You are on page 1of 86

Halaman 1 dari 86

Mengikuti Manhaj Salaf Dalam Segala Hal


Oleh Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan

Dalam memahami Islam, dalam bentuk apapun, baik masalah ibadah, syariah,
muamalah; terutama masalah aqidah, harus mengikuti sebagaimana ulamaulama Salaf memahaminya. Sebagai contoh dalam memahami al Qur`an dan al
Hadits, kita tidak boleh lepas dari pemahaman ulama-ulama Salaf. Mengapa harus
mengikuti para salaf?
Karena

para

sahabat,

tabiin,

tabiut-tabiin,

mereka

adalah

yang

paling

memahami tentang Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam. Begitu pula kita harus mengikuti imam-imam Ahlus Sunnah, karena
mereka sangat memahami tentang Islam. Apa yang difatwakan mereka adalah
untuk kebaikan bagi kaum Muslimin. Memang, para imam-imam tersebut tidak
mashum, tetapi, mereka itu adalah mujtahid. Sedangkan ciri Ahlus Sunnah, di
antaranya ialah mengikuti para ulama dalam memahami dalil, terutama masalah
fitnah yang dimunculkan oleh firqah-firqah. Sebagai contoh, yaitu Khawarij dan
Syiah.
Khawarij, mereka salah dalam memahami ayat :








Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-oang yang kafir. [al Maidah/5 : 44].
Kelompok Khawarij tidak rela terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah Ali
Radhiyallahu anhu kepada Muawiyah Radhiyallahu anhu, dan akhirnya mereka
mengkafirkan Ali Radhiyallahu anhu. Setelah itu, muncullah kelompok yang
mengatasnamakan pendukung Ali Radhiyallahu anhu yang dipimpin oleh
Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang kemudian menyatakan masuk Islam,
dan pada akhirnya nanti sebagai bibit pertama munculnya Syiah. Tokoh ini sangat
berlebihan dalam mencintai Ali Radhiyallahu anhu. Dia menyatakan, bahwa
berdasarkan wasiat dari Rasul Shallallahu alaihi wa sallam, katanya, Ali
Radhiyallahu anhu lebih berhak menjadi khalifah. Bahkan Syiah sampai
mengangkat Ali sebagai ilah (sesembahan). Kedua firqah ini muncul pada zaman
Khalifah Ali Radhiyallahu anhu.
Firqah lain yang juga muncul, yaitu Qadariyah dan Murjiah. Firqah Qadariyah
sendiri telah ada sejak zaman Rasul Shallallahu alaihi wa sallam.
Dalam kitab Syarah Ushul Itiqad Ahli Sunnah, karya Al Lalikai (I/35-36)
disebutkan, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata : Orang-orag musyrik
Quraisy mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Mereka mendebat Nabi

Halaman 2 dari 86

Shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah qadar, maka turunlah firman Allah
Azza wa Jalla.

[Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan
dalam neraka al Qamar/54 ayat 47-].
Disebutkan dalam al Lalikai, halaman 36, ketika terjadi perdebatan di antara para
sahabat dalam masalah qadar, dan didengar oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam, maka beliau Shallallahu alaihi wa sallam memarahi dan melarang mereka
untuk mengulang-ulang pembicaraan tersebut. Dalam riwayat Muslim, dari Yahya
bin Yamar, sesungguhnya ia berkata : Orang yang pertama kali berbicara
tentang al qadr di Basrah adalah, Mabad al Juhani.
Madzhab Qadariyah berpandangan, bahwa Allah Subhanahu wa Taala tidak
mentaqdirkan sesuatu dan Dia tidak mengetahuinya. Menurut paham sesat
Qadariyah, Allah mengetahui setelah suatu kejadian itu terjadi. Dari pemahaman
ini, berarti ada dua kesimpulan. Pertama, ingkar terhadap ilmu Allah sebelum
sesuatu itu terjadi. Kedua, berarti hamba itu terjadi dengan sendirinya, bukan dari
Allah. [Lihat al Lalikai, 1/36-37].
Sedangkan Murjiah, mereka mempunyai pandangan, apabila seseorang yang
beriman, melakukan dosa maka dosanya itu tidak mempengaruhi keimanannya.
Sebagaimana orang kafir, sekalipun melakukan ketaatan, akan tetapi ketaatan itu
tidak

mempengaruhi

kekufurannya.

Mereka

menyangka,

iman

itu

hanya

pembenaran di dalam hati saja. [Syarah Aqidah Washithiyah, Harrasy, hlm. 188]
Jadi, pada zaman pertengahan Khalifah Ali Radhiyallahu anhu, telah muncul
bidah-bidah Khawarij, Murjiah, Qadariyah, Syiah. Kemudian pada tahun 100-150
H muncullah nama pemuka ahli bidah, di antaranya Muqatil bin Sulaiman, Jahm
bin Shafwan, Al Jad bin Dirham dan Washil bin Atha. Mereka ini, masing-masing
mempunyai pemikiran dan diikuti oleh jamaahnya.
Kemudian pada tahun 150-234 H, seiring dengan munculnya empat tokoh ahli
bidah tersebut, muncul bidah-bidah dalam pemikiran, di antaranya :
1. Manzilah bainal manzilatain (satu tempat di antara dua tempat), yaitu tidak
mukmin

tidak

kafir.

2. Masalah dosa besar.


3. Muncul bidah yang menyatakan bahwa al Qur`an itu makhluk.
4. Bidah yang menafikan (menolak) Asma wa Shsifat (nama-nama dan sifat-sifat
Allah), atau mentawilnya.
5. Bidah Jabariyah, yang berpandangan bahwa manusia itu dipaksa oleh Allah,
dan manusia sama sekali tidak mempunyai kekuatan kehendak.

Halaman 3 dari 86

Inilah bidah-bidah yang muncul pada saat itu, yang pada zaman Khalifah Ali
Radhiyallahu anhu. Dan bidah yang pada waktu kemudian bermunculan, banyak
terpengaruh oleh pemikiran atau filsafat Yunaniyah, merupakan produk dari akal
manusia yang jahil, menyimpang dari al Qur`an dan as Sunnah dan pemahaman
Salaful Ummah.
Adapun firqah-firqah yang muncul pada masa sekarang ini, semuanya menginduk
kepada empat firqah tersebut, bisa ke Mutazilah, Syiah, Khawarij, atau Murjiah.
Kesesatan firqah-firqah tersebut bisa karena mereka melampui batas dalam
melaksanakan perintah, ataupun meninggalkan yang semestinya boleh dilakukan.
Yakni, mereka terjatuh ke dalam al ifrath (terlalu mengagungkan) dan at tafrith
(berlebih-lebihan). Padahal Islam itu wasath (tengah-tengah), di antara al ifrath
dan

at

tafrith.

Artinya,

tidak

boleh

berlebih-lebihan,

dalam

batas

yang

disyariatkan. Islam itu lurus.


Firqah-firqah itu menisbatkan diri kepada Islam dan berbicara tentang Islam. Dan
dalam membicarakan Islam, firqah-firqah tersebut menggunakan akal dan filsafat
Yunani. Apabila al Qur`an dan Hadits bertentangan dengan akal dan filsafat,
mereka akan mendahulukan akalnya daripada al Qur`an dan as Sunnah. Maka
jelaslah, pemikiran semacam ini menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Dan harus diwaspadai, karena pola pemikiran seperti ini beredar di perguruan
tinggi-perguruan

tinggi

Islam.

Sehingga

tak

mustahil

bisa

melahirkan

kecenderungan berpikir sangat berbahaya. Terlebih lagi bagi masyarakat kita


yang mayoritas awam dan sangat kagum dengan orang yang mempunyai gelar
kesarjanaan.
Dalam makalah ini, kami akan mengemukakan beberapa contoh, bahwa Islam itu
berada di tengah-tengah, di antara al ifrath dan at tahrith, tidak kurang dan tidak
berlebihan. Naskah yang ditulis oleh Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan ini,
diangkat dari Tahdzib, Tashil al Aqidah al Islamiyah, Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al
Jibrin. Semoga bermanfaat.
DALAM MASALAH IBADAH
Dalam masalah aqidah ini, pemahaman Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah,
antara pemikiran Rafidhah dan ad Duruz an Nushairiyah
Rafidhah, mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Taala, tetapi tidak
sebagaimana yang disyariatkanNya, seperti dalam berdzikir, tawasul. Dzikir
mereka amalkan ialah dengan dipimpin, dan secara berjamaah. Mereka juga
bertawasul kepada orang-orang shalih yang sudah meninggal, membuat acaraacara bidah, seperti Maulid Nabi, Isra` Mi`raj, mendirikan bangunan di atas
kubur, kemudian shalat dan thawaf, serta menyembelih di atasnya. Perbuatan

Halaman 4 dari 86

yang mereka amalkan sangat melampui batas, hingga mereka menyembah dan
berdoa kepadanya, dengan maksud untuk mendatangkan manfaat dan menolak
madharat (bahaya, musibah). Misalnya

dengan maksud minta

kaya

dan

keselamatan, serta menolak bala` (musibah).


Ad Duruz an Nushairiyah, mereka tidak melaksanakan ibadah-ibadah yang biasa
dilakukan oleh kaum Muslimin. Mereka meninggalkan shalat, tidak berpuasa, tidak
zakat, tidak berhaji dan seterusnya.
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan
yang disyariatkan di dalam al Qur`an dan as Sunnah. Tidak meninggalkan yang
diwajibkan oleh Allah, dan tidak menambah dengan hal-hal baru yang tidak ada
contohnya dari Rasul. Berdasarkan hadits :










Barangsiapa membuat-buat suatu yang baru dalam agama ini yang tidak berasal
darinya, maka itu tertolak. [Muttafaq alaih]



Barangsiapa melakukan satu amalan yang tidak ada dalam agama kami ini, maka
itu tertolak. [HR Muslim]






Amma badu, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaikbaik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, serta
seburuk-buruknya adalah perkara baru yang dibuat-buat. Dan setiap yang bidah
itu adalah sesat. [HR Muslim].
DALAM MASALAH ASMA`DAN SIFAT ALLAH
Pemahaman Ahlus Sunnah dalam asma` dan sifat Allah berada di tengah-tengah
di antara kelompok-kelompok Muaththilah (yang menafikan) dan kelompok yang
Mumatstsilah (yang menyamakan Allah dengan makhluk). Di antara Muaththilah
ada yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah, seperti Jahmiyah.
Juga ada yang mengingkari sifat-sifat Allah, seperti Mutazilah, dan ada yang
mengingkari sebagian sifat-sifat Allah, seperti al Asyariyah. Mereka ini, dalam
menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah bersandar kepada akal manusia,
bukan dengan al Qur`an dan as Sunnah.
Al Mumatstsilah, yaitu kelompok yang menjadikan sifat Allah sama seperti sifat
makhluk. Seperti mengatakan tangan Allah seperti tangan kami, pendengaran

Halaman 5 dari 86

Allah seperti pendengaran kami, dan seterusnya. Pemahaman seperti ini berbeda
dengan Ahlus Sunnah.
Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah
Azza wa Jalla atas diriNya dan apa-apa yang ditetapkan oleh RasulNya, baik
berupa nama-nama dan sifatNya, tidak ditawil (dirubah artinya), tidak ditolak
(diingkari), tidak disamakan dengan sifat-sifat makhluk, dan tidak bertanya
tentang hakikatnya. Ahlus Sunnah mengimani bahwa nama-nama dan sifat-sifat
Allah itu benar-benar ada (haqiqi), sesuai dengan kebesaran Allah, dan tidak sama
dengan sifat-sifat makhluk. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura/42 : 11]. [Lihat Taqrib at Tadmuriyyah]
DALAM MASALAH QADHA DAN QADAR
Ahlus Sunnah wal Jamaah berada di antara Jabariyah dan Qadariyah.
Firqah Qadariyah, mereka menafikan qadr (ketentuan Allah). Mereka berpendapat,
bahwa perbuatan manusia, baik yang berupa ketaatan maupun kemaksiatan,
tidak ada campur tangan dari Allah. Perbuatan itu tidak ditakdirkan dan tidak
ditentukan Allah. Menurut mereka, perbuatan manusia itu terbebas dari apa saja,
tidak ada yang mempengaruhi dan tidak diciptakan oleh Allah. Yang berarti
perbuatan manusia itu diciptakan oleh dirinya sendiri. Apabila demikian, berarti
Qadariyah terjatuh ke perbuatan syirik dalam masalah rububiyah; karena ada
beberapa pencipta, yaitu Allah dan manusia. Oleh karena itu, Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam menjuluki mereka dengan majusinya umat ini.
Adapun

Jabariyah,

mereka

berlebihan

dalam

menetapkan

qadr.

Mereka

berpendapat, sesungguhnya perbuatan hamba itu dipaksa oleh Allah. Manusia


hanya mengikuti saja, ibarat daun ditiup angina. Jabariyah menganggap manusia
tidak mempunyai kehendak apapun, terserah angin yang membawa.
Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki pemahaman tengah-tengah di
antara Jabariyah dan Qadariyah. Ahlus Sunnah menetapkan, bahwa manusia
(hamba) itu benar-benar berbuat, dan perbuatan mereka itu dinisbatkan kepada
mereka (yang berbuat) dengan sebenar-benarnya. Tetapi, semua perbuatan
hamba itu terjadi dengan takdir dan kehendak, dan merupakan ciptaanNya. Allahlah yang menciptakan hamba dan perbuatan hamba tersebut. Firman Allah:








Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. [ash
Shaffat/37 : 96]

Halaman 6 dari 86

Seorang hamba mempunyai kehendak, tetapi kehendaknya itu di bawah


kehendak Allah. Firman Allah:









an kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila
dikehendaki Allah, Rabb semesta alam. [at Takwir/81 : 29]
Allah memerintahkan kepada hamba untuk taat kepadaNya dan taat kepada
RasulNya, dan melarang mereka berbuat maksiat. Allah mencintai orang-orang
yang bertaqwa, dan Dia tidak ridha kepada orang yang fasik. Supaya hamba tidak
menuntut di akhirat nanti, maka Allah mengutus Rasul dan menurunkan kitab.
Barangsiapa yang taat, silakan taat dan akan diberi pahala. Sebaliknya,
barangsiapa yang ingin bermaksiat, silakan berbuat maksiat dan akan mendapat
balasan. Karena permasalahannya sudah jelas, dan Allah tidak zhalim terhadap
hambanya. Firman Allah :




Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahalanya) untuk dirinya
sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri;
dan sekali-sekali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba(Nya). [Fushilat/41 :
46].
Ada empat tingkatan yang harus diimani dalam masalah qada dan qadr ini.
1. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu.
Sesungguhnya Allah mengetahui yang sudah terjadi dan yang akan terjadi, dan
Allah mengetahui perbuatan hambaNya sebelum Allah menciptakannya.
2. Segala yang ada telah dicatat oleh Allah di dalam Lauhul Mafudz pada 50 ribu
tahun sebelum Allah menciptakannya.
3. Kehendak dan kekuasaan Allah meliputi apa yang Allah kehendaki, maka bisa
terjadi. Begitu pula apa yang tidak dikehendakiNya, maka tidak akan terjadi.
Semua yang terjadi tersebut atas kehendak Allah sebelum hal itu terjadi.
4. Allah menciptakan segala sesuatu.
Allah-lah yang menciptakan orang yang mengerjakan dan pekerjaannya, dan yang
bergerak dan gerakannya, dan semua yang diam dan diamnya.
DALAM MASALAH AL WAD DAN AL WAID
Al wadu atau janji, yaitu ayat-ayat yang memberikan janji surga bagi yang
beramal shalih. Sedangkan al waid atau ancaman, yaitu ayat-ayat yang
memberikan ancaman neraka bagi yang berbuat maksiat.
Pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini berada di tengah-tengah
antara Waidiyah dan Murjiah.
Kelompok Waidiyah mempunyai pemahaman, bahwa ayat-ayat al wadiyah
(ancaman) harus diutamakan dibandingkan dengan ayat-ayat al wadu (janji).

Halaman 7 dari 86

Menurut mereka, pelaku dosa besar, seperti zina, minum khamr adalah kafir dan
kekal di neraka.
Sedangkan Murjiah, mereka mengutamakan ayat-ayat al wadu daripada ayatayat al waid. Mereka berkata, iman ialah pembenaran dalam hati. Amal tidak
termasuk iman. Dan kemaksiatan seorang mumin (seperti zina dan minum
khamr) tidak membahayakan keimanannya, dan ia tidak berhak masuk Neraka.
Menurut mereka, seorang mukmin meskipun bermaksian, keimanannya tetap
seperti keimanan yang dimiliki Abu Bakr dan Umar Radhiyallahu anhuma.
Berbeda denganAhlus Sunnah wal Jamaah yang berpendapat, seorang muslim,
apabila berbuat maksiat (seperti melakukandosa besar), maka dia tidak keluar
dari Islam. Artinya, dia tetap muslim, tetapi imannya berkurang. Selama tidak
melakukan perbuatan yang mengkafirkannya, dia tetap mukmin dengan imannya,
dan fasiq dengan dosanya. Dan di akhirat terserah kepada Allah Azza wa Jalla. Jika
Dia berkehendak untuk mengampuni, maka dia diampuni. Jika tidak, maka disiksa
sampai bersih dosa-dosanya, kemudian masuk surga. Mereka tidak kekal di
neraka, kecuali jika mati dalam keadaan kufur dan syirik kepada Allah.
Definisi iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah, diucapkan dengan lisan,
diyakini dengan hati, diamalkan dengan anggota badan. Dan iman itu bisa
bertambah dengan sebab ketaatan, berkurang akibat perbuatan maksiat.
DALAM MASALAH PARA SAHABAT NABI SHALALLLAHU AALAIHI WA SALLAM
Kepada para sahabat Nabi, pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah kepada mereka
berada di antara al Khawarij dan Syiah.
Syiah, mereka melampaui batas dalam mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi),
seperti kepada Ali bin abi Thalib dan anak-anaknya Radhiyallahu anhum. Mereka
memiliki anggapan bahwa Ali Radhiyallahu anhu itu mashum (tidak pernah
salah),

mengetahui

hal-hal

ghaib,

dan

lebih

utama

daripada

Abu

Bakr

Radhiyallahu anhu. Bahkan ada yang sampai mengatakan Ali Radhiyallahu anhu
itu ilah (Tuhan).
Sedangkan Syiah Rafidhah, mereka membenci kepada sebagian sahabat. Mereka
melontarkan celaan kepada sebagian sahabat. Mereka mengatakan bahwa para
sahabat telah kufur dan murtad setelah Rasulullah n wafat, termasuk juga Abu
Bakr Radhiyallahu anhu. Tidak ada pengecualian, selain Ahlul Bait dan beberapa
sahabat saja. Mereka berkata, sesungguhnya mereka itu adalah kekasih Ahlul
Bait.
Mereka juga mengecam isteri-isteri Rasul dan afdhalush shahabah (sahabat
terbaik), yaitu Abu Bakr secara terang-terangan. Terkadang mereka tampak
meridhainya, dan secara dhahir menunjukkan kecintaan kepada sahabat dan

Halaman 8 dari 86

dekat kepada Ahlus Sunnah. Namun, mereka sebenarnya hanyalah melakukan


tipuan saja, sebab aqidah mereka adalah aqidah taqiyyah (pura-pura), dhahirnya
menampakkan Ahlus Sunnah, akan tetapi hakikat di dalam kalbunya Syiah.
Sebaliknya, al Khawarij berseberangan dengan Syiah. Khawarij sangat membenci
Ali Radhiyallahu anhu, dan tidak memberikan hak yang sebenarnya kepada Ali
Radhiyallahu anhu. Mereka juga mengkafirkan Muawiyah dan mengkafirkan
orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka mencintai sahabat Nabi dan
meridhainya. Ahlus Sunnah berpendapat, para sahabat adalah orang yang paling
mulia setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, karena Allah telah memilih
mereka sebagai sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Terhadap perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat, maka Ahlus Sunnah
wal Jamaah tidak memberikan komentar terhadap pertikaian mereka. Ahlus
Sunnah wal Jamaah berpendapat, para sahabat adalah mujtahidun, yang
mendapat pahala. Jika benar mendapat dua pahala, tetapi jika salah mendapat
satu pahala.
Ahlus Sunnah juga berpendapat, sahabat yang termulia adalah Abu Bakr
kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali Radhiyallahu anhum, dan juga
mencintai Ahlul Bait Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Dalam pandangan Ahlus
Sunnah wal Jamaah, Ahlul Bait mendapat dua hak, yaitu hak Islam dan hak
keluarga Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Dari penjelasan ringkas ini, menunjukkan bila Ahlus Sunnah wal Jamaah mencintai
dan meridhai para sahabat dan Ahlul Bait Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
Allahumma shalli ala Muhammad wa ala ali Muhammad.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km. 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Sumber Artikel:
https://almanhaj.or.id/2983-mengikuti-manhaj-salaf-dalam-segalahal.html

Halaman 9 dari 86

Al Qur`an Menurut Pandangan Lima Firqah


Oleh Dr. Afaf binti Hasan bin Muhammad Mukhtar

Al Qur`an, adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad


Shallallahu alaihi wa salllam sebagai mukjizat bagi beliau, yang dibaca untuk
ibadah. Setelah munculnya ahli bidah dengan segala sepak-terjangnya yang
keliru dalam memandang al Qur`an, maka Ahli Sunnah wal Jamaah merasa perlu
mendefiniskan al Qur`an, sehingga aqidah mereka tentang al Qur`an berbeda
dengan pandangan ahli bidah.
Ahli Sunnah wal Jamaah meyakini, al Qur`an adalah Kalamullah. Berasal dari
Allah, berupa perkataan tanpa dapat diketahui caranya. Al Qur`an diturunkan
kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Sebagai Kalamullah, maka al Qur`an bukan
makhluk, tidak seperti halnya ucapan manusia. Barangsiapa mendengar al Qur`an
dan menyangkanya sebagai perkataan manusia, sungguh ia telah kafir. [1]
Ahli Sunnah wal Jamaah menjadikan Kitabullah dan wahyu dari-Nya sebagai
landasan utama dalam menetapkan aqidah dan dalam pengambilan dalil. Tidak
ada masalah aqidah atau masalah lain yang mempunyai dalil dari Kitabullah,
kecuali mereka menyampaikannya, mengutamakan di atas segalanya, dengan
mengagungkan Kalamullah dan bergantung kepadanya. Tidak bertumpu kepada
manusia yang lemah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Taala berfirman,


Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mumin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mumin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang
siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat,
sesat yang nyata. [al Ahzab/33:36].
Aspek lain yang membuat mereka memberi perhatian sangat besar kepada al
Qur`an, karena Allah telah memudahkan al Qur`an untuk dipahami. Tidak ada
ayat-ayat yang sulit dipahami. Juga tidak ada ungkapan yang janggal di
dalamnya. Al Qur`an tidak memuat sesuatu yang ditolak oleh akal dan pikiran
yang sehat. Tidaklah mustahil siapa pun dapat menguasainya, karena kandungan
al Qur`an dapat dijangkau kemampuan akal manusia. Tidak menjadi monopoli
segelintir orang, atau strata tertentu saja. Di dalam al Qur`an tidak ada kata-kata
yang mengandung teka-teki atau rahasia. Setiap orang dapat menguasai sesuai
dengan kemampuannya.
Ini berbeda dengan kebohongan yang digulirkan ahli bidah. Mereka beranggapan,
adanya kontradiksi antara akal dengan naql. Berkaitan dengan kedudukan al

Halaman 10 dari 86

Qur`an

ini,

berikut

kami

paparkan

pandangan

beberapa

firqah

dalam

menempatkan al Qur`an pada diri mereka. Tulisan ini bersumber dari Tanaqudhi
Ahlil-Ahwa wal-Bidai fil Aqidah, karya Dr. Afaf binti Hasan bin Muhammad
Mukhtar, Cetakan I, Th. 1421H/ 2000M, Penerbit Maktabah Rusyd, Riyadh.
GOLONGAN KHAWARIJ
Firqah Khawarij, sesungguhnya mengagungkan al Qur`an dan berkeinginan
mengikuti kandungannya. Akan tetapi, jika melihat keberadaan mereka, ternyata
sangat jauh dari angan-angan. Mereka tidak mengaplikasikannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pemikiran mereka adalah
mengagungkan al Qur`an dan ingin mengikutinya. Hanya saja, mereka keluar dari
lingkaran Ahli Sunnah wal-Jamaah. Mereka tidak mengikuti Sunnah yang
dianggap menyelisihi al Qur`an. Misalnya, seperti hukum rajam dan nishab
pencurian.
Mereka mengakui keberadaan al Qur`an dan hujjahnya, tetapi tidak memahami
layaknya generasi Salafush-Shalih. Dari sinilah kesesatan mereka bermula.
Mereka, seperti diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, mengikuti ayatayat mutasyabih dan mentakwilkannya, padahal tidak mengerti maknanya, tidak
memiliki ilmu yang luas, tidak mengikuti Sunnah, dan juga tidak mengikuti
pemahaman Salafush-Shalih dalam memahami al Qur`an.
Sangat jelaslah pendirian mereka, yaitu tidak menjadikan al Qur`an sebagai
hujjah sebagaimana menurut cara yang shahih (dibenarkan). Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam telah memberitahukan tentang keberadaan mereka: (Mereka)
membaca al Qur`an, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Keluar dari
Islam, seperti melesatnya anak panah (menembus) sasaran.
Hadits ini menjelaskan, mereka membaca al Qur`an, namun tidak mengamalkan
ajaran-ajarannya.
GOLONGAN SYIAH
Pendirian Syiah terhadap al Qur`an sudah diketahui, yaitu meyakini bahwa al
Qur`an telah mengalami tahrif (perubahan), baik dengan penambahan ataupun
pengurangan. Oleh karenanya, mereka tidak memandang al Qur`an sebagai
hujjah.
Bukti-bukti yang menunjukkan pandangan mereka seperti itu, dapat disaksikan
dalam kitab-kitab karangan para ulama penganut Syiah. Misal, coretan dalam
kitab al Kafi, yang mereka angkat selevel dengan Shahih Bukhari.
Kaum Syiah menukil pernyataan yang dinisbatkan kepada Jafar ash Shadiq:[2]
Kami mempunyai Mush-haf Fathimah[3] . Apa yang mereka ketahui tentang

Halaman 11 dari 86

Mush-haf Fathimah? Mush-haf Fathimah, (besarnya) seperti al Qur`an kalian tiga


kali lipat. Tidak ada satu huruf pun dari al Qur`an kalian yang ada di sana.[4]
Jadi menurut Syiah, al Qur`an yang berada di tangan kaum Muslimin saat ini,
sudah tidak otentik lagi, kecuali yang berasal dari riwayat imam-imam mereka.
Bahkan untuk menguatkan klaim, mereka pun membuat periwayatan untuk
menyokong kedustaan yang mereka buat.
Misalnya, diriwayatkan dari Jabir,[5] ia berkata: Aku mendengar Abu Jafar al Baqir
alaihis salam berkata: Tidak ada seorang pun yang mengaku telah menghimpun
al Qur`an secara keseluruhan sebagaimana diturunkan, selain ia seorang
pendusta. Tidak ada seorang yang berhasil menghimpun dan memeliharanya
sebagaimana diturunkan oleh Allah, kecuali Ali bin Abi Thalib alaihis salam dan
para imam sepeninggalnya.[6]
KALANGAN QADARIYAH (MUTAZILAH)
Secara global, kalangan Qadariyah memasukkan al Qur`an sebagai bagian dari
dalil-dalil prinsip mereka. Hanya saja, mereka memandang kepastian hukum dan
petunjuk yang akurat, lebih menggunakan akal. Menurut pemikiran Qadariyah,
akal sajalah yang mengantarkan seseorang menjadi memiliki keyakinan dan hasil
yang shahih.
Salah seorang tokoh Qadariyah, yaitu al Jahizh[7] berkata: Tidak ada hukum yang
pasti, melainkan milik akal. Dan tidak ada penjelasan yang shahih, selain milik
akal.[8]
Oleh karena itu, mereka mempunyai empat jenis pegangan, yaitu akal, al Qur`an,
Sunnah dan Ijma. Dalam hal ini, mereka lebih mendahulukan nalar (akal)
ketimbang al Qur`an dan Sunnah. Ini merupakan bukti kepuasaan mereka dengan
kaidah yang mengatakan, bergantung kepada akal pikiran lebih kuat dan utama
daripada berlandaskan syariat, yang nash-nashnya tidak menghasilkan keyakinan
dan ilmu yang pasti. Mereka mendewakan akal pikiran dan meyakini, bahwa
manusia dapat mengenal Allah dan hikmah-Nya melalui akal semata. Bahkan
Ibrahim Nazhzham, salah seorang pentolan Mutazilah berkata: Sesungguhnya
kekuatan hujjah akal terkadang dapat menghapuskan nash-nash (hukum).[9]
Dengan demikian, dapat diketahui apresiasi mereka dalam menempatkan al
Qur`an. Yaitu, mereka mendahulukan akal sebagai rujukan utama, setelah itu
menempatkan al Qur`an sebagai sumber berikutnya.
KELOMPOK MURJIAH
Murjiah juga menduhulukan akal ketimbang nash (naql). Menurut mereka, akal
menjadi sumber untuk mengetahui dalam masalah aqidah. Ringkasnya, mereka
menggantungkan kepada apa yang dihasilkan oleh akal pikiran, dan antipati

Halaman 12 dari 86

dengan al Qur`an dan Sunnah. Atau memaksakan al Qur`an dan Sunnah untuk
tunduk dengan argumentasi yang mereka bawa.
Pandangan seperti ini, telah mendorong mereka untuk menetapkan akal sebagai
tumpuan

memahami

nash-nash

syariat.

Padahal,

mereka

hanya

menerjemahkannya sebatas kemampuan yang dimiliki akal mereka, namun tetap


menjadikannya sebagai dasar hukum pada segala aspek.
Apabila terjadi kontradiksi antara dalil syari dengan akal, maka mereka
memenangkan akal. Akhirnya, mereka melakukan takwil yang kemudian menjadi
ciri khas kelompok Murjiah ini.
Ibnu Qutaibah rahimahullah mengatakan, bahwa para ahli kalam memegangi
pandangan-pandangan yang mereka yakini dengan dasar akal mereka. Setelah itu
baru membaca-baca al Qur`an. Jika (kandungan ayat) bertentangan dengan qiyas
atau bertolak belakang dengan kaidah yang sudah mereka bakukan, maka
mereka pun mencari-cari takwil yang tidak etis, lagi sangat jauh dari maksud
yang benar. [10]
KELOMPOK JAHMIYAH
Sikap Jahmiyah sama dengan kelompok Murjiah dalam memandang al Qur`an,
yaitu lebih mendahulukan akal daripada naql. Akal dijadikan sebagai asas dan
landasan utama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, Jahmiyah dan orang-orang yang
berpikiran seperti mereka dari kalangan Asyariyah dan lainnya, mengatakan
tidak sah beristidlal (berdalil) dengan al Qur`an mengenai ilmu Allah, kekuasaanNya, beribadah kepada-Nya, dan tentang Allah beristiwa di atas Arsy.[11]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1428/2007M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183

Telp.

0271-858197

Fax

0271-858196]

_______
Footnote
[1]. Syarhul-Aqidatith-Thahawiyah.
[2]. Jafar ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib,
adalah seorang dari kalangan Tabiin. Kaum Rafidhah (Syiah) mencatutnya
sebagai salah satu dari imam dua belas mereka. Banyak ucapan kotor dan kufur
yang dialamatkan kepadanya oleh Syiah. Padahal, beliau sangat murka dan
membuka kedok kebusukan mereka. Biografi ringkasnya pernah kami angkat
dalam Majalah As-Sunnah, Edisi 05/Tahun IX/ Rubrik Syakhshiyah, dengan judul
Imam Jafar ash Shadiq, Imam Ahli Sunnah, Bukan Milik Syiah.
[3]. Fathimah az-Zahra adalah putri Rasulullah.
[4]. Diriwayatkan al Kulaini dalam al Kafi, salah satu kitab Syiah.

Halaman 13 dari 86

[5]. Jabir bin Yazid al Jufi Abu Abdillah al Kufi dari kalangan ulama Syiah Rafidhah.
Dia termasuk pembohong besar. Syiah menganggapnya seorang perawi terkenal
di kalangan mereka. Para ulama hadits dari Ahli Sunnah tidak menoleh kepada
riwayat-riwayatnya, karena adanya faktor kedustaan yang melekat pada dirinya.
Lihat Taqribut-Tahdzib, hlm. 137.
[6]. Al Kafi (5/360). Sudah tentu perkataan ini merupakan dusta.
[7]. Dia adalah Amr bin Mahmub Abu Utsman al Jahizh al Bashri al Mutazili. Para
pengagumnya tertipu dengan kepiawaiannya dalam sastra Arab, sehingga
kesesatannya tertutup dari pandangan mereka.
[8]. Risalah at-Tarbi wat-Tadwir karyanya, hlm. 14.
[9]. Syarhul-Ushilil-Khamsah.
[10]. Lihat penjelasan ini di dalam kitab al Ikhtilaf fil-Lafzhi war-Raddi alalJahmiyah wal-Musyabbihah, karya Ibnu Qutaibah, hlm. 15.
[11]. Qaidah fil-Mujizat wal-Karamat.

Sumber Artikel:
https://almanhaj.or.id/3523-al-quran-menurut-pandangan-limafirqah.html

Halaman 14 dari 86

Jumlah Banyak Bukan Barometer Kebenaran


Oleh Ustadz Abu Minhal, Lc

Jika ada seseorang menyaksikan banyak manusia mengucapkan satu pendapat


yang sama atau meyakini sesuatu yang serupa, kondisi demikian akan mudah
mendorongnya untuk mengikuti ucapan dan keyakinan mereka. Sebab, seperti
diungkapkan pepatah Arab, manusia itu bak gerombolan burung, sebagian akan
mengikuti lainnya. Dan pada gilirannya, akan menanamkan kesan pada benak
orang tersebut bahwa pendapat yang menyalahi mereka merupakan pendapat
yang keliru dan salah, dan otomatis orang-orang yang tidak sejalan dengan
mereka pun ia anggap kumpulan orang yang salah jalan (baca: sesat). Ya, apapun
pendapat, keyakinan dan kebiasaan mayoritas manusia, kendatipun salah, keliru
dan menyimpang.
Dengan melihat fakta di atas, maka tidaklah adil dan ilmiah bila kuantitas
dijadikan sebagai barometer al-haq (kebenaran). Bila mayoritas manusia memang
berada di atas al-haq, dengan mengagungkan nash-nash al-Qur`n dan Sunnah
shahhah serta berkomitmen tinggi untuk mengamalkannya secara keseluruhan
dan mendakwahkannya, maka itulah kondisi yang ideal bagi manusia untuk
mengenal kebenaran. Komunitas sosial yang lurus tersebut akan menjadi media
yang kondusif bagi perkembangan anak-anak dan generasi selanjutnya. Mereka
akan memiliki teladan baik dan contoh luhur dalam aqidah, akhlak, ibadah dan
muamalah serta aspek-aspek keagamaan lainnya.
Namun, persoalan akan muncul bila mayoritas berada dalam kondisi sebaliknya;
ideologi yang berkembang tidak pernah dikenal di masa Salafush-Shlih, taklid
buta menjadi dasar agama, tradisi lokal sangat diagungkan, hadits-hadits palsu
diamalkan, kaifiyah ibadah baru lagi tak berdasar menjadi sunnah yang mesti
dipertahankan. Pengaruh mayoritas ini dalam masyarakat tersebut akan menyeret
anak-anak, generasi muda Islam dan orang-orang jahil serta orang muallaf
memahami Islam tidak sebagaimana mestinya. Mungkin saja, mereka menjadi
pihak yang superior, tapi yang pasti, standar al-haq (kebenaran) bukanlah
berdasarkan besarnya jumlah massa suatu kelompok dan kekuatan otot mereka.
MENURUT AL-QUR`N, KEBANYAKAN MANUSIA TIDAK BERADA DI ATAS JALAN
LURUS
Melalui beberapa ayat, justru al-Qur`n yang merupakan pedoman hidayah umat
Islam mencela jumlah manusia yang mayoritas dan memberitahukan bahwa
kebanyakan manusia berada dalam kesesatan dan kebatilan. Allh Azza wa Jalla
berfirman:















Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allh. Mereka tidak lain hanyalah

Halaman 15 dari 86

mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta


(terhadap Allh). Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang
orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang
yang mendapat petunjuk. [al-Anm/6:116-117].
Imam Ibnu Katsr rahimahullah mengatakan, (Dalam ayat ini) AllhTaala
mengabarkan kondisi kebanyakan penduduk muka bumi dari anak keturunan
Adam,

sesungguhnya

(mereka

berada)

dalam

kesesatan.

[Tafsru

al-

Qur`nil-Azhm, 3/322].
Dan Allh Azza wa Jalla berfirman:


















Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian
mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikit lah mereka ini.
[Shd/38:24].
Bukankah jumlah kaum Muslimin lebih sedikit dibandingkan bilangan orang-orang
yang kafir? Dan umat Islam yang taat menjalankan kewajiban-kewajiban
agamanya

lebih

sedikit

ketimbang

orang-orang

yang

mengabaikannya?

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata, Kaum Mukminin berjumlah sedikit di


tengah manusia. Dan ulama berjumlah sedikit di tengah kaum Mukminin.[1]
Maka, untuk mengelabui orang, klaim jumlah yang banyak dijadikan oleh ahli batil
untuk menegaskan kebenaran jalan dan keyakinan mereka. Karenanya, para
pengusung kebatilan, penyeru kepada bidah, penjaja liberalisme dan orang-orang
yang memusuhi kebenaran al-Qur`n dan Sunnah shahhah berusaha melariskan
dagangan mereka dengan menyebarluaskan klaim banyaknya para pengikut dan
pendukung mereka. Misi-misi dan doktrin mereka suarakan melalui berbagai
media massa agar terbentuk opini. Betapa banyak orang yang mengikuti mereka,
kemauan merekalah yang diinginkan oleh publik dan selanjutnya klaim bahwa
mereka berada di atas jalur yang benar dan lurus. Bukankah bila satu golongan
menyimpang yang memiliki cabang di mana-mana, sedikit banyak akan
mempengaruhi pandangan miring orang terhadap golongan itu?
Dalam kitab Masilu al-Jhiliyyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhb
rahimahullah menyebutkan salah satu ciri jahiliyah, Berhujjah dengan apa yang
dipegangi kebanyakan orang tanpa menengok dasarnya.
PARAMETER

KEBENARAN

Dengan demikian, parameter kebenaran bukanlah berdasarkan kuantitas, banyak


atau sedikit. Akan tetapi, kebenaran itu (disebut kebenaran) tatkala sesuai
dengan dalil tanpa perlu menengok banyaknya orang yang menerima atau
minimnya penolakan orang. Antipati manusia atau respon positif mereka tidak
otomatis menunjukkan kebenaran atau penyimpangan satu pendapat. Tiap
pendapat dan perbuatan haruslah berdasarkan dalil (yang shahh) kecuali
pendapat (ucapan) Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , karena ucapan beliau
sudah menjadi hujjah (dasar, dalil)[2].

Halaman 16 dari 86

Allh Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang umat terdahulu bahwa kaum
minoritas bisa saja berada di atas al-haq. Allh Azza wa Jalla berfirman:






Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. [Hd/11:40].
Maka, siapa saja berada di atas al-haq yang berlandaskan dalil yang shahh dan
lurus, berkomitmen kuat dengannya dalam ucapan, perbuatan, keyakinan,
meskipun ia sendirian, dialah orang yang benar dan lurus, dan selanjutnya pantas
diikuti oleh orang lain.
Bahkan, seandainya pun tidak ada seorang pun yang berpegang teguh dengan alhaq, selama itu merupakan kebenaran, tetaplah merupakan kebenaran dan
menjadi sumber keselamatan.
Apabila kebanyakan orang hanyut dalam kebatilan dengan melanggar syariat,
tidak konsisten dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang
diutus

untuk

menyampaikan

ilmu

dan

hidayah

kepada

semua

manusia,

mengadakan hal-hal baru dalam agama Islam yang tidak ada dasarnya yang jelas
dan tidak pernah dikenal oleh generasi terbaik umat Islam; dalam kondisi
demikian, pendapat mereka harus ditolak dan tidak boleh terpedaya dengan
jumlah mereka yang ada di mana-mana.
Sahabat Abdullh bin Masud Radhiyallahu anhu pernah berkata:

. :
















[Janganlah seseorang dari kalian menjadi latah (dengan) mengatakan, Aku
bergabung dengan (arus) manusia (saja). Hendaknya ia melatih diri untuk
beriman walaupun orang-orang telah kafir].
Atas dasar nasihat berharga di atas, mari kita tanamkan pada diri kita,
Hendaklah kita melatih diri (dan berusaha keras) untuk berkomitmen dengan
petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam , walaupun banyak orang
telah mengabaikan petunjuk beliau dan mengadakan hal-hal baru dalam Islam.
Semoga Allh Azza wa Jalla memberikan hidayah, rasyd dan taufik-Nya kepada
kita semua.
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah juga telah menggariskan pesan pentingnya,
Janganlah engkau (mudah) tertipu dengan apa yang mengelabui orang-orang
jahil. Mereka itu mengatakan, Jika orang-orang itu (yang berada di atas al-haq)
betul-betul di atas kebenaran, mestinya jumlah mereka tidak akan sedikit.
Sementara manusia lebih banyak yang tidak sejalan dengan mereka. Ingatlah
bahwa sesungguhnya orang-orang (yang berada di atas al-haq) itulah manusia
(sebenarnya). Sedangkan orang-orang yang bertentangan dengan mereka
hanyalah serupa dengan manusia, bukan manusia. Manusia (sebenarnya)
hanyalah orang-orang yang mengikuti al-haq meskipun mereka berjumlah paling
sedikit.[4]
Syaikh Shlih al-Fauzn hafizhahullh mengatakan, Memang betul, bila mayoritas
(manusia) di atas kebenaran dan al-haq, maka itu bagus sekali. Akan tetapi,
sunnatullh (ketetapan Allh Azza wa Jalla ) yang berjalan bahwa kuantitas yang

Halaman 17 dari 86

besar berada di atas kebatilan. (Ketetapan Ilahi ini berdasarkan firman Allh Azza
wa Jalla.










Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat
menginginkannya [Ysuf/12 : 103]
Dan firman-Nya:

















Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allh. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allh). [al-Anm/6 ayat 116][5].
BENARKAH MAYORITAS KAUM MUSLIMIN PADA MASA SEKARANG BERAQIDAH
ASYARIYAH?
Kaum Asyairah (yang beraqidah Asyariyah) adalah orang-orang yang berintisab
(menisbatkan diri) kepada Abul-Hasan al-Asyari, yaitu Ali bin Isml yang wafat
pada tahun 330H. Sebenarnya, melalui aspek historis, dapat diketahui bahwa
sosok yang terkenal ini mengarungi tiga fase dalam aqidahnya: bermadzhab
Mutazilah, kemudian berada dalam fase antara pengaruh aqidah Mutazilah dan
mengikuti Sunnah dengan menetapkan sebagian sifat Allh, namun masih
menakwilkan sebagian besarnya. Fase ini yang kemudian dikenal dengan aqidah
Asyariyah. Lalu keyakinannya yang terakhir, meyakini aqidah yang dipegangi dan
diyakini oleh generasi Salaf umat Islam. Sebab, ia telah menegaskan dan
memaparkannya dalam kitabnya al-Ibnah yang termasuk karya terakhir beliau.
Di dalamnya, beliau menjelaskan bahwa dirinya mengikuti aqidah yang dipegangi
oleh Imam Ahli Sunnah, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan Ulama Ahli
Sunnah lainnya. Yaitu, menetapkan semua nama dan sifat yang ditetapkan Allh
Azza wa Jalla bagi Dzat-Nya dan ditetapkan oleh Raslullh bagi-Nya, sesuai
dengan keagungan dan kemuliaan Allh Azza wa Jalla , tanpa takyf, tamtsl, tahrf
dan takwl. Berdasarkan firman Allh Azza wa Jalla.







Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
Mendengar dan Melihat. [asy-Syr/42:11].
Dikala panutan dan tokoh utama Asyariyah, Abul-Hasan al-Asyari rahimahullah
telah meninggalkan aqidah 20 sifatnya, para penganut aqidah Asyariyah masih
bertahan

dengan

pemikiran

Abul-Hasan

al-Asyari

rahimahullah

sebelum

meninggalkan aqidah yang digagasnya menuju aqidah Ahli Sunnah wal-Jamaah.


Belakangan, ada ungkapan populer di tengah sebagian masyarakat bahwa
golongan Asyariyah di masa ini merepresentasikan 95% dari jumlah kaum
muslimin. Artinya, yang memegangi aqidah Asyariyah di dunia Islam merupakan
kaum mayoritas.
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menyanggah pendapat tersebut, melalui, dengan
beberapa tinjauan, sebagai berikut:[6]

Halaman 18 dari 86

1. Bahwa penetapan prosentase di atas haruslah berdasarkan penghitungan detail


yang menghasilkan data empiris yang valid. Dan ternyata tidak ada sensus untuk
menghitung jumlah penganutnya, hanya sekedar klaim kosong belaka.
2. Anggap saja prosentasi itu benar, namun tidak otomatis jumlah yang banyak
mengindikasikan lurus dan benarnya aqidah tersebut. Sebab, aqidah yang benar
dan lurus hanya dapat digapai dengan mengikuti aqidah yang diyakini oleh
generasi Salaf dari kalangan Sahabat Nabi dan insan-insan yang berjalan di atas
manhaj

mereka

dengan

baik.

Bukan

dengan

mengikuti

aqidah

yang

penggagasnya baru wafat pada abad empat hijriyah, apalagi yang bersangkutan
telah meninggalkan aqidah (yang salah) itu. Selain itu, secara logika, tidak
mungkin ada kebenaran yang tertutup dan tersembunyi bagi para Sahabat Nabi,
generasi Tabiin dan para pengikut mereka dengan baik, dan kemudian kebenaran
itu baru diketahui oleh orang yang kelahirannya setelah masa generasi terbaik
umat Islam.
3. Selain itu, aqidah Asyariyah hanyalah diyakini oleh orang-orang yang
mendalaminya di lembaga pendidikan Asyariyah atau mereka mempelajarinya
dari tangan guru-guru berkeyakinan Asyariyah. Sedangkan orang-orang awam
yang jumlahnya sangat banyak itu tidaklah mengenal Asyariyah. Aqidah mereka
masih di atas fitrah.
4. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam at-Talum menambahkan bahwa aqidah orangorang dari tiga generasi terbaik; dari generasi Sahabat dan dua generasi
selanjutnya sejalan dengan Kitbullh dan Sunnah Raslullh Shallallahu alaihi
wa sallam yang dalam perjalanan sejarah dikenal dengan Aqidah Salaf.
MAKA,
BERSABARLAH
DAN
TETAPLAH
KOMITMEN
DENGAN

AL-HAQ

Dengan melihat fakta lapangan, orang yang tidak dan belum komitmen dengan
ajaran Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam jumlahnya lebih banyak
bahkan dominan di tengah masyarakat, maka seorang Muslim yang taat kepada
Allh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam tidak perlu merasa
cemas, resah dan terasing lantaran tidak memiliki teman banyak atau bahkan
tidak punya teman sama sekali. Sebab, hatinya ingin bersama dengan orangorang orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allh, yaitu: nabi-nabi, para
shiddqn, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya.[8]
Apabila kesabaran dan keyakinannya menipis, maka ia akan meninggalkan
kebenaran itu, tidak sanggup menanggung beban (untuk menjalankan)nya,
apalagi bila ia tidak memiliki teman dan merasa resah dengan kesendiriannya.
Akhirnya, ia akan berkata, Kemana manusia pergi, maka aku mengikuti mereka.
[9]
MARI

SEBARKAN

AJARAN

AHLI

SUNNAH

WAL-JAMAAH!

Tersebarnya ajaran dan petunjuk yang bersumber dari al-Qur`n dan Sunnah
yang shahhah di tengah satu masyarakat, dari masyarakat terkecil seperti

Halaman 19 dari 86

keluarga, hingga masyarakat berskala besar seperti negara, akan mendatangkan


kebaikan demi kebaikan bagi mereka semua. Oleh karena itu, sepatutnya penyeru
kepada perbaikan berusaha keras untuk memperbanyak jumlah ahlul-haq. Sebab,
para nabi pun memperoleh kedudukan yang berbeda-beda juga berdasarkan
sedikit banyaknya pengikut mereka. Oleh sebab itu, Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:








Sesungguhnya aku benar-benar berharap kalian menjadi penghuni terbanyak di
dalam surga. [HR al-Bukhri dan Muslim dari hadits Ibnu Abbs Radhiyallahu
anhu][10].
Wallhu alam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo

Solo

57183

Telp.

0271-858197

Fax

0271-858196]

_______
Footnote
[1].

Mifthu

[2].

Lihat

[3].

Syarhu

[4].
[5].

Dris-Sadah,

1/147.

Manhajul-Istidll,

2/695.

Masili
Mifthu

Syarhu

Masili

al-Jhiliyyah,

hlm.

61.

Dris-Sadah,
al-Jhiliyyah,

Shlih

al-Fauzn,

1/147.
hlm.

62.

[6]. Lihat Qathfu Jana ad-Dn, Darul-Fadhlah, Cet. I Th. 1423H-2002M, hlm35-36
[7].

At-Talum,

hlm.

121-122.

[8]. an-Nis/4 ayat 69. Lihat keterangan ini dalam ash-Shawriwu anil-Haqq, hlm.
109.
[9].

Syarhu

al-Aqdah

ath-Thahwiyah,

2/361.

[10]. Ash-Shawriwu anil-Haqq, hlm. 106-112.


https://almanhaj.or.id/4303-jumlah-banyak-bukan-barometer-kebenaran.html

Halaman 20 dari 86

Mengapa Terjerumus Dalam Ibadah Kepada Selain Allah?


MENGAPA TERJERUMUS DALAM IBADAH KEPADA SELAIN ALLH?
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Tidak seorangpun Muslim yang mengingkari bahwa beribadah kepada selain Allh
adalah kufur dan syirik akbar. Tetapi mengapa sebagian kaum Muslimin
terjerumus ke dalam kemusyrikan ini? Ternyata terdapat masalah-masalah rancu
yang melilit pemahaman sebagian kaum Muslimin, sehingga tanpa disadari
mereka terperangkap ke dalamnya.
Ada beberapa sebab yang mengakibatkan rancunya masalah-masalah itu, mudahmudahan pemaparan yang singkat ini, dengan taufiq Allh, akan membuka hati
kaum Muslimin untuk lebih menjaga keutuhan tauhidnya dan menjauhi segala
wasilah syirik. Beberapa sebab itu antara lain berupa kesalahan dalam hal-hal
berikut.
PENGERTIAN

BERHALA

Menyembah atau beribadah kepada berhala, jelas merupakan kekafiran. Jika itu
dilakukan bersamaan dengan beribadah kepada Allh Azza wa Jalla , berarti itu
adalah kemusyrikan, syirik akbar. Banyak sekali nash yang menegaskan supaya
orang di zaman ini atau zaman sebelumnya, meninggalkan penyembahan kepada
sesembahan-sesembahan selain Allh Azza wa Jalla itu. Di antaranya firman Allh
Subhanahu wa Taala :









Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allh, maka janganlah kamu
menyembah apapun selain Allh di dalamnya. [al-Jin/72:18].
Ketika Rasulullh Shallallahu alaihi wa sallam ditanya oleh Abdullh bin Masd
Radhiyallahu anhu tentang dosa apakah yang paling besar, beliau Shallallahu
alaihi wa sallam menjawab:



.





Apabila engkau menjadikan selain Allh sebagai tandinganNya yang disembah,
padahal Dialah yang telah menciptakan engkau. [HR Bukhr dan Muslim][1].
Namun ada sebagian kaum Muslimin yang keliru memahami. Menurut anggapan
mereka, berhala hanyalah patung, kayu, batu, pohon, serta tempat-tempat
keramat yang biasa disembah oleh orang-orang Hindu, Budha dan sejenisnya
yang bukan beragama Islam. Sedangkan kuburun orang-orang shalih yang dipujapuja atau yang biasa dikunjungi oleh sebagian kaum Muslimin untuk mencari
wasilah mendapatkan berkah, tidak dianggap sebagai berhala. Maka ketika
sebagian kaum Muslimin berbondong-bondong ngalap berkah dari berbagai
penjuru daerah ke tempat-tempat yang dianggap sakral di kuburan orang-orang
shalih untuk memohon berkah kepada penghuni kuburan atau mencari syafaat,
hal itu tidak dianggap sebagai penyimpangan dalam peribadatan dan bukan

Halaman 21 dari 86

peribadatan kepada selain Allh Azza wa Jalla. Bahkan justeru dianggap jenis
peribadatan kepada Allh Azza wa Jalla yang utama. Ini jelas batil.
Karena fakta inilah, maka Rasulullh Shallallahu alaihi wa sallam menegaskan
larangannya

agar

tidak

menjadikan

kuburannya

sebagai

berhala.

Beliau

Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:







Ya Allh, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala. [HR Ahmad dalam
al-Musnad. Syaikh Ahmad Muhammad Sykir menyebutkan, isnadnya Shahh][2].
Hadits ini menunjukkan bahwa jika kuburan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
disembah, tentu akan menjadi berhala. Akan tetapi Allh Azza wa Jalla
menjaganya hingga manusia terhalang untuk menyembahnya [3]. Pada hadits
lain beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga menegaskan larangannya agar tidak
menjadikan kuburannya sebagai lahan perayaan karena hal itu akan menjadi
wasilah menuju kemusyrikan, menuju pemberhalaan terhadap kuburan. Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
.








Janganlah engkau jadikan rumah-rumahmu menjadi (seperti) kuburan, dan
janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan. [HR Abu Dawud,
dishahhkan oleh Syaikh al-Albani] [4].
Kesimpulannya, berhala adalah segala sesuatu yang dijadikan sesembahan selain
Allh Azza wa Jalla , baik berupa kuburan atau benda-benda keramat yang ada di
dalamnya [5], termasuk makhluk halus atau benda apa saja yang menjadi
tumpuan harapan atau tumpuan ngalap berkah. Itulah berhala. Wallhu alMustan.
PENGERTIAN

IBADAH

Pengertian Ibadah kepada Allh Azza wa Jalla juga banyak disalahfahami oleh
banyak umat Islam. Sebagian di antara mereka memiliki asumsi bahwa ibadah
kepada Allh Subhanahu wa Taala terbatas pada amaliah lahiriyah shalat, puasa,
haji, zakat dan amaliah-amaliah lahiriyah lainnya saja. Di sisi lain ada yang
menganggap bahwa ziarah kubur para wali atau orang-orang shalih pada hari-hari
tertentu, bahkan menyengaja melakukan perjalan jauh (syaddu ar-Rihl) ke
kuburan-kuburan itu merupakan ibadah kepada Allh Subhanahu wa Taala yang
sangat utama.
Pada saat yang sama, sikap mengagungkan, cinta, tunduk dan merendahkan diri
kepada tempat-tempat sakral, seperti kepada kuburan orang-orang shalih,
petilasan-petilasan, atau bahkan masjid-masjid kuno yang dikeramatkan; oleh
sebagian kaum Muslimin justeru tidak dianggap sebagai peribadatan kepada
selain Allh Azza wa Jalla . Padahal hakikat ibadah pada prinsipnya adalah sikap
merendahkan diri dengan bertumpu pada cinta dan pengagungan kepada yang
diibadahi.[6]
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, ibadah menghimpun dua pokok;
cinta yang setinggi-tingginya dan sikap merendehkan diri serta tunduk yang

Halaman 22 dari 86

setunduk-tunduknya. Siapa saja yang engkau cintai, tetapi engkau tidak tunduk
kepadanya,

maka

engkau

bukan

penghamba

terhadapnya.

Begitu

pula

sebaliknya. Siapa saja yang engkau tunduk kepadanya, tetapi tidak menyintainya,
engkaupun

bukan

penghamba

terhadapnya.

Sampai

engkau

betul-betul

menyintainya dan betul-betul tunduk serta merendahan diri kepadanya[7]


Apabila seseorang melaksanakan kewajiban atau melakukan amaliah lahiriyah,
didorong oleh sikap merendahkan diri yang didasari kecintaan dan sekaligus
pengagungan kepada Allh Azza wa Jalla , maka itu adalah ibadah yang
sebenarnya. Salah satu contohnya terkait dengan sabda Rasulullh Shallallahu
alaihi wa sallam:





.





Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan karena mencari
pahala Allh, maka akan diampunkan dosanya yang telah berlalu dan barangsiapa
yang mendirikan shalat malam pada malam lailatu qadar karena iman dan karena
mencari pahala Allh, maka akan diampunkan dosanya yang telah berlalu. [HR
Muslim] [8].
Juga sabda beliau pada riwayat lain:
.















Barangsiapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan karena iman dan
karena mencari pahala Allh, maka akan diampunkan dosanya yang telah berlalu.
[HR Muslim][9].
Maksudnya, puasa dan shalat malam seseorang akan berfungsi benar sebagai
ibadah yang menghapus dosa jika puasa itu dilandasi oleh keimanan dan dalam
rangka mencari pahala Allh. Mafhum dari penjelasan di atas, jika seseorang
bersikap merendahkan diri dan tunduk dengan dilandasi rasa cinta dan
pengagungan, penuh khidmat, penuh rasa harap dan cemas, kepada bendabenda atau tempat-tempat yang disakralkan seperti kuburan para wali, petilasan
dan sejenisnya, berarti itu termasuk peribadatan kepada selain Allh. Dan
hukumnya jelas, termasuk syirik akbar. Wal Iydzu Billh.
MENGIKUTI
NENEK

MOYANG

Kesalahan lain yang sering dilakukan oleh sebagian umat Islam adalah taklid
kepada tradisi nenek moyang yang menyimpang. Dan ini sebenarnya merupakan
perilaku

dan

kebiasaan

kaum

musyrikin

semenjak

zaman

dahulu.

Allh

Subhanahu wa Taala berfirman menceritakan perihal mereka:



















Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allh,
mereka menjawab: (Tidak) kami hanya akan mengikuti apa yang kami dapati
pada nenek moyang kami biasa melakukannya. Padahal nenek moyang mereka
itu tidak mengetahui apapun dan tidak mendapat petunjuk. [al-Baqarah/2:170].
Imam Ibnu Katsr rahimahullah menjelaskan ayat di atas: Apabila dikatakan
kepada orang-orang kafir dari kalangan kaum musyrikin itu: Ikutilah wahyu yang

Halaman 23 dari 86

diturunkan Allh kepada RasulNya, dan tinggalkan kesesatan serta kebodohan


yang kalian lakukan, mereka akan menjawab: (Tidak) kami hanya akan
mengikuti kebiasaan yang kami dapati pada nenek moyang kami, yaitu
penyembahan kepada patung-patung dan berhala-berhala. Maka Allh pun
berfirman mengingkari sikap mereka (dengan firmanNya pada akhir ayat).[10]
Demikian pula firman Allh pada ayat lain:

Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunkan Allh,
mereka menjawab: (Tidak) tetapi kami hanya akan mengikuti kebiasaan yang
kami dapati dari nenek moyang kami. Apakah mereka (akan mengikuti nenek
moyang mereka) walaupun sebenarnya setan menyeru mereka ke dalam azab api
neraka yang menyala-nyala? [Luqmn/31:21].
SALAH
PERSEPSI

TENTANG

WASILAH

Merasa bahwa diri penuh dosa, tidak suci dari kesalahan, banyak memiliki kotoran
hati dan banyak melakukan kemaksiatan, adalah perasaan positif yang akan
dapat mendorong seseorang semakin taat dan bertakwa kepada Allh serta
semakin menjauhi larangan-laranganNya. Tetapi jika seseorang merasa tidak
layak untuk langsung memohon kepada Allh karena merasa dirinya terlalu kotor
hingga memerlukan wasilah dari orang shalih yang telah meninggal dunia supaya
bisa sampai kepada Allh, maka ini adalah suatu kesalahan fatal.
Apalagi jika untuk membenarkan sikap ini, ia berargumen bahwa menghadap
presiden saja perlu wasilah yang dapat memberikan syafaat, jelas ia semakin
terjerumus dalam kesalahan yang lebih fatal lagi. Yaitu menyerupakan Allh
dengan seorang presiden. Mengapa? Sebab sadar atau tidak sadar, ia telah
menganggap bahwa Allh seperti seorang presiden. Untuk menghadap Allh,
memerlukan wasilah seperti halnya menghadap presiden. Padahal presiden
banyak memiliki kelemahan, di antaranya tidak mengetahui persis kebutuhan
setiap rakyatnya, sehingga ia memerlukan pembantu untuk menghubungkan
dirinya dengan rakyatnya. Sedangkan Allh Azza wa Jalla Maha Sempurna dan
Maha mengetahui segala-galanya, tidak memerlukan satu pembantupun.
Menyerupakan Allh dengan makhlukNya adalah kufur. Allh Subhanahu wa Taala
berfirman:









Maka janganlah kamu menjadikan makhluk-makhluk serupa dengan Allh.
Sesungguhnya Allh Maha Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui. [anNahl/16:74].
Pada ayat ini Allh Subhanahu wa Taala melarang untuk mengadakan sesuatu
yang serupa dengan Allh.[11]
Kaum musyrikin Arab zaman dahulu juga menjadikan patung-patung yang
menggambarkan orang-orang shalih yang telah meninggal dunia sebagai wasilah.

Halaman 24 dari 86

Mereka menganggap hal ini serupa dengan menghadap para raja dunia yang
memerlukan wasilah.[12] Dan ini adalah kebatilan.
Kaum musyrikin menyatakan bahwa penyembahan mereka kepada para berhala
hanyalah sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allh dengan sedekatdekatnya. Tetapi tindakan mereka itu tetap disebut penyekutuan terhadap Allh
Azza wa Jalla . Allh Subhanahu wa Taala berfirman menceritakan tentang kilah
kaum musyrikin penyembah berhala itu:




Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan diri kami
kepada Allh dengan sedekat-dekatnya. [ az-Zumar/39:3].
Imam Ibnu Katsr t dalam tafsirnya menjelaskan (artinya): Mereka menyembah
patung-patung

itu

karena

menganggap

bahwa

patung-patung

itu

menggambarkan para malaikat yang dekat hubungannya dengan Allh, supaya


patung-patung malaikat itu memberikan syafaat kepada mereka di sisi Allh.[13]
Jadi itulah tindakan kaum musyrikin zaman dulu, membuat wasilah untuk
mendekatkan diri kepada Allh dengan sesuatu yang sebenarnya bukan wasilah.
Dan mereka tetap disebut kaum musyrikin. Adapun pembahasan rinci tentang
wasilah yang benar dan yang tidak benar, pernah dikupas di Majalah As-Sunnah
pada edisi beberapa waktu yang lalu.
Demikianlah beberapa sebab yang

menjadikan

sebagian

kaum

Muslimin

terjerumus dalam kemusyrikan yang amat berbahaya. Beberapa sebab di atas


hanya beberapa saja yang pokok. Sebenarnya masih ada beberapa sebab lain,
seperti ketidakmengertian dan mengikuti hawa nafsu. Tetapi mudah-mudahan apa
yang dikemukakan di atas cukup merangsang kesadaran umat Islam untuk
memperbaiki pemahaman serta jalan hidupnya agar kelak pada hari akhirat dapat
mempertanggungjawabkan segalanya di hadapan Allh yang Maha Perkasa dan
Maha Kuasa. Wallhu Waliyyu at-Taufq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVII/1435H/2014. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo

Solo

57183

Telp.

0271-858197

Fax

0271-858196]

_______
Footnote
[1]. Shahh al-Bukhr dalam Fathu al-Bry VIII/163, Kitb at-Tafsr, Bb III no. 4477
serta yang lainnya, dan Shahh Muslim bi Syarhi an-Nawaw, tahqq Khall Mamn
Syh, Dr al-Marifah, Beirut, Cet VII, 1421 H/ 2000 M, II/266-267, no. 253.
[2]. Musnad Imam Ahmad, Juz VII, Syarh & Talq: Ahmad Muhammad Sykir, Dr
al-Hadts, Kairo, cet. I 1416 H/1995 M, hal. 173, no. 7352, Musnad Ab Hurairah.
[3]. Lihat Fathu al-Majd Syarhu Kitab at-Tauhd, Syaikh Abdur Rahmn bin Hasan
lu asy-Syaikh, murjaah: Syaikh Bin Bz, Maktabah Dr as-Salm & Dr al-Faih
,

1414

H/1993

M,

Bb

Ja

Annal

Ghuluw

fish-Shlihn.hal.

212.

[4]. Shahh Sunan Ab Dwd, Maktabah al-Marif, Riyadh, cet. II dari terbitan

Halaman 25 dari 86

terbaru,
[5].

I/571,

Fathu

al-Majd

no.

Syarhu

Kitab

2042

at-Tauhd,

op.cit.

hal.

212

[6]. Lihat Taqrb at-Tadmuriyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsimn, Itin
& takhrj: Sayyid bin Abbs bin Al al-Julaim, Maktabah as-Sunnah, Kairo, cet. I,
1413

H/1992

M.

hal.

113.

[7]. Madrij as-Slikn, Imam Ibnu al-Qayyim, Dr Ihy at-Turts al-Araby, cet. II,
1421
[8].

H/2001
Shahh

Muslim

[9].
[10].

Bi

M,

Syarhi

an-Nawaw,

Ibid,
Tafsr

Ibnu

I/66

op.cit.

VI/283,

no.

no.
Katsir,

ayat

1778
1777

terkait,

Juz

I.

[11]. Syarh al-Aqdah al-Wsithiyyah, Syaikh Dr. Shlih bin Fauzn al-Fauzn,
Maktabah al-Marif, Riyadh, cet VI, 1413 H/1993 M, hal. 73, sub judul no. 17.
[12].

Ibid

[13]. Tafsir Ibnu Katsr, juz IV, Surat az-Zumar/39 ayat 3 dengan diringkas
bahasanya.
https://almanhaj.or.id/4307-mengapa-terjerumus-dalam-ibadah-kepada-selainallah.html

Halaman 26 dari 86

Islam Itu Mudah


ISLAM ITU MUDAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas





) :











:










.(




(

) .



Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ,
beliau bersabda, Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada seorang pun yang
mempersulit agama melainkan dia akan dikalahkannya. Maka luruslah dalam
beramal, dekatilah (tingkat kesempurnaan), dan bergembiralah, dan mintalah
pertolongan kepada Allh Azza wa Jalla pada pagi, sore, dan akhir malam. Pada
lafazh lain disebutkan, Berlaku sederhanalah (tidak berlebihan), berlaku
sederhanalah, niscaya kalian akan sampai (pada tujuan).
TAKHRIJ
Hadits
1.

ini

shahh.

Al-Bukhri



:


-

Yaitu

39

oleh

dan

6463),

An-Nas-i

(VIII/122),

KATA

HADITS

3. Al-Baihaqi (III/18).
KOSA

Diriwayatkan

(no.

2.

HADITS

menguatkan.

Maksudnya, tidaklah

seseorang

mempersulit diri dalam melaksanakan tugas-tugas keagamaan dan menjauhi


kemudahannya, melainkan ia akan segera terkalahkan, artinya dia tidak akan
mampu

melakukannya

dan

akan

terputus

darinya.


: Luruslah dalam beramal. Maksudnya, berpegang teguhlah pada
kebenaran tanpa berlebih-lebihan dan tanpa meremehkan. Ahli bahasa berkata,
Makna



adalah bersikap sederhana dalam beramal.
juga bermakna
benar

dalam

berkata

dan

berbuat.


: Dekatilah kesempurnaan. Yaitu, jika kamu tidak mampu melakukan
sesuatu

dengan

sempurna,

maka

lakukanlah

hingga

mendekati

titik

kesempurnaan.


: Bergembiralah. Yakni bergembiralah dengan pahala amalan yang
dilakukan

secara

berkesinambungan,

meskipun

sedikit.

: Menurut bahasa artinya berjalan di pagi hari. Al-Jauhari berkata, Kata alghadwatu

artinya

waktu

antara

shalat

Shubuh

hingga

terbit

matahari.

Melakukan
perjalanan
setelah
matahari

:

Melakukan
perjalanan
di
akhir

:

tergelincir.
malam.


: Dibaca manshub pada huruf dal. Ungkapan ini merupakan anjuran, yaitu

anjuran agar kita mengambil perkara yang pertengahan.[1]

Halaman 27 dari 86

SYARAH

HADITS

Agama itu mudah. Artinya, agama Islam ini memiliki banyak kemudahan. Atau
Islam itu adalah agama yang mudah bila dibandingkan dengan agama-agama
sebelumnya. Sebab, Allh Azza wa Jalla telah mengangkat dari umat ini beban
yang dahulu dipikulkan kepada umat-umat sebelumnya. Sebagai contoh, taubat
umat terdahulu adalah dengan mengorbankan jiwa, sedangkan taubat umat ini
cukup dengan menghentikan perbuatan, bertekad untuk tidak mengulanginya dan
menyesali perbuatan tersebut.[2]
Ibnul-Munayyir rahimahullah berkata, Hadits ini termasuk salah satu mukjizat
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam . Kita semua dapat menyaksikan bahwa setiap
orang yang melampaui batas dalam agama, niscaya dia akan terputus dari
amalnya. Ini tidak berarti dilarang mengejar ibadah yang lebih sempurna, sebab
itu termasuk perkara yang terpuji. Namun, yang dilarang di sini adalah sikap
memfokuskan diri hanya dalam satu macam ibadah saja sehingga mengakibatkan
kejemuan, atau berlebih-lebihan dalam mengerjakan amalan sunnah yang pada
akhirnya akan mengakibatkan perkara yang lebih utama terbengkalai. Atau
bahkan sampai mengulur-ulur kewajiban hingga keluar waktunya. Seperti orang
yang shalat tahajjud semalam suntuk, lalu tidur di akhir malam sehingga ia
terluput dari shalat Shubuh berjamaah, atau keluar dari waktu yang utama bagi
pelaksanaan shalat Shubuh, atau bahkan sampai terbit matahari sehingga keluar
dari batas akhir waktunya.[3]
Alangkah agungnya hadits ini ! Alangkah luas cakupan maknanya yang meliputi
semua kebaikan, wasiat-wasiat yang bermanfaat, dan pokok-pokok ajaran yang
lengkap. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah meletakkan di awal hadits ini
asas yang agung tersebut. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Sungguh, agama ini mudah. Yaitu mudah dan tidak rumit pada aqidahnya,
akhlaknya, amalannya, serta pada amalan-amalan yang harus dikerjakan dan
perkara-perkara yang harus ditinggalkan.
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :




Sesungguhnya agama ini mudah
Maksudnya bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wa sallam adalah agama yang mudah.
Allh Azza wa Jalla berfirman :








Allh menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu [al-Baqarah/2:185].
Allh Azza wa Jalla juga berfirman:




Allh Azza wa Jalla tidak ingin menyulitkan kamu [al-M-idah/5:6].
Allh Azza wa Jalla berfirman :










dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama [al-Hajj/22:78].
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :








Halaman 28 dari 86

Sesungguhnya

sebaik-baik

agama

kalian

adalah

yang

paling

mudah,

sesungguhnya sebaik-baik agama kalian adalah yang paling mudah.[4]


Semua ajaran Islam itu mudah, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak,
mumalah, dan lainnya. Karena dasar aqidah yang kembali kepada iman kepada
Allh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan
taqdir yang baik maupun buruk, merupakan aqidah yang benar. Aqidah yang
dapat menenteramkan hati, mengantar orang yang meyakininya menuju tujuan
yang paling mulia dan tuntutan yang paling utama.
Sementara akhlak-akhlaknya dan amalan-amalannya merupakan akhlak yang
paling sempurna dan amalan terbaik. Dengannya kebaikan agama, dunia dan
akhirat, bisa diraih. Dan jika luput, maka luputlah kebaikan itu semuanya.
Semuanya mudah dan sederhana. Setiap mukallaf (orang yang dibebani perintah
syariat-pent) akan merasa bahwa dia mampu melakukan hal itu tanpa ada
kesulitan yang melampaui kemampuannya.
Syariat Islam juga mudah, misalnya shalat lima waktu. Shalat itu, terulang-ulang
sehari semalam sebanyak lima kali pada waktu-waktu yang cocok dan sesuai.
Kemudahan ini, disempurnakan lagi oleh Dzat Yang Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui yaitu Allh Azza wa Jalla dengan mewajibkan shalat berjamaah bagi
laki-laki.

Karena

berkumpul

dalam

melaksanakan

suatu

ibadah

termasuk

penyemangat dan bisa mendatangkan kemudahan. Ditambah lagi, Allh Azza wa


Jalla telah menetapkan berbagai ganjaran bagi yang melakukannya seperti
kebaikan agama, keshalihan iman, serta pahala dan ganjaran dari Allh Azza wa
Jalla. Oleh karena itu, seorang Mukmin harus bersyukur dan memuji Allh Azza wa
Jalla karena telah mewajibkan shalat atas hamba-Nya.
Allh Azza wa Jalla berfirman :







Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang yang
rukuk. [al-Baqarah/2:43].
Syariat zakat juga mudah dan ringan. Karena zakat tidak diwajibkan atas orang
miskin yang tidak memiliki harta yang mencapai nishab. Zakat hanya diwajibkan
atas orang-orang kaya (bila sudah mencapai nishab dan haul). Sebagaimana
sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada Muadz bin Jabal Radhiyallahu
anhu :












Maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allh Azza wa Jalla mewajibkan
kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk
diberikan kepada orang-orang fakir[5]
Di antara tujuan zakat adalah untuk menyempurnakan agama dan keislaman
orang-orang yang mengeluarkan zakat, mengembangkan harta dan akhlak
mereka, menolak kerusakan dari mereka dan harta benda mereka, membersihkan
mereka dari kejelekan-kejelekan, menyantuni orang-orang yang membutuhkan,
dan mewujudkan maslahat-maslahat mereka secara menyeluruh. Di samping itu

Halaman 29 dari 86

juga, harta yang dikeluarkan untuk zakat itu hanya sebagian kecil atau
nominalnya kecil bila dibandingkan dengan harta dan rizki yang diberikan Allh
Azza wa Jalla untuk mereka.
Allh Azza wa Jalla berfirman :






















Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka,
dan

berdoalah

untuk

mereka.

Sesungguhnya

doamu

itu

(menumbuhkan)

ketenteraman jiwa bagi mereka. Allh Azza wa Jalla Maha Mendengar, Maha
Mengetahui. [at-Taubah/9:103].
Allh Azza wa Jalla juga berfirman :















Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
memperoleh keridaan Allh, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya). [ar-Rm/30:39].
Puasa juga ringan, karena yang diwajibkan hanya satu bulan dalam setahun.
Kaum Muslim melakukannya secara bersama-sama. Allh Azza wa Jalla berfirman:


















Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:183].
Saat berpuasa, mereka meninggalkan syahwat-syahwat mereka seperti makan,
minum, bersetubuh- pada siang hari, dan sebagai gantinya, Allh Azza wa Jalla
memberikan anugerah dengan menyempurnakan agama dan keimanannya,
memberikannya pahala yang besar dan berbagai kebaikan lainnya yang
merupakan buah dari puasa. Dan ini semuanya menjadi sebab tercapainya
derajat takwa.
Juga haji, sungguh Allh Azza wa Jalla tidak mewajibkannya kecuali atas orang
yang mampu, dan itu pun hanya sekali seumur hidup. Allh Azza wa Jalla
berfirman :









Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allh Azza wa Jalla adalah
melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu
mengadakan perjalanan ke sana [Ali Imrn/3:97].
Barangsiapa ingin menambah, maka itu hanyalah sunnah. Raslullh Shallallahu
alaihi wa sallam pernah ditanya oleh al-Aqra bin Hbis Radhiyallahu anhu
tentang berapa kali haji harus ditunaikan, apakah harus setiap tahun ataukah
hanya cukup sekali seumur hidup? Maka Beliau Shallallahu alaihi wa sallam
menjawab :






Haji itu (wajibnya) satu kali, barangsiapa yang ingin menambah, maka itu sunnah.
[6]
Di dalam pelaksanaan ibadah haji itu terdapat manfaat yang sangat banyak, baik
manfaat duniawi maupun manfaat ukhrawi. Allh Azza wa Jalla berfirman :




Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka (al-Hajj/22:28).
Yakni, manfaat dari segi keagamaan dan keduniaan.

Halaman 30 dari 86

Begitu pula syariat-syariat Islam lainnya. Semuanya sangat mudah. Allh Azza
wa Jalla berfirman :








Allh Azza wa Jalla menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu [al-Baqarah/2:185].
Meski sudah mudah, bila seorang hamba mendapatkan halangan berupa sakit,
safar, atau yang lainnya, maka diberikan lagi sejumlah kemudahan lainnya,
berupa pengguguran sebagian kewajiban atau sebagian sifat serta bentuknya,
sebagaimana yang sudah diketahui bersama. Misalnya, shalat bagi orang yang
sedang sakit. Jika tidak bisa berdiri, maka dilaksanakan dengan cara duduk; Jika
tidak bisa duduk, maka dengan berbaring.
Kemudian, jika seorang hamba memperhatikan amal-amal yang disyariatkan
kepadanya dalam sehari semalam, baik yang wajib maupun sunnah, seperti
shalat, puasa, sedekah, dan lain sebagainya, lalu dia ingin mengikuti Raslullh,
Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam , dalam pelaksanaannya, maka dia akan
dapati semua amalan itu mudah, tidak berat serta tidak menghalanginya dari
usaha untuk mewujudkan kemaslahatan dunianya. Bahkan sangat memungkinkan
baginya untuk menunaikan semua hak-hak, seperti hak Allah, hak jiwanya, hak
keluarga dan hak sahabat dan hak-hak orang yang berkenaan dengan dirinya.
Semua itu bisa dilakukan dengan ringan dan mudah.
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :





Tidak ada seorang pun yang mempersulit agama melainkan akan dikalahkannya
Yakni barangsiapa mempersulit dirinya, tidak merasa cukup dengan apa yang
dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , dan tidak pula merasa cukup
dengan pengajaran Beliau Shallallahu alaihi wa sallam , bahkan berlebihan atau
ekstrim

dalam

Sehingga,

beragama,

akhirnya

ia

maka

tidak

sungguh

berdaya,

agama

berhenti,

akan
lelah,

mengalahkannya.
dan

akhirnya

ia

meninggalkannya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

















Hendaklah kalian tetap memegang teguh petunjuk yang lurus (sederhana),
hendaklah kalian tetap memegang teguh petunjuk yang lurus (sederhana),
hendaklah kalian tetap memegang teguh petunjuk yang lurus (sederhana), sebab
barang siapa yang mempersulit diri dalam (urusan) agama ini, maka agama akan
mengalahkannya (ia akan menemukan kesulitan).[7]
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :




Maka luruslah dalam beramal, dekatilah (tingkat

kesempurnaan),

dan

bergembiralah
Yakni Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mewasiatkan agar menempuh jalan lurus
atau benar dan mendekatkan diri (menuju tingkat kesempurnaan), menguatkan
jiwa dengan kabar gembira dan kebaikan serta tidak putus asa. At-tasdd (berlaku
lurus) maksudnya mengucapkan perkataan yang benar, melakukan perbuatan
yang benar serta menempuh jalan yang lurus. Jadi, dia harus benar dalam semua

Halaman 31 dari 86

perkataan dan perbuatan ditinjau dari semua sisi. Apabila tidak bisa benar dari
semua sisi, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allh Azza wa Jalla semaksimal
mungkin dan terus berusaha menyempurnakannya. Dan barangsiapa tidak
mampu melakukan amal kebaikan seluruhnya, maka hendaklah dia mengerjakan
amalan yang dia mampu.
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :








Dan mintalah pertolongan kepada Allh Azza wa Jalla pada pagi, sore, dan pada
akhir malam
Yakni ketiga waktu ini adalah waktu yang paling nyaman bagi para musafir untuk
melakukan perjalanan duniawi. Sebagaimana tiga waktu itu sangat nyaman untuk
melakukan perjalan duniawi, tiga waktu itu juga sangat nyaman dan tepat untuk
melakukan perjalanan ukhrawi, untuk menempuh as-shirtul mustaqm atau
berjalan menuju Allh Azza wa Jalla . Saat seseorang mendorong dirinya dan
menyibukkannya dengan kebaikan dan amal-amal shalih dengan ikhlas dan
ittiba`, serta sesuai dengan waktunya yakni, awal siang, akhir siang, sedikit dari
waktu malam, khususnya di akhir malam, niscaya dia akan meraih kebaikan yang
sempurna. Dia akan dapat meraih kebahagiaan, kesuksesan, keberuntungan,
serta keselamatan dengan nyaman dan tenteram, tanpa menyampingkan
keinginan-keinginan duniawi.
Ini termasuk bukti terbesar yang menunjukkan kasih sayang Allh Azza wa Jalla
yang sangat luas terhadap para hamba-Nya dengan sebab agama Islam ini yang
merupakan sumber kebahagiaan abadi. Karena Allh telah menetapkannya buat
para hamba-Nya, menjelaskannya melalui lisan para Rasul-Nya, menjadikannya
mudah dan gampang, memudahkannya dari segala sisi, mengasihani orang-orang
yang beramal, dan memelihara mereka dari semua hambatan dan penghalang.
Allh Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat, Allh Azza wa Jalla
berfirman :










Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi seluruh alam. [al-Anbiy`/21:107].
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :






berlaku sederhanalah (tidak berlebihan), berlaku sederhanalah, niscaya engkau
akan sampai
Yakni barangsiapa mengamalkan agama ini dengan berlebihan, dan tidak
proporsional, maka dia akan menyesal dan mundur. Oleh karena itu, Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan dan menganjurkan agar berlaku
sederhana.
Kita berusaha melaksanakan syariat Islam yang mudah ini dengan sederhana,
tidak berlebih-lebihan, sesuai dengan syariat Islam. Allh Azza wa Jalla
berfirman :

Halaman 32 dari 86

Maka bertakwalah kalian kepada Allh Azza wa Jalla menurut kesanggupan


kalian [at-Taghbun/64:16].
Begitu pula sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :

Dan apabila aku perintahkan kamu dengan suatu perintah maka lakukanlah apa
yang kamu mampu.[8]
Dan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pada hadits lain:




Permudahlah dan jangan persulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat
orang lari.[9]
Alasan imam al-Bukhri mencantumkan hadits ini (agama Islam itu mudah)
setelah hadits-hadits yang dicantumkan sebelumnya sangat jelas. Sebab hadits
ini berisi anjuran untuk mengerjakan shalat tahajjud, puasa, dan jihad. Raslullh
Shallallahu alaihi wa sallam ingin menjelaskan bahwa yang paling utama adalah
tidak memaksakan diri, karena akibatnya akan lemah, sehingga tidak mampu
melanjutkan amal ibadah itu. Maka, hendaknya seseorang beramal semampunya
dan mengikuti tahapan yang ada, supaya amalnya berkesinambungan dan tidak
terputus di tengah jalan.[10]
Maka dari penjelasan di atas, dapat diambil beberapa kaidah:



1.





Kemudahan yang mencakup semua syariat Islam secara umum

2.









Kesulitan mendatangkan kemudahan saat kesulitan itu mendera.


3.








Apabila aku perintahkan kamu suatu perkara, maka lakukanlah semampumu.


4.













Menyemangati orang-orang beramal, memberi kabar gembira bagi mereka
dengan kebaikan dan pahala yang disiapkan atas amal-amal.



5.

















Wasiat lengkap tentang cara berjalan menuju Allh Azza wa Jalla yang bisa
menggantikan segala sesuatu namun tidak bisa digantikan oleh apapun.[11]
FAW-ID
1. Islam adalah agama yang penuh kemudahan dan berusaha menghilangkan
segala
2.

bentuk

Anjuran

untuk

lemah

lembut

kesulitan.
dan

sederhana

dalam

beramal.

3. Meninggalkan sikap memberatkan diri dalam beramal, karena Allh Azza wa


Jalla telah mewajibkan perkara-perkara ketaatan pada waktu-waktu tersendiri,
sebagai

bentuk

kemudahan

dan

rahmat

dari-Nya.

4. Setiap orang yang berlebihan dalam agama akan terhenti di tengah jalan,
karena

berlebihan

akan

mengakibatkan

kejenuhan

dan

kebosanan.

5. Amal yang dicintai oleh Allh Azza wa Jalla adalah yang kontinyu meskipun
sedikit.
6. Sederhana dalam beribadah dan tidak berlebih-lebihan akan mengantarkan
kepada keridhaan Allh Azza wa Jalla dan mendorong pelakunya untuk terus
beribadah

kepada-Nya.

Halaman 33 dari 86

7. Perhatian tentang waktu-waktu untuk beramal, karena waktu pagi, sore, dan
akhir malam merupakan waktu yang paling utama bagi para musafir. Dan waktuwaktu ini adalah waktu-waktu yang terbaik untuk melakukan amal shalih.
8. Pada hakikatnya, dunia adalah tempat persinggahan dan jalan menuju akhirat.
Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya agar mereka
menggunakan dengan sebaik-baiknya waktu-waktu luang dan kosong mereka.
9. Disunnahkannya mengambil keringanan dalam syariat pada waktunya, karena
mengambil sesuatu yang berat pada saat diberikan keringanan merupakan
pebuatan

yang

berlebihan.

10. Hadits ini sebagai mukjizat Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam . Kita
menyaksikan bahwa setiap orang yang melampaui batas dalam agama, pasti
akan terputus amalnya dan tidak sanggup melakukannya.
Marji`:
1.

Al-Qur`nul-Karm.

2.

Kutubus-Sittah.

3.

Fathul

Bri,

4.

Fathul

5.

Musnad

Ibnu

Hajar

Bri,

al-Asqalani,
Ibnu

Imam

Cet.

Drul-Fikr.

Rajab

Ahmad

al-Hanbali.

bin

Hanbal.

6. Syarh Sunan an-Nasa`i, tahqiq Muhammad bin Syaikh al-Allamah Ali bin Adam
bin

Musa

al-Atyubi

al-Wallawi,

7.

Cet.

ke-2,

Dr

Bahjatu

8.

Aal-Barum.
Qulbil-Abrr.

Syarh

Riydhish-Shlihn.

9. Bahjatun-Nzhirn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo

Solo

57183

Telp.

0271-858197

Fax

0271-858196]

_______
Footnote
[1]. Fat-hul-Bri (I/94-95), Ibnu Hajar al-Asqalani dan Syarh Sunan an-Nasa`i
(37/366-368).
[2].

Fat-hul-Bri

[3].

Fat-hul

(I/94).
Bri

(I/94).

[4]. Hasan. HR Ahmad (III/479), dari al-Arabiy. Imam al-Haitsami berkata,


Diriwayatkan oleh Ahmad. Rawi-rawinya shahh.(Majmauz Zaw`id, I/61). AlHafizh Ibnu Hajar berkata, Dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahh.
(Fat-hul-Bri,

I/94).

[5]. Shahh. HR al-Bukhri (no. 4347) dan Muslim (no. 19 (29), at-Tirmidzi (no.
625),

Abu

Dawud

(no.

1584),

dan

an-Nasa`i

(V/55).

[6]. Shahh. HR Abu Dawud (no. 1721), al-Hakim (II/441), an-Nasa`i (V/111), dan
Ibnu Majah (no. 2886), dan Ahmad (I/352). Lafazh ini milik Abu Dawud. Hadits ini

Halaman 34 dari 86

dishahhkan oleh Syaikh al-Albni dalam Shahh Sunan Abi Dawud (V/405, no.
1514).
[7]. Shahh. HR Ahmad (IV/422 dan V/350), al-Hakim (I/312), dan lainnya dari
Sahabat

Buraidah

al-Aslami.

[8]. Shahh. HR al-Bukhri (no. 7288) dan Muslim (no. 1337), dari Abu Hurairah.
[9]. Shahh. HR al-Bukhri (no. 69, 6125) dan Muslim (no. 1734 (8)), dan lainnya,
dari
[10].

Anas

bin
Fathul-Bri

Mlik.
(I/95).

[11]. Bahjatu Qulbil-Abrr (hlm. 166-170), karya Syaikh Abdurrahmn bin Nashir
as-Sadi.
https://almanhaj.or.id/4302-islam-itu-mudah.html

Halaman 35 dari 86

Ilmu Perdukunan Dalam Tinjauan Islam


ILMU PERDUKUNAN DALAM TINJAUAN ISLAM
Oleh
Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA
Para pembaca yang dirahmati Allh Azza wa Jalla ! Semoga kita senantiasa diberi
taufiq oleh Allh untuk mempelari dan mengamalkan agama yang kita cintai ini.
Shalawat dan salam kita ucapkan untuk nabi yang paling mulia, yaitu nabi kita
Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, termasuk untuk keluarga dan para
sahabat beliau, serta orang-orang yang setia mengikuti ajaran beliau sampai akhir
zaman.
Para pembaca yang budiman! Berikut ini kita akan membahas tentang topik ilmu
perdukunan

dalam

tinjauan

1.

Hakikat

2.

Perdukunan

3.

Hukum

Islam.

Sisi-sisi

dukun

dan

dahulu

sekarang.

dalam

pembahasan

ini

meliputi:

perdukunan.

dan

pedukunan

4. Cara menangkal perdukunan.


Hal
yang
melatarbelakangi

pembahasan

antara

Islam.
lain

adalah:

Pertama, sebagian kaum Mmuslimin banyak terjebak dengan perdukunan, baik


yang sakit maupun yang sehat, yang miskin maupun yang kaya, yang sukses
maupun yang gagal, orang berpangkat maupun orang biasa, pejabat maupun
rakyat jelata.
Kedua, tersebarnya perdukunan berkedok Islami, yang menambah persoalan ini
semakin runyam di tengah masyarakat. Betapa banyak orang tertipu dengan
secarik surban yang bertonggok di kepala sang dukun, kemudian ditambah tasbih
yang melingkat di leher atau yang dalam genggaman tangan. Sekedar
bermodalkan surban dan tasbih, sang dukun menjadi kepercayaan sebagian
masyarakat yang kurang ilmu dan iman.
Ketiga, sangat sedikit kaum Muslimin yang mengetahui solusi cara menangkal
perdukunan, alih-alih mereka melawan perdukunan dengan perdukunan pula.
Maka dalam bahasan ini kita mencoba memberikan solusi syari dalam menangkal
perdukunan tersebut.
HAKIKAT

DUKUN

DAN

PERDUKUNAN

Ada beberapa istilah yang memiliki konotasi dengan perdukunan. Terkadang


istilah tersebut dipakai untuk makna yang sama, namun sering kali dipakai dalam
makna berbeda. Istilah tersebut ialah: khin (dukun), arrf (peramal), rammal
(tukang tenung), munajjim (ahli nujum), shir (ahli sihir) dan hipnotis.
Pemakaian istilah tersebut dalam makna yang sama lantaran kesamannya dalam
beberapa hal. Pertama, dari sisi pengakuan mengetahui hal-hal yang ghaib.
Kedua, dalam sisi penerimaan info tentang hal yang ghaib tersebut dengan
mempergunakan bantuan setan atau Jin.

Halaman 36 dari 86

Adapun pengunaannya untuk makna yang berbeda, hal ini lebih ditentukan oleh
asal kalimat tersebut secara etimologi, serta proses dan cara yang digunakan oleh
si pelaku dalam praktek perdukunannya. Misalnya ada dengan cara mantramantra, atau dengan cara memakai alat bantu seperti huruf-huruf abjadiyah,
melihat garis-garis yang ada pada telapak tangan, atau peredaran bintang, atau
menulis dengan tongkat di pasir, dan sebagainya.
Ada dua kalimat yang sangat dekat maknanya dari istilah-istilah yang sebutkan di
atas, yaitu: khin (dukun) dan arrf (peramal). Berikut ini beberapa penjelasan
ulama tentang makna dua kalimat tersebut.
Pertama
:

Makna

Khin.

Syaikh Shlih Fauzan hafizhhullah menjelaskan,[1] khin (dukun) adalah orang


yang mengaku mengetahui tentang hal-hal ghaib pada masa yang akan datang
dengan cara melalui setan (Jin). Yaitu setan (Jin) tersebut memberitakan sesuatu
yang tidak diketahui oleh manusia. Karena setan bisa dapat mengetahui sesuatu
yang susah untuk diketahui manusia. Setan (Jin) ini memberitahu manusia dengan
imbalan atau syarat manusia itu mau tunduk kepadanya. Sehingga manusia
melakukan hal-hal kesyirikan dan kekufuran kepada Allh Azza wa Jalla . Mereka
berusaha mendekatkan diri kepada setan (Jin) tersebut. Apabila manusia sudah
mau tunduk kepada setan (Jin) sesuai permintaan mereka, maka setan akan
membantu mereka untuk mengetahui hal-hal yang ghaib.
Kemudian Syaikh Shlih Fauzan menyebutkan pendapat lain tentang arti dari
khin (dukun), adalah orang yang mengaku mengetahui apa yang tersembunyi
dalam hati. Padahal tidak ada yang mengetahui apa yang ada dalam hati
seseorang kecuali Allh Azza wa Jalla , akan tetapi setan bisa mengetahui
perkataan

hati

seseorang

melalui

bisikan-bisikan

yang

dilakukan

setan

kepadanya. Karena setan berjalan dalam diri manusia seperti mengalirnya darah
dalam tubuh manusia. Maka setan dapat mengetahui tentang seseorang hal yang
tidak bisa diketahui oleh orang lain.[2]
Kedua
:

Makna

Arrf.

Adapun arti arrf (peramal) menurut Imam Baghawi rahimahullah, adalah orang
yang

mengaku

mengetahui

peristiwa

dengan

cara-cara

tertentu

untuk

mengetahui tempat barang yang dicuri, tempat barang yang hilang dan
semisalnya.[3] Sedangkan menurut Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, arrf (peramal)
adalah nama untuk dukun, ahli nujum dan rammal (tukang tenung).[4]
Syaikh Shlih Fauzan menjelaskan perkara orang yang mengaku mengetahui
peristiwa dengan cara-cara tertentu untuk mengetahui barang yang dicuri,
tempat barang hilang dan semisalnya melalui setan (jin). Setan memang
memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Pada zhahirnya sang peramal akan
terlihat melakukan sesuatu yang biasa menurut banyak orang, akan tetapi itu
hanya sebagai kedok belaka. Pada hakikatnya ia bekerjasama dengan setan.
Kalau tidak, darimana ia dapat megetahui tentang dimana tempat benda yang

Halaman 37 dari 86

dicuri atau benda yang hilang? Kalau bukan dengan cara bekerjasama dengan
setan (Jin).
Berikutnya Syaikh Shlih Fauzan menyebutkan pendapat lain tentang arti arrf
(peramal), bahwa artinya sama dengan khin (dukun). Karena keduanya samasama mengaku mengetahui perkara-perkara ghaib melalui perantara setan (Jin).
Keduanya sama-sama merupakan anak buah setan. Walaupun berbeda dari segi
nama, namun memiliki arti dan profesi sama, yaitu sama-sama mengaku
mengetahui hal-hal yang ghaib.[5]
Kesimpulan
Syaikh Shlih lu Syaikh berusaha menyimpulkan pandangan ulama tentang
makna khin dan arrf sebagaimana berikut.
Pendapat pertama, khin adalah orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib
yang akan datang berkerjasama dengan setan. Dan arrf adalah orang yang
mengaku mengetahui perkara ghaib yang tersembunyi dan tidak terlihat oleh
manusia juga berkerjasama dengan setan.
Pendapat kedua, khin lebih bersifat umum, sedangkan arrf lebih bersifat
khusus. Khin termasuk didalamnya adalah setiap orang yang mengaku
mengetahui perkara ghaib yang akan datang maupun yang telah berlalu yang
tidak diketahui oleh manusia. Juga termasuk didalamnya adalah ahli nujum dan
semacamnya. Seperti tukang tenung, mengundi nasib melalui huruf abjadiyah,
melalui biji-biji tasbih, melalui mengukir di pasir dan sebagainya. Dan bahkan
sebagian ulama kontemporer mengatakan bahwa ilmu hipnotis termasuk di
dalamnya [6].
CARA JIN MENDAPATKAN BERITA GHAIB DAN BEKERJA SAMA DENGAN DUKUN
Terjalinya kerja sama antara jin dan dukun tentu memiliki kensekwensi dan
komitmen yang mesti dipenuhi oleh kedua belah pihak. Di antara bentuk
komitmen dan kensekwensi tersebut, sang dukun harus menuruti persyaratan
yang diminta oleh Jin. Setelah hal itu dilakukan sang dukun maka kemudian jin
membantu sang duku dalam praktek profesinya sebagai dukun. Biasanya
persyaratan itu tidak rumit, cukup melakukan salah satu bentuk kesyirikan atau
kekufuran saja, meskipun sang dukun tetap melakukan amalan ibadah yang
zhahir seperti shalat, puasa dan lain sebagainya. Dan kadang kala yang menjadi
persyaratan itu melakukan ibadah yang menyelisihi Sunnah Raslullh Shallallahu
alaihi wa sallam. Sehingga dengan demikian, tanpa disadari sang dukun terjebak
dalam sebuah dosa yang selalu dilakukan dalam hidupnya. Dia tidak menyadari
itu sebagai sebuah dosa dan kesalahan. Yang lebih populer dalam istilah ulama,
yaitu amalan-amalan bidah.
Ketika telah terjalin kerjasama yang erat, maka jin berupaya membantu sang
dukun dalam mengetahui berita-berita ghaib. Bagaimana cara jin mendapatkan
berita-berita ghaib tersebut? Jawabannya terdapat pada hadits berikut ini:

Halaman 38 dari 86

)) :

{
}




{















-








-




































.((








Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: Apabila Allh memutuskan sebuah perintah di langit, para malaikat
menundukkan sayap-sayap mereka dengan penuh takut, bagaikan suara rantai
yang ditarik di atas batu putih. Apabila telah hilang rasa takut dari hati mereka,
mereka bertanya: Apa yang dikatakakan oleh Tuhan kalian? Jibril menjawab:
Tentang kebenaran dan Ia Maha Tinggi lagi Maha Besar. Lalu para pencuri berita
langit (setan) mendengarnya. Mereka para pencuri berita langit tersebut seperti
ini, sebahagian mereka di atas sebagian yang lain -Sufyan (rawi hadits)
mencontohkan dengan jari-jarinya- maka yang paling di atas mendengar sebuah
kalimat lalu membisikannya kepada yang di bawahnya, kemudian selanjutnya ia
membisikan lagi kepada yang di bawahnya dan begitu seterusnya sampai ia
membisikannya kepada tukang sihir atau dukun. Kadang-kadang ia disambar oleh
bintang berapi sebelum menyampaikannya atau ia telah menyampaikannya
sebelum ia disambar oleh bintang berapi. Maka setan mencampur berita tersebut
dengan seratus kebohongan. Maka dikatakan orang: bukan ia telah berkata
kepada kita pada hari ini dan ini maka ia dipercaya karena satu kalimat yang
pernah ia dengan langit tersebut.[7]
Dalam hadits di atas ada berapa

point

yang

dapat

kita

jelaskan.

Pertama, dalam hadits tersebut diterangkan bagaimana proses jin dalam mencari
berita-berita ghaib. Yaitu dengan bertengger satu di atas yang lainnya seperti
pertunjukkan orang memanjat pinang atau seperti seni olah raga yang dilakukan
di sekolah-sekolah. Yaitu dengan cara lima orang di bawah, lalu pada tingkat
kedua naik empat orang, kemudian pada tingkat berikut tiga orang, dan begitu
seterusnya.
Kedua, berita ghaib yang mereka dapatkan itu berasal dari perkataan Allh
Subhanahu wa Taala kepada para malaikat untuk melakukan tugas tertentu, lalu
para malaikat saling berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Melalui
percakapan malaikat tersebut, jin mencuri dengar dan menyampaikannya kepada
mitranya dari kalangan dukun.
Ketiga, bahwa para jin tidak senantiasa dapat mencuri berita langit tersebut
karena Allh Subhanahu wa Taala menjadikan sebagian bintang untuk melempar
mereka yang berusaha mencuri dengar berita langit tersebut.
Keempat, jika jin selamat dari lemparan bintang yang berapi, barulah mereka
berhasil mencuri satu kalimat dari berita langit. Artinya, jin tidak mengetahui

Halaman 39 dari 86

secara detail atau seutuhnya tentang berita langit tersebut. Lalu berita tersebut
mereka

campur

dengan

seratus

kedustaan.

Kelima, bahwa sebab adanya manusia yang mempercayai dukun adalah gara-gara
tidak melihat kebohongan jin dan hanya mengingat satu kalimat yang terdapat
seratus kebohongan. Lalu kalimat yang satu tersebut diekspos kemana-mana,
namun tidak mengekspos kebohongannya yang begitu banyak.
Dalam hadits yang lain Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan :





-




















Diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu anha, saat para sahabat bertanya kepada
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam tentang dukun. Jawab beliau Shallallahu
alaihi wa sallam : Tidak perlu percaya, lalu sahabat bertanya lagi: Wahai,
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam . Sesungguhnya mereka kadang-kadang
memberitahu kita sesuatu yang benar terbukti? Jawab Raslullh Shallallahu
alaihi wa sallam : Itu adalah sebuah kalimat yang benar yang dicuri oleh Jin, lalu
ia bisikkan ke telinga pembantunya (dukun), kemudian ia campur dengan seratus
kebohongan.[8]
Dalam lafazh yang lain berbunyi:





























-



















Dari Aisyah Radhiyallahu anha, bahwa ia mendengar Raslullh Shallallahu alaihi
wa

sallam

bersabda:

Sesungguhnya

malaikat

turun

ke

awan,

mereka

menceritakan tentang urusan yang telah diputuskan Allh di langit. Kemudian


setan-setan mencuri dengar lalu mereka mendengar urusan tersebut, setelah itu
mereka sampaikan kepada para dukun. Mereka mencampurinya dengan seratus
kebohongan dari diri mereka sendiri.[9]
Dalam hadits ini juga terdapat penjelasan bahwa yang dikatakan sang dukun bisa
saja terbukti, namun bila dibanding dengan kebohongannya sungguh lebih
banyak, yaitu satu berbanding seratus. Adapun kebenaran yang pernah terbukti
dalam perkataan dukun tidak bisa dijadikan alasan untuk menerima dan
mempercayai

semua

berita

yang

dikatakannya.

Karena

kalau

semua

perkataannya bohong pasti tidak ada yang percaya dukun. Beginilah cara setan
melakukan

tipu

dayanya

untuk

menyesatkan

manusia.

Yaitu

dengan

menyamarkan antara yang hak dengan yang batil, antara yang benar dengan
yang salah.
PERDUKUNAN

DAHULU

DAN

SEKARANG

Berikut ini penjelasan sekilas tentang sisi-sisi kesamaan dan perbedaan antara
dukun zaman dulu dan zaman moderen sekarang ini.
Perdukunan
Zaman

Dulu

Pada zaman dulu para dukun lebih banyak beroperasi di daerah pedalaman yang

Halaman 40 dari 86

minim

ilmu

pengetahuan

serta

kurangnya

pusat

pelayanan

kesehatan

masyarakat. Umumnya masyarakat yang mendatangi dukun adalah golongan


yang tidak berilmu dan bertempat tinggal jauh dari pusat pelayanan kesehatan
medis atau kurangnya biaya untuk berobat ke pusat kesehatan. Tujuan
mendatangi dukun terbatas pada urusan tertentu saja, seperti berobat atau minta
ilmu tangkal dan pelet.
Dukun pada zaman dulu amat mudah dikenal oleh masyarakat melalui
penampilannya secara fisik atau zhahir. Mereka tidak telalu antusias untuk
mendapatkan harta dari para pasiennya. Pemberian atau imbalan yang mereka
terima sangat sederhana. Bahkan kadangkala hanya menerima sebatang rokok
atau uang sekedarnya tanpa ada tarif tertentu.
Dukun zaman dulu tidak menjadikan profesi perdukunan sebagai sumber mata
pencarian atau penghasilan pokok untuk biaya kehidupan sehari-hari. Disamping
itu, mereka sangat memperhatikan norma-norma adat dan nilai-nilai kesusilaan
dalam praktek perdukunanya, dan tidak menyamar dalam prateknya sebagai
seorang yang shalih.
Perdukunan

Zaman

Sekarang

Dukun zaman moderen melakukan prakteknya di kota-kota besar, bahkan


membuka pusat perdukunannya dengan izin resmi. Ilmu perdukunan mereka
didukung oleh ilmu pengetahuan moderen. Para pasienya orang-orang yang
berpendidikan dan memiliki kemampuan ekonomi menengah ke atas. Tujuan
mendatangi dukun tidak terbatas pada urusan klasik, seperti urusan untuk
berobat, akan tetapi lebih meluas lagi hingga ke dalam masalah profesi dan
pekerjaan yang sedang mereka geluti. Ada yang mendatangi dukun untuk
mendongkrak kepopuleran, untuk menjadi lebih cantik, agar menang dalam
pilkada, agar bisa bertahan dalam posisi jabatan yang sedang dipegang, atau naik
ke tingkat yang lebih tinggi dan sebagainya.
Dukun zaman moderen amat sulit untuk dikenal sebagai dukun secara fisik
maupun zhahirnya, karena bernampilan rapi dan mungkin menaiki kendaraan
mewah serta berteman dengan orang-orang terpandang. Dalam prakteknya,
dukun zaman moderen menetapkan tarif tertentu, mungkin bisa mencapai jutaan
rupiah. Perdukunan pada zaman moderen menjadi sebuah profesi resmi, sebagai
sumber mata pencaharian atau penghasilan pokok untuk biaya kehidupan seharihari. Para dukun zaman moderen lebih gila dan lebih bejat, tidak lagi
memperhatikan norma-norma adat dan nilai-nilai kesusilaan dalam praktek
perdukunanya. Mereka kadangkala mencabuli para pasiennya, bahkan mungkin
meminta untuk mensetubuhi isteri pasiennya sampai menikahi gadis-gadis tanpa
batas. Disamping itu, dalam prakteknya mereka menyamar sebagai seorang yang
shlih, dan mungkin mengaku sebagai seorang wali, habib atau mengaku
keturunan Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam.

Halaman 41 dari 86

HUKUM

PERDUKUNAN

DALAM

ISLAM

Berikut ini beberapa dalil yang menjelaskan tentang hukum perdukunan dalam
Islam. Perdukunan bukanlah sesuatu yang baru dalam kehidupan manusia, ia
sudah ada jauh sebelum Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam diutus oleh
Allh Subhanahu wa Taala. Sebagaimana Allh Subhanahu wa Taala menyanggah
tuduhan orang-orang kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wa sallam :









Maka tetaplah memberi peringatan, dengan sebab nikmat Rabb-mu engkau
bukanlah seorang dukun dan bukan pula seorang gila. [ath-Thr/52:29].
Dalam ayat ini Allh Subhanahu wa Taala membantah tuduhan bohong kaum
musyrikin terhadap Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bahwa ia
seorang dukun (tukang tenung) atau orang gila. Karena Raslullh Shallallahu
alaihi wa sallam mengabarkan kepada mereka tentang hal-hal yang akan datang
pada hari kiamat melalui perantaraan wahyu yang diwahyukan Allh Azza wa Jalla
kepadanya. Mereka ingin menyamakan antara seorang nabi dengan seorang
dukun yang suka meramal kejadian-kejadian yang akan datang, sebagai alasan
untuk menolak ajaran Nabi Shallallahu alaihi wa sallam .
Dari ayat di atas juga dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang memberitakan
kabar yang akan datang itu ada tiga jenis.
Pertama, seorang nabi yang mendapat wahyu dari Allh Azza wa Jalla ,
sebagaimana Allh Azza wa Jalla berfirman:




Demikianlah dari berita-berita ghaib yang Kami (Allh) wahyukan kepadamu. [Ali
Imran/3:44].
Kedua, dukun, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tentang hakikatnya.
Ketiga, orang gila yang berbicara di luar kesadaran.
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam telah menperingatkan umatnya untuk
tidak

mendatangi

dan

mempercayai

dukun

ataupun

membuka

praktek

perdukunan. Berikut ini beberapa hadits berkenaan dengan hal tersebut.


1.
Larangan
tentang
mendatangi

dukun.

Telah ditegaskan oleh Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya:


..

Dari Muawiyah bin Hakam Radhiyallahu anhu, ia berkata kepada Raslullh
Shallallahu alaihi wa sallam : Ada beberapa hal yang biasa kami lakukan pada
masa jahiliyah, kami terbiasa datang ke dukun? Jawab Raslullh Shallallahu
alaihi wa sallam : Jangan kalian datang ke dukun.[10].
2.
Larangan
bertanya
kepada

dukun.

Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:



..








Diriwayatkan lagi oleh sebagian isteri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , dari Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam : Barangsiapa yang mendatangi tukang tenung

Halaman 42 dari 86

untuk bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima darinya shalat selama
empat puluh malam.[11]
Dalam hadits ini dijelaskan tentang besarnya dosa mendatangi dukun untuk
sekedar bertanya tentang sesuatu, menyebabkan pahala amalan shalatnya
selama empat puluh malam atau hari hilang. Ini menunjukkan betapa besar dosa
mendatangi dukun.
3.
Larangan

mempercayai

dukun.

Dalam sebuah hadits dijelaskan:





-







Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: Barangsiapa yang mendatangi dukun lalu mempercayainya, sungguh
ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu alaihi
wa sallam .[12]
Dalam hadits di atas Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam membedakan antara
hukum mendatangi dukun dengan hukum mempercayainya. Hukum mendatangi
dukun berisiko tidak diterima shalat bagi pelakunya selama empat puluh hari.
Adapun hukum mempercayai perkataan dukun tentang hal yang ghaib berisiko
membuat seseorang tersebut telah terjatuh kepada perbuatan kufur, meskipun
Ulama berbeda pendapat tentang maksud kata kufur tersebut. Di antara mereka
ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah kufur akbar (besar). Namun
sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah kufur asghar (kecil).
Sebagian lagi lebih memilih tidak merinci kepada akbar maupun asghar, karena
konteksnya berbicara tentang ancaman.[13]
Sebahagian Ulama mengomentari tentang ancaman yang terdapat dalam hadits
di atas.[14 Jika demikian ancaman bagi orang yang mendatangi dan mempercayai
dukun, bagaimana dengan si dukun itu sendiri ? Tentu ancaman dan adzabnya
lebih berat lagi.
4. Larangan meminta

perdukunan

dan

membuka

praktek

perdukunan.

Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:





Bukanlah termasuk golongan kami orang yang mencari perdukunan atau
melakukan perdukunan.[15]
Sangat jelas dalam hadits ini Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam mencela
orang yang meminta bantuan dukun atau memberi bantuan perdukunan.
5.
Hukum
harta
hasil
perdukunan.
Berikut ini hadits Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam yang menjelaskan
tentang hukum harta yang diperoleh melalui praktek perdukunan :






Dari Abu Masud Radhiyallahu anhu , bahwa Raslullh Shallallahu alaihi wa
sallam melarang (memakan) hasil jual anjing, upah pelacur dan upah dukun.[16]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,[17] Ketahuilah bahwa perdukunan,
mendatangi dukun, mempelajari perdukunan, ilmu nujum, meramal dengan pasir,

Halaman 43 dari 86

gandum dan batu kerikil, termasuk mengajarkan semua hal ini adalah haram dan
mengambil upah atasnya juga haram berdasarkan dalil yang shahh.
Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa Abu Bakar ash-Shidiq Radhiyallahu anhu
pernah diberi makanan oleh hamba sahayanya. Setelah makanan itu ditelan Abu
Bakar ash-Shidq Radhiyallahu anhu, hamba sahaya tersebut bertanya kepadanya,
Tahukah Anda dari mana makanan ini? Abu Bakar menjawab, Tidak! Jawab
hamba sahaya, Dulu semasa jahiliyah aku pernah berpura-pura jadi dukun, lalu
ini upahnya, maka Abu Bakar Radhiyallahu anhu memasukkan anak jarinya ke
kerongkongannya hingga ia memuntahkan apa yang ada dalam perutnya.[18]
Adapun sisi-sisi kemungkaran yang dilakukan oleh para dukun, secara ringkas ada
tiga

jenis.

1. Mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib, hal ini adalah syirik dalam tauhid
rububiyyah, karena mengaku dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Padahal ini
adalah kekhususan bagi Allh semata, sebagaimana dalam firman Allh Azza wa
Jalla :










Katakanlah, Tiada seorang pun di langit maupun di bumi yang dapat mengetahui
yang ghaib kecuali Allh. [an-Naml/27:65].
2. Bermitra dengan jin atau setan. Kerjasama ini memiliki konsekwensi agar
seseorang tersebut memberikan sebagian ketaatan kepada jin atau setan. Hal ini
adalah syirik dalam tauhid ulhiyyah.
3. Telah berbuat kebohongan di tengah-tengah masyarakat dan memakan harta
mereka dengan cara batil atau haram.
BAGAIMANA
CARA

MENANGKAL

PERDUKUNAN?

Tidak diragukan lagi bahwa cara paling ampuh untuk menangkal perdukunan
adalah dengan banyak berdzikir kepada Allh Azza wa Jalla . Terutama doa dan
dzikir yang diajarkan oleh Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam untuk kita baca
pada pagi dan sore hari. Demikian pula dzikir dan doa yang berhubungan dengan
berbagai aktifitas sehari-hari.
Berikut ini beberapa dalil yang menerangkan keutamaan beberapa dzikir yang
dapat menangkal perdukunan atau gangguan setan.
1. Membaca ayat Kursy pada pagi dan sore, setiap selesai sholat fardhu dan saat
akan

tidur.

Hal ini dijelaskan oleh Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dalam beberapa
hadits. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhri dan Muslim
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang kisah ketika Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu ditugaskan oleh Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam untuk
menjaga zakat fitrah. Di akhir kisah tersebut setan membongkar rahasia yang
dapat menyelamatkan seorang Muslim dari gangguannya, yaitu membaca ayat
Kursy saat akan tidur. Lalu Abu Hurairah Radhiyallahu anhu memberitahu
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam tentang hal tersebut.

Halaman 44 dari 86



Setan berkata: Bila kamu mau berbaring di tempat tidurmu, maka bacalah ayat
Kursy, niscaya engkau senantiasa akan dijaga oleh Allh dan engkau tidak akan
didekati oleh setan sampai pagi hari! Jawab Raslullh Shallallahu alaihi wa
sallam : Ia telah jujur padamu (tentang hal tersebut), dan ia (pada hakikatnya)
adalah pembohong yang ulung, ia itu setan.[19]
2. Membaca ketika membuka pakaian dan ketika mau masuk WC.
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam telah mengajarkan, apabila kita membuka
pakaian saat akan mandi atau untuk berganti pakaian atau dan sebagainya,
hendaklah kita membaca: . Barangsiapa yang membaca saat
membuka pakaiannya sesungguhnya setan tidak akan bisa melihat auratnya.
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam bersbada :












:






Penghalang antara pandangan jin dengan aurat bani Adam adalah apabila salah
seorang kalian akan masuk WC, ia membaca [20].
3.
Membaca
doa
ketika

masuk

WC.

Anas bin Mlik Radhiyallahu anhu berkata: Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam
apabila akan memasuki WC beliau membaca:









Ya Allh, lindungilah aku dari gangguan jin laki-laki dan jin wanita.[21]
Tidakkah selayaknya kita mencontoh Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam ,
meskipun beliau hamba yang mashm dan terjaga dari sisi Allh, akan tetapi
beliau tetap memohon lindungan Allh dari gangguan setan/Jin.
4.
Membaca
doa
saat
akan
berhubungan

suami

isteri.

Begitu sempurnanya agama Islam sampai adab berhubungan suami-isteri


mendapat perhatian dan tuntunan pula. Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam
mengajarkan kepada umatnya ketika mereka akan menggauli isteri hendaklah
membaca :





.















..


Dengan nama Allh, ya Allh jauhkanlah setan dari kami dan dari rizki yang
engkau berikan kepada kami, jika ditakdirka antara keduanya mendapat anak
saat itu, niscaya ia tidak akan diganggu setan selamanya.[22]
5. Menghiasi rumah dengan sering membaca surat al-Baqarah di dalamnya.
Banyak rumah kita bangunannya mentereng tetapi tidak merasa nyaman dan
tenteram di dalamnya. Bahkan terkadang terdapat hal-hal yang menakutkan bagi
penghuninya. Mengapa begitu? Karena kebanyakan rumah kita dihiasi dengan
hiasan yang merangsang untuk kedatangan makhluk halus, seperti foto dan
patung. Dan yang lebih fatal lagi para penghuni jarang melakukan shalat-shalat
sunnah dan membaca al-Qur`n di dalamnya.
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Halaman 45 dari 86



..










Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Raslullh Shallallahu alaihi wa
sallam

bersabda:

Jangan

kalian

jadikan

rumah

kalian

seperti

kuburan.

Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah.
[23]
6.

Membaca

doa

ketika

masuk

rumah.

Disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam


bersbada:























.




















.

-











Dari Jabir bin Abdillh Radhiyallahu anhuma, ia mendengar Raslullh Shallallahu


alaihi wa sallam bersabda: Apabila seseorang memasuki rumahnya menyebut
nama Allh ketika saat masuknya dan ketika saat akan menyantap hidangannya,
maka Setan berkata: Tidak ada jatah tempat tinggal untuk kalian dan tidak pula
jatah makan. Apabila ia masuk tanpa menyebut nama Allh saat ketika masuk,
Setan berkata: Kalian mendapat jatah tempat tinggal. Dan apabila ia tidak
menyebut nama Allh lagi ketika saat menyantap hidangannya, Setan berkata:
Kalian mendapat jatah tempat tinggal dan jatah makan.[24]
7. Membaca doa ketika singgah di sebuah tempat atau memasuki daerah baru.
Diriwayatkan dari Khaulah binti Hukim, ia berkata: Aku mendengar Raslullh
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa yang singgah di sebuah
tempat, kemudian ia membaca:




. ..










.







Aku memohon lindungan Allh dari kejahatan makhluk yang telah diciptakan-Nya,
maka tidak satupun yang akan membahayakannya sampai ia meninggalkan
tempat tersebut[25].
Dan masih banyak lagi doa dan dzikir-dzikir yang dapat menghindarkan kita dari
gangguan setan/Jin. Para ulama, banyak yang sudah mengumpulkan doa dan
dzikir-dzikir tersebut ke dalam satu kitab kumpulan doa dan dzikir, dan mudah
dicari di toko-toko buku. Tetapi perlu berhati-hati dalam memilih buku-buku doa
yang beredar di pasaran, sebab tidak sedikit pula buku-buku doa yang dijual
penuh dengan hadits-hadits palsu dan dhaif. Dianatara buku doa yang ringkas,
disusun dengan sistematis serta sesuai dengan Sunnah, dan harganya pun sangat
terjangkau, yaitu buku doa Hisnul-Muslim, disusun oleh Syaikh Said bin Ali alQahthany. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dicetak
oleh banyak percetakan. Penulis sangat mengajurkan para pembaca untuk
memilki dan menghafalnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton

Halaman 46 dari 86

Gondangrejo

Solo

57183

Telp.

0271-858197

Fax

0271-858196]

_______
Footnote
[1].

Lihat

Inatul-Mustafd,

Fauzan,

hlm.

[2].

(2/171).
Ibid.

[3].

Lihat

[4].

Lihat

Syarah

as-Sunnah,

al-Fatw

12/182.

al-Kubr,

1/63.

[5].

Ibid.

[6].

Lihat

Syarah

Thahwiyah,

[7].

703.

HR

al-Bukhri,

4/1804

(4522).

[8].

HR

al-Bukhri,

5/2173

(5429).

[9].

HR

al-Bukhri,

3/1175

(3038).

[10].

HR

Muslim,

7/35

(5949).

[11].

HR

Muslim,

7/37

(5957).

[12]. HR Abu Dawud, no. (3004), Tirmidzi, no. (135), Ibnu Mjah, no. (639).
[13].

Lihat

Syarah

Thahwiyah,

Shlih

Alu

Syaikh,

[14].

704.
Ibid.

[15]. HR Thabrani, al-Mujam al-Kabr, 18/162 (355); al-Mujam al-Awsath, 4/302


(4262).
[16].

HR

[17].

al-Bukhri,

5/2172

Lihat

(5428);

Raudhah

Muslim,

5/35

ath-Thlibn,

(4092).
9/346.

[18].

Lihat

Shahh

al-Bukhri,

3/1395

(3629).

[19].

Lihat

Shahh

al-Bukhri,

3/1194

(3101).

Tirmidzi,

2/503

(606).

[20].
[21].
[22].

Lihat
HR
HR

Sunan

al-Bukhri,
al-Bukhri,

1/66
5/2347

(142);

Muslim,

1/195

(857).

(6025);

Muslim,

4/155

(3606).

[23].

HR

Muslim,

2/188

(1860).

[24].

HR

Muslim,

6/108

(5381).

[25]. HR Muslim, 8/76 (7053).


https://almanhaj.or.id/4304-ilmu-perdukunan-dalam-tinjauan-islam.html

Halaman 47 dari 86

Larangan Saling Mendengki


LARANGAN SALING MENDENGKI
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


:





:






























Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu ia berkata, Raslullh Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy, jangan
saling membenci, jangan saling membelakangi ! Janganlah sebagian kalian
membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi
hamba-hamba Allh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi
muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan
menghinakannya. Takwa itu disini beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-.
Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim.
Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim
lainnya.
TAKHRIJ
Hadits

HADITS
ini

1.

Shahih,

diriwayatkan

Muslim

(no.

2.

Imam

Ahmad

(II/277,

3.

Ibnu

Mjah

(no.

4.

oleh

2564).

311-dengan
3933,

Al-Baihaqi

ringkas,

4213-secara
(VI/92;

360)
ringkas)
VIII/250)

5. Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (XIII/130, no. 3549).


SYARAH

HADITS

Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam .


, artinya, jangan sebagian

kalian dengki kepada sebagian yang lain. Sifat dengki ada pada watak manusia
karena manusia tidak suka diungguli orang lain dalam kebaikan apa pun.
Terkait perasaaan dengki ini, manusia terbagi menjadi beberapa kelompok :
Kelompok
Pertama
Kelompok

ini

terbagi

menjadi

1. yang berusaha menghilangkan kenikmatan yang ada pada orang yang didengki
dengan berbuat zhalim kepadanya, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Kemudian berusaha mengalihkan kenikmatan tersebut kepada dirinya.
2. yang berusaha menghilangkan kenikmatan dari orang yang ia dengki tanpa
menginginkan nikmat itu berpindah kepadanya. Ini merupakan dengki paling
buruk dan paling jelek.
Ini adalah dengki yang tercela, dilarang dan merupakan dosa iblis yang dengki
kepada Nabi Adam Alaihissallam ketika melihat beliau mengungguli para
malaikat, karena Allh menciptakan beliau dengan tangan-Nya sendiri, menyuruh

Halaman 48 dari 86

para malaikat sujud kepada beliau, mengajarkan nama segala hal kepada beliau,
dan menempatkan beliau di dekat-Nya. Iblis tidak henti-hentinya berusaha
mengeluarkan Nabi Adam Alaihissallam dari surga hingga akhirnya beliau
dikeluarkan darinya.
Sifat dengki seperti inilah yang melekat pada orang-orang yahudi. Allh Azza wa
Jalla menjelaskan dalam banyak ayat al-Qurn tentang hal itu. Seperti firman-Nya
:




























Banyak diantara ahli kitab yang ingin sekiranya mereka dapat mengembalikan
kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam
hati mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka [al-Baqarah/2:109]
Atau firman Allh Azza wa Jalla :















Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah
diberikan Allh kepadanya ? [an-Nis/4:54]
Imam Ahmad rahimahullah dan at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan hadits dari
az-Zubair bin al-Awwm Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam , beliau bersabda :

.
Penyakit umat-umat sebelum kalian telah menyerang kalian yaitu dengki dan
benci. Benci adalah pemotong; pemotong agama dan bukan pemotong rambut.
Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman
hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika
kalian kerjakan maka kalian saling mencintai ? Sebarkanlah salam diantara
kalian.[1]
Kelompok

Kedua

Kelompok ini, jika dengki kepada orang lain, mereka tidak menuruti perasaan
dengkinya dan tidak berbuat zhalim kepada orang yang ia dengki, baik dengan
perkataan maupun perbuatan. Mereka ini terbagi dalam dua jenis :
1. Yang tidak kuasa memupus rasa dengki dari hatinya. Perasaan ini telah
menguasai dirinya. Orang yang seperti ini tidak berdosa.
2. Yang sengaja memunculkan kedengkian pada dirinya, mengulangi lagi. Ini
dilakukan berulang kali disertai harapan kenikmatan yang melekat pada orang
yang didengki sirna. Dengki seperti ini mirip dengan azam (tekad) untuk
melakukan kemaksiatan. Dengki seperti ini kecil kemungkinan terhindar dari
perbuatan zhalim terhadap yang ia dengki, kendati hanya dengan perkataan.
Dengan prilakunya yang zhalim ia berhak mendapatkan dosa.
Kelompok

Ketiga

Kelompok ini, jika dengki, ia tidak mengharapkan nikmat orang yang ada pada
orang yang didengki itu hilang, namun ia berusaha mendapatkan kenikmatan

Halaman 49 dari 86

yang sama dan ingin seperti dia. Jika kenikmatan yang dikejarnya adalah
kenikmatan dunia, maka itu tidak ada nilai kebaikannya, seperti perkataan orangorang yang mabuk dunia, Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan
seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun (al-Qashash/28:79). Jika nikmat
yang dikejar itu nikmat akhirat, maka itu baik. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda :




:











.



Tidak boleh dengki kecuali kepada dua orang : Orang yang diberi al-Qurn oleh
Allh kemudian ia melaksanakannya di pertengahan malam dan pertengahan
siang, dan orang yang diberi harta oleh Allh kemudian ia menginfakkannya di
pertengahan malam dan pertengahan siang.[2]
Dengki seperti ini dinamakan ghibthah.
Kelompok
Kelompok

ini,

jika

mendapati

sifat

dengki

Keempat
pada

dirinya,

ia

berusaha

memusnahkannya, berbuat baik kepada yang didengki, mendoakannya dan


menceritakan kelebihan-kelebihan orang yang didengki. Dia tidak hanya berusaha
menghilangkan

rasa

dengki

pada

dirinya

namun

dia

juga

berusaha

menggantikannya dengan rasa senang melihat saudaranya lebih baik lagi. Ini
termasuk derajat iman tertinggi. Orang yang seperti ini adalah mukmin sejati
yang mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.[3]
Seorang Muslim dan Muslimah tidak boleh dengki. Karena ia adalah sifat tercela,
sifat orang-orang Yahudi dan dapat merusak amal. Allh Subhanahu wa Taala
melarang manusia mengharapkan segala kelebihan dan keutamaan yang Allh
Subhanahu wa Taala berikan kepada orang lain. Allh Subhanahu wa Taala
berfirman,












Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang dilebihkan Allh kepada
sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari
apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang
mereka usahakan. Mohonlah kepada Allh sebagian dari karunia-Nya. Sungguh
Allh Maha Mengetahui segala sesuatu. [an-Nis/4:32]

DAMPAK
BURUK
DARI

SIKAP

HASAD[4]

Orang yang hasad akan terjerumus ke dalam beberapa bahaya, diantaranya :


1. Dengan hasad berarti dia membenci apa yang telah Allh Azza wa Jalla
tetapkan. Karena, benci kepada nikmat yang Allh berikan kepada orang lain
berarti benci terhadap ketentuan Allh Subhanahu wa Taala .
2. Hasad akan menghapus kebaikan-kebaikannya sebagaimana api menghabiskan
kayu bakar.
3. Hati orang yang hasad akan selalu merasa sedih dan susah. Setiap kali melihat
nikmat Allh Azza wa Jalla atas orang yang ia dengki, ia akan berduka dan susah
dan begitu seterusnya.

Halaman 50 dari 86

4. Hasad berarti menyerupai orang Yahudi. Padalah Raslullh Shallallahu alaihi


wa sallam bersabda, yang artinya, Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk golongan mereka[5]
5. Bagaimanapun kuatnya hasad, itu tidak akan menghilangkan nikmat Allh Azza
wa Jalla dari orang lain.
6. Hasad dapat menghilangkan kesempurnaan iman, berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam :












Tidak sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia menyukai bagi saudaranya
apa yang ia sukai bagi dirinya [6]
7. Hasad dapat melalaikan seseorang dari memohon nikmat kepada Allh
Subhanahu wa Taala .
8. Hasad dapat menyebabkan dirinya meremehkan nikmat Allh Subhanahu wa
Taala yang ada paa dirinya.
9. Hasad, akhlak tercela, karena ia selalu memantau nikmat Allh pada orang lain
dan berusaha menghalanginya dari manusia.
10. Jika orang yang hasad (dengki) sampai bertindak zhalim kepada yang
didengki, maka yang didengki itu akan mengambil kebaikan-kebaikannya pada
hari kiamat.
Kesimpulannya

bahwa

hasad

merupakan

akhlak

tercela,

tetapi

sangat

disayangkan sifat ini masih banyak ditemui di kalangan tengah masyarakat.


Wallaahul Mustaaan, nas-alullaahal afwa wal aafiyah.

Sabda
Nabi
Shallallahu
alaihi
wa
sallam


.
.

Najasy ditafsirkan oleh banyak Ulama dengan najasy dalam jual beli. Yaitu
menaikkan harga suatu barang yang dilakukan oleh orang yang tidak berminat
membelinya untuk kepentingan penjual supaya untungnya lebih besar atau untuk
merugikan pembeli. Termasuk praktek najasy yaitu memuji barang dagangan
seorang penjual supaya laku atau menawarnya dengan harga yang tinggi padahal
dia tidak berminat. Apa yang dilakukannya hanya untuk mengecoh pembeli
sehingga tidak merasa kemahalan kalau jadi beli. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu
anhuma, diriwayatkan bahwasa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang
najasy.[7]
Ibnu Abi Aufa rahimahullah mengatakan, Njisy (pelaku najasy) adalah pemakan
harta riba dan pengkhianat.[8]
Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, Para Ulama sepakat bahwa pelaku
najasy telah bermaksiat kepada Allh Azza wa Jalla jika ia tahu najasy itu
terlarangan. [9]
Lalu bagaimana dengan keabsahan jual-beli tersebut ? Ada Ulama yang
berpendapat, jika pelaku najasy adalah penjualnya atau orang yang disuruh
penjual untuk melakukan najasy, maka jual-beli itu tidak sah. Sebagian besar
fuqaha berpendapat bahwa jual-beli najasy sah secara mutlak. Ini pendapat Abu
Hanfah, Imam Mlik, dan merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Hanya
saja, Imam Mlik dan Imam Ahmad menegaskan bahwa pembeli mempunyai

Halaman 51 dari 86

khiyr (hak pilih antara melanjutkan jual-beli atau membatalkannya) jika ia tidak
mengetahui kondisi yang sebenarnya dan ditipu dengan penipuan di luar batas
kewajaran.
Atau bisa juga najasy dalam hadits diatas ditafsirkan dengan penafsiran yang
lebih umum. Yaitu semua muamalah yang mengandung unsur penipuan atau
makar. Dalam al-Qurn, Allh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa sifat orang-orang
kafir dan munafik ialah membuat makar terhadap para nabi dan pengikut mereka.
Sungguh indah apa yang dikatakan Abu Al-Athiyah,












Dunia
tidak
lain
adalah
agama
dan

agama

sesungguhnya

tidak
makar

lain
dan

adalah
penipuan

akhlak

mulia

di

neraka

itu

karena keduanya sifat orang-orang munafik.


Makar diperbolehkan dilakukan terhadap orang yang memang diperbolehkan
untuk diganggu, yaitu orang-orang kafir yang wajib diperangi, seperti sabda
beliau Shallallahu alaihi wa sallam,





Perang adalah tipu daya[10]

Sabda
Nabi
Shallallahu

alaihi

wa

sallam

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang kaum Muslimin saling membenci


karena mengikuti hawa nafsu. Karena Allh Subhanahu wa Taala menjadikan
mereka bersaudara. Bersaudara berarti saling mencintai, bukan saling membenci.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :






















:







Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman hingga kalian
saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan
maka kalian akan saling mencintai ? Sebarkan salam di antara kalian.[11]
Allh telah mengharamkan atas kaum Muslimin segala yang berpotensi
menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka. Allh berfirman,

Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan


kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka tidakkah kamu
berhentilah (dari mengerjakan pekerjaan itu). [al-Midah/5:91]
Oleh karena itu, perbuatan mengadu domba diharamkan

karena

bisa

menyebabkan permusuhan dan kebencian. Di sisi lain, berbohong untuk


mendamaikan manusia diperbolehkan dan Allh menganjurkan mendamaikan
mereka.
Diriwayatkan dari Abu Darda Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,

Halaman 52 dari 86










: . :









.
Maukah kalian aku jelaskan sesuatu yang lebih baik daripada derajat shalat,
puasa dan sedekah? Para Shahabat berkata, Ya. Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, Mendamaikan orang yang berselisih. Dan rusaknya hubungan
persaudaraan adalah pemotong (agama).[12]
Adapun benci karena Allh Subhanahu wa Taala , maka itu termasuk bagian
terkuat dari keimanan dan tidak termasuk benci yang dilarang. Jika seseorang
melihat keburukan pada saudaranya kemudian ia membenci saudaranya karena
keburukan tersebut, maka ia mendapat pahala, kendati saudaranya mengajukan
alas an yang bisa diterima. Seperti perkataan Umar bin Khatthab Radhiyallahu
anhu, Dahulu kami mengenali kalian karena Raslullh Shallallahu alaihi wa
sallam berada di tengah kita-kita, wahyu turun, dan Allh menjelaskan kepada
kita tentang perihal kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Raslullh Shallallahu
alaihi wa sallam telah wafat dan wahyu terputus. Ketahuilah, kita mengenali
kalian sesuai dengan pengetahuan kita tentang kalian. Ketahuilah, barangsiapa di
antara kalian memperlihatkan kebaikan, maka kita menduganya baik dan
mencintainya karenanya. Dan barangsiapa memperlihatkan keburukan, kami
menduganya buruk dengannya dan membencinya karenanya, sementara rahasia
kalian ada di antara kalian sendiri dan Rabb Azza wa Jalla.[13]

Sabda
Nabi
Shallallahu
alaihi
wa
sallam
.

Abu Ubaid berkata, Tadbur (saling membelakangi) ialah saling memutus


hubungan dan saling mendiamkan.
Dari Abu Ayyb al-Anshri Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,



















Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari;
keduanya bertemu, namun yang ini berpaling dari satunya dan yang satunya juga
berpaling darinya. Orang yang paling baik di antara keduanya ialah yang memulai
mengucapkan salam[14]
Para Ulama berbeda pendapat apakah sikap mendiamkan itu dianggap berakhir
dengan ucapan salam ? Sejumlah Ulama berkata bahwa sikap mendiamkan itu
berakhir dengan ucapan salam. Ini diriwayatkan dari al-Hasan rahimahullah dan
Imam Mlik dalam riwayat Ibnu Wahb. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


















Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.
Barangsiapa mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari kemudian mati, maka ia
masuk Neraka[15]
Jika pada hari ketiga mereka bertemu, lalu salah seorang mengucapkan salam
dan yang lain menjawab, maka kedua berhak mendapatkan pahala. Namun jika

Halaman 53 dari 86

tidak dijawab salamnya, maka yang tidak menjawab ini menanggung dosanya.
[16]
Sabda



Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
Nabi

Shallallahu

alaihi

wa

sallam

bersabda,










Seseorang tidak boleh menjual diatas penjualan saudaranya dan tidak boleh
melamar lamaran saudaranya kecuali jika ia mengizinkannya.[17]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,









Seorang Muslim tidak boleh menawar barang yang sedang dalam penawaran
saudaranya[18].
Keberadaan kata

Muslim

dalam

hadits

diatas

menunjukkan

bahwa

ini

merupakan hak orang Muslim atas Muslim lainnya. Ini tidak berlaku pada nonmuslim. Ini pendapat al-Auzi rahimahulah dan Imam Ahmad rahimahullah. Tapi,
banyak juga para fuqah (ulama ahli fikih) berpendapat bahwa larangan pada
hadits di atas berlaku umum bagi Muslim dan non-muslim.
Pengertian menjual barang di atas penjualan saudaranya ialah si A membeli
sesuatu dari si B kemudian si C datang menawarkan barangnya kepada si A agar
ia membelinya dan membatalkan jual-beli pertama.
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam



, Wahai hambahamba
Dalam

Allah,
potongan

hadits

jadilah
ini

terdapat

kalian
isyarat

bahwa

bersaudara.
jika

kaum

Muslimin

meninggalkan sikap saling dengki, saling najasy, saling membenci, saling


membelakangi, dan menjual di atas penjualan saudaranya, maka mereka pasti
akan menjadi bersaudara.[19]
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam










, Orang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, ia tidak

menzhaliminya, tidak menelantarkannya, dan tidak menghinakannya.
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ini diambil dari firman Allh Subhanahu
wa Taala.











Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah
antara kedua saudara kalian.[al-Hujurt/49:10]
Jika kaum Mukminin telah bersaudara, maka mereka diperintahkan untuk
melakukan segala yang bisa membuat hati bersatu dan dilarang mengerjakan
segala yang membuat hati saling benci. Mereka juga diperintahkan untuk
menyalurkan atau memberikan manfaat buat saudaranya dan menghindarkannya
dari segala yang mencelakakan. Di antara mudharat terbesar yang harus
disingkirkan dari saudara adalah tindak kezhaliman. Kezhaliman tidak saja haram
dilakukan terhadap orang Muslim, namun juga haram dilakukan terhadap siapa
pun.

Halaman 54 dari 86

Di antara hal yang dilarang ialah menelantarkan orang Muslim lainnya. Seorang
Muslim diperintahkan menolong saudaranya yang muslim. Raslullh bersabda
Shallallahu alaihi wa sallam :
!

: .














.
Tolonglah saudaramu yang zhalim atau dizhalimi. Kami bertanya, Wahai
Raslullh, aku menolongnya jika ia dizhalimi. Bagaimana aku menolongnya jika
ia menzhalimi? Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Engkau cegah dia
dari berbuat zhalim, itulah pertolonganmu terhadapnya.[20]
Di antara hal lain yang dilarang ialah berdusta kepada Muslim lainnya. Seorang
Muslim tidak boleh berbicara dusta kepada saudaranya. Dia harus berbicara
dengan jujur.
Di antara hal lain yang dilarang ialah menghina orang Muslim. Karena perilaku
buruk ini bersumber dari kesombongan. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda :



Kesombongan ialah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.[21]
Allh Azza wa Jalla berfirman,



Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum
yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang (diperolok-olokkan) lebih baik dari
mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan (mengolok-olokkan)
perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan yang (diperolok-olokkan) lebih
baik dari perempuan yang mengolok-olok) [al-Hujurt/49:11]
Jadi, orang sombong itu melihat dirinya sebagai figur sempurna dan melihat orang
lain selalu kurang, karenanya ia menghina dan meremehkan mereka.[22]
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
,







Takwa

itu disini

beliau sambil memberi isyarat ke dadanya

tiga

kali-.

Di dalam sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ini terdapat isyarat bahwa
kemuliaan seseorang di sisi Allh Azza wa Jalla itu ditentukan dengan
ketakwaannya. Orang yang dipandang hina oleh masyarakat karena lemah dan
miskin, bisa jadi lebih mulia di sisi Allh Azza wa Jalla daripada orang yang
terhormat di dunia. Allh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, Sungguh,
orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allh ialah orang yang paling
bertakwa [al-Hujurt/49:13]
Ketakwaan seseorang itu letaknya di hati, tidak ada yang dapat melihat
hakikatnya kecuali Allh Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,

.










Sesungguhnya Allh tidak melihat wajah dan harta kalian, namun Allh melihat
hati dan amal perbuatan kalian.[23]
Bisa jadi orang yang mempunyai wajah tampan (cantik), kekayaan melimpah,
terpandang di dunia, namun hatinya hampa dari takwa. Juga bisa jadi orang yang

Halaman 55 dari 86

tidak mempunyai apa-apa, namun hatinya penuh dengan takwa sehingga ia


menjadi yang termulia di sisi Allh Azza wa Jalla . Kondisi inilah yang sering
terjadi. Disebutkan dalam hadits, dari Hritsah bin Wahb bahwa Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda :

:
:




















Maukah kalian aku tunjukkan penghuni surga; yaitu setiap orang lemah yang
dianggap lemah. Seandainya ia bersumpah atas nama Allh, pasti dikabulkan.
Maukah kalian aku jelaskan penghuni neraka yaitu setiap orang yang congkak,
angkuh dan sombong.[24]
Dari Sahl bin Saad Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, Seseorang berjalan melewati Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam
kemudian beliau bertanya kepada orang yang duduk di samping beliau,
Bagaimana pendapatmu tentang orang ini? Orang itu menjawab, Ia termasuk
orang-orang yang terhormat. Ia layak dinikahkan jika melamar, layak dibela jika ia
minta pembelaan, dan ucapannya layak didengar. Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam diam. Setelah itu, ada orang lain lagi lewat. Raslullh Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda kepada orang yang duduk di samping beliau, Bagaimana
pendapatmu tentang orang tersebut? Orang tersebut berkata, Wahai Raslullh,
ia seorang Muslim yang fakir. Ia pantas ditolak jika melamar, tidak dibela jika
minta

pembelaan dan perkataannya

tidak

layak

diperhatikan. Raslullh

Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Orang ini (orang kedua) lebih baik
daripada isi bumi dan semisalnya. [25]


Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam





,








cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim.
Maksudnya, cukuplah menjadi sebuah keburukan jika orang Muslim menghina
saudaranya

yang

muslim.

Sebab

perilaku

buruknya

ini

hanya

terdorong

kesombongannya, padahal sombong termasuk perangai yang paling buruk. Nabi


Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Tidak akan masuk surga orang yang di
hatinya masih ada kesombongan, kendati hanya sebiji sawi.[26]

Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam









, Setiap Muslim atas Muslim lainnya haram darah, harta dan




kehormatannya.
Sabda ini termasuk yang sering disebutkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
dalam

khutbah-khutbah

beliau.

Nabi

Shallallahu

alaihi

wa

sallam

menyampaikannya saat haji Wada, hari Qurban, hari Arafah dan hari kedua dari
hari-hari Tasyriq. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :





.














Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram atas kalian
sebagaimana keharaman hari kalian ini, di negeri kalian ini dan di bulan kalian ini.
[27]

Halaman 56 dari 86

Dalam sebuah riwayat dijelaskan, sebagian shahabat melakukan perjalanan


bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , kemudian salah seorang dari mereka
tidur. Salah seorang dari mereka pergi ke tali orang yang tidur tersebut dan
mengambilnya, akibatnya orang yang tidur tersebut kaget. Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda,








Orang Muslim tidak boleh menakut-nakuti orang Muslim lainnya.[28]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam ditanya tentang ghibah. Beliau bersabda, Menggunjing (ghibah) ialah
engkau menyebutkan keburukan saudaramu. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
bertanya, Bagaimana pendapatmu jika apa yang aku katakan memang benar?
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Jika apa yang engkau katakan itu
benar, berarti engkau telah menggunjingnya. Jika apa yang engkau katakan tidak
benar, berarti engkau telah berdusta.[29]
Dalil-dalil di atas menegaskan bahwa orang Muslim tidak boleh diganggu dengan
cara apa pun, baik perkataan atau perbuatan, tanpa alasan yang benar. Allh
Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, Dan orang-orang yang menyakiti orangorang Mukmin dan Mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka
sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. [alAhzb/33:5]
Allh Azza wa Jalla menjadikan kaum Mukminin bersaudara agar saling
menyayangi dan mengasihi. Dari Numan bin Basyir Radhiyallahu anhu bahwa
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,



























.



Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan
simpati ibarat satu tubuh. Jika salah satu organ tubuhnya sakit, maka seluruh
oragan tubuh yang lain mengeluh sakit seperti demam dan tidak bisa tidur.[30]
Fawaaid
Hadits:
1.

Hasad

(dengki)

itu

haram

2. Sistem jual-beli najasy (meninggikan harga untuk menipu pembeli) itu haram.
3.

Larangan

4.

Larangan

5.

saling

membenci

menawar

Wajib

atau

memupuk

dan

menjual

perintah
atas

untuk

saling

tawaran-penjualan

persaudaraan

antar

kaum

mencintai.
saudaranya.
Muslimin.

6. Darah, harta dan kehormatan seorang Muslim haram atas muslim lainnya.
7.
8.

Hati
Takwa

merupakan

tempatnya

di

hati

sumber
dan

dibuktikan

segala
dengan

sesuatu.
amal

shalih.

10. Takwa dan niat yang shalih adalah timbangan bagi Allh atas hamba-hambaNya.
Maraji:
1.
2.

Al-Qur-an

dan
Shahh

terjemahnya.
al-Bukhri.

Halaman 57 dari 86

3.

Shahh

Muslim

4.

Musnad

Imam

Ahmad

5.

Sunan

Abu

Dawud

6.

Sunan

at-Tirmidzi

7.

Sunan

an-Nasa-i

8.

Sunan

9.

Sunan

10.
11.

Ibni
al-Kubra

Syarhus
Irwaa-ul

Majah

Sunnah,

Ghaliil,

karya

lil

karya

Syaikh

Baihaqi.

Imam

Muhammad

al-Baghawi.

Nashiruddin

al-Albani.

12. Shahiih al-Jaamiish Shaghiir, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.


13. Jaamiul Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syuaib alArnauth
14.

dan
Qawaa-id

wa

Ibrahim
Fawaa-id

min

Baajis.

Arbain

an-Nawawiyyah.

15.
16.

At-Tamhiid.
Majmu

al-Fataawa

Syaikhil

Islam

Ibni

Taimiyah.

17. Kitabul Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit
Yayasan

Lajnah

Gondangrejo

Istiqomah

Solo

Surakarta,

57183

Jl.

Telp.

Solo-Purwodadi

0271-858197

Km.8

Fax

Selokaton

0271-858196]

_______
Footnote
[1]. Hasan. HR. at-Tirmidzi (no. 2510 ), Ahmad (I/165, 167), dan lainnya. Hadits ini
dihasankan oleh Syaikh al-Albni dalam Irw-ul Ghall (III/28, dalam bahasan
hadits

no.

777

dan

Hidyatur

Ruwt

no.

4966).

[2]. Shahih. HR. Bukhri (no. 5025, 7529), Muslim (no. 815), dan lainnya dari
Shahabat
[3].
[4].

Ibnu
Jmiul

Umar
Ulm

Dinukil

dari

Radhiyallahuanhuma.

wal

Hikam

Kitbul

Ilmi

(II/260-263)
(hlm.

72-75).

[5]. Shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/50, 92), dan Abu Dawud (no. 4031), dari
Shahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma. Lihat Shahh al-Jmiish Shaghr (no.
6149)

dan

Jilbbul

Mar-atil

Muslimah

(hlm.

203-204).

[6]. Shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhri (no. 13) Muslim (no. 45), Nas-i
(VIII/115), at-Tirmidzi (no. 2515), Drimi (II/307), Ibnu Mjah (no. 66), dan Ahmad
(III/176,

206,

251,

272,

278,

279),

dari

Anas

Radhiyallahu

anhu

[7]. Shahih. HR. Bukhri (no. 2142, 6963), Muslim (no. 1516), dan lainnya.
[8].
[9].

Shahih.

HR.
At-Tamhd

Bukhri

(no.

2675).
(XII/290).

[10]. Shahih. HR. Bukhri (no. 3030), Muslim (no. 1739), dan lainnya dari
Shahabat Jabir Radhiyallahu anhu. Dan diriwayatkan juga oleh beberapa

Halaman 58 dari 86

shahabat

lainnya.

Lihat,

Jmiul

Ulm

wal

Hikam

(II/263-265).

[11]. Shahih. HR. Muslim (no. 54), Abu Dwud (no. 5193), at-Tirmidzi (no. 2688),
dan

lainnya

dari

Abu

Hurairah

Radhiyallahu

anhu.

[12]. Shahih. HR. Ahmad (VI/444-445), Abu Dwud (no. 4919), Ibnu Hibbn (no.
1982-al-Mawrid), dan at-Tirmidzi (no. 2509), beliau berkata, Hadits ini hasan
shahih.
[13].

Diringkas

dari

Jmiul

Ulm

wal

Hikam

(II/265-267).

[14]. Shahih. HR. Bukhri (no. 6077, 6237), Muslim (no. 2560), dan lainnya.
[15]. Shahih. HR. Abu Dwud (no. 4914) dan Ahmad (II/392). Dishahihkan oleh
Syaikh

al-Albni

dalam

[16].

Jmiul

[17].

Shahih.

HR.

[18].

Shahih.

HR.

[19].

Irw-ul

Ulm

Jaamiul

Ghall

wal

Hikam

Muslim

(II/268-270).

(no.

Muslim

Uluum

(VII/64).

1412

(no.
wal

(50)).

1515
Hikam

(9)).
(II/271).

[20]. Shahih. HR. Bukhari (no. 6952), at-Tirmidzi (no. 2255), Ahmad (III/99, 201),
dan

lainnya

dari

Shahabat

Anas

radhiyallaahu

anhu.

[21]. Shahih. HR. Muslim (no. 91) dan lainnya dari Shahabat Ibnu Masud
radhiyallaahu
[22].

anhu.

Diringkas

dari

Jaamiul

Uluum

wal

Hikam

(II/273-275).

[23]. Shahih. HR. Muslim (no. 2564 (33)), Ahmad (II/539), dan lainnya dari Abu
Hurairah
[24].

Radhiyallahu

Shahih.

HR.

Bukhri

(no.

4918,

anhu.
6071),

Muslim

(no.

2853)

[25]. Shahih. HR. Bukhri (no. 5091, 6447). Lihat, Jmiul Ulm wal Hikam (II/275278)
[26].
[27].
[28].
[29].

Shahih.
Shahih.

HR.

Shahih.
Shahih.

HR.
Bukhri
HR.

Muslim

(no.
Abu

HR.

1739)

dari

(no.
Ibnu

Dwud
Muslim

Abbas
(no.

(no.

[30]. Shahih. HR. Bukhri (no. 6011), Muslim (no. 2586), dan lainnya.
https://almanhaj.or.id/3522-larangan-saling-mendengki.html

91)
c

5004).
2589)

Halaman 59 dari 86

(Bolehkah)

Beralasan

Dengan

Takdir

Atas

Perbuatan

Maksiat

Atau

Dari

Meninggalkan Kewajiban
(BOLEHKAH) BERALASAN DENGAN TAKDIR ATAS PERBUATAN MAKSIAT ATAU DARI
MENINGGALKAN KEWAJIBAN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Keimanan kepada qadar tidaklah memperkenankan pelaku kemaksiatan untuk
beralasan dengannya atas kewajiban yang ditinggalkannya atau kemaksiatan
yang dikerjakannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, Tidak boleh seseorang
berdalih dengan takdir atas dosa (yang dilakukannya) berdasarkan kesepakatan
(ulama) kaum muslimin, seluruh pemeluk agama, dan semua orang yang berakal.
Seandainya hal ini diterima (dibolehkan), niscaya hal ini dapat memberikan
peluang kepada setiap orang untuk melakukan perbuatan yang merugikannya,
seperti membunuh jiwa, merampas harta, dan seluruh jenis kerusakan di muka
bumi, kemudian ia pun beralasan dengan takdir. Ketika orang yang beralasan
dengan takdir dizhalimi dan orang yang menzhaliminya beralasan yang sama
dengan takdir, maka hal ini tidak bisa diterima, bahkan kontradiksi. Pernyataan
yang kontradiksi menunjukkan kerusakan pernyataan tersebut. Jadi, beralasan
dengan qadar itu sudah dimaklumi kerusakannya di permulaan akal.[1]
Karena perkara ini menimbulkan banyak bencana, maka inilah pemaparan
mengenai sebagian dalil-dalil syari, aqli (akal), dan kenyataan, yang menjelaskan
kebathilan dengan beralasan kepada qadar (takdir) atas perbuatan maksiat, atau
dari meninggalkan ketaatan. [2]
1. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

















Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, Jika Allah
menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya
dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun. Demikian pulalah
orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai
mereka merasakan siksaan Kami. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan
belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.[Al-An-aam/6 : 148]
Kaum musyrikin tersebut berdalih dengan takdir atas perbuatan syirik mereka.
Seandainya

argumen

mereka

diterima

dan

benar,

menimpakan adzab-Nya kepada mereka.


2. Dia Subhanahu wa Taala berfirman:

niscaya

Allah

tidak

Halaman 60 dari 86

(Mereka Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah
diutusnya Rasul-Rasul itu . [An-Nisaa/4 : 165]
Seandainya berdalih dengan takdir atas kemaksiatan itu diperbolehkan, niscaya
tidak ada sebab untuk mengutus para Rasul.
3. Allah memerintahkan hamba dan melarangnya, serta tidak membebaninya
kecuali apa yang disanggupinya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:






Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.

[At-

Taghaabun/64 : 16]
Juga firman-Nya yang lain.






Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
[Al-Baqarah/2 : 286]
Seandainya hamba dipaksa untuk melakukan suatu perbuatan, maka dia berarti
telah dibebani dengan sesuatu yang dirinya tidak mampu terbebas darinya. Ini
adalah suatu kebathilan. Oleh karena itu, jika kemaksiatan terjadi padanya karena
kebodohan, lupa atau paksaan, maka tidak ada dosa atasnya karena ia
dimaafkan.
4. Qadar adalah rahasia yang tersembunyi, tidak ada seorang makhluk pun yang
mengetahuinya kecuali setelah takdir itu terjadi, dan kehendak hamba terhadap
apa yang dilakukannya adalah mendahului perbuatannya. Jadi, kehendaknya
untuk berbuat, tidaklah berdasarkan pada pengetahuan tentang takdir Allah. Oleh
karena itu, pengakuannya bahwa Allah telah menakdirkan kepadanya demikian
dan demikian adalah pengakuan yang bathil, karena

ia telah mengaku

mengetahui yang ghaib, sedangkan perkara ghaib itu hanyalah diketahui oleh
Allah. Dengan demikian, argumennya batal, sebab tidak ada argumen bagi
seseorang mengenai sesuatu yang tidak diketahuinya.
5. Seandainya kita membebaskan orang yang berdalih dengan qadar atas
perbuatan dosa, niscaya kita telah menafikan syariat.
6. Seandainya berdalih dengan qadar -semacam ini- bisa menjadi hujjah
(argumen), niscaya telah diterima argumentasi dari iblis yang mengatakan,
(sebagaimana yang difirmankan oleh Allah):









Iblis menjawab, Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar
akan (menghalangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus. [Al-Araaf/7: 16]
7. Seandainya dalih mereka diterima juga, niscaya Firaun, musuh Allah, sama
dengan Nabi Musa Alaihissalam, Nabi yang diajak bicara oleh Allah secara
langsung.
8. Berdalih dengan qadar atas perbuatan dosa dan aib, berarti membenarkan
pendapat kaum kafir, dan ini merupakan kelaziman bagi orang yang berdalih,
tidak terpisah darinya.
9. Seandainya itu suatu argumen (yang benar), niscaya ahli Neraka berargumen
dengannya, ketika mereka melihat Neraka dan merasa bahwa mereka akan

Halaman 61 dari 86

memasukinya. Demikian pula ketika mereka memasukinya, dan mereka mulai


dicela serta dihukum. Apakah mereka akan berdalih dengan qadar atas
kemaksiatan dan kekafiran mereka?
Jawabannya: Tidak, bahkan mereka mengatakan, sebagaimana firman Allah Azza
wa Jalla tentang mereka:









..Ya Rabb kami, beri tangguhlah kami (kembalikan kami ke dunia) walaupun
dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan-Mu dan akan
mengikuti para Rasul. [Ibrahim/14 : 44]
Mereka juga mengatakan:




Ya Rabb kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami. [Al-Muminuun/23:
106]
Mereka juga mengatakan:

Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya


tidaklah kami termasuk penghuni Neraka yang menyala-nyala. [Al-Mulk/67 : 10]
Dan mereka mengatakan:








Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. [AlMuddatstsir/74 : 43]
Juga
perkataan-perkataan

mereka

lainnya

yang

mereka

katakan.

Seandainya berdalih dengan qadar atas kemaksiatan itu diperbolehkan, niscaya


mereka berdalih dengannya, karena mereka sangat membutuhkan sesuatu yang
dapat menyelamatkan mereka dari siksa Neraka Jahannam.
10. Di antara (jawaban) lain yang dapat menolak pendapat ini adalah, bahwa kita
melihat manusia menginginkan sesuatu yang pantas untuknya dalam berbagai
urusan dunianya hingga ia dapat memperolehnya. Ia tidak berpaling darinya
kepada

sesuatu

yang

tidak

pantas

untuknya,

kemudian

berdalih

atas

berpalingnya ia darinya tersebut dengan takdir.


Lalu mengapa ia berpaling dari apa yang bermanfaat baginya dalam urusan
agamanya kepada perkara yang merugikannya kemudian berargumen dengan
qadar?!
Saya berikan contoh kepadamu yang menjelaskan hal itu : Seandainya manusia
hendak bepergian ke suatu negeri, dan negeri tersebut mempunyai dua jalan:
salah satunya aman sentosa dan yang lainnya terjadi tindakan anarkis,
kekacauan, pembunuhan, dan perampasan, manakah di antara keduanya yang
akan dilaluinya?
Tidak diragukan lagi bahwa ia akan menempuh jalan yang pertama, lalu mengapa
ia tidak menempuh jalan ke akhirat melalui jalan Surga, tanpa melalui jalan
Neraka?
11. Di antara jawaban yang dapat diberikan kepada orang yang berdalih dengan
takdir ini -berdasarkan madzhabnya- ialah katakan kepadanya, Janganlah engkau
menikah! Sebab jika Allah menghendaki kepadamu seorang anak, maka anak itu
akan datang kepadamu dan jika tidak menghendakinya, maka anak tersebut tidak

Halaman 62 dari 86

datang (walaupun menikah)!. Janganlah makan dan minum! Sebab jika Allah
menakdirkan kepadamu kenyang dan tidak kehausan, maka hal itu akan terwujud
dan jika tidak, maka hal itu tidak akan terwujud. Jika binatang buas lagi
berbahaya menyerangmu, jangan lari darinya! Sebab jika Allah menakdirkan
untukmu keselamatan, maka kamu akan selamat dan jika tidak menakdirkan
keselamatan untukmu, maka lari tidak bermanfaat bagimu. Jika kamu sakit,
janganlah berobat! Sebab jika Allah menakdirkan kesembuhan untukmu, maka
kamu pasti sembuh dan jika tidak, maka obat itu tidak bermanfaat bagimu.
Apakah ia menyetujui kita atas pernyataan ini ataukah tidak? Jika ia menyepakati
kita, maka kita mengetahui kerusakan akalnya dan jika menyelisihi kita, maka kita
mengetahui kerusakan ucapannya dan kebathilan argumennya.
12. Orang yang berdalih dengan qadar atas kemaksiatan telah menyerupakan
dirinya dengan orang-orang gila dan anak-anak, karena mereka bukan mukallaf
(yang berlaku padanya hukum syari) dan juga tidak mendapatkan sanksi.
Seandainya ia diperlakukan seperti mereka dalam urusan dunia, niscaya dia tidak
akan ridha.
13. Seandainya kita menerima argumen yang bathil ini, niscaya tidak diperlukan
lagi istighfar, taubat, doa, jihad, serta amar maruf dan nahi mungkar.
14. Seandainya qadar adalah sebagai argumen atas perbuatan aib dan dosa,
niscaya berbagai kemaslahatan manusia terhenti, anarkisme terjadi di manamana, tidak diperlukan lagi hudud (batasan-batasan hukum atau hukuman) dan
tazir (peringatan sebagai hukuman) serta balasan, karena orang yang berbuat
keburukan akan beralasan dengan qadar. Kita tidak perlu memberi hukuman
kepada orang-orang yang zhalim juga para perampok dan penyamun, tidak perlu
pula membuka badan-badan peradilan dan mengangkat para qadhi (hakim),
dengan alasan bahwa segala yang terjadi adalah karena takdir Allah. Dan
perkataan ini tidak pernah dinyatakan oleh orang yang berakal.
15. Orang yang berdalih dengan qadar ini yang mengatakan, Kami tidak akan
dihukum, karena Allah telah menentukan hal itu atas kami. Sebab, bagaimana
kami akan dihukum terhadap apa yang telah ditentukan atas kami? Kita berikan
jawaban untuknya: Kita tidak dihukum berdasarkan catatan terdahulu, tetapi kita
hanyalah dihukum karena apa yang telah kita perbuat dan kita usahakan. Kita
tidak diperintahkan kepada apa yang Allah telah takdirkan atas kita, tetapi kita
hanyalah diperintahkan untuk melaksanakan apa yang Dia perintahkan kepada
kita. Ada perbedaan antara apa yang dikehendaki terhadap kita dan apa yang
dikehendaki dari kita. Apa yang Allah kehendaki terhadap kita, maka Dia
merahasiakannya dari kita, adapun apa yang Allah kehendaki dari kita, maka Dia
memerintahkan kita supaya melaksanakannya.
Di antara yang layak untuk dikatakan bagi mereka adalah : Bahwa argumen
kebanyakan dari mereka bukanlah muncul dari qanaah dan keimanan, tetapi
hanyalah muncul dari hawa nafsu dan penentangan. Karena itu, sebagian ulama

Halaman 63 dari 86

mengatakan mengenai orang yang demikian keadaannya, Ketika taat, engkau


(orang yang berpendapat demikian tadi) menjadi qadari (pengikut paham
Qadariyyah) dan ketika bermaksiat, maka engkau menjadi jabari (pengikut paham
Jabariyyah). Mazhab apa pun yang selaras dengan hawa nafsumu, maka engkau
bermazhab dengannya.[3]
Maksudnya, ketika ia melakukan ketaatan, maka ia menisbatkan hal itu kepada
dirinya, dan mengingkari bahwa Allah menakdirkan hal itu kepadanya. Sebaliknya,
jika ia melakukan kemaksiatan, maka ia berdalih dengan takdir.
Ringkasnya:
Berargumen dengan qadar atas perbuatan maksiat atau meninggalkan ketaatan
adalah argumen yang bathil menurut syariat, akal, dan kenyataan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang orang-orang yang
berdalih dengan qadar, Kaum tersebut, jika tetap meneruskan keyakinan ini,
maka mereka itu lebih kafir dari orang Yahudi dan Nashrani. [4]
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas
Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad
Syaikhu,

Sag.

Penerbit

Pustaka

Ibntu

Katsir]

_______
Footnote
[1].

Majmuuul

Fataawaa,

(VIII/179).

Lihat

juga,

Iqtidhaa

Mustaqiim,

ash-Shiraathal
(II/858-859).

[2]. Lihat, Minhaajus Sunnah an-Nabawiyyah, (III/65-78). Dan lihat, Majmuuul


Fataawaa, (VIII/262-268), Rasaa-il fil Aqiidah, hal. 38-39, dan Lumatul Itiqaad bi
Syarh
[3].

Muhammad

bin

Majmuuul

Utsaimin,
Fataawaa,

hal.

93-95.
(VIII/107).

[4]. Majmuuul Fataawaa, (VIII/262).


https://almanhaj.or.id/2488-bolehkah-beralasan-dengan-takdir-atas-perbuatanmaksiat-atau-dari-meninggalkan-kewajiban.html

Halaman 64 dari 86

Melegalkan Maksiat dengan Alasan Takdir


Seringkali kita menemukan sebagian orang melegalkan kemaksiatan dengan
alasan perbuatan tersebut sudah ditakdirkan oleh Allah Taala. Benarkah
keyakinan seperti ini?
By Maria Nova Nurfitri September 17, 2014
1 608 3

Segala puji hanya milik Allah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada
Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang
mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat. Kaum muslimin yang dimuliakan
Allah, seringkali kita menemukan sebagian orang melegalkan kemaksiatan
dengan alasan perbuatan tersebut sudah ditakdirkan oleh Allah Taala. Benarkah
keyakinan seperti ini? Dengan memohon pertolongan Allah, tulisan ringkas ini
akan memaparkan hukum orang yang menjadikan takdir sebagai alasan untuk
melegalkan maksiat.
Hakikat Iman Kepada Takdir
Iman

kepada

takdir

adalah

seorang

hamba

mengetahui,

meyakini,

dan

mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan ciptaan
Allah, segala sesuatu telah didahului oleh takdir, dan Allah Maha Mengetahui
keadaan serta rincian sebelum menciptakannya, kemudian Allah menuliskan
semua itu. [1]
Iman kepada takdir Allah terdiri dari 4 tingkatan.
1. Tingkatan pertama, meyakini bahwasanya Allah Taala mengetahui segala
sesuatu secara global maupun rinci, sejak azali hingga selamanya, baik

Halaman 65 dari 86

yang berhubungan dengan perbuatan Allah atau dengan perbuatan hambaNya.


2. Tingkatan kedua, meyakini bahwasanya Allah telah menuliskan semua itu di
al-Lauh al-Mahfuzh.
3. Tingkatan ketiga, meyakini bahwasanya seluruh kejadian tidaklah terjadi
kecuali dengan kehendak Allah.
4. Tingkatan keempat, meyakini bahwasanya segala sesuatu yang ada di jagat
raya adalah ciptaan Allah baik dzat, sifat, ataupun gerakannya. [2]
Bermaksiat Dengan Alasaan Takdir
Keimanan terhadap takdir Allah tidaklah menafikan adanya kehendak bagi
seorang hamba untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini berdasarkan dalil syari
dan kenyataan yang ada. Mengenai penetapan adanya kehendak atau kemauan
bagi manusia, Allah Taala telah berfirman dalam Al Quran,







Artinya: Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa yang menghendaki,
niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. (QS. An Naba: 39).
Allah Taala juga berfirman,








Artinya: (yaitu) Bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. (QS. At Takwir: 28).
Kenyataan yang ada juga menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui dirinya
memiliki

kehendak

dan

kemampuan

yang

dengannya

seseorang

dapat

memutuskan untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukannya.


Keimanan terhadap takdir Allah tidaklah dapat menjadi alasan bagi seorang
hamba untuk meninggalkan kewajiban atau melakukan kemaksiatan. Dan alasan
tersebut adalah batil dilihat dari beberapa sisi, diantaranya:
Pertama, firman Allah Taala,







Artinya: Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, Jika
Allah

menghendaki,

niscaya

kami

dan

bapak-bapak

kami

tidak

mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa


pun. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan
(para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. (QS. Al Anam: 148).
Ayat ini menunjukkan bahwa meskipun mereka beralasan dengan takdir, Allah
tetap menyiksa mereka. Maka, perbuatan orang-orang musyrik tersebut tidak

Halaman 66 dari 86

diperbolehkan dalam syariat karena Allah menyiksa mereka. Jika perbuatan


mereka benar tentu Allah tidak akan menyiksa mereka.
Kedua, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim,
dengan lafazh dari Al Bukhari, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, Nabi
shallallahu

alaihi

wa

sallam

bersabda

(artinya),

Tidak ada seorang pun diantara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya
di neraka atau pun surga. Maka seorang sahabat bertanya, Wahai Rasulullah,
kalau begitu apakah kami bersandar dengan apa yang telah ditetapkan untuk
kami? Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Jangan, tetap
beramallah kalian! Sebab semuanya telah dimudahkan. Beliau kemudian
membaca ayat,







Artinya: Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan
bertakwa,

(QS.

Al

Lail

5).

Dan dalam riwayat Muslim (artinya),Sebab semuanya telah dimudahkan


terhadap apa yang ditakdirkan untuknya.
Dari hadits ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk
beramal dan melarang bersandar kepada takdir. [3]
Tidak Semua Hal yang Allah Kehendaki, Allah Cintai
Iradah (kehendak) Allah terdiri dari dua jenis, yaitu iradah kauniyyah dan
syariyyah. Iradah syariyyah adalah kehendak Allah untuk segala sesuatu yang
dicintai dan diridhai-Nya. Sedangkan iradah kauniyyah adalah kehendak Allah
atas segala hal yang terjadi, [4] termasuk di dalamnya adalah segala perbuatan
hamba. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya Allah tidaklah
mencintai dan tidak meridhoi perbuatan maksiat yang telah dilakukan oleh
seorang hamba meskipun Allah menghendaki hal tersebut terjadi.
Antara Kehendak Allah dan Kehendak Makhluk
Perlu diketahui bahwa dalam melakukan suatu perbuatan, seorang hamba tidak
begitu saja dapat melakukan apa pun sesuai kehendak dan kemampuannya. Allah
Taala menggantungkan dan mengikat kehendak hamba dengan kehendak-Nya.
Para salaful ummah dan imam-imam mereka meyakini bahwa seluruh perbuatan
ketaatan,

kemaksiatan,

kekufuran,

dan

kerusakan,

terjadi

sesuai

qadha

(ketentuan) dan takdir Allah, bukan selain-Nya. Semua perbuatan hamba


merupakan ciptaan Allah, yang baik maupun yang buruk, yang terpuji maupun
yang tercela. [5]

Halaman 67 dari 86

Sikap Ahlussunnah dalam Menyikapi Takdir dan Perbuatan Hamba


Ahlussunnah meyakini bahwa setiap ketaatan, kemaksiatan, kekufuran, dan
kerusakan terjadi karena takdir Allah. Tidak ada pencipta selain-Nya. Seluruh
perbuatan hamba diciptakan Allah, baik berupa amal shalih maupun amal buruk.
Akan tetapi, seorang hamba tidaklah dipaksa dalam melakukan perbuatannya.
Bahkan dialah yang mengerjakan dan melakukannya atas dasar kesadaran dan
kemampuan untuk memilih perbuatan yang mengantarkan mereka kepada
ketaatan atau kemaksiatan. Hanya saja, semua terjadi atas kemampuan,
keperkasaan, dan kehendak Allah Taala. [6]
Kelompok yang Menyimpang Dalam Masalah Ini
Dalam menyikapi masalah takdir, terdapat beberapa kelompok yang memiliki
pemikiran yang menyimpang. Jabriyah menyatakan bahwa manusia dipaksa
dalam melakukan perbuatannya dan tidak memiliki kehendak dan kemampuan.
Sebaliknya golongan Qadariyah berpandangan bahwa manusia memiliki kehendak
mandiri yang tidak tergantung kepada kehendak Allah, bahkan manusia yang
menciptakan perbuatan, kemauan, dan kehendaknya yang terlepas dari kemauan
dan kehendak Allah. Tetapi syubhat tersebut dapat dipatahkan dengan firman
Allah Taala,








Artinya: (yaitu) Bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. (QS. At Takwir: 28).
Ayat ini membantah kelompok Jabriyah yang berpandangan bahwa manusia
dipaksa atas perbuatannya, padahal Allah telah menetapkan bahwa manusia
memiliki kemauan dan kehendak. Sehingga tidak benar jika dikatakan bahwa
manusia

dipaksa

atas

perbuatannya.

Allah

Taala

berfirman

pada

ayat

selanjutnya,











Artinya: Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (QS. At Takwir: 28).
Ayat ini membantah kelompok Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia
mandiri dalam kehendaknya dan dialah yang menciptakan perbuatannya, padahal
Allah menetapkan bahwa kehendak hamba tergantung kepada kehendak-Nya. [7]
Demikianlah yang seharusnya diyakini dan dilakukan oleh seorang muslim dalam
menyikapi takdir. Dalam penutup ini, dapat disimpulkan bahwa takdir tidaklah
dapat dijadikan alasan bagi seseorang untuk melegalkan perbuatan maksiat yang

Halaman 68 dari 86

dilakukannya. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk bagi kita untuk


menempuh jalan yang lurus.
***
Penulis : Ummu Fathimah Maria Nova Nurfitri
Maraji:
[1] Syarh Ats Tsalatsatul Ushul dalam Jami Syuruh Ats Tsalatsatul Ushul, hal. 497,
Syaikh

Shalih

bin

Abdul

Aziz

Alu

Syaikh

[2] Jami Syuruh Ats Tsalatsatul Ushul, hal. 253-254, Syaikh Muhammad bin Shalih
Al

Utsaimin

[3] Jami Syuruh Ats Tsalatsatul Ushul, hal. 254-255, Syaikh Muhammad bin Shalih
Al

Utsaimin

[4] Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyyah, hal. 80-81, Al Imam Al Qadhi Ali bin Ali bin
Muhammad

bin

Abil

Izzi

Ad

Damasyqi

[5] Al Irsyad Ila Shahihil Itiqad Warraddi ala Ahlilsyriki wal Inad, hal. 227, Dr.
Shalih
[6]

bin
Akidah

Fauzan
Muslim,

hal.

bin
342,

Abdillah
Zaenal

Abidin

Al

Fauzan

bin

Syamsudin

[7] Majmu Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Akidah Muslim, hal. 342343, Zaenal Abidin bin Syamsudin
___
Artikel Muslimah.Or.Id
https://muslimah.or.id/6487-melegalkan-maksiat-dengan-alasan-takdir.html

Halaman 69 dari 86

Memahami Takdir Allah


Posted on 22 November 2013 by Redaksi 11 comments
Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang
terakhir adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun
takdir yang buruk. Kesalahan dalam memahami keimanan terhadap takdir dapat
berakibat fatal, menyebabkan batalnya seluruh keimanan seseorang.Semoga
paparan ringkas ini dapat membantu kita untuk memahami keimanan yang benar
terhadap takdir Allah.
Empat Prinsip Keimanan kepada Takdir
Pembaca yang dirhamati Allah, perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap
takdir harus mencakup empat prinsip.
Pertama. Mengimani bahwa Allah Taala mengetahui dengan ilmunya yang azali
(sejak dahulu) dan abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik perkara yang
kecil maupun yang besar, yang nyata maupun yang tersembunyi, baik itu
perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun perbuatan makhluk-Nya. Semuanya
terjadi dalam pengilmuan Allah Taala.
Kedua. Mengimanai bahwa Allah Taala telah menulis dalam lauhul mahfuzh
catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang
sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.
Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Kitab dan As Sunnah. Dalam Al Kitab,
Allah Taala berfirman (yang artinya), Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?
Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah (QS. Al Hajj : 70).
Allahjuga berfirman (yang artinya), Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua
yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) (QS. Al Anam:59).
Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak
lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi (HR. Muslim)
Ketiga. Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang
terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang
tampak maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi.
Semuanya terjadi atas kehendak Allah Taala, baik itu perbuatan Allah sendiri
maupun perbuatan makhluk-Nya.
Keempat. Mengimani penciptaan Allah,bahwa Allah Taala menciptakan segala
sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi,. Ciptaan

Halaman 70 dari 86

Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta sifat-sifatnya dan
segala sesuatu berupa perkataan dan perbuatan makhluk.
Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Taala(yang artinya), Allah
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nya
lah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir
terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.(QS. Az Zumar
: 62-63). Juga firman-Nya (yang artinya), Padahal Allah-lah yang menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. As Shaffat : 96). (lihat Taqriib
Tadmuriyah)
Sikap Pertengahan Dalam Memahami Takdir
Diantara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al
Quran dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bidah. Ahlus sunnah
beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh takdir sejak azali, dan Allah
mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir
tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.
Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah mereka bersikap
berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremehkan dan yang lain melampaui batas.
Kelompok Qadariyyah mereka mengingkari adanya takdir. Merka mengatakan
bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan
hamba bukan makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan
perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap perbuatan hamba.
Kelompok yang lain adalah yang terlalu melampaui batas dalam menetapkan
takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam
menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya.
Mereka

mengingkari

perbuatan

hamba

adanya

kepada

perbuatan

Allah.

Jadi

hamba

dan

seolah-olah

menisbatkan

hamba

dipaksa

semua
dalam

perbuatannya. (Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid)


Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahai takdir sebagaimana
ditunjukkan dalam dalil yang banyak. Di antaranya firman Allah Taala(yang
artinya), (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.(QS. At Takwiir : 28-29)
Pada ayat (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus merupakan sanggahan untuk Jabariyyah, karena pada ayat ini Allah
menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan
keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki
kehendak. Kemudian Allah berfirman (yang artinya), Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan
semesta alam. Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah yang
mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh
hamba tanpa sesuai dengan kehendak Allah, karena dalam ayat ini Allah

Halaman 71 dari 86

mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya. (lihat Al Irsyaad ilaa


Shahiihil Itiqad)
Takdir Baik dan Takdir Buruk
Takdir terkadang disifati dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir yang baik
sudah jelas maksudnya. Lalu apa yang dimaksud dengan takdir yang buruk?
Apakah berarti Allah berbuat sesuatu yang buruk? Dalam hal ini kita perlu
memahami antara takdir yang merupakan perbuatan Allah dan dampak/hasil dari
perbuatan tersebut. Jika takdir disifati buruk, maka yang dimaksud adalah
buruknnya sesuatu yang ditakdirkan tersebut, bukan takdir yang merupakan
perbuatan Allah, karena tidak ada satu pun perbuatan Allah yang buruk. Seluruh
perbuatan Allah mengandung kebaikan dan hikmah. Jadi keburukan yang
dimaksud ditinjau dari sesuatu yang ditakdirkan/ hasil perbuatan, bukan ditinjau
dari perbuatan Allah.
Untuk lebih jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut. Seseorang yang terkena
kanker tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang membutuhkan tindakan
amputasi (pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah penyebaran kanker
tersebut. Kita sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah sesuatu yang buruk.
Namun pada kasus ini, tindakan melakukan amputasi (pemotongan kaki) adalah
perbuatan yang baik. Walupun hasil perbuatannya buruk (yakni terpotongnya
kaki), namun tindakan amputasi adalah perbuatan yang baik. Demikian pula
dalam kita memahami takdir yang Allah tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah
baik, walaupun terkadang hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hambaNya.
Namun yang perlu diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang di satu
sisi buruk, akan tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain. Allah Taala
berfirman (yang artinya), Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah membuat mereka
merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar) (QS. Ar Ruum : 41). Kerusakan yang terjadi pada akhirnya
menimbulkan kebaikan. Oleh karena itu keburukan yang terjadi dalam takdir
bukanlah keburukan yang hakiki, karena terkadang akan menimbulkan hasil akhir
berupa kebaikan.( Lihat Syarh al Aqidah al Wasithiyah li Syaikh Utsaimin)
Bersemangatlah! Jangan Hanya Bersandar Pada Takdir
Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka
hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sungguhini
merupakan kesalahan yang nyata. Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk
mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah
mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita
tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya sudah merupakan
ketetapan Allah. Oleh karena itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah

Halaman 72 dari 86

dan jangalah kamu malas! Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu
mengatakan : Seaindainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan jadi begini
atau begitu, tetapi katakanlah : Qoddarallhu wa maa sy-a faala (HR.
Muslim)( Al Irsyaad ilaa Shahiihil Itiqad)
Faedah Penting
Keimanan yang benar terhadap takdir akan membuahkan hal-hal penting, di
antaranya sebagai berikut :
1. Hanya bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab dan tidak
bersandar kepada sebab itu sendiri. Karena segala sesuatu tergantung
padatakdirAllah.
2. Seseorang tidak boleh sombong terhadap dirinya sendiri ketika tercapai
tujuannya, karena keberhasilan yang ia dapatkan merupakan nikmat dari
Allah, berupa sebab-sebab kebaikan dan keberhasilan yang memang telah
ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman terhadap dirinya sendiri akan melupakan
dirinya untuk mensyukuri nikmat tersebut.
3. Munculnya ketenangan dalam hati terhadap takdir Allah yang menimpa
dirinya, sehingga dia tidak bersedih atas hilangnya sesuatu yang dicintainya
atau ketika mendapatkan sesuatu yang dibencinya. Sebab semuanya itu
terjadi dengan takdir Allah. Allah berfirman (yang artinya),Tiada suatu
bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. (QS. Al Hadiid : 22-23). (Syarh Ushuulil Iman)
Demikian paparan ringkas seputar keimanan terhadap takdir. Semoga
bermanfaat. Alhamdulillhiladzi binimatihi tatimmush shliht.
Penulis : Adika M (Alumni Mahad Al Ilmi)
https://buletin.muslim.or.id/uncategorized/memahami-takdir-allah

Halaman 73 dari 86

Doa Dapat Mengubah Takdir ?


Alhamdulillah wa Sholatu wa Salamu alaa Rosulillah Shollallahu alaihi wa Sallam.
Mungkin anda pernah mendengar sabda Nabi Shollalahu alaihi wa Sallam,



Tidak ada yang menolak takdir kecuali doa[1].
Nah, dari hadits ini mungkin ada yang bertanya apakah doa akan memberikan
pengaruh pada takdir yang sudah ditetapkan ? Atau bagaimana pengaruh doa
terhadap perubahan takdir ? Mari simak fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
Utsaimin Rohimahullah berikut[2].
Pertanyaan,
Apakah

doa dapat berpengaruh

dalam mengubah takdir yang telah dituliskan untuk seorang manusia


sebelum penciptaannya ?
Jawaban,

Tidaklah perlu diragukan bahwasanya doa memiliki pengaruh dalam perubahan


takdir yang telah dituliskan. Namun perubahan ini juga telah dituliskan
dengan sebab adanya doa. Maka janganlah anda menyangka jika anda
berdoa kepada Allah, anda sedang berdoa dengan sesuatu yang tidak dituliskan
di dalam takdir. Bahkan doa tersebut juga telah dituliskan dan hasil dari doa
tersebut juga sudah dituliskan dalam takdir.
Oleh karena itulah anda temukan seorang yang meruqyah seorang yang sakit
dapat sembuh dari sakitnya. Kisah[3] rombongan yang diutus Nabi Shollalahu
alaihi wa Sallam, kemudian mereka singgah di sebuah perkampungan sebagai
tamu namun orang kampung tersebut menolak menjamu mereka sebagai tamu.
Kepala kampung tersebut ditakdirkan digigit seekor ular sehingga penduduk
kampung mencari orang yang mampu meruqyahnya. Lalu shahabat utusan Nabi
Shollalahu alaihi wa Sallam tersebut mempersyaratkan upah untuk meruqyah
sang kepala kampung, jika sembuh maka akan mendapatkan kambing. Kemudian
salah seorang shahabat Nabi Shollalahu alaihi wa Sallam tersebut membacakan
Surat Al Fatihah. Lalu orang digigit ular tadi berdiri seakan-akan orang yang lepas

Halaman 74 dari 86

dari ikatan. Maksudnya seolah-olah seperti onta yang lepas dari tali pengikatnya.
Ruqyah mampu menjadi sebab yang berpengaruh sebagai penyembuh bagi orang
yang sakit.

Nah, doa juga mempunyai pengaruh. Akan tetapi bukanlah maksudnya


mengubah apa yang sudah ditakdirkan. Bahkan perubahan tersebut juga
sudah ditulis dalam takdir dengan sebab doa. Segala sesuatu di sisi Allah
berdasarkan ketetentuan/takdir. Demikan juga semua sebab dapat memiliki
pengaruh terhadap suatu hal atas izin Allah. Sesuatu yang disebabkan dan
sebabnya juga sudah tertulis di dalam takdir Allah.
Subuh 4 Robiul Awwal 1436 H/ 26 Desember 2014 M. Aditya Budiman bin Usman
[1] HR. Tirmidzi no. 2139. Beliau Rohimahullah mengatakan hadits ini hasan
ghorib. Syaikh Al Albani Rohimahullah menilai hadits ini hasan.
[2] Fataawaa Arkaanil Islaam oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin
Rohimahullah hal. 124 terbitan Dar Tsuroya, Riyadh, KSA.
[3] HR. Tirmidzi no. 2063, Ahmad no. 11085. hadits ini dinilai hasan oleh Tirmidzi,
dinilai shohih oleh Al Albani dan dinilai shohih sesuai syarat Muslim oleh Syuaib Al
Arnauth Rohimahumullah.
https://alhijroh.com/aqidah/doa-dapat-mengubah-takdir/

Halaman 75 dari 86

Pemahaman Penting Tentang 2 Hal Penting (Pemahaman Terhdap Dua


Takdir Allah)
Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah
Subhanahu wa Taala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya
hanya kita berikan kepadaNya Robbul Alamin. Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi was sallam.
[Wajibnya Beriman Terhadap Dua Takdir Allah]
Iman kepada takdir Allah Azza wa Jalla adalah salah satu rukun iman yang wajib
diimani oleh setiap muslim dan mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Nabi
shallallahu alaihi was sallam menjabarkan tentang rukun iman dalam hadits Jibril,












..
.



Jibril mengatakan, Beritahukanlah kepadaku apa itu iman? Nabi shallallahu
alaihi was sallam menjawab, Engkau beriman kepada Allah, Malaikatnya, kitabkitabnya, para rosul, hari akhirat dan engkau beriman terhadap takdir Allah yang
baik maupun yang buruk. Kemudian Jibril menjawab, Engkau benar[1].
[Sesuatu yang Ditakdirkan Allah Ada Dua Jenisnya]
Bagian ini merupakan inti dari tulisan ini karena inilah latar belakang kami
menulis artikel ini. Karena sebagaian orang salah, rancu dan kurang paham
tentang masalah takdir dan kehendak Allah Azza wa Jalla.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rohimahullah mengatakan,
.Semua yang ditakdirkan itu terbagi menjadi takdir kauni dan takdir syari.
Maka takdir kauni adalah jika Allah mentakdirkan kepadamu suatu hal yang
dibenci, maka hal itu pasti terjadi baik orang yang ditakdirkan padanya hal itu
ridho ataupun tidak.
Kemudian takdir syari

adalah

sesuatu

yang

seorang

manusia

dapat

melakukannya dan sebagian tidak dapat melakukannya. Namun jika ditinjau dari
sisi keridhoan Allah terhadap hal itu maka perlu ada rincian. Jika sesuatu itu
merupakan ketaatan kepada Allah maka wajib hukumnya untuk meridhoinya.
Sedangkan jika sesuatu itu merupakan kemaksiatan maka wajib membencinya,
cela dan menghentikannya[2].
Sedangkan dalam redaksi yang lain Syaikh DR. Muhammad bin Ibrahim Al Hamd
dalam Tesisnya yang juga kitabnya mengatakan,
Irodah Robbaniyah terbagi dua,
[1]. Irodah Kauniyah Qodariyah, jenis ini sama dengan kehendak/masyiah.
Irodah jenis ini semua orang tercakup di dalamnya, orang kafir maupun muslim
dalam irodah jenis ini statusnya sama. Demikian juga orang

yang taat dan

pelaku maksiat, seluruhnya berada di bawah irodah/masyiah Allah. Misalnya


firman Allah Taala,

Halaman 76 dari 86





Jika Allah berkehendak/memiliki irodah suatu keburukan maka tidak seorangpun
yang mampu menolaknya. ( QS. Ar Rodu [13] : 11).
Demikian juga firman Allah Azza wa Jalla,



Barangsiapa yang Allah kehendaki akan diberikan kepadanya petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang
Allah kehendaki kesesatan baginya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi
sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. ( QS. Al Anam [6] : 125).
[2]. Irodah Syariyah Diniyah, jenis ini terkandung di dalamnya kecintaan dan
keridhoan Allah. Contohnya semisal firman Allah Taala,








Allah memiliki irodah/menginginkan bagi kalian kemudahan dan Dia tidak
memiliki irodah/menginginkan bagi kalian kesusahan. ( QS. Al Baqoroh [2] : 185).
Demikian juga firman Alla Taala,






Dan Allah memliki irodah/kehendak untuk menerima taubatmu( QS. An Nisa
[4] : 27).
Demikian juga firman Allah Subhanahu wa Taala,











Allah tidaklah memiliki irodah/menginginkan bagi kalian kesusahan melainkan
Allah memiliki irodah/ingin menyucikan kalian( QS. Al Maidah [5] : 6).
Sekian kutipan perkataan beliau[3].
Sering disampaikan cara mudah untuk memahami kedua takdir/irodah ini.
Contohnya adalah sebagai berikut :
1. Keimanan Abu Bakar rodhiyallahu anhu diinginkan takdir/irodah syariyah
diniyah dan takdir/irodah kauniyah Allah Azza wa Jalla. Demikian juga kekafiran
Abu Bakar rodhiyallahu anhu tidak diinginkan oleh takdir/irodah syariyah
diniyah dan takdir/irodah kauniyah Allah Azza wa Jalla.
2. Kekafiran Firaun tidak diinginkan oleh takdir/irodah syariyah diniyah
dan diinginkan oleh takdir/irodah kauniyah Allah Azza wa Jalla. Demikian
juga keimanan Firaun tidak diinginkan oleh takdir/irodah kauniyah Allah
Azza wa Jalla namun diinginkan takdir/irodah syariyah diniyah Allah
Subhanahu wa Taala.

Halaman 77 dari 86

Adapun perbedaan keduanya serta buah dari beriman terhadapnya Insya Allah
akan kita sambung dalam tulisan berikutnya
Mudah-mudahan bermanfaat.
Sigambal, Setelah Isya 11 Muharram 1433 H / 07 Desember 2011
Aditya Budiman bin Usman

[1] HR. Muslim no. 1.


[2] Lihat Syarh Aqidah Wasitiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin
hal. 421 terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
[3] Lihat Al Iman Bil Qodho wal Qodar oleh DR. Muhammad bin Ibrohim Al Hamd
hal. 82 terbitan Dar Ibnu Khuzaimah, Riyadh, KSA.
https://alhijroh.com/aqidah/pemahaman-penting-tentang-2-hal-pentingpemahaman-terhdap-dua-takdir-allah/

Halaman 78 dari 86

Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk


Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmuNya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada
sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun
yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan
seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun
tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.
By Redaksi Muslimah.Or.Id May 31, 2010
16 2555 37
Banyak orang mengenal rukun iman tanpa mengetahui makna dan hikmah yang
terkandung dalam keenam rukun iman tersebut. Salah satunya adalah iman
kepada takdir. Tidak

semua orang yang mengenal iman kepada

takdir,

mengetahui hikmah dibalik beriman kepada takdir dan bagaimana mengimani


takdir. Berikut sedikit ulasan mengenai iman kepada takdir Allah yang baik dan
yang buruk.
Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah
Subhanahu wa Taala dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala
sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman. (Terj. Al Wajiiz fii Aqidatis Salafish
Shalih Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 95)
Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmuNya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada
sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun
yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan
seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun
tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.
Allah Taala berfirman,

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (Qs. AlQamar: 49)
,
Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuranukurannya dengan serapi-rapinya. (Qs. Al-Furqan: 2)

Halaman 79 dari 86

Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami
tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu. (Qs. Al-Hijr: 21)
Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun iman dan
prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tidak akan sempurna keimanan
seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan
meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas
ketentuan (qadha) dan takdir (qadar) Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik
dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak
akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.
(Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin Abdillah
radhiyallahu anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya
(no. 6985) dari Abdullah bin Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: Sanad hadits ini
shahih. Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 2439), karya Syaikh
Albani rahimahullah)
Jibril alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam
mengenai iman, maka beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, RasulRasul-Nya, hari akhir serta qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk.
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan
(VIII/1, IX/5))
Dan Shahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma juga pernah mendengar
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (IV/2045), Tirmidzi dalam Sunan-nya
(IV/452), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/32), dan al-Hakim dalam al-Mustadrak
(I/23))
Tingkatan Takdir
Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara yang
disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah
pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman
kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya, karena

Halaman 80 dari 86

yang sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa yang
mengakui semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka
keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang
mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah
rusak.
Tingkatan Pertama: al-Ilmu (Ilmu)
Yaitu, beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai
apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, baik
secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi serta di
antara keduanya. Allah Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya
sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki, ajal, amal, gerak, dan diam
mereka, serta mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia.
Allah Taala telah berfirman,

Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja
yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam
sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi
Allah. (Qs. Al-Hajj: 70)


Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di
daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan
tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam
kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (Qs. Al-Anaam: 59)

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu. (Qs. At-Taubah:
115)
Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan)
Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Taala telah menuliskan apa yang
telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam
al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di dalamnya,
semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga
hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Taala dalam Ummul Kitab.
Allah Taala berfirman,

Halaman 81 dari 86


Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh
Mahfuzh). (Qs. Yaasiin: 12)

Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. (Qs. Al-Hadiid: 22)
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun
sebelum

Allah

menciptakan

langit

dan

bumi.

(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari
Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu anhuma, diriwayatkan pula oleh
Tirmidzi (no. 2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557))
Dalam sabdanya yang lain,
: : ! : ,

Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman,
Tulislah! Ia bertanya, Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis? Allah berfirman,
Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.'(Shahih, riwayat Abu
Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155,
3319), Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam asy-Syariah
(no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu
anhu)
Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset
darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka tidak akan
mengenainya,

sekalipun

seluruh

manusia

dan

golongan

jin

mencoba

mencelakainya.
Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)
Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai
dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang berputar di
antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendakiNya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuatNya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai

Halaman 82 dari 86

makhluk-Nya yang akan ditanya tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai
dengan firman-Nya,

Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan
ditanyai. (Qs. Al-Anbiyaa: 23)
Kehendak Allah itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi
segala sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia
berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka
tidak akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya
.
Allah Taala berfirman,

Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk,
niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan
barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit. (Qs. Al-Anaam: 125)










Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Rabb semesta alam. (Qs. At-Takwir: 29)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
, ,
Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari dari jari jemari ArRahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja yang dikehendakiNya.
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2654). Lihat juga Silsilah alAhaadits ash-Shahihah (no. 1689))
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, Para Imam Salaf dari kalangan umat Islam
telah ijma (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha dan qadar Allah yang
baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun
yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak
terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia
menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni surga)
dan ini merupakan anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan siapa
saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni
neraka). Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini

Halaman 83 dari 86

merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya. (alIqtishaad fil Itiqaad, hal. 15)
Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan)
Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada
pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain
Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Taala,

Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. (Qs. AzZumar: 62)
Meskipun Allah telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan berarti
bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena Allah telah
memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan) kepada hambahamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya. Allah juga memberikan akal kepada
manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhlukNya yang lain, agar manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan.
Allah tidak menghisab hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilakukannya dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang benarbenar melakukan suatu amal perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa
paksaan, sedangkan Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut. Hal ini
berdasarkan firman-Nya,

Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu. (Qs.
Ash-Shaaffaat:

96)

Dan Allah Taala juga berfirman, yang artinya,



Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.
(Qs. Al-Baqarah: 286)
Hikmah Beriman Kepada Takdir
Beriman kepada takdir akan mengantarkan

kita

kepada

sebuah

hikmah

penciptaan yang mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan.


Sesuatu tidak akan menimpa kita kecuali telah Allah tentukan kejadiannya,
demikian pula sebaliknya. Apabila kita telah faham dengan hikmah penciptaan ini,
maka kita akan mengetahui dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu
yang datang dalam kehidupan kita tidak lain merupakan ketentuan Allah atas diri
kita. Sehingga ketika musibah datang menerpa perjalanan hidup kita, kita akan
lebih bijak dalam memandang dan menyikapinya. Demikian pula ketika kita

Halaman 84 dari 86

mendapat

giliran

memperoleh

kebahagiaan,

kita

tidak

akan

lupa

untuk

mensyukuri nikmat Allah yang tiada henti.


Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya
mengikuti keinginan dan kehendak Rabbnya. Golongan Ahlus Sunnah menetapkan
dan meyakini bahwa segala yang telah ditentukan, ditetapkan dan diperbuat oleh
Allah memiliki hikmah dan segala usaha yang dilakukan manusia akan membawa
hasil atas kehendak Allah.
Ingatlah saudariku, tidak setiap hal akan berjalan sesuai dengan apa yang kita
harapkan, maka hendaklah kita menyerahkan semuanya dan beriman kepada apa
yang telah Allah tentukan. Jangan sampai hati kita menjadi goncang karena
sedikit sentilan, sehingga muncullah bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang
akan mengurangi nikmat iman kita. Dengarlah sabda Nabi kita shallallahu alaihi
wa sallam,
: , ,
)( , : ,
Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah
pertolongan Allah dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu
menimpamu, janganlah engkau berkata seandainya aku melakukan ini
dan

itu,

niscaya

akan

begini

dan

begitu.

Akan

tetapi

katakanlah

Qodarullah wa maa-syaa-a faala (Allah telah mentakdirkan segalanya dan


apa yang dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya). Karena sesungguhnya (kata)
seandainya

itu

akan

mengawali

perbuatan

syaithan.

(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2664))


Tidak ada seorang pun yang dapat bertindak untuk merubah apa yang telah Allah
tetapkan untuknya. Maka tidak ada seorang pun juga yang dapat mengurangi
sesuatu dari ketentuan-Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk selamanya. Ini
adalah perkara yang telah ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya. Pena
telah terangkat dan lembaran telah kering.
Berdalih dengan takdir diperbolehkan ketika mendapati musibah dan cobaan,
namun jangan sekali-kali berdalih dengan takdir dalam hal perbuatan dosa dan
kesalahan. Setiap manusia tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa
melakukan usaha apa pun, karena hal ini akan menyelisihi sunnatullah. Oleh
karena itu berusahalah semampunya, kemudian bertawakkallah.
Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar


lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al-Anfaal: 61)

Halaman 85 dari 86


Barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi
(keperluan)nya. (Qs. Ath-Thalaq: 3)
Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa dari
rahmat Allah dan janganlah bersungut-sungut, tetapi bersabarlah. Karena sabar
adalah

perisai

seorang

mukmin

yang

dia

bersaudara

kandung

dengan

kemenangan. Ingatlah bahwa musibah atau cobaan yang menimpa kita hanyalah
musibah kecil, karena musibah dan cobaan terbesar adalah wafatnya Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya,
,
Jika salah seorang diantara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah
yang

menimpaku,

sungguh

ia

merupakan

musibah

yang

paling

besar.

(Shahih li ghairih, riwayat Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqat (II/375), Ad-Darimi


(I/40))
Apabila hati kita telah yakin dengan setiap ketentuan Allah, maka segala urusan
akan menjadi lebih ringan, dan tidak akan ada kegundahan maupun kegelisahan
yang muncul dalam diri kita, sehingga kita akan lebih semangat lagi dalam
melakukan segala urusan tanpa merasa khawatir mengenai apa yang akan terjadi
kemudian. Karena kita akan menggenggam tawakkal sebagai perbekalan ketika
menjalani urusan dan kita akan menghunus kesabaran kala ujian datang
menghadang.
Wallahu Taala alam wal mustaan.
Penulis:
Ummu
Sufyan

Rahmawaty

Woly

Murajaah: Ust. Aris Munandar


Maraji:
Al-Iqtishaad fil Itiqaad, karya Imam Ibnu Qudamah, cetakan Maktabah Al-Uluum
wal

Hikam.

Al-Wajiz fii Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jamaah (Edisi Indonesia:
Panduan Aqidah Lengkap), karya Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari,
cetakan

Pustaka

Ibnu

Katsir.

Aqidatus Salaf Ash-habul Hadiits (Edisi Indonesia: Aqidah Salaf Ash-habul


Hadits), karya Syaikh Abu Ismail Ash-Shabuni, cetakan Pustaka At-Tibyan.
Aqidah Salaf Ahlus Sunnah wal Jamaah, karya Abdul Hakim bin Amir Abdat,
cetakan

Maktabah

Muawiyah

bin

Abi

Sufyan.

At-Taliqat Al-Mukhtasharah Ala Matni Al-Aqidah Ath-Thahawiyah (Edisi Indonesia:


Penjelasan Ringkas Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah), karya Syaikh Shalih bin
Fauzan

Al-Fauzan,

cetakan

Pustaka

Sahifa.

At-Tawakkul alallaahi Taaalaa (Edisi Indonesia: Hidup Tentram dengan Tawakkal),

Halaman 86 dari 86

karya

Dr.

Abdullah

bin

Umar

Ad-Duwaiji,

cetakan

Pustaka

Ibnu

Katsir.

Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, karya Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani,
cetakan

Darul

Hadits.

Fathul Majid Syarah Kitaabut Tauhid (Edisi Indonesia: Fathul Majid), karya Syaikh
Muhammad

bin

Abdul

Wahhab,

cetakan

Pustaka

Sahifa.

Meniru Sabarnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam (Edisi Terjemah), karya Syaikh
Salim

bin

Ied

Al-Hilali,

cetakan

Pustaka

Darul

Ilmi.

Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
cetakan

Pustaka

Imam

Asy-Syafii.

Syarah Lumatul Itiqad (Edisi Indonesia: Wahai Saudaraku, Inilah Aqidahmu),


karya

Syaikh

Muhammad

bin

Utsaimin,

cetakan

Pustaka

Ibnu

Katsir.

Syarah Ushulil Itiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah, karya Imam Al-Hafizh Al-Laalikai,
cetakan

Darul

Hadits.

Ushulus Sunnah (Edisi Indonesia: Aqidah Shahih Penyebab Selamatnya Seorang


Muslim), karya Al-Hafizh Abu Bakar Al-Humaidi, cetakan Pustaka Imam Asy-Syafii.
Ushulus Sunnah (Edisi Indonesia: Ushulus Sunnah), karya Imam Ahmad bin
Hambal, cetakan Pustaka Darul Ilmi.
***
Artikel muslimah.or.id
https://muslimah.or.id/756-iman-kepada-takdir-baik-dan-takdir-buruk.html

You might also like