari urusan duniawi, melainkan
harus didapat dengan melibatkan diri dalam urusan dunia (institusi dunia). Kedua,
fundamentalisme dibatasi pada faham dan gerakan kembali pada tradisi religious
skriptual dan sebagai konsekuensinya mereka menolak segala bentuk interpretasi.
Dengan sikap yang seperti itu fundamentalisme diposisikan sebagai kelompok yang
menolak pluralisme. Ketiga, kelompok fundamentalisme selain memiliki sikap yang
keras dan reaksioner terhadap modernisme, tetapi mereka juga sebagai ekspresi dari
moderenitas.9
Dari pemaparan di atas penulis meletakan aspek politik sebagai cara untuk
menghubungkan HTI dengan gerakan fumdamentalis. Selain itu, karakter lainya yang
biasa dihubungkan antara HTI dan gerakan fundamentalis adalah sikap mereka yang
anti terhadap ideologi-ideologi Barat seperti fasisme, kapitalisme, komunisme,
sekulerisme, dan lain-lain. Kemudian, jika kita menoleh pada apa yang di kemukakan
8

Arifin.,Ideologi dan Praksis Gerakan sosial Kaum Fudamental: Pengalaman Hizb al-Tahrir
Indonesia, h. 52.
99
Ibid.,54-55.

30

oleh Arifin di atas, maka terdapat karakter yang sama antara HTI dengan gerakan
fundamentalis yaitu adanya faham kembali kepada tradisi religius, artinya kedua
gerakan ini memandang bahwa setiap perkara yang terjadi di dunia ini baik itu soal
agama, sosial, ekonomi, budaya maupun politik agama diyakini sebagai solusi untuk
mengatasi masalah.
Meskipun wacana gerkan fundamentalisme Islam sendiri masih mengundang
kontroversi dikalangan para sarjana gerakan sosial. Kesulitan para sarjana untuk
menghubungkan wacana gerakan fundamentalis dengan gerakan Islam terletak pada
beberapa faktor diantaranya adalah dimensi historis, ruang dan waktu istilah itu
dikembangkan.
Secara historis kedua istilah tersebut sangat jelas perbedaannya. Sebagaimana
telah umum diketahui bahwa gerakan fundamentalisme lahir dari tradisi Kristen yang
merujuk pada gerakan keagamaan dalam sekte Kristen Protestan Amerika yang
muncul sekitar abad ke 19 dan permulaan abad ke 20. 10 Selanjutnya sebagai istilah,
fundamentalisme diadopsi dari buku yang berjudul The Fundamentals: A Testimony
to The Truth, sebuah kumpulan yang berasal dari para teolog konservarif.11
Dalam tradisi kristen sendiri kemunculan

gerakan fundamentalisme

merupakan bentuk reaksi terhadap banyak hal, seperti berkembangnya kajian kritik
terhadap injil, populernya teori Darwin, perseteruan antara sains versus teologi. Kaum

10
11

Armstrong, Berperang Demi Tuhan, h. 10.


Ibid., h. 267-268.

31

fundamentalis memiliki doktrin yang disebut five point of fundamentalism. Lima


doktrin itu adalah; 1) Injil tidak pernah salah, kata perkata. 2) Ketuhanan Yesus
Kristus. 3) Kelahiran Yesus dari Perawan Maria. 4) Penebusan doas. 5) Kebangkitan
Yesus ke dunia secara fisik.12
Kelima doktrin ini merupakan hasil interpretasi para teolog konservatif
terhadap Injil. Interpretasi ini bersifat tekstual sekaligus menolak kontekstualitas
kalangan liberal dan memiliki pengertian yang mutlak, jelas tidak berubah. Jams
Barr, mengatakan setigma sosial yang kerap dialamatkan pada kelompok ini adalah
fanatik, militan, berfikiran sempit, dan pada kepada mereka yang berbeda keyakinan
di luar jalur kelompok sejati dalam kasus tertentu menggunakan kekerasan dalam
mencapai tujuannya.13
Berdasarkan pengamatannya terhadap fundamentalisme agama, terutama
kristen di Amerika, Peter Huff mencatat terdapat enam karakteristik penting gerakan
fundamentalisme. Secara sosiologis, gerakan fundamentalisme sering dikaitkan
dengan nilai-nilai yang telah ketinggalan zaman atau tidak relevan lagi dengan
perubahan dan perkembangan zaman; secara kultural, fundamentalisme menunjukan
kecenderungan kepada suatu yang vulgar dan tidak tertarik pada hal-hal yang bersifat
intelektual;

12

secara

psikologis,

gerakan

fundamentalisme

ditandai

dengan

F.L Cross (ed) The Oxford Dictionary of the Christian Church (Oxford University Press,
1997), h. 926, seperti dikutip dari Rifyal Kabah, Modernisme dan Fundamentalisme ditinjau dari
konteks Islam (Ulmul Quran, No. 3 vol IV, 1993), h. 26.
13
Ulfiyah, Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Tsawirul Afkar Edisi 13 Tahun
2002, h. 37.

32

otoriterianisme, arogansi, dan lebih condong kepada teori konspirasi. Secara


intelektual, gerakan fundamentalisme dicirikan oleh tiadanya kesadaran sejarah dan
ketidak-mampuan

terlibat

dalam

pemikiran

kritis;

dan

secara

teologis,

fundamentalisme diidentikan dengan literalisme, primitivisme, legalisme dan


tribalisme; sedangkan secara politik, fundamentalisme dikatakan dengan populisme
reaksioner.14
Dengan demikian secara etimologis dan istilah, gerakan fundamentalisme
tidak akan ditemukan dalam tradisi Islam. Grrakan fundamentalisme dalam tradisi
Islam hanya padanan kata. Penerapan fundamentalisme dalam tradisi Islam pada
akhirnya lebih banyak ditolak daripada diterima.15 Dalam hal ini, John L. Esposito
mengatakan dalam beberapa hal kata itu (baca Fundamentalisme Islam) menceritakan
tentang segalanya, akan tetapi pada saat yang sama tidak mengungkapkan apa-apa.16
Martin Van Bruessen mengatakan hal serupa bahwa
fundamentalisme

14

dalam

konteks

Islam

penerapan terminologi

menimbulkan

beberapa

asosiasi,

Huff, The Challenge of Fundamentalism for Interreligiuos Dialogue, Cross Curent


(SpringSummer,200),10http://www.findarticles.com/cf_0/m2096/2000_SpringSammer/63300895/print
.jhtml. Diakses pada 09 Desember 2012, pukul 19.30 wib.
15
Adanya penolakan terhadap istilah fundamentlaisme disejajarkan dengan istilah Islam
disebabkan oleh beberapa hal yaitu Pertama, geneologi istilah fundemantalisme berasala dari
pengalaman kasus Kristen.Kedua, memiliki implikasi yang jauh lebih buruk jika diterapkan dalam
Islam, seperti kebodohan, keterbelakangan.Ketiga, karena luasnya kajian yang direpresentasikan oleh
istilah fundamentalisme Islam, maka beragam paradigma dan perspektif yang digunakan oleh para
sarjana sebagai metode dalam mengkajinya. Maka wajar apabila melahirkan beragam kesimpulan
Lihat Ufi Ulfiyah dalam Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Taswirul Afkar Edisi ke13 Tahun 2012, h. 38
16
John L. Esposito, Ancaman Islam Mitos dan Realitas, trj. Alawiyah Abdurahman (Bandung:
Mizan, 1996), h. 17.

33

bagaimanapun kita berusaha mendeskripsikannya akan tampak sebagai sesuatu yang


sulit dipahami.17
Khursid Ahmad menolak dengan alasan istilah fundamentalisme adalah khas
Kristen Barat, jika tetap digunakan berarti terjadi pemerkosaan yang besar-besaran
terhadap sejarah.18 Sedangkan Chandra Muzaffar dengan lantang mengatakan
gerakan fundamentalisme Islam adalah suatu bukti khas Barat dan menunjukan
adanya vested interest dalam penggunaannya baik oleh media maupun akademisi.19
Dari sekian banyak para sarjana yang tidak setuju terhadap istilah
fundamentalisme dihubungkan dengan gerakan Islam, namun ada beberapa sarjana
yang justru setuju atau paling tidak menemukan persamaan-persamaan dari kedua
istilah tersebut dihubungkan. Ibrahim Abu Bakar dari Universitas Kebangsaan
Malaysia (UKM) menemukan beberapa persamaan dari kedua istilah tersebut. Dalam
interpretasinya Abu Bakar mengelompokan persamaan gerakan fundamentalisme dan
gerakan Islam yaitu dalam hal interpretasi terhadap teks, sikap ingklusif, cenderung
menolak gagasan-gagasan Barat dan lain-lain.20

17

Imron Rosidy (ed), Agama dalam Pergulatan Dunia ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998 ),

h. 63.
18

Khursid Ahmad, Sifat Kebangkitan Islam, John L. Esposito (ed), Dinamika Kebangkitan
Islam, trj. Hasan (Jakarta: Rajawali Press, 1985), h. 283.
19
Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia Baru: Menggugat Dominasi
Global, trj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1995), h. 236.
20
Beberapa persamaan yang ditemukan oleh Ibrahim Abu Bakar adalah:Pertama,
fundamentalisme memberikan interpretasi literal terhadap kitab suci agama. Kedua, fundamentalisme
dapat dihubungkan dengan fanatisme, ekslusifisme, intoleran, rdikalisme, dan militanisme. Ketiga,
fundamentalisme memberikan penekanan pada pembersihan agama dari isme-isme modern seperti
modernisme, liberalisme, humanisme. Keempat, kaum fundamentalisme mendakwahkan diri mereka

34

B. Teori Gerakan Sosial


Ditinjau dari perspektif sejarah, fenomena gerakan sosial sebetulnya bukanlah
masalah baru di seantero bumi ini. Sebagai tipe klasiknya dalam mengkaji gerakan
sosial dapat dilihat pada gerakan buruh pada masyarakat Eropa di abad ke 19 dan
awal abad ke 20-an.21 Ketimpangan sosial dan ketidakadilan struktural yang
dilahirkan oleh revolusi industri sehingga memicu gerakan buruh di Eropa.
Dalam melihat gerakan sosial para sarjana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda sehingga hal ini melahirkan perspektif yang berbeda-beda ketika
memaknainya. Seperti halnya Micheal Useem, dia mendefinisikan gerakan sosial
sebagai tindakan kolektifitas terorganisasi yang dimaksudkan mengadakan perubahan
terhadap kondisi sosial dan politik. Kemudian John McCarthy dan Mayer Zald
sedikitmelangkah lebih rinci dalam memahami gerakan sosial. Kedua sarjana itu
memahami gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan
di dalam distribusi apapun yang bernilai secara sosial. Lain halnya dengan Charles
Tilly yang menambahkan sisi perseteruan dalam interksi gerakan sosial. Tilly

sebagai penafsir agama yang benar dan diluar dari mereka salah. Dikutip oleh Hadimulyo,
Fundamentalisme Islam: Istilah yang Dapat Menyesatkan, Ulumul Quran, No. 3 Vol. IV, 1993, h.
5.20
21
Bara Ilyasa, Profil Partai Fundamentalis Islam: Studi Tentang Mobilisasi Politik Partai
Keadilan Sejahtera 1999-2009), (Skripsi SI Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 32

35

mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya perseteruan dan dan berkelanjutan di


antara warga negara.22
Beberapa sarjana di atas, memberikan ciri-ciri dan penekanan tertentu perihal
pendefinisian gerakan sosial. Berbeda dengan David Meyer dan Sidney Tarrow,
dalam karyanya Social Movenent Society 1998. Kedua sarjana ini berusaha
memasukan semua ciri yang sudah disebutkan di atas dan mengajukan sebuah
definisi yang lebih inklusif tentang gerakan sosial, yakni: Tantangan-tantangan
bersama yang didasarkan atas tujaun dan solideritas bersama dalam interaksi yang
berkelanjutan dengan kelompok elit, saingan, atau musuh, bahkan pemegang
otoritas.23 Goerge Simel dalam memetakan gerakan sosial ia lebih menekankan pada
jumlah anggota sebagai pendukung gerakan sosial.24
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas oleh para sarjana maka HTI
bagian daripada gerakan sosial, kerana HTI sebagai sebuah kelompok masyarakat

22

Astrid S. Susanto, Masyarakat Indonesia Memasuki Abad Ke Dua Puluh Satu, (Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), h. 21
23
Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial,(Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 2007), h. 1-4.
24
Berangkat dari definisi di atas, paling tidak terdapat dua fitur yang menonjol ketika
menteoritisikan gerakan sosial. Pertama, gerakan-gerakan sosial melibatkan tantangan kolektif, yakni
upaya-upaya terorganisasi untuk mengadakan prubahan didalam aransemen-aransemen kelembagaan.
Tantangan-tantangan ini bisa berpusat pada kebijakan-kebijakan publik dan ditunjukan untuk mewakili
perubahan yang lebih luas dalam struktur lembaga-lembaga sosial politik, distribusi jaminan sosial
atau bisa juaga menyangkut konseptualisasi menganai tanggungjawab sosial dan politik.Kedua, adalah
corak politis yang inheren di dalam gerakan-gerakan sosial, terutama terkait dengan tujuan-tujuan yang
hendak dicapai lewat gerakan sosial yang secara tipikal mencakup perubahan di dalam distribusi
kekuasaan dan wewenang. Tujuan politis ini hanya mungkin dicapai lewat interaksi-interaksi terusmenerus, berkelanjutan, dengan aktor-aktor politik di luar gerakan, yang terpenting diantaranya adalah
sekutu-sekutu dan pesaing-pesaing politik dan pemegang otoritas kekuasaan. Arifin, Ideologi dan
Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 68. Lihat
juga Bara Ilyasa dalam Profil Partai Fundamentalis Islam, h. 34-35

36

yang terorganisir dan memiliki orientasi untuk merubah sebuah tatanan sosial dan
politik yaitu dengan menegakan Islam sebagai rujukan tunggal dalam membangun
struktur sosial dan politik di bawah struktur kilafah Islamiyah. Kemudian, dari sisi
keanggotaan yang ditekankan oleh Simel, nampak jelas HTI memiliki jumlah anggota
yang cukup mempuni untuk diidentifikasi sebagai gerakan sosial.
Dari berbagai perbedaan dalam memahami gerakan sosial tersebut, penelitian
ini akan meletakan tiga faktor dalam memetakan secara teoritis persoalan gerakan
sosial yaitu kesempatan politik (political opportunities), mobilisasi sumber daya
(resource mobilization), dan proses pembingkaian (friming processes). Ketiga trend
teoritis inilah yang akan digunakan penulis untuk menganalisis HTI di kampus UIN
Jakarta.
1. Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structure)
Gerakan sosial tidak beroprasi dalam ruang hampa, namun mereka adalah
bagian dari suatu lingkungan dan konteks sosial yang lebih luas yang dicirikan oleh
bagian konfigurasi keleluasaan dan hambatan yang berubah dan cair yang
menstrukturkan dinamika gerakan. Terlepas dari tingkat ketidakpuasaan, ketersediaan
sumber daya atau kelajiman struktur mobilisasi. Para aktor kolektif dibatasi maupun
diberdayakan oleh faktor-faktor eksogen yang seringkali membatasi kemungkinan
gerakan dan daftar taktik, tindakan dan pilihan.

37

Di kalangan para pemikir gerakan sosial, tidak ditemukan kesepakatan secara


khusus terkait faktor-faktor eksogen. Namun, para sarjana banyak memfokuskan pada
ketidaktersediaan ruang politik dan lokasi kelembagaan dan substansinya. Teori
kesempatan politik berasumsi bahwa para aktor, begitu mereka menyadari
terdapatnya kesempatan dan ancaman maka mereka akan memberikan tanggapan
secara rasional untuk memaksimalkan berbagai keterbukaan atau mengetasi kesulitan.
Di Indonesia adanya perubahan sosial-politik pasca kepemimpinan Soeharto,
maka membuka kesempatan untuk lahirnya gerakan-gerakan sosial. Sistem politik
yang demokratis membuka ruang kebebasan pada masyarakat untuk berekpresi,
berkumpul dan berorganisasi. Selain kebebasan secara general berbagai aturan-aturan
yang dianggap membonsai pergerakan mahasiswa juga di amademen sebagai contoh
adalah amademen aturan kampus NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/
Badan Koordinasi Kampus).25
Terbukanya celah kesempatan politik tentunya banyak dimanfaatkan oleh
gerakan-gerakan sosial keagamaan untuk masuk pada institusi pendidikan khususnya
di lingkungan kampus. Seperti halnya HTI di kampus UIN Jakarta, kehadiran mereka
dipicu oleh adanya kesempatan untuk berekpresi dan berorganisasi. Selain adanya
kesempatan yang bersifat struktural, situasi sosial di lingkungan kampus juga turut
mendukung perkembangan HTI di kampus. Kebijakan kampus yang mengakomodir

25

Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah
di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 59

38

setiap kegiatan mahasiswa seperti seminar, melakukan demontrasi, dan event-event


lainnya, tidak jarang dimanfaatkan sebagai ajang untuk memperluas pengaruh HTI
pada mahasiswa UIN Jakarta.
Fenomena menguatnya kelompok-kelompok yang berhaluan fundamentalis
seperti HTI di kampus UIN Jakarta ini seraya membenarkan tesis Pipa Noris dan
Ronald Inglehart dalam Secred and Secular: Religion and Politics Worldwide, yang
menjelaskan kuatnya kehidupan beragama di Amerika Serikat, atau dengan
munculnya kelas menengah muda protestan (Yuppies, Young Urban Profesional)
dalam tulisan Harvey Cocks berjudul The Return of Religion to The Secular City.26
Tesis ini sekaligus memberikan bantahan terhadap tesis sekulerisasi yang
meniscayakan semakin modern, maka akan semakin sekuler. Adanya integrasi
keilmuan di UIN Jakarta yang dikembangkan sejak dekade 70-an terwujud dalam
program kerjasama UIN dengan McGill University.27
Dalam perkembangannya yang lebih maju gagasan integrasi keilmuan yang
diproyeksikan UIN Jakarta melahirkan corak baru bagi sistem pendidikan di UIN
Jakarta. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa UIN pada fase IAIN lebih banyak
mengembangkan gagasan-gagasan tradisional ala-pesantren, kini berubah menjadi
kampus yang mengusung modernisasi dalam berbagai sektor. Meskipun modernisasi

26

Anas Shafwan Khalid, IAIN Sebagai Pembaharuan oleh/dari/ bagi Pesantern, Komunita
Saung, 6 Maret 2012, h. 5-11
27
Fuad Jabali, Jamhari (Peny), IAIN dan Moderenisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2002), h. 20-27.

39

terjadi di UIN Jakarta, akan tetapi hal ini tidak mengkikis khazanah keilmuan yang
berbasis keagamaan.
Tesis Norris nampaknya sedikit relevan dengan pengalaman UIN Jakarta,
adanya perubahan ke arah sekuler atau modern bukan berarti akan melahirkan
perubahan secara total terhadap situasi yang ada, yang terjadi justru sebaliknya
masyarakat akan semakin religius. Dalam konteks UIN perubahan tersebut direspon
dengan lahirnya kelompok-kelompok fundamentalis seperti HTI dan lain-lain.
Sebagaimana disampaikan oleh Ust. Fadlan dalam dialognya dengan penulis
dia menyebutkan bahwa:
HTI adalah organisasi yang sangat menjungjung tinggi nilai-nilai Islam, HTI juga
meyakini bahwa Islam adalah solusi dari setiap aspek kehidupan.Bagi kami gagasangagasan yang selama ini banyak dikembangkan di UIN Jakarta, baik itu yang bersifat
keilmuan maupun keagamaan telah bergeser dari nilai-nilai Islam.UIN terlalu
menekankan terhadap Barat. Sebagai contoh saat ini UIN Jakarta mengembangkan
ide-ide Barat seperti demokrasi, komunisme, sekulerisme dalam berbagai materi
perkuliahan yang diajarkan di kampus dan itu tentunya akan mempengaruhi frame
berfikir mahasiswa. Oleh karena itu, kami dari akan terus berupaya melakukan
sebuah gerakan-gerakan sebagaimana dikembangkan dalam konsep al-siraal-fikri
(pergolakan pemikiran) yang kami miliki. Gerakan itu diaplikasikan dalam wujud
gerakan pemikiran yang diperuntukan untuk menentang ideologi dan kepercayaan,
aturan dan pemikiran kufur yang kami anggap bertentangan dengan Islam. 28

Stetmen yang dikemukakan Ust.Fadlan di atas menggambarkan bahwa HTI di


UIN Jakarta merespon terhadap kondisi sosial dan struktural yang dilakukan oleh
UIN Jakarta. Kemudian adanya kelonggaran aturan dari kampus terhadap kebebasan
untuk berekpresi dan berorganisasi pada mahasiswa, paling tidak hal ini akan

28

Wawancara penulis dengan Ust.Fadalan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), Pada 5
Febriari 2013, pukul 15.00 wib.di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel.Pisangan Kota Tangerang Selatan

40

mendukung pada pergerakan HTI di lingkungan kampus UIN Jakarta. Karena mereka
diberikan kelonggaran untuk bebas bergerak dan menggembangkan organisasinya
pada mahasiswa.
2. Mobilisasi Sumber Daya (Resource mobilsation)
Kajian terhadap teori sumber daya muncul sebagai respon terhadap kelemahan
dari pendekatan gerakan sosial terutama pada model sosio-psikologis awal. Titik
tolak pendekatan sosio-psikologis berawal dari asumsi bahwa keseimbangan sistem
merupakan suatu kondisi sosial yang natural. Dari perspektif ini masyarakat secara
organis menghasilkan infrastruktur kelembagaan yang mengatur keseimbangan antara
input dan output dalam sistem politik. Tuntutan-tuntutan sosial diakomodasi oleh
lembaga-lembaga responsif yang menyalurkan dan menangani kepentingan untuk
menghasilkan kebijakan yang optimal.
Dalam kasus HTI di kampus UIN Jakarta pendekatan mobilisasi sumber daya
cukup relevan untuk digunakan dengan harapan dapat mendeteksi pola gerakan yang
mereka kembangkan. Dibentuknya beberapa subsistem dalam tubuh organisasi HTI
adalah indikator yang dapat menjelaskan bahwa HTI teribat dalam pemangfaatan
sumber daya demi terwujudnya cita-cita berama dalam organisasi.
Merujuk pada strategi pergerakan yang dikembangkan HTI bahwa pergerakan
HTI pada saat ini dimanapun mereka berada sedang dalam fase berinteraksi dengan
umat (marhalah al-tafaul maa al-ummah). Target yang ingin dicapai dalam tahapan

41

ini yaitu pemikiran Islam yang telah diterapkan oleh HTI bisa diterima menjadi
pemikiran umat secara luas. Jika pemikiran HTI diterima oleh umat, maka perjuangan
HTI untuk mendirikan kembali daulah khilafah Islam dapat dilakukan. Oleh karena
itu, untuk menyampaikan pesan-pesan tersebut HTI di UIN Jakarta membentuk
subsitem organisasi seperti kelompok-kelompok diskusi sebagaimana dikenal dengan
Gema Pembebasan, Muslimat HTI UIN Jakarta, SRIKAIA, Muslim Science
Community MMC dan sebagainya.29 Selain untuk menyampaikan pesan dakwah
keberadaan kelompok-kelompok diskusi ini juga dapat dijadikan media untuk
merekrut anggota baru HTI, karena pada momen-momen tertentu aktivitas diskusi ini
bersifat terbuka sehingga memungkinkan untuk orang yang berada di luar HTI
bergabung didalamnya.
Pemangfaatan sumber daya organisasi HTI di UIN Jakarta tidak hanya terlihat
pada adanya berbagai subsistem di atas, namun para aktivis HTI juga melakukan
afiliasi ke masjid-masjid di sekitar kampus UIN Jakarta. Karena masjid menawarkan
jaringan organik yang menghubungkan komunitas HTI dari berbagai tempat. Selain
itu, masjid juga menjadi media empuk untuk memperluas pemikiran-pemikiran HTI
terutama melalui agenda-agenda pengajian. Selain gerakan masjid dan kelompok
dakwah, HTI di UIN Jakarta memiliki sumber daya media seperti pembentukan
webset (www.htiuinjakarta.or.id, dan facebook Kampus Ideologis), radio (HTI

29

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (ketua komisariat HTI cepter Ciputat UIN Jakarta),
Pada 5 Febriari 2013, pukul 15.00 wib di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec.Ciputat
Kota Tangerang Selatan Prov. Baaten.

42

berafiliasi dengan Radio Dakwah Kampus di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN
Jakarta), bulitin (Gema Pembebasan, Al-Islam), koran (media umat), majalah (alWaie) dan lain-lain.
Selain sumber daya media HTI di UIN Jakarta juga memiliki sumber daya
keanggotaan yang solid dan militan. Meskipun jumlah kader yang dimiliki HTI tidak
sebanyak organisasi HMI atau PMII di kampus UIN Jakarta, namun dalam hal
mengelola kader HTI cukup mempuni. Seperti dikatakan oleh Ust.Gustar dalam
persoalan halaqah saja para aktivis HTI hampir setiap hari dilakukan di sekitar
kampus UIN Jakarta. Selanjutnya dalam observasi penulis ketika mengikuti beberapa
kali kegiatan-kegiatan HTI, penulis menemukan istilah iltizmat membayar infak
yang rutin setiap bulan bagi kader dan pelajar HTI. Adanya kesukarelaan dan rutinitas
dari para aktivis HTI dalam memberikan kontribusi materi merupakan indikator
bahwa dalam hal pemangfaatan sumber daya yang dimiliki HTI cukup baik dan
anggota adalah sumber daya yang potensial bagi berkembangnya HTI di kampus UIN
Jakarta.
Pendekatan sumber daya melihat gerakan-gerakan sosial sebagai suatu yang
rasional, suatu manifestasi tindakan yang terorganisasi. Penegasan utama pendekatan
ini bahwa ketika ketidakpuasan tersebar luas, namun gerakan tidak ada. Untuk

43

menyikapi masalah ini maka diperlukan adanya variabel penjelas yang akan
menerjemaahkan tiap-tiap ketidakpuasan menjadi pernyataan yang terorganisasi.30
Bagi pendekatan mobilisasi sumber daya, para pengelola gerakan membentuk
organisasi-organisasi gerakan sosial, infrastruktur kelembagaan dan personil untuk
menghasilkan pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan yang efektif. Para peserta
gerakan bukanlah tidak rasional melainkan bergabung dengan gerakan karena
beragam insentif dan tujuan. Wilayah

oprasi

pendekatan

ini

terfokus

pada

infrastruktur dan sumber daya organisasi yang dimiliki gerakan sosial. Gerakan sosial
membentuk wadah bagi mobilisasi, mekanisme komunikasi, dan staf-staf profesional
melalui proses birokratisasi dan difrensiasi kelembagaan yang di desain untuk
mengkoordinasi dan mengorganisasi perseteruan. Melalui infrastruktur yang kuat dan
kokoh maka gerakan dapat mengarahkan aktivisme untuk memaksimalkan dampak
dan pengaruh serta strategi ini pun akan membantu mempermudah kaderisasi
massa.31 Sekurang-kurangnya terdapat tiga aspek infrastruktur yang sangat penting
dibahas dalam pendekatan ini, yaitu basis keanggotaan, jejaring komunikasi, dan
pemimpin atau tokoh.32
3. Proses Pembingkaian (Framing)
Selain dimensi-dimensi kesempatan politik dan mobilisasi sumber daya,
analisis gerakansosial semakin kuat mengkaji bagaimana individu-individu peserta
30

Ibid., h. 32.
Mukhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, h. 20-22
32
Ibid., h. 22
31

44

mengkonsptualisasikan diri mereka sebagai suatu kolektivitas, bagaimana para calon


peserta diyakinkan untuk berpartisipasi, dan cara dimana makna diproduksi,
diartikulasikan dan disebarkan oleh aktor-aktor gerakan melalui proses interktif.
Lebih umum istilah ini dikenal dengan studi tentang pembingkaian (framing).
Bingkai merupakan skema-skema yang memberikan sebuah bahasa dan
sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwa dari luar.
Skema ini sangat penting bagi gerakan sosial, karena akan dijadikan modal untuk
menyebarkan penafsiran gerakan dan dirancang untuk memobilisasi para peserta
dukungan. Gwenn Okruhlik mengemukakan, bingkai adalah sarana dunia atau alat
yang memberi aturan dan pengertian tentang dunia yang tanpanya dunia akan tampil
membingungkan; hal ini berlangsung karena bingkai menawarkan bahasa yang
lengkap atau menyusun makna dari berbagai persoalan yang dipertikaikan. Para
aktivis

gerakan

sosial

membingkaikan

perjuangan

politik

dengan

cara

mengemukakannya ke publik dan simpatisan fanatik.33

33

Ketika sebuah bingkai digunakan ketengah masyarakat, bingkai itu harus memiliki
kredibilitas empiris yang dapat diperbandingkan dengan pengalaman-pengalaman lain dan kejituan
narasi. Dengan kata lain, bingkai harus relevan dengan kepercayaan, pengalaman, dan narasi-narasi
budaya terdahulu. Dari sisi fungsi bingkai di definisikan kedalam beberapa fungsi sebagaimana
dijelaskan oleh David Snow dan Robet Benford, pertama gerakan sosial membangun bingkai-bingkai
yang mendiagnosis kondisi sebuah persoalan yang perlu ditangani. Kedua, gerakan memberikan
pemecahan terhadap persoalan tersebut termasuk kritik dan strategi tertentu yang dimaksudkan untuk
berfungsi sebagai penawar untuk kondisi yang rapuh. Ketiga, gerakan memberikan alasan dasar untuk
memotivasi tumbuhnya dukungan dan tindakan kolektif. Bingkai-bingkai motivasi ini diperlukan
untuk meyakinkan para calon peserta agar mereka benar-benar terlibat dalam aktivisme, dengan
demikian akan merubah publik bisa menjadi anggota. Lihat Wiktorowicz, Aktivisme Islam:
Pendekatan Teori Gerakan Sosial, h. 39-391.

45

Dalam beberapa kasus pembingkaian sering digunakan dengan tujuan sebagai


alat propaganda religius untuk membangaun hubungan antar umat Islam. Misalanya,
dalam pembingkaian isu-isu transnasional maupun nasional, seperti aksi peduli
Palestina dan himbauan terhadap revolusi Suriah dengan memanfaatkan konsep
ummah (komunitas kaum beriman) sebagai dukungan doktrinnya. Di kampus UIN
Jakarta, berbagai gerakan sosial kerap menggunakan pembingkaian sebagai alat
propaganda, seperti usaha HTI yang gigih memperjuangkan penggunaan konsep
syariat Islam dalam memetakan proyek pembangunan sistem hukum yang baik dan
Islmi.
Dalam pendekatan teori gerakan sosial, ide penerapan hukum Islam yang
ditawarkan HTI adalah sebagai pembingkaian prognostik (prognostic framing), yang
bertujuan untuk memberikan solusi terkait masalah hukum yang dianggap banyak
mengadopsi konsep-konsep Barat. Selain itu, pemeberlakuan institusi khilafah
Islamiyah sebagai model pemerintahan ideal yang diakui oleh nas quran dan sunah.
HTI beranggapan bentuk pemerintahan demokrasi dan sistem presidensial
yang sekarang dijalankan telah banyak merugikan dan gagal dalam memperbaiki
kondisi umat. Konsep demokrasi dan presidensial dianggap sebagai ide-ide Barat
untuk mengelabui negeri-negeri muslim, maka HTI membingkai negara-negara yang
mempraktekan konsep ini ke dalam negara kafir (dar al-kufur). Maka dari itu, upaya
prognostik yang diatawarkan HTI adalah dengan memperjuangkan berdirinya negara
Islam (dar al-Islam) di bawah struktur politik khilafah Islamiyah.

46

Usaha menegakan syariat dan sistem khilafah adalah bagian dari upaya HTI
untuk mencari dukungan massa agar tercipta proyek politik mereka. Gema isu yang
bernafaskan agama diyakini sebagai alat yang efektif untuk mencari dukungan entitas
keagamaan. Selanjutnya, proses pembingkaian HTI tidak hanya bergerak pada isu-isu
agama, namun HTI juga bergerak pada pembingkaian isu non-agama seperti
nasionalisasi migas, himbauan anti korupsi, penolakan terhadap kapitalisme,
perlawanan terhadap imperialisme ekonomi maupun kultural dan lain sebagainya.
Untuk mengidentifikasi proses praming yang dilakukan HTI di kampus UIN
Jakarta dapat ditemukan dalam beberapa tulisan yang dipublikasikan mereka dalam
buletinnya seperti Gema Pembebasan edisi 1 Oktober 2012 yang bertajuk Bahaya
Deradikalisasi dan edisi 1 November 2012 dengan tajuk RUU Keamanan Nasional:
Konspirasi Penguasa Menuju Negara Tiran. Kemudian pesan-pesan propaganda
yang disampaikan HTI pada aktivisnya kerap juga bernuansa framing isu seperti:
Untuk seluruh sybab yang merindukan tegaknya syariah dan khilafah hadir aksi tolak
RUU ormas jumat 2/4 jam 09.00-16.00 di depan gedung DPR RI. Luruskan niat, jaga
kesehatan siapkan keperluan pribadi makan, alat solat dan lain-lain.Nyatakan
keberpihakan kita pada Islam. Target masa 10.000, berangkat dari UIN pukul 07.30
halte UIN cp: 087884999850.34

Mesir membara, umat Islam merana pembantaian kaum muslim kembali


terjadi. Aksi masiroh solideritas kaum muslim di Mesir hari ini Jumat
16/8/2013 jam 13.00 di depan kedubes Mesir. Jl.Tengku Umar no 48
Menteng.Kontan person alamat Ust.Topan 085697682535. (mohon konfirmasi
yang bias hadir).35

34
35

Pesan SMS disampaikan pada April 11/2013: 4:30:48 PM


Pesan SMS disampaikan pada Agustus 16/2013, 9:21:22 AM

47

Terkait dengan pembendungan imperialisme kultural para aktivis HTI UIN


Jakarta selalu mempropagandakan seruan untuk kembali melirik syariah sebagai
landasan dalam berbuat dan berpenampilan. Menurut pandangan HTI Islam adalah
totalitas kehidupan, jadi Islam mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk
berpenampilan ala-Islam, seperti berkerudung, berbusana panjang dan lain sebaginya.
C. Teori Strategi
Sebagai gerakan sosial HTI di kampus UIN Jakarta juga terlibat dalam upaya
untuk memperluas pengaruh dan perekrutan anggotanya. Bagi HTI keberadaan kader
adalah modal sosial untuk mengoptimalkan sebuah gerakannya. Oleh kerena itu,
dalam usaha memperkuat basis massa HTI memiliki berbagai strategi khusus. Di
antara strategi kaderisasi yang paling menerima banyak sorotan dalam HTI di UIN
Jakarta adalah pembinaan khusus terhadap calon kader mereka atau orang yang
tertarik terhadap gagasan mereka.
Mengingat pentingnya kader dalam gerakan sosial Schoot dan Mary Ann
Schwartz menyebutkan bahwa, soscial movement is any collection of people who
organize together to achieve or prevent some social or political change.36 Senada
dengan kedua pemikir di atas, George Simel juga menekankan signifikasi anggota
sebagai pendukung gerakan sosial.37 Berangkat dari kedua pernyataan tersebut dapat

36

Dikutip dari Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis:
Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 86
37
Ibid., h. 86

48

disimpulkan bahwa gerakan sosial selain membutuhkan ideologi juga membutuhkan


keterlibatan anggota untuk mencapai tujuan.
Terkait dengan HTI di UIN Jakarta, setrategi yang di bangun untuk kaderisasi
adalah dnegan mengajak setiap anggota baru untuk terlibat dalam kegiuatan-kegiatan
HTI. Kemudian, setiap calon kader akan dibina secara intensif oleh aktivis HTI yang
sudah menjadi senior. Pembinaan ini dilakukan secara bertahap, sehingga calon kader
yang dibina diharapkan akan memiliki kemampuan dan militasi tinggi terhadap
organisasi. Selain itu, di HTI setiap anggota atau darsin yang mengikuti proses
pembinaan awal akan diberikan tugas untuk mencari calon-calon anggota yang belum
mengikuti pembinaan.38 Jadi di HTI meskipun mereka belum menjadi anggota resmi
mereka tetap memiliki tugas untuk mencari kader. Inilah yang oleh para pemerhati
disebut dengan istilah strategi system sel.
Peran dan strategi kaderisasi di HTI terbilang efektif hal ini bisa dibuktikan
dengan semaikin meningkatnya aktivitas-aktivitas HTI di kampus UIN Jakarta.
Strategi kaderisasi bagi HTI adalah sumber daya yang harus tetap dijaga dan
dijalankan karena adanya strategi khusus akan mempermudah HTI untuk mencari
dukungan dari massa. Secara teoritis strategi diartikan sebagai pola atau rencana yang
mengintegrasi tujuan-tujuan pokok suatu organisasi, kebijakan-kebijakan dan
tahapan-tahapan kegiatan dan dalam suatu keseluruhan yang bersifat kohesif. Strategi
38

Wawancara penulis dengan M. Gustar (Ketua Gema Pembebasan HTI UIN Jakarta), dan
Firman Kelana (Koordinator Lapangan HTI UIN Jakarta dalam acara seminar: Islam: Aqidah dan
Syariah, Solusi Problematika Umat), di Masjid Fatullah Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov.
Banten, pada 11 Januari 2013,.Pukul 15.00 wib.

49

juga merupakan kelompok keputusan tentang tujuan-tujuan apa yang akan


diupayakan pencapaiannya, tindakan-tindakan apa yang diperlukan, dan bagaimana
cara memanfaatkan sumber daya guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.39
Secara historis istilah strategi berawal dari tradisi militer yang bersumber dari
kata strategia, kata ini diambil dari bahasa Yunani yang artinya the art general (seni
seorang panglima yang biasa digunakan dalam peperangan).40 Dalam abad modern
sekarang ini penggunaan kata strategi telah mengalami perluasan fungsi, istilah itu
tidak lagi lekat dengan tradisi militer, tetapi kata strategi sudah sering dugunakan
pada ilmu ekonomi, politik, olah raga dan lain-lain. Arti strategi dalam pengertian
umum adalah cara untuk mendapatkan kemenangan atau terciptanya suatu tujuan
termasuk tujuan politik. Strategi pada dasarnya merupakan seni ilmu yang
menggunakan dan mengembangkan kekuatan-kekuatan ideologi, ekonomi, dan
sebaginya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. 41Menurut J.
Winardi, yang mengutif istilah dari Jones adalah strategi sebagai suatu kelompok
keputusan tentang tujuan-tujuan apa yang akan diupayakan pencapaiannya, dan
tindakan apa yang perlu dilakukan, kemudian bagaimana cara memangfaatkan
sumber-sumber daya guna mencapai tujuan.42 Pengertian lainya dikemukakan oleh

39

J. Winardi, Entrepreuneur dan Entrepreuneurship, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 108-110


Muhamad Riski, Strategi Partai Aceh dalam Memenangkan Pemilu Legeslatif di Nanggroe
Aceh Darussalam Tahun 2009, (Skripsi SI Fakultras Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidaytullah Jakarta, 2010), h. 16.
41
Audy W. M. R. Wuisang, Politik dan Strategi Nasional, http://www.polstranas.com.
Artikel diakses pada 9 April 2010.
42
Goerge A. Steiner dan Jhon B. Miner, Kebijakan dan Strategi Menagemen, (Jakarta:
Airlangga, 1997), h. 20.
40

50

Andres Viklud pada blognya, yaitu strategi adalah rencana yang disatukan, luas dan
berintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis perusahaan atau organisasi
dengan tujuan utama dari perusahaan atau organisasi dapat dicapai melalui
pelaksanaan yang tepat oleh organisasi.43
Dari beberapa ketrangan di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa
varian terkait strategi tersebut yaitu:Pertama, dalam menyusun strategi perlu
dihubungkan dengan lingkungan organisasi sehingga dapat disusun kekuatan strategi
organisasi. Kedua, strategi merupakan satu-kesatuan rencana yang terpadu yang
diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi. Ketiga,dalam mencapai tujuan
organisasi perlu alternatif strategi yang harus dipertimbangkan dan harus dipilih.
Keempat, strategi yang dipilih harus di implementasikan oleh organisasi dan akhirnya
harus dievaluasi terhadap strategi tersebut karena strategi merupakan suatu alat untuk
mencapai suatu tujuan perusahaan atau organisasi.

43

Andres Viklud, Konsep Strategi: Devinisi, Perumusan, Tingkatan, dan Jenis Strategi,
http://jurnalsdm.blogspot.com.2009/08/konsep-strategi-definisi-perumusan.html. Diakses pada 15
Januari 2012, pukul 16.00 wib.

51

51

BAB III
SEKILAS TENTANG GERAKAN ISLAM
HIZBUT TAHRIR
Hizbut Tahrir (HT) adalah salah satu gerakan Islam kontemporer yang relatif
besar pengaruhnya di dunia Islam. HT didirikan pada 1953 dan mengklaim dirinya
sebagi partai politik.1 Meskipun HT adalah partai politik, namun HTI berbeda dengan
partai politik pada umumnya karena HT adalah partai politik yang memiliki skala
internasional.2

Kalim

ini

berhubungan

dengan

cita-cita

politiknya

yang

mengupayakan seluruh dunia Islam agar berada dalam satu sistem kekuatan politik
yang disebut khilafah. Sebagimana tercermin dalam namanya HT yaitu partai
kemerdekaan/pembebasan. HT berusaha memerdekakan negeri-negeri muslim di
seluruh dunia dari imperialis Barat.
Tidak berbeda dengan gerakan-gerakan keagamaan kontemporer lainnya HT
hadir di tengah-tengah konteks sosio-politik yang tidak setabil di negara-negara
Timur Tengah. Dominasi Barat atas negara-negara muslim dianggap telah
memporak-porandakan tatanan sosial, politik, dan budaya yang menjadi identitas
Islam. Sementara gerakan-gerakan Islam yang selama ini memiliki misi untuk
membangun masyarakat Islam, yang dilakukan oleh gerakan kebaagkitan Islam
1

SyamsulArifin, IdeologidanPraksisGerakanSosialKaumFundamentalis: PengalamanHizb


al-Tahrir Indonesia, (Malang: UniversitasMuhamadiyah Press, 2005), h. 96.
2
JamharidanJajangJahroni ed.,GerakanSalafiRadikal di Indonesia, (Jakarta: PT.
RajaGrafindoPersada, 2004), h. 161-174.

52

dianggap mengalami kegagalan. Maka dari itu, menurut Taqiyuddin An-Nabhani


(pendiri HT) penting kiranya didirikan sebuah wadah pergerakan politik yang
diharapkan akan mengimbangi imperialisme Barat.3 Bagi An-Nabhani sepirit
membangun organisasi ini dianggap sebuah kewajiban bagi seluruh umat Islam
kerena hal ini didukung oleh doktrin agama. Dalam al-quran dijelaskan bahwa:
(dan) hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebaikan (Islam), menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari mungkar,
merekalah orang-orang yang beruntung.4
Ayat ini menjadi sepirit untuk menyerukan kembali kebaikan yang sesuai
dengan ajaran Islam khafah. Dalam pandangan An-Nabhani, realitas sosial umat
Islam pada saat ini sangat terpuruk yang disebabkan oleh hegemoni Barat. Negaranegara muslim pada umumnya telah mengalami krisis multidimensial diberbagai
sektor seperti ekonomi, politik, kebudayaan dan pemikiran. An-Nabhani meyakini

Taqiyuddin An-Nabhani memiliki nama lengkap Muhamad Taqi al-Din ibn Ibrahim ibn
Mustafa ibn Ismail ibn Yusuf al-Nabhani. Nabhani adalah nama belakang yang dinisbatkan kepada
kabilah Bani Nabhan, yang termasuk orang Arab penghuni padang sahara di Palestina. Syeikh AnNabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada1909 dan wafat 1977 M. Nabhani dibesarkan dan didik dalam
keluarga yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat. Pengalaman pendidikan An-Nabhani dimulai di
sekolah dasar negeri di Ijim. Setelah tamat di Ijim, dia melanjutkan ketingkat menengah di
Akka.Kemudian pada 1928 dan tak lama meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu dia
melanjutkan studi di Kuliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Kuliahnya di
Darul Ulum tuntas 1932. Pada tahun yang sama dia menamatkan kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif, di
mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa syaikh Al Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah
mereka mengenai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu syari'ah seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid
(ilmu kalam), dan sejenisnya. Pada 1932-1938 An-Nabhani bekerja di kementrian pendidikan
Palestina. Di 1938 iadiangkat menjadi kepala panitera Mahkamah Syariah di Haifa dan kemudian
pada 1940-1945 ia diangkat menjadi mushawir (asisten hakim). Di akhir jabatannya ia pindah ke
Ramallah untuk mejadi qadi (hakim) di Mahkamah Ramallah sampai 1948. Lihat Syamsul Arifin
dalam Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir
Indonesia h. 88-90.
4
Q.S. Ali-Imran/ 3: 14.

53

bahwa masyarakat muslim akan kembali stabil dan menemukan kembali momentum
kejayaannya seperti pada masa khilafah Islamiyah, apabila umat muslim
mempraktekan kembali gagasan-gagasan Islam yang benar.5
Berdasarkan pelbagai macam persoalan yang mendera umat Islam seperti di
paparkan di atas, oleh Taqiyuddin An-Nabhani dipandag sebagai faktor determinan
gagalnya gerakan untuk mengembalikan kebagkitan Islam. Guna mengembalikan
keadaan umat Islam agar kembali berjaya seperti di masa lalu, maka bagi An-Nabhani
mendirikan gerakan politik yang berideologikan Islam adalah sebuah keniscayaan,
gerakan politik yang dimaksud adalah HT.
HT merupakan partai politik yang memiliki misi Islamisasi universal dan
lingkup gerakannya bersifat skala internasional. Kehadiran HT sebenarnya tidak
hanya semata-mata untuk mengembalikan keadaan umat Islam dari imperialisme
Barat atas negara-negara Islam saja, tetapi juga sebagai bentuk kekecewaan terhadap
partai-partai politik Islam yang selama ini hadir namun dianggap gagal dalam
memperbaiki keadaan umat Islam. Seperti dikatakan An-Nabhani:
Partai-partai politik yang ada di dunia Islam saat ini, tidak terkecuali di negeri Arab,
menjadi partai-partai yang terpecah belah. Sebeb, partai tersebut tidak berlandaskan pada satu
ideologi. Orang-orang yang mengamati partai-partai ini akan dapat melihat bahwa kadang
kala partai-partai tersebut berdiri karena peristiwa sesaat, yang dilahirkan oleh situasi

Hizbut Tahrir Indonesia Tentag Kami HTI, Blog HizbutTahrir Indonesia, 05


November 2013 tersedia di http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/; Internet diunduhpada 7
5

November 2013.

54

tertentu, yang mengharuskan berdirinya kelompok politik. Setelah situasi ini teratasi lenyap
pulalah partai tersebut atau melemah atau terpcah-pecah. Kadang kala kelompok-kelompok
ini brediri atas dasar persahabatan antara beberapa orang, sehingga mereka diikat oleh rasa
persahabatan. Maka berkelompoklah mereka atas dasar persahabatan tersebut. Kelompok ini
akan bubar jika mereka mulai sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada pula kelompok
yang berdiri karena kepentingan-kepentingan sesaat dari orang-orang tertentu dan alas analasan yang lain.6

Pandangan An-Nabhani di atas, cukup jelas bagaimana dia kecewa dengan


partai-partai Islam yang telah eksis sebelumnya. HT adalah alternatif baru yang
ditawarkan An-Nabhani untuk seluruh umat Islam di dunia. HT bertujuan
melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam keseluruh penjuru
dunia. Tujuan ini berarti mengajak kaum muslimin kembali hidup secara Islami
dalam Darul Islam dan masyarakat Islam. Yakni seluruh kegiatan kehidupannya
diatur sesuai dengan hukum-hukum syara. Pandangan hidup yang akan menjadi
pedoman adalah halal dan haram, di bawah naungan Daulah Islamiyah, yaitu Daulah
Khilafah, yang dipimpin oleh seorang khalifah yang diangkat dan dibaiat oleh kaum
muslimin untuk didengar dan ditaati agar menjalankan pemerintahan berdasarkan
quran dan sunnah, serta mengemban risalah Islam keseluruh penjuru dunia dengan
dakwah dan jihad.7 Di samping itu, HT bertujuan membangkitkan kembali umat
Islam dengan kebangkitan yang benar, melalui pengembangan pola pikir yang
cemerlang. HT berusaha untuk mengembalikan posisi umat kemasa kejayaan dan

Arifin, IdeologidanPraksisGerakanSosialKaumFundamentalis: PengalamanHizb al-Tahrir


Indonesia, h. 100-101
7
Dikutip dari situs resmi Hizbut Tahrir Indfonesia Hizbut Tahrir Indonesia Untuk
Melanjutkan Kehidupan Islam, Hizbut Tahrir Indonesia 05 Oktober 2013 tersedia di http://hizbuttahrir.or.id/tentang-kami/; Internet; di unduh pada 06 Oktober 2013.

55

keemasannya seperti dulu, di mana umat akan mengambil alih kendali negara-negara
dan bangsa-bangsa di dunia ini

Sejak menit pertama pendiriannya pada 1953 di Yarusalem, hingga kini HT


sudah tersebar diberbagai negara di dunia. Di Indonesia gerakan ini bermetamorfosis
menjadi HTI (HizbutTahrir Indonesia). Meskipun HT mendapat penambahan kata,
namun visi, misi, ideologi, pemikiran dan orientasi politik HTI tetap sama dengan
induknya (HT internasional). Jadi secara substansial sebenarnya tidak terdapat
perubahan di dalam tubuh HT dan HTI. Adapun penambahan kata Indonesia
semata-mata hanya mempertegas identitas mereka saja karena merka eksis di
Indonesia.
A. Sejarah Hizbut Tahrir di Indonesia
Kehadiran gerakan-gerakan Islam kontemporer seperti,Majlis Mujahidin,
Jamaah Islamiyah maupun Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah gerakan Islam yang
memiliki jaringan kuat dengan Islam Timur Tengah. Dari berbagai kelompok Islam
ini, penelitian ini akan lebih memfokuskan pada satu kelompok saja yaitu HTI.
Menurut Solahudin HT ditansformasikan ke Indonesia antar 1980-1989-an yang
kemudiandikenaldengan HTI.8Hal ini berati sekitar 29 tahun setelah HT pertama kali

Solahudin, Menelusuri Kelompok Islam Sempalan (1): Mereka Dituduh Menebar Bom,
http://www.detik.com/peristiwa/2001/01/10, diakses pada 01 Januari 2012, pukul 15.00. Lihat juga Siti
Qomariyah KH.Abdullah bin Nuh: Ulama dan Tokoh Pendidikan Islam, tersedia di
http://ahmadalim.blogspot.com/2010/08/khabdullah-bin-nuh.html; internet diunduh pada 5 November
2013.

56

didirikan

oleh

sang

empunya

(Taqiyuddin

An-Nabhani)

pada1953.

Jika

dikomperasikan dengan tempat lainnya, maka kehadiran HT ke Indonesia bisa


dibilang terlambat. Sementara di tempat lain, seperti Suriah, Lebanon, Kuwait dan
Irak HT berkembang lebih dahulu dan cukup pesat sekitar 1960-an.9
Kehadiran HT ke Indonesia diprakarsai oleh tokoh agama yang bernama
Abdullah Nuh pengurus Pondok Pesantren Al-Ghozali Bogor.10 Nuh juga adalah
seorang dosen pada Fakultas Sastra Universitas IndonesiaDepok.11 Kornologis
awalnya adalah pada suatu ketika Abdullah Nuh mengundang Abdurahman alBaghdadi seorang aktivis HT yang tinggal di Austria datang ke Bogor, dengan tujuan
untuk membantu pesantrennya.12 Inilah persentuhanpertama HT di Indonesia yang
kemudian
9

dikenal

dengan

sebutan

HTI.

Berkat

interaksi

yang

terrus-

John L. Esposito, Eksiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), h. 2
M. ImdadunRahmat, ArusBaru Islam Radikal: Transmisi, Revivalisme Islam Timur Tengah
ke Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2008) h. 100.
11
Abdullah bin Nuhadalah seorang ulama, tokoh pendidikan, Satrawan dan pejuang. Beliau
sebagai Pembina Yayasan Al Ghazali dan al Ihya Bogor. Di samping itu beliau juga sebagai Lektor
Kepala Bahasa Arab Fakultas Sastra dan BahasaUniversitas Indonesia. Abdullah bin Nuh dilahirkan di
kota Cianjur pada tanggal 30 Juni 1324 H/ 1905 M, dan wafat di Bogor 26 Oktober 1987. Beliau
putera dari seorang ibu bernama Nyi Rd. Hj. Aisyah dan dari seorang ayah bernama KH.Nuh bin Idris,
yaitu seorang ulama terkenal, sastrawan, penulis, pendidik, dan pejuang. KH.Nuh bin Idris adalah
seorang ulama besar Islam di Cianjur, dan pejabat konstituante pertama di Jawa Barat dari partai Islam
(Masyumi). Awal pendidikan Nuh dimulai sekolah dasar Ianah at-Thalib al-Miskin yang didirikan
ayahnya, kemudian melanjutkan di madrasah Syamailul Huda di Pekalongan dibawah asuhan Sayyid
Muhammad bin Hasyim Pada 1926 beliau dikirim belajar ke Fakultas Syariah Universitas al-Azhar
(Kairo) selama dua tahun. Sekitar 1980-an adalah awal perjuangan Nuh untuk HT di Indonesia
bersama ulama aktivis HT Abdurrahman al Baghdadi. Kedua tokoh inilah yang kemudian menjadi
ikon penggerak HT pertama di Indonesia. Siti Qomariyah KH.Abdullah bin Nuh: Ulama dan Tokoh
Pendidikan Islam, tersedia di http://ahmadalim.blogspot.com/2010/08/khabdullah-bin-nuh.html;
internet diunduhpada 5 November 2013
12
Tetapi belakangan al-Baghdadi tidakaktif lagi di HT. banyak kalangan dari luar
menganggap al-Baghdadi telah keluar dari HT. sementara menurut Alwan (aktivis senior HT di
Malang), bahwa al-Baghdadi menyatakan tidak aktif untuk sementara waktu (mauguf) dari HT, akan
tetapi karena al-Baghdadi tidak memberikan batas waktu yang jelas, maka menurut penilaian Alwan
al-Baghdadi bisa dinyatakan telah keluar. Lihat Syamsul Arifin dalam Ideologi dan Praksis Gerakan
Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 122.
10

57

menerusdilakukan para aktivis HTI, maka HTI menyebar hingga ke Masjid AlGhifari di Kampus Institute Pertanian Bogor (IPB) .13
Pada fase pertama kepemimpinan HTI dipegang oleh Abdullah Nuh, namun
setelah Nuh HTI diambil alih oleh Muhamad al-Khathath. Kemudian jubir HTI
adalah Ismail Yusanto14 yang menjabat hingga sekarang. Adapun jumlah anggota
HTI pada kepemimpinan al-Khathath berkisar 10.000 orang.15
Dalam beberapa aksinya organisasi HTI tidak jarang mendapatkan perhatian
publik, karena hampir setiap aksi-aksi yang mereka lakukan selalu berujung pada
kesuksesan. Sebagai contoh pada dekade 2000-an, HTI menyentakan publik di tanah
air karena berhasil menggelar konfernsi khilafah Islam di Jakarta. 16 Selanjutnya, di
tahun-tahun berikutnya tepatnya pada 2002, HTI menggelar unjuk rasa menuntut
pemberlakuan syariat Islam pada saat sidang MPR-RI Jakarta, dan mereka
menurunkan massa sekitar 1000 orang. Selain di Jakarta, aksi HTI juga terjadi di
Surabaya yang menuntut kebijakan pemerintah terkait kenaikan harga BBM, tarif

13

M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek
Demokrasi, (Jakarta: LPS, 2008), h. 70.
14
Ismail Yusanto dilahirkan di Yogyakarta pada 1962-an. Yusanto menyelesaikan S1 di
jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM pada tahun 1988. Setelah lulus beliau mondok di
Ponpes Ulil Albab di daerah Bogor hingga tahun 1991. Kemudian pada Tahun 1987 sosok Ismail
Yusanto mulai dikenal oleh orang banyak ketika dia dipercaya menjadi juru bicara Hizbut Tahrir
Indonesia
(HTI).
Andi
Widayat
Ismail
Yusanto,
tersedia
di
http://adiwidayat.blogspot.com/2010/08/ismail-yusanto.htmln; Internet diunduh pada 5 November
2013.
15
Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia, h. 122.
16
Ibid., h. 122

58

dasar listrik dan telepon. Dalam aksi tersebut HTI berhasil menurunkan massa sekitar
5000 orang.17
Puncak acara besar HTI yang lainnya adalah terselenggaranya Mukhtamar
Internasional HTI dengan tema Perubahan Besar Menuju Khilafah pada 2 Juni
2013 di Lapangan Gelora Bungkarno Senayan Jakarta. Mukhtamar tersebut adalah
puncak pelaksanaan kegiatan muktamar yang di selenggarakan di 31 kota di
Indonesia. Oleh kerena itu, antusiasme masyarakat khususnya kader HTI begitu
besar, menurut Mujiyono (salah satu wartawan Tabloid Media Umat, menyebutkan
bahwa peserta yang hadir pada muhtamar HTI 2013 diperkirakan hampir 100 ribu
peserta dari seluruh Indonesia dan mukhtamar tersebut juga di hadiri oleh tamu-tamu
dari Negara-negera lain seperti HT Libanon, Tunisia, Mesir, Malaysia, Suria, Inggris,
Pakistan, dan lain-lain.18
Adanya beberapa kegiatan-kegiatan yang telah di selenggarakan HTI di
Indonesia merupakan sebuah indokator bahwa eksistensi mereka sebagai sebuah
organisasi cukup besar. Sehingga, hal ini tidak menuntut kemungkianan lambat lain
mereka akan memiliki posisi tawar yang strategis dalam ranah sosial maupun politik
di Indonesia.

17

Mubarak, Geneologi Islam Radikal Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek


Demokrasi, h. 246.
18
Mujiyono, Seruan Khilafah dari Jantung Indonesia, Media Umat (20Juni2013): 4-23.

59

1. HTI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, bahwa HTI
telah transfer ke Indonesia sekitar 1980-an dan aktivis mereka banyak terpusat di
kampus-kampus di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide HTI merambah ke
masyarakatmelalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, dan
perumahan.19 Aktivitas tersebut terus mereka lakukan meskipun masih bersifat
tertutup atau sembunyi-sembunyi karena adanya tekanan dari pemerintah Orde Baru
yang membatasi gerak organisasi-organisasi Islam.
Adapun di kampus UIN Jakarta, HTI baru diperkenalkan sekitar2001. Pada
menit pertama kehadirannya di UIN, pola gerakan yag dibangun HTI yaitu dengan
mengambil langkah-laagkah yang bersifat ekslusif dalam pergerakannya. Meskipun
demikian, para aktivis HTI tetap melakukan pembinaan-pembinaan intensif untuk
memperbesar pengaruh organisasinya.
Pada 2002 aktivitas HTI mulai terorganisir dengan baik dan ditahun inilah
para aktivis HTI mulai berani mengadakan beberapa halaqah dan pelatihan untuk
pengkaderan dan perluasan organisasi. Pada 2003, HTI mulai bergerak ke fakultasfakultas dan semakin mengoptimalkan ide-idenya melalui seminar-seminar, diskusi
publik, kajian lesehan, kajian rutin dan lain sebaginya.

19

AatYuliawati, Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta 2009, (Skripsi SI
Fakultas Dakwah dan Komunikasi 2009), h. 28.

60

Kegiatan besar HTI pada fase-fase awal yaitu terjadi pada2004, yaitu HTI
membuat seminar tentang khilafah dengan tema Penegakan Syariat Islam
Relefankah. Dalam acara ini aktivis HTI mengundang langsung para pembicara
merka dari DPP HTI seperti Ust. Hafidz Abdurahman MA dan Ust. Abu Zaid, serta
pemicara dari Jaringan Islam Liberal (JIL) yang diwakili oleh Moqsit Ghazali MA
dan Guru besar UIN Jakarta dan juga Mantan Kepala Koordinatorat Perguruan Tinggi
Agama Islam Swasta (Kopertais) Wilayah I Dr. Badri Yatim MA.20
Aktivitas HTI di UIN Jakarta tidak hanya berlangsung pada lanskap sejarah,
namun hingga saat ini HTI masih tetap melakukan berbagai aktivitas organisasinya.
Sebagai organisasi tentunya HTI sangat memperhitungkan keberlangsungan
organisasinya di UIN Jakarta. Oleh karena itu, agar eksistensi mereka terjaga HTI
selalu berusaha melakukan kaderisasi-kaderisasi untuk perekrutan anggota baru.
Dalam teori gerakan sosial dijelaskan bahwa keberadaan kader atau agnggota adalah
bagian dari jantung gerakan sosial. Adapun pola yang dilakukan HTI untuk menggait
massa dan menyebarkan pengaruhnya memiliki beragam bentuk yang salah satunya
adalah dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas kampus seperti Radio Dakwah dan
Komunikasi (RDK) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta, UKM UIN
Jakarta (Unit Kegiatan Mahasiswa), Aula perkumpulan dan lain-lain.
Selain memangfaatkanfasilitas di kamupusHTI juga mengembangkan sumber
daya organisasinya. Dibentuknya beberapa subsistem organisasi HTI seperti Gema
20

Yuliawati, PeranDakwah HTI di LingkunganKampus UIN Jakarta 2009, h. 28-29.

61

Pembebasan, LISMA dan Muslim Science Comonity, SRIKAYA (Seri Kajian dan
Analisa), adalah strategi HTI untuk menyebarkan ide dan mengajak mahasiswa untuk
bergabung dengan mereka. Di luar kampus HTI juga membangun jaringan kuat
dengan kelompok-kelompok pengajian di masjid-masjid seperti dengan IRMAFA
(Ikatan Remaja Fathullah), pengurus masjid Al-Mukhlisin Legoso Ciputat, masjid AlMugirah Pisangan Ciputat dan lain-lain.
Jaringan-jaringan ini terus dibina dan diberdayakan terutama pada program
halaqaham dan diskusi-diskusi kecil lainnya. Kegiatan terbaru HTI di UIN Jakarta
yang memanfaatkan fasilitas masjid adalah acara halaqaham yang bertemakan
Islam: Aqidah, dan Syariah, Solusi Problematika Umatdan acara ini dilaksanakan
sejak pertengahan tahun 2012. Adapun yang menjadi narasumber dalam seminar kali
ini HTI langsung mendatangkan para pembicara dari pengurus DPP HTI pusat.21
Menurut keterangan Firman Kelana, dalam halaqaham tersebut HTI berhasil
mengajak lebih dari 20 mahasiswa UIN Jakarta yang statusnya bukan kader HTI.
Lebih lanjut Firman mengatakan, para peserta baru ini sangat berapresiasi dengan
kegiatan-kegiatan HTI di UIN Jakarta, dan mereka disana diperkenalkan tentang ideide HTI yang bertujuan utntuk memperbaiki keadaan umat. Adapun dalam acara

21

Wawancara penulis dengan M. Gustar (KetuaGemaPembebasan HTI UIN Jakarta), dan


Firman Kelana (Ketua dalam acara seminar: Islam: Aqidah dan Syariah, SolusiProblematika Umat),
di Masjid FatullahKec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 11 Januari 2013,.Pukul
15.00 wib.

62

halaqah sebelumnya keberadaan peserta yang hadir tidak jauh berbeda dari
jumlahnya.22
Seminar-seminar HTI di atas, dilakukan khusus untuk kalangan ikhwan (lakilaki) sebagai pesertanya. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa di HTI antara
kaum laki-laki dan perempuan itu selalu dipisahkan dalam berbagai kegiatan. Adapun
untuk kelompok perempuan HTI membuat dialog interaktif yang dilaksanakan pada 3
April 2013, dengan tema Menjawab Pertanyaan Seputar Khilafah. Acara ini
diadakan di Saung Bambu INA Pesanggrahan Ciputat dan diselenggarakan oleh
kelompok muslimah HTI.23
Sebagai gerakan sosial HTI tidak hanya memanfaatkan sumber daya internal,
akan tetapi HTI sangat aktif terlibat dalam memproduksi makna dan melakukan
proses pembingkaian atas apa yang terjadi terhadap kondisi umat Islam. Di UIN
Jakarta pola gerakan seperti ini dilakukan HTI untuk mencari dukungan sebesarbesarnya dari mahasiswa. Salah satu komponen penting dalam pembingkaian HTI
yaitu dengan menuding para imperialis Barat sebagai biangkeladi atas kebokbrokan
tatan sosial. Secara spesifik HTI menunjuk sekulerisme, demokrasi sebagai nilai-nilai
Barat yang merusak sendi kehidupan umat Islam. Dalam teori gerakan sosial tren
seperti ini dikenal dengan pembingkaian diagnostik (diagnostic framing) yang

22

Wawancara penulis dengan Firman Kelana (Koordinator Lapangan HTI UIN Jakarta pada
acara daurahIslam: Aqidah dan Syariah, Solusi Problematika Umat), di Masjid Fatullah Kec.
Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 11 Januari 2013, pukul 15.00 wib.
23
Muslimah HTI Chapter UIN Jkarta, Dialog Interktif: Menjawab Pertanyaan Seputar
Khilafah, Pamflet Selembaran, 10 April 2013, bag. 1.

63

bertujuan untuk mengidentifikasi masalah dan siapa yangdianggap sebagai unsur


utama masalah dan target sasaran yang dianggap penyebab masalah.24
Hasil dari proses framing kemudian diartikulasikan dalam beragam bentuk
seperti demonstrasi yang menolak kapitalisme, penyebaran wacana atas penolakan
gagasan-gagasan Barat, maupun melalui interaksi personal dan lain sebagainya.
Sebagai contoh kasusus pada Oktober 2012 Gema Pembebasan HTI UIN Jakarta,
menerbitkan buletin mingguan yang bertema Bahaya Deradikalisasi, yang banyak
menuangkan tulisan-tulisan dengan tujuan mengkritik gagasan-gagasan Barat. Selain
itu, HTI juga melakukan aksi penggugatan terhadap undang-undang Migas No. 22
Tahun 2001, yang dilakukan pada 20 November 2012. Bagi HTI undang-undang
tersebut serat dengan kepentingan asing dan sebagai wujud dari prodak kapitalisme.
Maka dari itu, perlu adanya peninjauan ulang dan dibenahi melalui atauran-atauran
Islam atau sistem ekonomi Islam dalam bingkai khilafah.25
Perespektif teori gerakan sosial, pola pembingkaian isu-isu seperti di atas,
dilakukan tidak hanya didasarkan pada kepentingan populis, melaikan terdapat motif
internal atau kepentingan sebuah gerakan sosial. Maka dari itu, mengingat HTI adalah
gerakan sosial yang memiliki orientasi politik, maka tidak menuntut kemungkinan

24

Burhanudin Mukhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, (Jakarta: Paramadina, 2012), h.

165.
25

Wawan cara penulis dengan Ust.Fadlan (ketua komisariat HTI UIN Jakarta), pada 5
Februari 2013, di Masjid Baiturrahmah LegosoKec.Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten,
pukul 15.00 wib.

64

berbagai aksi tersebut hanya sebatas strategi untuk meujudkan kepentingan


kelompoknya.
Pemaparan di atas, mengindikasikan bahwa HTI UIN Jakarta tidak pernah
surut melakkan aktivitas gerakannya. Sejak menit pertama diperkenalkannya di UIN,
hingga saat ini HTI tetap konsisten untuk menyebarkan pengaruh dan konsisten
terhadap pencaharian anggota-anggota baru. Misi besar HTI di UIN Jakarta adalah
menjadikan mahasiswa UIN Jakarta sebagai mahasiswa muslim yang taat dan
terhadap agama Islam dan ikut terlibat dalam perjuangan berdirinya negara islam
dibawah naungan khilafah Islamiyah.
B. HTI Sebagai Organisasi yang Berideologi Islam
Dalam menjelaskan perihal gerakan sosial, salah satu aspek penting yang layak
diperhatikan adalah mekanisme internalnya yang memungkinkan sebuah gerakan bisa
tumbuh dan lebih terorganisir. Pada awal perkembanganya, peran pemimpin dalam
menciptakan mekanisme itu sangat penting. Dalam kasus gerakan sosial HT (Hizbut
Tahrir), peran Taqiyuddin An-Nabhani sangat dominan dalam memberikan landasan
ideologi.
Perjalanan HTmemang tidak lepas dari konteks sosial politik yang kompleks
dalam dunia Islam, sehingga Islam dalam kondisi terpuruk. Berbagaikritik yang
disampaikan tokoh HT (An-Nabhani) terhadap realitas sosial tidak hanya tertuju pada

65

faktor eksternal saja, melainkan beliau mengkritik masalah yang ditimbulakan oleh
internal Islam sendiri.
Kritik An-Nabhani terhadap internal Islam mengarah pada beberapa faktor
diantaranya adalah Pertama, An-Nabhani melihat bahwa para kaum muslimin yang
memperjuangkan Islam mereka tidak memiliki pemehaman yang mendalam terhadap
paradigma fikrah al-Islamiyah (pemikiran Islam), dan nalar berfikir mereka justru
dipengaruhi oleh pemikiran di luar Islam. Salah satu prodak pemikiran asing yang
banyak dikritik An-Nabhani adalan filsafat asing baik itu dari India, Persia, maupun
Yunani. Menurut An-Nabhani, banyak kaum muslimin yang telah dipengaruhi oleh
filsafat di atas, sehingga mereka melupakan ilmu-ilmu dari Islam. Ironisnya, umat
Islam sudah berani melakukan interpretasi terhadap teks yang menjauhkan arti dan
hakikat Islam yang sebenarnya dan mereka justru lemah dalam pengetahuan Islam.
Kedua adalah lemahnya al-tariqah al-Islamiyah (metode Islam). Dalam aspek
ini umat Islam di nilai tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai tariqah alIslamiyah. Dalam hal ini An-Nabhani menyebutkan :
Akan halnya denganal-tariqah al-Islamiyah, sesungguhnya umat Islam secara
berangsur-angsur telah kehilangan gambaran yang jelas mengenai al-tariqah alIslamiyah. Dahulu, kaum muslimin mengetahui bahwa keberadaannya dalam hidup
ini hanya untuk Islam semata; menjalankan hukum-hukum Islam di dalam negeri
serta menyebarkan dakwah Islam di luar negeri. Namun demikian fakta
menunjukan bahwa umat Islam mulai berpandangan bahwa tugas seorang muslim
di dunia ini, pertama-tama adalah mencari kesenangan di dunia terlebih dahulu,
baru setelah itu sebagai tugas yang kedua menyampaikan nasehat dan petunjuk, itu
pun jika keadaan mendukung. Sementara negara sudah tidak lagi mempedulikan
kesalehan dan kelalaiannya dalam melaksanakan hukum-hukum Islam. Kaum
muslimin sendiri, setelah kehilangan negaranya, mulai beranggapan bahwa

66

kebangkitasn Islam dapat diraih kembali dengan cara membangun masjid-masjid,


menerbitkan buku-buku, tulisan atau karangan lain, serta memperbaiki akhlaksementara mereka padasaat yang sama tetap berdiam diri terhadap kepemimpinan
kufur yang menguasai mereka dan menjajah mereka.26

Faktor berikutnya adalah tidak adanya jalinan yang kokoh antara fikrah dan
tariqah. Menurut An-Nabhani, kaum muslim yang memperjuangkan Islam hanya
memperhatikan hukum-hukum syariat yang berkaitan dnegan pemecahan persoalan
kehidupan yang menyangkut aspek-aspek fikrah saja. Sedangkan, syariat yang
menjelaskan cara praktis pemecahan masalah, justru diabaikan seperti hukum yang
berkaitan dengan jihad, ghanimah, hukum yang menyangkut khilafah, qada
(pengadilan) , kharaj dan sebaginya.27
Selain persoalan fikrah dan tariqah, An-Nabhani juga mengkritik metode
penafsiran yang umumnya digunakan oleh umat Islam dalam memahami teks sumber
pengetahuan. Dalam tradisi interpretasi modern yang umumnya digunakan oleh
kelompok-kelompok Islam liberal bahwa syariat difahami dan disesuaikan ke dalam
konteks ruang dan waktu. Artinya memahami teks-teks keagamaan seseorang harus
mempertimbangkan dengan keadaan dan waktu yang sedang terjadi pada saat itu.
Bagi An-Nabhani justru sebaliknya seharusnya masyarakatlah yang diubah agar
sesuai dengan syariat Islam, bukan sebaliknya.28

26

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrirI ndonesia, h. 97-98.
27
Ibid., h. 95-119.
28
Ibid., h. 95-119.

67

Masalah selanjutnyaadalah faktor internal yang telah merasuki dunia Islam.


Pengaruh-pengaruh Barat dianggap telah memporak-porandakan tatanan sosial dunia
Islam. Imperialisme budaya telah merubah tradisi-tadisi yang diwariskan Islam pada
masyarakat muslim di dunia. Kemudian secara politik dunia Islam banyak di serang
oleh gagsan-gagsan Barat yang justru melahirkan petaka seperti ide tentang
demokrasi, kapitalisme, liberalisme, komunisme dan lain sebagainya.
Realitas seperti ini mengundang perhatian An-Nabhani untuk mengembalikan
tatanan yang telah rapuh. Bagi An-Nabhani, umat Islam perlu diajak kembali untuk
memahami pesan-pesan Islam yang otentik sesuai dengan nas quran dan sunah.
Dalam upaya mewujudkan cita-cita tersebut, maka diperlukan sebuah wadah gerakan
partai politik yang berideologi Islam. Suatu kelompok yang benar, tegas An-Nabhani
adalah sebuah kelompok yang berdiri sebagai sebuah partai yang berideologi Islam.
Ideologi Islam difahami juga sebagai fikrah Islam dan sebagai ruh dan jati diri
partai.29
Untuk mengkontruksi suatu ideologi sebagai basis perjuangan partai aktivis
HT atau HTI menganggap Islam sebagai sumber legitimasi. Baik HT atau di
Indonesia dikenaldengan HTI memiliki suatu keyakinan terhadap cakupan agama
Islam yang universal. Islam oleh HTI tidak hanya difahami sebagai sebuah agama
yang mengerusi masalah spiritual saja, akan tetapi juga mengurusi masalah sosial
secara menyeluruh. Maka kesimpulan yang bisa diatarik adalah menjadikan Islam
29

Ibid.,h. 103.

68

tidak hanya sebagai agama semata, namun mereka menganggap Islam sebagai mabda
(ideologi).30
2. Visi dan Misi HTI di Kampus UIN Jakarta
Kehadiran HTI sebagai sebuah gerakan sosial tentunya memiliki visi dan misi
agar roda perjalanan organisasi bisa berjalan tersetruktur dan objektif. HTI memiliki
orientasi politik dan orientasi sosial yang mengarah pada terciptanya sebuah tatanan
yang Islami di bawah syariat dan struktur politik khilafah.
Di UIN Jakarta para aktivis HTI terlibat dalam aktivitas dakwah Islam di
kampus. Meskipun HTI merupakan organisasi yang terstruktur formal artinya barbagi
aktivitas HTI dimanapun mereka berada harus atas dasar rekomendasi dari Dewan
Pimpinan Pusat HTI, akan tetapi masing-masing pengurus cabang diberikan
kelonggaran dalam membuat kerangka visi dan misi organisasi yang disesuaikan
dengan konteks lingkungan yang ada. Dalam hal ini, yang terpenting substansi dan
orientasi yang terangkum dalam visi dan misi tersebut tidak keluar dari perjuangan
untuk penegakan syariat Islam dan mewujudkan struktur khilafah Islamiyah.
Sebagaimana telah umum diketahui bahwa UIN adalah institusi pendidikan
yang berfungsi menyelenggarakan pendidikan yang bermutu tinggi. Misi UIN Syarif
Hidayatullah adalah menjadi universitas kelas dunia dengan keunggulan integrasi
keilmuan, keislaman, dan keindonesiaan. Adapun HTI yang berada di lingkungan
30

Ibid.,h. 103-110

69

UIN Jakarta juga memiliki misi organisasi yang jelas yang disinergikan dengan
konteks lingkungan kampus yang ada yaitu Pertama, HTI mencita-citakan
terwujudnya kehidupan Islam yaitu kehidupan yang diatur dan ditata berdasarkan
syariat Islam dalam segala aspek kehidupan. Kedua, Mengembangkan dakwah Islam
baik dikampus maupun di luar kampus. Ketiga, Memberikan landasan moral terhadap
pengembangan IPTEK dan melakukan pencerahan dalam pembinaan IMTQ sehingga
IPTEK dan IMTQ dapat sejalan.31 Dengan mempertimbangkan visi dan misi di atas,
diharapkan kader HTI memiliki beberapa standar aqliyah yang mencakup tsiqoh pada
ideologi, berani dan tegas, serius dan tanggungjawab, sabar dan teguh, tidak berhenti
untuk belajar, bisa bekerjasama. Selanjutnya gerak dalam pergerakannya aktivis
HTI harus konsisten, semangat juang tanpa henti, tekun, mampuh mempengaruhi dan
meyakinkan dan menggerakan sekala individu, keluarga, masyarakat dan bangsa.32
C. Hizbut Tahrir Sebagai Eksemplar Fundamentalisme Islam
Istilah fundamentalisme merupakan istilah klasik yang berkonotasi pada
gerakan keagamaan kristen abad ke 20-an di Barat. Setelah beberapa lama dari
peristiwa Revolisi Iran (1979), istilah fundamentalisme tidak begitu ramai
dibicarakan. Akan tetapi sejak peristiwa terorisme pada 11 September 2001 yang
menghancurkan menara kembar World Trade Centre (WTC) New York Amerika
Serikat, dan dilanjutkan dengan peristiwa yang sama pada 12 Oktober 2002 di Bali,

31

Yuliawati, Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta 2009, h. 20-30.
Ibid.,h. 20-30.

32

70

maka diskursus fundamentalisme kembali menemukan momentumnya yang bersekala


internasional.33
Bagi sebagian para sarjana, adanya usaha menghubungkan kedua peristiwa di
atas dengan fenomena gerakan fundamentalisme keagamaan dalam Islam diniali
terlalu gegabah dan mengundang muatan politik. Di lain pihak, fenomena tersebut
dipandang sebagi hal yang wajar karena fenomena fundamentalisme di pandang
sebagai maslah klasik semua agama, sehingga kedua peristiwa itu dianggap relevan
dengan fenomena fundamentalisme.
Dalam pemeparan pembuka tulisan ini, telah disinggung bahwa istilah
fundamentalisme barakar dari tradisi Kristen, sehingga sulit untuk menumukan istilah
tersebut di dunia Islam, bahkan mungkin tidak ada. Secara istilah fundamentalisme
berasal dari kata fundamentum yang berati dasar.34 Istilah ini merujuk pada gerakan
keagamaan dalam sekte Kristen Protestan Amerika dan di adopsi dari buku berjudul
The Fundamentals: a Testimony to Truth, sebuah kumpulan tulisan dari para teolog
konservatif Kristen.35

33

Segera setelah terjadinya peristiwa terorisme di Amerika tersebut bermunculan publikasi


yang mencoba menghubungkan dengan gerakan fundamentalis Islam seperti yang dihasilakan oleh
John L. Esposito dengan judul Unholy: Teror in the Name of Islam. Buku ini sudah diterjemaahkan
oleh Syafrudin Hasani dengan judul, Unholy War: Teror Atas Nama Islam, (Yogyakarta: Ikon, 2002),
h. 20-28.
34
J.B. Foreman (ed) ,Encyclopedia and Dictionary, M.A. London, 1974, seperti dikutip dari
Rifyal Kaba, Islam dan Fundamentalisme, (Jakarta: Panjimas, 1984), h. 1.
35
Kaum fundamentalis memiliki doktrin yang disebut five point of fundamentalism. Kelima
doktrin itu adalah; 1) Injil tidak pernah salah, kata perkata. 2) Ketuhanan Yesus Kristus. 3) Kelahiran
Yesus dari perawan Maria. 4) Penebusan dosa. 5) KebangkitanYesus ke dunia secara fisik. Lihat Bara

71

Dalam dunia Islam istilah fundamentalisme memang masih menuai


kontoversi, namun banyak juga para sarjana yang justru sepakat menghubungkan
kedua istilah tersebut di sejajarkan. Pada umumnya para sarjana ini memahami
fundamentalisme Islam pada aspek literalis, rigid dalam dalam memahami doktirn
agama. Seperti dikatkan oleh Mahmud al-Alim bahwa fundamentalisme Islam adalah
aliran pemikiran yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid dan
literalis.36Patrick Bannerman mendefinisikan fundamnetalisme Islam sebagai
kelompok yang ortodok yang bercita-cita ingin menegakkan konsep-konsep
keagamanaan dari abad ke-7 M. atau pada doktin klasik.37
Kelompok yang mendefinisikan fundamentalisme sebagai suatu gerakan
keagamaan diantaranya adalah Roxanne L. Euben, Basam Tibi, Leonar Binder dan
Yousef Choeri. Euben, mendefinisikan fundamentalisme Islam sebagi gerakan
religio-politik kontemporer yang ingin kembali pada dasar-dasar kitab suci dan
menafsirkan kembali pondasi-pondasi tersebut untuk diterapkan pada dunia politik
dan sosial kontemporer.38
Berangkat dari perspektif yang dikemukakan oleh para sarjana di atas, istilah
fundamentalisme menjadi lebih ingklusif dan fleksibel dalam penggunaannya.
Ilyasadalam Profil Partai Fundamentalis Islam: Studi Tentang Mobilisasi Politik Partai Keadilan
Sejahtera 1999-2009), (Skripsi SI Fakultas Ilmu
36
Mahmud Amin al Alim, al Fikr al Arabyial Muasirbaina al Ushuliyyahwa al Almaniyah
dalam al Ushuliyyah al Islamiyyah (Qodya Fikriyah Li an Nasyrwa at Tauzi, 1993), h. 10.
37
Patrick Bannerman, Islam in Persfektive a Guide to Islamic Society Politic and Law
(London: Routlage, 1988), h. 156.
38
Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme
Modern, trj. SatrioWahono (Jakarta: Serambi, 2002), h. 42

72

Sehingga, berbagai fenomena keagamaan yang dilatarbelakangi oleh sepirit


keagamaan dan politik banyak didefinisikan sebagai gerakan fundamentalisme Islam.
Terkait dengan gerakan HTI, istilah fundamentalisme nampaknya tidak
mudah disejajarkan dengan gerakan ini (HTI). Terlebih HTI sendiri pun akan
menolak dengan keras istilah fundamentalisme dihubungkan dengan gerakan Islam.
Dalam pandangan Abd Al-Qodim Zallum39 salah satu tokoh HT pase awal ia melihat
istilah fundamentalisme Islam dianggap hanya sebagai strategi Barat untuk
membendung pergerakan kaum muslimin. Sebagaimana telah diketahui bahwa
gerakan fundamentalisme lahir dari rahim Kristen pada abad ke 20-an di Eropa.
Kelompok ini dianggap sebagai representasi dari kelompok yang menolak kemajuan
seperti sains, teknologi, seni yang menjadi prodak kapitalisme. Sehingga, keberadaan
kelompok ini dianggap berbahaya bagi perkembangan zaman.
Dalam perkembangannya Zallum mengakui istilah ini kemudian di perluas
maknanya hingga mengarah pada kelompok-kelompok Islam. Dengandemikian,

39

Syaikh Abdul Qadim Zallum tumbuh dan berkembang di kota al-Khalil hingga mencapai
usia lima belas tahun. Beliau menempuh pendidikan dasar di Madrasah al-Ibrahimiyah di al-Khalil.
Kemudian beliau pindah ke al-Azhar asy-Syarif untuk mempelajari fikih. Pada 1939 tepat usianya 15
tahun beliau di kirim ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar dan memperoleh ijazah al-Ahliyah al-l
pada tahun 1942. Berikutnya, beliau memperoleh ijazah Pendidikan tinggi (Syahdah al-liyah)
Universitas al-Azhar pada tahun 1947. Kemudian beliau memperoleh Ijazah al-lamiyah dalam bidang
keahlian al-Qadh (peradilan), seperti ijazah doktor sekarang ini, pada tahun 1368 H 1949. Syaikh
Zallum berjumpa dengan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullh pada tahun 1952 dan beliau
menjadi anggota qiydah Hizb sejak tahun 1956.Dikutip dari situs resmi Hizbut Tahrir Indfonesia
Hizbut Tahrir Indonesia Untuk Melanjutkan Kehidupan Islam, tersedia di http://hizbuttahrir.or.id/2007/05/20/syaikh-abdul-qadim-zallum-amir-hizbut-tahrir-kedua/; Internet diunduh pada 9
November 2013.

73

Islam pun dianggapsamasebagaikelompok yang membahayakan.40Lebih lanjut


Zallum mengatakan:
Maka dari itu, predikat fundamentalisme yang diletakan pada Islam dan gerakangerakan Islam sebagaimana dilekatkan pada gerakan Kristen, adalah predikat yang
salah dan tendensius. Tidak sesuai dengan fakta ajaran Islam dan fakta orang-orang
yang berjuang mengembalikan Islam dalam kehidupan. Sebab mereka berusaha
untuk merubah realitas kehidupan kaum muslimin yang buruk, yang merupakan hasil
dari penerapan sistem buatan manusia dalam kehidupan. Ini jelas bertolak belakang
dengan aktivitas gerakan-gerakan fundamentalis Kristen yang berusaha melestarikan
pola kehidupan orang Kristen sebelum era kapitalisme baik secara formal maupun
substansial.
Dengan demikian, predikat fundamentalisme yang diberikan Amerika dan Eropa
kepada gerakan-gerakan Islam, tidak lain adalah bentuk memerangi kembalinya
Islam dalam kehidupan. Ini memang masalah yang strategis, bahkan sangat vital bagi
Barat. Karena mereka sangat berambisi untuk mempertahankan dunia ketigakhususnya negeri-negeri Islam sebagai dunia yang terbelakang, yang jauh dari
kebangkitan yang hakiki. Tujuannya adalah untuk menghalang-halangi kembalinya
negara khilafah yang mencababut sistem kehidupan mereka dari akar-akarnya serta
menghancurkan ketamakan dan keserakahan.41

Berbagai pandangan Zallum terkait dengan fundamentalisme di atas, adalah


bentuk kritikan dan penolakan terhadap istilah fundamentalisme Islam. Selain dari
dimensi historis, istilah fundamentalisme juga sudah terlanjur tercederai oleh stigma
negatif seperti kelompok yang keras, teroris, intoleran dan anarkis dalam aksinya. Hal
ini semakin menyulitkan kita dalam menghubungkan istilah fundamentalisme dengan
HTI.
Dalam kerangka teoritis yang telah di jelaskan dalam bab sebelumnya,
penggunaan istilah fundamentalisme sebagai ideal type adalah salah satu cara untuk

40

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia, h. 186-187.
41
Abdul Qadim Zallum, Demokeasi Sistem Kufur: Haram Mengambil, Menerapkan, dan
Menyebarluaskannya, (Bogor: PustakaThariqulIzzah, 2003), h. 11.

74

memudahkan kedua istilah tersebut di sejajarkan. Berangkat dari sebuah teori yang
dikemukakan oleh Euben dan Basam Tibi yaitu fundamentalisme merupakan
kelompok dan gerakan religio-politik yang berusaha mengubah sistem sekuler dengan
sistem politik yang didasarkan pada agama.42 Selain Euben dan Tibi, kriteria
fundamentalisme yang dikonseptualisasikan oleh Ibrahim Abu Bakar, yaitu
fundamentalisme memberikan penekanan pada pembersihan agama dari isme-isme
modern seperti modernisme, liberalisme, humanisme, demokrasi dan lain-lain.43
Merujuk pada para sarjana di atas, nampaknya terdapat bebrapa persamaan
karakter yang dimiliki HTI dengan gerakan fundamentalisme. Sebagaimana telah
umum diketahui bahwa HTI sejak awal mendeklarasikan dirinya sebagai partai
politik. Dalam gerakan politiknya HTI dimanapun mereka berada maka akan
memperjuangkan terbentuknya tatanan sosial yang Islami dibawah struktur politik
khilafah Islamiyah.44 Jadi dimensi religio-politik yang melekat pada HTI relatif dekat
dengan teoritisasi gerakan fundamentalisme Islam.
Selain dimensi politik, sikap HTI yang menolak berbagai ideologi Barat juga
turut mempertegas asumsi bahwa HTI memiliki kemiripan dengan gerakan
fundamentalis. Berbagai ideologi-ideologi modern seperti kapitalisme, komunisme,
liberalisme, pluralisme, demokrasi dan sebagainya di tolak HTI. Di dalam pandangan

42

Ibid., h. 320.
Ulfiyah, Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Tsawirul Afkar Edisi 13 Tahun
2002, h. 40.
44
Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia, h. 93-120.
43

75

HTI, varian ideologi di atas adalah prodak Barat yang tidak memiliki sumber pada
quran dan sunah. Oleh kerena itu, setiap kaum muslimin wajib menolak dan
menghindari ideologi tersebut. Sebagimana pandangan Zallum terhadap ide
demokrasi di bawah ini:
Pertama, demokrasi merupakan bagian dari produk akal manusia, bukan berasal dari
allah swt. Demokrasi tidak disandarkan sama sekali pada wahyu allah dan tidak
memiliki hubungan sama sekali dengan agama manapun yang pernah diturunkan
allah kepada para Rasul-nya. Kedua, demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama
dari kehidupan yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dan negara. Ketiga,
demokrasi dilandaskan pada dua ide; 1) kedaulatan ditangan rakyat. 2) rakyat
merupakan sumber kekuasaan.
Keempat,
demokrasiadalahsistempemerintahanmayoritas.Pemilihanpenguasadananggotadewan
perwakilandiselenggarakanberdasarkansuaramayoritasparapemilih.Semuakeputusand
alamlembaga-lembagatersebutjugadiambilberdasarkanpendapatmayoritas.Kelima,
demokrasimenyatakanadanyaempatmacamkebebasan yang bersifatumum, yaitu: 1)
kebebasanberagama. 2) kebebasanberpendapat. 3) kebebasankepemilikan. 4)
kebebasanberprilaku.45

Dengan pemahaman seperti di atas, sudah cukup bagi Zallum memberikan


lebel kufur kepada demokrasi dan ideologi lain di luar Islam. Sebagai sistem kufur,
implikasi hukumnya menurut Zallum jelas. Zallum mengatakan, kaum muslimin
diharamkan mengambil sistem pemerintahan demokrasi sebagai mana haramnya
mengadopsi ekonomi kapitalisme.
Penolakan HTI terhadapi deologi-ideologi non-Islam di atas, dalam kerangka
teori Ibrahim Abu Bakar adalah bagian dari ciri fundamentalisme Islam. Dalam bab
teoritis telah dijelaskan bahwa penelitian ini meletakan fundamentalisme Islam,
hanya sebagai tipe ideal agar cara penggunaannya lebih fleksibel. Berangkat dari
45

Ibid.,h. 188-189.

76

metodelogi seperti itu, maka dengan memaparkan beberapa karekteristik yang sama
antara HTI dengan gerakan fundamentalis, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
HTI adalah bagian dari eksemplar gerakan fundamentalisme Islam.

77

BAB IV
POLA GERAKAN DAN STRATEGI KADERISASI
HIZBUT TAHRIR INDONESIA DI KAMPUS UIN JAKARTA

Dalam pembahasan gerakan sosial, hampir semua sarjana meletakan ideologi


dan basis massa menjadi unsur terpenting untuk mencapai tujuan gerakannya. Dengan
memperkuat basis massa, maka setiap gerakan sosial akan lebih mudah untuk
mancapai tujuan yang telah dicantumkan dalam ideologinya. Dalam pembahasan
sebelumnya telah dijelaskan bahwa orientasi ideologi gerakan sosial HTI adalah
menegakan kembali daulah Islam.
HTI menyadari bahwa untuk meraih misinya ini mereka membutuhkan basis
masa yang luas dan solid sebagai pendukung sekaligus aktor dalam melakukan aksi
yang dirancang HTI. Berangkat dari kesadaran ini, maka HTI membutuhkan pola
yang dirancang secara cermat. Pola ini berkaitan dengan tata cara dalam memperluas
basis dan cara yang bisa mengarahkan gerakan sosial agar dapat meraih tujuan secara
cepat dan tepat. Selain perlu adanya desain pola yang rapi, HTI juga membutuhkan
strategi khusus untuk mencetak kader-kader yang militan, konsisten dan memiliki
kapasitas yang mempuni.
Pada saat ini di hampir seluruh tempat para aktivitas HTI melakukan sebuah
pergerakan yang berkonsentrasi pada penguatan basis massa dan sosialisasi tentang
ide-ide HTI, sebagaimana dikenal dengan istilah marhalah al-tafaul maaa al-umah.

78

Di kampus UIN Jakarta, pola gerakan yang dilakukan HTI terbagi dalam beberapa
bentuk gerakan seperti membentuk lembaga studi, melakukan afiliasi ke masjidmasjid, membangun relasi antar pertemanan, memanfaatkan berbagai media, dan
bahkan melakukan aktivitas pembingkaian isu melalui tulisan, opini public,
interpretasi teks, dan lain-lain.
Agar penelitian ini bisa lebih mudah difahami penulis akan memaparkan
beberapa pola gerakan yang dilakukan HTI UIN Jakarta diantaranya adalah melalui
masjid yang dijadikan insturmen penggembangan jaringan, memanfaatkan relasi
keluarga dan pertemanan, dan pembingkaian isu-isu.
A. Masjid Sebagai Instrumen Pengembangan Jaringan Sosial HTI UIN
Jakarta (Ilustrasi Masjid Fatullah dan Masjid Baiturrahmah Legoso)
Studi tentang alat atau sumber daya sangat krusial dalam teori gerakan sosial
dalam rangka memahami infrastruktur pendukung yang dibutuhkan bagi gerakan
sosial. Dalam bab teoritis studi tentang alat ini dikenal sebagai mobilisasi sumber
daya atau pendekatan struktur mobilisasi (resource mobilization). Bagian ini akan
menjelaskan alat mobilisasi yang digunakan HTI UIN Jakarta untuk mencari
dukungan dan mengembangkan organisasinya.
Dalam teori gerakan sosial jenis sumber daya organisasi memiliki berbagai
bentuk seperti pemasukan dana gerakan, jejaring komunikasi, komitmen moral,

79

justifikasi ideologi, kapasitas kepemimpinan, setrategi, dan perlengkapan lainnya.1


Dari berbagai bentuk sumber daya organisasi di atas, tulisan ini akan mengangkat
masjid sebagai instumen pengembangan jaringan dan instrmen bagi pelaksanaan
aktivitas organisasi untuk menjaring simpatisan.
Masjid merupakan lembaga utama bagi praktek keagamaan dalam masyarakatmasyarakat muslim, dan sering kali dimanfaatkan sebagai struktur mobilisasi religiospesial oleh beragam kelompok Islamis. Dalam struktur fisik masjid, kalangan
Islamis menyelenggarakan kutbah, ceramah, dan kelompok-kelompok studi untuk
menyebarkan pesan gerakan tersebut, mengorganisasi tindakan kolektif, dan
merekrut anggota-anggota baru. Masjid-masjid juga menawarkan jaringan organik
dan nasional yang menghubungkan komunitas-komunitas aktivis di berbagai tempat.2

Keberadaan masjid di lingkungan kampus UIN Jakarta menjadi intrumen


yang penting bagi HTI untuk mengembangkan jaringan organisasi. Selain itu, masjid
juga tidak jarang dijadikan tempat oleh HTI untuk melaksanakan berbagai kegiatankegiatan organisasi yang bertujuan untuk memperkenalkan ide-ide HTI. Dalam
pantauan penulis masjid yang kerap dijadikan tempat kegiatan HTI adalah Masjid
Fatullah dan Masjid Al-Mukhlisin, Masjid baiturrahmah, Masjid Al-Mugirah, dan di
masjid yang ada di dalam kampus UIN Jakarta (Strudent Center).
Keterlibatan HTI dengan masjid-masjid tersebut berawal dari hubngan
emosional antara aktivis HTI dengan pengurus majid. Berangkat dari hubungan
tersebut, selama ini para aktivis HTI bisa lebih mudah melaksanakan kegiatankegiatan

organisasinya

seperti

seminar,

halaqaham,

diskusi-diskusi

kecil,

Burhanudin Mukhtadi, Dillema PKS: Suara dan Syariah, (Jakarta: Paramadina, 2012), h.

118-119.
2

Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, (Jakarta:


Yayasan Wakaf Paramadina, 2007), h. 33

80

penyebaran opini melalui tulisan dan lain-lain. Dalam hal penyebaran opini para
aktivis HTI di UIN Jakarta sangat intensif membagikan tulisan rutin melalui buletin
Al-Islam yang di berikan setiap setelah salat Jumat.
Menurut keterangan Haris (Ketua Ikatan Remaja Masjid Fatullah) yang
berhasil penulis wawancarai menyebutkan bahwa:
Jauh sebelum saya menjabat sebagai ketua IRMAFA para aktivis HTI telah memiliki
hubungan emosional dengan para senior-senior kami di IRMAFA. Adapun untuk
penyebaran opini Islam, dalam buletin Al-Islam, itu dilakukan sejak dulu dan rutin
setiap Jumat. Bahkan, terkadang kami dari IRMAFA membantu mereka
membagikan buletin kepada para jamaah salat Jumat.3

Selain pembagain buletin, HTI juga sering bekerja sama dengan pengurus
Masjid Fathullah dalam program seminar dan para aktivis mereka juga sering
mengikuti program pengajian yang diadakan pengurus masjid. Lebih lanjut Haris
mengemukakan:
Sejak dari awal tahun 2013 ini, para aktivis HTI telah mengajak kerjasama dalam
program seminar mingguan yang bertemakan Aqidah, dan Syariah, Solusi
Problematika Umat. Dan sampai saat ini, sepengetahuan saya mereka telah
melaksanakan sekitar 15 kali seminar mingguan tersebut. Adapaun sebelumsebelumnya, saya tidak tahu pasti karena padasaat itu saya belum terlibat di
kepengurusan IRMAFA.

Berbagai keterangan Haris sama dengan keterangan yang disampaikan oleh


Adriansah (Pengurus Masjid Baiturrahmah Legoso), ia menyebutkan:
Kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan HTI di sini adalah program seminar
mingguan yang bertema Aqidah, dan Syariah, Solusi Problematika Umat, seingat
saya, mereka mengadakan seminar di tahun ini sekitar 15 kali dan yang pernah saya

Wawancara penulis dengan Haris (Ketua Ikatan Remaja Masjid Fathullah UIN Jakarta),
pada 22 Mei 2013 pukul 20.3 wib. Di Masjid Fathullah Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang
Selatan Prov. Banten.

81

lihat anggotanya sekitar 15-20 per-peertemuan. Selain itu, mereka juga sering
mengadakan halaqaham di sini, bahkan hampir setiap minggu ada.4

Dalam pengalaman penulis selama mengikuti halaqaham hampir setiap


pertemuan dilakukan di masjid-masjid khususnya di ketiga masjid tersebut. Menurut
Gustar, selain diadakan halaqaham masjid juga dijadikan sarana untuk
menghubungkan jaringan organik antara HTI dengan komunitas-komunitas HTI di
tempat-tempat lain. Melalui berbagai pengajian di masjid dan musola para aktivis
HTI bergabung dan berinteraksi dengan masyarakat dan para aktivis HTI di tempat
lain.5
Melihat fenomena di atas, jelas bahwa masjid tidak hanya melayani kebutuhan
keagamaan mahasiswa tetapi juga berperan menjadi institusi yang potensial bagi
berkembangnya gerakan sosial, tidak terkecuali HTI di UIN Jakarta.
B. Memanfaatkan Relasi Personal (Pertemanan dan Keluarga)
Gerakan sosial berakar dari kelompok-kelompok berjejaring yang kompleks
yang cenderung lebih memilih informalitas ketimbang kelembagaan yang
terfolmalkan. Banyak gerakan sosial Islam lebih mungkin memanfaatkan jaringanjaringan asosiasi hubungan-hubungan pribadi yang kuat. Bahkan organisasi Islam
sekaliber Ikhwanul Muslim dibentuk oleh jaringan-jaringan dinamis yang melampaui

Wawancara penulis dengan Andriansyah (pengurus Masjid Baiturrahmah Legoso Ciputat,


selain menjadi pengurus masjid, Andriyansah juga aktif sebagai Mahasiswa Science dan Teknologi
smester 8 UIN Jakarta), pada 12 April 2012, pukul 15.00 wib. Di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel.
Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten.
5
Wawancara penulis dengan Gustar (Salah satu pembina Halaqoh Umum HTI UIN Jakarta),
pada 25 Maret 2013, pukul 20.00 wib, di Masjid Fathullah komplek perumahan UIN Jakarta Kel.
Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten.

82

parameter-parameter lingkup organisasi formal yang menghubungkan para aktivis


dengan kalangan sahabat, keluarga, dan kolega-kolega lain.
Pola jaringan yang dibangun sebenarnya mempersulit bagi penelitian karena
jaringan yang dibentuk berakar pada interaksi-interaksi pribadi dan hubunganhubungan sosial. Guna mendapatkan akses ke jaringan-jaringan ini penulis harus rela
melakukan kerja lapangan yang menghabiskan cukup banyak waktu. Selain itu,
penulis juga harus berusaha meyakinkan kepercayaan, membangun persahabatan dan
terus melakukan interaksi yang berulang-ulang agar mendapatkan hasil yang optimal.
Dalam analisa yang selama ini penulis lakukan terhadap HTI di UIN Jakarata,
hubungan personal baik pertemanan maupun keluarga memiliki pengaruh yang besar
terhadap ketersediaan anggota untuk terlibat dalam HTI di UIN Jakarta. Pola
pendekatan yang dilakukan HTI terahadap mahasiswa biasanya memiliki beragam
bentuk. Sebagaimana keterangan Zakiyatun Nufus saat berdialog dengan penulis,
mengatakan
Dulu saya pernah memasuki beberapa organisasi ekstra kampus seperti PMII, IMM,
HMI, yang ditawarkan oleh mahasiswa di lobi-lobi kampus. Pada saat itu, saya belum
mengenal HTI sama sekali. Di HMI, PMII dan lain-lain saya mengenal organisasi
tersebut dengan sendiri, karena pola rekrutmen yang mereka lakukan relatif terbuka
untuk umum dan banyak bertebaran di fakultas-fakultas. Kemudian, selama di HMI
dan PMII, saya tidak menemukan perbedaan, kedua organisasi ini menurut saya hampir
sama, mereka sangat aktif dalam politik kampus. Lalu, awal persentuhan saya dengan
HTI perta di bangun sejak tahun 2010, pada waktu itu saya mengikuti seminar yang
temannya saya lupa, tapi seminar itu di laksanakan di Student Center UIN Jakarta. Di
sana saya berdialog dengan Novi mahasiswi dari Fakultas Tarbiyah. Dari obrolan
tersebut saya diperkenalkan tentang berbagai hal terkait Islam dan perempuan.
Awalnya kami tidak menyinggung soal HTI, tetapi Novi sangat mahir menghubungkan
peren perempuan dengan Islam. Daya kritis dan luasnya pengetahuan dia tentang Islam,
membuat saya tertarik berhubungan dengan dia. Dari situ saya diajak beberapa kali
diskusi kecil di kampus, dan disana saya diperkenalkan dengan muslimah-muslimah
HTI dari berbagai fakultas. Di HTI saya menemukan perbedaan dengan organisasi lain,

83

bagi saya HTI cukup konsisten dalam memperjuankan dakwah Islam. Itulah awal dari
persentuhan saya dengan HTI, dan hingga saat ini hubungan pertemanan kami sangat
baik meskipun kami sudah jarang bertemu karena Novi saat ini sudah selesai
menamatkan kuliahnya.6

Pengalaman yang dialami Nufus memiliki kesamaan dengan Munawir.


Munawir adalah mahasiswa semester awal pada prodi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta. Di sela-sela perbincangannya
dengan penulis, ia menyebutkan pengalaman pribadinya saat pertama dia bersentuhan
dengan HTI. Dalam keterangan Munawir, dia mengaku bahwa dirinya mengenal HTI
berawal dari pertemanan dikos-kosan tempat tinggalnya. Di tempat dia tinggal, dia
mengenal Gustar aktrivis HTI dan Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas
Adab dan Humaniora. Sejak pertemanannya dengan Gustar itulah Munawir sering
diajak mengikuti kegiatan-kegiatan HTI. Dalam wawancara dengan penulis
menyebutkan:
Saya mengenal HTI dari tetangga sekosan saya, Ust. Gustar. Dari situ saya sering
diajak berdiskusi mingguan dengan teman-temah HTI di Gema Pembebasan. Dari
pertama saya masuk UIN Jakarta, organisasi eksternal yang saya geluti hanyalah
HTI. Di HTI saya bisa banyak belajar tentang Islam dan lain-lain. Saya tertarik
dengan Islam kerena latar belangang pendidikan saya adalah sekolah umum
sementara di UIN Jakarta saya di tuntut mempelajari tentang Islam. Di HTI inilah

Wawancara penulis dengan Zakiyatun Nufus (anggota muslimah HTI UIN Jakarta. Nufus
adalah mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Smster IV. Wacancara penulis dengan responden
dilakukan secara tertutup artinya wawancara yang dilakukan penulis tidak begitu formal. Adapun
bentuk pengambilan data yang penulis lakukan adalah dengan memanfaatkan obrolan-obrolan
sederhana di lobi-lobi kampus khususnya di fakultas dakwah dan komunikasi. Pola wawancara seperti
ini, bertujuan untuk mempermudah penulis dalam berinteraksi untuk mendapatkan data-data. Di HTI,
pada umumnya hubungan laki-laki dan perempuan memiliki batasan-batasan tertentu dalam
berinteraksi. Selain itu, apabila terdapat peneliti atau siapapun yang ingin meneliti tentang HTI, maka
peneliti tersebut diwajibkan untuk mendapatkan rekomendasi dari DPP HTI terlebih dahulu. Berangkat
dari kesulitan-kesulitan ini, beberapa pengambilan data yang penulis dapatkan dilakukan melalui
wawancara tertutup, termasuk dengan Zakiyatun Nufis. Wawancara dilakukan pada 27 Mei 2013, di
kantin Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Pukul 13.00 wib.

84

saya pasilitasi untuk mengenal dan mengkaji tentang Islam. Saat ini, saya masih
mengikuti halaqaham HTI yang dilakukan setiap se-minggu sekali.7

Beberapa keterangan-keterangan yang di kemukakan di atas, jelas menunjkan


bahwa relasi pertemanan sangat efektif digunakan oleh aktivis HTI dalam rangka
merekrut dan memperkenalkan gagasan-gagasan HTI ke mahasiswa. Sebagimana
telah dijelaskan dalam babsebelumnya bahwa setiap aktivis dan mudaris yang
mengikuti pendidikan di HTI diberikan tanggung jawab untuk menyebarkan gagasangagsan HTI ke yang lainnya. Setrategi seperti ini sangat efektif bagi gerakan sosial
untuk memperluas pengaruh dan memperkuat jumlah anggotanya. McAdam
menyebutkan bahwa idividu-individu tertarik berpartisipasi bukan hanya karena
gagasan atau bahkan sikap individu, melainkan akibat keberakaran mereka dalam
jaringan-jaringan yang menjadikan mereka secara struktural tersedia bagi aktivitas.8
Selain memanfaatkan relasi pertemanan, faktor keluarga atau jaringan
keluarga juga mendorong perluasan ke anggotaan HTI. Untuk memperkuat asumsi
ini, Faisal Fikri (Anggota HTI dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada Prodi
Pendidikan Agama Islam) mengatakan:
Bagi saya organisasi HTI bukanlah organisasi yang asing atau baru saya kenal. Di
pandeglang saya didibesarkan di keluarga yang memiliki hubungan dekat dengan
para aktivis HTI. Kaka saya adalah aktivis HTI di Universitas Matlaul Anwar
Banten. Saat saya studi di Madrasah Aliah, saya sering diajak kaka saya ke acaraacara seminar di kampus, hanya saja pada saat itu saya tidak sempat mengikuti
halaqah resmi HTI. Di keluarga pun kami sering berdiskusi dengan orang tua tentang
Islam dan politik, di sana saya telah dibekali pengetahuan-pengetahuan tentang
khilafah. Selanjutnya, setelah saya kuliah di UIN Jakarta, saya langsung
7

Wawancara penulis dengan Munawir (peserta halaqaham HTI Uin Jakarta) di Sekertariat
HTI UIN Jakarta Semanggi II. Pada 23 Mei 2013, pukul 20.20 wib.
8
Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman
Hizb al-Tahrir Indonesia, (Malang: Universitas Muhamadiyah Press, 2005), h. 201.

85

diperkenalkan dengan HTI atas bantuan jaringan dari kaka yang kebetulan beliau
9
memiliki banyak teman dengan HTI di UIN Jakarta.

Keterangan Fikri memiliki kemiripan dengan pengalaman penulis saat penulis


memutuskan untuk mengikuti halaqaham HTI. Dalam pengalaman penulis, para
senior yang menjadi pembina halaqaham tidak jarang meminta penulis untuk
mengsosialisasikan ide-ide HTI pada keluarga penulis, bahkan diantara mereka
sempat beberapa kali meminta untuk diperkenalkan kepada keluarga.
Pola seperti inilah yang penulis temukan di lapangan selama penulis terlibat
dalam aktivitas-aktivitas HTI di UIN Jakarta. Jaringan keluarga dan relasi pertemanan
memiliki peran penting bagi HTI untuk memperluas ide-ide HTI pada masyarakat.
Dari beberapa data dan fakta yang penulis temukan menunjukan bahwa strategi
jaringan keluarga dan pertemanan cukup berhasil dilakukan HTI di UIN Jakarta.
C. Membentuk Kelompok Studi dan Memanfaatkan Sarana Kampus
Dalam upaya memaksimalkan sebuah gerakan biasanya gerakan sosial
memanfaatkan berbagai sumber daya organisasi, agar proses penyampaian pesan dan
perekrutan aggota bisa berjalan dengan optimal. Adapun bentuk dari pemanfaatan
sumber daya organisasi terbagi ke dalam beragam varian seperti pembuatan wadah

Wawancara penulis dengan Faisal Fikri mahasiswa pada Prodi Pendidikan Agama Islam
semester X. Faisal Fikri terlibat dalam kegiatan-kegiatan HTI sejak pertama dia masuk kuliah di UIN.
Faktor keluarga merupakan unsur yang paling dominan bagai keterlibatan Fikri pada HTI, karena
secara kultural fikri dibesarkan dalam keluarga yang memiliki hubungan kuat dengan HTI. Ustadz.
Asep Miftahudin adalah kaka kandung Fikri yang juga aktivis senior HTI di Pandeglang Banten.
Dalam keterangannya, Ustadz. Asep inilah yang paling berpengaruh dalam mengenalkan ide-ide HTI
pada keluarga. Wawancara dilakukan pada 23 Mei 2013 di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
pukul 10.00 wib.

86

mobilisasi, pengembangan jejering, pemanfaatan aktor dan anggota, pembagian kerja,


afiliasi dengan lembaga-lembaga eksternal dan lain sebagainya.
Sebagai gerakan sosial HTI juga turut terlibat dalam pemanfaatan sumber
daya organisasinya. Di UIN Jakarta berbagai sumber daya organisasi yang digunakan
HTI memiliki beragam bentuk diantaranya adalah membentuk jejaring sosial,
pembuatan opini publik, afiliasi ke berbagai lembaga, pemberdayaan aktivis,
kelompok-kelompok studi dan lain sebagainya.10
Berhubungan dengan kelompok-kelompok studi, HTI di Kampus UIN Jakarta
telah membentuk beberapa kelompok studi yang bertujuan untuk mengembangkan
intelektual bagi anggota maupun non-anggota. Sebagaimana dikatakan oleh Gustar
yaitu beberapa kolompok studi yang dibentuk dan dimiliki HTI di UIN Jakarta yaitu
kelompok diskusi Gema Pembebasan, LISMA HTI, Muslim Science Community
(MSC), Muslimah HTI dan lain-lain.11 Lebih lanjut Gustar mengatakan bahwa waktu
pelaksanaan diskusi di atas diselenggarakan tidak menentu atau dengan kata lain
bersifat kondisional. Namun, dalam satu minggunya selalu saja ada minimal satu kali
dilaksanakan, bahkan terkadang lebih. Keterangan Gustar sama dengan keterangan
dari Ust. Fadlan dia mengatakan:
Di HTI teman-teman tidak hanya diajak untuk belajar berorganisasi praktis, namun
para anggota HTI akan diajak untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang bertujuan
untuk pengembangan intelektual yang biasa diadakan oleh kelompok-kelompok
10

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), pada 5
Febriari 2013, pukul 15.00 wib, di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota
Tangerang Selatan Prov. Banten.
11
Wawancara penulis dengan Gustar (Salah satu pembina halaqaham HTI UIN Jakarta),
pada 25 Maret 2013, pukul 20.00 wib, di Masjid Fathullah Kompelek Perumahan UIN Jakarta Kel.
Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten.

87

diskusi HTI, seperti Gema Pembebasan, LISMA untuk muslimah HTI, Jalasamuna,
dan bahkan khusus di Fakultas Science dan Teknologi mereka membuat MSC
(Muslim Science Community). Selain kelompok studi, kami (HTI) juga sering
melakukan diskusi dalam bentuk seminar, dengan cara bekerjasama dengan
organisasi-organisasi di kampus.12

Terkait dengan tempat dan anggota yang ikut dalam diskusi di HTI, para
peserta tidak mempetak-petakan atau bersifat sektarian artinya diskusi ini bersifat
terbuka untuk siapa saja yang ingin mengikuti diskusi. Bagi HTI keterlibatan anggota
diskusi dari luar justru akan memberikan nuansa berbeda saat berdiskusi. Seperti di
katakan Hanif bahwa:
Pelaksanaan diskusi yang kami lakukan itu bisa dimana saja, baik itu dilobi kampus, di
kos-kosan, dikelas, di masjid-masjid, bahkan di warung-warung. Saya ingat pada 10
April kemerin juga para Muslimah HTI Chapter UIN Jakarta, mengadakan dialog
Interaktif: dengan tema: Menjawab Pertanyaan Seputar Khilafah, yang diadakan di
rumah makan Bambu INA. Nah, itu bagian daripada acara yang dilakukan HTI UIN
Jakrta. Dan dalam pelaksanaan diskusi kami terkadang mengajak teman-teman
mahasiswa baik yang sudah bergabung dalam organisasi maupun yang belum. Bahkan,
kami senang bila kami melibatkan perwakilan dari organisasi lain seperti dari HMI,
PMII, IMM, sebab dengan keberadaan mereka diskusi akan lebih menarik.13

Dalam pengalaman penulis selama mengikuti kegiatan HTI UIN Jakarta,


aktivitas diskusi HTI yang tidak melibatkan orang di luar HTI hanyalah agenda
Jalasamuna (duduk melingkar) yang diadakan se-bulan sekali. Selain berdiskusi
dengan tema tertentu, Jalasamuna juga dijadikan ajang evaluasi aktivitas
keorganisasian. Dalam agenda ini, seluruh aktivis HTI baik itu yang masih setatusnya

12

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), Pada 5
Febriari 2013, pukul 15.00 wib.di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kota Tangerang Selatan
Prov. Banten.
13
Wawancara penulis dengan Ust. Hanif (Kativis HTI UIN Jakarta pada Fakultas Ushuludin
dan Filsafat), pada 11 Juni 2013 pukul 17.07 wib, di Masjid Setudent Center (SC) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

88

mudaris maupun yang sudah menjadi kader resmi sama-sama diharapkan untuk hadir.
Menurut Ust. Fadlan:
Agenda jalasamuna di HTI dilakukan minimal se-bulan sekali dan agenda ini dijadikan
ajang silaturahmi bagi kader dan aktivis HTI secara keseluruhan. Lalu, dalam
jalasamuna inilah kami melakukan evaluasi aktivitas keorganisasian yang telah
dilakuakn serta merumuskan agenda-agenda selanjutnya yang akan dilakukan. Dalam
jalasamuna, kami tidak melibatkan aktivis Hizbu Tahrir dari musliamah. Adapaun
perempuan mereka memililiki aktivitas khusus yang dihadiri oleh muslimah.14

Dari berbagai pemaparan di atas, dapat ditemukan bahwa pola gerakan yang
dilakukan HTI di UIN Jakarta tidak hanya memiliki satu bentuk kegiatan saja, namun
mereka menggunakan beragam cara demi terwujudnya agenda besar mereka. Oleh
karena itu, keberadaan lembaga-lembaga studi menjadi instrumen penting dalam
organisasi HTI di UIN Jakarta, karena berangkat dari kelompok kecil ini HTI bisa
lebih mudah mensosialisasikan ide-ide dan menyebar pengfaruhnya kepada
mahasiswa/mahasiswi.
D. Pembingkaian Isu Sebagai Pola Gerakan HTI di UIN Jakarta
Secara teoritis selain dimensi-dimensi strategis dan strukturalis dari mobilisasi
yang digambarkan dalam teori mobilisasi sumberdaya dan model proses politik,
pendekatan gerakan sosial semakin kuat mengkaji bagaimana individu peserta
mengoptimalisasikan diri mereka sebagai suatu kolektifitas; bagaimana para calon
peserta diyakinkan untuk berpartisipasi; dan cara-cara dimana makna diproduksi,
diartikulasikan dan disebarkan oleh aktor-aktor gerakan melalui proses interaktif.
Dalam perkembangan pendekatan teori gerakan sosial, minat ini terangkum dalam
14

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), Pada 5
Febriari 2013, pukul 15.00 wib di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kota Tangerang Selatan
Prov. Banten.

89

studi tentang pembingkaian (framing) yang pada sub tulisan ini akan penulis gunakan
untuk mendeteksi pola gerakan yang dilakukan HTI di UIN Jakarta.
Dalam pantauan penulis selama ini usaha yang dilakukan HTI untuk merekrut
dan memobilisasi massa yaitu salah satunya dengan melibatkan diri melalui produksi
Istilah

makna.

pembingkaian

(framing)

itu

sendiri

digunakan

untuk

menggambarkan proses pembentukan makna.15 Bingkai merupakan skema-skema


yang menyebarkan sebuh bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalamanpengalaman dan peristiwa-peristiwa di dunia luar. Bagi gerakan sosial, skema ini
penting untuk menghasilkan dan menyebarkan penafsiran gerakan dan dirancang
untuk memobilisasi para peserta dan dukungan.
Karena dalam penelitian ini HTI sebagai pemeberi makna yang terlibat dalam
kontruksi sosial makna, maka HTI harus mengartikulasikan dan menyebar luaskan
kerangka-kerangka pemahaman yang mempengaruhi para calon peserta dan publik
secara luas untuk merangsang mereka agar terlibat dalam gerakan. Bentuk
pembingkaian HTI di UIN Jakarta dapat diliat pada pembentukan sebuah isu, baik isu
nasional maupun isu internasional. Adapun transformasi makna yang dihasilkan dari
interpretasinya bisa beragam bentuk seperti demonstrasi, interaksi individu,
pembuatan opini, interpretasi terhadap teks, penyebaran opini melalui sms dan lainlain.

15

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia, h. 40.

90

Salah satu komponen penting dari beberapa pembingkaian yang dilakukan


HTI di UIN Jakarta adalah dengan menyalahkan penyebaran nilai-nilai dan praktekpraktek Barat yang dianggap menjadi sebab bagi kemunculan berbagai penyakit
sosial, seperti pengangguran, kemandekan ekonomi, hutang yang membengkak,
terpuruknya kesejahteraan dan lain-lain. Klaim menyalahkan nilai-nilai Barat ini
adalah bagian dari usaha diagnostik HTI terhadap kondisi sosial. Dalam klasifikasi
David Snow usaha ini ditunjukan untuk mengdiagnosis kondisi sebuah persoalan
yang perlu ditangani.16
Dalam usaha pengumpulan data di lapangan, penulis menemukan beberapa
bentuk data yang terkait dengan usaha diagnostik HTI terhadap kondisi sosial, yaitu
berupa tulisan-tulisan, pesan-pesan sms, maupun keterangan-keterangan wawancara
dengan aktivis HTI. Terkait pesan-pesan dari opini misalnya, Gema Pembebasan
menerbitkan buletin Edisi I Oktober 2012, dengan tajuk Bahaya Deradikalisasi.
Dalam tulisan tersebut HTI mengangkat isu utama tentang radikalisasi dan
penghinaan terhadap nabi.
Terkait dengan wacana deradikalisasi tersebut, proses pembingkaian terlihat
pada kritik HTI terhadap isu tersebut. Kritik HTI terkait dengan wacana radikalisasi
yaitu dengan menyerang balik Barat sebagai agen-agen pembuat wacana radikalisasi
yang bertujuan untuk memecah belah dan mendeskriditkan Islam. Kemudian, HTI
juga menuduh gagasan-gagasan Barat seperti isu HAM, demokrasi, yang diprakarsai

16

Mukhtadi., Dillema PKS: Suara dan Syariah, h. 165.

91

Amerika dan bekerja sama dengan organisasi-organisasi Islam moderat seperti JIL
memiliki proyek politik yang merugikan umat Islam.17
Opini lain yang diterbitkan HTI melalui Gema Pembebasan adalah Buletin
edisi I November 2012 dengan tajuk RUU Kemanan Nasional: Konspirasi Penguasa
Menuju Negara Tiran. Adapun sub tema yang di angkat didalamnya adalah
Berantas Korupsi dengan Syariah dan Khilafah dan Peran Pemuda dan
Mahasiswa: Menyongsosng Kebangkitan Islam.18 Dalam buletin tersebut HTI
meletakan isu non-Islam yaitu korupsi sebagai pembahasan utamanya. Meskipun HTI
dikenal sebagai gerakan Islam semi fundamentalistik, namun gerakan mereka tidak
hanya terfokus pada persoalan-persoalan simbilok saja seperti kewajiban menutup
aurat, anti-zinah, tegakan syariat Islam dan dsb. Adanya tema-tema non-Islam yang
dikembangkan HTI menandakan bahwa HTI telah melakukan pengembangan isu
yaitu dari isu-isu Islam menuju isu non-Islam (RUU keamanan nasional, migas,
korupsi dll).
Beberapa data yang menulis berhasil rangkum terkait mengembangan isu oleh
HTI UIN Jakarta dapat ditemukan melalui pesan sms yaitu:
Pesan sms pada April 11, 2013 4:59:48 PM :
Undangan untuk seluruh Sybab yang merindukan tegaknya syariah dan khilafah.
Hadir aksi tolak RUU Ormas Jumat 12/4 Jan 09.00-16.00 di depan gedung DPR RI.
Luruskan niat, jaga kesehatan, siapkan keperluan pribadi, alat solat, makan siang, jas
hujan, topi dll. Nyatakan keberpihakan kita pada Islam. Target 10.000 massa,

17

Gema Pembebasan, Bahaya Deradikalisasi, Buletin, edisi I Oktober 2012, bag. 1-2.
Gema Pembebasan, RUU Keamanan Nasional: Konspirasi Penguasa Menuju Negara
Tiran, Buletin, edisi I November 2012, bag. 1-2
18

92

berangkat dari UIN


Yassarakummullah
May 2013

pukul

07.30,

halte

UNCP:

08788499850

(Faiz).

5:11:14 Am :

Salam kawan-kawan, hari kebangkitan nasional diperingati setiap tahunnya, namun


kebangkitan hakiki tidak pernah nyata. Sementara, kemiskinan dan korupsi terus
meningkat, negeri ini pun terus dijajah oleh kapitalisme.
Maka Gema Pembebasan mengundang kawan-kawan dalam aksi damai dan
sosialisasi opini Mukhtamar Khilafah. Rabu 22 Mei 2013, pukul 13.00-1500 wib.
Rute, Patung Kuda Monas-Istana Negara Cp: Firman Kelana. 085711387009.
Mahasiswa Bersatu Sambut Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah
Selanjutnya proses pembingkaian lainnya terlihat pada pembentukan wacana khilafah
Islamiyah. Dalam melakukan diagnostik terhadap kondisi sosio-politik umat Islam

HTI berkesimpulan bahwa rapuhnya tatanan sosio-politik umat Islam diakibatkan


oleh intervansi politik Barat terhadap negara-negara Islam. Kemudian di internal
Islam sendiri gagasan politik Islam tidak lagi dipraktekan oleh umat Islam di dunia.
Oleh karena itu, paket solusi yang ditawarkan oleh HTI untuk memeperbaiki tatanan
politik umat Islam adalah dengan kembali pada struktur politik khilafah Islamiyah.
Di UIN Jakarta akivis HTI melakukan proses pembingkaian dengan
menggunakan gagasan khilafah yang dipropagandakan terhadap mahasiswa di
lingkungan kampus. Beberapa propaganda tersebut dapat diidentifikasi melalui
pesan-pesan singkat SMS seperti:
Maret 19. 2013 5:25:50 Am :
Silahkan di sebar merata ketengah-tengah umat. Asslamualaikum,
Seruan menegakan khilafah semakin menggema keseluruh belahan bumi, umat telah
sadar bahwa hanya dengan khilafah problematika umat dapat terselesaikan. Hanya
dengan khilafah dapat terwujud khairo umah (umat yang baik). Ikuti Seri Kajian dan
Analisa (SRIKAYA), Metode Menegakan Khilafah Zaman Modern, selasa 19
Maret 2013 di Masjid SC. Pukul 15:30-17.00 wib. Pembicara: Ustadz. Ahmad Fikri,
M. SI. Wassslam Cp. 08993645678

93

Juni 3, 2013 7:49:40 PM


Asslm. Tegaknya khilafah semakin dekat, suksesnya pelaksanaan MK (Muktamar
Khilafah) dan kemenangan para mujahidin di Suriah sangat layak untuk diketahui
oleh para Syabab. Oleh karenanya, mohon beritahukan pada para Syabab
(hizby+daris) agar hadir pada dialog khusus dengan Hadrotussyaikh Hisyam Baba
(syabab Suriah), waktu Selasa 4/6 pukul 19:30-selesai. Tempat SMK 57, patikan
seluruh Syabab hadir dan mohon membawa uang untuk dana yang akan kita
sampaikan bagi saudara-saudara kita di Suriah, Cp. 085782616336 (Gustar).

Jika diperhatikan dari sisi substansi berbagai pesan sms tersebut, HTI jelas
melakukan pembingkaian isu. Dalam pesan yang disampaikan pada 22 Mei di atas,
HTI mendiagnosis konteks sosial dengan menekankan kapitalisme sebagai pokok
persoslan kemiskinan, korupsi dan lain sebagainya. Kemudian, HTI menawarkan
Islam dalam bingkai khilafah adalah satu-satunya jalan keluar atau resep untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut sekaligus proses identifikasi dan strategi, taktik
dan target. Elemen pembingkaian seperti inilah yang dikonseptualisasikan oleh David
Snow dan Robet Benford sebagai pembingkaian prognostik (prognostic framing).19
Dalam redaksi akhir pesan-pesan tersebut para aktivis HTI menawarkan
sebuah ajakan untuk bergerak setelah sedikit digambarkan tentang persoalan. Dalam
pandangan Snow dan Benford, inilah bagian dari tahapan pembingkaian motivasi
(motivational framing), yang sengaja di bentuk sebagai suatu proses psikologis untuk
mengajak partisipan untuk bergerak dan berinteraksi setelah diagnosis persoalan dan

19

Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, h. 40.

94

paket sosusi. Adapun bentuk ajakan tersebut biasanya memiliki berbagai bentuk
seperti aksi, mengikuti diskusi, seminar, pengajian dan lain-lain.20
Selama penulis mengikuti kegiatan-kegiatan HTI baik itu dalam seminar
maupun ketika penulis mengikuti tahapan halaqaham dan diskusi-diskusi kelompok,
para aktivis HTI selalu menekankan ide tentang khilafah sebagai proyek akhir dalam
perjuangannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Ust. Hanif yaitu:
Dalam bentuk kegiatan apapun baik itu seminar, halaqaham, demonstrasi,
pembuatan opini dsb. Ide menyampaikan khilafah menjadi kewajiban bagi aktivis
HTI, agar gema khilafah akan selalu ada dan terus akan diperjuangkan oleh para
aktivis HTI. Kemudian, agara para umat Islam ingat dan sadar bahwa khilafah adalah
sosusi bagi persoalan umat.21

Dalam teori gerakan sosial aktivitas HTI yang mengedepankan gagasan khilafah
tersebut masuk ke dalam elemen pembingkaian. Proses pembingkaian khilafah hadir
sebagai alternatif untuk mengembalikan kondisi umat dari pengaruh ide-ide Barat
seperti demokrasi, sekulerisme, kapitalisme, matrealisme dsb.
Ide khilafah jelas memiliki magnet yang kuat dalam mindset masyarakat,
karena gagasan ini hadir satu paket dengan nilai-nilai Islam. Tidak menuntut
kemungkinan

pembingkaian terhadap ide khilafah dijadikan sebagai strategi

mobilsasi bagi HTI untuk memperoleh dukungan ideologis dari individu dan
kelompok masyarakat agar masyarakat bersedia untuk berjuang bersama-sama dan
20

Pengalaman pribadi penulis selama penulis menjadi mudaris HTI UIN Jakarta. Istilah
mudaris itu sendiri biasanya diberikan kepada partisipan yang tertarik terhadap ide-ide HTI dan
menyatakan siap untuk mengikuti proses tahapan-tahapan yang biasa dilakukan HTI untuk menjadi
hijbiyyun (kader partai).
21
Wawancara penulis dengan Ust. Hanif (Kativis HTI UIN Jakarta pada Fakultas Ushuludin
dan Filsafat), pada 11 Juni 2013 pukul 17.07 wib, di Masjid Setudent Center (SC) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

95

memberdayakan sumberdaya mereka seperti uang, waktu, kemampuan, dan kehlian


untuk kepentingan HTI.
E. Strategi Kaderisasi HTI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HTI adalah organisasi yang memiliki misi global yaitu terciptanya tatanan
yang Islami dibawah struktur politik khilafah Islamiyah. Para aktivis HTI menyadari
bahwa untuk mewujudkan misi besar ini bukanlah perkara yang mudah, terlebih pada
umumnya masyarakat pada saat ini lebih banyak menerima konsep politik modern
seperti nation-state (negara-bangsa), dibandingkan dengan kepemimpinan sentralistik
yang disebut khilafah. Meskipun keyataan itu diakui oleh HTI, akan tetapi hal
tersebut tidak menyurutkan semangat dalam melakukan gerakan-gerakannya.
Untuk mewujudkan obesinya itu, HTI telah merancang langkah-langkah
strategis gerakan sosial yang dibagi ke dalam beberapa tahapan. Beberapa tahapan
yang bisanya dipraktekan HTI tidak hanya sebagai strategi gerakan saja, namun
karena dalam tahapan tersebut terdapat penggempelangan untuk mendidik kader,
maka tahapan itu dapat disebut strategi kaderisasi anggota HT.
1. Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Al-Tahqif)
Perkembangan HTI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga dimulai dengan
al-tathqif. Pada bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa HTI masuk ke UIN
sekitar tahun 2001-an dan pola pergerakan yang digunakan HTI masih bersifat
ekslusif. Oleh karena itu, aktivitas halaqaham yang biasa dilakukan para aktivis HTI
juga sangat terbatas. Halaqah sendiri merupakan bagian dari aktivitas wajib yang

96

dilakukan oleh para aktivis HTI untuk membina calon-calon kader HTI agar kader
HTI memiliki kapasitas dan loyalitas tinggi terhadap organisasi.
Menurut keterangan Ust. Fadlan, bahwa pola gerakan yang dilakukan HTI di
UIN Jakarta pada pase awal yaitu dengan melakukan halaqaham secara tertutup,
namun pada saat ini kegiatan halaqaham HTI bersifat lebih terbuka bahkan hampir
setiap hari di lakukan. Kegiatan ini merupakan kewajiban aktivis HTI, terutama yang
sudah dalam katagori senior.22 Dengan adanya sistem ini maka setiap anggota HTI
memiliki anggota binaan, bahkan ini berlaku juga untuk katagori kader yang masih
berada di level mudaris (orang yang masih belajar tentang HTI).23
Dalam pernyataan Ust. M. Gustar salah satu aktivis HTI UIN Jakarta,
menyebutkan bahwa pada saat ini halaqaham dilakukan dimana saja, yang
terpenting antara pembina dan mudaris terdapat kesepakatan. Adapun untuk katagori
tempat kegiatan halaqaham biasanya dilakukan di sekitar kampus terutama di
masjid-masjid. Materi yang biasa diberikan masih bersifat umum seperti tentang
aqidah, dakwah, hukum Islam, mabda (ideologi), dan tarif (HTI).24 Pengalaman
penulis selama mengikuti halaqaham ada materi-materi non-agama yang diberikan

22

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), pada 5
Febriari 2013 pukul 15.00 wib.di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota
Tangerang Selatan Prov. Banten.
23
Pengalaman seorang mudaris diberikan amanah untuk membuna halaqaham, dialamii
sendiri oleh penulis, mengingat penulis saat ini telah menjadi salah-satu mudaris yang telah melewati
tahapan halaqaham HTI. Penulis bergabung dan memulai mengikuti tahapan halaqaham sejak 15
April 2013, dan selesai pada 2 Juni 2013.
24
Wawancara penulis dengan Ust. Gustar (salah satu pembina halaqaham HTI UIN
Jakarta), di Masjid Fathullah Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada
25 Maret 2013, pukul 20.00 wib.

97

HTI, seperti kajian politik demokrasi. Adapun metode panyampaiannya berupa


diskusi, dimana pemateri terlebih dahulu memberikan menyampaikan sistem politik
Islam, lalu kemudian dikomparasikan dengan konsep politik demokrasi.
Target awal halaqaham ditunjukan untuk menggugah seseorang agar tertarik
dengan ide-ide HTI. Dengan demikian bisa dikatakan halaqaham merupakan
kegiatan awal untuk merekrut anggota HTI. Untuk melakukan halaqaham, para
aktivis HTI menggunakan berbagai cara. Salah satunya dengan memanfaatkan relasi
pertemanan. Dalam keterangan Ust. Hanif menyebutkan bahwa:
Cara HTI menyebarkan gagasan-gagasannya dilakukan dimana saja, termasuk dikoskosan, di kampus, di kelas, di masjid dan lain sebaginya. Dari situ para anggota HTI,
akan mengajak dialog dan berdiskusi dengan teman-temanya, biasanya kami
melakukan diskusi dengan mengangkat tema-tema umum yang kemudian
dikomparasikan dengan gagasan-gagasan HTI. Bagi siapa saja yang tertarik dengan
ide-ide kami, maka kami akan mengundang mereka dalam kegiatan-kegiatan HTI di
kampus maupun di luar kampus.25

Menurut para aktivis HTI cara seperti ini dianggap sangat efektif untuk
menyebarkan ide-ide HTI di kampus UIN Jakarta. Hal ini diakui oleh Munawir,
menurutnya pertama kali dia diperkenalkan tentang HTI oleh temannya yang tidak
disebutkan namanya, kemudian dia diajak ke acara-acara HTI dan berawal dari situ
dia mulai mengikuti halaqaham HTI hingga sekarang.26

25

Wawancara penulis dengan Ust. Hanif (Kativis HTI UIN Jakarta pada Fakultas Ushuludin
dan Filsafat), pada hari/ tanggal/ tahun. Di Bescamp HTI Semanggi II Ciputat Tangerang Banten.
26
Munawir adalah mahasiswa pada prodi sosioligi agama smester sembilan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta. Wawancara ini dilakukan secara tertutup melalui obrolanobrolan sederhana di lantai dasar Fakultas IlmuTarbiyal dan Keguruan, pada 16 April 2013. Pukul
17.00 wib.

98

Mudaris selanjutnya adalah Izudin, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan


Politik smenter empat pada prodi Ilmu Politik UIN Jakarta. Latar belakang sosial
keagamaan Izudin menarik untuk diungkap. Dalam wawancara tertutup dengan
penulis Izudin mengaku dirinya dibesarkan dari keluarga nahdiyin, bahkan bapaknya
seorang pengurus cabang NU (Nahdatul Ulama) di Madura. Selain faktor keluarga,
Izudin pun besar di dalam lingkungan pendidikan NU, yaitu Pesantren Nurul Islam.
Tetapi setelah melanjutkan studi di UIN Jakarta dia mulai mengenal HTI dan mulai
ada pergeseran dalam pemikirannya. Ketertarikan Izudin pada HTI kerena HTI
dianggap memiliki ajaran dan pandangan yang berbeda dalam memahami Islam.
Adapun materi-materi pendidikan Islam yang diberikan HTI selama keikutsertaannya
di rasa berbeda dengan pengalaman sebelumnya. Seperti terungkap dalam
pemeparannya bahwa.
Saya tertarik dengan HTI karena HTI memberikan wawasan keislaman yang berbeda
dengan pengalaman saya sebelumnya. Di pesantren umumnya orang belajar kitab
kuning sepurar peribadatan dan teologi dengan cara yang menurut saya
membosankan. Tetapi ketika saya bersentuhan dengan HTI, saya mulai menyadari
Islam tidak hanya berbicara mengenai peribadatan saja, namun Islam mencakup
keseluruhan. Saya di HTI banyak mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang
tidak saya dapatkan di Pesantren. Adapun cara HTI memberikan pendidikan
keislaman itu memberikan kepuasan trsendiri dan tidak membosankan. HTI bagi saya
cukup konsisten dalam memperjuangkan Islam, dan sampai sekarang saya belum
menemukan kelompok atau oganisasi-organisasi yang bisa konsisten dengan
perjuangan keislaman.27

Meskipun Izudin masih tergolong mudaris di HTI, akan tetapi Izudin sudah
diberikan amanah untuk menjadi mushrif pembina dalam halaqaham. Dalam
27

Wawancara tertutup dengan Izudin (Mudaris HTI UIN Jakarta), pada 15 April 2013, pukul
20.00. wib, di Masjid al-Mugirah Pisangan Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov.
Banten.

99

pelaksanaannya halaqaham dilakukan maksimal delapan kali pertemuan dan jumlah


anggota yang dibina tidak boleh lebih dari lima orang. Pembatasan jumlah anggota
halaqaham bertujuan agar mushrif bisa melakukan pembinaan secara intensif dan
mengetahui perkembangan anggota halaqah secara mendalam.28
Strategi untuk untuk memperkenalkan ide-ide HTI dan merekrut anggota baru
melalui halaqaham dilakukan sejak HTI pertama kali masuk ke UIN Jakarta pada
2001. Dalam obrolan sederhana penulis dengan Ust. Gustar, dia menyebutkan bahwa
pada saat ini hampir setiap malam di lingkungan kampus terdapat aktivis HTI yang
melakukan halaqaham, adapun lokasi dan tempatnya itu bersifat kondisional. Dalam
aturannya, setelah peserta halaqaham selesai mengikuti tahapan pembinaan, maka
peserta akan ditawarkan kesiapannya untuk mengikuti tathqif selanjutnya yaitu
tathqif murakkaz, dengan syarat anggota harus setuju dengan gagasan-gagasan HTI.
Apabila peserta tidak setuju dengan ide-ide HTI, maka peserta dipersilahkan untuk
tidak melanjut ke tahap berikutnya (tathqif murakkaz).29
2. Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Al-Tafaul Maa AlUmmah)
Sebagai organisasi yang terstruktur dan memiliki induk organisasi yang
bersifat global, strategi-strategi HTI yang dipraktekan HTI pada umumnya memiliki
28

Wawancara dengan Ust. Fadlan, selaku ketua Komisariat HTI UIN Jakarta, pada 5 februari
2013. Pukul 15.00 wib., di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang
Selatan Prov. Banten.
29
Wawancara penulis dengan Gustar (salah satu pembina halaqah Umum HTI UIN Jakarta),
pada 25 Maret 2013, pukul 20.00 wib di Masjid Fathullah Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang
Selatan Prov. Banten.

100

kesamaan antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam tahapan berinteraksi dengan
umat seluruh organisasi HTI diamanapun mereka berada akan memparkekan langkah
gerakan yang sama, termasuk di UIN Jakarta.
Tahapan berinteraksi dengan umat merupakan kelanjutan dari tahapan
pertama yang berlangsung selama tiga tahun. Dalam tahapan kedua ini HTI
melakukan interaksi dengan masyarakat untuk menyampaikan pesan-pesan Islam
pada masyarakat. Target yang ingin dicapai pada tahapan kedua yaitu, HTI
berkeinginan pemikiran Islam yang telah ditetapkan oleh HTI bisa diterima menjadi
pemikiran secara luas. Jika pemikiran HTI bisa diterima secara luas, maka perjuangan
HTI untuk mendirikan kembali daulah khilafah Islam dapat dilakukan.30
Agar tahapan ini berhasil memenuhi target, HTI melakukan kegiatan-kegiatan
strategis seperti tathqif murakkaz (pembinaan yang intensif). Dalam pembinaan ini
setiap aktivis HTI berkewajiban melakukan pengkaderan yang dimulai dengan
merekrut calon anggota baru. tathqif murakkaz ini merupakan forum pembinaan
terhadap anggota halaqaham yang telah memiliki komitmen dan setuju dengan
gagasan-gagasan HTI. Tathqif Murakkaz memiliki tujuan untuk mencetak kader yang
mampuh mewujudkan cita-cita HTI.
Pada umumnya tathqif murakkaz dibagi dalam dua jenjang yang didasarkan
pada kemampuan peserta dalam menyerap ide-ide HTI. Jenjang pertama disebut
dengan darisin yaitu, peserta yang bersetatus sebagai pengkaji ide-ide HTI. lebel
30

Farid Wadzi, Amal Politik Partai Islam, al-Waie, 1 Juli 2004, 38.

101

darisin ini juga berlaku dalam halaqaham HTI, dimana peserta halaqaham juga
sebut darisin atau mudaris, hanya saja kitab dan level meteri yang diberikan itu
berbeda. Kedua, disebut hizbiyyun. Level hizbiyyun ini adalah level keanggotaan sah
HTI dengan kata lain ketika seseorang berada dalam level ini maka ia diakui secara
formal sebagai anggota HT.31
Dalam tradisi pembinaan HTI seseorang yang menjadi pembina dalam
tahapan ini disebut musrif. Keberadaan seorang musrif memiliki peran penting,
kerena seorang musrif harus mengetahui perkembangan darisin baik dari pemikiran
maupun dari perbuatannya. Jumlah anggota dalam tahapan ini pun sama dengan
pembinaan pertama, dimana seorang musrif diberikan kewenangan membina
maksimal lima orang darisin.
Keberadaan jumlah yang relatif sedikit itu diharapkan musrif dapat lebih
mudah mengetahui perkembangan anggotanya secara mendalam. Ada beberapa aspek
yang harus diketahui oleh seorang musrif terhadap anggota binaannya. Pertama
adalah musrif diwajibkan mengetahui pemikiran anggotanya, apakah ide-ide HTI
telah diserap sebagai pemikiran yang mutajasad (mendarah daging) dalam
kehidupannya atau belum. Kedua, afaal (perbuatan-perbuatan) anggota halaqaham,
artinya aspek ini berfungsi untuk mengukur konsistensi setiap anggota HTI. Dalam
pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa setiap anggota halaqaham diwajibkan

31

Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman
Hizb al-Tahrir Indonesia, 163.

102

untuk merekrut anggota baru, maka musrif akan mengukur apakah merka
menjalankan kewajibandnya atau tidak. Selain kewajiban terhadap organisasi musrif
juga harus mengetahui apakah anggota konsisten dalam menjalankan ibadah yang
diwajibkan oleh hukum syara. Jika berbagai kriteria di atas telah diketahui dan
dijalankan oleh peserta, maka ia akan dinyatakan sebagai hizbiyyun (anggota HT).32
Dalam hal perekrutan anggota HTI bersifat terbuka artinya bagi siapa saja
yang ingin dan tertarik terhadap ide-ide HTI, maka dia diperbolehkan untuk
bergabung dengan HTI. Ust. Fadlan, dalam dialog dengan penulis mengatakan:
Di HTI akan menerima siapa saja yang siap mengemban amanah yang telah
dikonstruksi oleh Hizbut Tahrir Indonesia. HTI tidak melakukan selektifitas yang
ketet terhadap kader, hanya saja setiap individu akan diwajibkan mengikuti
pembinaan yang intensif di HTI. Adapun latar belakang anggota tersebut HTI tidak
mempermasalahkan hal itu, entah dia dari Muhamadiyah, NU, dan dari golongan
manapun termasuk persoalan jenis kelamin.33

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sifat keanggotaan HTI


bersifat terbuka artinya setiap orang Islam diperbolehkan menjadi anggota HTI.
Kedua, anggota HTI terikat dengan aqidah Islam dan thaqafah HTI; ketiga, anggota
HT harus memiliki komitmen mengambil dan menerapkan ide-ide dan pendapat-

32

Cara mengangkat idividu-individu kedalam Hizb al-Tahrir adalah dengan memeluk aqidah
Islam, matang dalam taqafah Hizb-al-Tahrir, serta serta mengambil dan menetapkan ide-ide dan
pendapat-pendapat Hizb al-Tahrir. Dia sendirilah yang mengharuskan dirinya menjadi anggota Hizb
al-Tahrir, setelah sebelumnya dia melibatkan dirinya dengan Hizb al-Tahrir; ketika dakwah telah
berinteraksi dengannya dan ketika dia telah mengambil dan menetapkan ide-ide serta persepsi-persepsi
Hizb al-Tahrir. Jadi ikatan yang dapat mengikat anggota Hizb-al-Tahrir adalah aqidah Islam dan
taqafah Hizb al-Tahrir yang terlahir dari aqidah ini. Lihat Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis
Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, 163-164.
33
Wawancara dengan Ust. Fadlan, selaku ketua Komisariat HTI UIN Jakarta, pada 5 februari
2013. Pukul 15.00 wib, di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang
Selatan Prov. Banten.

103

pendapat HTI. Adapun komitmen calon anggota HTI dinyatakan dalam bentuk qosam
(sumpah) dihadapan musrif dan masyul (penaggung jawab).
Adapun materi yang di kaji pada tahapan tathqif murakkaz ini setiap darisin
akan diberi materi yang diambil dari karya-karya Taqi ad-Din Al-Nabhani, seperti:
Nizam Al-Islam, Mafahim Hizb Al-Tahrir, dan Al-Takattul Al-Hizbi. Kitab Nizam AlIslam yang dikarang sekitar 1953 M ini menjadi kitab rujukan utama untuk kaderisasi
anggota HT di seluruh dunia. Di Indonesia kitab ini telah diterjemaahkan dengan
judul Peraturan Hidup dalam Islam , yang memuat kurang lebih 13 pokok
pembahasan diantaranya; 1) Jalan Menuju Iman; 2) Qada dan Qadar; 3)
Kepemimpinan Berfikir dalam Islam; 4) Tata Cara Mengemban Dakwah dalam
Islam; 5) Hadarah Islam; 6) Peraturan Hidup dalam Islam; 7) Hukum Syara; 8)
Macam-macam Syariat Islam; 9) Al-Sunnah; 10) Meneladani Perbuatan Rasullullah;
11) Melegalisasi Hukum-hukum Isla; 12) Rancangan Undang-undang Dasar dan
Undang-undang; 13) Akhlak dalam Pandangan Islam.34
Dalam kitab ini An-Nabhani menekankan perluanya sebuah ideologi Islam
sebagai alternatf dari berbagai ideologi Barat. An-Nabhani meyakini bahwa ideologi
Islam itu sempurna dan memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan ideologiideologi lain. Menurut An-Nabhani ideologi Islam didasarkan pada aqidah yang
memiliki cakupan yang luas dalam pembahasannya. Berbagai permasalahan dalam

34

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia, h. 166

104

kehidupan manusia bagi An-Nabhanni berakar pada persoalan aqidah, maka jika
persoalan manusia ingin dipecahkan, dan bahkan bisa mengarah pada kebangkitan,
hal yang harus dibenahi adalah persoalan aqidah sebagai landasan berfikirnya. Dalam
ungkapan yang lebih konseptual terkait ideologi An-Nabhani terdiri dari dua unsur
penting.35
Pertama, fiqrah (konsepsi) yang memuat aqidah aqliyah dan sistem aturan
(nizam) merupakan pemecahan terhadap berbagai permasalahan dalam bentuk
sekumpulan hukum syara yang mengatur kehidupan manusia dengan berbagai
masalahnya seperti hukum-hukum ibadah, hukum jual beli, pernikahan dan lain
sebagainya. Unsur pertama ini menurut An-Nabhani perlu dijadikan al-aqidah alfiqriyah (aqidah berfikir) dan al-qiyadah al-fiqriyah (kepemimpinan ideologis).
Unsur kedua dalam ideologi adalah thariqah yaitu, cara menerapkan berbagai
pemecahan terhadap permasalahan manusia, cara untuk memelihara aqidah, dan cara
untuk menyebarkan aqidah.
Adapun kitab mafahim hizb al-tahrir kitab ini bisa dikatakan sebagi
kelanjutan dari kitab sebelumnya. Kitab mafhim ini lebih menjelaskan pada
pernyataan visi dan misi HTI, sedangkan nizam merupakan manifesto ideologi HTI.
Dalam mahfim ini ditegaskan bahwa HTI merupakan partai politik yang memiliki visi
ingin melangsungkan kembali kehidupan Islam (istinaf al-hayat al-Islamiyah). Pada
ummnya visi-misi ini berlaku pada semua HTI di seluruh dunia, termasuk di UIN
35

Ibid., h. 168-169.

105

Jakarta. Visi dan misi HTI UIN Jakarta, secara substansial memiliki keterkaitan
dengan visi-dan misi HT secara global.
Kedua, untuk merealisasikan misi kebangkitan dan menggerakan kebangkitan
melalui dakwah Islam ke seluruh dunia, serta menegakan kembali daulah khilafah
Islam yang bisa menjamin diterapkannya syariat Islam secara universal.
Kitab yang terakhir al-takattul al-hizb, kitab ini menjelaskan secara rinci dan
oprasional langkah-langkah pembentukan HTI dan strategi perjuangannya untuk
mencapai cita-cita ideologi dan visi-misinya. HTI diyakini oleh An-Nabhani bisa
berkembang seprti yang diharapkan jika sejak awal pembentukannya memperhatikan
dua hal penting, yaitu: ideologi dan kualitas manusia pengemban HTI. Dalam
pembahasan sebelumanya, ideologi terdiri dari dua nsur yaitu fiqrah dan tariqah.
Kitab terakhir ini mengingatkan kembali pentingnya ideologi terutama dalam unsur
fiqrah. Ideologi harus terinternalisasikan oleh seseorang yang berperan sebagai (cikal
bakal) bagi perkembangan awal HTI. berangkat dari yang pertama ini, maka akan
terbentuk cikal bakal berikutnya. Perkembangan ini dikalangan aktivis HTI dikenal
dengan al-khalaqah ula, sebagai awal terbentuknya organisasi kepartaian. Karena
sejak awal telah adanya internalisasi, maka ikatan yang akan terbentuk adalah ikatan
ideologis dan ikatan seperti ini merupakan karakter HTI.
Setrategi selanjutnya dalam tahapan berinteraksi dengan umah HT
mmberlakukan tahapan tathqif jamai (pembinaan kolektif). Dalam pembinaan ini HT

106

lebih terlihat inklusif, karena kegiatan ini dilakukan melalui pengajian-pengajian


umum secara langsung, di masjid-masjid, gedung, media, buku dan lain-lain.
Dalam pengamatan penulis HTI UIN Jakarta cukup intensif dalam melakukan
tathqif jamai yang berbentuk seminar, dialog publik, maupun penyebaran opini
publik melalui media. Kegiatan seperti ini dilakukan HTI bertujuan untuk
memperkenalkan HTI kepada masyarakat khususnya masyarakat terpelajar seperti
mahasiswa. Dalam melakukan tathqif jamai yang berbentuk seminar, para aktivis
HTI biasanya membagi seminar ini ke dalam dua kelompok. Kelompok yang pertama
biasanya bersifat inklisif, artinya seminar ini bebas diikuti oleh siapa saja yang
memiliki ketertarikan dengan HTI. Sebagai contoh pada tahun 2004 HTI UIN Jakarta
menyelenggarakan seminar nasional khilafah bertajuk Penegakan Syariat Islam
Relefankah ?.... Seminar ini dihadiri oleh hampir seluruh perwakilan dari organisasioransasi di lingkungan kampus UIN Jakarta, sehingga Aula Student Center pada saat
itu tidak mampuh menampung peserta yang hadir.36
Selain seminar yang dilaksanakan pada 2004, pengurus komisariat HTI UIN
Jakarta juga kembali melaksanakan program seminar di 2012-2013. Pada tahun ini
seminar HTI bersifat rutin, diadakan se-minggu satu kali di masjid-masjid sekitar
kampus. Menurut keterangan keterangan Ust. Fadlan menyebutkan:
Pada tahaun 2012 hingga 2013, HTI UIN Jakarta memutuskan kebijakan baru yaitu
berkenaan dengan diselenggarakannya seminar bertajuk Islam: Aqidah, dan Syariah,
Solusi Problematika Umat. Seminar ini akan dilaksanakan se-minggu satu kali di
36

Yuliawati, Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta 2009, h. 65.

107

tempat-tempat tertentu khususnya di masjid-masjid, karena selama ini kami (para


aktivis HTI) selalu membangun hubungan baik dengan pengurus-pengurus di masjidmasjid. Adapun masjid yang telah kami ajak kerjasama yaitu masjid al-mukhlisin
Legoso Ciputat, masjid Fathullah UIN Jakarta dan lain-lain.37

Untuk memperkenalkan HTI pada mahasiswa, dalam setiap kegiatannya HTI


UIN Jakarta selalu membagikan selembaran yang isinya tentang pandangan atau
sikap-sikap HTI terhadap isu yang diangkat dalam seminar tersebut. Selain untuk
memperkenalkan HTI, kegiatan seminar tersebut juga sebagai media untuk
mensosialisasikan gagasan besar HTI seperti penerapan syariat Islam dan
mendialogkan secara kritis isu-isu terutama yang berhubungan dengan politik
kontemporer, seperti kepemimpinan, ekonomi kapitalis, hukum dan lain-lain.
Aktivistas tathqif jamai di HTI UIN Jakarta dilakukan juga dengan
pembuatan opini di media-media kampus seperti radio kampus KPI, webset, buletin
mingguan dan sebaginya. Pada saat ini menurut Ust. Gustar (ketua Gema
Pembebasan HTI UIN Jakarta) menyebutkan:
Kami di Gema Pembebasan selalu melakukan aktivitas dakwah dan melakukan kritik
sosial melalui buletin khusus Gema Pembebasan yang diterbitkan se-minggu satu
kali. Dalam buletin itu, kami isinya tidak hanya soal isu-isu syariat, namun kami
menuangkan isu umum juga, kemudian kami hubungkan dengan Islam sebagai solusi
bagi permaslahan-permasalahan sekarang. Menurut kami, hanya dengan syariat Islam
dan struktur politik khilafah semua masalah yang ada di Indonesia bisa atasi dan itu
kami selalu tuangkan dalam buletin kami. Adapun tujuan dibuatnya buletin tersebut,
kami mengharapkan agar mahasiswa sadar akan pentingnya syariat Islam dan khlafah
Islamiyah.38
37

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), Pada 5
Febriari 2013, pukul 15.00 wib, di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota
Tangerang Selatan Prov. Banten.
38
Wawancara penulis dengan Gustar (Pengurus Gema Pembebasan HTI UIN Jakarta), pada
29 Maret 2013, pukul 20.00 wib , di Masjid Fathullah Ke. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang
Selatan Prov. Banten.

108

Berbagai kegiatan tathqif jamai ini tidak hanya dilakukan oleh kaum lakilaki, namun kaum perempuan juga ikut aktif didalam pelaksanaan ini. Salah satu
kegiatan HTI perempuan yang baru-baru ini dilaksanakan adalah dialog interaktif di
Saung Bambu. INA Ciputat dan tema yang diangkat adalah Menjawab Pertanyaan
Seputar Khilafah.39
Aktivitas lainnya yang termaktub dalam tahap berinteraksi dengan umut
(marhalah al-tafaul maa al-ummah), adalah al-sira al-fikri (pergolakan pemikiran).
Gerakan ini didasarkan pada buku yang berjudul Mengenal Hizb Al-Tahrir: Partai
politik Ideologis, yang menyatakan bahwa kegiatan ini beroientasi untuk menentang
kepercayaan dan ideologi, aturan dan pemikiran kufur; menentang segala bentuk
akidah yang rusak, pemikiran yang keliru, persepsi yang salah dan sesat dengan cara
mengungkapkan kepalsuan, kekeliruan dan pertentangannya dengan Islam.40
Al-Sira Al-Fikri (pergolakan pemikiran), merupakan aktivitas politik HT
yang bergerak dalam ranah pemikiran. Menurut para aktivis HT bahwa berbagai
ketidak stabilan sosial yang selama ini terjadi di dunia Islam adalah akibat adanya
gagsan-gagasan yang diproyeksikan dengan sengaja oleh Barat untuk menghancurkan
Islam. Oleh karena itu, penting kiranya melakukan sebuah gerakan pemikiran yang
ditunjukan untuk membendung gagsan-gagsan Barat.

39

Muslimah HTI Chapter UIN Jakarta, Dialog Interaktif:Menjawab Pertanyaan Seputar


Khilafah, Pamflet Selembaran, 10 April 2013, bg 1.
40
Anonim, Mengenal Hizb al-Tahrir: Partai Politik Islam Ideologios, (Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2002), h. 37.

109

Salah satu aktivitas yang ditunjukan oleh para aktivis HT yang dapat
dikelompokan sebagai bagian dari gerakan al-sira al-fikri adalah buku Persepsi
Budaya dari Barat. Dalam buku ini Zallum berusaha membantah pemikiran dari Barat
yang dinilai bertentangan denga Islam seperti terorisme, dialog antar agama, jalan
tengah (sikap moderat/kompromi), fundamentalisme dan lain-lain.41 Dalam
pengamatan penulis, aktivitas HT yang mengarah pada al-sira al-fikri (pergilakan
pemikiran) juga banyak dipraktekan oleh aktivis HTI di UIN Jakarta. Berbagai sarana
sosial seperti media, selembaran, dialog, diskusi, dimanfaatkan sebagai sarana
pembuatan opini publik untuk mengkritik ide-ide kufur Barat.
Dalam teori gerakan sosial aktivitas seperti ini dijelaskan dalam pendekatan
framing isu dimana gerakan sosial terlibat dalam skema interpretasi yang
memungkinkan seseorang untuk mencari dasar legitimasi dan motivasi untuk terlibat
dalam gerakan sosial. Dalam hal ini, gerakan sosial terlibat dalam proses produksi
makna bagi peserta, target sasaran, dan pengamat gerakan. Dengan demikian, gerakan
adalah agen-agen penanda yang secara aktif membentuk dan membangun makna
yang sudah ada.42
Di UIN Jakarta HTI sangat produktif dalam pembuatan makna, hal ini
tertuang dalam beberapa tulisan dan penafsiran HTI terhadap isu-isu yang
berkembang di Indonesia. Dalam interpretasi politik HTI, Islam difahami sebagai unit

41
42

Zallum, Persepsi-Persepsi Budaya dari Barat, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1999), 7-57.
Mukhtadi., Dilema PKS: Suara dan Syariah, h. 24-25.

110

integral dengan negara, artinya agama dan negara adalah satu kesatuan (Islam wa aldaulah). Oleh kerena itu, HTI melakukan pembingkaian prognostik dalam
menghadapi persoalan umat Islam dengan menawarkan gagasan Islam adalah solusi
(al-Islam huwa al-hall).
Berdasarkan ijtihad seperti ini, maka dalam praktek gerakan pemikiran (alsira al-fikri) HTI UIN Jakarta selalu menghubungkan berbagai masalah dengan
Islam sebagai solusinya. Hal ini termaktub dalam beberapa tulisan HTI di Kampus
UIN Jakarta seperti dalam buletin Gema Pembebasan HTI UIN Jakarta edisi I
November 2012. Dalam buletin tersebut HTI mengambil tajuk RUU Kementrian
Nasional: Konspirasi Penguasa Menuju Negara Tiran, yang didalamnya memuat
beberapa tema tulisan yaitu Penanganan Korupsi dengan Syariah, Peran Pemuda dan
Mahasiswa dalam Menyongsosng Kebangkitan Islam dan RUU Kebangkitan
Nasional.43
Selain melalui media tulis gerakan al-sira al-fikri, HTI juga diaplikasikan
melalui gerakan intelektual, yaitu dengan membentuk beberapa kelompok-kelompok
studi ekstra kampus seperti Muslim Science Community, LISMA HTI, Muslimah
HTI, Gema Pembebasan dan lain-lain.44 Dalam aksinya kelompok-kelompok studi ini
43

HTI UIN Jakarta, RUU Keamanan Nasional: Konspirasi Penguasa Menuju Negara Tiran,
Buletin Gema Pembebasan, edisi I November 2012, 1
44
Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), pada 5
Febriari 2013, pukul 15.00 wib, di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota
Tangerang Selatan Prov. Banten.

111

cukup rutin melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada perkembangan


pemikiran seperti diskusi, seminar, membuat tulisan-tulisan, dialog interktif dan
sebagainya. Dari berbagai kegiatan yang pernah penulis ikuti di HTI UIN Jakarta
menunjukan bahwa, hampir setiap minggu HTI mengadakan program diskusi, bahkan
dalam satu minggunya mereka bisa mengadakan dua sampai tiga kali diskusi rutin.
Adapaun topik yang biasa disajikan itu beragam, seperti konflik Timur Tengah,
korupsi, migas, syariat Islam, deemokrasi, ekonomi Islam, dan sebaginya.
Kelompok-kelompok studi ini sengaja dibentuk dengan harapan agar dapat
mempengaruhi mindset mahasiswa yang telah terkonstruk fikirannya oleh ide-ide
Barat, sehingga mereka bisa kembali sadar dan meyakini Islam sebagai solusi dari
setiap persoalan. Para aktivis HTI menyadari bahwa ide-ide Barat telah banyak
merasuki alam pikiran masyarakat, bahkan ide tersebut telah membudaya dalam gaya
hidup mereka. Maka dari itu, usaha untuk merubah realitas tersebut tidak bisa
diselesaikan hanya dengan mengandalkan gerakan fisik saja, namun perlu ada
gerakan pemikiran yang akan merubah secara fundamental terhadap kondisi tersebut.
Gerakan lainya yang menjadi ciri khas HT dalam marhalah al-tafaul maa alummah adalah al-kifah al-siyasi (Perjuangan Politik). Sebagaimana telah disebutkan
di bab sebelumnya, HTI dari awal dibentuk adalah organisasi politik. Oleh karena itu,
HTI memiliki aktivitas politik. Dalam pandangan HTI, politik difahami sebagai
aktivitas memelihara urusan umat, sedangkan politik dalam konteks Islam difahami
HTI sebagai aktivitas memelihara dan mengatur urusan umat yang didasarkan pada

112

ketentuan syariat Islam.45 Menurut Ust. Fadlan ketika mengemukakan pandangan


HTI terkait dengan politik menyebutkan bahwa :
Bagi kami kerena HTI sejak awal adalah gerakan politik, maka berbagai aktivitas
yang kami lakukan kami anggap gerakan politik. Kami mengimani bahwasanya
hanya dengan gerakan politiklah kondisi sosial akan berubah. Adapun perjuangan di
luar jalur politik meskipun itu dakwah Islam, kami masih meragukannya apabila
ingin mengadakan perubahan secara menyeluruh. Dalam pandangan kami, Islam
adalah negara dan politik, jadi perjuangan politiklah yang kami anggap lebih efektif,
agar Islam bisa kembali dipraktekan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.46

Meskipun HTI memiliki orientasi politik dan mengambil jalur politik dalam
setiap gerakannya, namun HTI berbeda dengan organisasi kegamaan dan organisasi
politik pada umumnya. Jamaah Tabliqh misalnya, mereka fokus pada dakwah murni,
berkutat dalam hal transformasi kepercayaan individu terhadap nilai-nilai Islam, tapi
mengabaikan keterlibatan aktif dalam politik. Selanjutnya gerakan Islam lainnya
adalah PKS, gerakan ini menawarkan proyek Islamsasi dalam kehidupan
bermasyarakat maupun bernegara. Usaha PKS untuk mewujdkan Islamisasi,
sebenarnya memliki kesamaan dengan gerakan Islam pada umumnya termasuk HTI
dan Jamaah Tabligh yaitu terciptanya masyarakat yang dipandu oleh syariat Islam.47
Meskipun PKS dan HTI adalah gerakan politik, akan tetapi pola gerakan yang
dijalankan dari kedua organisasi tersebut memiliki perbedaan. Dalam menjalankan

45

Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman
Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 196.
46
Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), pada 5
Febriari 2013, pukul 15.00 wib, di Masjid Baiturrahmah Legoso Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan
Prov. Banten.
47
Mukhtadi., Dilema PKS: Suara dan Syariah, h. 169.

113

Islamisasinya

PKS

menggunakan

pendekatan

Islamisasistruktural.48

Namun,

Islamisasi struktural yang ditempuh PKS mengambil bentuk partisipasi politik formal
yang ditunjukan untuk merekonstruksi kebijakan dan institusi negara dalam rangka
menerapkan hukum Islam (syariat) di masyarakat.49 Keberadaan ijtihad politik
sepertri ini, menuntun PKS lebih bersifat ingklusif terhadap mekanisme demokrasi,
bahkan PKS terlibat dalam partisipasi politik demokrasi di Indonesia.
Lain halnya dengan HTI, perjuangan politik HTI tetap mengambil bentuk
partai politik, tapi partai politik menurut HTI adalah partai yang harus melakukan
pendidikan politik. Pendidikan politik ini bertujuan untuk menanamkan mafahim
(persepsi) kehidupan sebagaimana telah dijelaskan dalam syariat Islam, dan Ideologi
Islam. Kemudian, partai politik harus melakukan pemberdayaan masyarakat agar
masyarakat bisa melalukan barganing position terhadap negara, sehingga negara
tidak menyeleweng dari tugasnya.50
Dalam hal pemberdayaan terhadap umat partai politik harus mampuh
melakukan dua hal: Pertama, partai politik harus memperkenalkan Islam kepada umat
secara sistematis dan utuh. Islam adalah ideologi (way of life) yang memuat tata
aturan hubungan manusia dengantuhannya, manusia dengan sesamanya. Maka dari
itu, belum bisa dikatagorikan sebagai ideologi umat dan berpengaruh di seluruh aspek
48

MPP PKS, Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera: Terwujudnya


Masyarakat Madani yang Adil, Sejahtera dan Bermanfaat, tanpa penerbit, tanpa tempat, 2007, h. 42.
49
MPP PKS, Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera: Terwujudnya
Masyarakat Madani yang Adil, Sejahtera dan Bermanfaat, h. 50
50
Wawancara penulis dengan Ust. Hanif (aktivis senior HTI Fakultas Ushulludin dan Filsafat
UIN Jakarta), pada 11 Mei 2013, di Bescamp HTI UIN Jakarta. Pukul 20:30 wib.

114

kehidupan jika yang diserukan dari Islam hanya aspek parsial saja, misalnya akhlak
dan ibadah.51
Adapun mekanisme pemberdayaannya yaitu dengan melakukan pembinaan
agar menjadikan Islam keyakinan dan standar kehidupan. Selanjutnya adalah paratai
politik harus mampuh melakukan pencerdasan umat secara politik. Umat perlu
diperkenalkan dengan politik Islam yakni, politik sebagai kegiatan mengurus
persoalan umat.
Selama ini, perjuangan HTI dalam melakukan dakwah dan mewujudkan citacita politiknya baru hanya sebatas pada tahap berinteraksi dengan umat (marhalah altafaul maa al-ummah), diamana pada tahap ini para aktivis HTI berjuang untuk
menyeragamkan persepsi melalui proses interaksi. Setelah fase ini bisa dilakukan,
fase selanjutnya adalah Tahapan Pengambilan Kekuasaan (istilam al-hukum).
3. Tahapan Pengambilan Kekuasaan (Istilam Al-Hukum)
Tahapan yang terakhir dalam pola gerakan dan strategi kaderisasi dalam HTI
adalah istilam al-hukum (pengambilalihan kekuasaan). Sebagimana telah disebutkan
bahwa sejak awal HTI memiliki misi politik yaitu mendirikan struktur politik Islam
(khilafah Islamiyah). Oleh karena itu, untuk mewujudkan misi tersebut maka HT
mengkonseptualisasikan agenda khusus yang tertuang dalam agenda istilam al-

51

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), pada 5
Febriari 2013, pukul 15.00 wib , di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota
Tanmgerang Selatan Prov. Banten.

115

hukum. Menurut HTI secara filosofi, tahapan ini memiliki geneologi yang kuat
dengan strategi perjuangan Rasulullah ketika berjuang menegakan Islam pada
penduduk Arab. Dalam sejarah Rasulullah, tahapan terpenting perjuangan Rasul
adalah ketika ia berhasil mendirikan negara Islam yang ditandai dengan adanya
Piagam yang sangat terkenal yaitu Piagam Madinah.
Jadi menurut HTI perjuangan dakwah Islam tidak hanya sampai pada
pembentukan moral umat saja, namun perjuangan Islam harus sampai pada
terciptanya tatanan politik Islam di bawah struktur khilafah Islamiyah. Agenda
istilam al-hukum yang dikonseptualisasikan oleh HT adalah tahapan terakhir dalam
perjuangan dakwah Islam HT. Di bawah ini disajikan tabel tahapan-tahapan sebagai
strategi yang ditempuh HT untuk menegakan kembali daulah khilafah Islam:52
Fase Sebelum Daulah Berdiri
1.

2.

Fase
pembinaan
(tathqif)
tahapan
pembinaan
dan
pengkaderan
untuk
melahirkan
individuindividu yang meyakini
fiqrah dan tariqah
Islam guna membentuk
kerangka gerakan.
Fase
berinteraksi
dengan
Masyarakat
(tafaul
maa
alummah):
Tahapan
berinteraksi
dengan
masyarakat
agar
masyarakat
turut
memikuk
kewajiban
menerapkan Islam serta
52

Fase Berdirinya Khilafah

Fase Setelah Daulah Berdiri

Fase berdirinya daulah khilafah


ditandai
dengan
dibaiatnya
seorang
khilafah
oleh
kaumuslimin

Setelah daulah khilafah


berdiri,
maka
metode
dakwah untuk menyebarkan
Islam yang paling menonjol
adalah jihad memerangi
kesirikan, dan kekafiran di
seluruh penjuru dunia.
Kemudian menggabungkan
negeri-negeri di seluruh
dunia ke dalam naungan
khilafah Islamiyah.

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia, h. 26.

116

menjadikannya sebagai
masalah utama. Dalam
fase ini terdapat lima
kegiatan,
yaitu:
thaqifah
murakkaz,
tatqif jamai, al-siraalfikri, khifah al-siyasi,
dan tabanni al-masallih
al-ummah

Sebagaimana tertera pada tabel di atas, pada fase ketiga setelah berdirinya
khilafah Islamiyah, maka metode dakwah HTI mengalami perubahan. Sebelum
mencapai pada fase ke-tiga, metode dakwah HTI menghindari unsur kekerasan.
Menurut Ust. Fadlan menyebutkan bahwa:
Penggunaan kekerasan sebagai tariqah untuk mencapai tujuan dakwah tidak boleh
dilakukan oleh para aktivis HTI, baik di aktivis HTI yang di UIN Jakarta maupun
yang di daerah-daerah lain sebelum daulah khilafah Islam berdiri. Selama keadaan
belum berdiri ini, aktivitas kami hanya dibatasi pada aktivitas fikriyah (pemikiran),
yakni dengan cara menghujat dan menghancurkan pemikiran-pemikiran dan
keyakinan-keyakinan yang merusak batil. Selama ini, kami di UIN Jakarta telah
melakukan aktivitas itu melalui beberapa bentuk kegiatan seperti pembuatan opini
melalui buletin maupun dalam bentuk diskusi langsung dengan para mahasiswa baik
dikelas maupun diluar kelas.53

Meskipun HTI memiliki proyek politik berdirinya khilafah Islamiyah dalam


konteks global, akan tetapi pada saat ini aktivitas HTI di seluruh dunia termasuk di
Indonesia baru hanya sampai pada tahap berinteraksi dengan umat (tafaul maa alummah). Maka dari itu, aktivitas yang dilakukan oleh HT adalah aktivitas berinteraksi
bukan gerakan jihad sebagaimana tertera dalam tahapan tekahir HT.

53

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), Pada 5
Febriari 2013, pukul 15.00 wib. di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota
Tangerang Selatan Prov. Banten.

117

F. Faktor-Faktor yang Mendukung Eksistensi HTI di Kampus UIN


Syarif Hidayatullah Jakarta
Sejak menit pertama diperkenalkannya HTI di kampus UIN Jakarta pada
2001, hingga saat ini aktivitas HTI masih berjalan dengan baik. Bahkan, tidak
menuntut kemungkinan HTI telah mengalami peningkatan-peningkatan dalam
berbagai aspek seperti intensitas gerakan, memperluas lingkup gerakan, keberadaan
anggota, jejaring dan lain sebagainya. Asumsi ini dapat dibuktikan melalui adanya
berbagai kegiatan-kegiatan yang diprakarsai langsung oleh para aktivis HTI dan
adanya beberapa aktivis HTI di hampir semua fakultas.
Terpeliharanya sebuah organisasi tentunya berkaitan erat dengan berbagai
faktor yang mendukung eksistensi organisasi tersebut baik di internal maupun faktor
eksternal organisasi. Berkaitan dengan HTI di UIN Jakarta, penulis mengangkat dua
variabel penting yang akan digunakan untuk menjelaskan faktor yang mendukung
eksistensi HTI seperti jejaring dan keberadaan aktivis.
1. Jaringan
Dalam kajian gerakan sosial hampir semua aktivis Islam berakar dalam
masyarakat yang berjejaring yang kompleks yang cenderung memilih informalitas
ketimbang pelembagaan yang terformalkan. Jaringan dalam gerakan sosial tidak
hanya memiliki implikasi mikro namun jaringan juga memiliki implikasi makro
terutama saat mereka tersebar melintasi batas-batas negara. Jadi bukanlah hal yang

118

mengejutkan jika jaringan-jaringan aktivis masjid, keluarga, pekerjaan, pendidikan,


ulama, perkampungan akan menghubungkan dengan wilayah-wilayah yang lain.
Berbicara tentang HTI sudah bisa dipastikan bahwa peran jaraingan memiliki
keduduakan penting bagi HTI, baik dalam sekala mikro maupun skala makro.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa HTI adalah organisasi
yang memiliki lingkup global melintasi batas-batas negara (transnasional), maka
keberadaan jaringan yang menghubungkan organisasi ini sangat dimungkinkan.
Dalam sekala mikro yaitu konteks UIN Jakarta, HTI juga memanfaatkan
berbagai jaringan sebagai strategi mobilisasi dan saluran bagi generasi-generasi
penerus. Selanjutnya jaringan juga dapat mempermudah akses terhadap sumberdaya
dari luar seperti kelembaga-lembaga informal dan formal di UIN Jakarta. Akses ini
sangat penting bagi HTI kerena dengan adanya hubungan baik ke lembaga eksternal
maka akan mempermudah HTI jika ingin mengadakan berbagai kegiatan-kegiatan.
Dalam pembahasan sebelumnya HTI dijelaskan bahwa HTI memiliki
hubungan baik dengan lembaga-lembaga eksternal organisasi seperti masjid-masjid,
BEM kampus, organisasi-organisasi eksternal kampus, bahkan lebaga-lembaga
informal kampus seperti pengurus Student Center, Radio Dakwah dan Komunikasi
dan lain-lain. Jaringan-jaringan ini dijadikan modal sosial untuk memperluas aksis
HTI dalam menyebarkan gagasan-gagasannya. Adanya berbagai jaringan ke lembagalembaga di luar HTI ini dibuktikan melalui keterangan Ust. Fadlan ketika wawancara

119

tertutup dengan penulis yaitu: Agar mempermudah aktivitas HTI di UIN ini, maka
kita di HTI selalu membangun hubungan baik dengan berbagai lembaga-lembaga
seperti BEM, penurus masjid di sekitar UIN, pengajian-pengajian masyarakat, bahkan
saat ini kami sudah mulai masuk ke Radio Dakwah.54
Jaringan-jaringan yang dibangun HTI tidak hanya mengandalkan jaringan
konvensional seperti ke lembaga-lembaga saja, namun

HTI juga membangun

jaringan persoanal seperti jaringan keluarga, pertemanan bahkan ke yayasan-yayasan.


Pola jaringan keluarga biasanya dibaguan melalui hubungan kaka ke adik, ayah ke
anak maupun kesaudara-saudaranya. Selanjutnya, hubungan pertemanan biasanya
mengambil pola hubungan pertemanan di kos-kosan, di kelas bahkan di tempattempat tertentu yang mendukung untuk para aktivis mengajak partisipan.
Dalam keterangan Gustar, HTI UIN Jakarta juga berjejaring dengan
kelompok-kelompok pengajian masyarakat. Strategi yang diambil biasanya dengan
melibatkan diri pada pengajian-pengajian di masyarakat. Selain di masyarkat HTI
UIN Jakarta juga memiliki jaringan ke yayasan-yayasan, sekolah-sekolah dan
sebagainya. Pola seperti ini sengaja dibentuk agar gagasan-gagsan HTI bisa ditransfer
tidak hanya pada mahasiswa tetapi juga kepada seluruh umat muslim di sekitar.55

54

Wawancara penulis dengan Ustdz Fadlan (ketua komisariat HTI UIN Jakarta), pada 5
Februari 2013 pukul 15.00 wib, di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota
Tangerang Selatan Prov. Banten..
55
Wawancara penulis dengan Gustar (salah satu pembina halaqaham HTI UIN Jakarta),
pada 25 Maret 2013, pukul 20.00 wib, di Masjid Fathullah, Komplek UIN Jakarta Kel. Pisangan Kec.
Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten.

120

Sejak HTI diperkenalkan pertama kali ke UIN hingga saat ini pola
pengembangan jaringan menjadi modal yang sangat penting bagi HTI. Eksistensi HTI
di UIN juga tidak lepas dari peran jaringan-jaringan yang mereka bentuk dan
kembagkan hingga sekarang. Alasan inilah yang kemudian menempatkan jaringan
dalam penelitian ini sebagai unsur bagai eksistensi HTI di UIN Jakarta. Selain
jaringan penulis juga menempatkan aktivis sebagai agen pendukung keberadaan HTI
sampai saat ini.
2. Keberadaan Para Aktivis HTI Sebagai Sumber Daya
Lazimnya

sebuah

gerakan

sosial

dimanapun

keberadaannya

pasti

membutuhkan kolektivitas tindakan untuk menjalankan roda organisasinya. Dengan


mengandalkan kekuatan kelompok, suatu gerakan akan lebih mudah mencapai tujuan
yang dirumuskan dalam ideologi. Setiap gerakan sosial menyadari bahwa untuk
meraih dan merealisasikan cita-cita kolektif membutuhkan basis masa yang kuat dan
solid sebagai pendukung sekaligus aktor dalam gerakan sosial.
Keberadaan aktor atau aktivis juga menjadi sumberdaya yang penting untuk
keberlangsungan organisasi, sebeb tanpa keberadaan aktor mustahil sebuah gerakan
sosial bisa bekerja dan bisa terus-menerus berlangsusng eksistensinya. Dalam teori
gerakan sosial keberadaan aktor dan basis keanggotaan menjadi elemen penting untuk
dijelaskan, sehingga teori gerakan sosial memberikan porsi khusus terhadap
keberadaan aktor. Studi tentang aktor dan basis keanggotaan masuk dalam studi

121

mobilising structure (struktur mobilisasi) yang menekankan aspek infrastruktur


seperti basis keanggotaan, jejaring, komunikasi, dan pemimpin atau tokoh gerakan.56
Sejak masuk ke kampus UIN Jakarta pada 2001 hingga saat ini sebagian besar
anggota HTI berasal dari mahasiswa. Sifat keanggotaan HTI tidak selonggar seperti
di HMI, PMII, IMM dan lain-lain. Untuk menjadi anggota HTI, seseorang harus
melewati tahapan-tahapan yang relatif panjang. Sebagaimana telah dijelaskan dalam
bab sebelumnya, pertama-tama seseorang harus mengikuti halaqaham kemudian
dilanjutkan dengan tahap berikutnya yang disebut murakkaz. Dalam tahapan ini HTI
membagi ke dalam dua jenjang. Jenjang pertama disebut darisin, yakni seseorang
yang hanya sebatas mengkaji secara mendalam ide-ide HTI. Jenjang kedua disebut,
hizbiyin, jenjang yang menentukan seseoarang menjadi anggota HTI.
HTI sengaja merekrut anggota kerena ingin merekrut anggota yang betul-betul
mampuh menginternalisasi ide-ide HTI, serta mempunyai komitmen untuk
memperjuangkannya. Kekuatan HTI di UIN Jakarta antara laian terletak para
aktivisnya yang militan serta memiliki jaringan yang kuat. Meskipun dari segi jumlah
anggota HTI tidak begitu melimpah, tetapi HTI didukung oleh anggota yang mlitan
sehingga dapat merancang serta melaksanakan berbagai macam kegiatan.
Adanya strategi kaderisasi yang panjang menjadikan HTI di UIN Jakarta
menjadikan HTI cukup sukses dalam menbidik kader-kadernya. Kesuksesan disini

56

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia, h. 32-39.

122

tidak diukur dalam katagori jumlah, tetapi HTI berhasil dalam membentuk kaderkader yang militan dan berkomitmen. Keberadaan aktivis juga sangat berpengaruh
untuk melakukan rekrutmen anggota, sebab di HTI UIN Jakarta setiap anggota baik
itu mudaris maupun hizbiyin diwajibkan untuk mengajak dan terus mendakwakhan
ide-ide ke-HTI an ke khalayak.
Selaian berperan dalam merekrut anggota, para aktivis juga dituntut untuk
komitmen untuk terus bejuang menegakan ide-ide HTI meskipun mereka sudah tidak
memegang setatus mahasiswa lagi. Dari segi material para aktivis juga di minta untuk
menyumbangkan waktu, tempat, serta uang seikhlasnya untuk perjuangan dakwah.
Menurut keterangan Gustar saat berdialog dengan penulis dalam forum halaqaham
menyebutkan:
Kita tidak bisa memungkiri bahwa setuap perjuangan dakwak itu harus didukung
oleh berbagai faktor, selain keberadaan para aktivis yang setia juga perjuangan
dakwah membutuhkan materi (dana) demi perjuangan dakwah Islam. Kami di HTI
menerima sumbangan dari anggota tetapi sifatnya seiklasnya. Nanti setelah antum
(penulis) melanjutkan ke tahap berikutnya antum akan ditawarkan untuk membayar
infak atau dalam bahasa kami biasa disbut Iltizmat. Dana itu nantinya akan di
kumpulkan sebagai sumbangan untuk perjuangan dakwah Islam di HTI.57

Selain sumbangan dari peserta halaqaham, kader-kader lain yang statusnya


sudah menjadi hizbiyin juga turut memberikan partisipasi materi dalam bentuk
sumbangan uang yang diberlakukan se-bulan satu kali. Namuan, sifatnya masih sama

57

Wawancara penulis dengan Gustar (pembina penulis ketika mengikuti hallaqoh umum),
Pada 2 Februari 2013, pukul 20.30 wib, di Masjid Al-Mugirah Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota
Tangerang Selatan Prov. Banten.

123

yaitu setiap anggota tidak diwajibkan membayar melainkan hanya di minta


seikhlasnya dan tanpa patokan nominal.58
Aktivitas lainnya yang biasa dilakukan para aktivis HTI di UIN Jakarta adalah
keterlibatan mereka pada berbagai kegiatan-kegiatan seperti diskusi, pembuatan
opini, sosialisasi ke mahasiswa dan masyarakat, pembuatan kelompok-kelompok
studi dan lain-lain. Dari beragam pemaparan di atas, nampaknya sumberdaya yang
paling penting dari para aktivis HTI yaitu kesetiaan dan sikap konsisten yang dimiliki
para aktivis terhadap HTI. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa kader-kader
HTI cukup populer dengan militansi yang mereka miliki untuk organisasi, paling
tidak inilah yang menjadi modal sosial HTI untuk tetap eksis di UIN Jakarta. Oleh
kerena itu, penulis memasukan aktivis adalah salah-satu faktor pendukung eksistensi
HTI sejak menit pertama mereka masuk UIN hingga saat ini.
G. Eksistensi HTI sebagai Indikator Fundamentalis Islam di Kampus
UIN Jakarta
Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa keberadaan
HTI di kampus UIN dimulai sejak tahun 2001, kemudian di tahun-tahun selanjutnya
HTI mempertajam pengaruhnya hingga pada tahap berinteraksi dengan umat.
Tahapan ini merupakan tahapan ke dua dalam pola gerakan dan strategi kaderisasi
yang di bangun oleh HTI di kampus UIN. Pada level ini gerakan HTI lebih terlihat
58

Wawancara penulis dengan Gustar (pembina penulis ketika mengikuti halaqah umum),
Pada 2 Februari 2013, pukul 20.30 wib, di Masjid Al-Mugirah Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota
Tangerang Selatan Prov. Banten.

124

inklusif dalam artian mereka mulai membuka ruang dalam melakukan interaksi
secara langsung pada mahasiswa.
Berbagai kegiatan-kegiatan HTI misalnya sudah mulai dilakukan secara
terbuka diberbagai jurusan-jurusan, masjid-masjid sekitar kampus, media kampus,
dan seterusnya. Adanya berbagai kegiatan rutin dan kepengurusan organisasi HTI
cabang Ciputat yang lingkupnya UIN Jakarta menunjukan bahwa HTI adalah
organisasi yang memiliki eksistensi di kampus UIN Jakarta, meskipun dalam tataran
jumlah anggota HTI masih relative kecil dibandingkan dengan organisasi-organisasi
lain yang eksis di UIN Jakarta.
Dalam wacana gerakan social HTI tergolong pada gerakan religio-politik yang
berusaha mengubah system sekuler dengan system yang didasarkan pada agama.
Corak politik-keagamaan HTI terlihat jelas pada perjuangannya terhadap struktur
politik Islam di bawah khilafah Islamiyah.59 Ideologi yang di pegang HTI adalah
ideologi Islam, Islam bagi HTI bersifat universal sehingga Islam berada di segala
aspek kehidupan baik politik, social, ekonomi, hukum dan lain-lain.
Komitmen HTI terhadap Islam menjadikan mereka terlihat ekslusif ketika
dihadapkan pada gagasan-gagasan dari luar Islam seperti pada gagasan politik
demokrasi, ekonomi kapitalis, hukum yang di adopsi dari Barat dan sebagianya.60
Pada ranah kultural terutama yang berhubungan dengan budaya berbusana atau tutup
59

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia, h. 93-120.
60
Ibid., 35.

125

aurat anggota HTI lebih menekankan pada budaya ketimuran yang diyakini sebagai
budaya pro-syariat Islam. Asumsi ini dapat dibuktikan dengan banyaknya anggota
HTI terutama muslimah HTI di lingkungan kampus UIN yang begitu ketat dalam
mengatur persoalan busana. Busana yang ditekankan muslimah HTI adalah busana
yang menutup aurat seperti pemakaian jilbab, rok panjang, dan baju-baju muslimah
yang umumnya menutup seluruh bagian tubuh. Bagi mereka pemakain jins, rok mini,
kaos pendek bagi wanita adalah budaya berbusana ala Barat yang sengaja
diperuntukan untuk merusak kultur berbusana Islam, untuk itu perlu dihindari.61
Beberapa sikap dan karakter di atas melahirkan asumsi bahwa terdapat
kemiripan-kemiripan terutama pada aspek karakter yang dimiliki gerakan Islam HTI
dengan gerakan fundamentalis atau lebih tepatnya dikenal dengan Islam
fundamentalis. Meminjam apa yang dikonseptualisasikan oleh Fazlur Rahman,
fundamentalisme Islam merupakan reaksi terhadap kegagalan modernisme Islam
(klasik), karena ternyata yang disebut terakhir ini tidak mampu membawa masyarakat
dan dunia Islam kepada kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagai gantinya fundamentalisme Islam mengajukan tawaran solusi dengan kembali
kepada sumber-sumber Islam yang murni dan otentik, dan menolak segala sesuatu
yang berasal dari warisan modernisme Barat.62

61

Wawancara penulis dengan Zakiyatun Nufus (anggota muslimah HTI UIN Jakarta
dilakukan pada 27 Mei 2013, di kantin fakultas dakwah dan komunikasi. Pukul 13.00 wib.
62
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam
Kontemporer, Jurnal Ilmiah, h. 4.

126

Konseptualisai Fazlur yang menekankan pada otentifikasi dan penolakan


terhadap gagasan modern oleh gerakan fundamentalis Islam, sedikit banyak ada
kemiripan dengan karakter yang dibangun dalam HTI. Gagasan khilafah yang
menjadi central perjuangan politik HTI adalah gagasan klasik dalam struktur
pemerintahan Islam. HTI mendambakan terbentuknya romentisme sejarah yang
dahulu pernah berjaya dalam Islam untuk kembali ditegakkan pada era kontemporer
saat ini.63 Kemudian, penolakan HTI terhadap ide-ide modern seperti demokrasi,
kapitalisme, nasionalisme, komunisme dan sebaginya sepertinya cukup relevan
dengan gagasan Fazalur.
Selain Fazlur sarjana lain yang mengkontruksi term fundamentalis Islam
adalah Basam Tibi dan Roxnne L. Euben, mereka mendefinisikan fundamentalisme
Islam sebagai gerakan religio-politik kontemporer yang memiliki hasrat untuk
mengembalikan seluruh masalah dalam ranah sosial maupun politik kepada teks
keagamaan (quran dan sunah) sebagai rujukan dasarnya. 64 Barsandar pada beberapa
teori yang dikemukakan di atas bahwa ada beberapa karakteristik yang mirip antara
gerakan HTI dengan gerakan fundamentalis Islam. Oleh karena itu, hal ini pula yang
menjadi argumentasi penulis atas kesimpulan yang menyebut habwa HTI sebagi
gerakan eksemplar dan salah satu representasi dari dari gerakan fundamentalis Islam
di kampus UIN Jakarta.
63

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia, h. 100.
64
Euben, Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern,
trj. Satrio Wahono, h. 42.

127

129

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Awal persentuahan HTI di Kampus UIN Jakarta dimulai sejak 2001. Pase
ini pola gerakan HTI masih bersifat eklusif dan struktur keorganisasian
HTI belum begitu solid, sehingga hal ini berpengaruh pada efektivitas
penyampaian gagasan-gagasan mereka di lingkungan kampus. Dimulai
pada 2002 hingga saat ini di 2013, aktivitas HTI semakin terorganisir
dengan baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa kegiatankegiatan yang diselenggarakan oleh para aktivis HTI seperti halaqaham
di masjid-masjid yang ada di sekitar kampus yaitu Masjid Fathullah,
Masjid Al-Mukhlisin Legoso, Masjid Al-Muhgirah, dan lain-lain.
Keterlibatan HTI dalam membangun afiliasi dengan masjid bukan tanpa
alasan. Selain tempat ibadah masjid masjid menjadi sentral bagi
berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa sehingga hal ini dianggap instrumen
yang sangat ideal untuk mennyampaikan gagsan-gagasan HTI pada
jamaah khususnya mahasiswa UIN Jakarta. Selain masjid pola lain yang
dibangun HTI untuk menyampaikan pesannya yaitu memanfaatkan
hubungan personal pertemanan dan keluarga, membentuk kelompok studi
di lingkungan kampus seperti kelompok studi

(LISMA HTI, Gema

130

Pembebasan, SRIKAYA, Muslimah HTI dll), dan terlibat dalam


pembingkaian isu-isu baik agama maupun non agama.
Pola gerakan dengan memanfaatkan hubungan pertemanan dan keluarga
dimanfaatkan sebagai cara untuk mempengaruhi para mahasiswa agar
tertarik dengan gagasan-gagasan HTI sehingga mereka akan lebih mudah
masuk menjadi anggota HTI. Hubungan pertemanan dan keluarga
biasanya lebih mudah karena hal ini dibentuk atas dasar hubungan
emosional yang kuat. Dalam oprasinya para aktivis HTI biasanya
melakukan pendekatan-pendekatan yang intensif terhadap para mahasiswa
baik melalui interaksi langsung maupun dalam pertemuan-pertemuan
dalam berbagai acara. Pola yang lainnya adalah membentuk kelompokkelompok studi. Pola ini bertujuan untuk memperdalam intelektual para
anggota HTI agar dapat menjadi kader yang berwawasan. Selain untuk
mengembangkan wawasan, aktivitas diskusi juga berfungsi sebagai media
komunikasi penyampaian pesan dan gagasan-gagasan HTI terhadap
mahasiswa yang statusnya bukan kader. Ini bisa terjadi karena dalam
beberapa kegiatan diskusi HTI biasanya mengajak mahasiswa yang bukan
kader untuk terlibat dalam diskusi, dengan kata laian diskusi tersebut
bersifat terbuka untuk umum. Pola terakhir adalah pembingkaian isu.
Dalam proses pembingkaian isu ini HTI terlibat dalam dalam
mengkontruksi makna yang dihadirkan dalam isu-isu popular yang
berkembang. Adapun transformasi hasil pembingkaian ini disampaikan

131

dengan berbagai bentuk seperti interaksi langsung, demonstrasi,


penyampaian opini, pembuatan pesan-pesan sms dan lain-lain.
Terkait dengan kaderisasi HTI mengembangkan sistem kaderisasi
pembinaan yang berjenjang. Di HTI setiap calon kader akan dibina secara
intensif sebelum menjadi kader. Beberapa tahapan-tahapan yang harus
dilalui oleh calon kader HTI yaitu tahapan dan pengkaderan (al-tathqif),
tahapan berinteraksi dengan umat (marhalah al-tafaul maa al-umah),
tahapan pengambilan kekuasaan (istilam al-hukm).
2. Terpeliharanya organisasi tentunya memiliki keterkaitan dengan berbagai
faktor pendukung organisasi tersebut. Berkaitan dengan HTI di Kampus
UIN Jakarta, terdapat penulis meletakan dua faktor yang cukup kuat
mendukung eksistensi mereka. Pertama adalah jaringan, di HTI jaringan
memiliki kedudukan penting karena jaringan dapat mempermudak akses
mereka dengan dunia luar atau sumber daya dari luar. Akses ini sangat
penting karena akan mempermudah mereka jika memiliki kepentingan
dengan dunia luar. Seperti halnya ketika HTI memiliki kepentingan
dengan lembaga-lembaga seperti masjid, BEM, UKM dan lain-lain maka
jaringan inilah yang memiliki fungsi utama untuk menghubungkan mereka
dengan dunia luar.
Faktor kedua adalah keberadaan para aktivis. Aktivis menjadi sumber
daya yang penting bagi perkembangan HTI di Kampus UIN Jakarta.
Keberadaan aktivis memiliki pengaruh terhadap proses rekrutmen anggota

132

serta penyebarluasan pesan-pesan HTI. Oleh karena itu, di HTI para calon
anggita dibina dengan cukup ketat agar dapat melahirkan kader yang
berkualitas dan militant, sehingga ketika mereka menjadi aktivis resmi
HTI perannya tidak diragukan lagi. Perkembangan dan eksistensi HTI
yang hingga saat ini ada di UIN Jakarta tidak terlepas dari peran para
aktivisnya.
3.

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta)


merupakan institusi pendidikan Islam yang berusaha menyatukan berbagai
disiplin ilmu ke dalam kurikulum internal atau dikenal dengan istilah
pengintegrasian keilmuan. Adanya sebuah dialektika sistem di dalam
tubuh UIN Jakarta dari sebelumnya IAIN menandakan adanya
modernisasi terhadap sistem pendidikan didalamnya. Sebagimana telah
umum diketahui bahwa kejala modernisasi sendiri di banyak tempat selalu
mengundang beragam respon sehingga ketika UIN Jakarta melakukan
modernisasi pendidikan maka hal ini tentunya melahirkan beragam reaksi.
Ketika modernisasi pendidikan di dalam tubuh UIN Jakarta memberikan
kelonggaran terhadap masuknya disiplin ilmu-ilmu non-Islam atau ilmuilmu sekuler, maka akan melahirkan reaksi dari ekses-ekses tertentu yang
anti terhadap ide-ide sekuler. HTI adalah eksemplar dari gerakan
fundamentalisme Islam yang cenderung menolak gagasan-gagasan
sekuler. Oleh karena itu, saat UIN Jakarta perlahan melakukan integrasi
keilmuan,

maka

HTI

semakin

mengembangkan

organisasi

dan

133

mempertajam pengaruhnya guna membendung gagasan-gagasan sekuler.


Keberadaan HTI yang selama ini tumbuh di UIN Jakarta adalah indikator
dari tumbuhnya gerakan fundamentalisme Islam di Kampus UIN Jakarta.
Sebagimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dan teori gerakan sosial beserta variannya
(struktur kesempatan politik, mobilisasi sumber daya dan pembingkaian) digunakan
sebagai pisau analis utamanya. Objek penelitian ini adalah HTI yang berada di
lingkungan kampus UIN Jakarta.
Dari berbagi penemuan-penumuan yang telah penulis simpulkan dalam
penelitian ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan yang harus di
sempurnakan dalam penelitian selanjutnya.

Daftar Pustaka

Ahmad, Khursid, Sifat Kebangkitan Islam, Jhon L Esposito (ed). Dinamika


Kebvangkitan Islam, trj. Hasan ( Jakarta: Rajawali Perss, 1985).
Amin al Alim, Mahmud, al Fikr al Araby al Muasir baina al Ushuliyyah wa
al Almaniyah dalam al Ushuliyyah al Islamiyyah (Qodya Fikriyah
Li an Nasyr wa at Tauzi, 1993).
Amstrong, Karen, Berperang Demi Tuahan, trj. Satrio Wahono, dkk.
(Bandung: Mizan, 2001).
Anonim, Mengenal Hizb al-Tahrir: Partai Politik Islam Ideologios, (Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2002).
Arifin, Syamsul, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis:
Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, (Malang: Universitas
Muhamadiyah Press, 2005).
Bannerman, Patrick, Islam in Persfektive a Guide to Islamic Society Politic
and Law (London: Routlage, 1988).
Bungin, Burhan, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodelogis Ke
Arah Ragam Farian Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001).
Cross, F.L (ed), The Oxford Dictionary of the Christian Church (Oxford
University Press, 1997), h. 926, seperti dikutip dari Rifyal Kabah,
Modernisme dan Fundamentalisme ditinjau dari konteks Islam
(Ulmul Quran, No. 3 vol IV, 1993).
Damanik, Ali Said, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun
Gerakan Tarbiyah di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002).
Efendy, Bahtiar dan Prasetyo,Hendro, ed., Radikalisme Agama ( Jakarta:
PPIM, 1998).
Euben, Roxanne L., Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas
Rasionalisme Modern, trj. Satrio Wahono (Jakarta: Serambi, 2002).

Foreman, J. B. (ed), Encyclopedia and Dictionary, M.A. London 1974, seperti


dikutip dari Kaaba, Rifyal, Islam dan Fundamentalisme, (Jakarta:
Panjimas, 1984).
Hadimulyo, Fundamentalisme Islam: Istilah yang Dapat Menyesatkan,
Ulumul Quran, No. 3 Vol. IV, 1993).
Hasan, Rifat, Mempersoalkan Istilah Fundamentalisme Islam, (Umul Quran,
No. 3 Vol IV, 1993).
Ilyasa, Bara, Profil Partai Fundamentalis Islam: Studi Tentang Mobilisasi
Politik Partai Keadilan Sejahtera 1999-2009), (Skripsi SI Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2012).
Jajang, Jamhari Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004).
Jamhari, Fuad Jabali, (Peny), IAIN dan Moderenisasi Islam di Indonesia,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002).
Kasiram,

Mohamad, Metodelogi Penelitian: Refleksi Pengembangan


Pemahaman dan Penguasaan Metodelogi Penelitian, (Malang: UIN
Press, 2008).

L. Esposito, John, Ancaman Islam Mitos dan Realitas, trj. Alawiyah


Abdurahman (Bandung: Mizan, 1996).
Mubarak, M. Zaki, Geneologi Islam Radikal Indonesia: Gerakan, Pemikiran,
dan Prospek Demokrasi, (Jakarta: LPS, 2008).
Mukhtadi, Burhanudin, Dilema PKS: Suara dan Syariah, (Jakarta:
Paramadina, 2012).
Muzaffar, Chandra, Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia Baru: Menggugat
Dominasi Global, trj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1995).
Rahmat M, Imdadun Arus Baru Islam Radikal: Transmisi, Revivalisme Islam
Timur Tengah ke Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2008).
Riski, Muhamad, Strategi Partai Aceh dalam Memenangkan Pemilu
Legeslatif di Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2009, (Skripsi SI
Fakultras Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidaytullah Jakarta, 2010).

Rosidy (ed), Imron, Agama dalam Pergulatan Dunia (Yogyakarta: Tiara


Wacana, 1998).
Said, Edward, Covering Islam: Bagimana Media dan Pakar Menentukan
Cara Pandang Kita Terhadap Dunia, trj. Apri Danarto (Yogyakarta:
Jendela, 1987).
Steiner, Goerge A. dan Miner, Jhon B, Kebijakan dan Strategi Menagemen,
(Jakarta: Airlangga, 1997).
Susanto, Astrid S., Masyarakat Indonesia Memasuki Abad Ke Dua Puluh
Satu, (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1998).
Ulfiyah, Ufi, Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Taswirul
Afkar Edisi ke-13 Tahun 2012, (Skripsi SI Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, 2008).
Winardi , J, Entrepreuneur dan Entrepreuneurship, (Jakarta: Kencana, 2003).
Wiktorowicz, Quintan, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial,
(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2007).
Yuliawati, Aat, Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta
2009, (Skripsi SI Fakultas Dakwah dan Komunikasi 2009).
Zallum, Persepsi-Persepsi Budaya dari Barat, (Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah, 1999).

Webset
10http://www.findarticles.com/cf_0/m2096/2000_SpringSammer/63
300895/print.jhtml.
The Challenge of Fundamentalism for Interreligiuos Dialogue, Cross
Curent (SpringSummer,200), diakses pada 09 Desember 2012, pukul
19.30 wib.
http://www.polstranas.com.
Politik dan Strategi Nasional, Artikel diakses pada 9 April 2010.

http://jurnalsdm.blogspot.com.2009/08/konsep-strategi-definisiperumusan.html,
Konsep Strategi: Devinisi, Perumusan, Tingkatan, dan Jenis Strategi
Diakses pada 15 Januari 2012, pukul 16.00 wib.
http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/;
Hizbut Tahrir Indonesia Tentag Kami HTI, Blog Hizbut Tahrir Indonesia,
05 November 2013 tersedia Internet diunduh pada 7 November
2013.
http://www.detik.com/peristiwa/2001/01/10,
Solahudin, Menelusuri Kelompok Islam Sempalan (1): Mereka Dituduh
Menebar Bom, diakses pada 01 Januari 2012, pukul 15.00.
http://ahmadalim.blogspot.com/2010/08/khabdullah-bin-nuh.html;
KH.Abdullah bin Nuh: Ulama dan Tokoh Pendidikan Islam, diaskes pada 5
November 2013.
http://ahmadalim.blogspot.com/2010/08/khabdullah-bin-nuh.html;
KH.Abdullah bin Nuh: Ulama dan Tokoh Pendidikan Islam, akses pada 5
November 2013
http://adiwidayat.blogspot.com/2010/08/ismail-yusanto.htmln;
Andi Widayat Ismail Yusanto, di akses pada 5 November 2013.

http://hizbut-tahrir.or.id/2007/05/20/syaikh-abdul-qadim-zallum-amir-hizbuttahrir-kedua/, Hizbut Tahrir Indonesia Untuk Melanjutkan


Kehidupan Islam, di askes pada 9 November 2013

Majalah
KH. Shiddiq al-Jawi, Islam Menolak Demokrasi al-Waie, 1-31 Maret
2013, 18-21.
Farid Wadzi, Amal Politik Partai Islam, al-Waie, 1 Juli 2004, 38.
Farid Wadjidi, Mengenal Hizbut Tahrir, al-Waie, 20 Maret 2005, 55

Muslimah HTI Chapter UIN Jkarta, Dialog Interktif: Menjawab Pertanyaan


Seputar Khilafah, Pamflet Selembaran, 10 April 2013, bag. 1.
Buletin
Gema Pembebasan, RUU Keamanan Nasional: Konspirasi Penguasa Menuju
Negara Tiran, Buletin, edisi I November 2012, bag. 1-2
Selembaran
Muslimah HTI Chapter UIN Jakarta, Dialog Interaktif:Menjawab Pertanyaan
Seputar Khilafah, Pamflet , 10 April 2013, bg 1.

Beberapa Selembaran dan Tulisandalam Buletin HTI UIN Jakarta

Foto Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Foto Majalah Hasil Konfrensi HTI dan Kitab Panutan Hidup dalam Islam karya Taqiyuddin AnNabhani.

Foto penulis saat mewawancarai responden

Foto penulis dengan Zakiyatun Nufus (muslimat HTI di UIN Jakarta)

Foto penulis saat berdiberdialog dengan Zakiyatun Nufus

Foto penulis dengan Munawir (anggota HTI di UIN Jakarta)

Foto penulis saat berdialog dengan Ust. Munawir

Foto penulis saat berdialog dengan Faisal Fikri (anggota HTI di UIN Jakarta)

Foto penulis dengan Faisal Fikri

You might also like