You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

Cidera Kepala Berat


(CKB) - Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan intertisial dalam substansi
otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Tarwoto, 2007: 125).
Hampir semua orang dalam hidupnya mengalami beberapa bentuk
trauma kepala. Lansia, bayi, dan mereka yang bermasalah seperti
penyalahgunaan alkohol, terapi anti-koagulasi khususnya rentan untuk
konsekuensi serius setelah cedera kepala. Di Indonesia, cedera kepala
adalah penyebab utama kecacatan dan kematian dewasa di bawah usia
40 tahun yang mempunyai dampak penting pada pasien cedera otak,
keluarga dan masyarakat. Berbagai derajat gejala termasuk kehilangan
kesadaran sementara atau permanen, mual, muntah, sakit kepala, pusing,
dan hilang ingatan mungkin tampak terkait dengan keparahan cedera
kepala. Tanda dan gejala cedera kepala mungki terjadi langsung atau
berkembang perlahan setelah beberapa jam hingga hari. Bahkan jika
cedera tidak serius ditemukan, pengamatan hati-hati oleh seorang
dewasa yang bertanggung jawab, baik di rumah atau rumah sakit harus
dilakukan dalam 24-48jam pertama setelah cedera.
(Http://www.cederakepala.com/2011)
Pengobatan disesuaikan, tergantung keparahan dan jangkauan cedera.
Pengobatan berkisar mulai observasi tanda memburuk seperti rasa
kantuk, meningkatnya sakit kepala atau pusing (cedera kepala minor)

untuk mengambil gumpalan darah pada otak untuk meringankan tekanan


pada otak (disebabkan oleh gumpalan darah) atau pemasukan monitor
tekanan otak (cedera kepala akut). (Tarwoto, 2007)

B.

Tujuan

1.

Tujuan Umum
Setelah dilakukan seminar tentang Cedera Kepala Berat

(CKB) diharapkan mahasiswa mampu memahami secara kognitif, motorik


dan afektif serta dapat menerapkan asuhan keperawatan yang tepat dan
komprehensif sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan klien
dan memperpendek masa perawatan klien di rumah sakit.
2.

Tujuan Khusus
Setelah dilakukan seminar diharapkan:

a.

Mahasiswa mampu memahami tentang definisi CKB

b.

Mahasiswa mampu memahami tentang etiologi CKB

c.

Mahasiswa mampu memahami tentang klasifikasi dari CKB

d.

Mahasiswa mampu memahami tentang manifestasi klinik CKB

e.

Mahasiswa mampu memahami tentang patofisiologi dari CKB

f.

Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan CKB

g.

Mahasiswa mampu memahani tentang asuhan keperawatan dari CKB

yang meliputi pengkajian, Analisa data dan Diagnosa Keperawatan,


Intervensi keperawatan, Implementasi Keperawatan, dan evaluasi
keperawatan.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.

Definisi
Cedera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat

adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun
efek sekunder dari trauma yang terjadi. (Sylvia & Price, 2006).
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma fungsi yang disertai
perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti continuitas otak
(Sjamsuhidajat, 2002). Resiko utama yang terjadi pada pasien cedera
kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan
otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.
Cedera kepala adalah pukulan atau benturan mendadak pada kepala
dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Tucker, 2002 ).
Cedera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak,
commusio (gegar) serebri, contusio (memar) serebri, laserasi dan
perdarahan serebral yaitu diantaranya subdural, epidural, intraserebral,
dan batang otak (Doenges, 2000:270).
Cidera kepala diklasifikasikan berdasarkan:
1.

2.

Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak


a.

Cidera kepala terbuka

b.

Cidera kepala tertutup

Cidera pada jaringan otak (secara anatomis)


a.

Commusio serebri (gegar otak)

b.

Edema serebri

c.

Contusio serebri (memar otak)

d.

Laserasi
1)

Hematoma epidural

2)

Hematoma subdural

3)

Perdarahan sub arakhnoid


(Ergan, 2001:642)

3.

Adanya penetrasi durameter (secara mekanisme)

a.

4.

Cidera tumpul
1)

Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)

2)

Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)

b.

Cidera tembus

c.

Luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya

Tingkat keparahan cidera (berdasarkan GCS)


a.

Cidera Kepala Ringan (CKR) GCS 13-15

b.

Cidera Kepala Sedang (CKS) GCS 9-12

c.

Cidera Kepala Berat (CKB) GCS 3-8

GCS (Glasgow Coma Scale)


Membuka mata (E)
Spontan

:4

Dipanggil/diperintah

:3

Tekanan pada jari/rangsang nyeri

:2

Tidak berespon

:2

Respon Verbal (V)


Orientasi baik: dapat bercakap-cakap

:5

Bingung, dapat bercakap tapi disorientasi : 4


Kata yang diucapkan tidak tepat, kacau

:3

Tidak dapat dimengerti, mengerang

:2

Tidak bersuara dengan rangsang nyeri

:1

Respon Motorik
Mematuhi perintah
Menunjuk lokasi nyeri

:6
:5

Reaksi fleksi

:4

Fleksi abnormal thdp nyeri (postur dekortikasi)

:3

Ekstensi abnormal

:2

Tidak ada respon, flacid

:1

5.

Berdasarkan morfologi
a.

Fraktur tengkorak

1)

Kranium: linear/ stelatum, depresi/ non depresi, terbuka/

tertutup.
2)

Basis: dengan/ tanpa kebocoran cairan cerebrospinal, dengan/

tanpa kelumpuhan nervus VIII


b.

B.

Lesi intra cranial


1)

Foxal: epidural, subdural, intraserebral

2)

Difus: konkusi ringan/ klasik, cidera aksonal difus.

Etiologi
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan

kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas ( Mansjoer, 2000:3).
Penyebab cidera kepala antara lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian,
terjatuh, dan cidera olah raga. Cidera kepala terbuka sering disebabkan
oleh peluru atau pisau (Corkrin, 2001:175).
C.

Patofisiologi
Cidera kepala dapat terjadi karena benturan benda keras, cidera kulit

kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya.


Cidera bervariasi dari luka kulit yang sederhana sampai gegar otak, luka
terbuka dari tengkotak, disertai kerusakan otak, cidera pada otak, bisa
berasal dari trauma langsung maupun tidak langsung pada kepala.
Trauma tak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan
yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher.
Trauma langsung bila kepala langsung terbuka, semua itu akibat
terjadinya akselerasi, deselerasi, dan pembentukan rongga,
dilepaskannya gas merusak jaringan syaraf.
Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya.

Kerusakan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh
kompresi, goresan, atau tekanan.
Cidera yang terjadi waktu benturan mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansia alba, cidera robekan, atau
hemmorarghi.
Sebagai akibat, cidera skunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto
regulasi serebral dikurangi atau tidak ada pada area cidera,
konsekuensinya meliputi hiperemia (peningkatan volume darah,
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, tekanan
intra cranial) (Huddak & Gallo, 2000:226).
Pengaruh umum cidera kepala juga bisa menyebabkan kram, adanya
penumpukan cairan yang berlebihan pada jaringan otak, edema otak akan
menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial yang dapat
menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak. rauma pada
kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang
terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin
besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan
menuju Galia Aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh
perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga
akan menyebabkan haematoma epidural, subdura maupun intracranial,
perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke
otak menurun sehingga suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia
jaringan akan menyebabkan edema cerebral. Akibat dari haematoma
diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke
arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan TIK (Tekanan
Intrakranial) merangsang kelenjar Pitultary dan Steroid adrenal sehingga
sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah
dan anoreksia sehingga masukan nutrisi kurang. (Price and Wilson,
2006:1010).
D.

Manifestasi Klinik

Berdasarkan anatomis

1.

Gegar otak (comutio selebri)


a.

Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa

kehilangan kesadaran
b.

Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa

detik/menit

2.

3.

c.

Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah

d.

Kadang amnesia retrogard

Edema serebri
a.

Pingsan lebih dari 10 menit

b.

Tidak ada kerusakan jaringan otak

c.

Nyeri kepala, vertigo, muntah

Memar otak (kontusio selebri)


a.

Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi

tergantung lokasi dan derajad


b.

Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan

c.

Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)

d.

Penekanan batang otak

e.

Penurunan kesadaran

f.

Edema jaringan otak

g.

Defisit neurologis

h.

Herniasi

4.

Laserasi

a.

Hematoma Epidural

talk dan die tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan,
merupakan periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa
jam, menyebabkan penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda
hernia):

b.

1)

Kacau mental koma

2)

Gerakan bertujuan tubuh dekortikasi atau deseverbrasi

3)

Pupil isokhor anisokhor

Hematoma subdural
1)

Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid,

biasanya karena aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.


2)

Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan

epidura
3)

Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai

dengan berbulan-bulan

c.

4)

Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)

5)

Perluasan massa lesi

6)

Peningkatan TIK

7)

Sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang

8)

Disfasia

Perdarahan sub arachnoid


1)

Nyeri kepala hebat

2)

Kaku kuduk

Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)


1.

Cidera kepala Ringan (CKR)

2.

a.

GCS 13-15

b.

Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit

c.

Tidak ada fraktur tengkorak

d.

Tidak ada kontusio celebral, hematoma

Cidera Kepala Sedang (CKS)


a.

GCS 9-12

b.

Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang

dari 24 jam
c.
3.

Dapat mengalami fraktur tengkorak

Cidera Kepala Berat (CKB)

c.

a.

GCS 3-8

b.

Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam


Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma

intracranial (Hudak dan Gallo, 2001:226)

E.

Komplikasi
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma

intrakranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak.


a.

Edema serebral dan herniasi


Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada

pasien yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi


kira kira 72 jam setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan
tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh
pembengkakan otak diakibatkan trauma.
Sebagai akibat dari edema dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan pada
jaringan otak dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung pada
tempat pembengkakan, perubahan posisi kebawah atau lateral otak
(herniasi) melalui atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan
iskemia, infark, dan kerusakan otak irreversible, kematian.
b.

Defisit neurologik dan psikologik


Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti

anosmia (tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan


mata, dan defisit neurologik seperti afasia, defek memori, dan kejang post
traumatic atau epilepsy. Pasien mengalami sisa penurunan psikologis
organic (melawan, emosi labil) tidak punya malu, emosi agresif dan
konsekuensi gangguan.
c.

Kebocoran cairan cerebrospinal,


dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2

6 % pasien dengan cidera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan


dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase
lumbai dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki
resiko meningitis yang meningkat (biasanya pneumolok), pemberian
antibiotik profilaksis masih kontoversial. Otorea atau rinorea cairan
cerebrospinal yang menentap atau meningitis berulang merupakan
indikasi untuk operasi reparatif.
d.

Fistel Karotis-Kavernosus,

ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosisi dan bruit orbital


dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cidera. Anglografi
diperlukan untuk konformasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon
endovaskular merupakan cara yang paling efektif dan dapat mencegah
hilangnya penglihatan yang permanen.
e. Diabetes Incipidus,
dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien
mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan
hipernatremia dan deplesi volum. Vasopresin arginin (pitressin) 5 10 unit
intravena, intramuscular, atau subkutan setiap 4 6 jam atau
desmopressin asetat subkutan atau intravena 2 4 mg setiap 12 jam,
diberikan untuk mempertahankan pengeluaran urin kurang dari 200
ml/jam, dan volume diganti dengan cairan hipotonis (0,25 5 atau 0,45 %
salin) tergantung pada berat ringannya hipernatremia.
f. Kejang Pascatrauma,
dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predesposisi untuk kejang lanjut. Kejang dini menunjukkan resiko yang
meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan
dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut
(berulang, tanpa provokasi) setelah cidera kepala tertutup adalah 5 %;
resiko mendekati 20 % pada pasien dengan perdarahan intrakranial ayau
fraktur depresi.
g.

Pneumonia, radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolidasi.

h.

Meningitis Ventrikulitis

i.

Infeksi saluran kemih

j.

Perdarahan gastrointestinal

k.
l.

Sepsis asam negatif


Kebocoran CSS

Komplikasi lain secara traumatik:

1.

Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis)

2.

Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis,

ventikulitis, abses otak)


3.

Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)

Komplikasi lain:
1.

Peningkatan TIK

2.

Hemorarghi

3.

Kegagalan nafas

4.

Diseksi ekstrakranial

Komplikasi menurut
F.

Penatalaksanaan CKB (Cidera Kepala Berat)


1.

Penatalaksanaan Keperawatan
a.

Menjamin kelancaran jalan nafas dan control vertebra

cervicalis
b.

Menjaga saluran nafas tetap bersih, bebas dari secret

c.

Mempertahankan sirkulasi stabil

d.

Melakukan observasi tingkat kesadaran dan tanda tanda vital

e.

Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai

terjadi hiperhidrasi
f.

Menjaga kebersihan kulit untuk mencegah terjadinya

decubitus
g.
2.

Mengelola pemberian obat sesuai program

Penatalaksanaan Medis
a.

Oksigenasi dan IVFD

b.

Terapi untuk mengurangi edema serebri (anti edema)


Dexamethasone 10 mg untuk dosis awal, selanjutnya:

c.

1)

5 mg/6 jam untuk hari I dan II

2)

5 mg/8 jam untuk hari III

3)

5 mg/12 jam untuk hari IV

4)

5 mg/24 jam untuk hari V

Terapi neurotropik: citicoline, piroxicam

d.

Terapi anti perdarahan bila perlu

e.

Terapi antibiotik untuk profilaksis

f.
g.

Terapi anti konvulsi bila klien kejang

h.

Terapi diazepam 5-10 mg atau CPZ bila klien gelisah

i.
G.

Terapi antipeuretik bila demam

Intake cairan tidak boleh > 800 cc/24 jam selama 3-4 hari

Pemeriksaan Diagnostik
1.

X Ray tengkorak
Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.

2.

CT Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark

pada jaringan mati.


3.

MRI (Magnetic Resonan Imaging)


Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan

gelombang elektomagnetik.
4.

Pemeriksaan Laboratorium
Kimia darah: mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.

5.

Pemeriksaan analisa gas darah


Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha

pernafasan.

DAFTAR PUSTAKA
Price A. S et al. 2005. Patofisiologi. Jakarta : EGC
Smeltzer C. S & B.G. Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC

Sudoyo, W. A et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC


Barbara C Long, Perawatan Medikal Bedah (Terjemahan), Yayasan IAPK
Padjajaran Bandung, September 1996, Hal. 443 450.
Hudak dan Gallo. 2000. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. Kapita selekta Kedokteran (Efusi Pleura), Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, 2002, Hal.206
208.
Soeparman. 2006. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Kedua, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan
intervensi NIC dan NOC kriteria hasil NOC.

You might also like