Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Sectio caesaria merupakan suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi
pada dinding abdomen dan uterus, permasalahan yang sering muncul pada klien dengan
post op Sectio caesaria (SC) adalah tentang kemampuan ibu mengenai mobilisasi
setelah tindakan pembedahan. Gangguan mobilisasi adalah suatu keadaan keterbatasan
kemampuan pergerakan fisik secara mandiri yang dialami seseorang. Masalah
mobilisasi ini dapat diatasi dengan pemberian Rom Pasif mapun aktif.
. Data yang diambil pada bulan November 2009 di RSUD yaitu dengan
melakukan wawancara kepada 10 ibu post sc didapatkan kenyataan bahwa terdapat 6
ibu yang tidak melakukan mobilisasi yang disebabkan oleh berbagai alasan, diantaranya
ibu merasakan nyeri pada luka post sc. Rasa nyeri masih dirasakan 2-3 hari setelah
pembedahan dan umumnya membuat ibu untuk malas untuk melakukan mobilisasi atau
menggerakkan badan dengan alasan jahitan takut lepas.
Klien dengan persalinan dengan sc pasti sebelum dilakukan akan anastesi hal ini
bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri atau sakit saat dilakukan insisi. Obat dan
tekhnik anastesi pada umumnya dapat mengganggu fungsi nafas, peredaran darah dan
sistem saraf. Klien yang pulih dari anastesi akan merasa kesakitan sehingga
mobilisasinya menjadi terganggu. Kebanyakan dari pasien masih mempunyai
kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca pembedahan akan
mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh yang baru saja selesai
dikerjakan. Padahal tidak sepenuhnya masalah ini perlu dikhawatirkan, bahkan justru
hampir semua jenis operasi membutuhkan mobilisasi atau pergerakan badan sedini
mungkin asalkan rasa nyeri dapat ditahan dan keseimbangan tubuh tidak lagi menjadi
gangguan. Pergerakan pada masa pemulihan akan mempercepat pencapaian level
kondisi seperti pra pembedahan
Pemberian mobilisasi bermanfaat untuk proses pemulihan ibu post sc, karena
jika tidak dilakukan mobilisasi maka akan berdampak pada ibu sendiri seperti
peningkatan suhu tubuh, thrombosis, involusi yang tidak baik, aliran darah tersumbat,
1
dan peningkatan intensitas nyeri (Suryani, 2010). Jika klien tmengalami gangguan
mobilisasi dan Rom pasif maupun aktif tidak dilakukan oleh ibu post sc mengakibatkan
rawat inap menjadi lebih lama, yaitu lebih dari 4 hari dan proses penyembuhan luka
menjadi lebih lambat (Purnawati, 2014). Dampak lain yang diakibatkan oleh
keterlambatan mobilisasi adalah terjadinya infeksi. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Anggriani, Suwandi & Wahyuni (2014) menyebutkan banyak
pasien post SC yang dalam tiga hari masih terdapat tanda-tanda infeksi di sekitar area
luka karena tidak melakukan mobilisasi dini post SC.
Tahap-tahap mobilisasi dengan pemberian Rom pasif pada pasien post SC
adalah pada 6 jam pertama setelah operasi, pasien harus tirah baring dan hanya bisa
menggerakan lengan, tangan, menggerakan ujung jari kaki dan 2 memutar pergelangan
kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki
dengan dibantu oleh petugas kesehatan. Pasien diharuskan untuk miring kiri dan kanan
setelah 6-10 jam untuk mencegah thrombosis dan thromboemboli. Setelah 24 jam pasien
dianjurkan belajar duduk, kemudian dilanjutkan dengan belajar berjalan (Kasdu, 2003).
Setelah itu, klien diharapkan bisa melakukan teknik mobilisasi dengan Rom aktif secara
mandiri.
Berdasarkan data-data di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan pengelolaan
yang ditujukan dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah dengan judul Asuhan Keperawatan
Pada klien Dengan Post Operasi Sectio Caesaria dengan gangguan mobilisasi fisik.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah data yang diperoleh dari pengkajian klien dengan post sc?
2. Apa diagnosa keperawatan yang bisa ditegakkan pada klien dengan post sc?
3. Apa saja intervensi yang dapat diambil pada klien dengan post sc?
4. Bagaimanakah implementasi terhadap klien dengan post sc?
5. Bagaimanakah evaluasi terhadap klien dengan post sc?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum studi kasus ini adalah agar dapat menyusun asuhan keperawatan
dan mengatasi masalah pada klien dengan post sc yang mengalami gangguan mobilisasi
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan studi kasus ini adalah untuk:
1. Mmperoleh data pengkajian pada klien dengan post sc.
2. Menegakkan diagnosa pada klien dengan post sc.
ini
memberikan
masukan
bagi
profesi
dalam
mengembangkan asuhan keperawatan pada klien dengan post sectio caesaria dengan
ketidatahuan ibu tentang mobilisasi dini.
2. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pamahaman peneliti dalam
melakukan penelitian
3. Bagi Peneliti yang akan datang
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan,
khususnya bagi ilmu keperawatan dan penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada reperitonial yang
baik.
Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan.
Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi dibandingkan dengan
luka SC profunda. Ruptur uteri karena luka bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada
akhir kehamilan, sedangkan pada luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi
dalam persalinan.
Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya ibu yang telah
mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi. Sekurang -kurangnya dapat istirahat
selama 2 tahun. Rasionalnya adalah memberikan kesempatan luka sembuh dengan
baik. Untuk tujuan ini maka dipasang akor sebelum menutup luka rahim.
d. Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim
kira-kira 10cm
Kelebihan :
Penjahitan luka lebih mudah
Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi uterus ke rongga
perineum
Perdarahan kurang
Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri spontan lebih kecil
Kekurangan :
Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat menyebabkan arteri
uteri putus yang akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.
2.1.3 Etiologi
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri
iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin
adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio
caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut:
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat
melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang
yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin
ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau
panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami
sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan
bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul
menjadi abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan
dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan
perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah
penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi
eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan
dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini
adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu.
4. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran
kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu
bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang
sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan
lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Kelainan Letak Janin
a. Kelainan pada letak kepala
1. Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba UUB yang
paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya bundar, anaknya
kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
2. Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak paling
rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
3. Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah dan tetap
paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya akan berubah
menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
b. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan
kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal
beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki,
sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (Saifuddin,
2002).
2.1.4 Patofisiologi
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr
dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan ini
yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta previa
dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan letak lintang
setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari aspek kognitif
berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek fisiologis yaitu
produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya
sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu
diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama
karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap janin
maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan upnoe
yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan
pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri
sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas
yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot nafas silia yang
menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan
mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang menurun
maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan menumpuk dan
karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat beresiko terhadap aspirasi
sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu motilitas yang menurun juga
berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi.
(Saifuddin, Mansjoer & Prawirohardjo, 2002)
10
2.1.7 Penatalaksanaan
1. Perawatan awal
11
Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama, kemudian tiap
30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15 menit sampai sadar
Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
Transfusi jika diperlukan
Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera kembalikan ke
kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah pemberian
minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh
dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin
setelah sadar
Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk
(semifowler)
Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari
ke5 pasca operasi.
4. Fungsi gastrointestinal
Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah semalam
Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih
12
Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang sampai minimum 7
Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu banyak jangan
mengganti pembalut
Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk
mengencangkan
Ganti pembalut dengan cara steril
Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit dilakukan pada
hari kelima pasca SC
8. Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas demam
selama
48 jam :
Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam
Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam
Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam
13
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan caboransia
seperti neurobian I vit. C
intra abdomen
Pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila terjadi obstruksi
kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang mungkin disebab-kan karena pengaruh
obat-obatan, anestetik, narkotik dan karena tekanan diafragma. Selain itu juga penting
untuk mempertahankan sirkulasi dengan mewaspadai terjadinya hipotensi dan aritmia
kardiak. Oleh karena itu perlu memantau TTV setiap 10-15 menit dan kesadaran selama
op seperti ambulasi dan nafas dalam untuk mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah, frekuensi nadi dan
nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin Berikan infus dengan jelas, singkat dan
Persiapan
kulit
pembedahan
abdomen,
Persetujuan ditandatangani.
14
mobilitas
Nursing Diagnosis
fisik
Association
(immobilisasi)
(NANDA)
didefinisikan
sebagai
suatu
oleh
kedaaan
North
dimana
American
individu
yangmengalami atau beresiko mengalami keterbatsan gerakan fisik. Individu yang mengalami
atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik antara lain : lansia, individu dengan penyakit
yang mengalami penurunan kesadaran lebih dari 3 hari atau lebih, individu yang kehilangan
fungsi anatomic akibat perubahan fisiologik (kehilangan fungsi motorik,klien dengan stroke,
klien penggunaa kursi roda), penggunaan alat eksternal (seperti gipsatau traksi), dan pembatasan
gerakan volunteer (Potter, 2005).
2.2.2 Tujuan Mobilisasi
15
16
melakukan mobilisasi dengan cara yang sehat misalnya; seorang ABRI akan berjalan dengan
gaya berbeda dengan seorang pramugari atau seorang pemambuk.
2. Proses penyakit dan injuri
Adanya penyakit tertentu yang di derita seseorang akan mempengaruhi mobilitasnya
misalnya; seorang yang patah tulang akan kesulitan untukobilisasi secara bebas. Demikian
pula orang yang baru menjalani operasi. Karena adanya nyeri mereka cenderung untuk
bergerak lebih lamban. Ada kalanya klien harus istirahat di tempat tidurkarena mederita
penyakit tertentu misallya; CVA yang berakibat kelumpuhan, typoid dan penyakit
kardiovaskuler.
3.
Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengarumi poa dan sikap dalam melakukan aktifitas misalnya;
seorang anak desa yang biasa jalan kaki setiap hari akan berebda mobilitasnya dengan anak
kota yang biasa pakai mobil dalam segala keperluannya. Wanita kraton akan berbeda
mobilitasnya dibandingkan dengan seorang wanita madura dan sebagainya.
4.
Tingkat energi
Setiap orang mobilisasi jelas memerlukan tenaga atau energi, orang yang lagi sakit akan
berbeda mobilitasnya di bandingkan dengan orang sehat apalagi dengan seorang pelari.
5.
17
TINGKAT
KATEGORI
AKTIVITAS/ MOBILITAS
0
Mampu
1
2
penuh
Memerlukan penggunaan alat
Memerlukan
bantuan
merawat
sendiri
secara
atau
18
19
3. Pola aktifitas
Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas seperti biasanya, terbatas pada
aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga banyak, cepat lelah, pada klien nifas
didapatkan keterbatasan aktivitas karena mengalami kelemahan dan nyeri.
4. Pola eleminasi
Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering /susah kencing selama masa
nifas yang ditimbulkan karena terjadinya odema dari trigono, yang menimbulkan inveksi
dari uretra sehingga sering terjadi konstipasi karena penderita takut untuk melakukan
BAB.
5. Istirahat dan tidur
Pada klien nifas terjadi perubagan pada pola istirahat dan tidur karena adanya kehadiran
sang bayi dan nyeri epis setelah persalinan
6. Pola hubungan dan peran
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan keluarga dan orang lain.
7. Pola penagulangan sters
Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas
8.
20
2. Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tioroid, karena adanya proses
menerang yang salah
3. Mata
Terkadang adanya pembengkakan paka kelopak mata, konjungtiva, dan kadang-kadang
keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses persalinan yang mengalami perdarahan,
sklera kunuing
4. Telinga
Biasanya bentuk telingga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya, adakah cairan yang
keluar dari telinga.
5. Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum kadang-kadang ditemukan pernapasan
cuping hidung
6.
Dada
Terdapat adanya pembesaran payu dara, adanya hiper pigmentasi areola mamae dan papila
mamae
7. Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa nyeri. Fundus uteri 3 jari
dibawa pusat.
8. Genitaliua
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila terdapat pengeluaran
mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam kandungan menandakan adanya kelainan
letak anak.
9. Anus
Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena ruptur
10. Ekstermitas
Pemeriksaan odema untuk mrlihat kelainan-kelainan karena membesarnya uterus, karenan
preeklamsia atau karena penyakit jantung atau ginjal.
11. Tanda-tanda vital
Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah turun, nadi cepat, pernafasan
meningkat, suhu tubuh turun.
21
No
1
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Nyeri akut berhubungan Setelah
Intervensi
asuhan 1. Lakukan
diberikan
klien
berkurang
dengan
pengkajian
nyeri
se
atau
hasil:
diperutnya
nonanalgetik
(relaksasi,
beristirahat,
dan
beraktivitas
sesuai
kemampuan
Hambatan mobilisasi fisk b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat kemampuan klien untu
2. Kaji pengaruh aktivitas terhadap k
tindakan anastesi, kelemahan keperawatan klien dapat
kondisi tubuh umum
melakukan aktivitas tanpa
3. Bantu klien untuk memenuhi kebu
adanya komplikasi dengan
sehari-hari
kriteria hasil klien mampu 4. Bantu klien untuk melakukan tinda
melakukan
aktivitasnya
22
secara mandiri.
resep
5. Anjurkan klien dan pengunjung
gejala infeksi
Mendeskripsikan
penularan
serta
penatalaksanaannya,
Menunjukkan
kemampuan
untuk mencegah timbulnya
infeksi
Jumlah leukosit dalam batas
normal
Menunjukkan perilaku hidup
sehat
23
mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital,
transversal, dan frontal. Potongan sagital adalah garis yang melewati tubuh dari
depan ke belakang, membagi tubuh menjadi bagian kiri dan kanan. Potongan
frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh menjadi bagian depan
ke belakang. Potongan transversal adalah garis horizontal yang membagi tubuh
menjadi bagian atas dan bawah.
Mobilisasi sendi disetiap potongan dibatasi oleh ligamen, otot, dan
konstruksi sendi. Beberapa gerakan sendi adalah spesifik untuk setiap potongan.
Pada potongan sagital, gerakannya adalah fleksi dan ekstensi (jari-jari tangan dan
siku) dan hiperekstensi (pinggul). Pada potongan frontal, gerakannya adalah
abduksi dan adduksi (lengan dan tungkai) dan eversi dan inversi (kaki). Pada
potongan transversal, gerakannya adalah pronasi dan supinasi (tangan), rotasi
internal dan eksternal (lutut), dan dorsifleksi dan plantarfleksi (kaki).
Ketika mengkaji rentang gerak, perawat menanyakan pertanyaan dan
mengobservasi
dalam
mengumpulkan
data
tentang
kekakuan
sendi,
pembengkakan, nyeri, keterbatasan gerak, dan gerakan yang tidak sama. Klien
yang memiliki keterbatasan mobilisasi sendi karena penyakit, ketidakmampuan,
atau trauma membutuhkan latihan sendi untuk mengurangi bahaya imobilisasi.
Latihan tersebut dilakukan oleh perawat yaitu latihan rentang gerak pasif. Perawat
menggunakan setiap sendi yang sakit melalui rentang gerak penuh.
Gerakan dapat dilihat sebagai tulang yang digerakkan oleh otot ataupun gaya
eksternal lain dalam ruang geraknya melalui persendian. Bila terjadi gerakan,
maka seluruh struktur yang terdapat pada persendian tersebut akan terpengaruh,
yaitu: otot, permukaan sendi, kapsul sendi, fasia, pembuluh darah dan saraf.
Pengertian ROM lainnya adalah latihan gerakan sendi yang
memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien
menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara
aktif ataupun pasif. Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan
untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan
menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa
otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005).
24
2.4.2
1.
2.
3.
4.
5.
1. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali sehari
2. ROM di lakukan berlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien.
3.
4. Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan ROM adalah leher, jari,
lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.
5.
ROM dapat di lakukan pada semua persendian atau hanya pada bagianbagian yang di curigai mengalami proses penyakit.
6.
25
ROM Aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien) dengan
menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan membimbing
klien dalam melaksanakan pergerakan sendiri secara mandiri sesuai dengan
rentang gerak sendi normal (klien aktif). Keuatan otot 75 %.
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif. Sendi yang digerakkan pada ROM aktif
adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri
secara aktif.
b. ROM Pasif
ROM Pasif yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang
lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian klien
sesuai dengan rentang gerak yang normal (klienpasif). Kekuatanotot 50 %.
Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien
dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua
latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan
paralisis ekstermitas total (suratun, dkk, 2008).
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang digerakkan pada ROM
pasif adalah seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu
dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.
2.4.6
1. ROM Aktif :
Indikasi :
a.
Pada saat pasien dapat melakukan kontraksi otot secara aktif dan
26
d.
Indikasi :
a.
27
7.
8.