You are on page 1of 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Infeksi Cacing
Infeksi cacing adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan minuman
atau melalui kulit dimana tanah sebagai media penularannya yang disebabkan
oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria),
dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) (Jawetz
et al, 1996). Infeksi cacingan banyak terdapat pada ank usia sekolah dasar, yang
didalam usus anak terdapat satu atau beberapa jenis cacing yang merugikan
pertumbuhan dan kecerdasan anak.
1.2

Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit

yang disebabkan parasit ini disebut ascariasis. Prevalensi ascariasis di Indonesia


termasuk dalam kategori tinggi yaitu memiliki frekuensi antara 60-90%.
Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah
dengan tinja disekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di
tempat pembuangan sampah. Hal ini akan memudahkan terjadinya reinfeksi. Di
Negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk.
(Gandahusada 2006)
1.2.1

Epidemiologi
Cacing gelang, infeksi yang ditularkan melalui tanah, tergantung pada

penyebaran

telur

ke

dalam

keadaan

lingkungan

yang

cocok

untuk

pematangannya. Defekasi di tempat sembarangan dan menggunakan pupuk

manusia merupakan praktek- praktek tidak higienis yang paling penting


yang menyebabkan endemisitas cacing gelang. Penyebaran kecacingan tersebar
luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Penularan cacing gelang dapat
terjadi musiman atau sepanjang tahun (Behrman, 2000).
Hasil survei kecacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada
tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk
semua umur berkisar antara 40%-60% ( Depkes, 2004). Telur cacing gelang
berkembang sangat baik pada tanah liat yang mempunyai kelembaban tinggi dan
pada suhu 25- 30C. Pada kondisi ini telur tumbuh menjadi bentuk infektif
(mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu (Onggowaluyo, 2002).
1.2.2

Morfologi

Gambar 2.1 Cacing Ascaris lumbricoides jantan dan betina


Cacing dewasa mirip cacing tanah dan merupakan nematoda terbesar
yang menginfektir manusia. Ukuran yang jantan 10-30 cm, betina 22-35
cmdengan kulit yang rata dan bergaris halus, berwarna coklat atau merah
muda/pucat. Ujung bagian depan lebih ramping dibandingkan dengan ujung

belakang. Cacing jantan ujung belakang melengkung kedepan dan mempunyai


spikulum. Mulutnya mempunyai 3 buah bibir (Gandahusada,2006).

Lapisan jaringan
albuminoid
Lapisan hyalin
Embrio sedang
membelah

Gambar 2.2 Telur Ascaris lumbricoides fertil

Lapisan albuminoid tipis

Bentuk lonjong
Inti berisi granula
Gambar 2.3 Telur Ascaris lumbricoides infertile

Lapisan kitin yang tebal

Embrio uniseluler yang


tidak berkembang

Gambar 2.4 Telur Ascaris lumbricoides decorticated

Di lihat dari morfologinya telur cacing Ascaris lumbricoides terdiri dari telur
yang telah di buahi (fertilized) dan telur yang tidak dibuahi (unfertilized). Telur
yang telah di buahi (fertilized) berukuran panjang antara 60 mikron dan 75
mikron, sedangkan lebarnya berkisar antara 40 dan 50mikron. Telur cacing ini
mempunyai kulit telur yang tidak berwarna yang sangat kuat. Di luarnya, terdapat
lapisan albumin yang permukaannya berdungkul (mamillation) yang berwarna
coklat oleh karena menyerap zat warna empedu. Di dalam kulit telur cacing
masih terdapat suatu selubung vitelin tipis, tetapi lebih kuat dari pada kulit telur.
Selubung vitellin meningkatkan daya tahan telur cacing Ascaris terhadap
lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai 1 tahun lamanya.
Telur yang telah di buahi ini mengandung sel telur(ovum) yang tidak bersegmen.
Di tiap kutub telur yang berbentuk lonjong atau bulat ini terdapat rongga udara
yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sabit.Telur yang tidak
di buahi (unfertilized) di jumpai di dalam tinja, bila di dalam tubuh hospes hanya
terdapat cacing betina. Telur ini bentuknya lebih lonjong dengan ukuran sekitar
80X55 mikron. Dindingnya tipis, berwarna coklat dengan lapisan albumin yang
tidak teratur.Sel telur mengalami atrofi, yang tampak dari banyaknya butir-butir
refraktil.Pada telur yang tidak di buahi tidak di jumpai rongga udara. Di dalam
tinja manusia kadang-kadang di temukan telur cacing Ascaris yang telah
kehilangan lapisan albuminnya, sehingga mungkin sulit untuk menentukan
diagnosis telur cacing. Sebagai pegangan, adanya ovum yang besar di dalam
telur cacing cukup untuk menentukan jenis telur Ascaris.(Soedarto, 1991).

1.2.3

Siklus Hidup

Gambar 2.5 Siklus hidup Ascaris lumbricoides

Keterangan :
1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus, seekor cacing betina
mampu menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang akan keluar
bersama feses.

2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective


setelah 18 hari sampai beberpa minggu di tanah.
3. Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum, lembab, hangat,
tempat teduh)
4. Telur infective tertelan
5. Masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian
menembus mucosa usus, masuk kelemjar getah bening dan aliran
darah dan terbawa sampai ke paru-paru
1.2.4

Patologi dan Gejala Klinik


Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa

dan larva.Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paruparu. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan
timbul gangguan paru yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia. Pada
foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan
ini disebut Sindrom Loffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa
biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus
ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi
berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat
keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal
dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing
dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau bronkus dan
menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan
operatif (Mansjoer 2000).

1.2.5 Diagnosa:
Diagnosa Laboratorium, dengan menemukan telur di dalam tinja.Selain
itu diagnosis dapat pula dibuat apabila cacing keluar sendiri baik melalui mulut,
hidung, maupun tinja. (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006)
1.2.6

Pengobatan dan Pencegahan


Pengobatan

dapat dilakukan

secara individu

atau massal pada

masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat


misalnya preparat Piperasin, Pyrantel pamoate, Albendazole atau Mebendazole.
Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu :
1. Mudah diterima di masyarakat.
2. Mempunyai efek samping yang minimum.
3. Bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing.
4. Harganya murah (terjangkau).
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menciptakan sanitasi lingkungan
yang bersih yaitu menyediakan fasilitas pembuangan sampah dan air limbah.
Keluarga yang pekerjaannya petani harus menggunakan sarung tangan apabila
menggunakan pupuk dari kotoran manusia atau hewan (Insley, 2005).

1.3

2.1.2 Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale)

1.3.1

Epidemiologi

Kasusnya banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada


pekerja di daerah perkebunan yang kontak langsung dengan tanah. Penyebaran
infeksi berhubungan dengan kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian
tinja sebagai pupuk kebun. Habitat yang cocok untuk pertumbuhan larva ialah
tanah yang gembur (misalnya humus dan pasir). Morbiditas kecacingan di
daerah endemik terutama diderita oleh anak-anak yang umurnya lebih tua. Pada
suatu penelitian setengah dari anak terinfeksi sebelum usia 5 tahun, 90%
terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas kecacingan bertambah sampai umur 6-7
tahun, kemudian stabil (Behrman, 2000) yaitu 10 tahun. Penyebab perbedaan
distribusi umur masih belum dipahami. Infeksi dapat dihindari dengan
menggunakan alas kaki (sandal atau sepatu). Pencegahan dapat dilakukan
dengan cara menghindari defekasi di sembarangan tempat (Onggowaluyo,
2002).
1.3.2
1.

Morfologi

Ancylostoma duodenale
Saluran buccal

esofagus

Gambar 2.6 Cacing Ancylostoma duodenale betina dan


jantan
Memiliki panjang badan 1 cm, menyerupai huruf C.dibagian mulutnya
terdapat dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada
bagian ekornya. Sedangkan cacing betina ekornya runcing.
2.

Necator americanus
anus

Saluran buccal

Gambar 2.7 Cacing Necator americanus betina dan jantan


Memiliki panjang badan 1 cm, menyerupai huruf S. bagian mulutnya
mempunyai benda kitin. Cacing jantan mempunyai bursa kopulaptriks pada
bagian ekornya. Sedangkan cacing betina ekornya runcing.

Dinding telur tipis

Embrio yang membelah

Gambar 2.8 Telur Hookworm

Telurnya berukuran 70 x 45 mikron, bulat lonjong, berdinding tipis, kedua


kutub mendatar. Di dalamnya terdapat beberapa sel. Larva rabditiformnya
memiliki panjang 250 mikron, rongga mulut panjang dan sempit, esophagus
dengan dua bulbus dan menempati 1/3 panjang badan bagian anterior.
Sedangkan larva filariform, panjangnya 500 mikron, ruang mulut tertutup,
esophagus menempati panjang badan bagian anterior. (Pinardi Hadidjaja dan
Srisasi Gandahusada, 2002)
1.3.3

Siklus Hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5

hari keluarlah larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform
tumbuh menjadi larva filariform, yang dapat menembus kulit dan dapat hidup
selama 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60 x
40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat
4-8 sel. Larva rabditiform panjangnya kira-kira 250 mikron, sedangkan larva
filariform panjangnya kira-kira 600 mikron (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita
Pribadi, 2006).

Gambar 2.9 Siklus hidup Hookworm

Tahap-tahap dari siklus hidup cacing ini adalah :


1. Telur dikeluarkan dalam tinja Nomor ,
2. Dalam kondisi yang menguntungkan (kelembaban , kehangatan, temaram),
larva menetas dalam 1 sampai 2 hari. Larva rhabditiform ini tumbuh dalam
tinja dan/atau tanah,
3. Setelah 5 sampai 10 hari (mengalami dua kali molting) menjadi filariform
larva (L3/tahap ketiga) yang infektif.
4. Infektif larva dapat bertahan 3 sampai 4 minggu dalam kondisi lingkungan
yang menguntungkan. Pada kontak dengan inang manusia, larva menembus
kulit dan dibawa melalui pembuluh darah ke jantung dan kemudian ke paruparu. Mereka menembus ke dalam alveoli paru , naik cabang bronkial menuju
faring , dan tertelan.

5. Larva mencapai usus kecil, tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing
dewasa hidup di lumen usus kecil, menempel pada dinding usus. Sebagian
besar cacing dewasa dieliminasi dalam 1 sampai 2 tahun, tapi umur panjang
bisa mencapai beberapa tahun.

1.3.4

Patologi dan Gejala Klinis

1) Stadium Larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi
perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan.

2) Stadium Dewasa
Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, serta keadaan gizi
penderita (Fe dan Protein). Tiap cacing Ancylostoma duodenale menyebabkan
kehilangan darah 0,08- 0,34 cc sehari, sedangkan Necator americanus 0,005 0,1cc sehari. Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu juga
terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada.
Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan
prestasi kerja menurun (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006).
1.3.5

Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan dengan melihat adanya gejala klinis berupa

keluhan tidak enak diperut yang tidak khas (abdominal discomfort), nampak
pucat karena anemia, perut buncit, rambut kering dan rapuh. Diagnose dapat

dipastikan dengan ditemukannya telur/cacing dewasa pada faeces penderita.


Pemeriksaan faeces yang meragukan pada sediaan langsung dapat dilanjutkan
dengan metoda pembiakan menurut Harada Mori, untuk mendapatkan larvanya.
Pemeriksaan faeces dengan Bensidine Test dapat menunjukkan adanya
perdarahan dalam usus penderita. Ditemukan kristal- kristal Charcot Leyden juga
dapat mengarahkan diagnosa. Pemeriksaan darah ditemukan gambaran
anaemia hypochronic microcitair dan eosinophillia.
1.3.6

Pengobatan
Obat

untuk

infeksi

cacing

tambang

adalah

Pyrantel

pamoate

(Combantrin, Pyrantin), Mebendazole (Vermox, Vermona, Vircid), Albendazole


akan melenyapkan atau mengurangi secara bermakna beban cacing tambang.
Pencegahan atau pelenyapan infeksi kecacingan tergantung kepada sanitasi dan
kemoterapi massal (Insley, 2005).

1.4

Trichuris trichiura

1.4.1

Epidemiologi
Penyebaran geografis cacing cambuk sama dengan cacing gelang

sehingga sering kali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu
hospes. Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan,
frekuensinya antara 30%-90%. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anakanak. Faktor yang terpenting dalam penyebaran cacing cambuk adalah
kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur cacing cambuk. Telur
berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimal

30C. Infeksi cacing cambuk terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut
bersama makanan atau minuman yang tercemar atau melalui tangan yang kotor.
Di daerah hiperentemik, infeksi dapat dicegah dengan pengobatan, pembuatan
MCK (mandi, cuci dan kakus) yang sehat dan teratur, penyuluhan pendidikan
tentang hygiene dan sanitasi pada masyarakat (Onggowaluyo, 2002).

1.4.2

Morfologi

Gambar 2.10 Cacing Trichuris trichiura betina dan jantan


Cacing jantan mempunyai panjang 4 cm, bagian anteriornya halus
seperti cambuk, dengan bagian ekor melingkar. Sedangkan cacing betina
panjangnya 5 cm, bagian anteriornya pun halus seperti cambuk, tetapi bagian

ekor lurus berujung tumpul. Telurnya mempunyai ukuran 50 x 22 mikron,


bentuk seperti tempayan dengan ujung menonjol, berdinding tebal dan berisi
larva (Pinardi Hadidjaja dan Srisasi Gandahusada, 2002).

embrio
Mucoid end plug

Gambar 2.11 Telur Trichuris trichiura


1.4.3

Siklus Hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja.Telur tersebut

menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu
pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang
berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung bila secara
kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan
masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus
bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Jadi cacing ini tidak
mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai
cacing

dewasa

betina

meletakkan

telur

Gandahusada, Ilahude,Wita Pribadi, 2006).

kira-kira

30-90

hari

(Srisasi

Gambar 2.12 Siklus hidup Trichuris trichiura


1.4.4

Patologi dan Gejala Klinis


Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama terjadi

karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi. Keadaan
ini erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur dan status
kesehatan umum dari hospes (penderita). Perkembangan larva cacing cambuk
didalam usus biasanya tidak memberikan gejala klinik yang berarti walaupun
dalam sebagian masa perkembangannya larva memasuki mukosa intestinum
tenue. Gejala pada infeksi ringan dan sedang anak gugup, susah tidur, nafsu
makan menurun, biasanya di jumpai nyeri epigastric, muntah, kontipasi, perut
kembung. Pada infeksi berat di jumpai mencret yang mengandung darah, lendir,
nyeri perut, anoreksia, anemia, dan penurunan berat badan,. Pada infeksi sangat

berat bisa terjadi prolapsus rekti akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi.
Gejala ini terjadi apabila cacing tersebar diseluruh kolon dan rectum
(Manjoer,2000).
1.4.5

Diagnosa
Diagnose pasti ditegakkan dengan menemukan telur yang khas pada

pemeriksaan faeces penderita. Bila pada pemeriksaan langsung tak ditemukan,


mungkin diperlukan pemeriksaan faeces lebih teliti yaitu dengan metode
konsentrasi (Manjoer,2000).
1.4.6

Pengobatan dan Pencegahan


Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing

cambuk adalah Albendazole/Mebendazole dan Oksantel pamoate untuk


melemahkan

dan

menghancurkan

perkembangbiakan

cacing

di

usus.

Kebersihan diri dan sanitasi lingkungan dapat mencegah terjadinya kecacingan


pada manusia (Behrman, 2000).
1.5

Pengetahuan Orang Tua

1.5.1

Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca


indra manusia, yakni: indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui oleh orang yang


didapat secara formal dan informal. Pengetahuan formal diperoleh dari
pendidikan sekolah sedangkan pengetahuan informal diperoleh dari luar sekolah.
Selain itu, pengetahuan juga dapat diperoleh dari media imformasi yaitu media
cetak seperti buku-buku, majalah, surat kabar, dan lain-lain, juga dari media
elektronika seperti televisi, radio, dan internet (Purwanto, 1996 dalam Sonny,
2001).
Rogers (1974, dalam Notoatmodjo, 2007) mengungkapkan bahwa
sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: 1) Awareness (kesadaran), dimana
orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap
stimulus (Objek). 2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek
tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul. 3) Evaluation (menimbangnimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini
berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4) Trial, di mana subjek tersebut
mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
stimulus. 5) Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Pengetahuan tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan
yaitu: 1) Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yanng diterima, 2) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan
menjelaskan

secara

benar

tentang

objek

yang

diketahui,

dan

dapat

menginterpretasi materi tersebut scara benar, 3) Aplikasi diartikan sebagai

kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan
kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau
situasi yang lain, 4) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu
struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitanya satu sama lain, 5) Sintesis
menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, 6) Evaluasi berkaitan
denagn kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Mengajak
orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap
suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, 7) Bertanggung jawab
atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap
paling tinggi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung dapat ditanya bagaimana pendapat atau pernyataan
respon terhadap suatu objek. Secara langsung dapat dilakukan dengan
pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo,
2007).
1.5.2

Pengertian Orangtua
Orangtua adalah sosok teladan yang akan diidentifikasi dan diinternalisasi

menjadi peran dan sikap oleh anak, maka salah satu tugas utama orangtua
adalah mendidik keturunannya, dengan kata lain dalam relasi antara anak dan
orangtua itu secara kodrati tercakup unsur

pendidikan

pengembangan

kepribadian anak dan mendewasakannya. Karena itu orangtua merupakan


pendidik paling pertama dan paling utama bagi anak-anaknya (Kartono, 1997).
1.5.3

Peran Orangtua
Gunarsa (195) menyatakan bahwa, dalam keluarga yang ideal (lengkap)

maka ada dua individu yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah dan
peran ibu. Berbagai peranan yang terdapat dalam orangtua adalah sebagai
berikut:
1)

Peran ibu : 1) Memenuhi kebutuhan biologis dan fisik, 2) Merawat dan


mengurus keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten, 3) Mendidik
mengatur dan mengendalikan anak, 4) menjadi contoh dan teladan bagi
anak. b. Peran ayah : 1) Sebagai pencari nafkah, 2) Sebagai suami yang
penuh pengertian dan memberi rasa aman, 3) Berpartisipasi dalam
pendidikan anak, 4) Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas,

2)

bijaksana, mengasihi keluarga.


Peran ayah : 1) Sebagai pencari nafkah, 2) Sebagai suami yang penuh
pengertian dan memberi rasa aman, 3) Berpartisipasi dalam pendidikan
anak, 4) Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana,
mengasihi keluarga.

1.6

Sanitasi Lingkungan Rumah

1.6.1

Definisi Sanitasi
Sanitasi lingkungan adalah suatu lingkungan yang mencakup perumahan,

pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebaginya (Notoadmojo, 2007 ).

Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia disamping sandang ,


pangan dan papan, sehingga rumah harus sehat agar penghuninya dapat
bekerja secara produktif. Konstruksi rumah dan lingkungannya yang tidak
memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sebagai sumber penularan
berbagai penyakit.
Upaya
ancaman

pengendalian

kesehatan

faktor risiko yang mempengaruhi

telah

diatur

dalam

Kepmenkes

timbulnya
RI

No.

829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan. Dalam


penilaian rumah sehat menurut Kepmenkes tersebut diatas, parameter rumah
yang dinilai meliputi lingkup 3 (tiga) kelompok komponen penilaian, yaitu :
1) Kelompok komponen rumah,meliputi langit-langit, dinding,lantai, jendela
kamar tidur, jendela kamar keluarga,ruang tamu, ventilasi, sarana
pembuangan asap dapur, pencahayaan,kelembaban, dan suhu.
A .Kepadatan Hunian
Luas rumah yang cukup memberikan ruang gerak bagi penghuninya,
sehingga terasa bebas dari resiko benturan dengan yang ada dalam rumah.
Kenyamanan dapat terjamin, karena sirkulasi udara berjalan baik tanpa
menimbulkan kejenuhan udara dalam ruangan yang di dalam terkandung zat-zat
buangan dari sesama penghuni misalnya CO2 dan kuman-kuman patogen.
Kepadatan hunian untuk seluruh rumah bisa dinyatakan dalam m2/orang.
Penggunaan luas lantai ini dimaksudkan untuk mennghindari penularan penyakit
pernafasan (droplet infection).Menurut WHO salah satu kriteria rumah sehat
adalah rumah tinggal yang memiliki luas lantai per orang minimal 10
m2.Sementara luas ruangan tidur minimal 8 m2, dan tidak dianjurkan digunakan

lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, keculi anak di bawah umur 5
tahun (Notoatmodjo, 2007).
B. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup Cahaya alamiah,
yakni cahaya matahari ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri
patogen dalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat
harus mempunyai jalan cahaya yang cukup. Sebaiknya jalan masuk cahaya
(jendela) luasnya sekurang - kurangnya 10% sampai 20% dari luas lantai yang
terdapat dalam ruang rumah. Jalan masuknya cahaya alamiah juga dihusahakan
dengan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat di buat secara sederhana, yakni
dengan melubangi genteng kaca biasa pada waktu pembuatannya, kemudian
menutupnya dengan pecahan kaca ( Notoatmodjo, 2007).
C. Ventilasi
Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah
tersebut tetap segar. Fungsi kedua dari pada ventilasi adalah untuk
membebaskan udara ruang dari bakteri -bakteri,terutama bakteri patogen. Fungsi
lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap didalam
kelembaban(humidity) yang optimum.Ada 2 macam ventilasi, yakni: Ventilasi
almiah, dimana aliran udara didalam ruangan tersebut secara alamiah melalui
jendela, pintu, lubang angin, lubang- lubang pada dinding dan sebagainya.
Dipihak lain ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan karana juga merupakan
jalan masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah . Untuk itu harus
ada usaha -usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan nyamuk tersebut.
Seperti pemasangan jaring-jaring nyamuk di setiap lubang ventilasi. Perlu di

perhatikan disini bahwa sistem pembuatan ventilasi harus di jaga agar udara
tidak berhenti atau membalik lagi, harus mengalir. Artinya di dalam ruangan
rumah harus ada jalan masuk dan keluarnya udara ( Notoatmodjo, 2007)
D .Suhu
Suhu sebaiknya berkisar antara 18 -20C. Suhu ruangan ini sangat
dipengaruhi oleh ( Chandra, 2007):
a)
b)
c)
d)
2)

suhu udara luar


pergerakan udara
kelembaban udara
suhu benda-benda yang ada disekitarnya

Kelompok sarana sanitasi, meliputi sarana air bersih, sarana pembuangan


kotoran, sarana pembuangan air limbah, dan sarana pembuangan sampah (

3)

Notoatmodjo, 2007) .
Kelompok perilaku penghuni, meliputi perilaku membuka jendela kamar
tidur, membuka jendela ruang keluarga dan tamu, membersihkan halaman
rumah, membuang tinja bayi/anak ke kakus, dan membuang sampah pada
tempatnya ( Notoatmodjo, 2007).

1.6.2

Penyediaan Air Bersih


Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara.

Air dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran


yang ada di sekitar rumah. Air digunakan untuk keperluan industri, pertanian,
pemadam kebakaran, transportasi, dan lain-lain. Penyakit-penyakit yang
menyerang manusia dapat juga ditularkan dan disebarkan melalui air (Chandra,
2007).Sumber daya air di bumi meliputi (Soesanto, 2001) :
1). Mata air (air tanah yang menyembul ke permukaan tanah).
2). Air tanah (air tanah tidak tertekan dan air tanah tertekan)
3). Sungai

4). Danau
5). Air laut
Untuk

kepentingan

masyarakat

sehari-hari,

persediaan

air

harus

memenuhi standar air minum dan tidak membahayakan kesehatan manusia.


Negara maju lebih menekankan standar kimia, sedangkan negara berkembang
lebih menekankan standar biologis. Menurut Chandra (2007) dikatakan bahwa
standar-standar untuk kelayakan air minum yang berlaku di Indonesia menurut
Permenkes RI No.01/Birhubmas/I/1975 adalah :
1) Standar fisik : suhu, warna, bau, rasa, kekeruhan.
2) Standar biologis : kuman, parasit, patogen, bakteri golongan koli (sebagai
patokan adanya pencemaran tinja).
3) Standar kimia : Ph, jumlah zat padat, dan bahan kimia lain.
4) Standar radioaktif : radioaktif yang mungkin ada dalam air (Chandra, 2007).
Air dapat merupakan medium pembawa mikroorganisme patogenik yang
berbahaya bagi kesehatan. Patogen yang sering ditemukan di dalam air
terutama adalah bakteri-bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan seperti
Vibrio cholera penyebab penyakit kolera, Shigella dysentriae , penyebab
paratifus , virus polio dan hepatitis, dan Entamoeba histolyca penyebab disentri
amuba. Jumlah dan jenis mikroorganisme di dalam air dipengaruhi oleh sumber
air tersebut.
Sumur merupakan sumber utama persediaan air bersih bagi penduduk
yang tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan Indonesia. Secara teknis
sumur dapat dibagi menjadi 2 jenis :
1) Sumur dangkal
Sumur dangkal memiliki sumber air yang berasal dari resapan air hujan di
atas permukaan bumi terutama di daerah dataran rendah. Jenis sumur ini

banyak terdapat di Indonesia dan mudah sekali terkontaminasi air kotor yang
berasal dari kegiatan mandi-cuci-kakus.

2) Sumur dalam
Sumur dalam memiliki sumber air yang berasal dari proses purifikasi
alami air hujan oleh lapisan kulit bumi menjadi air tanah.
Persyaratan membuat sanitasi sumur yang sehat adalah :
1) Sumur berjarak maksimal 10 meter dan terletak lebih tinggi dari sumber
pencemaran seperti kakus, kandang ternak, tempat sampah dan sebagainya.
2) Dinding sumur harus dilapisi dengan batu yang disemen. Pelapisan dinding
paling tidak sedalam 6 meter dari permukaan tanah.
3) Saluran pmbuangan air harus dibuat menyambung dengan parit agar tidak
terjadi genangan air di sekitar sumur.
4) Sumur sebaiknya ditutup dengan penutup terbuat dari batu terutama pada
sumur umum. Manfaat dari tutup sumur agar mencegah terkontaminasi air
sumur dari penyakit.
5) Sumur harus dilengkapi dengan pompa tangan/listrik. Pemakaian timba dapat
memperbesar terjadinya kontaminasi.

1.6.3

Jamban
Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan

mengumpulkan kotoran yang lazim disebut WC, sehingga kotoran atau najis
tersebut berada dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau
penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman (Heru, 1995). Manfaat
jamban untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dan pencemaran dari

kotoran manusia (Chandra, 2007). Pembuangan tinja yang tidak saniter akan
menyebabkan berbagai macam penyakit seperti: diare, Cholera, disentri,
poliomyelitis, ascariasis dan sebagainya. Selain menimbulkan bau, mengotori
lingkungan juga merupakan media penularan penyakit pada masyarakat.
Menurut Chayatin (2009), jenis-jenis jamban dibedakan berdasarkan konstruksi
dan cara menggunakannya yaitu:
1. Jamban Cemplung
Bentuk jamban ini adalah yang paling sederhana. Jamban cemplung ini
hanya terdiri atas sebuah galian yang di atasnya diberi lantai dan tempat
jongkok. Lantai jamban ini dapat dibuat dari bambu atau kayu, tetapi dapat juga
terbuat dari batu bata atau beton. Jamban semacam ini masih menimbulkan
gangguan karena baunya
2. Jamban Plengsengan
Jamban semacam ini memiliki lubang tempat jongkok yang dihubungkan oleh
suatu saluran miring ke tempat pembuangan kotoran. Jadi tempat jongkok dari
jamban ini tidak dibuat persis di atas penampungan, tetapi agak jauh. Jamban
semacam ini sedikit lebih baik dan menguntungkan daripada jamban cemplung,
karena baunya agak berkurang dan keamanan bagi pemakai lebih terjamin
3. Jamban Bor
Dinamakan demikian karena tempat penampungan kotorannya dibuat
dengan menggunakan bor. Bor yang digunakan adalah bor tangan yang disebut
bor auger dengan diameter antara 30-40 cm. Jamban bor ini mempunyai
keuntungan, yaitu bau yang ditimbulkan sangat berkurang. Akan tetapi kerugian
jamban bor ini adalah perembesan kotoran akan lebih jauh dan mengotori air
tanah

4. Angsatrine (Water Seal Latrine)


Di bawah tempat jongkok jamban ini ditempatkan atau dipasang suatu alat
yang berbentuk seperti leher angsa yang disebut bowl. Bowl ini berfungsi
mencegah timbulnya bau. Kotoran yang berada di tempat penampungan tidak
tercium baunya, karena terhalang oleh air yang selalu terdapat dalam bagian
yang melengkung. Dengan demikian dapat mencegah hubungan lalat dengan
kotoran
5. Jamban di Atas Balong (Empang)
Membuat jamban di atas balong (yang kotorannya dialirkan ke balong)
adalah cara pembuangan kotoran yang tidak dianjurkan, tetapi sulit untuk
menghilangkannya, terutama di daerah yang terdapat banyak balong. Sebelum
kita berhasil menerapkan kebiasaan tersebut kepada kebiasaan yang diharapkan
maka cara tersebut dapat diteruskan dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Air dari balong tersebut jangan digunakan untuk mandi
b.

Balong tersebut tidak boleh kering

c. Balong hendaknya cukup luas


d.

Letak jamban harus sedemikian rupa, sehingga kotoran selalu jatuh di air

e.

Ikan dari balong tersebut jangan dimakan

f.

Tidak terdapat sumber air minum yang terletak sejajar dengan jarak 15
meter

g. Tidak terdapat tanam-tanaman yang tumbuh di atas permukaan air

6. Jamban Septic Tank


Septic tank berasal dari kata septic, yang berarti pembusukan secara
anaerobic. Nama septic tank digunakan karena dalam pembuangan kotoran

terjadi proses pembusukan oleh kuman-kuman pembusuk yang sifatnya


anaerob. Septic tank dapat terdiri dari dua bak atau lebih serta dapat pula terdiri
atas satu bak saja dengan mengatur sedemikian rupa (misalnya dengan
memasang beberapa sekat atau tembok penghalang), sehingga dapat
memperlambat pengaliran air kotor di dalam bak tersebut. Dalam bak bagian
pertama akan terdapat proses penghancuran, pembusukan dan pengendapan.
Dalam bak terdapat tiga macam lapisan yaitu:
a. Lapisan yang terapung, yang terdiri atas kotoran-kotoran padat
b. Lapisan cair
c. Lapisan endap
Perjalanan agent penyebab penyakit melalui cara transmisi seperti dari
tangan, maupun melalui peralatan yang terkontaminasi atau pun melalui mata
rantai lainnya. Dimana memungkinkan tinja atau kotoran yang mengandung
agent penyebab infeksi masuk melalui saluran pencernaan Chandra, 2007).
Jamban yang sehat adalah jamban yang memenuhi syarat sebagai berikut
(Depkes RI, 1998):
1) Tidak mencemari sumber air minum (untuk ini letak lubang penampungan
kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari sumber air minum).
2) Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.
3) Air seni, air pembersih dan penggelontor tidak mencemari tanah di
sekitarnya.
4) Mudah dibersihkan, aman digunakan, dan harus terbuat dari bahan-bahan
yang kuat dan tahan lama.
5) Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna
6)
7)
8)
9)

terang.
Cukup penerangan dan lantai kedap air.
Luas ruangan cukup.
Ventilasi cukup baik.
Tersedia air dan alat pembersih.

Cara memelihara jamban sehat (Depkes RI, 1998) :


1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering.


Disekeliling jamban tidak ada genangan air.
Tidak ada sampah yang berserakan.
Rumah jamban dalam keadaan baik.
Lalat, tikus, dan kecoa tidak ada.
Tersedia alat pembersih.
Bila ada bagian yang rusak segera diperbaiki atau diganti.

1.6.4

Pengelolaan Sampah
Sampah adalah suatu bahan/benda aktivitas manusia yang tidak dipakai

lagi, tidak disenangi atau padat yang terjadi karena berhubungan dengan di
buang dengan cara-cara saniter kecuali buangan yang berasal dari tubuh
manusia (Kusnoputranto,2000). Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat
secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung adalah karena
kontak langsung dengan sampah misalnya sampah beracun. Pengaruh tidak
langsung dapat dirasakan akibat proses pembusukan, pembakaran dan
pembuangan sampah. Efek tidak langsung dapat berupa penyakit bawaan,
vektor yang berkembang biak di dalam sampah. Mengingat efek daripada
sampah terhadap kesehatan maka pengelolaan sampah harus memenuhi kriteria
sebagai berikut :
1) Tersedia tempat sampah yang dilengkapi dengan penutup.
2) Tempat sampah terbuat dari bahan yang kuat, tahan karat, permukaan
bagian dalam rata dan dilengkapi dengan penutup.
3) Tempat sampah dikosongkan setiap 1 x 24 jam atau 2/3 bagian telah terisi
penuh.
4) Jumlah dan volume tempat sampah disesuaikan dengan volume sampah
yang dihasilkan setiap kegiatan.

5) Tersedia tempat pembuangan sampah sementara yang mudah terjangkau


kendaraan pengangkut sampah dan harus dikosongkan sekurang-kurangnya
3x24 jam.
Pembuangan kotoran, air buangan dan sampah serta pemeliharaan
lingkungan juga penting dalam penanggulangan penyebaran cacingan. Hal ini
dibuktikan oleh Pasaribu (2004) di Kabupaten Karo yang menemukan 45,8%
sampel tanah yang diperiksa mengandung telur cacing gelang.
1.6.5

Pengelolaan Air Limbah


Menurut Ehless dan Steel dalam Chandra (2007), air limbah adalah

cairan buangan yang berasal dari rumah tangga, industri, dan tempat-tempat
umum lainnya dan biasanya mengandung bahan-bahan atau zat yang dapat
membahayakan

kehidupan

manusia

serta

mengganggu

kelestarian

lingkungan.Sarana pembuangan air limbah yang sehat harus memenuhi


persyaratan teknis sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)

Tidak mencemari sumber air bersih.


Tidak menimbulkan genangan air yang menjadi sarang serangga/nyamuk.
Tidak menimbulkan bau.
Tidak menimbulkan kelembaban dan pandangan yang tidak menyenangkan.
Untuk itu pengelolaan limbah harus memiliki persyaratan teknis apabila

belum ada atau tidak terjangkau oleh system pengelolaan limbah perkotaan.
Kualitas air limbah yang dibuang ke lingkungan harus mempunyai persyaratan
baku mutu air limbah sesuai peraturan.
Rumah adalah tempat tinggal suatu keluarga yang dilengkapi dengan
berbagai fasilitas pendukungnya seperti sarana jalan, saluran air kotor, tempat

sampah, sumber air bersih, lampu jalan, dan lain-lain (Chandra, 2007). Kriteria
rumah yang sehat dan aman dari segi lingkungan, antara lain:
1) Memiliki sumber air bersih dan sehat serta tersedia sepanjang tahun.
2) Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik.
3) Dapat mencegah terjadi perkembangbiakan vektor penyakit, seperti nyamuk,
lalat, tikus, dan sebagainya.
4) Letak perumahan jauh dari sumber pencemaran dengan jarak minimal 5 km,
memiliki daerah penyangga atau daerah hijau (green belt) dan bebas
banjir(Chandra, 2007).
Penelitian Damayanti seperti yang dikutip Hidayat (2002) menunjukkan
adanya hubungan yang erat antara interaksi faktor lingkungan tempat tinggal
dengan prevalensi cacing pada anak sekolah dasar.Tingginya prevalensi cacing
gelang pada anak sekolah dasar di desa disbanding dengan di kota
menunjukkan adanya perbedaan hygiene dan sanitasi lingkungan Penelitian
tersebut menggambarkan bahwa adanya infeksi ganda cacing gelang di desa
lebih tinggi dibanding dengan di kota. Hal ini menunjukkan lingkungan pedesaan
merupakan faktor predisposisi untuk anak-anak sekolah dasar di desa.Menurut
Ismid et al . (1980) seperti yang dikutip Hidayat (2002), di halaman rumah telur
cacing gelang banyak ditemukan di sekitar tumpukan sampah (55%) dan tempat
teduh di bawah pohon (33,3%). Penelitian Hadidjaja et al (1989) menunjukkan
bahwa 14-12% sampel air got yang diperiksa ternyata positip mengandung telur
cacing. Telur cacing juga banyak ditemukan di sekitar sumur, tempat cuci, dekat
jamban, pinggiran kali bahkan dekat di dalam rumah. Kepadatan penghuni dalam
rumah juga berperan terhadap penularan kecacingan

You might also like