Professional Documents
Culture Documents
Diusulkan oleh:
C0310022 / 2010
K2208047 / 2008
murid yang bersekolah hingga kelas 5 SD; 3) proporsi murid yang tamat SD; dan
4) melek huruf di usia 15-24 tahun, masing-masing sebesar 100% (BAPPENASUNDP, 2008).
Pada pelaksanaannya, pencapaian target Indonesia terbilang sukses selama
kurun waktu terakhir, diindikasikan dari meningkatnya tingkat partisipasi baik di
jenjang SD maupun SMP dari tahun 1994-2010, dari 94,6% menjadi 97,96% untuk
jenjang SD, dan dari 72,39% menjadi 86,11% untuk jenjang SMP (BPS, 2009a).
Akan tetapi, tingkat partisipasi yang cukup tinggi ini masih belum dibarengi
dengan tingkat kelulusan siswa yang sepadan di mana pada tahun 2004-2005,
angka kelulusan di jenjang SD hanya berkisar 75%, dan tidak berubah secara
signifikan di tahun-tahun berikutnya (BAPPENAS-UNDP, 2008). Hal ini
menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan di Indonesia masih sebatas pada
memberikan akses agar semua anak bisa sekolah, tetapi belum mampu
menyediakan pendidikan yang utuh bagi mereka. Kenyataannya, banyak anak
yang tidak bisa bersekolah dengan lancar di sekolah dasar. Ada yang tidak naik
kelas atau bahkan terpaksa berhenti. Saat ini misalnya, sekitar 9% anak harus
mengulang di kelas 1 SD. Sementara pada setiap jenjang kelas, sekitar 5% putus
sekolah. Akibatnya, sekitar seperempat anak Indonesia tidak lulus dari SD (ibid).
Ketimpangan yang dipaparkan di atas tidak perlu terjadi apabila pendidikan
Indonesia mampu menjamin kualitas yang bermutu bagi setiap peserta didik.
Dengan kata lain, Indonesia masih memiliki tugas besar dalam meningkatkan
kualitas pendidikannya yang jauh tertinggal dari negara-negara lain. Salah satu
pilar yang diyakini berperan penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan,
bahkan taraf hidup sebuah bangsa, adalah tingkat literasi bangsa tersebut (EFA
Global Monitoring Report 2006, 2005; Freebody, 2007; Wagner, 2011).
Sayangnya, pencapaian target pemberantasan buta huruf yang dicanangkan
Indonesia dalam MDGs 2015 masih belum sepenuhnya mengakomodir tingkat
literasi membaca masyarakat Indonesia. Sebuah riset yang dilakukan oleh PIRLS
(Progress in International Reading Literacy Study) di tahun 2006 menunjukkan
bahwa rata-rata skor prestasi literasi membaca siswa kelas IV Indonesia berada
signifikan di bawah rata-rata internasional. Indonesia berada pada posisi 41 dari 45
negara peserta (Balitbang Kemendikbud, 2011). Dapat disimpulkan, tingkat literasi
membaca siswa di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara lain.
Dengan mempertimbangkan beberapa hal tersebut, penulis mengusung
sebuah gagasan pengimplementasian Book Report ke dalam kurikulum bahasa di
tingkat sekolah dasar sebagai suatu upaya peningkatan literasi membaca siswa.
Book Report selama ini lebih dikenal di kalangan akademisi pendidikan tinggi, dan
digunakan untuk mengembangkaan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dalam
menganalisis, menginterpretasi, maupun mengevaluasi bacaan tertentu. Dalam
prakteknya, tidak semua mahasiswa memiliki kompetensi yang memadai dalam
menghasilkan report yang baik, salah satu penyebabnya adalah tidak ada atau
sangat minimnya pengalaman dalam mengkaji hal serupa di jenjang pendidikan
sebelumnya. Hal inilah yang kemudian menggugah penulis untuk menerapkan
konsep Book Report dalam bentuk yang lebih sederhana dan menyenangkan bagi
siswa sekolah dasar. Metode Book Report akan mengembangkan budaya kritis
anak karena dengan rasa ingin tahu yang tinggi mereka akan mencoba mencari
tahu hal-hal asing dalam bacaan. Selain itu, kebebasan yang diberikan kepada anak
untuk memilih sendiri bahan bacaannya di awal dapat merangsang motivasi anak
untuk membaca secara sadar tanpa beban maupun paksaan. Variasi jenis bacaan
serta tampilan menarik yang ditawarkan konsep Book Report ini juga akan
memperluas cakrawala pengetahuan anak, sekaligus menghindarkan anak dari
kebosanan terhadap aktivitas membaca. Book Report dipercaya mampu
meningkatkan motivasi sekaligus taraf literasi membaca anak, meningkatkan daya
nalar kritis dan kreativitas anak sehingga anak tidak sekedar melek aksara, tetapi
juga mampu menggunakan aksara tersebut secara dinamis dalam memperoleh dan
menerapkan ilmu pengetahuannya. Pada akhirnya, harapan akan kualitas
pendidikan Indonesia yang lebih baik dapat tercapai.
Tujuan dan Manfaat Penulisan
Karya tulis ini bertujuan untuk mendeskripsikan rendahnya tingkat literasi
membaca di kalangan siswa Indonesia yang mengindikasikan rendahnya kualitas
pendidikan Indonesia, serta menjelaskan bagaimana Book Report dapat
diimplementasikan dalam pembelajaran bahasa sebagai solusi untuk meningkatkan
literasi membaca siswa sekolah dasar, yang pada akhirnya berkontribusi bagi
peningkatan kualitas pendidikan Indonesia.
METODE
Metode yang digunakan dalam menyusun karya tulis ini adalah metode
studi pustaka. Penulis menggunakan beragam referensi yang berupa data primer
berupa artikel dari jurnal-jurnal ilmiah maupun data sekunder dari buku, surat
kabar, leaflet, maupun artikel yang diperoleh dari internet. Data-data yang
terkumpul kemudian dianalisis menggunakan model interaktif, yakni data
direduksi (data reduction), ditampilkan (data display), kemudian ditarik
kesimpulan (data verification/conclusion).
PEMBAHASAN
Kondisi Terkini Pencetus Gagasan
Budaya membaca sebagai salah satu indikator kemajuan suatu bangsa
sampai saat ini masih belum ditemukan di Indonesia (BPS, 2009b). Padahal
kegiatan membaca memiliki banyak manfaat dan merupakan kunci utama dalam
mengakses ilmu pengetahuan. Manfaat membaca diantaranya: Pertama, membaca
mendorong anak untuk berswadaya dan mengembangkan sumber yang ada dalam
dirinya. Saat anak menyukai membaca sebagai permainan (kesenangan), mereka
tidak saja membentuk sikap yang sehat terhadap kegiatan membaca melainkan
mendapatkan kemahiran membaca sebagai penunjang studi. Kedua, membaca
mendorong timbulnya kreativitas di mana anak meletakkan dasar bagi kegiatan
kreatifnya sendiri. Salah satu metode pengukuran kreativitas adalah dengan
melihat kemampuan kata yang dapat dikaitkan anak dengan suatu kata yang
diberikan. Dalam hal ini, wawasan dan perbendaharaan kata anak yang gemar
membaca lebih luas daripada mereka yang jarang membaca. Membaca juga dapat
memberi wawasan tentang masalah anak dan menawarkan petunjuk penyelesaian.
Selain itu, membaca menjadikan anak menemukan sumber identifikasi yang sesuai
dengan kebutuhan dan menimbulkan motivasi membentuk kepribadiannya sendiri.
Dalam hal ini, anak seringkali tidak mempunyai tokoh idola karena beberapa hal.
Oleh karena itu, mereka mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang mereka
baca (Hurlock, 1999).
Ironisnya, budaya membaca di Indonesia sangat rendah, atau dapat
dikatakan belum terbangun sama sekali. Masyarakat Indonesia lebih memilih
mengakses informasi dari media televisi daripada media cetak seperti surat kabar
maupun majalah. Bahkan, angka penduduk yang menonton televisi tiap tahunnya
meningkat, berbanding terbalik dengan angka penduduk yang membaca surat
kabar maupun majalah. Kondisi ini digambarkan pada tabel berikut.
Tabel 1. Indikator Sosial Budaya Tahun 2003, 2006, 2009
2003 2006
No.
Indikator (Persentase)
(%) (%)
1. Penduduk berumur 10 tahun ke atas yang
50,29 40,26
mendengar radio
2. Penduduk berumur 10 tahun ke atas yang
84,94 85,86
menonton televisi
3. Penduduk berumur 10 tahun ke atas yang
23,70 23,46
membaca surat kabar/majalah
4. Penduduk berumur 10 tahun ke atas yang
25,45 23,23
melakukan olah raga
Sumber: BPS, 2009b.
2009
(%)
23,50
90,27
18,94
21,76
ini sebagai cara efektif pelestarian nilai luhur kebudayaan melalui pilihan buku
cerita rakyat.
Penerapan metode ini diyakini akan memberikan peningkatan signifikan
dalam peningkatan kompetensi anak, utamanya empat keterampilan berbahasa
(membaca, menulis, menyimak, dan berbicara). Misalnya, dalam kemampuan
menulis. Anak dengan budaya membaca tinggi akan memiliki kosakata yang lebih
kaya sehingga memiliki beberapa alternatif untuk dituangkan, meskipun capaian
kebahasaan yang ditargetkan untuk anak di level paling dasar (misalnya kelas 1
dan 2 SD) hanya sebatas kelas kata (vocabulary). Saat pengajar meminta pendapat
anak tentang buku yang dibaca, seorang dengan budaya baca tinggi dapat
memberikan jawaban variatif seperti cool, marvelous, bahkan tremendous;
sedangkan anak tanpa budaya baca cenderung hanya memiliki dua pilihan kata:
good atau bad.
Kekayaan perbendaharaan kata pada kasus di atas tidak hanya
menunjukkan kemanfaatan budaya baca dalam peningkatan penggunaan ingatan,
melainkan sebagai indikator kesadaran berbahasa (language awareness). Anak
berbudaya baca akan satu tingkat lebih maju dalam penggunaan kata yang
dimilikinya. Mereka secara sadar mengetahui perbedaan masing-masing kata
sehingga dapat mempertimbangkan penggunaannya. Sedangkan anak tanpa
budaya baca, dengan minimnya perbendaharaan kata yang dimiliki, cenderung
berpraktik pada robotic language. Kasus-kasus saat siswa latah menjawab I am
fine, thank you. And you? ketika guru berkata How are you? menjadi contoh
nyata kurangnya kesadaran membaca. Anak menjadi tidak perlu
mempertimbangkan jawaban lain saat pola tertentu telah terinternalisasi sebagai
jawaban tanpa pembaruan.
Penerapan metode ini selama 6 tahun secara kontinyu memberikan
keyakinan besar pada peningkatan kompetensi anak secara berjenjang. Proses
pembelajaran dalam metode yang sama dengan muatan bahasan dan bacaan yang
semakin kompleks akan menunjukkan skala perubahan yang bertahap. Seorang
anak dengan budaya baca akan terlihat berbeda dengan penggunaan kata good,
great, marvelous, dan tremendous dalam menilai sesuatu secara bertahap.
Sedangkan anak tanpa budaya baca (yang diindikasikan dengan tidak adanya input
pengetahuan baru) hanya akan menggunakan kata good selama proses
pembelajaran.
Karena pola perilaku dan sikap yang dibentuk pada masa awal kehidupan
cenderung menetap (Hurlock, 1999), program 6 tahun dasar book report diyakini
akan menjadi metode yang cukup kuat sebagai pondasi awal pembentukan budaya
baca anak Indonesia.
Prosedur Pengimplementasian Book Report
Book Report merupakan bentuk integratif pengajaran guna meningkatkan
empat keterampilan berbahasa anak (membaca, menulis, menyimak, dan
berbicara). Melalui metode ini setiap anak akan diberikan buku bacaan (aspek
membaca) untuk kembali menceritakan isi buku pada teman-temannya (aspek
berbicara). Selama storytelling, semua anak akan berusaha mendengar cerita
kawannya (aspek menyimak) agar dapat berpartisipasi dalam diskusi (aspek
berbicara) dan menjawab pertanyaan tertulis dari pengajar (aspek menulis).
DEPKEU RI. 2011. Nota Keuangan dan RAPBN 2012. Diakses 12 April 2012 dari
http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=876
EFA Global Monitoring Report 2005. 2004. The Quality Imperative. Paris:
UNESCO. Diperoleh 12 April 2012 dari http://unesdoc.unesco.org/images
/0013/001373/137333e.pdf.
EFA Global Monitoring Report 2006. 2005. Literacy for Life. Paris: UNESCO.
Diperoleh 12 April 2012 dari http://unesdoc.unesco.org/images/0014/
001416/141639e.pdf.
Freebody, Peter. 2007. Literacy Education in School, Research Perspectives from
the Past, to the Future. Victoria: ACER Press.
Hurlock, Elizabeth B. 1999a. Perkembangan Anak Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Penerbit
Erlangga.
SOLOPOS Online. 2012. Perpustakaan Sekolah : Lebih dari 300 SD Belum
Memiliki
Perpustakaan.
Diperoleh
12
April
2012
dari
http://www.solopos.com/2012/karanganyar/perpustakaan-sekolah-lebih-dari300-sd-belum-memiliki-perpus-159526
Suara Kawan. 2012. Perpustakaan SDN di Sidoarjo Kekurangan Buku. Diperoleh
12 April 2012 dari http://suarakawan.com/2012/03/07/perpustakaan-sdn-disidoarjo-kekurangan-buku/
Timur Ekspres. 2012. Kekurangan Buku, SD 147 Butuh Perpustakaan. Diperoleh
12 April 2012 dari http://www.timurekspres.com/berita-3891-kekuranganbuku-sd-147-butuh-perpustakaan.html.
UNICEF. 2000. Defining Quality in Education. A paper presented by UNICEF at
the meeting of The International Working Group on Education Florence, Italy,
June 2000. New York: United Nations Children Fund.
UN General Assembly. 2005. Resolution Adopted by the General Assembly.
Diperoleh 12 April 2012 dari http://www.un.org/millennium/declaration/
ares552e.htm
Wagner. 2011. Smaller, Quicker, Cheaper: Improving Learning Assessment for
Developing Countries. Paris: UNESCO.
World Summit Outcome. 2005. Diperoleh 12 April 2012 dari http://www.un.org/
Docs/journal/asp/ws.asp?m=A/RES/60/1)
YKAI. 2012. Diperoleh 12 April 2012 dari http://www.ykai.net/index.
php?option=com_content&view=article&id=80&Itemid=174
www.ehow.com