You are on page 1of 44

Media

defis

Editorial
SEMANGAT PERUBAHAN, MENUJU KESEMPURNAAN

erubahan hanyalah sebuah kata. Bagi


sebagian besar kita tidak ada yang
merasa istimewa dengan kata itu. Banyak
dari kita hanya menjalani hidup sebagai
sebuah rutinitas dan menganggap hidup
hanyalah sebuah proses yang memang harus
dilalui apa adanya.
Tetapi pernahkah terpikir dalam benak anda
bahwa kata perubahan memiliki daya magis
yang sangat besar yang telah mengubah
tatanan dunia. Perubahanlah yang telah
membuat manusia saat ini mengclaim bahwa
mereka berada di dunia yang paling modern
dan canggih. Manusia melakukan berbagai
upaya dan cara untuk memperoleh kehidupan
yang baik. Semua sektor direkayasa dan diubah
dengan daya inovasi yang tinggi. Semua orang
berlomba-lomba untuk mencapai yang terbaik
di bidang sosial, budaya, ekonomi, ideologi,
politik, teknologi informasi, hukum dan lainlain sebagainya. Perubahan sudah menjadi
sebuah ritual wajib sekaligus
perjalanan
misterius serta memiliki daya yang mampu
menggerakkan manusia mengubah nilai-nilai
yang sebelumnya diyakini sebagai kebenaran
menjadi sebuah kebenaran yang baru.
Untuk dapat bertahan kita harus berubah.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan.
Seorang bijak bahkan pernah mengatakan
bahwa Change is the only evidence of life. Perubahan
adalah pertanda kehidupan. If you dont change
you will die. Orang yang tidak berubah layaknya
seorang yang sudah mati. Tidak ada lagi tandatanda kehidupan. Manusia terus melahirkan
hal baru yang inovatif, terus melahirkan karyakarya baru dan perubahan terus mengikutinya.
Negara-negara besar di dunia ini tercipta berkat
semangat perubahan yang terus menyala. Ya,
perubahan memberikan harapan. Pilihannya
adalah Berubah atau Diubah. Tidak ada kata
terlambat untuk sebuah perubahan.
Tetapi untuk berubah tentunya tidak mudah.
Diperlukan change maker yang biasanya melekat

pada seorang pemimpin. Untuk berubah juga


diperlukan keberanian luar biasa dan mungkin
juga pengorbanan. Karena tidak semua
orang bisa diajak untuk melihat perubahan.
Perubahan juga membutuhkan waktu, biaya,
dan kekuatan, kematangan berpikir, kepribadian
yang teguh, konsep yang jelas dan sistematis,
bertahap dan ada dukungan yang jelas.
Tetapi berubah bukanlah sesuatu yang
mudah. Perubahan juga selalu menakutkan
dan
menimbulkan
kepanikan-kepanikan.
Orang-orang yang sudah berada pada zona
kenyamanan sangat sulit untuk diajak
berubah. Untuk bergerak manusia harus diajak
melihat dan memercayai bahwa sesuatu telah
berubah. Sering juga orang tidak mau berubah
karena dianggapnya sudah terlambat.
Semangat perubahan di atas tampaknya
juga merambah dan terjadi di Kementerian
Keuangan. Harus kita akui bahwa Menteri
Keuangan Bapak Agus D.W. Martowardojo
adalah Change Marker. Dengan berbagai konsep
dan pemikiran baru yang dicanangkan pada
saat beliau menggantikan Ibu Sri Mulyani
sangat terasa ada upaya-upaya khusus yang
menyentuh nilai-nilai organisasi yang pada
gilirannya mengubah perilaku dan kebiasaankebiasaan. Kita tentu tidak dapat melupakan
bagaimana beliau sangat gencar menggagas
transformasi kelembagaan di Kementerian
Keuangan yang menghasilkan core value
Integritas,
profesionalisme,
Sinergi,
Pelayanan, dan Kesempurnaan.
Dengan semangat perubahan yang sangat terasa
getarannya, Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan juga telah mengupayakan untuk
mengcascade dan melakukan alignment
dan bahkan refinement berbagai semangat
perubahan di Kementerian Keuangan tadi.
Di bawah kepemimpinan Bapak Marwanto
Harjowiryono, kita terus mengelindingkan
perubahan yang telah menimbulkan ekspektasi
baru, menggetarkan emosi dan juga harapan.

Majalah yang sedang anda baca ini adalah


satu contoh nyata bahwa kita sedang
melakukan perubahan. Selama keberadaan
DJPK memang kita belum pernah memiliki
majalah. Pak Marwanto lah yang memaksa
untuk menghadirkan sebuah media informasi
dan komunikasi dalam bentuk majalan. Dalam
edisi perdana ini kami mencoba mengangkat
topik yang juga berkaitan dengan perubahan
yaitu Revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagai
Laporan Utama. Kehadiran sebuah UU sebagai
tatanan normatif yang mengatur perikehidupan
berbangsa dan bernegara memang harus
dimaknai dan dicermati dalam konteks hukum
positif, dinamisme terus bergulir, aspirasi
masyarakat dan semangat perubahan yang
mengelegak dan menggelora.
Perubahan yang terkait dengan UU Nomor
33 Tahun 2004 tentunya akan menuju ke
tatanan yang lebih baik. Berbagai persoalan
yang menjadi titik perhatian dan akan direvisi
mencakup masalah pemekaran daerah,
perbaikan SDM di daerah, pengendalian
belanja, pengelolaan keuangan daerah,
reformulasi sumber pendanaan APBD,
surveillance kinerja keuangan daerah dan
lain-lain.Topik-topik menarik itu coba kami
kemas dalam suatu bahasa yang popular dan
sederhana dalam majalah yang kami beri nama
Media Defis, Media Informasi Desentralisasi
Fiskal. Berbagai
tulisan, ulasan, kupasan
dengan sudut pandang dan angle berbeda dari
para narasumber yang kami himpun diharapkan
akan menjadi bahan diskusi yang menarik
disela-sela kesibukan anda setelah membaca
Media Defis ini.
Akhirul kata, kami ucapkan selamat membaca
dan selamat menikmati perubahan menuju
kesempurnaan yang kita idam-idamkan.
Ahmad Yani

PELINDUNG Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan PENASEHAT Para Pejabat Eselon II di Lingkungan DJPK PENANGGUNG JAWAB
Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pemimpin Redaksi Ahmad Yani TIM REDAKSI Putut Hari Satyaka, Diah Sarkorini,
Ubaidi Socheh Hamidi, Anwar Syahdat, Sugiyarto, M. Nafi TIM EDITOR Erny Murniasih, Fachroedy Junianto, Esthi Budilestari, Masagus Zenaidi,
Wahyudi Sulestyanto, M. Sulthon Junaidi, Yadi Hadian, Endang Zainatun, Lily KUntratih, Deny Kurniawan, Ichwan Setyarno, Hesti Budi Utomo,
David Rudolf desigN grafis Lukman Adi, Agung Setio Budi, Adhi Kurniawan Sekretariat M. Lilik CIB, Kurnia, Shanti Sukmawati, Titik
Fatmawati, Ricka Yunita Prasetya, Vanny Koesrini, Alit Ayu Meinarsari, Helmy Rukmana, Bangun Purwono Adi ALAMAT Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan - Kementerian Keuangan|Gedung Radius Prawiro Lantai 10 Jalan Dr. Wahidin No. 1 Jakarta 10710 Telepon: 021-3509442
Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi.
Bagi tulisan atau artikel yang dimuat akan mendapatkan imbalan sepantasnya

Media

defis

Daftar Isi
Laporan Utama

Perubahan Undang-Undang tentang Perimbangan


Keuangan Pusat dan Daerah: Apakah urgensinya?

Wawancara Ekslusif dengan Direktur Jenderal


Perimbangan Keuangan

11

Transformasi Hubungan Keuangan Pusat dan


Daerah Dalam Revisi UU Nomor 33 Tahun 2004

14

Money Follow Function Di Tengah Kurang Jelasnya


Urusan ke Daerah

16

Harmonisasi antara Revisi UU 33/2004 Dengan UU


lainnya

19

Implementasi Kebijakan Desentralisasi Fiskal Saat


ini di Indonesia dan Pengalaman Negara-negara
Lain

24

Profil

36

Renungan

38

39

Artikel
Pemerataan Kemampuan Keuangan Antar
Daerah di Indonesia: Mau Bagaimana?

30

Optimalisasi Implementasi Kebijakan Publik:


Peningkatan Kualitas Kebijakan Pengelolaan
Keuangan Daerah

Features

33

SPPD :
Selisih Penderitaan Perjalanan Dinas?

Media

defis

Kontemplasi Diri
Miskin Syukur

Sekilas Berita

Apa yang harus dirubah secara substansial dalam


Revisi UU 33/2004? (Suara Stakeholders)

28

PROFIL BAPAK ADRIANSYAH


Sesuatu dibalik Sesuatu

International Conference On Fiscal


Decentralization
Developer Meeting Penyampaian
Informasi Keuangan Daerah Melalui
Sistem Komandan Sikd
Workshop Penataan Organisasi
Djpk
Internalisasi Values Kementerian
Keuangan Versi Mario Teguh

KKD

42

Konsultasi Keuangan Daerah

Album Foto

43

Kegiatan DJPK

Laporan Utama

Perubahan Undang-Undang
tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah:

Apakah urgensinya?
bernegara. Pendekatan pembangunan
yang cenderung top-down tidak lagi
menjadi strategi yang populer. Isu
tentang bottom up, pendekatan yang
partisipatif

dianggap

paling

sejalan

dengan tuntutan yang ada. Dalam


situasi yang seperti itulah,

kebijakan

otonomi dibuat.
sistem
dari

pemerintahan
semula

di

Indonesia

sentralistis

menjadi

Tuntutan

beberapa

berkeinginan

untuk

daerah

yang

terpisah

dari

desentralistis.

negara kesatuan Republik Indonesia,

Setiap kebijakan yang dibuat oleh

serta bagi hasil kue yang lebih adil

32/2004 tentang Pemerintahan

pemerintah,

mendesak

Daerah

Undang-Undang

belakang dan alasan yang berbeda.

merealisasi kebijakan otonomi daerah.

Nomor 33/2004 tentang Perimbangan

Situasi yang melingkupi dan kondisi

Kondisi darurat menjadi latar belakang

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

sosial, ekonomi dan politik yang terjadi

utama terbitnya UU no 22 dan 25 tahun

Pemerintahan Daerah saat ini merupakan

dapat menjadi alasan utama suatu

2009, sehingga UU otonomi ini dalam

landasan

kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah

perjalanannya menghadapi cobaan yang

ujar Prof. Candra Fajri Ananda, anggota

berat dikarenakan daerah merasa masih

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang

belum terpuaskan tukas Prof. Candra

Desentralisasi Fiskal yang berasal dari

lebih lanjut.

Universitas Brawijaya.

Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia

lahir secara instan pada era reformasi.

Kebijakan desentralisasi yang dimulai

pada

Untuk itulah para pakar desentralisasi

tahun 2001, memiliki latar belakang

desentralisasi

kemudian menyebut lahirnya kedua UU

yang

administrasi,

tersebut sebagai sebuah big bang dalam

politik pasca 1998 menuntun adanya

pengaturan

demokrasi di segala aspek kehidupan

politik

ndang-Undang
dan

utama

Nomor

penyelenggaraan

desentralisasi di Indonesia.
Kedua UU ini merupakan perubahan atas
peraturan sebelumnya yaitu UU Nomor
22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang

cukup

selalu

jelas

memiliki

dimana

latar

situasi

pemerintah

dasarnya

dan

pusat

telah
dari

dan

untuk

mengadopsi
sisi

politik,

fiskal,

dimana

mengenai

desentralisasi

administrasi
Media

dijabarkan

defis

Laporan Utama
dalam
UU

UU

32/2004,

33/2004

sementara

mengatur

itu

mengenai

desentralisasi fiskal.
Pengaturan

ditandai

penguatan

demokrasi

pemilihan

umum

Selanjutnya,
diberikan
melalui

politik

di

dengan

proses

lokal

melalui

secara

langsung.

kepada

desentralisasi
pelaksanaan

daerah
administrasi

urusan-urusan

pemerintahan yang hampir seluruhnya


diserahkan

kewenangannya

kepada

daerah.

yang

demokratis,
efisien

desentralisasi

Indonesia

keuangan

adil,

proporsional,

transparan,

dalam

rangka

penyelenggaraan
dengan

UU Nomor 32/2004 dan Peraturan

potensi,

besaran pendanaan penyelenggaraan


dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Titik berat pelaksanaan desentralisasi


sisi

pengeluaran.

desentralisasi

adalah
Dengan

fiskal

dari
desain

ini

maka

Atas dasar penyerahan kewenangan

esensi

itulah maka kepada daerah diberikan

daerah dititikberatkan pada diskresi

sumber-sumber

daerah

(kebebasan) untuk membelanjakan dana

melalui dana transfer ke daerah dan

sesuai kebutuhan dan prioritas masing-

penguatan taxing power kepada daerah,

masing daerah.

atau

yang

pendanaan

lebih

dikenal

dengan

desentalisasi fiskal.

otonomi

pengelolaan

fiskal

pengaturan

mengenai

sumber-sumber pendanaan ke daerah,

PAD yang diharapkan


dapat meningkatkan
tingkat kemandirian dan
akuntabilitas pemerintah
daerah masih menjadi
mirage atau fatamorgana
bagi beberapa daerah
kabupaten/kota

yang secara garis besar dapat diperoleh


melalui pendapatan dan pembiayaan.
Pendapatan daerah dapat diperoleh dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana
perimbangan, dan lain-lain pendapatan
yang

sah;

sementara

pembiayaan

daerah antara lain dapat diperoleh


melalui mekanisme pinjaman daerah.
Sampai hari ini kontribusi alokasi dana
dari APBN ke APBD dalam bentuk tranfer

Pengaturan kebijakan dan implementasi


desentralisasi dalam kedua UU tersebut,
selain harus selaras satu sama lain,
harus memperhatikan pula pengaturan
kebijakan

sektor

lainnya.

Hal

ini

mengingat masih terdapatnya skema


pendanaan lain selain desentralisasi,
yaitu

penyelenggarran

dekonsentrasi

dan tugas pembantuan.


Berangkat

dari

hal

maka

perimbangan keuangan antara pusat


dan daerah kemudian dikembangkan
sebagai

suatu

Media

sistem

defis

ke daerah memiliki peranan yang penting


dalam menstimulus pembangunan di
daerah. PAD yang diharapkan dapat
meningkatkan tingkat kemandirian dan

pembagian

ketidakjelasan

38/2007,

dalam

tetapi

pembagian

kewenangan tersebut masih dirasakan.


Kalau kita lihat, mengapa desentralisasi
hingga saat ini hasilnya kurang berhasil,
perlu

waktu

panjang.

Yang

harus

dijelaskan terlebih dahulu adalah apa


dan bagaimana pembagian tugasnya
antara Pusat, Provinsi, Kabupaten dan
Kota. Saat ini belum jelas sekali, dan
ini butuh waktu. Baik pusat maupun
daerah masih bermasalah ujar Dr.
Made Suwandhi, yang saat ini menjabat
sebagai Direktur Jenderal Pemerintahan
membidani revisi UU No. 32/2004.
Ketidakjelasan pembagian kewenangan
tersebut

akan

berdampak

pada

bagaimana ukuran yang ideal untuk


mengalokasikan

transfer

ke

daerah.

Untuk itulah dalam UU yang direvisi


pada zaman pemerintahan Megawati,
penerjemahan money follow function masih
dalam koridor perimbangan keuangan.
Istilah perimbangan keuangan itu sendiri
pun kemudian mengandung kesulitan
tersendiri dalam menerjemahkannya ke
dalam bahasa praktis dan teknokrat.
Hal yang paling sulit dialami adalah
bagaimana membagi sistem pembagian
secara adil, proporsional, demokratis?

akuntabilitas pemerintah daerah masih

Direktur

menjadi mirage atau fatamorgana bagi

Keuangan, Dr Marwanto Hardjowiryono,

beberapa daerah kabupaten/kota.

mengatakan

Namun

demikian,

untuk

dapat

mengalokasikan transfer dana ke daerah


tersebut

Nomor

Umum, dan sekaligus juga sebagai

UU Nomor 33/2004 telah meletakkan


dasar-dasar

Pemerintah

walaupun ada pencapaiannya, tetapi

Mengapa perlu dirubah?


Indonsia

pengaturannya

pendanaan
desentralisasi,

mempertimbangkan

di

Walaupun

secara umum telah diamanatkan dalam

kondisi, dan kebutuhan daerah, serta

fiskal

sendiri.

dan

yang adil, proporsional dan demokratis


ternyata terkendala oleh beberapa hal,
antara lain kurang jelasnya pembagian
kewenangan antar pemerintahan itu

Jenderal
bahwa

Perimbangan
dalam

proses

pengalokasian dana transfer ke daerah


memiliki tantangan tersendiri terutama
untuk

memenuhi

prinsip-prinsip

pembagian keuangan sebagaimana yang


diamanatkan dalam UU Nomor 33/2004.
Untuk itu, beberapa upaya revisi pun
terus dibahas agar dapat diselaraskan

Laporan Utama
dengan

dinamika

kebijakan

desentralisasi

dinamis

serta

perkembangan
fiskal

tentunya

yang

mengacu

pada perubahan dalam UU tentang


desentralisasi politik dan administrasi.

beberapa alternatif solusi baik jangka

menjadi pemicu atas perubahan yang

pendek maupun menengah, tukasnya

akan dilakukan dalam kedua UU yang

lebih lanjut.

mengatur

Satu
bahwa

hal

yang

terpenting

Pemerintah

harus

adalah

konsisten

Lebih lanjut diungkapkan oleh Dirjen

dengan

Perimbangan Keuangan bahwa terdapat

permasalahan keuangan daerah dan

tujuan

untuk

memperbaiki

mengenai

desentralisasi

politik, administrasi, dan fiskal tersebut.


Terlebih

lagi

disadari

bahwa

desentralisasi pada dasarnya adalah


sebuah

instrumen

dan

bukan

lah

pro dan kontra perlunya perubahan UU

sebuah tujuan. Sebagaimana dijabarkan

Nomor 33/2004. Secara khusus beliau

dalam Naskah Akademik Revisi UU

mencontohkan perdebatan yang terjadi

Nomor 33/2004 bahwa desentralisasi

dalam proses formulasi Dana Alokasi

fiskal adalah salah satu instrumen

Umum (DAU).

yang

Salah satu perdebatan yang cukup

mendorong

mengemuka dalam revisi UU 33/2004


adalah

masalah

reformulasi

menghapuskan variabel belanja pegawai


dari formula DAU ujar beliau.

jangan terjebak dengan zona comfort yang


ada. Selalu ada pro dan kontra, namun
tentunya kami juga mempersiapkan

Banyak yang berpendapat bahwa hal

stategi

tersebut akan mengakibatkan gejolak

yang terjadi tandasnya dengan nada

yang cukup berat bagi daerah, karena

optimistis.

akan terdapat beberapa daerah yang


harus

mengalami

penurunan

DAU

secara signifikan. Untuk menyiasati


hal tersebut, kami telah menyiapkan

oleh

pemerintah

perekonomian

daerah

maupun nasional.

DAU,

dimana dalam konsep revisi, kami akan

digunakan

dalam mengelola pembangunan guna

Oleh

untuk

meminimalkan

risiko

Melalui mekanisme hubungan keuangan


yang

karena

itulah,

yang

pelaksanaan

desentralisasi

tantangan-

terjadi

dalam
saat

ini

baik

diharapkan

akan

pelaksanaan pembangunan di daerah.


Dengan demikian, hal tersebut akan
berimbas kepada kondisi perekonomian
yang

tantangan

lebih

tercipta kemudahan-kemudahan dalam

lebih

baik

yang

merupakan

tujuan akhir dari pembangunan yaitu


kesejahteraan masyarakat.
Erny Murniasih, Kurnia, Alit Ayu Meinarsari

Media

defis

Laporan Utama

Wawancara Ekslusif
dengan

Direktur Jenderal
Perimbangan
Keuangan
Salah

satu

contoh

pelaksanaan

hubungan keuangan pusat dan daerah


yang

Marwanto Harjowiryono

telah

dalam

berjalan

mekanisme

baik

adalah

penyaluran

dana

transfer ke daerah. Saat ini, sistem


Bagaimana tanggapan Bapak terhadap

Perubahan UU Nomor 33/2004


saat ini sedang dilaksanakan
oleh Kementerian Keuangan,
yang dimotori oleh Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan.
Proses perubahan UU tersebut
merupakan sebuah upaya yang
dilakukan oleh Kemenkeu dalam
mengatasi permasalahan serta
menjawab tantangan yang ada
dalam pelaksanaan desentralisasi
fiskal. Bagaimana pandangan
Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan, Dr Marwanto
Hardjowirjono, mengenai hal
ini? Berikut ini hasil wawancara
yang telah dilakukan oleh
Erny Murnaiasih dan Alit Ayu
Meinarsari.
8

Media

defis

pelaksanaan hubungan keuangan pusat


dan daerah saat ini? Apa urgensi perlu
dilakukannya perubahan UU Nomor
33/2004?
Hubungan keuangan pusat dan daerah
yang

berjalan

saat

ini

didasarkan

terutama pada dua UU pokok yang


mengatur otonomi daerah, yaitu UU
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU 33/2004 tentang Perimbangan
Keuangan

antara

dan

Pemerintahan

itu,

dalam

pengelolaan

Pemerintah

Pusat

Daerah.

Selain

konteks

pelaksanaan

keuangannya

mengacu

penyaluran telah diperbaiki menjadi


pemindahbukuan secara langsung dari
RKUN ke RKUD sehingga menjadi lebih
efisien dan meminimalisir keterlambatan
penyaluran.
Namun, disisi lain juga ada beberapa
hal
baik,

yang

belum

misalnya

berjalan

munculnya

dengan
berbagai

jenis transfer baru yang tidak pernah


dinanungi

dengan

UU

Perimbangan

Keuangan. Karena jenis transfer baru


tersebut lebih banyak unsur politisnya
sehingga menimbulkan banyak kritik
yang disebabkan ketidakjelasan kriteria
pengalokasiannya.

kepada paket UU Keuangan Negara.

Permasalahan lain, misalnya, belanja

Dalam implementasinya, beberapa hal

daerah yang sangat terbebani dengan

telah berjalan cukup baik, namun ada

belanja aparat sehingga belanja daerah

juga beberapa hal lain yang masih perlu

menjadi

diperbaiki.

ungkit bagi pembangunan daerah dan

kurang

mempunyai

daya

Laporan Utama
perekonomian daerah.
Untuk itu, kami telah mengidentifikasi
kelebihan
ada

dan

tersebut

berbagai

kelemahan

dan

yang

telah

menyusun

langkah-langkah

perbaikan.

Langkah-langkah perbaikan itulah yang


selanjutnya disusun dalam Revisi UU
33/2004. Namun yang perlu dipahami
bersama bahwa Revisi UU 33/2004 tidak
akan mampu berjalan sendiri untuk
memperbaiki segala permasalahan yang
terkait dengan keuangan daerah.
Inilah

yang

Revisi

UU

mendorong
33/2004

pentingnya
juga

harus

disinergikan dengan perbaikan aturan


perundangan yang lain, seperti revisi UU
32/2004 ataupun pengaturan mengenai
masalah kepegawaian daerah.

alternatif solusi baik jangka pendek

sehingga

maupun menengah. Satu hal yang

koordinasi

terpenting adalah bahwa Pemerintah

Indonesia.

harus konsisten dengan tujuan untuk


memperbaiki permasalahan keuangan
daerah dan jangan terjebak dengan
zona comfort yang ada. Selalu ada pro
dan

kontra,

namun

juga

mempersiapkan

tentunya kami
strategi

untuk

meminimalkan risiko yang terjadi.

menjadi
Wakil

selaras,

dibawah

Presiden

Republik

Dari sisi transparansi, kami juga telah


mempublikasikan
revisi

secara

luas

draf

tersebut kepada masyarakat

umum melalui website resmi DJPK.


Kami berharap semua pihak dapat
memberikan kritik maupun masukan

Salah satu contoh pelaksanaan hubungan keuangan


pusat dan daerah yang telah berjalan baik adalah dalam
mekanisme penyaluran dana transfer ke daerah.
Namun, di sisi lain juga ada beberapa hal yang belum
berjalan dengan baik, misalnya munculnya berbagai jenis
transfer baru

Dalam melakukan sebuah perubahan,


pasti banyak perdebatannya, baik pro

Bagaimana upaya revisi UU 33/2004

maupun

yang dilakukan Kemenkeu dan upaya

kontra.

Bagaimana

Bapak

menanggapi pro dan kontra tersebut?

harmonisasi apa yang telah dilakukan

Perbedaan pendapat adalah hal yang

dengan UU yang lainnya, khususnya

sangat

revisi UU 32/2004?

akan

lumrah

terjadi

menjadikan

dan

upaya

justru

perbaikan

terhadap draf tersebut.


Satu hal yang perlu disadari bersama
adalah bahwa berapapun panjangnya
waktu yang diberikan, rasanya tidak
akan

pernah

cukup

untuk

terus

Saya pikir proses revisi UU 33/2004

mendiskusikan perbaikan UU 33/2004.

UU perimbangan keuangan menjadi

telah

Revisi

Namun pada satu titik kami harus

semakin kaya. Adanya perdebatan juga

telah diawali dengan berbagai diskusi

berani untuk melangkah maju dengan

menandakan sebuah demokrasi sedang

dengan

terkait

mendorong draf yang telah kita susun

berlangsung.

Untuk itu, perdebatan

yang melibatkan counterpart kami di

untuk maju kepada pembahasan yang

tidak perlu dihindari tapi harus dihadapi

Kementerian/Lembaga dan pemerintah

lebih serius di level antar Kementerian/

secara bijak.

daerah. Kemudian, dilanjutkan dengan

Lembaga.

Salah satu perdebatan yang cukup

penyusunan Naskah Akademik yang

mengemuka dalam revisi UU 33/2004

dibantu oleh Tim Asistensi Kementerian

adalah

masalah

DAU,

Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal.

dimana

dalam

kami

Beberapa bulan terakhir kami juga

reformulasi
konsep

revisi,

berjalan

cukup

banyak

baik.

stakeholders

akan menghapuskan variabel belanja

telah

pegawai dari formula DAU. Banyak yang

revisi tersebut dan didiskusikan secara

berpendapat bahwa hal tersebut akan

internal

mengakibatkan

cukup

Proses sinkronisasi juga telah dilakukan,

berat bagi daerah, karena akan terdapat

terutama dengan Kementerian Dalam

beberapa daerah yang harus mengalami

Negeri

penurunan DAU secara signifikan.

32/2004. Pada bulan Agustus yang lalu

Untuk
kami

gejolak

di

yang

malam

menyusun

Kementerian

mengawal

draf

Keuangan.

revisi

UU

hal

tersebut,

telah dibuat sebuah kesepakatan atas

menyiapkan

beberapa

beberapa pasal yang saling terkait

menyiasati
telah

yang

siang

Substansi

apa

yang

paling

lama

diperdebatkan, dan apa saja perubahan


signifikan yang berubah dalam revisi
UU 33/2004?
Beberapa perubahan yang cukup alot
pembahasannya

seperti

telah

saya

sampaikan sebelumnya, antara lain,


masalah reformulasi DAU. Kemudian
juga

dalam

hal

perbaikan

reformulasi DAK, dan

DBH,

dana transfer

lainnya.
Terkait

perubahan-perubahan

yang

signifikan nanti akan dilakukan dalam


Media

defis

Laporan Utama
revisi UU tersebut terutama mencakup

ini kami juga memasukkkan pasal-pasal

Apabila

6 (enam) hal. Pertama, terkait dengan

yang mampu mendorong pelaksanaan

selesai, tentu saja ke depan kami

pemekaran daerah. Dalam revisi ini kami

monitoring dan evaluasi kinerja daerah,

mengharapkan agar revisi UU ini dapat

memasukkan pasal-pasal yang berupaya

termasuk memberikan mekanisme reward

diimplementasikan dengan baik dan

mendorong

and punishment.

revisi UU ini harus menjadi bagian dari

pengetatan

kriteria

pemekaran.

Kapan revisi ini ditargetkan untuk

Kedua, perbaikan SDM di daerah,

masuk ke proses selanjutnya, terutama

yaitu antara lain melalui pengaturan

proses pembahasan di DPR?

beberapa

sertifikasi

untuk

jabatan-

jabatan tertentu yang terkait dengan


pengelolaan keuangan daerah.

masuk

pembahasan

di

DPR

pada pertengahan tahun 2012 dan

Ketiga, terkait dengan pengendalian

diharapkan UU ini dapat dilaksanakan

belanja. Kami sangat serius dalam

pada awal tahun 2013.

pengendalian belanja ini, yaitu dengan

revisi

ini

telah

penyeleseaian masalah dan tidak justru


menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Sangat disadari bahwa permasalahan

Revisi UU 33/2004 ditargetkan sudah


dapat

proses

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah


(HKPD)

merupakan

permasalahan

yang sangat kompleks dan dinamis.


Oleh karena itu, setiap komponen
yang terlibat di dalamnya harus juga
memperbaiki diri secara bersama-sama

Kekhawatiran yang muncul adalah revisi

dalam satu arah yang jelas dan tegas.

UU 33/2004 ini tidak dapat masuk dalam

Untuk bisa mencapai tataran ideal

prolegnas prioritas tahun 2012 dan

sesuai dengan yang di harapkan maka

kalau hal itu terjadi maka target tersebut

diperlukan proses yang panjang. Kunci

di atas tidak akan dapat direalisasikan.

utama untuk mencapai tujuan bersama

perbaikan kesejahteraan. Salah satu

Apa harapan Bapak setelah Revisi

adalah koordinasi dan sinkronisasi dari

yang akan diatur adalah pembatasan

UU33/2004

semua stakeholder yang terlibat. ()

besaran presentase belanja pegawai,

baru?

tujuan

agar

belanja

daerah

dapat

menjadi lebih berkualitas dan uang


negara

dapat

digunakan

semaksimal

untuk

mungkin

belanja

yang

mempunyai dampak langsung terhadap

atau alternatifnya adalah persentase


minimum belanja modal.
Keempat,

pengaturan

mengenai

pengelolaan keuangan daerah, dimana


kami

ingin

pentingnya

menegaskan
disiplin

kembali

pengelolaan

keuangan yang selaras dengan prinsip


dasar pengelolaan keuangan negara.
Selain itu, dalam konteks pengelolaan
keuangan

juga

diatur

pasal-pasal

yang diharapkan mampu mengeliminir


tumpang tindih pendanaan antara dana
dekonsentrasi, dana tugas pembantuan
dan dana desentralisasi.
Kelima, reformulasi sumber pendanaan
daerah.

Dalam

revisi

UU

33/2004

kami juga memfokuskan diri untuk


memperbaiki formula dana perimbangan
sehingga menjadi lebih adil dan mampu
mendorong

pemenuhan

kebutuhan

pendanaan daerah.
Terakhir, Keenam

terkait surveillance

kinerja keuangan daerah. Dalam revisi

10

Media

defis

disahkan menjadi UU

Laporan Utama

Transformasi Hubungan Keuangan Pusat


dan Daerah Dalam

Revisi UU Nomor 33 Tahun 2004


Proses perubahan UU Nomor 33/2004 memasuki tahap yang krusial terutama untuk menyelesaikan
beberapa permasalahan yang saat ini dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal.
Sebagaimana diungkapkan Dirjen Perimbangan Keuangan dalam wawancara eksklusif dengan reporter
Majalah Defis, proses perubahan yang akan dilakukan bersifat transformatif yang akan mengubah
noimenklatur perimbangan keuangan menjadi hubungan keuangan. Bagaimanakah transformasi yang
dilakukan dalam Revisi UU 33/2004?

ransformasi

yang

dilakukan

dalam penyusunan Revisi UU


33/2004 pada dasarnya mengacu

pada UU Nomor 17/2003 yang telah


menegaskan konteks keuangan negara
dan

daerah

dalam

sebuah

koridor

hubungan keuangan antara pusat dan


daerah.

pemberdayaan BUMD.

ke masyarakat diasumsikan lebih tahu

Salah satu isu utama yang menjadi


perhatian serius yaitu bagaimana upaya
yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
dalam mengendalikan kualitas APBD.
Upaya ini menjadi bahan perdebatan
yang cukup hangat mengingat saat ini

kebutuhan

masyarakat

dibandingkan

dengan Pemerintah Pusat yang jauh.


Sehingga,

alokasi sumber daya yang

dilakukan

oleh

Pemerintah

Daerah

akan lebih responsif dan menjawab


kebutuhan masyarakat.

desentralisasi fiskal yang dilaksanakan

Sedangkan

dari

kewenangan

sisi

pendapatan,

Hal ini lah yang kemudian mendorong

adalah penyerahan kewenangan fiskal

pemberian

Revisi UU 33/2004 untuk mendasarkan

dari otoritas Negara kepada daerah

kepada

pada

otonom.

partisipasi masyarakat untuk mendanai

bagaimana hubungan keuangan

antara pusat dan daerah dibentuk,


sehingga

tidak

memberikan

hanya

sekedar

perimbangan

keuangan

saja.

Di dalam Naskah Akademis Revisi UU


33/2004 disebutkan bahwa kewenangan
fiskal yang diserahkan tersebut paling
tidak

meliputi

kewenangan

untuk

daerah

perpajakan

dimaksudkan

agar

pelayanan publik lebih tinggi karena


masyarakat dapat merasakan langsung
manfaat

dari

pembayaran

pajak/

retribusi tersebut.

Terdapat 6 (enam) pokok masalah utama

mengelola

yang menjadi perubahan substansial

keleluasaan untuk menentukan anggaran

belanja APBD secara berlebihan oleh

dalam

dan

revisi

UU

Nomor

33/2004.

pendapatan/perpajakan,

maka

pengendalian

daya

Pemerintah akan menimbulkan kontra

yang dimiliki daerah untuk membiayai

produktif atas pemberian kewenangan

meliputi pemekaran daerah, sumber

pelayanan publik yang menjadi tugas

fiskal kepada daerah, terutama dari sisi

daya manusia,

daerah.

pengeluaran.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa

sisi belanja, pemberian kewenangan

diskresi dari sisi pengeluaran APBD

fiskal kepada sebuah daerah otonom

ternyata

didasarkan kepada prinsip agar alokasi

dicerminkan

sumber daya lebih efisien dan efektif.

APBD. Sangat sulit untuk dapat menarik

APBD, pengelolaan keuangan daerah,


reformulasi

pendanaan

APBD,

dan

surveillance kinerja keuangan daerah.


Selain

hal-hal

tersebut,

terdapat

pula beberapa isu krusial yang juga


mendapatkan perhatian dalam proses
revisi UU 33/2004, antara lain mengenai

sumber

itulah

Keenam pokok masalah utama tersebut


pengendalian belanja

mengalokasikan

Untuk

Pemerintah Daerah yang lebih dekat

belum
dari

dapat

sepenuhnya

kualitas

belanja

kesimpulan apakah belanja APBD telah


dapat meningkatkan kualitas pelayanan
Media

defis

11

Laporan Utama
publik atau tidak, apabila 40 persen

daerah

kualitas

yang nantinya akan diatur dalam revisi

dari rata-rata APBD digunakan untuk

belanja yang pro pelayanan publik,

UU 33/2004? Berikut ini pokok-pokok

mendanai belanja pegawai.

maka pengaturan umum mengenai hal

pikiran pengaturan ke depan dalam

tersebut akan dituangkan dalam revisi

revisi UU 33/2004 yang secara ekslusif

UU 33/2004.

diperoleh dari Tim Revisi UU 33/2004.

Berangkat dari fakta-fakta yang terjadi


tersebut yang antara lain disebabkan
karena

belum

adanya

perangkat

pengaturan yang dapat mengarahkan

Lalu,

untuk

sejauh

mencapai

mana

transformasi

Erny Murniasih dan Denny Kurniawan

hubungan keuangan pusat dan daerah

Box. 1. Pokok-pokok pikiran revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004


KONDISI SEKARANG
(UU NO. 33 TAHUN 2004)

POKOK MASALAH
Pemekaran Daerah

PENGATURAN KE DEPAN
(REVISI UU NO. 33 TAHUN 2004)

Dana perimbangan untuk daerah pemekaran dialokasikan 1


tahun setelah UU pembentukannya

Dana perimbangan mandiri untuk daerah pemekaran


dialokasikan 2 tahun setelah UU pembentukannya

Pemekaran daerah kurang mempertimbangkan potensi


keuangan dan kesiapan administrasi keuangan

Pemekaran daerah lebih mempertimbangkan


kriteria keuangan berupa rasio pajak retribusi dan
DBH terhadap PDRB;
Kesiapan sistem administrasi keuangan.

SDM

Kapabilitas SDM pejabat pemda dan DPRD dalam


pengelolaan keuangan masih terbatas

Peningkatan kapasitas aparat pemerintahan


daerah melalui pendidikan dan pelatihan;
Sertifikasi untuk jabatan-jabatan tertentu seperti:
bendahara, penilai, akuntan pemerintah dan
penyidik pajak.

Pengendalian
Belanja APBD

Alokasi belanja kurang tepat sasaran

Prioritas alokasi belanja daerah untuk pelayanan


dasar, dan sektor unggulan daerah;
Peran pemerintah pusat melalui alokasi DAK, hibah
dan pinjaman untuk mendukung prioritas alokasi
belanja tersebut.

Porsi belanja pegawai dalam APBD masih dominan

Alokasi DAU tidak lagi memperhitungkan secara


langsung belanja PNSD

Porsi belanja untuk pelayanan dasar masih sangat rendah

Porsi belanja modal dan belanja barang untuk


pemeliharaan infrastruktur untuk pelayanan dasar
minimal 20% dari total belanja;
(Alternatif) Porsi belanja PNSD maksimal 50% dari
total belanja.

Pengelolaan
Keuangan Daerah

Penyerapan belanja rendah

Pengenaan sanksi terhadap lambannya penyerapan


DAK, dari penundaan sampai dengan pembatalan sisa
alokasi

Pengelolaan keuangan daerah kurang sejalan dengan


pengelolaan keuangan negara (pusat), seperti: belum
berlaku sistem at cost;

Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah


mengacu pada sistem dan prosedur keuangan
pemerintah pusat

Klasifikasi belanja yang berbeda dengan pusat sehingga


konsolidasi fiskal nasional sulit dilakukan.

12

Media

Peran Gubernur dalam perencanaan anggaran Kabupaten/


Kota kurang memadai

Penguatan peran gubernur dalam melakukan fungsi


alokasi DBH Pemerataan kepada Kabupaten/Kota

Penyampaian laporan keuangan masih secara manual, tidak


teratur, dan tidak berkesinambungan.

Penyampaian laporan keuangan secara elektronik


yang periodik dan continue dari pemerintah daerah ke
pemerintah pusat

Alokasi anggaran tidak memperhatikan pembagian urusan


pusat dan daerah

Daerah/pusat DILARANG mendanai kegiatan


yang bukan urusannya dan dikenakan sanksi atas
pelanggaran tersebut

defis

Laporan Utama
KONDISI SEKARANG
(UU NO. 33 TAHUN 2004)

POKOK MASALAH

Reformulasi
Sumber Pendanaan
APBD

PENGATURAN KE DEPAN
(REVISI UU NO. 33 TAHUN 2004)

Realisasi anggaran rendah yang berakibat penumpukan


SiLPA sehingga mengganggu penyediaan pelayanan
terhadap masyarakat

PengendalianSiLPA yang tinggi, melalui:

Basis pajak Kab/Kota relatif terbatas

Penguatan local taxing power

DBH belum sepenuhnya dialokasikan sesuai potensi


masing-masing daerah (by origin)

DBH dialokasikan by origin

DBH CHT, DBH Migas, Dana Reboisasi di earnmark sehingga


penyerapannya terbatas dan tidak efektif karena nilainya
yang tidak material

DBH tidak lagi di earnmark untuk kegiatan tertentu,


kecuali DBH Migas dan Dana Reboisasi

Penyaluran DBH kurang memberikan kepastian baik dalam


jumlah maupun waktu

DBH disalurkan per triwulan berdasarkan prognosa


realisasi dan disesuaikan dengan realisasi pada tahun
anggaran berikutnya.

Bobot kriteria DAU yang berubah-ubah setiap tahun

Meningkatkan prediktabilitas (kepastian) sumber


pendanaan transfer pemerintah pusat melalui
penetapan bobot DAU yang digunakan selama periode
3 tahun (MTEF)

Sejak 2007 dalam APBN muncul dana penyesuaian yang


tidak sesuai dengan UU 33/2004

Dana penyesuaian menjadi komponen dari DAK


yang lebih diarahkan untuk membantu mendorong
pemenuhan pelayanan dasar

Pinjaman daerah hanya boleh digunakan untuk membiayai


kegiatan yang menghasilkan penerimaan.

Peningkatan fleksibilitas penggunaan pinjaman


daerah untuk membiayai penyediaan pelayanan
publik yang menghasilkan penerimaan maupun
tidak menghasilkan penerimaan.

penundaan transfer danaperimbangan; atau


memberikan transfer dalam bentuk surat utang
negara.

Tetap menjaga jumlah pinjaman yang aman dan


terkendali.
Surveillance Kinerja
Keuangan Daerah

Kinerja pengelolaan keuangan daerah masih rendah


tercermin dari opini BPK atas LKPD

Pemerintah menetapkan indikator kinerja fiskal


dan keuangan daerah;
Pemerintah melakukan pemantauan kinerja
keuangan daerah.

Belum ada mekanisme pemberian reward and punishment


terhadapkinerja keuangan daerah

Pemerintah dapat memberikan insentif terhadap


daerah yang berkinerja baik;
Pemerintah memberikan insentif non fiskal untuk
perbaikan kinerja bagi Daerah yang kinerjanya
rendah;
Pemerintah mengusulkan penghapusan daerah
yang kinerja keuangannya buruk.

Pemberdayaan
BUMD

Belum diatur hubungan hak dan tanggung jawab keuangan


Pemerintah Daerah dan BUMD

Penegasan BUMD bukan sumber pendanaan bagi


daerah;

Pengalokasian dana APBD kepada BUMD


diprioritaskan untuk BUMD yang menyediakan
barang dan/atau jasa bagi pemenuhan hajat hidup
orang banyak ;

Pemberian Subsidi hanya kepada BUMD yang tarif


pelayanannya dibawah rata-rata biaya produksi.
Sumber: Tim Revisi UU No. 33 Tahun 2004

Media

defis

13

Laporan Utama

Money Follow Function


Di Tengah Kurang Jelasnya Urusan ke Daerah
Money Follow function merupakan sebuah prinsip dimana pendanaan yang diberikan kepada daerah mengikuti
fungsi atau kewenangan yang diberikan kepada daerah tersebut. Idealnya, urusan yang menjadi kewenangan daerah
harus dijelaskan terlebih dahulu sehingga pengaturan who does what dapat menjadi dasar bagi pemberian dana
untuk melaksanakan urusan tersebut.
Namun demikian, ketidakjelasan urusan yang diserahkan kepada daerah dan bagaimana pengaturan pembagiannya
antar level pemerintahan (termasuk dengan Pemerintah) menyisakan pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai.
Hal ini pula lah yang menjadi perhatian utama dalam pokok-pokok revisi UU 32/2004 yang saat ini sedang dalam
proses pembahasan.
Untuk mendapatkan informasi tentang revisi UU 32/2004 yang sedang dilakukan di Kementerian Dalam Negeri,
reporter Majalah Defis Erny Murniasih dan Kurnia berhasil mewawancarai Direktur Jenderal PUM yaitu Dr
Made Suwandhi, yang sebelum dilantik sebagai Dirjen PUM, beliau bertanggung jawab selaku Ketua Tim Revisi
UU 32/2004.
Erny Murniasih dan Kurnia

Bagaimana

Bapak

melihat

proses

walaupun ada pencapaiannya, tetapi

Akhirnya

otonomi daerah hingga saat ini, apa hal

perlu

kewenangannya, suka-suka dia buat,

positif yang sudah terjadi dan apa yang

dijelaskan terlebih dahulu adalah apa

perlu disempurnakan?

dan bagaimana pembagian tugasnya

Untuk menjawab pertanyaan tersebut,


kita perlu kembali dulu ke tataran filosofi
desentralisasi dimana ketika sentralisasi
gagal masuk ke desentralisasi.
Desentralisasi
utama;

memiliki

pertama,

dua

tujuan

bagaimana

menciptakan pemerintah daerah sebagai


instrumen untuk kesejahteraan tingkat
lokal. Kalau berhasil pada akhirnya akan
menyumbang pada tingkat nasional.
Kedua,

bagaimana

waktu

panjang.

Yang

harus

antara Pusat, Provinsi, Kabupaten dan


Kota. Saat ini belum jelas sekali, dan ini
butuh waktu. Baik pusat maupun daerah
masih bermasalah

ikut

berpartisipasi, artikulasi dan agregrasi


kepentingan rakyat.

Daerah.

otonomi daerah, sehingga perlu adanya


harmonisasi. Misalnya saja ada suatu
urusan, peraturan perundangan lama

Kedua,

belum

adanya

petunjuk

selain petunjuk, harusnya ada juga


Standar Pelayanan Minimal atau SPM.
Tetapi, persepsi Pusat dan Daerah
terkait SPM juga terkadang salah, semua
harus di-SPM-kan, dengan alasan takut
hilang.

SPM itu harusnya ringkas,

sesuatu yang sederhana, evolving, dan

diotonomikan. Apa itu? Sekarang apa

incremental.

yang disebut dengan Norma, Standar,

darimana uangnya, tidak ada uangnya.

hingga saat ini hasilnya kurang berhasil,

Nah, NSPK saja belum belum dibuat.

defis

Ketiga, ketika urusan sudah dibagi,

lebih lanjut untuk urusan yang sudah

Prosedur dan

Media

mengatakan ini sudah menjadi urusan

persamaan persepsi antara Pusat dan

Kalau kita lihat, mengapa desentralisasi

14

menjadi urusan Daerah, Daerah pun

baru) belum sesuai dengan aturan

bahwa itu menjadi kewenangan daerah.

dapat

Pusat mengatakan ini otonomi, sudah

banyak aturan lama (ketika jaman orde

instrumen politik tingkat lokal, melalui


rakyat

Persepsi yang salah juga masih terjadi;

campur?. Hal inilah yang memerlukan

apa?

sedangkan UU 32/2004 menyatakan

dimana

inilah yang menjadi persoalan juga.

daerah, tapi kenapa Pusat perlu ikut

masalahnya

menciptakan

sekali

menterjemahkan

Pertama,

Lalu,

masih menyatakan kewenangan pusat

pilkada, musrenbangda, dan banyak

daerah

Kriteria atau NSPK.

Kalau semua mau dibuat,

Tekait SPM tadi, desentralisasi fiskal


itu

kan

menganut

money

follow

Laporan Utama
function, menurut Bapak bagaimana

adalah Pusat juga yang berkontribusi

mensejahterakan rakyat? Maka anda

idealnya pelaksanaan prinsip tersebut?

membengkakkan lembaga. Daerah yang

tentunya membutuhkan administrator

tidak rentan bencana diminta untuk

yang handal untuk melaksanakan urusan

membuat badan bencana. Tidak perlu

yang telah diserahkan kepada anda,

adanya penyuluhan tapi diminta untuk

untuk mengurus lembaganya, personil,

membuat badang penyuluhan. Nah, ini

uang, dan juga pelayan publik.

Idealnya

begini,

function-nya

harus

jelas dulu dan semua harus dikerjakan,


namun

karena

kemampuan

negara

terbatas, maka ada hal-hal minimum


yang harus dikerjakan terlebih dahulu.

kan berarti persepsi Pusat dan Daerah


(terkait) otonomi daerah itu belum clear

Nah, untuk memahami itu juga Pusat


dan Daerah sama saja payahnya. Kita
lihat DPOD bersidang, contoh kecil di
bidang UMKM; dalam membuat SPMnya, setiap daerah minimum harus
membuat pasar, membuat expo;

sekali.

Nah, yang terjadi selama ini di negara


kita adalah when politics end, then politics
on, then end, and on again, jadi inilah yang

Itu dari sisi kelembagaannya, belum


lagi terkait dengan personil, itu lebih
bermasalah lagi. Distribution of function,
structure follow function, personel follow

harus kita perbaiki.


UU 22 memang sangat politik karena
saat itulah merupakan sebuah solusi
sebagai sebuah Negara Kesatuan

masa setiap daerah harus buat

jika tidak diberikan dalam bentuk

expo.

politik,

Minimal

harusnya

yang

maka

dikhawatirkan

dilakukan adalah yang sederhana

bisa terjadi perpecahan seperti

dulu, misalnya dalam pendidikan,

yang

apa yang minimum dilakukan dari

persekutuan Uni Soviet.

pendidikan.

terjadi

di

Kemudian

negara-negara

UU

32/2004

Terkait institutional arrangement,

merekonsiliasi yang sebelumnya

menurut Bapak siapa yang bisa

politik lalu mencoba ke tengah,

mengatur ini semua?

tapi ternyata pemerintahan tidak


efektif juga, dan pelayanan publik

Ini yah, kalau menteri dengan


menteri,

Kemendagri

juga masih jelek.

dengan

Makanya,

sektoral, ini exhausted, ini makanya

di

revisi

UU

32

yang harus memimpin (adalah) DPOD,

function, nah function-nya apa dulu?

pendekatannya lebih ke teknokratik dan

makanya saya usulkan DPOD yang

Manpower planning saja belum memadai,

administratif, agar terjadi keseimbangan

memimpin adalah Wapres. Kalau menteri

misalnya bagaimana mengatur kualifikasi

antara

lain yang mengambil alih kewenangan

posisi yang cocok dengan pekerjaan.

Mengurus negara ini kan ada dua sisi,

daerah bagaimana bisa mengatasinya.

Tidak ada pertanian tapi harus dibuat

yaitu politik dan administrasi. Politics is

dinas pertanian; sudah begitu, diisi oleh

how to get power, setelah itu bagaimana

Kemendagri?

orang non pertanian, makin salah lagi.

mengadministrasikan

Makanya ini harus diangkat ke atas,

Kalau diperhatikan, UU 22 heavy-nya

kalau

clear.

kan lebih ke arah politik, sedangkan UU

Termasuk kelembagaan, ini masalah

32 lebih ke arah administrasi. Kira-

Wawancara berakhir ditutup dengan

besar, ini kita coba perbaiki dalam Revisi

kira arah revisi UU 32 ini sekarang

pernyataan

UU

muatannya lebih ke arah mana?

Suwandi agar kerjasama dan koordinasi

Ini

bukan

tidak,

32.

karena

ini

DPOD

tidak

ada

akan

Kementerian/Lembaga

di

ingin

lembaganya ada di daerah, waduh

Seharusnya seperti ini when politics end,

terpaksa orang daerah buat lembaga,

then administration begins - ketika proses

nanti dikasih bantuan, akhirnya daerah

politik berakhir dimulailah

membengkakkan

administrasi.

lembaga,

uangnya

habis

proses

politik

dan

administrasi.

kekuasaan

agar mendorong untuk peningkatan


kesejahteraan.

harapan

Bapak

Made

yang sudah berjalan baik saat ini dapat


ditingkatkan khususnya dalam rangka
penyusunan revisi UU 32/2004 dan
33/2004, agar masing-masing pihak,
yakni Kemendagri dan Kemenkeu dapat

Ketika anda legitimate menjadi kepala

saling mensosialisasikan apa yang telah

Hari ini mungkin daerah 80% uangnya

daerah

dicapai dan menharmonisasikannya ()

habis untuk operating cost. Kontributornya

what?

atau

anggota

Bagaimana

cara

DPRD,
anda

so
untuk

Media

defis

15

Laporan Utama

Harmonisasi antara

Revisi UU 33/2004
Dengan UU lainnya
Harmonisasi dengan Revisi UU
32/2004

yang diprioritaskan, lalu dikunci dengan

mesti jelas supaya tidak menimbulkan

SPM-nya. Ketika terdapat kekurangan

kebingungan daerah ujar Dr Made

Proses penyusunan revisi UU 33/2004

uang maka bantuan kebijakan dari sisi

Suwandhi dengan tegas.

harus diselaraskan dengan peraturan

upstream harus dilakukan, tapi jangan

perundangan lainnya, dan khususnya

melalui

dengan proses penyusunan revisi UU

Pembantuan.

32/2004 yang saat ini juga sedang

Hal ini lah yang kemudian mendorong

berlangsung.

Khusus

dengan

revisi

Dekonsentrasi

dan

proses perbaikan harus dilakukan secara

UU 32/2004, saat ini telah dilakukan

simultan

beberapa

keterkaitan yang saling erat.

pertemuan

dan

adanya

kesepakatan yang dapat dilakukan oleh

Tugas

karena

keduanya

memiliki

Harmonisasi dengan Sistem


Perencanaan Nasional
Tujuan

Sistem

Perencanaan

Pembangunan Nasional (SPPN) sesuai


UU No.25/2004 antara lain adalah untuk
mendukung

koordinasi

antarpelaku

pembangunan, baik di pusat maupun

Function, personnel follow function, dan

daerah, serta yang paling penting adalah

money follow function harus disusun secara

kesepakatan

bagaimana dapat menjamin keterkaitan

simultan. Walaupun akhirnya semua

dengan teman-teman di Kementerian

dan konsistensi antara perencanaan,

akan bermuara pada downstream, tapi

Keuangan,

dengan

penganggaran,

jika ada rule of engangement yang jelas,

upstream akan dilakukan oleh Kemenkeu,

pengawasan pembangunan itu sendiri.

maka pengaturannya akan lebih mudah

sedangkan Kemendagri akan mengatur

tukas Dr. Made Suwandhi.

Tim revisi kedua UU tersebut.


Kita

sudah

membuat

dimana

terkait

hal-hal yang bersifat downstream ujar Dr


Made Suwandhi yang merupakan Ketua
Tim Revisi UU 32/2004.
Lebih

lanjut

mengatakan

Dr.
bahwa,

Made

Suwandhi

Upstream

akan

Ambil

satu

misalnya,

jelas

pendidikan

untuk mensinkronkan, mensinergikan,

pembagian

dan

perencanaan

melakukan,

(RPJPN/D, RPJMN/D, RKP/D).

dan

anggarannya

jelas,

maka urusan pendidikan juga akan


menjadi

dari sisi revenue center-nya misalnya pajak

dengan downstream, siapa yang harus

dan retribusi, dana perimbangan, dan

mengawal. Dalam hal ini,

lain-lain. Sedangkan downstream akan

(sekarang

mengatur penggunaan dari uang yang

bagian teknis dan Kemdagri di bagian

diperoleh daerah, yaitu dari sisi cost

umum. Tapi, bagaimana interface-nya?

center-nya. Artinya, pelayanan dasar dulu

Rule of engagement antar keduanya juga

Media

defis

menselaraskan

urusannya punya siapa, siapa yang

terkait dengan bagaimana pengaturan

16

Sesuai dengan amanat UU tersebut,


maka tugas dan peran Bappenas adalah

contoh,

apabila

pelaksanaan,

bagus.

Nah,

Kemdikbud)

ini

terkait

Kemdiknas

berperan

di

pembangunan

dokumen
nasional

Peran Bappenas untuk menselaraskan


program nasional dan daerah dilakukan
dalam bentuk pelaksanaan Musrenbang
mulai dari tingkat desa, kecamatan,
kabupaten kota, provinsi sampai tingkat
nasional. Hasilnya kemudian dituangkan
dalam

perencanaan

tahunan

yang

disebut rencana kerja pemerintah (RKP).

Laporan Utama
RKP ini adalah satu-satunya dokumen

murid, rasio penduduk dan paramedik,

dari sisi kompetensinya. Nah ini juga

untuk ditetapkan anggarannya secara

rasio penduduk tenaga administrasi

yang bermasalah karena kewenangan

definitif oleh Kementerian Keuangan

dan

kondisi

mengangkat pegawai baru menjadi suka-

ungkap Dr. Budhi Santoso, Direktur

geografis. Setelah itu, buatkan bobot,

suka daerah, itulah otonomi. Harusnya

Otonomi Daerah, Bappenas.

baru

Tantangan
adalah

yang

kemudian

bagaimana

dihadapi

mensinergikan

penduduk
kita

berdasarkan

berapa

daerah waspada dengan kompetensi,

kelebihan dan kekurangan pegawai ujar

bisa

mengetahui

tapi tidak juga (waspada), sehingga

Dr. Made Suwandhi.

terjadi kesewenang-wenangan, pegawai

antara dokumen perencanaan antara

Permasalahan gendutnya birokrasi juga

pemerintah pusat dan daerah dengan

menimbulkan permasalahan tersendiri.

proses

Meskipun persentase PNS Indonesia

alokasi

dana

transfer

yang

diberikan kepada daerah itu sendiri.


Menjawab hal ini, Dr Budi Santoso
menandaskan secara umum, dalam
revisi

UU

33

mendukung

kami

(Bappenas-red)

Kementerian

Keuangan

dengan budget power yang dimilikinya


perlu menyusunnya dengan pendekatan
good

governance

berprinsip

yang

pada:

antara

lain

akuntabilitas,

transparan dan partisipasi.


Untuk itu, diharapkan revisi UU ini juga

Di sisi lain, big


bureaucracy ternyata
membebani APBN dan
APBD sehingga perlu
dipikirkan upaya untuk
mewujudkan down sizing
atau setidaknya zero
growth lanjut Dr Budi

mencantumkan hal-hal terkait dengan


koordinasi

perencanaan

dari

dibanding jumlah penduduk di Indonesia

RPJP, RPJM, RKP RKA-KL dan seterusnya

relatif kecil (berkisar 1,3%), namun

sehingga

pertambahan jumlah PNS di Indonesia

terwujud

mulai

keserasian

dan

keharmonisan mulai dari perencanaan,

relatif

penganggaran dan pelaksanaan. Tidak

pertumbuhan penduduk di Indonesia

lupa pula untuk memasukkan unsur

Dr Budi Santoso menambahkan.

monitoring dan evaluasi.

Harmonisasi dengan Sistem


Kepegawaian Nasional
Sebagaimana
Dr.

Made

harmonisasi

diungkapkan
Suwandhi,

oleh

permasalahan

tidak hanya dikaitkan

dengan fungsi dan kelembagaannya

lebih

cepat

dibandingkan

bisa pindah atau non job bukan karena


pelanggaran berat tapi karena pegawai
tidak menjadi tim sukses kepala daerah,
misalnya. Nah, itu kan masalah jadinya.
Terkait dengan pengaturan mengenai
aparatur

pemerintah

daerah,

tentunya akan sangat terkait dengan


pendanaannya. Inilah yang mendasari
pentingnya

harmonisasi

penyusunan

revisi UU 33/2004 dengan pengaturan


tentang sistem kepegawaian.

Harmonisasi dengan Dana


Sektoral
Tidak

mudah

memang

untuk

menerjemahkan kebijakan perimbangan


keuangan

yang

berlandaskan

pada

prinsip pembagian yang berkeadilan,


proporsional, dan demokratis menjadi
sebuah pelaksanaan kebijakan yang
dapat mudah aplikasinya. Terlebih lagi

Sebagai contoh, rekruitmen PNSD di

terdapat skema pendanaan lain selain

suatu daerah per tahunnya adalah 200-

dana desentralisasi yang juga berlaku di

300 orang, bila memakai rasio normal 1

Republik ini, yaitu dana dekonsentrasi

PNS melayani 497 orang maka dengan

dan tugas pembantuan.

pertambahan PNSD sejumlah tersebut


pertumbuhan

penduduk

daerah

seharusnya 100.000 orang.

Secara

prinsip,

dana

adalah

urusan

pemerintahan

dilimpahkan

dekonsentrasi

kepada

yang

Gubernur

saja, tapi yang juga penting adalah

Di sisi lain, big bureaucracy ternyata

sedangkan dana TP adalah urusan

bagaimana

membebani

pemerintahan yang ditugaskan kepada

harmonisasinya

dengan

personel (kepegawaian).
Sekarang kalau daerah ditanya, berapa
sih jumlah pegawai Anda butuhkan?

APBN

dan

APBD

sehingga perlu dipikirkan upaya untuk

Gubernur/

mewujudkan down sizing atau setidaknya

urusan ini didanai dari Bagian Anggaran

zero growth lanjut Dr Budi.

K/L.

Bupati/Walikota.

Pengaturan

Kedua

mengenai

kedua

dana ini diatur dalam UU 32/2004 dan

Tidak ada yang tahu karena memang

Secara terpisah, Dr Made Suwandi juga

tidak ada standar, bahkan benchmark-

mengungkapkan kekecewaannya pada

nya pun tidak ada. Harusnya kan bisa

fakta yang terjadi selama ini. Kondisi

Untuk itu, Drs. Yusrizal Ilyas, Direktur

dihitung dari berapa rasio guru dan

ini juga makin parah saat kita melihat

Evaluasi

dijabarkan dalam PP No. 7/2008.

Pendanaan

Media

dan

Informasi

defis

17

Laporan Utama
Keuangan Daerah, DJPK, Kementerian

Kendala yang terjadi apabila dana

Baru-baru ini Pemerintah mengeluarkan

Keuangan

Dekon/TP

Peraturan

mengatakan

bahwa

diberikan

kepada

daerah

Pemerintah

tentang

pengertian urusan pemerintahan itu

tanpa ada proses diskusi dengan daerah

penguatan peran Gubernur selaku Wakil

adalah urusan yang bukan merupakan

adalah adanya ketidaksesuaian antara

Pemerintah Pusat di Daerah, termasuk

kewenangan

proyek yang akan dilakukan K/L dengan

di dalamnya untuk mengkoordinasikan

kebutuhan daerah itu sendiri.

dana Dekonsentrasi/TP yang ada di

daerah.

Kementerian
kewajiban

PU
untuk

membangun

Misalnya,

masih

memiliki

memelihara

jalan

dengan

atau
status

jalan nasional. Nah, ini yang harus


dipertegas sehingga pendanaan dari
Dekon/TP menjadi sesuai dengan dasar
peruntukannya.
Namun, dalam kenyataannya masih
terdapat
sebagai

dana-dana

yang

disinyalir

dekon-dekonan

karena

pekerjaan yang dilakukan sebenarnya

Prof. Winarni Monoarfa, Kepala Bappeda


Provinsi

Gorontalo

pelaksanaan
disesuaikan

mengomentari

Dekon/TP
dengan

Ilyas, Soal perencanaan, di dalam

permasalahan

PP 23/2011 tentang penguatan peran

dan potensi daerah yang dimiliki dan

gubernur, sebenarnya dijelaskan bahwa

kebutuhan anggaran harusnya sinkron

gubernur memiliki kewajiban dan hak

dengan program daerah.

untuk memanggil kementerian dalam

Permasalahan seperti ini pada dasarnya


lebih

kepada

compliance

bagaimana

Pemerintah

tingkat

itu

sendiri

UU.
Di dalam UU 33/2004 pasal 77 terkait
ketentuan

peralihan

telah

telah

disebutkan bahwa dana Dekonsentrasi/


TP dapat dialihkan secara gradual ke
dalam DAK. Namun dalam kenyataannya
banyak

rangka koordinasi sebelum musrenbang,


jadi jauh-jauh hari gubernur harusnya
sudah tahu mengenai akan adanya dana
Dekonsentrasi/TP.
Namun demikian, apakah perubahan

Kementerian/Lembaga

yang

mindset dan penguatan peran gubernur


sudah cukup kuat untuk membuat K/L
tidak mengusulkan dekon-dekon-an
kembali di tahun-tahun yang akan
datang?
Hal ini memunculkan sebuah wacana

justeru cenderung mengusulkan dana

mengenai

Dekonsentrasi/TP,

UU

yang

walaupun

diusulkan

kegiatan

tersebut

sudah

merupakan urusan daerah.

apakah

33/2004

ke

dalam

depan

juga

revisi
perlu

mengatur mengenai pemberian sanksi


bagi K/L yang masih belum tepat

sudah menjadi urusan daerah.

Kita harus mengaturnya dalam bentuk

Hal ini diamini pula oleh Dr. Made

DAK. Pemerintah Pusat harus bisa

Suwandhi yang mengatakan:

mengkonversikan

Saya

Hal ini diungkapkan oleh Drs. Yusrizal

harusnya

dalam melaksanakan ketentuan dalam

Selain perubahan
mindset, penguatan
peran Gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat
juga harus dilaksanakan,
bahkan mulai dari
proses perencanaan
anggaran dana tersebut

daerahnya.

dana-dana

Dekon/

penganggarannya. Menyikapi hal ini,


Drs Yusrizal Ilyas mengatakan sambil
tersenyum

saya

rasa

perlu

untuk

diberikan sanksi apabila masih ada

Dekonsentrasi/Tugas

TP yang salah itu ke DAK, kecuali

Pembantuan, tapi channeling-nya yang

memang Dekon/TP yang sesuai dengan

salah. Secara akademis, Dekonsentrasi/

prinsipnya.

TP itu adalah ketika ada suatu pekerjaan

mindset saja sudah susah. Seharusnya

yang akan dilakukan oleh Pusat tapi

mindset yang harus ditanamkan di Pusat

Rasanya

meminta tolong pada Gubernur/kepala

adalah sebagai regulator dan bukan

dan proses yang kontinu untuk bisa

daerah

pekerjaan

sebagai implementor atas urusan yang

menyamakan persepsi di lingkungan

tersebut. Tapi, kalau sekarang, apa yang

sudah diotonomikan tukas Dr. Made

Pemerintah Pusat itu sendiri, terutama

terjadi? Apa yang ada dalam Dekon/TP

Suwandhi.

untuk

itu mengerjakan sesuatu yang memang

Selain perubahan mindset, penguatan

merupakan urusan daerah dan setelah

peran

selesai asetnya akan diserahkan kepada

Pemerintah

daerah. Ini kan lucu sekali.

dilaksanakan, bahkan mulai dari proses

setuju

dengan

untuk

melakukan

Tapi

untuk

Gubernur
Pusat

mengubah

sebagai
juga

wakil
harus

perencanaan anggaran dana tersebut.

18

Media

defis

K/L yang seperti itu. Di dalam Revisi


UU 33/2004 juga ada pembicaraan dan
usulan seperti itu.
masih

menjamin

dibutuhkan

agar

waktu

pengaturan

kebijakan di bidang desentralisasi akan


sejalan dengan kebijakan di bidang
sektoral lainnya.
Erny Murniasih dan Kurnia

Laporan Utama

Implementasi Kebijakan
Desentralisasi Fiskal Saat ini di
Indonesia dan
Pengalaman Negara-negara Lain
Adanya usulan revisi UU 33/2004 tentunya tidak terlepas dari proses evaluasi dan pengamatan yang
dilakukan oleh Pemerintah dan didukung oleh stakeholders lainnya. Stakeholders yang cukup penting
dalam memberikan review dan masukan atas proses penyusunan revisi UU tersebut adalah Kementerian/
Lembaga lainnya, Pemerintah Daerah, kalangan akademisi dan lembaga Development Partners.
Dampak Desentralisasi Fiskal

hingga nasional.

Keberhasilan pelaksanaan kebijakan


desentralisasi dan otonomi daerah
menjadi daya dorong bagi Pemerintah
untuk terus melakukan penyempurnaan
atas kebijakan yang ditempuh. Akan
tetapi, yang juga tidak kalah penting
adalah bagaimana Pemerintah dapat
menyikapi permasalahan atau kendala
yang dihadapi, terutama yang terjadi di
level pemerintahan daerah.

Kedua,
pelayanan
publik
yang
semakin baik dan terus meningkat baik
dari sisi kualitas maupun kuantitas.
Berdasarkan ketentuan, semestinya
peningkatan
pelayanan
publik
didorong oleh instrumen SPM (Standar
Pelayanan Minimal) dan NSPK (Norma,
Standar, Prosedur dan Kriteria) yang
dikeluarkan oleh masing-masing sektor
atau kementerian/ lembaga. Namun
demikian, saat ini, pelaksanaan SPM
dan NPSK masih belum optimal.

Menurut Dr. Budhi Santoso, Direktur


Otonomi Daerah (Bappenas), proses
menuju otonomi daerah telah mencapai
beberapa hal, antara lain:
Pertama, demokratisasi yang semakin
baik dengan meningkatnya partisipasi
masyarakat dalam proses politik,
sebagai perwujudan sistem demokrasi
didaerah melalui pemilihan umum
daerah (pilkada) secara langsung untuk
memilih anggota legislatif tingkat daerah
dan kepala daerah. Demikian juga
keterlibatan masyarakat dalam proses
perencanaan pembangunan di daerah.
Proses ini dicapai melalui mekanisme
perencanaan
dalam
Musyawarah
Pembangunan dari tingkat kecamatan

Ketiga,
dalam
era
otonomi
daerah selama ini, telah tercapai
kemajuan dalam bidang sosial dan
ekonomi, ditunjukkan oleh program
pemberdayaan masyarakat yang lebih
disesuaikan dengan karakteristik dan
potensi daerah, serta peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara umum
yang terlihat dari berbagai indikator
seperti peningkatan angka partisipasi
kasar pendidikan, peningkatan indeks
pembangunan manusia (IPM) di daerah,
turunnya angka kemiskinan, dan lainlain.

Keempat, adanya peningkatan dana


transfer pemerintah ke daerah guna
meningkatkan pembangunan di daerah.
Semakin besarnya Dana Perimbangan
(yang terdiri dari Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi Umum(DAU), dan
Dana Alokasi Khusus (DAK), baik dalam
angka nominal maupun proporsinya
terhadap APBN secara umum.
Kondisi ini telah membantu mengurangi
kesenjangan fiskal antara pemerintah
pusat
dan
pemerintah
daerah
(ketimpangan
vertikal)
dan
antar
pemerintah
daerah (ketimpangan
horizontal), meningkatkan aksesibilitas
publik terhadap prasarana dan sarana
sosial ekonomi dasar di daerah,
mengurangi kesenjangan pelayanan
publik antar daerah,
mendukung
pelaksanaan kegiatan-kegiatan prioritas
nasional yang menjadi urusan daerah,
serta meningkatkan daya saing daerah
melalui pembangunan infrastruktur.
Kelima, efektivitas pengawasan dan
pengendalian
terhadap
keuangan
negara dan daerah menjadi jauh lebih
baik, disertai pula dengan penegakan
hukum oleh institusi penegak hukum

Media

defis

19

Laporan Utama
termasuk oleh KPK agar pemanfaatan
anggaran pemerintah semakin efisien,
tepat sasaran dan dapat dipertanggung
jawabkan (akuntabel).

Di sektor kesehatan perbaikan juga


dapat dilihat pada meningkatnya Angka
Harapan Hidup dan menurunnya Angka
Kematian Bayi.

Kajian dan studi atas dampak


pelaksanaan kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah, khususnya
desentralisasi fiskal juga menjadi
salah satu perhatian utama dari The
World Bank, sebagai salah satu mitra
Development Partners bagi Pemerintah.

Namun demikian, angka-angka tersebut


masih menyisakan pertanyaan apabila
kita melihatnya dari tingkat daerah.
Apakah daerah telah memberikan
kualitas output yang seimbang dengan
kenaikan transfer ke daerah?

Menurut
Daan
Patinasarany,
Ekonom Senior dan Pimpinan Cluster
Decentralization and Regional Development
(DRD) The World Bank: Pelaksanaan
desentralisasi fiskal di Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari kebijakan
otonomi daerah. Karenanya pelaksanaan
desentralisasi fiskal tersebut selayaknya
dipandang sebagai sebuah upaya
sekaligus proses pembelajaran yang
senantiasa memerlukan evaluasi, agar
pelaksanaannya sejalan dan mengarah
pada upaya pencapaian tujuan otonomi
daerah yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan
umum, dan daya saing daerah.
Secara umum, saya melihat adanya
sejumlah dampak positif dengan adanya
kebijakan desentralisasi fiskal ini. Hal
ini bisa dilihat dari survei nasional
terhadap masyarakat atas pelayanan
publik (Governance and Decentralization
Survey atau GDS) tahun 2006 yang
menunjukkan adanya kepuasan atas
perbaikan pelayanan publik yang
terjadi selama desentralisasi dan juga
beberapa indikator sosial ekonomi di
sektor pendidikan, kesehatan, maupun
infrastruktur ujar Daan.
Selanjutnya
Daan
mencontohkan
Indikator di sektor pendidikan adalah
peningkatan Angka Partisipasi Murni
(APM) di tingkat SMP dan SMA. Indikator
tersebut naik dari 62 persen pada tahun
2000 menjadi 67 persen pada tahun
2009, serta dari 39 persen ke 45 persen
pada periode yang sama di tingkat SMA.

20

Media

defis

Daan lebih lanjut


menjelaskan bahwa
hasil kajian The World
Bank atas sektor
pendidikan dengan
menggunakan analisa
efisiensi frontier,
menunjukkan masih
banyaknya daerah yang
berada jauh dari garis
efisiensi
Jika dilihat di tingkat daerah, dimana
jumlah transfer dari pusat ke daerah
yang meningkat secara pesat sebesar 5
kali lipat dalam bentuk riil dibandingkan
dengan periode sebelum desentralisasi,
ternyata masih banyak daerah yang
tidak menunjukkan peningkatan dalam
output-output pelayanan publik tukas
Daan yang saat ini juga merupakan
portofolio
manager
Decentralization
Support Facility (DSF).
Sebenarnya ada beberapa alasan yang
menyebabkan mengapa daerah belum
dapat memaksimalkan kinerja mereka
dalam pelayanan publik. Alasanalasan tersebut, menurut Daan, adalah
sebagai berikut: Pertama, alokasi
belanja di daerah yang tidak fokus
pada pelayanan publik. Pada tahun
2008, hampir 35 persen dari belanja
di daerah dialokasikan untuk belanja
aparatur pemerintah. Sementara alokasi

untuk belanja pelayanan publik berada


dibawah belanja aparatur pemerintah,
belanja pendidikan sebesar 25 persen,
infrastruktur sebesar 20 persen, dan
kesehatan hanya 9 persen. Kedua,
alokasi belanja yang terbatas dari
sektor-sektor pelayanan publik tersebut
tidak dikelola secara efisien.
Daan lebih lanjut menjelaskan bahwa
hasil kajian The World Bank atas sektor
pendidikan
dengan
menggunakan
analisa efisiensi frontier, menunjukkan
masih banyaknya daerah yang berada
jauh dari garis efisiensi. Garis efisiensi
sendiri menunjukkan daerah-daerah
yang dengan input terbatas dapat
mendapatkan output yang paling
maksimal.
Jika ditelaah lebih lanjut ada 3 alasan
utama yang dapat menjelaskan perilaku
daerah tersebut, yaitu: pertama,
adanya disinsentif pada desain transfer
ke daerah untuk penyelenggaraan
pelayanan publik. Contohnya adalah
alokasi dasar pada Dana Alokasi
Umum (DAU) yang memberikan insentif
kepada daerah untuk menambah jumlah
pegawai negeri sipil (PNS).
Contoh lain adalah mengenai komponen
kapasitas fiskal dalam formula DAU,
dimana terdapat disinsentif bagi
daerah untuk menaikkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD), karena hal tersebut
justru akan mengurangi jumlah DAU
yang mereka terima. Dari simulasi
yang dilakukan WB, DAU daerah akan
berkurang sebesar Rp 60 jika daerah
menaikkan PAD-nya sebesar Rp 100.
Alasan kedua adalah bervariasinya
kemampuan
fiskal
daerah
bagi
penyelenggaraan pelayanan publik,
terutama kurangnya kemampuan fiskal
daerah untuk penyediaan infrastruktur
besar di daerah-daerah perkotaan.
Sedangkan investasi infrastruktur itu
sendiri merupakan ujung tombak bagi
pertumbuhan ekonomi negara secara
keseluruhan.

Laporan Utama
Kemudian, alasan ketiga adalah adanya
variasi kemampuan (termasuk kurangnya
insentif) bagi aktor-aktor di daerah
dalam
penyelenggaraan
pelayanan
publik.

berlangsung dengan baik, hal ini terlihat


dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di
Provinsi Gorontalo tahun 2009 berada
di atas rata-rata nasional tukas Prof.
Winarni mengakhiri.

Bola liar itu siapa yang tanggung jawab,


jangan lagi membebani APBN tapi DAU
tetap dikapling 26 persen. Pada saat
itulah akan muncul resiko fiskal lebih
lanjut dijelaskan Ria.

Di
tengah
hingar
bingarnya
perdebatan mengenai sejauh mana
dampak pelaksanaan desentralisasi
fiskal dirasakan oleh daerah, lebih
terlihat pada proses demokratisasi
yang melibatkan masyarakat dapat
meningkatkan tingkat akuntabilitas
pemerintah daerah dalam melaksanakan
fungsinya.

Risiko Fiskal dalam Konteks


Kebijakan Desentralisasi Fiskal

Dari sisi kaca mata APBN, sebagaimana


yang selama ini diamati oleh Ria yang
bekerja di unit Kebijakan Fiskal, APBN
pada dasarnya merupakan sebuah tools,
dimana uang yang diperoleh APBN
harus dikembalikan lagi kepada rakyat
secara adil dan merata. Untuk itu, Ria
menganggap bahwa bukan berarti porsi
yang harus diterima oleh pusat lebih
banyak dibandingkan dengan daerah,
atau sebaliknya. Prinsip utama yang
harus dipegang teguh adalah bagaimana
desain dan pemanfaatan uang rakyat
tersebut.

Otonomi Daerah menjadi instrumen


yang
cukup
efektif
mendorong
pembangunan daerah di Provinsi
Gorontalo, beberapa aspek yang
menjadi indikator dalam menunjukan
adanya perbaikan adalah pertama,
keleluasaan Pemerintah Daerah dalam
mendesain
strategi
pembangunan
berbasis komoditas lokal. Pilihan
3 program unggulan yang menjadi
akselatator
utama
pembangunan
sambut Prof. Winarni Monoarfa, Kepala
Bappeda Provinsi Gorontalo.
Kedua,
bagaimana
Pemerintah
Daerah Gorontalo bisa dengan leluasa
mendukung reformasi birokrasi. Sejauh
ini telah dilakukan berbagai perbaikan
antara lain mendorong birokrasi yang
berbudaya
entrepreneur,
perubahan
Organisasi dan Tata Kerja (OTK),
penyederhanaan prosedur pencairan
anggaran, mendorong pengembangan
SDM Aparatur dan lain-lain.
Ketiga, otonomi Daerah juga telah
sangat bermakna pada peningkatan
kinerja pembangunan daerah, antara
lain terlihat dari signifikansi dalam
pertumbuhan ekonomi, peningkatan
produksi komoditas utama (jagung, padi
dan perikanan tangkap atau budidaya),
penurunan angka kemiskinan serta
peningkatan
indeks
pembangunan
manusia.
Keempat,

proses

demokrasi

Apa yang menjadi sorotan Daan dan


The World Bank dalam studi dan kajian
mereka yang lebih ke arah downstream,
terutama kualitas pengelolaan APBD,
ternyata juga diamini oleh Ria Sartika
Azahari, yang sehari-hari berkecimpung
dalam kebijakan transfer ke daerah di
Badan Kebijakan Fiskal.
Menurut beliau, Yang lebih berisiko
adalah pada tataran implementasinya
yaitu bagaimana DAU itu digunakan,
atau bagaimana ketika ada pemekaran
wilayah yang kemudian menjadi alasan
harus adanya instansi-instansi vertikal
di daerah. Nah, pada saat itu lah risiko
fiskal timbul.
Menurut
pandangan
saya,
kalau
melihat diskresi kepada daerah sangat
besar namun outcome yang kita rasakan
masih kecil dari sisi infrastruktur. Ada
dua hal yang menjadi concern saya;
pertama, daerah belum siap untuk
menerima kewenangan penuh. Ini
bukan sentralisasi, tetap desentralisasi,
namun porsi dari earmarking tetap besar
dibanding yang sifatnya block grant,
setidaknya fifty-fifty-lah. Dari kajian yang
ada, kita lihat bahwa yang signifikan
mempengaruhi pelayanan adalah DAK,
karena DAK lebih konkrit terlihat dan
termonitor oleh Pusat.
Concern yang kedua yaitu terkait belanja
pegawai yang besar. Setahu saya rencana
revisi UU 33/2004 adalah mengeluarkan
alokasi dasar dalam formula DAU.
Kebijakan ini sepertinya kita kembali lagi
pada UU 25/1999, tapi kita tidak tahu
PNSD ini ditanggung siapa lagi nantinya.
Saya dengar nantinya tidak ada lagi
PNSD, yang ada hanya PNS.

Perubahan sistem dari sentralisasi


menjadi desentralisasi belum tentu
menjadi lebih baik jika tidak dibarengi
oleh compliance (kepatuhan) atas sistem
yang telah dibangun.
Bagaimana desain dan regulasi, serta
ketaatan stakeholders terhadap regulasi
itu sendiri, tanpa mementingkan ego
masing-masing itu lah yang perlu kita
kedepankan. Kita semua berlindung
dalam payung hukum UU. DAU telah
ditetapkan
sebesar
paling
tidak
26% dalam UU 33/2004; anggaran
pendidikan juga disebutkan dalam UUD
harus dialokasikan sebesar 20%; semua
dipayungi oleh peraturan perundangan.
Akhirnya, Dana Penyesuaian pun juga
diatur melalui UU juga. Kemudian,
dimana lagi pergerakan pusat terhadap
fiskal kalau semuanya sudah ada
kaplingnya masing-masing? tukas Ibu
Ria dengan tegas.

Implementasi Dana Desentralisasi


VS Dana Dekonsentrasi/Tugas
Pembantuan
Pengaturan
mengenai
Dana
Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan pada
dasarnya telah dijabarkan dalam PP

Media

defis

21

Laporan Utama
No.7/2008, yang kemudian dijelaskan
kembali dalam PMK No.156/PMK.07/
2008.
Drs. Yusrizal Ilyas mengatakan bahwa
Saat ini, dengan adanya dukungan PP
No. 23/2011 tentang penguatan peran
gubernur selaku wakil pemerintah pusat
di daerah, seharusnya keterlibatan
gubernur di daerah sebenarnya sudah
cukup baik. Namun, mungkin dalam
pelaksanaanya masih banyak terdapat
kekurangan,
sampai-sampai
ada
daerah yang mengatakan kurang tahu
tentang dana Dekonsentrasi/TP yang
ada di daerahnya. Untuk itu, kami terus
melakukan sosialisasi kepada daerah
sesuai dengan ketentuan yang ada.
Lebih lanjut beliau mengungkapkan
bahwa
pembagian
kewenangan
sudah ada di dalam UU 32/2004,
dan dijabarkan dalam PP 38/2007.
Tetapi, saat ini dana Dekonsentrasi/TP
memang masih banyak digunakan untuk
membiayai kewenangan yang sudah
menjadi kewenangan daerah.
Untuk itulah, pengaturan ke depan
dalam revisi UU 33/2004, lanjut beliau,
K/L dapat menjalankan fungsi dan
kewenangannya di daerah sehingga
tidak lagi menjalankan kewenangan
yang sudah menjadi urusan daerah.

Pengalaman Negara-negara Lain


dalam Desentralisasi Fiskal
Orang bijak mengatakan bahwa jika ingin
berhasil maka kita tidak boleh segan
untuk berguru dari pengalaman orang
lain. Begitu pula yang harus dilakukan
oleh Republik ini bila ingin berhasil
dalam menjalankan sebuah program.
Banyak pengalaman dari negara lain
yang sebenarnya dapat dipertimbangkan
oleh Pemerintah dalam menentukan
kebijakan desentralisasi fiskal. Daan
Patinasarany setidaknya mengatakan
ada dua pengalaman internasional
yang dapat dijadikan acuan bagi
desentralisasi fiskal di Indonesia.

22

Media

defis

Pertama terkait pengalaman negara


lain yang melakukan pengelompokkan
(clustering) daerah untuk membedakan
variasi
dalam
kemampuan
fiskal
serta kemampuan pelaku daerah
dalam
penyelenggaran
pelayanan
publik. Sementara yang kedua adalah
pengalaman negara lain dimana desain
transfer dari pusat ke daerah dikaitkan
dengan pencapaian daerah itu sendiri,
atau lebih dikenal dengan performance
based transfer. Negara-negara di Latin
Amerika bisa menjadi contoh untuk
kedua pendekatan tersebut.
Pendekatan yang pertama yaitu clustering,
terutama didasarkan atas adanya
perbedaan kebutuhan dari masingmasing kelompok daerah, sehingga
skema yang berbeda dibutuhkan untuk
masing-masing
kelompok
daerah
tersebut. Hal ini berbeda dengan
konsep one size fits all yang saat ini
berlaku di Indonesia. Dengan melakukan
pendekatan clustering diharapkan dapat
menjawab sejumlah tantangan yang ada
saat ini berkaitan dengan pelayanan
publik.

Pendekatan clustering,
dapat didasarkan atas
adanya perbedaan
kebutuhan dari masingmasing kelompok daerah,
sehingga skema yang
berbeda dibutuhkan untuk
masing-masing kelompok
daerah tersebut
Ada beberapa cara untuk melakukan
pengelompokkan daerah, dimana kriteria
yang akan digunakan dapat disesuaikan
dengan tujuan-tujuan tertentu dari
kebijakan umum desentralisasi fiskal.
Dari exercise yang dilakukan oleh The
World Bank dengan menggunakan
beberapa indikator --seperti kepadatan
pendudukan, urbanisasi, sumber daya
fiskal, dan kapasitas-- pengelompokkan

daerah dapat dibagi menjadi lima


kategori, yaitu: daerah metropolitan,
kota menengah, kabupaten satelit,
kabupaten kaya sumber daya alam, dan
kabupaten tertinggal.
Pengelompokkan daerah selanjutnya
juga dapat digunakan untuk membuat
paket kebijakan tertentu termasuk untuk
kebijakan transfer. Sebagai contoh,
untuk daerah dengan kemampuan
fiskal dan kapasitas yang baik dalam
melaksanakan pelayanan publik, maka
desain transfer dapat diarahkan pada
pemberian keleluasaan yang lebih besar
dalam pengelolaan keuangan daerah
dan penentuan fokus atau prioritas
pelayanan publik.
Sebaliknya,
bagi
daerah
dengan
kapasitas fiskal dan kemampuan
pengelolaan yang lebih terbatas, maka
desain transfer perlu lebih diarahkan
tujuannya untuk lebih ke arah earmarked.
Selain diterapkan untuk mekanisme
transfer,
pengelompokkan
daerah
juga dapat diaplikasikan untuk sistem
pengadministrasian Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) yang mungkin saja tidak
perlu dilakukan secara seragam untuk
seluruh daerah.
Selain
berdasarkan
clustering,
pendekatan yang kedua yang juga
dapat diterapkan oleh Indonesia yaitu
Performance Based Transfer. Pendekatan
ini lebih menekankan pada pemberian
insentif bagi para aktor lokal dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
Untuk ini diperlukan desain transfer
ke daerah yang didasarkan pada
pencapaian kinerja atau output.
Ada beberapa contoh pendekatan
berdasarkan insentif yang sudah mulai
dilaksanakan di Indonesia, seperti Dana
Insentif Daerah (DID), Proyek Pemerintah
Daerah dan Desentralisasi (P2D2), dan
Hibah Air. Penyusunan desain transfer
ini perlu dilakukan dengan baik dan jika
diperlukan juga mengikuti sistem cluster.
Adapun prasyarat yang penting dalam

Laporan Utama
transfer seharusnya bersifat stabil,
setidaknya untuk periode lima tahun
dan dapat direview kembali setelah
lima tahun tersebut. Hal ini untuk
menghindari perubahan yang sangat
cepat sehingga dapat menimbulkan
kebingungan bagi pemerintah daerah.

Peningkatan kualitas jalan sebagai proyek yang didanai dari Pemerintah Pusat

melaksanakan Performance Based Transfer


adalah tersedianya sistem monitoring
dan evaluasi untuk fiskal maupun sosioekonomi yang dapat diandalkan.
Senada dengan yang diungkapkan oleh
Daan, Anwar Shah (pakar di bidang
desentralisasi fiskal yang saat ini juga
Team Leader Technical Assistance ADB
untuk LGFGR2) mengatakan bahwa
pelajaran penting yang dapat diambil
dari pengalaman negara lain untuk
pelaksanaan transfer ke daerah adalah
one size does not fit all and one needs to
group local governments in appropriate
clusters by taking into consideration, the size
and urban/rural status of local governments
and have separate grant programs for each
cluster.
Anwar juga menyatakan bahwa dalam
pengaturan mengenai tax base sharing dan
pilihan-pilihan perpajakan daerah harus
dieksplorasi secara menyeluruh agar
transfer dapat menutupi celah fiskal.
Untuk itu lah, penerapan satu formula
untuk semua kategori yurisdiksi menjadi
tidak ideal lagi untuk Indonesia, terlebih
dengan karakteristik daerah-daerah di
Indonesia yang beraneka ragam.
Lebih jauh Anwar Shah mengungkapkan
bahwa result based intergovernmental
finance (pemberian transfer berdasarkan
hasil/ output) menawarkan desain

yang lebih mudah bila dibandingkan


dengan menggunakan pendekatan cost
based fiscal need equalization. Selain itu,
pemberian transfer yang berdasarkan
hasil/ output tersebut juga dapat
memperkuat otonomi daerah dan
tentunya
akuntabilitas
pemerintah
daerah itu sendiri.
Anwar Shah memandang program
INPRES yang dulu pernah diberlakukan
di Indonesia justru sifatnya lebih
sederhana, transparan, dan fokus pada
hasil berdasarkan akuntabilitas dan
membantu Indonesia dalam mencapai
pencapaian
standar
pelayanan
minimum nasional di bidang pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur.
Selain itu, lanjut Anwar,
program
pemberian
transfer
yang
ideal
seharusnya tidak boleh untuk mendanai
anggaran deficit dan belanja pegawai
karena keduanya dapat memberikan
disinsentif dan akan berdampak pada
manajemen fiskal. Untuk itu, transfer
untuk
mendanai
belanja
modal
(capital matching grant) perlu diberikan
kepada daerah-daerah yang memiliki
kapasitas fiskal rendah dan tidak dapat
memenuhi standar nasional untuk
pelayanan publik, khususnya di bidang
infrastruktur.
Selanjutnya,

kriteria

pengalokasian

Anwar Shah mengemukakan pula bahwa


there is no one country that can serve as
a model for grant design for Indonesia. But
examples in better grant practices to deal with
different grant objectives can be instructive.
Jelas terlihat bahwa walaupun tidak ada
satu Negara yang bisa dijadikan model
untuk desain desentralisasi fiskal di
Indonesia, tetapi terdapat beberapa
praktek menarik di beberapa Negara
yang bisa ditiru Indonesia.
Dicontohkan Anwar bahwa ada praktek
tax base sharing yang cukup bagus di
Kanada, Denmark, Finlandia, dan
Thailand.
Kemudian, terdapat pula
pelaksanaan municipal competitive grants di
Kroasia, serta pelaksanaan transfer yang
berdasarkan standar minimum secara
nasional untuk bidang pendidikan
dan kesehatan di Kanada, Brazil, Chili,
Finlandia, dan Denmark. Contoh yang
paling kini dilakukan adalah transfer
berdasarkan hasil/output untuk bidang
pendidikan yang dilakukan oleh Australia
dan program race to the top yang ada di
Amerika Serikat. Selanjutnya, Indonesia
juga dapat melihat bagaimana transfer
yang dilakukan untuk teaching hospitals
di Afrika Selatan, serta transfer kepada
daerah metropolitan seperti yang
dilakukan di Czech Republik.
Dari berbagai pengalaman internasional
tersebut memang tidak ada salahnya
untuk melihat kembali success story dan
juga failure story yang dilakukan oleh
Negara-negara lain. Dengan melihat
kepada pengalaman Negara lain, maka
dapat dijadikan pijakan dan benchmark
bagi Indonesia dalam menentukan
kebijakan desentralisasi fiskal tersebut.
Erny Murniasih dan Kurnia

Media

defis

23

Laporan Utama

Apa yang harus dirubah secara substansial dalam

Revisi UU 33/2004?
(Suara Stakeholders)
Ketiga, melakukan penelaahan secara
mendalam apakah komponen DAU
termasuk pembiayaan Belanja Pegawai
(PNS) atau sebaiknya Belanja Pegawai
dipisahkan dari DAU dan dibiayai
langsung oleh Pemerintah Pusat serta
dijadikan dalam satu pengelolaan.

Dr. Budhi Santoso,


Direktur Otonomi Daerah,
Bappenas
Bappenas sangat mendukung revisi
UU 33/2004 dan turunannya. Hal ini
dikarenakan, dalam UU tersebut ada
beberapa
permasalahan
substansi
yang perlu disempurnakan, antara lain;
pertama, mengenai mekanisme dan
formulasi alokasi DAU.
Daerah berpendapat bahwa seharusnya
juga memperhatikan kondisi geografis
suatu daerah kepulauan. Selama ini
salah satu formulasi (kebutuhan fiskal)
pengalokasian DAU adalah luas wilayah
suatu daerah, tanpa memperhatikan
apakah itu daratan atau lautan, sehingga
terkesan dipukul rata.
Kedua,
meninjau
kembali
Dana
Penyesuaian, Dana Ad-hoc dll untuk
dipertimbangkan apakah akan tetap
diberlakukan
atau
dialihkan
ke
mekanisme yang dijalankan sesuai
dengan undang-undang yang berlaku.

24

Media

defis


Menurut daerah, hal ini akan
tidak ada lagi PNS pusat dan PNS daerah.
Untuk ini Bappenas mengharapkan
revisi UU memperjelas kebijakan yang
ditetapkan sehingga tidak menimbulkan
argumentasi terus menerus di daerah
dengan alasan keterbatasan dana APBD
yang mereka miliki setiap tahunnya.
Keempat,
merumuskan
kembali
definisi, mekanisme, dan kriteria (umum,
khusus, & teknis) DAK. Selama ini
DAK dipandang merupakan dana yang
bersumber dari APBN yang dialokasikan
kepada daerah tertentu dengan tujuan
untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional.
Diharapkan dalam perumusan DAK
dapat memperhatikan arah & kebijakan
yang tertuang dalam RPJMN serta RKP
setiap tahunnya, seperti dibutuhkannya
pemutakhiran data sektoral yang lebih
akurat agar alokasi dana lebih tepat
dan sesuai kondisi daerah, diperlukan
sistem
mekanisme
monev
yang
terpadu, dibutuhkan sistem insentif dan
disinsentif dan lain sebagainya.
Kelima, diharapkan revisi UU ini juga
mencantumkan hal-hal terkait dengan

koordinasi perencanaan mulai dari


RPJP, RPJM, RKP RKA-KL dan seterusnya
sehingga terwujud keserasian dan
keharmonisan mulai dari perencanaan,
penganggaran dan pelaksanaan.
Saya berpendapat bahwa perencanaan
tanpa penganggaran hanyalah sebuah
mimpi, tetapi penganggaran tanpa
perencanaan
akan
menghasilkan
pemborosan dan kebocoran Keuangan
Negara.

Prof.Dr.Ir.Winarni Monoarfa, MS,


Kepala Bappeda Provinsi
Gorontalo
Terkait dengan formula DAU, sebaiknya
tidak hanya menggunakan formulasi
yang ada seperti sekarang (dengan
celah fiskal-red), tetapi juga melihat
fiskal daerah yang rendah dan persoalan
kemiskinan serta infrastruktur.
Yang menjadi prioritas dalam revisi UU
33/2004 adalah pengaturan secara lebih
detail soal DAK. Kehawatiran saya adalah

Laporan Utama
perubahan UU 33/2004 akan lebih
banyak menampung aspirasi legislatif/
DPR dalam alokasi DAK. Sehingga akan
lebih memperkuat lagi masalah alokasi
anggaran yang melalui loby dan justru
terjadi ketimpangan alokasi ke daerah.
DAK

dapat

penguatan

digunakan

budgeting

sebagai

power

kepala

daerah, maka perlu intervensi dari


sisi perencanaan dan pengalokasian
dari pemerintah provinsi. Untuk itu,
indikator alokasi DAK tidak saja melihat
jumlah penduduk, luas wilayah, dan
lain sebagainya, namun perlu juga
diperhatikan

daerah-daerah

yang

berpegang pada prinsip alokasi belanja


yang

lebih

langsung

dari

memperbesar
pada

belanja

belanja

tidak

langsung sebagai reward atas kebijakan


anggaran yang pro publik.
Jadi, reward yang diberikan kepada
pemerintah daerah tidak hanya dilihat
dari sisi administratif saja (misalnya
oponi BPK atas laporan keuangan),
tetapi

juga

anggaran

pro

reward

atas

publik,

kebijakan

yang

dapat

dilihat dari keberhasilan daerah untuk


meningkatkan kinerjanya.

Terlepas dari sejumlah disinsentif


serta pendekatan one-size-fits-all, dapat
dikatakan bahwa desain transfer pusat
ke daerah yang ada sekarang telah
dapat mengalokasikan sumber-sumber
fiskal secara lebih merata (adil) dari sisi
input, yaitu dilihat dari alokasi dana
transfer --yaitu Dana Bagi Hasil (DBH),
Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK) dan Dana Otonomi Khusus
(Otsus)-- per kapita ke daerah.

tingginya 50% dari total belanja APBD.

Daerah-daerah miskin seperti di Bagian


Timur Indonesia menjadi beneficiary dari
sisi input ini. Di samping itu, sejumlah
peraturan pelaksana telah mampu
memberikan insentif bagi pelaksana di
daerah untuk bertindak sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Sebagai contoh,
mekanisme intercept melalui penundaan
DAU untuk penyampaian APBD secara
tepat waktu yang kemudian dilanjutkan
dengan pemberian insentif melaui DID.

publik.

Satu hal yang tidak diatur dalam UU


33/2004 adalah bagaimana memastikan
daerah untuk melakukan belanja yang
berkualitas. Saya menyadari bahwa hal
ini berada diluar kerangka perimbangan
keuangan, namun masih tidak tertutup
kemungkinan untuk mengaturnya dalam
kerangka hubungan keuangan.
Salah satu cara adalah memberi ramburambu yang tegas dan jelas mengenai
pelaksanaan belanja daerah. Walaupun
demikian, rambu-rambu ini perlu di
desain sedemikian rupa sehingga
daerah tetap bertanggung jawab dalam
pelaksanaan belanja tersebut tanpa
merasa terlalu diikat.

Dr. Daan Patinasarany,


Ekonom Senior, The World Bank
Desentralisasi fiskal adalah sebuah
proses pembelajaran. Demikian pula
halnya dengan pelaksaan UU 33/2004.

Draft revisi UU 33/2004 versi terkini


yang saya unduh dari website DJPK,
telah mulai mengatur belanja tersebut.
Dalam draft tersebut, dana APBD
yang dialokasikan untuk penyediaan
pelayanan dasar berupa belanja modal
dan belanja barang untuk pemeliharaan
infrastruktur
ditetapkan
sekurangkurangnya 20% dari total belanja APBD,
atau untuk belanja pegawai setinggi-

Demikian pula halnya dengan ketentuan


mengenai Sisa Lebih Perhitungan
Anggaran (SiLPA). Namun, saya merasa
rambu-rambu mengenai belanja daerah
dalam draft RUU tadi masih perlu
dipertimbangkan lebih lanjut, dengan
memperhatikan apakah pengaturan
belanja tersebut memberikan insentif
yang tepat bagi pihak eksekutif di daerah
untuk menyelenggarakan pelayanan

Ria Sartika Azahari


Kepala Bidang Kebijakan Transfer
ke Daerah, Badan Kebijakan Fiskal
Perlu

adanya

pengaturan

mengenai

bagaimana implementasi penggunaan


uang yang diperoleh dari transfer ke
daerah. Hal ini sangat krusial agar tidak
terjadi lagi APBD sebagian besar hanya
digunakan untuk membayar belanja
pegawai.
Adanya usulan dalam revisi UU 33/2004
untuk membatasi belanja pegawai tidak
lebih dari 50% dari APBD sangat bagus
menurut saya dan saya sangat setuju.
Kepala BKF juga telah memberikan
arahan akan adanya capping tersebut.
Hal ini karena ternyata setelah 10
tahun ini kedewasaan daerah untuk
memprioritaskan pelayanan itu memang
akhirnya terdistorsi dengan kebutuhan
untuk

memberikan

kepada

belanja

pegawainya. Memang, itu tidak bisa


dihindari karena gaji sudah menjadi hak

Media

defis

25

Laporan Utama
pegawai, namun bagaimana caranya
mereka

tetap

prioritaskan

untuk

mengelola dan memberikan pelayanan


publik.
Kemudian, prinsip money follow function
juga perlu dipertegas, terutama yang
terkait dengan prinsip pembagian dana
yang bersifat block grant dan specific
grant. Jadi harusnya ada konsekuensi
terhadap penerapan prinsip itu; berapa
yang dibiayai atas kewenangan yang
didaerahkan

seharusnya

dihitung

dengan benar dan harus dilakukan


secara

konsisten

terutama

oleh

Pemerintah,

Kementerian/

Lembaga

lain manakala terkait dengan skema


pendanaan melalui dekonsentrasi/tugas
pembantuan.
Kalau saya nilai daerah belum siap untuk
diberikan function (yang besar), namun
ketika kewenangan sudah di daerah,
maka Pemerintah harus konsekuen yaitu
dengan memberikan dananya ke daerah.
Upaya pengalihan dekonsentrasi/tugas
pembantuan ke DAK sebetulnya juga
masih lebih kental nuansa earmark-nya
karena DAK masih dipegang Pemerintah
juga. Akan beda ceritanya jika dana
Dekonsentrasi/TP tadi dialihkan ke DAU.

Prof. Candra Fajri Ananda,


Anggota TADF, Universitas
Brawijaya
Salah satu isu penting pada revisi
UU tentang otonomi daerah adalah
permasalahan Dana Alokasi Umum

26

Media

defis

(DAU). Sebagai sumber pendanaan


utama
(paling
besar
porsinya),
DAU masih meninggalkan banyak
pertanyaan seperti formulanya yang
bias kepada Pendapatan Asli Daerah
(PAD), perkotaan, termasuk tidak
sederhana (simple) terlalu kompleks bagi
daerah untuk bisa melakukan cek dan
menghitung kembali jumlah DAU yang
mereka terima.
Mengingat
keragaman
Indonesia,
baik secara ekonomi maupun sosial,
sangatlah tidak mungkin satu formula
bisa memuaskan daerah. Daerah yang
memiliki lautan luas, banyak daerah
kehutanan, perbatasan serta daerah
yang menjadi pusat pertumbuhan,
tentunya harus diperlakukan dengan
berbeda.
Oleh karena itu, ke depan penyusunan
formula DAU tidak lagi diperuntukkan
bagi kabupaten/kota, tetapi untuk bagi
tingkat provinsi. Hal ini didasarkan atas
tingkat keragaman di tingkat provinsi
lebih kecil, sehingga diharapkan ini
lebih berkeadilan.
Pemerintah pusat, hanya memberikan
beberapa variabel penting misalnya
infrastruktur, pendidikan dan kesehatan
dan pertumbuhan ekonomi yang
harus menjadi variabel utama dalam
mengembangkan formula di tingkat
pemerintah provinsi.
Provinsi bisa mengembangkan formula
berdasarkan
karakteristik
daerah
dan menambahkan variabel sesuai
dengan ciri khas daerah. Sebagai
konsekuensinya, ditingkat pemerintah
provinsi perlu ada grant commission
yang bertugas untuk men gembangkan
formula dan selalu mengadakan kajian
untuk menghasilkan formula yang lebih
berkeadilan.
Cara yang lain, tentunya dengan
pengembangan kluster berdasarkan
karakteristik
kesamaan
daerah.
Kluster tersebut akan menjadi dasar
pengembangan formula. Kluster dapat
dikelompokkan atas daerah daerah

dengan sumber daya alam yang


dikandungnya, atau atas kegiatan
ekonomi/industri dan perdagangan
yang ada atau jumlah orang miskin yang
dimiliki.
Hal yang masih perlu dipikirkan untuk
dua model tersebut diatas adalah
berapa pool of fund untuk masing masing
kluster tersebut dan pertimbangan
besaran tersebut apa? Sementara dapat
di lakukan dengan berbagai simulasi
seperti juga besaran DAU yang 26%
(saat ini), tentunya harus didasarkan
atas kajian yang independen dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Begitu juga dengan aspek demografi,
saat ini bisa kita lihat bahwa daerah
daerah dengan pertumbuhan ekonomi
tinggi selalu didatangi oleh tenaga
kerja berkualitas (migrasi) sehingga
keberadaan faktor produksi (labor)
ini mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah secara nyata.
Fenomena bisa memberikan gambaran
mengapa daerah daerah dengan
pertumbuhan ekonomi tinggi, ternyata
terus mampu menjada keberlangsungan
(sustainability)
pembangunan
dan
pertumbuhan ekonominya. Kebijakan
fiskal yang akan dibuat untuk daerah
seperti ini, yang sangat dipengaruhi
dinamika demografi ini, tentunya
harus berbeda dengan daerah dimana
dinamika demografinya cukup kecil.
Daerah dengan pertumbuhan ekonomi
yang

sudah

cukup

tinggi,

dengan

memiliki angkatan kerja tinggi dan


angka

pengangguran

tentunya

tidak

yang

terlalu

kecil,

memerlukan

pembiayaan pemerintah (seperti DAU),


dana pemerintah yang dimiliki daerah
seperti ini, semustinya dibelanjakan
dan lebih fokus pada pelayanan dasar
saja

yang

menjadi

kewenangannya,

sedangkan untuk yang lain, diharapkan


swasta mampu mengambil alih untuk
membiayai (public private partnership).

Laporan Utama
output

taxes

jurisdictions may be assisted to have access

(gambling, liquor and massage parlors) and

and

property

taxes,

sin

to capital finance to overcome infrastructure

local environmental taxes and charges.

deficiencies.

The law may permit a centralized/joint tax

As

administration for all central and local

experience

taxes for rural muncipalities and small

independent grant commissions become too

urban municipalities. Only large urban

academic and produce allocation criteria that

muncipalities may be given the option to have

are often too complex, opaque, unfair and

a local tax administration agency.

indefensible. The Ministry of Finance should

In addition, the law may consider simplifying


DAU using a cluster approach to group local

Dr Anwar Shah
Pakar Desentralisasi Fiskal, Team
Leader Technical Assistance ADB
untuk Local Government Finance
and Governance Reform
I think the law

should examine available

feasible options for tax decentralization and


tax base sharing. Tax base sharing may be
feasible for personal income taxes on residence
principle. Tax decentralization may be feasible
for royalties, fees, severance, production,

governments and simpler service population


criteria to estimate expenditure needs, a
simpler approach to measuring fiscal capacity
and also by eliminating compensation for
public sector wages. Alternately, DAU could
be replaced by output based or

INPRES

type operating transfers and DAK replaced


by matching capital grants (with matchng
rate that varies inversely with fiscal capacity)
based upon a planning view of infrastructure
deficiencies relating to national minimum
standards for poorer jurisdictions. Richer

for

the

institutional

elsewhere

arrangement,

demonstrates

that

retain the primary role in proposing grant

design while having inputs from relevant line


agencies and MOHA and Bappenas. Ultimate
decision on grant pool and allocation should
rest with a strengthened DPOD chaired by
the President/Vice-President and having as
members only selected cabinet ministers, and a
representative group of governors and mayors.
Technical experts and civil society groups may
not serve as members of DPOD but should be
associated with it in an advisory capacity and
as observers only.
Erny Murniasih, Kurnia dan Denny
Kurniawan

Box 2. Perjalanan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia

Media

defis

27

Artikel

Pemerataan Kemampuan Keuangan


Antar Daerah di Indonesia:

Mau Bagaimana?

Oleh:
Dr. Hefrizal Handra
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Andalas,
Wakil Ketua Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang
Desentralisasi Fiskal 2011
Pengantar
Indonesia begitu luas dan terbagi kepada
daerah otonom yang sangat beragam
kapasitas fiskalnya. Ada daerah otonom
yang pendapatan sendirinya dapat mendanai
keseluruh tugas daerah, ada daerah otonom
yang mungkin hanya mampu membiayai
pelaksanaan tugas pemerintahan umum saja,
dan bahkan ada daerah yang tidak akan bisa
mendanai tugas apapun tanpa mekanisme
transfer dari Pemerintah. Beragamnya
kapasitas fiskal antar daerah memerlukan
mekanisme pemerataan kemampuan fiskal
antar daerah mengingat di Indonesia setiap
daerah otonom memiliki tugas/wewenang
yang relatif sama dan sangat luas setelah
desentralisasi.
Namun pemahaman yang muncul terkait
dengan istilah pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah di Indonesia sangat
beragam. Tidak sedikit yang memahami
bahwa pemerataan kemampuan keuangan
daerah berarti setiap daerah harus punya
kemampuan keuangan daerah yang sama,
sehingga daerah yang minus harus diberi
bantuan agar memiliki kemampuan yang
sama dengan daerah surplus. Di berbagai
forum nasional banyak bupati/walikota
daerah minus menuntut agar diberi bantuan
yang lebih besar untuk bisa membangun
ekonomi daerahnya seperti daerah surplus.
Sepertinya setiap bupati/walikota berlombalomba untuk menjadikan daerahnya tumbuh
sebagai daerah yang maju dengan bantuan
keuangan dari pusat. Bahkan disinyalir ada
kepala daerah yang berupaya keras untuk
mendapatkan dana-dana ad-hoc, dana
kementrian/lembaga sektoral dan tugas
pembantuan dengan berbagai cara, termasuk
lobi politik dan memberi upeti.

28

Media

defis

Apakah
memang
demikian
konsep
pemerataan? Bagaimana definisi pemerataan
keuangan antar daerah di Indonesia saat
ini? Apakah betul daerah yang minus dan
tidak berpotensi untuk dijadikan pusat
pertumbuhan regional dan nasional harus
diberi bantuan agar bisa tumbuh maju
seperti daerah surplus? Tulisan singkat
ini mencoba mengulas konsep pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah dan
implikasinya.
Pemerataan dan Efisiensi
Terdapat trade-off antara pemerataan dan
efisiensi. Pemerataan dengan mengupayakan
semua wilayah memiliki fasilitas pelayanan
publik dan infrastruktur yang sama tanpa
memperhatikan
utilisasi/kemanfaatannya
dapat menjadi tidak efisien dan tidak
efektif. Dengan kata lain, dana publik
yang dialokasikan secara besar-besaran di
wilayah minus dan tidak potensial untuk
tujuan pemerataan semata dapat berarti
pemborosan.
Sebaliknya, jika dana publik hanya
dikonsentrasikan
untuk
mendorong
pertumbuhan di wilayah potensial, dengan
mengorbankan pelayanan dasar di wilayah
minus, akan meningkatkan ketimpangan
antar daerah dan mendorong terjadi migrasi
ke daerah surplus. Migrasi penduduk secara
berlebihan ke daerah surplus tentunya juga
memunculkan berbagai problema baru di
daerah tersebut. Artinya pemerataan antar
daerah juga diperlukan untuk mengurangi
dampak negatif dari migrasi.
Hal ini kemudian mendorong kita untuk
merumuskan konsep pemerataan antar
daerah secara tepat tanpa mengorbankan
efisiensi alokasi sumber daya nasional.

Konsep pemerataan antar daerah yang


diterapkan di banyak negara adalah
pemerataan terkategori (categorical equity)
(Handra, 2008). Konsep ini mendorong
terwujudnya pemerataan yang terfokus
untuk jenis pelayanan dasar, bukan untuk
semua jenis pelayanan publik. Pemerataan
ini mengisyarakatkan terujudnya standar
pelayanan minimum (SPM) untuk jenis
pelayanan dasar di semua wilayah. Pelayanan
dasar dimaksud antara lain pelayanan
pendidikan dasar, pelayanan kesehatan
tingkat pertama, ketersediaan infrastruktur
lokal, dan pelayanan pemerintahan umum.
Untuk pendidikan dasar, sebagai contoh,
setiap warga negara berhak mendapat
pelayanan pendidikan dasar 9 tahun
dimanapun dia berada. Artinya, pelayanan
pendidikan dasar 9 tahun harus tersedia
secara merata di seluruh wilayah baik
di daerah minus maupun di daerah
surplus. Dengan itu sekaligus berarti bahwa
pendidikan lanjutan (baik tingkat SMA/K
ataupun perguruan tinggi) tidak perlu harus
merata di seluruh wilayah. Di daerah minus
yang terpencil tidak harus dipaksakan ada
SMA/K, apalagi perguruan tinggi dengan
alasan pemerataan. Demikian juga halnya
dengan pelayanan kesehatan dasar. Di daerah
minus harus ada pelayanan kesehatan
tingkat pertama untuk melayani penduduk
yang menderita penyakit infeksi, kecelakaan,
dll. Artinya, di wilayah tersebut juga tidak
harus ada pelayanan kesehatan rujukan/
lanjutan/canggih dengan alasan pemerataan.
Tidak terkecuali untuk infrastruktur lokal,
harus terdefinisi dengan baik seperti apa
standar minimum infrastruktur lokal di
sebuah wilayah, untuk kemudian dijadikan
pedoman untuk pemerataan.

Artikel
Pemerataan Kemampuan Keuangan

dari dana perimbangan yang ditransfer oleh

Daerah di Negara Lain

Pemerintah ke Pemerintah Daerah untuk

Program pemerataan kemampuan keuangan

tujuan mengurangi ketimpangan antar daerah

daerah (fiscal equalisation) dipraktekkan oleh

sesuai definisi menurut UU 33/2004 pasal 1

banyak negara di dunia, baik negara federasi

ayat 21 berikut:

maupun negara kesatuan. Di Kanada, sebagai

Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal

contoh, kemampuan keuangan propinsi yang

dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan

miskin dinaikkan ke level tertentu sehingga

pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah

seluruh

untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya

propinsi

dapat

menyediakan

pelayanan publik pada tingkat yang relatif


sama kepada seluruh penduduknya dengan
pengenaan tingkat pajak yang relatif sama
pula (Fiscal Federalism in Canada, 1981). Di
Australia dilakukan pemerataan fiskal antar
negara bagian agar mampu menyediakan
pelayanan dengan standar nasional tertentu
kepada penduduknya pada tingkat pajak
yang relatif sama (Mathews, 1994). Di Jepang
dilakukan pemerataan kemampuan fiskal
antar pemerintah daerah untuk menutupi
kebutuhan fiskal dasarnya dalam rangka
mencapai keseragaman tingkat pelayanan
lokal (Mihaljek, 1997).
Intinya, praktek pemerataan kemampuan
fiskal di negara maju pun hanya dirancang
untuk

membantu

daerah

yang

rendah

pendapatannya untuk mampu menyediakan


pelayanan publik tertentu, bukan untuk
pemerataan umum (ataupun pemerataan
perekonomian
yang

relatif

keuangan
secara

daerah).
minus

bukan

Daerah-daerah
diberi

untuk

perekonomian

bantuan

menjadi
seperti

maju
daerah

surplus/potensial, melainkan untuk dapat


menyediakan pelayanan publik tertentu pada
standar minimum nasional.
Pemerataan di Indonesia: Mau Kemana?
Indonesia
pemerataan

punya

instrumen

kemampuan

untuk
keuangan

daerah yaitu Dana Alokasi Umum (DAU)


sebagaimana diatur oleh UU 25/1999 yang
kemudian diteruskan oleh UU 33/2004.
DAU telah didistribusikan oleh Pemerintah
kepada seluruh Pemerintah daerah sejak
tahun anggaran 2001 sampai sekarang. DAU
merupakan unconditional grant (bantuan
umum tidak bersyarat) yang artinya bebas
digunakan oleh daerah. DAU adalah bagian

dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi


Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa
dengan diberi DAU daerah yang miskin
(rendah kemampuan keuangannya) akan
memiliki kapasitas fiskal yang cukup
untuk membiayai urusan/fungsi yang telah
didesentralisasikan. Sedangkan daerah yang
kaya dipastikan tetap memiliki posisi
kapasitas fiskal yang lebih baik. Definisi
sekaligus menjelaskan bahwa konsep
pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah di Indonesia saat ini tidak hanya
untuk pelayanan dasar tertentu, melainkan
untuk semua pelaksanaan urusan yang telah
didesentralisasikan yang begitu luas. Sehingga
tidak salah jika daerah miskin menuntut
tambahan dana untuk menyelenggarakan
semua
tugas
desentralisasi
termasuk
tentunya membangun perekonomian daerah
agar setara dengan daerah kaya.
Padahal jika digunakan prinsip pemerataan
terkategori
(categorical
equity)
untuk
pemerataan fiskal antar daerah, maka
pendapatan daerah yang diperkuat oleh DAU,
hanya mencukupi bagi seluruh daerah untuk
menyediakan pelayanan dasar sesuai dengan
SPM, dan tidak ada jaminan bahwa dana itu
mencukupi untuk memfasilitasi pertumbuhan
ekonomi yang menyamai daerah potensial
ataupun untuk mendanai berbagai macam
proyek
mercusuar,
populis.
Prinsip
pemerataan terkategori ini mengisyaratkan
bahwa daerah minus memang tidak perlu
dibangun untuk menyamai daerah kaya/
potensial, namun harus dicukupi pelayanan
dasarnya. Sementara itu daerah kaya/
potensial perlu difasiliasi untuk menjadi
wilayah pertumbuhan.
Prinsip
pemerataan
terkategori
juga
mengisyaratkan bahwa daerah miskin yang
dananya hanya cukup untuk menyediakan
pelayanan dasar, tidak patut untuk merekrut
pegawai sebanyak-banyaknya, mendirikan

bangunan/kantor pemerintahan dan rumah


pejabat yang mewah, tugu-tugu peringatan,
rumah ibadah yang megah, punya kegiatan
plesiran dan konsinyering di hotel-hotel
berbintang, dll yang tidak terkait dengan
pelayanan dasar, sebelum menyelesaikan
penyediaan layanan dasarnya sesuai SPM.
Dana yang semestinya cukup menjadi tidak
cukup karena persoalan alokasi yang tidak
tepat dan diperparah lagi jika terjadi korupsi.
Ke depan, Indonesia harus secara tegas
memilih konsep pemerataan seperti apa
yang akan diimplementasikan, terutama
dalam rangka perubahan UU 33/2004, akan
kemana mau dibawa? Terlepas dari konsep
pemerataan mana yang mau dipilih, DAU
sebagai instrumen pemerataan kemampuan
fiskal antar daerah tidak bisa dipersalahkan
begitu
saja
jika
muncul
persoalan
ketimpangan layanan publik di Indonesia
karena juga tergantung kepada bagaimana
masing-masing
daerah
menggunakan
sumberdaya keuangan tersebut. Pemerintah
tentu harus punya instrumen lain untuk
memaksa
daerah
memprioritaskan
penggunaan dananya bagi penyediaan
layanan dasar sesuai dengan SPM agar
segenap warga negara mendapatkan layanan
dasar yang relatif sama dimanapun di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Referensi
Fiscal Federalism in Canada 1981, Report of the
Parliamentary Task Force on Federal-Provincial
Fiscal Arrangements, Minister of Supply and
Services, Canada.
Handra, Hefrizal, 2008, Fiscal Equalisation
Mechanism: A Study of Indonesias in the
Early Stages of Decentralisation, Lambert
Academic Publishing.
Mathews, Russell. 1994, Fiscal Equalisation
-Political, Social and Economic Linchpin of
Federation, The Inaugural Russell Mathews
Lecture

on

Federalism

Federal

Financial

Relations,

Research

Centre,

Australian

National University, Canberra.


Mihajek, Dubravko, 1997, Japan, Part II (12)
in Fiscal Federalism: in Theory and Practice
(edited by Teresa Ter-Minassian), International
Monetary Fund, Washington.

Media

defis

29

Artikel

OPTIMALISASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK:

PENINGKATAN KUALITAS
KEBIJAKAN
PENGELOLAAN
KEUANGAN DAERAH

Oleh: Dr. Ahmad Yani, SH, Ak, MM


Kepala Bagian Perencanaan dan Organisasi
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Pengantar
Pengelolaan
keuangan
daerah
merupakan salah satu kunci penentu
keberhasilan
pembangunan
dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pengelolaan keuangan daerah yang
baik akan menjamin tercapainya tujuan
pembangunan secara khusus, dan
tujuan berbangsa dan bernegara secara
umum.
Dalam
upaya
perwujudan
pengelolaan
keuangan
daerah
yang baik, terdapat pula tuntutan
yang
semakin
aksentuatif
untuk
mengakomodasi,
menginkorporasi,
bahkan mengedepankan nilai-nilai good
governance. Beberapa nilai yang relevan
dan urgen untuk diperjuangkan adalah
antara lain transparansi, akuntabilitas,
serta partisipasi masyarakat dalam
proses pengelolaan keuangan dimaksud,
di samping nilai-nilai efisiensi dan
efektivitas. Dalam konteks yang lebih
visioner, pengelolaan keuangan daerah
tidak saja harus didasarkan pada
prinsip-prinsip good governance, tetapi
harus diarahkan untuk mewujudkan
nilai-nilai dimaksud.
Banyaknya kasus yang mencuat ke
permukaan, seperti tidak adanya
perencanaan yang baik, penyalahgunaan
anggaran,
penyimpangan
dalam
pelaksanaan anggaran maupun belum

30

Media

defis

disampaikannya pertanggungjawaban
kepada DPRD (wakil
rakyat) selaku
stakeholders
utama
pemerintahan
mencerminkan
bahwa
persoalan
pengelolaan keuangan daerah masih
belum dapat menjalankan fungsinya
dengan baik sesuai keinginan yang
diharapkan.
Dalam perjalanannya, pelaksanaan
(implementasi) kebijakan pengelolaan
keuangan daerah banyak menghadapi
kendala
dan
masih
diragukan
efektivitasnya. Transparansi, akuntabilitas dan partisipasi sebagai tujuan
dari kebijakan pengelolaan keuangan
daerah belum tercapai. Sebagian besar
masyarakat belum merasakan dampak
positif dari kebijakan tersebut.
Karena semua aktivitas pemerintahan
dapat diukur dengan nilai uang
sebagaimana tercermin dalam APBD
dan
dokumen
pelaksanaannya,
maka
keberhasilan
pengelolaan
keuangan daerah yang terdiri dari
serangkaian kegiatan dimulai dari
perencanaan
dan
penganggaran,
pelaksanaan dan
penatausahaan,
dan
pertanggungjawaban,
maka
keberhasilan pemerintahan dapat juga
diukur dari sejauh mana pemerintah
daerah telah mengimplementasikan
kebijakan pengelolaan
keuangan
daerah yang telah diatur dalam PP
Nomor 58 Tahun 2005 dan peraturan

operasionalnya.

Implementasi Kebijakan
Pengelolaan Keuangan Daerah
Tujuan kebijakan pengelolaan keuangan
daerah untuk mewujudkan transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi belum
sepenuhnya dapat tercapai. Apa yang
diinginkan terjadi setelah PP Nomor
58 Tahun 2005 diimplementasikan
belum menunjukkan suatu keluaran
(output)
dan dampak (outcome)
yang nyata. Implementasi kebijakan
pengelolaan keuangan daerah
baru
dimaknai dalam tataran proses yang
melibatkan
personil,
organisasi,
serta sistem dan prosedur bagaimana
mengelola sumber-sumber daya yang
dimiliki tanpa mencapai efisiensi
dan efektifitas dalam pengelolaan
keuangan sehingga belum berdampak
pada transparansi, akuntabilitas, dan
partisipasi masyarakat. Pada saat
diberlakukannya kebijakan pengelolaan
keuangan daerah, sebagian besar pola
pikir para pelaksana di Pemerintah
daerah
masih terperangkap pada
paradigma lama yang menganggap
bahwa
APBD
merupakan
proses
ritual yang rutin tanpa perlu adanya
pembaruan dalam proses penyusunan
APBD. Dalam proses penyusunan
APBD belum sepenuhnya dilakukan
penjaringan aspirasi masyarakat sebagai
bentuk partisipasi masyarakat dalam

Artikel
penganggaran. Sebagian besar para
pelaksana masih menganggap bahwa
dalam menyusun APBD yang paling
penting adalah berapa besar dana
yang akan dibelanjakan tanpa melihat
apakah program dan kegiatannya
dapat tercapai atau tidak. Dengan kata
lain dalam proses penyusunan APBD
masih berorientasi pada input dan
tidak memikirkan sama sekali apa yang
menjadi output dan outcomenya.
Terdapat beberapa prasyarat untuk
melihat keberhasilan implementasi
sebuah kebijakan yang akan saling
berinteraksi satu sama lain yaitu
komunikasi, sumber daya, disposisi, dan
struktur birokrasi (George C Edwards
III). Komunikasi merupakan sarana
untuk menyebarluaskan informasi, baik
dari atas kebawah maupun dari bawah
keatas. Sumber-sumber (resources) dalam
implementasi kebijakan memegang
peranan penting, karena implementasi
kebijakan tidak akan efektif bilamana
sumber-sumber yang terdiri dari
staf
yang cukup, informasi yang
memadai, dukungan dari lingkungan,
dan adanya kewenangan yang dimiliki
oleh
implementator.
Disposisi
(sikap pelaksana) diperlukan
untuk
mendukung implementasi kebijakan.
Struktur birokrasi (bureaucratic structure)
diperlukan karena dalam implementasi
suatu kebijakan sering kali melibatkan
beberapa lembaga atau organisasi,
sehingga diperlukan adanya koordinasi
yang efektif di antara lembaga-lembaga/
organisasi-organisasi.

Optimalisasi Imlementasi
Kebijakan Publik
Dalam rangka optimalisasi implementasi
kebijakan pengelolaan keuangan daerah,
ada beberapa hal yang perlu menjadi
perhatian dari berbagai pihak terutama
dari pembuat kebijakan dan pelaksana
kebijakan. Jika ini dapat dilakukan
diharapkan dapat mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik.

Dalam good governance tidak hanya


pemerintah, tetapi juga warga negara,
masyarakat dan juga sektor usaha/
swasta dapat berperan. Pembagian
tugas dan kewenangan yang jelas
antara pelaksana kebijakan menjadi
hal yang esensial dalam pelaksanaan
suatu kebijakan. Peran yang dimainkan
oleh para pelaksana mulai dari Kepala
Daerah, Sekretaris Daerah selaku
koordinator pengelolaan keuangan
daerah, Pengguna Anggaran, Kuasa
Pengguna Anggaran, Pejabat Pelaksana
Teknis
Kegiatan
(PPTK),
Pejabat
Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja
Perangkat Daerah (PPK SKPD), dan
Bendahara menjadi kata kunci untuk
suksesnya
implementasi
kebijakan
pengelolaan keuangan daerah.
Dalam prakteknya, karena hubungan
hierarkhi antara mereka, seringkali
terjadi intervensi yang dilakukan oleh
atasan terhadap bawahan dalam
konteks hubungan struktural. Hal ini
mempengaruhi tugas dan kewenangan
mereka.
Salah satu faktor lain yang berpengaruh
terhadap
implementasi
kebijakan
pengelolaan keuangan daerah adalah
belum
optimalnya
peran
DPRD
dalam proses pelaksanaan kebijakan
pengelolaan
keuangan
daerah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa DPRD
memiliki 3 fungsi yaitu fungsi legislasi,
fungsi budget, dan fungsi pengawasan.
Ke-3 fungsi tersebut belum berjalan
optimal yang ditunjukkan dari belum
semua perangkat hukum yang terkait
dengan kebijakan pengelolaan keuangan
daerah diterbitkan oleh Pemerintah
daerahi. Peraturan daerah tentang
Pokok-pokok Kebijakan Pengelolaan
Keuangan Daerah belum sepenuhnya
mengikuti produk hukum yang lebih
tinggi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah, Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, dan Undang-undang Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan


Negara.
Dari sisi fungsi budget, peran DPRD
sebenarnya
sangat
mempengaruhi
penyusunan
perencanaan
dan
penganggaran daerah. Sejak awal DPRD
bersama-sama dengan Bupati sudah
harus menentukan apa yang menjadi
visi dan misi serta arah pembangunan
daerah. Visi, misi dan arah pembangunan
ini selanjutnya akan menetukan program
dan kegiatan yang akan dilakukan setiap
tahunnya sebagai bentuk pelayanan
kepada
masyarakat.
Sebagaimana
telah diuraikan dalam pembahasan
terdahulu, proses penyusunan anggaran
mulai dari penyusunan KUA dan PPAS
sampai dengan Penetapan Perda APBD
masih banyak dipengaruhi kepentingankepentingan pimpinan dan anggota
DPRD. Berbagai upaya intervensi
mereka lakukan untuk mengakomodasi
kepentingan pribadi, politik dan
golongan yang sangat berpengaruh pada
besaran anggaran dan lokasi kegiatan.
Peraturan
Daerah
tentang
APBD
sebenarnya adalah merupakan bentuk
kontrak politik untuk menjalankan roda
pemerintahan terutama yang terkait
dengan aspek keuangan. Tidak ada
pendapatan, belanja, dan pembiayaan
yang dapat dilakukan oleh pemerintah
daerah tanpa melalui pembahasan
dengan DPRD. Bahkan untuk melakukan
pergeseran pendapatan, belanja, dan
pembiayaan saja pemerintah daerah
harus meminta persetujuan DPRD.
Pada akhir tahun anggaran, kembali
peran DPRD menentukan sukses
tidaknya
implementasi
kebijakan
pengelolaan keuangan daerah. Setelah
pemerintah daerah melaksanakan APBD
maka perlu ada pertanggungjawaban
atas pelaksanaan tersebut. Pemerintah
daerah bersama-sama dengan DPRD
harus mengesahkan Peraturan Daerah
tentang Pelaksanaan APBD sebagai
bentuk pertanggungjawaban pemerintah
terhadap rakyat yang menjadi principal

Media

defis

31

Artikel
keuangan daerah.

struktur birokrasi.

Demikian pula dari fungsi pengawasan.


Sejak
berlangsungnya
proses
pengelolaan keuangan daerah, DPRD
harus menjalankan fungsi pengawasan
legislatif untuk menjamin semua
program dan kegiatan sesuai dengan
kebijakan yang telah ditetapkan. Tetapi
dalam prakteknya bentuk pengawasan
yang dijalankan oleh DPRD masih jauh
dari optimal.

Kurangnya
faktor
komunikasi,
rendahnya
kemampuan
sumber
daya manusia yang melaksanakan
kebijakan tersebut, adanya sikap
pelaksana (disposisi) yang kurang
jelas, serta masih belum sempurnanya
struktur organisasi dan birokrasi
yang terkait dengan implementasi
kebijakan keuangan daerah menjadi
sebab utama tidak optimal dan tidak
efektifnya impelementasi kebijakan itu.
Ketidakoptimalan implementasi ini tentu
berakibat pada tidak tercapainya tujuan
yang diharapkan dari implementasi
tersebut termasuk belum terwujudnya
good governance.

Karena tidak optimalnya peran DPRD


ini
menyebabkan
implementasi
kebijakan
pengelolaan
keuangan
daerah juga masih mengalami kendala.
Dengan demikian untuk mengefektifkan
implementasi kebijakan pengelolaan
keuangan
daerah
dalam
rangka
mewujudkan good governance perlu ada
peran anggota DPRD yang merupakan
mewakili partai politik yang ada di
pemerintahan daerahi. Peran itu terkait
dengan fungsi yang harus mereka
jalankan yaitu fungsi legilasi, fungsi
budget, dan fungsi pengawasan.
Selain memerlukan adanya peran
DPRD dalam implementasi kebijakan
pengelolaan keuangan daerah, faktor
peran serta dan partisipasi masyarakat
juga turut menentukan efektif tidaknya
implementasi kebijakan pengelolaan
keuangan daerah. . Masyarakat yang
terdiri dari berbagai lapisan dan profesi
merupakan target group kebijakan
pengelolaan keuangan daerah. Fakta
menunjukkan
bahwa
pemahaman
masyarakat
mengenai pengelolaan
keuangan
daerah
memberikan
pemahaman dan jawaban yang berbedabeda. Kebanyakan masyarakat belum
memahami
sepenuhnya
mengenai
pengelolaan keuangan daerah dan juga
belum banyak yang tersentuh secara
positif. Berbagai kelemahan yang
merupakan penyebab belum efektifnya
implementasi kebijakan pengelolaan
keuangan daerah tersebut terkait
dengan aspek komunikasi, sumber
daya, disposisi (sikap pelaksana), dan

32

Media

defis

Belum optimalnya faktor komunikasi


antara pemerintah daerah dengan
masyarakat
dalam
implementasi
kebijakan pengelolaan keuangan daerah
terlihat pada tidak optimalnya aspek
transmisi dan kekurangjelasan serta
ketidakkonsistenan kebijakan itu sendiri
dalam
penyusunan
perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan
pengawasan pengelolaan keuangan
daerah. Hal yang sama menyangkut
masih rendahnya
kualitas sumber
daya manusia, kurangnya informasi,
ketidakjelasan
kewenangan
serta
kurangnya fasilitas berupa sarana
dan
prasarana
yang
mendukung
implementasi kebijakan pengelolaan
keuangan daerah. Demikian pula dengan
masih belum adanya kesamaan persepsi
di antara para pelaksana, staffing
birokrasi yang kurang baik serta masih
kurangnya insentif, SOP dan fragmentasi
yang belum jelas menjadi penyebab
belum
efektifnya
implementasi
kebijakan pengelolaan keuangan daerah
dalam
meningkatkan
transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan keuangan daerah.
Dalam
mengimplementasikan
kebijakan
pengelolaan
keuangan
daerah diperlukan bangunan konsep
implementasi kebijakan publik yang

visioner
guna
mengaktualisasikan
kebijakan
pengelolaan
keuangan
daerah
melalui proses perencanaan
dan penganggaran, pelaksanaan dan
penatausahaan keuangan daerah, dan
pertanggungjawaban keuangan daerah.
Dalam
pelaksanaan
implementasi
kebijakan tersebut agar memperhatikan
model implementasi kebijakan yang
sesuai dengan kondisi daerah yang
menyangkut
komunikasi,
sumber
daya, disposisi, dan struktur birokrasi,
serta memperhatikan faktor lain yaitu
dengan melibatkan peran aktif anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) sebagai penunjang keberhasilan
implementasi kebijakan pengelolaan
daerah. Alhasil, kita berharap dengan
memperhatikan konsep implementasi
kebijakan publik tersebut di atas
akan dapat meningkatkan kualitas
pengelolaan keuangan daerah.

Referensi:
Devas, Nick, dkk. 1989. Keuangan
Pemerintah Daerah di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Dunn, William N. 2000. Analisis Kebijakan
Publik. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press.
Dye, Thomas R. 2002. Understanding
Public Policy. New Jersey: Prentice Hall.
Edwards III, George C. 1980. Implementing
Public
Policy.
Washington
DC.
Congressional Quarterly Press.
Grindle, Merilee S, (ed.) 1980. Politics
and Policy Implementation in the
third World. Princeton, New Jersey:
Princeton University Press.
Mazmanian Daniel A. Dan Sabatier Paul
A. 1983. Implementation and Public
Policy. Foresman and Company. United
States of America.
Pollitt, Christopher and Geert Bauckaert.
1986. Public Management Reform,
A Comparative Analysis. Oxpord
University Press.

Features

SPPD :
SELISIH

PENDERITAAN
PERJALANAN
DINAS?

ebagai pegawai negeri mungkin


kita

telah

sering

melakukan

rupiah yang kita gelontorkan untuk

sekaligus.

mendanai perjalanan dinas ini. Tapi

diterima termasuk didalamnya adalah

tahukah kita bahwa setiap rupiah yang

biaya transportasi, biaya penginapan

dikeluarkan

dan biaya hidup selama perjalanan

untuk

mendanai

biaya

Dalam

lumpsum

yang

perjalanan dinas berasal dari uang

dinas. Dengan

rakyat yang dikumpulkan melalui pajak.

pejabat

yang

Oleh karena itu setiap rupiah biaya

dinas

dapat

perjalanan dinas yang dikeluarkan harus

penggunaan uangnya. Apakah dia mau

dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip

berhemat atau berboros tergantung

penggunaan keuangan

perilakunya

negara yaitu

sistem ini
melakukan

pegawai/
perjalanan

mengatur

mempergunakan

sendiri

uang.

tertib, taat pada peraturan perundang-

Tidak ada pertanggungjawaban lebih

undangan, efisien, ekonomis,

efektif,

lanjut penggunaan uang tersebut. Satu-

bertanggungjawab

satunya alat bukti adalah adanya Surat

dengan memperhatikan rasa keadilan

Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) yang

menjalankan tugas pokok dan fungsi

dan kepatutan.

telah ditandatangani dan di cap oleh

masing-masing. Ada yang sangat sering

Sebagai

melakukan perjalanan dinas sehingga

Menteri Keuangan telah mengeluarkan

frekuensi kehadirannya di kantor sangat

Ketentuan perjalanan dinas dengan

sedikit sekali karena keberadaannya

sistem lumpsum sebagaimana diatur

lebih banyak di luar kantor. Untuk

dalam Keputusan Menteri Keuangan

pegawai yang terakhir ini oleh rekan-

Nomor 7/KMK.02/2003 tentang tentang

rekannya diberi gelar Satria Nusantara

Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi

karena seringnya menjelajahi pelosok

Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan

nusantara

Pegawai Tidak Tetap.

perjalanan dinas. Sesuai dengan

namanya perjalanan dinas dilakukan


dalam rangka tugas kedinasan untuk

dalam

perjalanan

dinas.

Atau ada juga yang menyebutnya Bang


Thoyib karena tidak pernah pulangpulang.
Tidak terhitung sudah berapa banyak

transparan,

dan

Bendahara

Umum

Negara,

instansi tempat tujuan. Pegawai yang


ingin berhemat misalnya menggunakan
moda transportasi yang lebih murah.
Untuk penginapan mungkin saja tidak
menginap di hotel, karena dimungkinkan
untuk menginap di rumah teman atau
saudara, sehingga dapat menghemat
biaya penginapan. Karena dimungkinkan
untuk melakukan penghematan itulah
sering

SPPD

diplesetkan

sebagai

Dengan menggunakan sistem lumpsum

Selisih Penderitaan Perjalanan Dinas,

maka pegawai yang akan melakukan

karena banyak pegawai/pejabat yang

perjalanan

menerima

rela menderita asalkan mendapatkan

sejumlah uang tertentu yang dibayarkan

selisih uang yang dapat dibawa pulang.

dinas

akan

Media

defis

33

Features
Tidak

pegawai/pejabat

yang terakhir ini sistem perjalanan dinas

meliputi: Uang Harian yang meliputi

yang mengurangi waktu bertugas hanya

sedikit

yang menggunakan sistem lumpsum

uang makan, uang saku, dan transport

karena ingin mendapatkan sisa uang

diubah

antara

lokal; Biaya transport pegawai; Biaya

perjalanan dinas yang lebih besar, dari

lumpsum dan at cost. Untuk uang harian

penginapan; Uang representative; Sewa

selisih uang tiket atau penghematan

tetap menggunakan sistem lumpsum

kendaraan dalam kota; Khusus untuk

biaya penginapan.

sedangkan biaya penginapan dan biaya

menjemput/mengantarkan

transportasi menggunakan sistem at

pemakaman jenazah dan menjemput/

cost.

mengantarkan

Karena itu,
dalam

juga

pos perjalanan dinas

sistem

lumpsum

merupakan

menjadi

kombinasi

pos yang mudah diselewengkan untuk

Semula tingkat perjalanan dinas hanya

mendapatkan dana saving. Bayangkan

mengenal 4 yaitu tingkat A, B, C, dan D.

saja selama ini perjalanan dinas yang


menggunakan

metode

lumpsum

dalam penggunaannya cukup dengan


pengesahan Surat Perintah Perjalanan
Dinas (SPPD) dari pejabat yang dituju
dan memberi cap maka sahlah dia
sebagai pengeluaran. Dengan hanya
mengirimkan satu atau dua orang saja
untuk membawa sekian lembar SPPD
ketempat yang dituju maka dengan
mudah untuk meraup rupiah. Bahkan
kalau sudah kenal biasanya

SPPD

tersebut cukup dikirim via pos. Yang


lebih parah lagi ada juga oknum yang
berani memalsukan tandatangan dan
cap kantor yang dituju. Jadi dengan
proses yang sangat mudah seperti itu
sangat gampang untuk mendapatkan
uang.

Substansi

biaya

perjalanan

dinas menjadi terabaikan karena SPPD


hanyalah menjadi alat formal untuk
menggembosi uang negara.
Karena

adanya

kelemahan

sistem

Keuangan
menteri

mengeluarkan
keuangan

Peraturan

Nomor

45/

PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas


Jabatan Dalam Negeri Bagi Pejabat
Negara, Pegawai Negeri, Dan Pegawai
Tidak Tetap, yang kemudian diubah
melalui Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 62 /PMK.05/2007 dan terakhir
melalui Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 7/PMK.05/2008.
Dalam

Peraturan

34

Media

Menteri

defis

angkut jenazah.
Uang Harian yang diberikan berdasarkan

Dengan hanya
mengirimkan satu atau
dua orang saja untuk
membawa sekian lembar
SPPD ketempat yang
dituju maka dengan
mudah untuk meraup
rupiah. Bahkan kalau
sudah kenal biasanya
SPPD tersebut cukup
dikirim via pos. Yang
lebih parah lagi ada
juga oknum yang berani
memalsukan tandatangan
dan cap kantor yang
dituju.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
baru tingkatan tersebut diubah menjadi
6 tingkatan sebagai berikut: Tingkat
A untuk Pejabat Negara (Ketua/Wakil
Ketua dan Anggota Lembaga Tinggi
Negara, Menteri dan setingkat Menteri),
Tingkat B untuk Pejabat Negara Lainnya
dan pejabat Eselon I, Tingkat C untuk
Pejabat Eselon II, Tingkat D untuk
Pejabat Eselon III/Golongan IV, Tingkat
E untuk pejabat Eselon IV/Golongan III,
Tingkat F untuk PNS Gololongan II dan I.

Keuangan

pemakaman

diberikan: biaya pemetian dan biaya

Peraturan

Biaya Perjalanan Dinas yang diberikan

Menteri

Keuangan

ini

diberikan untuk digunakan sebagai uang


makan, uang saku dan transport lokal.
Besarnya

tergantung

daerah

tujuan

perjalanan dinas. Penggunaannya tidak


memerlukan bukti pertanggungjawaban
lagi.

Uang

tersebut

bebas

mau

dibelanjakan atau tidak tanpa harus


dibuktikan

dengan

bukti-bukti.

Uang harian diberikan sesuai dengan


jumlah hari perjalanan dinas. Kalau
seandainya pejabat yang melakukan
perjalanan dinas pulang lebih awal dari
hari yang tertera dalam surat tugas
maka pejabat yang bersangkutan harus
mengembalikan uang harian tersebut.
Hal ini dapat dibuktikan dengan tanggal
yang tertera dalam tiket pergi dan
pulang pejabat yang bersangkutan.
Selain itu Uang harian ini juga diberikan
secara

lumpsum tersebut di atas Menteri

ketempat

ketempat

lupmsum.

Mengapa?

Setiap

orang berbeda dalam mempergunakan


uang harian tersebut. Secara normal
uang harian tersebut dapat mencukupi
kebutuhan

pegawai/

melakukan

perjalanan

pejabat

yang

dinas

untuk

memenuhi kebutuhan sehari-harinya.


Dengan asumsi bahwa sarapan pagi
akan

diperoleh

dari

hotel

tempat

menginap maka uang tersebut praktis


dipergunakan

untuk

memenuhi

kebutuhan makan siang dan makan


malam ditambah keperluan pribadi dan
transport lokal setelah berada di tempat
tujuan. Tetapi mungkin saja ada yang

Features
sangat konsumtif sehingga uang harian

yang

tersebut tidak mencukupi, sehingga

perjalanan dinas. Jurus cost and benefit

dapur rumah tangga kita. Artinya tidak

pegawai/ pejabat yang bersangkutan

analysis dikeluarkan untuk berhitung

ada laba dari perjalanan dinas dan

harus mengeluarkan kocek pribadinya.

untung ruginya melakukan perjalanan

Negara juga tidak menghendaki rugi.

dinas. Di sisi lain ada juga pegawai yang

Cara-cara mendapatkan uang tambahan

berani bermain dengan perjalanan

dari

dinas ini dengan melakukan perjalanan

system lumpsum yang lama sudah

dinas fiktif alias tidak berangkat atau

seharusnya ditinggalkan.

Oleh karena itulah mengapa untuk uang


harian ini diberikan secara lumpsum,
karena setiap orang tidak sama pola
konsumsinya. Jadi keputusan diserahkan
kepada

mereka

yang

melaksanakan

perjalanan dinas, apakah mau berhemat


atau menghabiskan uang harian yang
diperolehnya.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan
tentang

standar

biaya

perjalanan

dinas, batas tertinggi biaya penginapan


tersebut dibedakan antara provinsi dan
kelas kamar hotelnya. Bagi pegawai/
pejabat yang melakukan perjalanan
dinas bersamaan dalam satu group

pikir-pikir

untuk

melakukan

memalsukan tiket, boarding pass, dan


bukti pembayaran hotel hanya sekedar
untuk mendapatkan uang lebih.

utama

menuju alat transportasi

(misalnya Bandara) sampai ke

tempat tujuan. Untuk biaya transportasi


ini diberikan dengan sistem at cost.
Standar

biaya

diberlakukan

transportasi
disesuaikan

yang
dengan

tingkat perjalanan dinas.


Uang representatif diberikan kepada
pejabat negara dan pegawai negeri
tertentu yang melakukan perjalanan
dinas. Selain itu bagi pejabat negara
diberikan sewa kendaraan dalam kota.

perundang-undangan,

taat pada

Akibatnya sangat mungkin kita terjaring

adalah Surat Perintah Perjalanan Dinas

dan masuk dalam temuan pemeriksaan.

dan bukan bukanlah singkatan Selisih

Kalau hal ini terjadi biasanya hanya

Penderitaan Perjalanan Dinas. Kalau

penyesalanlah yang timbul.

semua itu dilakukan mudah-mudahan

bukanlah sarana untuk mendapatkan

kedudukan

tertib,

peraturan

kepatutan. Karena sebenarnya SPPD

plafond anggaran untuk masing-masing

perjalanan dinas mulai dari tempat

acuan adalah

memperhatikan

sadari bahwa perjalanan dinas tersebut

dikeluarkan seseorang yang melakukan

Prinsip-prinsip yang dapat dijadikan

canggih dalam melakukan pemeriksaan.

memperhatikan

Biaya transportasi adalah biaya yang

sebagaimana

oleh aparat pengawas yang semakin

tetapi

dengan bukti yang dikeluarkan

dinas

dan

dan timbul penyesalan, mulailah kita

ini dilakukan secara at cost, yaitu sesuai

perjalanan

mengganggu

efisien, ekonomis, efektif, transparan,

dapat menginap pada hotel yang sama

tingkatan. Pemberian uang penginapan

sampai

halal tersebut kemudian tercium juga

Oleh karena itu sebelum terlambat

tetap

jangan

Namun demikian cara-cara yang tidak

tetapi berbeda tingkat perjalanan dinas,


harus

dinas

Biaya transportasi
adalah biaya yang
dikeluarkan seseorang
yang melakukan
perjalanan dinas mulai
dari tempat kedudukan
menuju alat transportasi
utama (misalnya
Bandara) sampai ke
tempat tujuan. Untuk
biaya transportasi ini
diberikan dengan sistem
at cost

Karena adanya pembatasan melalui

penghasilan

system at cost yang dilakukan oleh

menyediakan biaya perjalanan dinas

tambahan.

Peraturan Menteri Keuangan di atas

hanya untuk mengcover seluruh biaya-

maka saat ini cukup banyak pegawai

biaya yang terjadi selama perjalanan

bertanggungjawab
rasa

dengan

keadilan

dan

tidak ada lagi pegawai atau pejabat


yang bersilaturahmi dengan aparat
penegak hukum dan terlepas dari jerat
tindak pidana korupsi.
Mengingat

bahwa

perjalanan

dinas

adalah bukan sarana untuk mendapat


penghasilan tambahan maka sudah
selayaknya

Peraturan

Menteri

Keuangan tersebut di atas dijadikan


benchmark

dalam

mengelola

biaya

perjalanan dinas. Kita tidak perlu saling


menyalahkan atau mengintip apa yang
dilakukan orang lain dalam melakukan
perjalanan dinas. Kalau ada rekanrekan kita yang masih menggunakan
cara jahiliah dalam mengeksekusi
perjalanan dinas ini ada baiknya kita
ingatkan. Tetapi yang paling penting
adalah kita mulai dari diri kita sendiri,
mulai dari hal yang paling kecil (seperti
perjalanan dinas ini), dan mulailah dari
sekarang. Semoga perjalanan dinas kita
mendapat nilai Ibadah.

Negara

Ahmad Yani

Media

defis

35

Profil

PROFIL BAPAK ADRIANSYAH

Sesuatu
dibalik
Sesuatu
Revisi Undang-Undang nomor 33
tahun 2004

Sederhana dan bersahaja. Itulah kesan yang muncul pada bapak


yang memiliki 1 putra 2 putri ini. Disela sela kesibuka dalam
bekerja beliau masih menyempatkan diri untuk diwawancarai
diruang rapat Dit. PKD. Pembawaan yang tenang dan penuh
senyum menyambut kedatangan kami. Sosok inilah yang
menarik kru Defis untuk mengenal beliau lebih jauh lagi.
Beliau adalah Adriansyah yang sehari-hari menjabat sebagai
Direktur Pinjaman dan Kapasitas Daerah Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan. Beliau juga merupakan founding father
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan juga sebagai
penggagas lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
sekaligus revisi undang-undang tersebut yang sedang dalam
tahap penyeselesaian. Berikut petikan hasil perbincangan kru
Defis dengan beliau
36

Media

defis

Menurut beliau revisi UU no 33 Tahun


2004

merupakan

konsekuensi

logis

direvisinya UU no 32 tahun 2004


oleh Kementerian Dalam Negeri yang
merupakan satu paket dalam rangka
diselenggarakannya

desentralisasi

secara

tidak

keseluruhan,

desentralisasi

fiskal

namun

hanya
juga

dari sisi otoritas yang menyertainya.


Dalam revisi UU no 33 Tahun 2004,
desentralisasi

fikal

ditinjau

dari

prespektif APBN maupun APBD secara


komprehensif
transfer

dana

dan

bagaimana

perimbangan

agar
dapat

sampai ke masyarakat. Bila kita bicara


transfer dalam prespektif APBN, tidak
hanya membahas dana perimbangan
saja

namun

berbicara

mengenai

Profil
subsidi, dan juga pembayaran bunga.

Subdit

Hubungan keuangan antara pemerintah

Penataan Daerah, Subdit Investasi dan

pusat dan pemerintahan daerah harus

Kapasitas Keuangan Daerah, dan Subdit

ditempatkan diatas hubungan fungsi

Penatausahaan

dan

ini

pelayanan.

Hubungan

fungsi

Hibah,

Pembiayaan

Pembiayaan

permasalahan yang dihadapi.

Moto Hidup

kepercayaan

Dalam menjalani kehidupan ini, beliau

kepada bawahan/ staf terutama dilevel

menyampaikan agar selalu menyatakan

di Kementerian/Lembaga dipusat dan

pejabat. Mendorong staf lebih dewasa

yang

SKPD didaerah yang mengelola fungsi

disertai dengan tanggung jawab dalam

konsekuen dan konsisten. Untuk suatu

tersebut kemudian dilanjutkan dengan

melaksanakan pekerjaan dan tugas,

kebenaran kita harus bertahan dan

bagaimana pelayanannya. Kita harus

berani memutuskan suatu keputusan

jangan berubah-ubah, berpegang pada

mulai menegakan performance base bukan

tanpa

arahan

peraturan dan asas kepatutan. Dalam

disbursement base untuk menindaklanjuti

pimpinan. Beliau tidak kenal kompromi

mempertahankan prinsip ini, beliau

program

terhadap

Term

Expenditure

meletakan

Daerah

dituntun mampu memecahkan semua

mengatur bagaimana hubungan fungsi

Medium

adalah

Subdit

harus

menunggu

satu

ayat,

tepat

pernah memiliki pengalaman sampai

waktu, mendukung pemberian reward and

ditentang oleh semua fihak namun

dimunculkan pada revisi UU no 33

punishment bagi pegawai. Dengan pihak

beliau tidaklah bergeming, dan hal

tahun 2004 untuk menggaransi apa yang

eksternal, beliau membangun hubungan

tersebut membuahkan hasil yang nyata.

ditranfer ke daerah menghasilkan output

saling bersinergi meningkatkan capacity

yang menjadi tujuan mulia otonomi

building

daerah yaitu kesejahteraan masyarakat.

center pendidikan KKD/LKD. Alumni dari

Terminologi transfer menurut PP 24

Universitas Sriwijaya ini tidak segan-

yang sudah direvisi dengan PP no 71

segan

yang

mengatasi masalah dibawah.

transfer

adalah

penerimaan atau pengeluaran antar

bekerjasama

untuk

terjun

tugas

walaupun

Framework (MTEF), hal ini yang harus

mendefinikan

penyelesaian

benar

dengan

center-

langsung

total

desentralisasi jangan dilihat dari aspek


pemerintah

pemerintah

Dalam membagi waktu antara pekerjaan

daerah saja karena ada beban tugas

dan keluarga, beliau menitikberatkan

pelayanan masy secara langsung yang

pada saling pengertian antar anggota

terkatagori PSO yang tidak dilaksanakan

keluaraga, saling memahami pribadi

oleh Pemerintah, dilakukan oleh badan

masing-masing

diluar

BUMN

landasan dalam hubungan antara waktu

dan PDAM terkait air bersih, ini juga

untuk keluarga dan pekerjaan. Waktu

bagian dari desentralisasi namun tidak

hari libur sabtu minggu dioptimalkan

masuk di transfer. Desentralisasi fiskal

untuk keluarga, dalam hal ini kualitas

itu bersifat menyeluruh terkait juga

waktu untuk keluarga sangat penting

pelayanan kepada masyarakat, siapapun

untuk diperhatikan.

pusat

pemerintah

dan

seperti

penyelenggara tetap harus didukung

yang

merupakan

sebagai

tokoh

yang

Hamka

mengajarkan

hakikat

hidup

ditinjau dari sudut padang tokoh-tokoh


ajaran tersebut muncul arti Hakikat yaitu
Sesuatu dibalik Sesuatu, bagaimana kita
berfikir objektif, tidak omosional, tidak
memihak, tidak menghakimi seseorang
tanpa

memandang

sebabnya

orang

tersebut melakukan kesalahan. Bapak


yang memiliki hobi nonton film action
ini dalam menghadapi keanekaragaman
tugas dan pekerjaan beliau juga selalu
menggunakan pendekatan Hand, Heart,
dan Head. Dimana ketiganya itu tidak
dapat dipisahkan. Kita bekerja hanya
dengan tangan saja maka kita akan
juga bekerja jangan hanya dengan otak

Tantangan dan harapan DJPK

pemerintah daerah. Dana Dekonsentrasi

Beliau berpedapat bahwa tantangan

dan Tugas Pembantuan juga merupakan

DJPK kedepan begitu majemuk. DJPK

bagian dari desentralisasi fiskal.

yang memiliki mashab APBN dan APBD,


memiliki banyak stakeholder, baik tingkat
pusat maupun daerah (KL dan Pemda),

Kiat bapak yang memiliki hobi berenang

memiliki

dalam memimpin direktorat PKD yang

fungsi, itu semua adalah tantangan DJPK

memiliki tugas fungsi heterogen, yang

kedepan. DJPK harus faham semua yang

didalamnya menangani Subdit Pinjaman,

terjadi baik di pusat maupun ke daerah,

heterogenitas

Hamka

memberikan inspirasi dalam bekerja.

bekerja layaknya seorang jagoan, kita

baik oleh pemerintah pusat maupun

Kiat Memimpin Diretorat PKD

oleh

dunia seperti Plato, Aristoteles dll. Dari

Kiat membagi waktu antara


pekerjaan dengan untuk keluarga

entity. Beliau juga berpendapat bawa

Dalam kesehariannya beliau termotivasi

tugas

dan

saja tanpa hati maka bekerja kita tidak


memperhatikan norma dan prilaku yang
ada. Beliau menasihatkan bahwa kita
harus memiliki relasi yang baik dengan
sesama

manusia

karena

hubungan

yang baik akan membawa dampak yang


positif bagi kehidupan.
Ahmad Yani, David Rudolf, dan
Alit Ayu Meinarsari

Media

defis

37

Renungan

Kontemplasi Diri
Miskin Syukur

agi hari masih bisa beli nasi uduk, lengkap dengan

yang hampir mirip, "Maaf ya nak, waktu itu ibu terpaksa

bihun, tempe goreng atau semur jengkol sebenarnya

menikahi bapakmu. Habis, kasihan dia nggak ada yang

sudah bagus. Tetapi kerap mulut berbicara lain, "Nasi

naksir".

uduk melulu, nggak ada makanan lain?" Akhirnya sampai sore


sepiring nasi uduk itu tak disentuh sama sekali.

Kita, termasuk saya, tanpa disadari sudah menjadi orangorang miskin. Bukan karena kita tidak memiliki apa-apa, justru

Sudah sepuluh tahun bekerja dan punya penghasilan

sebaliknya kita tengah berlimpah harta dan memiliki sesuatu

tetap saja mengeluh, "Kerja begini-begini saja, nggak ada

yang orang lain belum berkesempatan memilikinya. Kita

perubahan, gaji sebulan habis seminggu" Belum lagi

benar-benar miskin meski dalam keadaan kaya raya, karena

`nyanyian' isteri di rumah, "cari kerja tambahan dong pak,

kita tak pernah bersyukur dengan apa yang dianugerahkan

biar hidup kita nggak susah terus"

Allah saat ini. Ya, kita ini miskin rasa syukur.

Dikaruniai isteri yang shaleh dan baik masih menggerutu,

Punya sedikit ingin banyak, boleh. Dapat satu, ingin dua,

"baik sih, rajin sholat, tapi kurang cantik" Tidak beda

tidak dilarang. Merasa kurang dan mau lebih, silahkan. Tidak

dengan seorang perempuan yang menikah dengan pria

masalah kok kalau merasa kurang, sebab memang demikian

bertampang pas-pasan, "Sudah miskin nggak ganteng pula.

sifat manusia, tidak pernah merasa puas. Pertanyaannya,

Masih untung saya mau nikah sama dia"

yang sedikit, yang satu, yang kurang itu sudah disyukuri kah?

Punya kesempatan memiliki rumah meski hanya type kecil

Pada rasa syukur itulah letak kekayaan sebenarnya. Berangkat

dan rumah sangat sederhana tentu lebih baik dari sekian

dari rasa syukur pula kita merasa kaya, sehingga melahirkan

orang yang baru bisa mimpi punya rumah sendiri. Disaat yang

keinginan membagi apa yang dipunya kepada orang lain. Kita

lain masih ngontrak dan nomaden, mulut ini berceloteh, "Ya

miskin karena tidak pernah mensyukuri apa yang ada. Meski

rumah sempit, gerah, sesak. Sebenarnya sih nggak betah,

dunia berada di genggaman namun kalau tak sedikit pun rasa

tapi mau dimana lagi?"

syukur terukir di hati dan terucap di lisan, selamanya kita

Sudah bagus suaminya tidak naik angkot atau bis kota

miskin.

berkali-kali karena memiliki sepeda motor walau keluaran

Coba hitung, duduk di teras rumah sambil sarapan pagi,

tahun lama. Eh, bisa-bisanya sang isteri berkomentar, "Jual

ditambah secangkir kopi panas yang disediakan isteri

saja pak, saya malu kalau diboncengin pakai motor butut itu".

shalihah. Sesaat sebelum berangkat ke kantor menggunakan

Ada lagi yang dikaruniai anak, sudah bagus anaknya terlahir


normal, tidak cacat fisik maupun mental. Gara-gara anaknya
kurang cantik atau tidak tampan, ia mencari kambing hitam,
"Bapak salah milih ibu nih, jadinya wajah kamu nggak karuan
begini". Padahal di waktu yang berbeda, ibunya pun berkata

38

Media

defis

sepeda motor, lambaian tangan si kecil seraya mendoakan,


"hati-hati Ayah". Subhanallah, ternyata Anda kaya raya!
Wahyudi Sulestyanto

Sekilas Berita

International Conference on Fiscal Decentralization


dan

tantangan

dalam

pelaksanaan

desentralisasi fiskal di Indonesia. Dari


pelaksanaan International Conference ini
dapat dikatakan bahwa pelaksanaan
desentralisasi fiskal di Indonesia sedang
dalam proses yang berjalan, perubahan
yang ada harus tetap dilakukan untuk
mendapatkan
Beberapa

hasil

yang

pelajaran

maksimal.

berharga

yang

didapatkan dari seminar tersebut antara


lain pentingnya kebijakan yang ikut
memperhatikan kearifan local sehingga
kebijakan tersbeut tidak bersifat one size
fit all yang terbukti gagal diterapkan di
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan untuk pertama kalinya
menyelenggarakan International Conference on Fiscal Decentralization (ICFD)
yang bertajuk "Fiscal Decentralization in Indonesia a Decade after Big Bang"
yang dilaksanakan pada tanggal 13 s.d. 14 September 2011 di Hotel
Borobudur Jakarta.
Acara

yang

Keuangan
di

peningkatan

kapasitas

pemerintah daerah yang berkelanjutan


dan dinamis sesuai dengan perubahan
yang terus terjadi.

Menteri

China, Bangladesh, Filipina, Mongolia,

Selanjutnya,

bertujuan

untuk

Cambodia, Papua New Guinea, Jerman,

International Conference tersebut nantinya

dan Australia.

akan disusun sebuah Proceeding yang

membedah pelaksanaan desentralisasi


fiskal

upaya

oleh

dibuka
ini

negara-negara lain, serta pentingnya

Indonesia,

sekaligus

pula

atas

pelaksanaan

diharapkan

akan berisi kumpulan makalah yang

untuk

peer

telah disampaikan oleh narasumber

pelaksanaan

dalam acara tersebut. Proceeding tersebut

dan

desentralisasi fiskal baik di Indonesia

nantinya diharapkan dapat dijadikan

peserta berasal dari berbagai macam

maupun negara-negara lainnya. Untuk

salah satu referensi bagi semua pihak

stakeholders, baik dari dalam negeri

itu, diharapkan hasil ICFD ini dapat

yang terkait maupun masyarakat luas

maupun luar negeri. Stakeholders yang

berguna

sebuah

tentang perkembangan, permasalahan,

terlibat yaitu berasal dari kalangan

formulasi International best practice di

dan pelaksanaan desentralisasi fiskal di

eksekutif (baik di pusat maupun di

bidang desentralisasi fiskal.

Indonesia dan negara-negara lain.

menyajikan

pengalaman-pengalaman

dari negara-negara lain.


Dalam

acara

ini,

riset,

narasumber

asosiasi

pemerintah

daerah, dan perwakilan lembaga donor


yang berada di Indonesia. Narasumber
dan peserta yang berasal dari negara
lain

dalam

ICFD

ini

adalah

dari

kalangan akademisi maupun praktisi


yang berasal dari negara Chile, Afrika
Selatan,

Amerika

dapat

Serikat,

Canada,

acara

dijadikan

learning

daerah), legislatif pusat, akademisi,


lembaga

Pelaksanaan

experience

Sebagai

untuk

penutup

ini

sarana
atas

menyusun

acara

ini,

dalam

Acara internasional ini terselenggara

Conference Summary yang dibacakan

berkat

oleh

development

Bpk.

Direktur

Marwanto
Jenderal

Keuangan
terdapat

Harjowiryono,
Perimbangan

disampaikan
perkembangan

bahwa
signifikan

dukungan

beberapa

partners

DJPK

antara

lain Asian Development Bank (melalui


Technical Assistance 7184), Decentralization
Support Facility (DSF),

Australian Aid,

yang telah dicapai dalam pelaksanaan

dan Kerjasama Teknis Indonesia-Jerman

desentralisasi

melalui GIZ.

dipungkiri

fiskal,

masih

namun

terdapat

tidak
kendala

Media

defis

39

Sekilas Berita

Developer Meeting Penyampaian Informasi Keuangan Daerah


melalui Sistem Komandan SIKD
memberi arahan kepada daerah yang
belum menerapkan Sistem Informasi
Keuangan Daerah (SIKD) agar segera
menerapkan SIKD dan mengirimkan
Informasi
Keuangan
Daerah
(IKD)
melalui Komandan, dan bagi yang sudah
menerapkan SIKD agar segera dapat
menyampaikan IKD melalui Komandan.

Pada tanggal 6-7 Juli 2011, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan


menyelenggarakan acara Developer Meeting untuk menyampaikan informasi
Keuangan Daerah melalui Komandan SIKD.
Dirjen Perimbangan Keuangan Marwanto
Harjowiryono membuka acara Developer
Meeting Penyampaian Informasi Keuangan
Daerah melalui Sistem Komandan SIKD
yang diselenggarakan pada pertengahan

tahun 2011 tepatnya pada tanggal 6-7 Juli


2011.
Bapak
dalam

Dirjen Perimbangan Keuangan


Developer Meeting tersebut

Selanjutnya
kepada
konsultan
pengembang
diharapkan
segera
menyesuaikan sistem aplikasi yang
digunakan Pemda dengan pembakuan
struktur elemen data sebagaimana
ketentuan SE Dirjen PK Nomor 03 Tahun
2011, sehingga IKD yang dikirimkan Pemda
dapat diproses oleh Sistem Komandan
tanpa mengubah SOP operator komputer
secara signifikan.
Diharapkan setelah acara Developer
Meeting ini, Pemda dan konsultan
pengembang terus berkomunikasi dengan
Tim Komandan SIKD, sehingga pada
awal Agustus 2011, ke-163 daerah yang
ikut acara Developer Meeting dapat
menyampaikan IKD melalui Komandan.

WORKSHOP PENATAAN ORGANISASI DJPK


Perubahan atau transformasi menjadi sebuah
keniscayaan dalam dinamika kehidupan dunia
yang terus mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Ditjen Perimbangan Keuangan, sebagai
institusi pembuat kebijakan dalam pelaksanaan
desentralisasi fiskal di kementerian keuangan,
dituntut untuk selalu melakukan perubahan dan
perbaikan, salah satunya dalam hal penataan
organisasi. Dalam rangka menjaring masukan
dan pandangan stakeholders terhadap rencana
penataan organisasi, maka DJPK menyelenggarakan
sebuah workshop pada tanggal 12 Desember 2011,
di Hotel Kawanua, yang berlokasi di Cempaka Putih
Jakarta.
Workshop yang mengambil tema Transformasi
kelembagaan DJPK untuk penguatan peran
kementerian keuangan dalam pengelolaan keuangan
daerah ini dibuka secara resmi oleh Direktur
Bicara transformasi kelembagaan, proses itu memang tidak pernah Jenderal Perimbangan Keuangan, Bapak Marwanto
Harjowiryono. Dalam pidato pembukaannya
berhenti Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
bapak Dirjen Perimbangan Keuangan mengatakan
bahwa setelah lebih dari 10 tahun pelaksanaan

40

Media

defis

Sekilas Berita
desentralisasi fiskal di Indonesia, Ditjen
Perimbangan Keuangan sebagai organisasi
kunci pelaksanaan desentralisasi fiskal
perlu melakukan evaluasi efektifitas dan
efisiensi kelembagaannya. Hal tersebut
diperlukan dalam rangka menyesuaikan
dinamika stakeholders untuk memberikan
pelayanan terbaik.
Seminar yang dimoderatori oleh Kepala
Bagian Perencanaan dan Organisasi,

Bapak Ahmad Yani, tersebut dihadiri


peserta dari beberapa unit eselon I di
Kementerian Keuangan, seperti Direktorat
Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal
Pengelolaan Utang, Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, serta Sekretariat Jenderal
Kementerian Keuangan. Terdapat 3 (tiga)
narasumber dalam workshop tersebut,
yaitu Bapak Tata Suntara, Sekretaris Ditjen
Perbendaharaan; Bapak Ahmad Sofyan,

Kepala Biro Hukum, dan Bapak Supriyatno,


Kabag Kelembagaan I, Biro Organta, yang
mewakili Kepala Biro Organta Setjen
Kemenkeu. Ketiga narasumber membahas
peran Ditjen Perimbangan Keuangan
sebagai pengelola kebijakan desentralisasi
dari sudut pandang sistem keuangan
Negara, kajian peraturan perundangundangan, serta rencana transformasi
kelembagaan Kementerian Keuangan.

Internalisasi Values Kementerian Keuangan


Versi Mario Teguh

Tepuk tangan serempak dari peserta


menyeruak sesaat motivator kondang itu
memasuki ballroom Gedung Dhanapala
Kementerian Keuangan. Mario Teguh,
motivator yang terkenal dengan salam
super itu menjadi pembicara pada
saat pembukaan Rapat Kerja Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan. Pada
pembukaan raker tersebut diawali dengan
laporan Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan dan kemudian di buka secara
resmi oleh Wakil Menteri Keuangan, Ibu
Ani Rahmawati. Acara yang dilaksanakan
pada hari Rabu Tanggal 30 November
2011
tersebut
mengangkat
tema
Internalisasi Nilai-Nilai Kementerian
Keuangan berlangsung penuh antusias
dari para peserta.
Acara Ini bertujuan untuk membentuk
budaya kerja yang ideal pada level tertinggi
di lingkungan Kementerian Keuangan
dan Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan pada khususnya, yaitu dengan

menginternalisasikan
nilai-nilai
Kementerian
Keuangan
meliputi
Integritas, Profesionalisme,
Sinergi, Pelayanan, dan
Kesempurnaan
pada
setiap individu pegawai
Kementerian
Keuangan.
Diharapkan
dapat
meningkatkan
Kinerja
dan Pelayanan di masingmasing level pegawai serta
dapat
membudayakan
nilai-nilai
tersebut
yang akhirnya menjadi
kebiasaaan yang baik di
lingkungan Kementerian Keuangan di
masa mendatang.
Values Kementerian Keuangan, bagi
Mario teguh adalah sebagai salah satu
dari sekian banyak pijakan kesuksesan
yang kini tengah di raihnya. Untuk
mencapai
level
yang
diinginkan
seseorang harus berani mengambil
kesempatan, berani menunjukkan diri
dengan segala kebaikannya. Ketika
seseorang merasa rendah diri,karenanya
dia tidak berani tampil, ia hanya berdiri
di belakang, mengucilkan diri bersama
dengan kemampuan yang di milikinya.
Semestinya sudah menjadi keharusan
dan memaksakan diri kita untuk berdiri
sejajar dengan orang yang berlevel tinggi,
menunjukkan
keberadaanya
adalah
sebuah sikap yang jelas. Dan melakukan
sesuatu yang mampu mengingatnya
adalah salah satu cara untuk dapat
anda berada sejajar dengan atasan.

Values Kementerian Keuangan membuka


kesempatan bagi anda semua untuk
menjadi orang yang dapat berdiri sejajar,
akan tetapi jangan pernah anda berpikir
untuk meremehkan orang di sekitar
kita. Karena sekecil apapun dari mereka
suatu ketika membawa keberuntungan
bagi kehidupan ini. Values Kementerian
Keuangan jika sudah menjadi bagian
di dalam sebuah Lembaga/Organisasi/
Departemen maka akan menjamin dan
melahirkan insan yang super. Values
Kementerian Keuangan yang menjadi
pijakannya akan sangat bermanfaat, jika
pilar yang ada di dalamnya memahami
akan keberadaannya, bertanggung jawab,
mampu membuat sesuatu yang tiada
menjadi ada. Karena pada dasarnya
semua
insan
manusia
diciptakan
untuk mensyukuri kehidupanya, bukan
menjadikan hidup sebagai sebuah
penderitaan. Ketika kita berada di ruang
yang menjadikan kita begitu galau,
yaitu berada pada titik kejenuhan, maka
dengan melakukan ketiadaan menjadi
ada, galau serta jenuh menjadi ruang
yang penuh pesona.
Sampaikan dengan senyuman, values
Kementerian Keuangan akan semakin
terjaga, jika semua yang bernaung
di dalamnya mengharuskan untuk
menjalankannya.
Dan
dengan
sesuatu
yang
berbeda
values
kementerian keuangan akan mampu
menciptakan wacana-wacana energik
demi kelangsungan dan kejayaan
Indonesia. Jadilah manusia super dalam
melaksanakan tugas sehari-hari.

Media

defis

41

KKD

Konsultasi Keuangan Daerah

AH
UANGAN DAER
KONSULTASI KE

Pertanyaan:
Apakah kriteria agar suatu daerah
mendapatkan Dana Insentif Daerah?
Jawab :
Dana Insentif Daerah merupakan reward
Pemerintah kepada Pemerintah Daerah
atas hasil/capaian kinerjanya dalam
melaksanakan tugas utamanya yaitu
melayani penduduk, mengelola wilayah,
dan menyelenggarakan pemerintahan
benar-benar
optimal.
Pemberian
Dana Insentif Daerah diharapkan juga
bermanfaat langsung bagi masyarakat
setempat.
Program pemberian Dana Insentif
Daerah (DID) sudah dimulai pada tahun
2010, dimana alokasinya meningkat
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012
ini telah dialokasikan dana sebesar 1,4
Triliun untuk DID tersebut. Daerah yang
memperoleh DID juga meningkat dalam
kurun waktu tiga tahun ini yaitu dari 54
daerah pada tahun 2010 menjadi 60
daerah pada tahun 2011 dan 66 daerah
pada tahun 2012 ini. Secara umum
tujuan program dana insentif daerah
adalah (a)
mendorong
agar
daerah berupaya untuk mengelola
keuangannya dengan lebih baik yang
ditunjukkan dengan perolehan opini BPK
terhadap Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah
(LKPD),
(b)
memotivasi
daerah agar berupaya untuk selalu
menetapkan APBD tepat waktu, dan (c)
mendorong agar daerah menggunakan
instrumen politik dan instrumen fiskal
untuk secara optimal mewujudkan
peningkatan pertumbuhan ekonomi
lokal dan peningkatan kesejahteraan
penduduknya.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut
maka
Pemerintah
bersama
DPR
telah bersepakat bahwa DID akan
dialokasikan kepada daerah tertentu

42

Media

defis

dengan mempertimbangkan kriteria


tertentu. Dalam dokumen kesepakatan
dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan kriteria tertentu adalah daerah
yang berprestasi antara lain daerah
yang sudah melaksanakan fungsi
pelayanan masyarakat dengan baik
dan mendapatkan Opini WTP dan
WDP dari BPK atas LKPD, dan daerah
yang menetapkan APBD tepat waktu.
Oleh karena itu kriteria dan indikator
penetapan daerah penerima DID
meliputi tiga kriteria kinerja.
Kriteria Kinerja yang pertama adalah
Kriteria Kinerja Pengelolaan Keuangan
yang terdiri dari (a) Opini BPK atas
LKPD, (b) Penetapan APBD 2011 tepat
waktu, (c) upaya (effort) peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kriteria Kedua adalah Kriteria Kinerja
Pendidikan yang terdiri dari indikator
(a) Partisipasi Sekolah/ Angka Partisipasi
Kasar (APK) dan (b) Upaya (effort)
peningkatan
Indeks
Pembangunan
Manusia (IPM).
Kriteria kinerja ketiga adalah Kriteria
Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan
Masyarakat yang terdiri dari (a)
Peningkatan
Angka
Pertumbuhan
Ekonomi lokal, (b) Penurunan Angka
Kemiskinan, dan (c) Penurunan Angka
Pengangguran.
Mulai tahun 2011 penilaian penetapan
daerah penerima DID dilakukan dengan
cara yang berbeda, yaitu dengan
menetapkan indikator opini BPK atas
LKPD dan penetapan Perda APBD tepat
waktu sebagai kriteria utama, artinya
hanya daerah yang memenuhi dua
indikator tersebut yang lolos untuk
menuju kepada penyaringan berikutnya.

Pertanyaan :
Pemerintah memberikan Hibah
Daerah dengan memperhatikan
Kapasitas Fiskal Daerah. Apa yang
dimaksud dengan Kapasitas Fiskal?

Jawab :
Kapasitas Fiskal adalah gambaran
kemampuan keuangan masing-masing
daerah yang dicerminkan melalui
penerimaan umum APBD (tidak termasuk
dana alokasi khusus, dana darurat, dana
pinjaman lama, dan penerimaan lain
yang penggunaannya dibatasi untuk
membiayai pengeluaran tertentu) untuk
membiayai tugas pemerintahan setelah
dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan
dengan jumlah penduduk miskin.

Pertanyaan :
Apa saja kriteria kegiatan yang bisa
dibiayai oleh hibah?
Jawab :
Kriteria kegiatan hibah yang bersumber
dari pendapatan dalam negeri
antara lain (i) Kegiatan yang menjadi
urusan
Pemerintah
Daerah
atau
untuk kegiatan peningkatan fungsi
pemerintahan, layanan dasar umum,
dan pemberdayaan aparatur Pemerintah
Daerah; (ii)Kegitaan tertentu yang
berkaitan dengan penyelenggaraan
kegiatan Pemerintah yang berskala
nasional/internasioanal oleh Pemerintah
Daerah; (iii) Kegiatan lainnya sebagai
akibat kebijakan Pemerintah yang
mengakibatkan penambahan beban
pada APBD; dan/atau (iv) Kegiatan
tertentu yang diatur secara khusus
dalam peraturan perundang-undangan.
Kriteria kegiatan hibah yang bersumber
dari pinjaman luar negeri antara
lain (i) Kegiatan yang merupakan
urusan Pemerintah Daerah dalm
rangka pencapaian sasaran program
dan prioritas pembangunan nasional
sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan/atau (ii) Kegiatan
yang diprioritaskan untuk Pemerintah
Daerah dengan Kapasitas Fiskal rendah
berdasarkan Peta Kapasitas Fiskal
Daerah yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. ()

Album Foto
Pelantikan Pejabat Eselon IV di Lingkungan DJPK

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima


kunjungan delegasi dari Pemerintah Timor Leste

Penandatanganan Kontrak Kinerja Pejabat Eselon II


di Lingkungan DJPK

Rapat Tim Redaksi Media Defis

Konsultasi Keuangan Daerah

44

Media

defis

You might also like