Professional Documents
Culture Documents
BUKU PEGANGAN
Penyelenggaraan
Pemerintahan dan
Pembangunan Daerah
2012
Kebijakan Hubungan
Keuangan Pusat dan Daerah
2012
KATA PENGANTAR
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
pelayanan
serta
pengelolaan
keuangan
berdasarkan
prinsip
iii
kebijakan
desentralisasi
fiskal
melalui
perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah sesuai dengan asas money follows
function sebagai upaya untuk mendukung pembiayaan berbagai urusan
dan kewenangan yang telah dilimpahkan kepada daerah. Tujuan utama dari
perimbangan keuangan tersebut adalah untuk mengurangi ketimpangan
fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, serta mengurangi kesenjangan
kemampuan fiskal antardaerah. Selain itu, kebijakan pendanaan kepada
daerah dalam rangka menjalankan urusan dan kewenangan yang telah
dilimpahkan tersebut diikuti dengan pemberian kewenangan dalam hal
perpajakan daerah.
Sangat disadari bahwa kebijakan desentralisasi fiskal erat kaitannya
dengan pelayanan publik mengingat fungsinya sebagai alat bagi
pemerintah daerah untuk menyediakan dan memberikan pelayanan yang
lebih baik kepada masyarakat. Desentralisasi fiskal akan terlaksana dengan
baik bila didukung oleh pemerintah yang mampu melakukan pengawasan
dan law enforcement, adanya sumber daya manusia yang kuat pada jajaran
aparatur pemerintah daerah, serta adanya keseimbangan dan kejelasan
iv
besar
terutama
untuk
merencanakan
dan
melaksanakan
kemudahan dan
Jakarta,
April 2012
MENTERI KEUANGAN,
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................iii
DAFTAR ISI..................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................xiii
DAFTAR TABEL...........................................................................................xv
DAFTAR GRAFIK.......................................................................................xvii
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................... 3
BAB II
HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH..................................... 11
2.1. SISTEM PENDANAAN URUSAN PEMERINTAHAN............................ 11
2.2. PENGUATAN SISTEM PERPAJAKAN DAERAH................................. 17
2.3. KEBIJAKAN TRANSFER KE DAERAH................................................ 22
3.1.1. PENDAHULUAN...................................................................... 43
vii
(PBB)....................................................... 49
3.1.2.1.3.
DBH CUKAI HASIL TEMBAKAU
(DBH CHT).............................................. 51
F.
PENETAPAN ALOKASI DBH SUMBER
DAYA ALAM ......................................................... 91
DAU............................................................................ 93
3.1.3.3.
PERHITUNGAN ALOKASI DAU................................. 94
B.
DATA PENGHITUNGAN DAU.............................. 96
TA 2012..................................................................... 102
3.1.4.1.1. Arah dan Penggunaan DAK...................... 102
3.1.4.1.2. Penetapan Program Dan Kegiatan........... 103
viii
3.1.7. DANA BAGI HASIL PBB MIGAS DAN PANAS BUMI............ 142
(PBB-KB)............................................................................... 158
ix
(DOB)..................................................................................... 188
3.5. DANA DEKONSENTRASI, DANA TUGAS PEMBANTUAN
(JUFMP).............................................................................................. 207
4.2. OBLIGASI DAERAH: USULAN PENERBITAN OBLIGASI
DI PERBANKAN................................................................................. 219
xi
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Daerah............................................................................... 14
Gambar 3.1
Gambar 3.4
Gambar 3.5
Migas................................................................................. 73
Gambar 3.6
Gambar 3.7
DBH Migas........................................................................ 79
Gambar 3.8
Gambar 3.9
Gambar 3.10
Gambar 3.11
Gambar 3.13
Gambar 3.14
Gambar 3.15
Gambar 3.16
Gambar 3.17
xiii
Gambar 3.19
Daerah............................................................................. 203
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 3.5
Tabel 3.6
Tabel 4.1
JUFMP/JEDI.......................................................................... 208
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.5
Tabel 4.6
Tabel 4.7
xv
xvi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Tren Belanja APBD secara Nasional (%) 2008 - 2011........... 220
Grafik 4.2 Trend SiLPA 2007-2010......................................................... 223
Grafik 4.3 Trend Dana Pemda di Perbankan 2006-2011........................ 223
Grafik 4.4
Grafik 4.5
Grafik 4.6
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah melewati
beberapa fase penting dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan
nasional serta memberikan arah yang jelas bagi pembangunan nasional.
Fase awal pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
di Indonesia bergulir pada awal tahun 2000 saat ditetapkannya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999. Saat ini, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang mengamanatkan bahwa
pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus
dilakukan secara adil, proporsional, dan akuntabel sehingga kebutuhan
pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai
dari sumber-sumber penerimaan dana desentralisasi secara efektif dan
efisien untuk mendanai kebutuhan pengeluaran yang menjadi kewenangan
daerah.
Perjalanan penerapan desentralisasi dari masa ke masa telah memberikan
pelajaran penting bahwa sistem yang sentralistis dapat berakibat pada
inefficiency dan high cost economy dalam penyediaan pelayanan sektor
publik dan penyediaan sarana dan prasarana dalam mengembangkan
perekonomian dan iklim investasi. Dengan demikian, diperlukan adanya
peran Pemerintah dalam menjaga adanya keseimbangan fiskal antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dan keseimbangan fiskal antardaerah.
kebijakan
pemerintah
pusat
terkait
dengan
anggaran
dan
Pendahuluan
kepada
daerah
dalam
rangka
peningkatan
efektifitas
rangka
pendanaan
penyelenggaraan
asas
desentralisasi,
dalam
menjaga
keserasian
dan
keseimbangan
antara
Pendahuluan
BAB II
HUBUNGAN KEUANGAN
PUSAT DAN DAERAH
10
BAB II
HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN
DAERAH
2.1. SISTEM PENDANAAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan pedoman
yang jelas bahwa tujuan kehidupan bernegara adalah untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita yang luhur
tersebut, maka diperlukan adanya sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang efektif dan mampu melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Undang-Undang Dasar
1945 telah mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi yang terdiri atas
daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai
hak dan kewajiban dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya
sendiri, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan serta pelayanan kepada masyarakat. Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah harus melaksanakan hubungan keuangan,
pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Filosofi tersebut melandasi pembagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat, pemerintahan provinsi, dan pemerintahan
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
11
kabupaten/kota beserta sistem pendanaan untuk melaksanakan masingmasing urusan dimaksud. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004, sebagian urusan pemerintahan telah diserahkan kepada
pemerintahan daerah. Urusan utama pemerintahan yang terkait dengan
perencanaan, pembangunan, penyediaan dan penyelenggaraan pelayanan
kepada masyarakat telah dilimpahkan kepada pemerintahan kabupaten/
kota dan provinsi untuk dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan
karateristik daerah (otonomi daerah). Sementara pemerintah pusat hanya
melaksanakan 6 (enam) urusan pemerintahan yang bersifat mutlak, yaitu
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional, dan agama, serta beberapa urusan yang tidak diserahkan kepada
daerah.
Selain urusan pemerintahan, daerah juga telah diberikan sumber pendanaan
yang besar dan kewenangan yang luas untuk mengelola sumber-sumber
pendapatan asli daerah, utamanya dari perpajakan (desentralisasi fiskal).
Sesuai dengan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 yang kemudian diganti
dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004, untuk mendanai urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, daerah diberikan dana
perimbangan dan/atau hibah dari APBN dan kewenangan untuk memungut
dan mengelola perpajakan daerah (local taxing power) serta kewenangan
untuk melakukan pinjaman. Sistem pendanaan atas urusan pemerintahan di
daerah dilaksanakan berdasar prinsip (money follow functions), pendanaan
mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung
jawab
masing-masing
tingkat
pemerintahan.
Pembagian
keuangan
12
yang
lebih
jelas
bagi
Daerah
dalam
menyelenggarakan
13
kesenjangan
pendanaan
pemerintahan
antar-Daerah
(horizontal imbalance).
Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk
keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau
peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan
menggunakan sumber APBD. Dana Darurat merupakan bagian dari Lainlain Pendapatan dalam APBD dan diberikan dalam kerangka hubungan
keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dana Darurat
digunakan untuk mendanai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada
tahap pascabencana yang menjadi kewenangan daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengelolaan Dana Darurat
harus dilakukan secara tertib, taat pada ketentuan peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan aspek keadilan dan kepatutan. Oleh karena itu,
penggunaan Dana Darurat hanya digunakan untuk keperluan mendesak
15
16
Pada tahun 2010 dan 2011, kontribusi hasil penerimaan pajak daerah
dan retribusi daerah terhadap pendapatan APBD provinsi/kabupaten/
kota masing-masing adalah 14,2% dan 14,9%. Kondisi tersebut relatif
tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dibandingkan dengan
tahun 2001, dimana kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi
daerah terhadap total pendapatan APBD provinsi/kabupaten/kota
17
baru
yang
semula
diharapkan
dapat
meningkatkan
pajak
dan
retribusi
cenderung
kontraproduktif
terhadap
perekonomian daerah.
kewenangan
perpajakan
dan
retribusi
yang
ada
19
Perluasan basis pajak dan retribusi yang dapat dikelola oleh daerah
melalui perluasan terhadap objek pengenaan pajak dan retribusi,
pengalihan sebagian pajak pusat menjadi pajak daerah, dan
penambahan jenis pajak baru.
Pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah meliputi Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang dialihkan pada tahun
2011 dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB
P2) yang dialihkan paling lambat tahun 2014. Sementara jenis pajak
dan retribusi baru yang dapat dikelola daerah adalah Pajak Sarang
Burung Walet sebagai pajak kabupaten/kota dan Pajak Rokok sebagai
pajak baru bagi provinsi, Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi
Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi,
dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.
21
dialokasikan
untuk
pembangunan
dan/atau
pemeliharaan
jalan
22
23
pemerataan.
Sedangkan
penyaluran
DBH
dilakukan
24
25
26
27
28
29
a. Daerah tertinggal;
b. Daerah perbatasan dengan negara lain;
c. Daerah rawan bencana;
d. Daerah pesisir dan/atau kepulauan;
e. Daerah ketahanan pangan;
f. Daerah pariwisata
Ketiga; Kriteria Teknis (KT), yang ditentukan berdasarkan indikatorindikator teknis yang dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana
yang akan didanai dari DAK. Kriteria ini dirumuskan melalui indeks teknis
yang disusun oleh Menteri Teknis terkait.
31
32
33
35
36
dilaksanakan
dengan
memperhatikan
stabilitas
dan
keseimbangan fiskal.
5. Kegiatan yang dibiayai hibah diusulkan oleh Kementerian Negara/
Lembaga terkait merupakan diskresi Pemerintah.
6. Hibah disalurkan dengan menerapkan prinsip transfer berbasis kinerja
(performance-based).
37
38
mempunyai
kewajiban
menyampaikan
laporan
teknis
pelaksanaan
dana
dekonsentrasi
dan
39
40
BAB III
KEBIJAKAN HUBUNGAN
KEUANGAN PUSAT DAN
DAERAH TAHUN 2012
42
BAB III
KEBIJAKAN HUBUNGAN KEUANGAN
PUSAT DAN DAERAH TAHUN 2012
3.1. TRANSFER KE DAERAH
3.1.1. PENDAHULUAN
Secara konseptual, kebijakan Transfer ke Daerah diarahkan dalam
mengurangi ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah melalui alokasi
DBH dan meminimalkan kesenjangan fiskal antar daerah melalui DAU dan
DAK sehingga dapat mendukung kebutuhan pendanaan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan terutama kepada daerah-daerah marginal
yang memiliki potensi DBH SDA dan DBH Pajak sangat terbatas. Namun
demikian, seiring dengan perjalanan
yang telah memasuki tahun ke 12, tantangan dari tahun ke tahun semakin
berat. Salah satu keberhasilan Pemerintah dalam rangka melaksanakan
formula dan kriteria Transfer ke Daerah secara konsisten adalah dengan
menghilangkan komponen Dana Penyesuaian yang bersifat adhoc dalam
TA 2012.
Reformulasi kebijakan, penghitungan, dan alokasi Transfer ke Daerah setiap
tahun dapat memberikan benefit yang cukup signifikan bagi pembangunan
di daerah provinsi, kabupaten, dan kota serta dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi secara nasional. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
indikator di beberapa daerah yang telah mampu meningkatkan perbaikan
kesejahteraan masyarakat baik yang tercermin dari pertumbuhan PDRB
perkapita maupun berdasarkan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
43
yang terus meningkat setiap tahun dan diiringi pula dengan peningkatan
kualitas pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik yang lebih baik.
Untuk mendukung reformulasi kebijakan yang berkelanjutan, maka arah
kebijakan Transfer ke Daerah tetap diarahkan untuk :
1. meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan
fiskal antara pusat & daerah dan antardaerah;
2. menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sesuai dengan
pembagian urusan pemerintahan;
3. meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi
kesenjangan pelayanan publik antardaerah;
4. mendukung kesinambungan fiskal nasional;
5. meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali potensi ekonomi
daerah;
6. meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; dan
7. meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional
dengan rencana pembangunan daerah.
Kebijakan alokasi Dana Transfer ke Daerah pada Tahun 2012 yang
terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
ditetapkan sebesar Rp. 478.775,9 miliar. Selanjutnya, Dana Perimbangan
tahun 2012 dialokasikan sebesar Rp. 408.352,1 miliar yang terdiri dari Dana
Bagi Hasil sebesar Rp.108.421,7 miliar, Dana Alokasi Umum sebesar Rp.
273.814,4 miliar dan Dana Alokasi Khusus sebesar Rp. 26.115,9 miliar.
Dana Perimbangan merupakan komponen terbesar dalam alokasi
Transfer ke Daerah, sehingga mempunyai peranan yang sangat penting
dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah.
Pemerintah terus berupaya melakukan perbaikan (continuous improvement)
44
45
Pemerintah sebagaimana yang telah ditetapkan berdasarkan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun
2005. Tujuan utama dari DBH Pajak adalah dalam rangka memperkecil
kesenjangan penerimaan dari sektor perpajakan antara Pemerintah dan
pemerintah daerah untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Penyempurnaan mekanisme perhitungan dan penyediaan data
DBH Pajak perlu didukung oleh instansi teknis terkait di tingkat pusat
maupun daerah agar penerimaan pajak dan DBH lebih optimal. Kebijakan
adanya DBH Pajak ini dilatarbelakangi oleh:
1. kebutuhan pendanaan daerah dalam rangka menyelenggarakan
pemerintahan di daerah, tidak seimbang dengan besarnya pendapatan
daerah itu sendiri;
2. keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam pengumpulan
dana secara mandiri;
3. adanya jenis penerimaan pajak dan atau bukan pajak yang berdasarkan
pertimbangan tertentu pemungutannya harus dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat, namun obyek dan atau subyek pajaknya berada di
daerah;
4. memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah;
5. memberikan insentif kepada daerah dalam melaksanakan program
Pemerintah Pusat;
6. memberikan kompensasi kepada daerah atas timbulnya beban dari
kegiatan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat.
Proporsi DBH Pajak yang diterima oleh daerah ditentukan berdasarkan
formula persentase tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. DBH
Pajak bersumber dari:
46
47
48
49
= tarif X NJKP
= (20% X NJOP)
50
d. NJOP sebagai dasar pengenaan PBB sebelum dihitung beban PBBnya, terlebih dahulu dikurangi dengan NJOP-TKP (Tidak Kena Pajak)
per Wajib Pajak yang ditetapkan secara regional.
e. Pengenaan PBB diberitahukan kepada Wajib Pajak dengan menerbitkan
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang berisikan antara lain
nama serta alamat wajib pajak, besarnya pajak terutang, serta datadata mengenai obyek pajak.
51
52
DBHCT yang dibagikan ke daerah penghasil cukai hasil tembakau betulbetul dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya, baik dalam rangka
peningkatan produksi maupun pengendalian dampak yang ditimbulkannya
sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 39 tahun 2007.
Selanjutnya dalam rangka memberikan acuan penggunaan yang lebih
jelas, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 tentang
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi atas
Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, kelima
kegiatan utama tersebut dijabarkan lagi menjadi rincian kegiatan, yaitu :
1) Peningkatan kualitas bahan baku industri hasil tembakau, yang
meliputi:
a) standardisasi kualitas bahan baku;
b) pembudidayaan bahan baku dengan kadar nikotin rendah;
c) pengembangan sarana laboratorium uji dan pengembangan metode
pengujian;
d) penanganan panen dan pascapanen bahan baku; dan/atau
e) penguatan kelembagaan kelompok petani bahan baku untuk
industri hasil tembakau.
2) Pembinaan industri hasil tembakau, yang meliputi:
a) pendataan
mesin/peralatan
mesin
produksi
hasil
tembakau
53
54
ketentuan
di
bidang
cukai
merupakan
kegiatan
55
tempat
penjualan
eceran,
Gubernur/Bupati/Walikota
kerja di industri rokok kecil (golongan III) dan beredarnya rokok ilegal maka
dihimbau kepada Gubernur/Bupati dan Walikota agar menetapkan prioritas
penggunaan DBH CHT untuk kegiatan sebagai berikut:
1. Pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja masyarakat di
lingkungan industri hasil tembakau dan/atau daerah penghasil bahan
baku industri hasil tembakau. Kegiatan ini lebih diarahkan untuk
pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja dalam rangka alih
profesi tenaga kerja;
2. Penguatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga
kerja industri tembakau. Kegiatan ini lebih diarahkan untuk penguatan
sarana dan prasarana balai latihan kerja dalam mendukung alih profesi;
3. Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau
dalam rangka pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran,
dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara
lain melalui bantuan permodalan dan sarana produksi;
4. Pengumpulan informasi hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu
dan tidak dilekati pita cukai di peredaran atau tempat penjualan eceran,
agar berkoordinasi dengan kantor Bea dan cukai setempat dalam
rangka pemberantasan rokok/pita cukai ilegal.
Dalam pelaksanaannya, gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab untuk
menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan
prioritas dan karakteristik daerah masing-masing daerah. Keberhasilan
pemanfaatan DBH CHT sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
20/PMK.07/2009 adalah tergantung dari bagaimana para gubernur/bupati/
walikota menjabarkan lebih lanjut kegiatan-kegiatan penggunaan DBH CHT
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah yang dikaitkan dengan tujuan
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
57
58
59
Boks
DBH CUKAI HASIL TEMBAKAU
60
pembangunan
infrastruktur,
menjaga
kelestarian
61
mana
tingkat
pemerintahan yang
dapat
diberikan
seharusnya
didistribusikan
antara
tingkat
alokasi
pemerintahan
DBH
Daerah
SDA
tersebut
Provinsi
dan
62
63
Kehutanan
Pusat (20%)
Iuran Hak Penguasaan
Hutan (IHPH)
Provinsi (16%)
Daerah (80%)
Pusat (20%)
Kabupaten/Kota (64%)
Provinsi (16%)
Daerah (80%)
Pusat (60%)
Dana Reboisasi
Daerah (40%)
Pusat (20%)
Daerah (80%)
Pertambangan
Umum
Pusat (20%)
Perikanan
Pertambangan
Minyak Bumi
Pertambangan
Gas Bumi
Pertambangan
Panas Bumi
Daerah (80%)
Pungutan Pengusahaan
Perikanan
Daerah (15,5%)
Pusat (69,5%)
Daerah (30,5%)
Setoran Bagian
Pemerintah
Iuran Tetap dan
Produksi
Kabupaten/Kota (64%)
Provinsi (16%)
Kabupaten/Kota Penghasil (32%)
Kabupaten/Kota dalam satu provinsi (32%)
Pusat (20%)
Pungutan Hasil
Perikanan
Pusat (84,5%)
Provinsi (16%)
Kabupaten/Kota (80%)
Provinsi (3,1%)
Provinsi (6,1%)
Pusat (20%)
Daerah (80%)
Keterangan:
Selain mendapatkan alokasi DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% dan DBH SDA Gas Bumi
sebesar 30,5%, khusus untuk Provinsi Aceh dan Provinsi Papua Barat juga mendapatkan
alokasi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi Dalam Rangka Otonomi Khusus di
Provinsi Aceh masing-masing sebesar 55% dan 40% yang diperuntukkan untuk mendanai
program/kegiatan bidang pendidikan dan kesehatan.
64
Beberapa hal baru yang diatur dan ditegaskan dalam hal DBH SDA oleh
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1) Adanya penambahan obyek dana bagi hasil sumber daya alam, yaitu:
Dana
Reboisasi
(sebelumnya
Dana Alokasi
Khusus
Dana
Jadwal penetapan.
65
66
67
Gambar 3.3
Porsi Pembagian DBH SDA Minyak Bumi
Daerah Penghasil
Provinsi
Daerah Penghasil:
Kab/Kota
Provinsi
Penghasil
5%
Seluruh Kab/Kota
dalam Prov ybs
10%
Provinsi
Penghasil
0,17%
Seluruh Kab/Kota
dalam Prov ybs
0,33%
3%
Provinsi ybs
6%
Kab/Kota Penghasil
6%
0,1%
Provinsi ybs
0,2%
Kab/Kota Penghasil
15%
0,5%
Untuk Pendidikan
Dasar
c. DBH SDA Gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara
SDA pertambangan Gas Bumi dari wilayah kabupaten/kota yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.
Dana Bagi Hasil tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut :
d. DBH SDA Gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara
SDA pertambangan Gas Bumi dari wilayah provinsi yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. Dana Bagi
Hasil tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut :
68
Gambar 3.4
Porsi Pembagian DBH SDA Gas Bumi
69
SDA Migas. Data yang digunakan sebagai dasar perhitungan perkiraan dan
mekanisme perhitungannya sebagai berikut :
1) Data
a) Prognosa lifting per daerah penghasil berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Penetapan
Daerah Penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas;
b) Surat Dirjen Anggaran-Kementerian Keuangan tentang Perkiraan
PNBP Migas per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak
bumi, kecuali PT PERTAMINA EP).
2) Mekanisme
a) Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan grouping per KKKS (per
jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA
EP) berdasarkan data Prognosa lifting dalam Surat Keputusan
Menteri ESDM tentang penetapan daerah penghasil Migas dan
Dasar Perhitungan DBH SDA Migas yang disampaikan oleh Ditjen
Migas dengan data perkiraan PNBP per KKKS yang disampaikan
Ditjen Anggaran. Lifting yang tersusun perdaerah penghasil per
KKKS pada data Ditjen migas dikonsolidasi dengan data lifting
per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali
PT PERTAMINA EP) dari Ditjen Anggaran sehingga didapatkan
data lifting per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi,
kecuali PT PERTAMINA EP) per daerah penghasil;
b) data hasil grouping tersebut di persentasekan dengan total lifting
per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT
PERTAMINA EP) sehingga didapat rasio lifting per KKKS (per jenis
minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) per
70
daerah
penghasil
yang
sama
dijumlahkan
sehingga
asumsi
tersebut
Menteri
ESDM
menetapkan
71
72
APBN
Penetapan
Daerah
Penghasil
Men. ESDM
Per Kab/Kota
Mendagri
Ditjen
Perimbangan
Keuangan
SK Daerah
Penghasil
PMK
Ditjen Anggaran
PNBP Per KKKS
(termasuk faktor
pengurang)
73
75
76
77
78
LOGO
Counter Balance dalam Management Cashflow DBH Migas
2010
DES JAN
2011
PE
B
MAR
APR
Tw V Tw I
2010 2011
Counter Balance :
DBH 2010 yang
dibagikan pada 2011
menjadi penerimaan
APBD 2011
Tw II
2011
2012
AG
U
Tw III
2011
JA
JA
N
N
Tw IV
2011
Counter Balance
Balance ::
Counter
DBH 2011
2011 yang
yang
DBH
dibagikan pada
pada 2012
2012
dibagikan
menjadi penerimaan
penerimaan
menjadi
APBD 2012
2012
APBD
bulan
Jumlah bulan penyaluran tetap 12 bulan
79
Sejak tahun 2008 Pemerintah melaksanakan penyaluran dana Transfer ke daerah dengan
pendekatan baru yang mengedepankan semangat untuk menjamin kepastian, kecepatan, akurasi,
Periode realisasi
III
Waktu
Penyaluran
Penyaluran
II
Besaran
Maret
alokasi
alokasi
Realisasi dikurangi
Juni
September
penyaluran Tw I dan
Tw II
IV
Realisasi dikurangi
Desember
penyaluran Tw I s/d
Tw III
V
Realisasi
dikurangi Februari
penyaluran Tw I s/d
Tw IV
Sumber : Kementerian Keuangan
Dengan pola yang rutin dan tetap tersebut, maka kebijakan counter balance
dalam managemen penyaluran DBH Migas dapat dipersepsikan tidak ada
keterlambatan penyaluran DBH Migas, dengan penjelasan : (1) hak yang
dibagikan meliputi waktu 12 bulan; (2) besaran dana yang disalurkan sesuai
80
realisasi; (3) pelaksanaan penyaluran dengan pola yang konsisten. Pola ini
dapat diacu oleh daerah dalam membukukan penerimaan yang bersumber
dari DBH Migas, yaitu penerimaan yang masuk ke kas daerah dalam satu
tahun, dibelanjakan pada tahun yang sama (dalam satu tahun anggaran,
bulan Januari s/d Desember) terdapat 5 kali penerimaan DBH Migas yang
masuk ke kas daerah pada bulan Februari, Maret, Juni, September dan
Desember. Dari pola ini dapat dipersepsikan bahwa tidak ada keterlambatan
dalam penyaluran DBH Migas.
hasil
pemantauan
dan
evaluasi
mengindikasikan
adanya
81
82
untuk
perhitungan
DBH
SDA
Pertambangan
umum
83
PORSI
%
UNTUK
KAB/KOTA KAB/KOTA LAIN
DAERAH PROV PENGHASIL DALAM PROV
80%
16%
64%
80%
80%
80%
16%
32%
32%
80%
26%
54%
85
86
87
dikenakan
kepada
perusahaan
perikanan
Indonesia
yang
yang
dipakai
untuk
menghitung
PPP
88
adalah:
Tabel 3.3
Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)
No.
Ukuran Kapal
Tarif
<50 DWT
US $ 500
50-100 DWT
US $ 1000
Dalam penghitungan ini hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah
jumlah kapal dan volume hasil produksi perikanan yang akan diekspor.
Tabel 3.4
Tarif Pungutan Pungutan Hasil Perikanan (PHP)
No.
Golongan Jenis
Udang
Tarif (%)
2
1.5
1
89
Iuran Produksi adalah iuran yang diberikan kepada negara atas hasil
yang diperoleh dari usaha pertambangan panas bumi.
Penerimaan Iuran Tetap dan Iuran Produksi ini dikenakan atas kontrak
pengusahaan panas bumi yang ditandatangani setelah berlakunya UU No.
27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
PNBP dari pertambangan panas bumi sampai dengan tahun 2011 (existing)
masih berasal dari Setoran Bagian Pemerintah yang ditempatkan pada
Rekening Panas Bumi nomor 508.000084 pada Bank Indonesia. Selain
untuk menampung penerimaan setoran bagian Pemerintah, rekening
tersebut juga digunakan untuk membayarkan pengeluaran kewajiban
Pemerintah terkait dengan kegiatan usaha panas bumi yaitu:
Pembayaran lainnya.
91
Gambar 3.9
Mekanisme Penetapan Alokasi DBH SDA
92
93
94
DAU = AD + CF
Dimana:
DAU = Dana Alokasi umum
AD
= Alokasi Dasar
CF
= Celah Fiskal
Dimana
CF = KbF KpF (celah fiscal merupakan selisih dari kebutuhan fiscal dan
kapasitas fiskal).
Dimana:
TBR
IP
IW
IPM
IKK
IPDRB/kapita
95
Kapasitas (KpF):
KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA
Keterangan :
BPHTB :
CHT
SDA
statistik
Pemerintah
dan/atau
lembaga
Pemerintah
yang
96
perbaikan penghasilan PNS antara lain kenaikan gaji pokok, gaji bulan
ke-13, formasi CPNSD tahun 2011, dan kebijakan-kebijakan lain terkait
penggajian. Adapun data dasar yang digunakan adalah data gaji induk
bulan Juni 2011 yang terdiri dari komponen Gaji Pokok, Tunjangan
Keluarga, Tunjangan Jabatan, Tunjangan PPh, Tunjangan Beras.
Untuk lebih mengoptimalkan peranan formula celah fiskal (CF) dalam
perhitungan DAU maka panja menyepakati untuk membatasi Porsi AD
terhadap DAU secara nasional sebesar 49% (empat puluh sembilan
persen) untuk provinsi dan 48% (empat puluh delapan persen)
untuk kabupaten/kota. Komponen Alokasi Dasar dalam DAU
tidak
97
Provinsi:
o Indeks Jumlah Penduduk (IP)
: 30%
: 13%
98
: 30%
: 15%
: 12%
Kabupaten/Kota:
o Indeks Jumlah Penduduk (IP)
: 30%
: 13%
: 40%
: 31%
: 15%
: 11%
luas perairan
99
Gambar 3.11
Formula umum DAU Menurut undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
100
Gambar 3.12
Pembagian DAU bagi Daerah Pemekaran
Alokasi Dasar
Belanja PNSD
Daerah Induk
(Persentase)
Belanja PNSD
Daerah Pemekaran
(Persentase)
Celah Fiskal
Dibagi secara proporsional
Luas Wilayah dan Jumlah
Penduduk Daerah Induk
(Persentase)
DAU Daerah
Induk
DAU Daerah
Pemekaran
101
103
104
A. KRITERIA UMUM
Sesuai dengan pasal 40 undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dinyatakan
bahwa alokasi DAK mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah
dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD
untuk membiayai kebutuhan-
kebutuhan dalam rangka pembangunan
daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja
pegawai. Dalam bentuk rumus, kriteria umum tersebut dapat ditunjukkan
pada beberapa persamaan di bawah ini:
Penerimaan Umum
Kemampuan
Belanja Pegawai
APBD
Keuangan Daerah
Daerah
= Belanja PNSD
Dimana:
PAD = Pendapatan Asli Daerah
APBD
DAU
PNSD
105
B. KRITERIA KHUSUS
Ditetapkan
dengan
memperhatikan
peraturan
perundang-undangan,
106
a. Daerah tertinggal
f. Daerah pariwisata
C. KRITERIA TEKNIS
Kriteria teknis dirumuskan oleh kementerian negara/departemen teknis
terkait. Kriteria teknis tersebut dicerminkan dengan indikator-indikator yang
dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana-prasarana pada
masing-masing bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK.
dan
sarana
107
b. SMP/SMPLB :
1) rehabilitasi ruang kelas (RK) rusak sedang dan berat,
2) membangun ruang kelas baru (RKB) untuk memenuhi kesenjangan
antara jumlah rombongan belajar (rombel) dengan jumlah RK yang
ada dan memenuhi target APK di tahun 2015;
3) membangun ruang perpustakaan beserta perabotnya; dan
4) membangun ruang belajar lainnya termasuk penyediaan alat
pendidikan untuk laboratorium IPA, komputer, bahasa, dan ruang
ketrampilan/serbaguna
Indikator Teknis
a. SD
1) Jumlah Ruang Kelas Rusak Sedang
2) Jumlah Ruang Kelas Rusak Berat
3) Jumlah SD yang Belum Memiliki Perpustakaan
4) Angka Partisipasi Murni (APM) SD
b. SMP
1) Jumlah ruang belajar rusak sedang SMP/SMPLB
2) Jumlah ruang belajar rusak berat SMP/SMPLB
3) Jumlah SMP/SMPLB yang belum memiliki perpustakaan
4) Jumlah ruang kelas baru (RKB) yang masih dibutuhkan sekolah
5) Jumlah ruang belajar lain (RBL) yang masih dibutuhkan sekolah
6) Jumlah SMP/SMPLB yang masih membutuhkan alat laboratorium
IPA
108
meliputi pemenuhan
109
Indikator Teknis
a. Pelayanan Dasar
1) Jumlah poskesdes, Jumlah Desa dan Usulan Poskesdes
2) Jumlah Puskesmas, jumlah penduduk, usulan puskesmas
3) Jumlah Puskesmas PONED, usulan puskesmas PONED
4) IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat)
5) Luas Wilayah
b. Pelayanan Rujukan Provinsi dan Kab/kota
1) BOR Klas III
2) Sarana prasarana PONEK RS
3) Sarana Prasarana Pelayanan Darah
4) Sarana Prasarana IGD RS di RS Pemerintah type D
c. Farmasi
1) Jumlah penduduk miskin data jamkesmas Th 2011
2) Jumlah penduduk
3) Anggaran Obat dan Perbekkes APBD 2 Th 2011
4) Prediksi sisa stok obat s/d Desember 2011
5) Kondisi sarana prasarana Instalasi Farmasi
6) Kondisi sarana prasarana pendukung Instalasi Farmasi
110
peningkatan
sambungan
rumah
untuk
masyarakat
Indikator Teknis
a. Bidang Infrastruktur Jalan
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
111
1) Panjang Jalan
2) Panjang Jalan Kondisi Tidak Mantap
3) Luas Wilayah
4) Jumlah Penduduk
5) Besaran APBD Pembangunan tahun berjalan
6) Alokasi sektor Jalan (di luar DAK)
7) Pelaporan
b. Bidang Infrastruktur Irigasi
1) Luas Daerah Irigasi
2) Kondisi Daerah Irigasi
3) Rata-rata produksi pada sawah
4) Luas Wilayah
5) Besaran APBD Pembangunan tahun berjalan
6) Alokasi sektor Irigasi (di luar DAK)
7) Pelaporan
c. Bidang Infrastruktur Air Minum
1) Jumlah Desa/Kelurahan Rawan Air Bersih
2) Jumlah Penduduk Miskin
3) Cakupan Air Minum
4) Besaran APBD Pembangunan tahun berjalan
5) Alokasi sektor Air Minum (di luar DAK)
6) Pelaporan
d. Bidang Infrastruktur Sanitasi
1) Jumlah Desa/Kelurahan Rawan Sanitasi
112
Indikator Teknis
a. Provinsi
1) Produksi Tangkap
2) Panjang Pantai
3) Jumlah Nelayan
b. Kab/Kota
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
113
prasarana
untuk
dan
sarana
Tanaman
Balai
Pangan/Hortikultura/Perkebunan/
Peternakan;
114
Perbenihan/Perbibitan
g. pembangunan/rehabilitasi
Pusat/Pos/Klinik
Pelayanan
Kesehatan
air,
pembangunan
laboratorium
bergerak,
dan
kendaraan
Indikator Teknis
a. Kepadatan penduduk
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
115
Indikator Teknis
a. Indeks Penyuluh KB / Petugas Lapangan KB
b. Indeks Pengendali Petugas Lapangan KB
c. Indeks Jumlah Desa / Kelurahan
d. Indeks Jumlah Kecamatan
e. Indeks Klinik KB
Indikator Teknis
a. Kab/ Kota
1) Luas Wilayah
2) Luas Hutan Mangrove
3) Luas Lahan Kritis
4) Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan
5) Luas Hutan Lindung
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
117
Indikator Teknis
a. Pembangunan, Perluasan dan Renovasi Pasar Tradisional :
1) Jumlah desa yang tdk memiliki pasar permanen/semi permanen pd
jarak < 3 km
118
119
11. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Perumahan dan Kawasan
Permukiman
Lingkup Kegiatan
Membantu daerah dalam mendanai kebutuhan fisik infrastruktur perumahan
dan permukiman dalam rangka mencapai Standar Pelayanan Minimum
(SPM) meliputi :
a. penyediaan sarana dan prasarana air minum,
b. sarana septik tank komunal,
c. tempat pengolahan sampah terpadu (TPST),
d. jaringan distribusi listrik, dan
e. penerangan jalan umum.
Indikator Teknis
a. Indeks Backlog Perumahan
b. Indeks Kemiskinan
c. Indeks Kesiapan Lokasi Perumahan dan Permukiman :
1) Sub Indeks Perda Tata Ruang (RTRW)
2) Sub Indeks Bantuan Stimulan PSU Kemenpera
3) Sub Indeks Pembangunan Rumah Tahun 2012
4) Sub Indeks Rawan Air Minum dan atau Sanitasi
d. Indeks Rencana Pembangunan Rumah per Kab/Kota2012
120
Indikator Teknis
a. Rasio elektrifikasi kabupaten kota (pada propinsi yang mempunyai rasio
elektrifikasi dibawah 50%)
b. Harga BPP Listrik per propinsi
13. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Sarana dan Prasarana
Kawasan Perbatasan
Lingkup Kegiatan
Pembangunan jalan/peningkatan kondisi permukaan jalan non-status yang
menghubungkan kecamatan perbatasan prioritas dengan pusat kegiatan
disekitarnya.
Indikator Teknis
a. Panjang Garis Batas Kecamatan Perbatasan
b. Jumlah Desa Wilayah Perbatasan
c. Luas Wilayah Perbatasan
d. Jumlah Penduduk di Kecamatan Perbatasan
121
Indikator Teknis
a. Indeks Kebutuhan Prasarana Angkutan yaitu Rasio jumlah desa bukan
aspal / jumlah desa moda transport darat
b. Indeks Kebutuhan Sarana Angkutan yaitu rata-rata waktu tempuh per
km dari desa ke kecamatan
c. Indeks Karakteristik Kewilayahan yaitu rasio jumlah desa pertanian,
jasa dibagi total jumlah desa
d. Kawasan Strategis Cepat Tumbuh
Indikator Teknis
122
16. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Sarana dan Prasarana
Daerah Tertinggal
Lingkup Kegiatan
Penyediaan
moda
transportasi
darat/perairan
untuk
meningkatkan
dermaga kecil atau tambatan perahu di wilayah pesisir yang tidak ditangani
Kementerian
Perhubungan;
penyediaan/pembangunan
pembangkit
Indikator Teknis
a. Indeks Infrastruktur
- Indeks Jalan
- Indeks Moda Transportasi
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
123
dapat
IFN<1
UU & PP
Y
IFN + IKW
IFW > 1
IFW + IT
IFWT > 1
LAYAK
Bobot DAK
BD = IFWT x IKK
Alokasi DAK per Bidang
ABD=BD x Pagu per Bidang
Alokasi DAK
(AD) = (ADB1) + (ADB2) + (ADBn)
Dari Gambar 3.14 di atas, terdapat serangkaian proses yang harus dilalui,
baik dalam menentukan daerah tertentu yang menerima DAK maupun
dalam menentukan besaran alokasi masing-masing daerah.
124
alokasi
untuk
masing-masing
bidang
dan
masing-masing
125
B. Penganggaran
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan yang dapat dibiayai dari DAK,
Menteri Teknis menetapkan Petunjuk Teknis pelaksanaan kegiatan DAK
untuk masing-masing bidang. Selanjutnya, pelaksanaan kegiatan yang
126
127
D. Pelaporan
Daerah
menyampaikan
laporan
triwulanan
yang
memuat
laporan
129
dengan
menyempurnakan
130
amanat
bagan
undang-undang
akun
standar
tersebut,
Menteri
dalam
Keuangan
upaya
telah
131
Penyaluran
triwulan
IV
didasarkan
pada
selisih
antara
132
133
yaitu bulan April sebesar 25%, bulan Agustus sebesar 50% dari alokasi
sementara, dan bulan November tahun anggaran berjalan.
rencana
penerimaan
yang
ditetapkan,
20% dari pagu perkiraan alokasi DBH SDA migas, panas bumi, dan
pertambangan umum;
15% dari pagu perkiraan alokasi DBA SDA kelautan dan perikanan;
b. Triwulan II sebesar :
-
20% dari pagu perkiraan alokasi DBA SDA migas dan panas bumi;
135
Peraturan
Menteri
Keuangan
tentang
Pelaksanaan
136
Tahap II sebesar 45 persen dari alokasi, dilaksanakan selambatlambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah Laporan Realisasi
Penyerapan DAK Tahap I diterima oleh Dirjen Perimbangan
Keuangan, dan
Tahap III sebesar 25 persen dari alokasi, dilaksanakan selambatlambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah Laporan Realisasi
Penyerapan DAK Tahap II diterima oleh Dirjen Perimbangan
Keuangan.
137
138
c.
139
tentang
Pedoman
Umum
dan
Alokasi
Bantuan
Tunjangan Profesi Guru PNSD disalurkan secara triwulanan, yaitu masingmasing sebesar 25% dari pagu alokasi per daerah, yang dilaksanakan pada
bulan Maret, Juni, September dan Desember.
Penyaluran triwulan I dilaksanakan setelah Daerah menyampaikan
Laporan Realisasi Pembayaran TPG PNSD semester II tahun anggaran
140
141
142
tempat ibadah dan sekolah, (ii) hutan lindung dan suaka, dan (iii) kantor
perwakilan diplomatik dan organisasi internasional lainnya. Secara sektoral,
objek PBB terdiri dari 5 sektor, yakni sektor perdesaan, sektor perkotaan,
sektor perkebunan, sektor kehutanan, dan sektor pertambangan. PBB
sektor pertambangan mencakup pertambangan minyak bumi gas bumi dan
panas bumi (PBB Migas dan panas bumi), dan pertambangan umum.
Diantara lima sektor PBB tersebut, PBB sektor pertambangan Migas dan
panas bumi mempunyai karateristik yang agak berbeda, antara lain karena
adanya beberapa hal sebagai berikut:
1. Objek yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak selain berada di
permukaan daratan, perairan dan juga pada tubuh bumi.
2. PBB Migas dan panas bumi disetor oleh pengusaha penambangan
migas dan panas bumi bersamaan dengan setoran bagian pemerintah
atas nilai penjualan migas dan panas bumi. Sehingga untuk
memisahkan nilai pembayaran PBB Migas dan Panas Bumi, Pemerintah
harus melakukan pemindahbukuan dari rekening penerimaan Migas
dan Panas Bumi ke rekening bank persepsi yang ditunjuk untuk
membukukan Penerimaan Negara dari Pajak.
3. PBB Migas dari permukaan perairan dan tubuh bumi dibagihasilkan
kepada seluruh kabupaten/kota berdasarkan pembagian objek PBB
Migas pada saat penerbitan dokumen Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT).
4. Secara nominal nilai PBB Migas dan panas bumi jauh lebih besar
dibandingkan dengan nilai PBB dari sektor perdesaan, perkotaan,
perkebunan, dan juga kehutanan, sehingga DBH PBB Migas dan panas
143
144
oleh Subjek Pajak, (iii) pemanfaatan tanah oleh Subjek Pajak, dan (iv)
kondisi lingkungan. Permukaan bumi yang dikenakan PBB Migas meliputi
areal daratan (onshore) dan areal perairan lepas pantai (offshore), yang
digunakan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan Migas
dan panas bumi. Sedangkan klasifikasi bangunan yang dikenakan pajak
memperhatikan faktor : (i) kuantitas dan kualitas bahan bangunan yang
digunakan, (ii) proses rekayasa/teknik arsitektur yang mempenguhi nilai
bangunan, (iii) letak bangunan, (iv) dan kondisi lingkungannya. Bangunan
yang dikenakan PBB meliputi konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap di areal onshore atau areal offshore.
Pelaksanaan kegiatan pertambangan Migas dan panas bumi, dilakukan
oleh perusahaan penambang yang melakukan kontrak karya dengan
pemerintah Indonesia atau KKKS. Berdasarkan data dari Badan Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), jumlah KKKS
yang melakukan kegiatan eksploitasi (produksi) di Indonesia saat ini
adalah sebanyak 73 perusahaan dan yang melakukan kegiatan eksplorasi
sebanyak 172 perusahaan. Selain itu terdapat pula 42 perusahaan
penambang gas bumi yang berasal dari gas metan batubara (coal bed
methans, CBM). Sesuai dengan dokumen kontrak kerjasama, perusahaanperusahaan tersebut diberikan kewenangan/hak atas bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi. Apabila dalam rangka kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi Migas dan panas bumi perusahaan tersebut membangun
konstruksi fisik, maka bangunan tersebut juga termasuk dimiliki, dikuasai,
diperoleh manfaatnya oleh perusahaan penambang. Karena mempunyai
kewenangan atas bumi dan bangunan yang terkait dengan eksplorasi
dan eksploitasi Migas dan panas bumi, perusahaan penambang tersebut
145
146
147
PBB Migas dan panas bumi. Karena sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam UU Migas dan Kontrak Kerjasama, perusahaan KKKS dan
pengusaha panas bumi mempunyai kewajiban untuk menyetor bagian
pemerintah atas hasil penjualan Migas dan panas bumi ke rekening
Migas pada bank sentral. Setoran tersebut didalamnya sudah termasuk
Pajak-pajak seperti PPN dan PBB, Bea masuk, serta Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
2. Untuk perusahaan KKKS yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi
setelah berlakunya PP Nomor 79 tahun 2010, dapat melakukan
pembayaran PBB Migas dengan cara menyetor langsung ke rekening
penerimaan negara yang ditentukan.
Pembayaran PBB Migas dan panas bumi untuk KKKS dan pengusaha
panas bumi yang melakukan kontrak kerjasama sebelum adanya PP Nomor
79 tahun 2010, dilakukan melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Direktorat
Jenderal
Pajak,
selaku
unit
yang
bertugas
149
3.1.7.3. Alokasi dan Penyaluran DBH PBB Migas dan Panas Bumi
PBB Migas dan panas bumi dibagi kepada daerah penghasil maupun non
daerah penghasil Migas dan panas bumi. Pembagian dilakukan melalui
pengalokasian DBH PBB Migas dan panas bumi pada setiap awal tahun
anggaran yang perhitungannya dilakukan berdasarkan rencana penerimaan
PBB Migas dan panas bumi yang di-split objeknya ke seluruh kabupaten/
kota. Mekanisme perhitungan alokasi DBH PBB Migas dan panas bumi
adalah sebagai berikut:
150
151
PBB Migas dan panas bumi merupakan penerimaan negara yang bukan
hanya digunakan sebagai penentu dalam perhitungan alokasi DBH
PBB Migas dan panas bumi, namun juga digunakan sebagai komponen
pengurang dalam perhitungan alokasi DBH SDA Migas dan panas bumi.
Alokasi DBH SDA migas dihitung berdasarkan penerimaan negara bukan
pajak (PNBP) dari sektor migas. PNBP yang digunakan untuk menghitung
DBH SDA Migas tersebut adalah produksi minyak yang terjual (lifting)
dan produksi gas yang terjual dari masing-masing Kontraktor Kontrak
Kerjasama (KKKS) setelah dikurangi dengan beberapa faktor pengurang,
yaitu Domestic Market Obligation (DMO), Fee Usaha Hulu Migas, Pajakpajak yakni PPN dan PBB, Bea masuk serta Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. PNBP Migas per KKKS yang telah dikurangi dengan beberapa
faktor pengurang tersebut digunakan untuk menghitung rincian PNBP Migas
per daerah.
Acuan daftar daerah yang digunakan dalam perhitungan DBH SDA Migas
adalah ketetapan daerah penghasil yang dikeluarkan oleh Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral setelah memperhatikan lokasi sumur
migas dari masing-masing KKKS. Berdasarkan PNBP Migas per daerah,
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan alokasi
DBH SDA Migas dengan prosentase pembagian yang ditetapkan dalam
UU Nomor 33 tahun 2004 dan PP Nomor 55 tahun 2005, yaitu bahwa 85%
dari PNBP per daerah adalah bagian pemerintah pusat dan 15% lainnya
merupakan bagian dari pemerintah Daerah. Bagian pemerintah daerah
sebesar 15% tersebut, dibagi kepada kabupaten/kota penghasil migas
sebesar 6%, kabupaten/kota nonpenghasil migas 6%, dan provinsi yang
bersangkutan 3%.
153
DBH SDA Migas pada dasarnya dihitung berdasarkan PNBP Migas yang
dihasilkan oleh masing-masing KKKS. Alokasi DBH SDA Migas kepada
daerah penghasil ditentukan oleh kemampuan KKKS dalam menghasilkan
lifting migas. Sedangkan penetapan daerah penghasil migas ditentukan
berdasarkan lokasi sumur migas KKKS yang menghasilkan migas terjual.
Daerah yang mempunyai sumur migas berhak mendapatkan bagian DBH
SDA Migas yang lebih besar, dan sebaliknya daerah nonpenghasil hanya
akan mendapatkan alokasi yang lebih kecil dibandingkan dengan daerah
penghasil. Sementara dari sisi perpajakan, PBB Migas dikenakan terhadap
objek PBB Migas yang dimiliki, dikuasai, dan dimanfaatkan oleh KKKS,
baik yang sudah menghasilkan maupun yang belum menghasilkan lifting
migas. Dalam rangka alokasi DBH SDA Migas, PBB Migas yang digunakan
sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PNBP Migas adalah PBB
Migas per KKKS yang sudah menghasilkan lifting Migas. PBB Migas dari
KKKS yang belum menghasilkan lifting Migas tidak digunakan sebagai
faktor pengurang. Hal ini mengakibatkan bahwa secara nasional jumlah
PBB Migas yang digunakan sebagai dasar perhitungan DBH PBB Migas
lebih besar dibandingkan dengan yang digunakan sebagai dasar untuk
perhitungan DBH SDA Migas. Selain itu daerah penerima alokasi DBH PBB
Migas juga lebih banyak dibandingkan dengan daerah penerima alokasi
DBH SDA Migas.
155
156
dengan
kondisi
daerah
masing-masing,
munculnya
157
158
adanya
penurunan
kemacetan,
serta
untuk
meningkatkan
Penerimaan Asli Daerah (PAD). Bagi Pemerintah Pusat, kenaikan tarif PBBKB tersebut untuk jangka panjang akan mengurangi beban subsidi dengan
asumsi penggunaan BBM bersubsidi (bensin dan minyak solar) menurun
akibat adanya kenaikan harga.
Dalam kondisi tertentu, sesuai UU 28/2009, Pemerintah diberikan
kewenangan untuk mengintervensi tarif PBB-KB yang telah ditetapkan
oleh daerah dengan menerbitkan Peraturan Presiden. Penetapan tarif
oleh Pemerintah dilakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
Kewenangan Pemerintah untuk mengubah tarif PBB-KB tersebut dilakukan
dalam hal:
1. terjadi kenaikan harga minyak dunia melebihi 130 persen dari asumsi
harga minyak dunia yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan. Bila harga
minyak dunia sudah kembali normal, Peraturan Presiden dicabut dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.
2. diperlukan stabilisasi harga bahan bakar minyak untuk jangka waktu
paling lama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya UU 28/2009. Ketentuan
ini diperlukan untuk menghindari gejolak sosial akibat adanya
kemungkinan perbedaan harga BBM antardaerah.
Berdasarkan data yang ada, sampai dengan tanggal 20 Maret 2012,
dari 33 Pemerintah Provinsi yang telah menetapkan Perda tentang PBBKB, sebanyak 14 daerah menetapkan tarif sebesar 5 persen, 13 daerah
sebesar 7,5 persen dan 6 daerah sebesar 10 persen. Data daerah yang
telah menetapkan Perda tentang PBB-KB selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel. 3.5 di bawah.
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
159
Tabel 3.5
Tarif PBB-KB Berdasarkan Perda Provinsi
No.
Pemerintah Provinsi
Tarif PBB-KB
Aceh
5%
Sumatera Utara
10%
Sumatera Barat
5%
Riau
5%
Jambi
7,5%
Sumatera Selatan
7,5%
Bengkulu
5%
Lampung
7,5%
5%
10
Kepulauan Riau
10%
11
DKI Jakarta
5%
12
Jawa Barat
5%
13
Jawa Tengah
5%
14
5%
15
Jawa Timur
10%
16
Banten
5%
17
Bali
10%
18
10%
19
10%
20
Kalimantan Barat
7,5%
21
Kalimantan Tengah
7,5%
22
Kalimantan Selatan
7,5%
23
Kalimantan Timur
7,5%
24
Sulawesi Utara
5%
25
Sulawesi Tengah
7,5%
26
Sulawesi Selatan
7,5%
27
Sulawesi Tenggara
7,5%
160
No.
Pemerintah Provinsi
Tarif PBB-KB
28
Gorontalo
5%
29
Sulawesi Barat
7,5%
30
Maluku
7,5%
31
Maluku Utara
7,5%
32
Papua Barat
5%
33
Papua
5%
Mengingat saat ini harga jual eceran jenis BBM tertentu, antara lain,
bensin (gasoline) RON 88 dan minyak solar (gas oil) masih disubsidi oleh
Pemerintah, peningkatan tarif PBB-KB yang ditetapkan oleh daerah tersebut
di satu pihak akan meningkatkan PAD, namun di lain pihak dapat berdampak
terhadap peningkatan subsidi BBM. Dalam rangka mengendalikan beban
subsidi dan stabilitasi harga BBM, Pemerintah mengambil kebijakan
mengubah tarif PBB-KB dengan menetapkan Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Tarif PBB-KB. Peraturan Presiden
tersebut mengubah tarif PBB-KB yang telah ditetapkan dalam Perda
Provinsi menjadi sebesar 5 persen dan berlaku sampai dengan tanggal 15
September 2012. Dengan demikian, mulai tanggal 16 September 2012, tarif
PBB-KB yang berlaku adalah sebagaimana ditetapkan dalam Perda.
Berkaitan dengan akan berakhirnya masa berlaku Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2011, Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan/regulasi
yang selaras dengan UU 28/2009 dengan mempertimbangkan dampak
tarif PBB-KB terhadap fiskal, inflasi, dan sosial. Pemerintah juga perlu
mencermati tren harga minyak mentah di pasar dunia yang semakin
meningkat. Kebijakan penetapan tarif PBB-KB seragam sebesar 5 persen
oleh Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor
161
yang
memadai
sekaligus
penyediaan
alternatif
moda
162
163
berdasarkan teori, property tax lebih bersifat lokal (local origin), visibilitas,
objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile), dan terdapat hubungan erat
antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut (the benefit
tax-link principle). Kedua, pengalihan kedua jenis pajak tersebut diharapkan
akan meningkatkan PAD dan sekaligus memperbaiki struktur APBD. Ketiga,
untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (public services), akuntabilitas,
dan transparasi dalam pengelolaan BPHTB dan PBB-P2. Keempat, bahwa
berdasarkan praktek di berbagai negara, BPHTB dan PBB-P2 termasuk
dalam jenis local tax.
Diserahkannya pemungutan BPHTB dan PBB-P2 kepada daerah, tidak
hanya sekedar untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam memenuhi
kebutuhan pengeluarannya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan,
namun juga untuk lebih mengefektifkan pengelolaan BPHTB dan PBBP2. Pemerintah Daerah tentunya lebih memahami karakteristik daerahnya
dan mengetahui apa yang terbaik yang akan dilakukan bagi masyarakat
setempat. Singkatnya dengan dialihkannya BPHTB dan PBB-P2 menjadi
pajak daerah diharapkan pelayanan kepada Wajib Pajak akan menjadi lebih
baik, efektif, efisien dan akuntabel.
Agar kualitas layanan kepada Wajib Pajak dan stakeholder tetap terjaga
selama masa peralihan, maka proses dalam masa peralihan menjadi hal
yang paling penting untuk dipikirkan dan direncanakan secara cermat. Kunci
sukses pelaksanaan devolusi BPHTB dan PBB-P2 kepada Pemerintah
Daerah, antara lain adalah:
1. Proses peralihan kewenangan pemungutan BPHTB dan PBB-P2
berjalan lancar (smooth) dengan harga (cost) yang minimal, baik untuk
pihak yang mengalihkan maupun pihak yang menerima pengalihan;
164
165
166
Daerah
Prosentase (%)
Penerimaan BPHTB
Jumlah
Penerimaan
2010 (Rp)
Daerah
BPHTB 2010
474
8.017.682.511.780
96,3
99,991
siap
2. Raperda (dalam
18
733.888.146
3,7
0,009
proses)
3. Belum menyusun
0,0
0,0
492
8.018.416.399.926
100
100
1.
Raperda
Total
167
Sedangkan
Kabupaten
Kerinci
dan
Kabupaten
Sarolangun
Tabel 3.7
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 (Daerah Tertentu)
No
Tabel 3.7
Daerah
Nomor dan
Penerimaan BPHTB
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 (Daerah Tertentu)
Tahun 2010
Tahun 2011
Tahun Perda
1.
Perda 18/2010
2.
Kota Palembang
Perda 1/2011
328,960,804,265
74,946,134,964
(77.22)
Kota Medan
Perda 1/2011
201,296,912,754
254,217,144,359
26.29
Kota Semarang
Perda 2/2011
154,359,578,638
154,291,807,387
(0.04)
Kota Depok
Perda 07/2010
140,356,172,434
117,351,949,865
(16.39)
Kota Batam
Perda 1/2011
130,925,385,000
155,402,406,174
18.70
1.
3.
2.
3.
4.
4.
5.
5.
6.
6.
7.
7.
8.
8.
9.
10.
9.
11.
10.
12.
13.
11.
14.
12.
15.
13.
16.
17.
14.
18.
15.
19.
20.
21.
168
22.
23.
24.
25.
26.
27.
2,529,429,323,126 2,988,908,444,409
%
18.17
Kota Pekanbaru
Perda 4/2010
40,743,083,985
68,670,971,803
68.55
Kota Yogyakarta
Perda 8/2010
30,572,531,195
45,610,273,626
49.19
Perda 1/2011
29,315,256,500
39,288,758,264
34.02
Kota Padang
Perda 1/2011
19,824,105,987
14,748,363,377
(25.60)
Kota Jambi
Perda 10/2010
13,890,943,976
18,500,000,000
33.18
Kota Kendari
Perda 5/2010
9,582,354,208
10,311,619,867
7.61
Kota Tegal
Perda 1/2011
6,255,397,091
8,788,124,540
40.49
Perda 3/2011
4,405,813,530
5,150,434,236
16.90
Perda 12/2010
3,601,482,791
4,136,278,342
14.85
Kota Mojokerto
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
1.
18.
2.
19.
3.
20.
4.
No
21.
5.
22.
6.
23.
7.
16.
24.
8.
17.
25.
9.
26.
10.
18.
27.
11.
19.
28.
12.
29.
13.
20.
30.
14.
21.
31.
15.
32.
22.
16.
33.
17.
23.
34.
18.
24.
35.
19.
36.
20.
25.
37.
21.
26.
38.
22.
39.
23.
27.
40.
24.
28.
41.
25.
29.
42.
26.
43.
27.
30.
44.
28.
31.
45.
29.
46.
30.
32.
47.
31.
33.
48.
32.
49.
34.
33.
50.
34.
35.
51.
35.
36.
52.
36.
53.
37.
37.
54.
38.
38.
55.
39.
56.
40.
39.
57.
41.
40.
58.
42.
41.
59.
43.
60.
44.
42.
61.
45.
43.
62.
46.
63.
47.
44.
64.
48.
45.
65.
66.
46.
Tabel 3.7
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 (Daerah Tertentu)
Daerah
Nomor dan
Tahun Perda
Penerimaan BPHTB
Tahun 2010
Tahun 2011
Kota Magelang
Perda 9/2010
3,095,756,852
2,889,205,213
(6.67)
Perda 2/2011
56,263,594,981
54,413,522,668
(3.29)
Perda 14/2010
49,190,514,144
49,427,864,663
0.48
Kab. Sleman
Kab. Gresik
Perda 2/2011
43,677,407,599
73,028,382,302
67.20
Perda 1/2011
42,516,539,040
57,342,473,655
34.87
Kab. Cianjur
Perda 2/2011
24,388,118,837
24,606,285,868
0.89
Kab. Sukoharjo
Perda 10/2010
19,867,470,795
17,311,116,917
(12.87)
Kab. Bantul
Perda 9/2010
15,529,119,154
15,676,962,927
0.95
Kab. Banyuasin
Perda 8/2011
13,683,078,335
3,893,457,217
(71.55)
Kab. Pati
perda 1/2011
6,513,059,133
12,543,202,742
92.59
Kab. Sumedang
Perda 8/2010
6,029,444,750
5,258,594,026
(12.78)
Kab. Karimun
Perda 19/2010
5,604,440,131
3,126,397,673
(44.22)
Kab. Kendal
Perda 11/2011
5,052,387,998
4,415,114,450
(12.61)
Kab. Bungo
Perda 6/2011
4,183,687,716
1,142,300,813
(72.70)
Kab. Sarolangun
Perda 8/2010
4,014,985,757
539,450,321
(86.56)
Perda 2/2011
3,382,726,212
4,349,381,675
28.58
Perda 12/2010
3,113,140,043
1,638,994,779
(47.35)
Kab. Lamongan
Kab. Pekalongan
Perda 10/2010
2,874,741,998
884,459,234
(69.23)
Kab. Madiun
Perda 12/2010
2,259,366,628
1,862,588,950
(17.56)
Kab. Bengkalis
Perda 2/2011
Perda 9/2010
2,063,184,826
13,052,021,575
Pelengkap
Buku Pegangan
Tahun 2012 532.62
1
1,961,072,095
1,681,820,836 (14.24)
Kab. Sorong
Perda 5/2011
1,484,577,100
2,920,598,940
Kab. Batanghari
96.73
Perda 3/2011
1,460,276,110
2,014,092,497
37.93
Perda 15/2010
1,336,683,439
812,205,285
(39.24)
Perda 1/2011
1,304,269,364
1,382,089,562
5.97
Kab. Dharmasraya
Perda 13/2010
1,294,246,978
425,165,641
(67.15)
Kab. Lahat
Perda 3/2011
1,159,500,107
557,206,046
(51.94)
Kab. Sumbawa
Perda 33/2010
1,090,812,116
472,611,868
(56.67)
Perda 12/2011
963,156,929
1,040,475,776
8.03
Perda 3/2010
596,388,324
3,962,154,890
564.36
Perda 10/2010
521,920,000
8,110,587,556 1,453.99
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2012
1
169
49.
50.
51.
52.
53.
54.
Tabel 3.7
55.
56.
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 (Daerah Tertentu)
57.
58.
No
Daerah
Nomor dan
dan
Penerimaan BPHTB
BPHTB
%
59.
No
Daerah
Nomor
Penerimaan
%
60.
Tahun 2010
2010
Tahun 2011
2011
Tahun Perda
Perda
61.
1.
Tahun
Tahun
Tahun
62. Kab. Hulu Sungai Perda 3/2011
2.
47.
495,557,887
5,160,680,027 941.39
50.
Timor Tengah
Perda 7/2011
240,589,947
65,755,100 (72.67)
63. Kab.
3.
Selatan
selatan
64.
4.
48.
Kab. Kerinci
Barito Utara
Perda17/2011
1/2011
457,254,128
309,079,700
(32.41)
65. Kab.
5.
51.
Perda
150,953,884
500,000 (99.67)
66.
6.
49. Kab.
Kab. Tanjung
Jabung Perda
Perda 2/2011
6/2011
443,549,675
3,727,334,328
740.34
52.
Bangka selatan
119,387,000
60,164,935 (49.61)
7. Barat
8.
Sumber:
JenderalPerda
Perimbangan
dan Direktorat Jenderal
Pajak (72.67)
9. Kab.Direktorat
50.
Timor Tengah
7/2011 Keuangan
240,589,947
65,755,100
10. Selatan
11. Kab. Kerinci
51.
Perda 17/2011
150,953,884
500,000 (99.67)
12.
52.
Kab.
Bangka
Selatan
Perda
2/2011
119,387,000
60,164,935
(49.61)
13.
B.14. PELAKSANAAN PENGALIHAN PBB-P2
15.
Sumber:
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak
sesuai
dengan uu28/2009, PBB-P2 dialihkan secara bertahap sampai
16.
17.
dengan
31 Desember 2013. Pengalihan kewenangan tersebut meliputi
18.
19.
B.20. PELAKSANAAN
PENGALIHAN
PBB-P2
seluruh
proses administrasi
pemungutan
pajak mulai dari pendataan sampai
21.
dengan
pembayaran
dan pengajuan
Pengalihan
22.
Sesuai
dengan
UU28/2009,
PBB-P2keberatan
dialihkanpajak.
secara
bertahap tersebut
sampai
23.
menuntut
pemerintah
daerah
untuk
mempersiapkan
langkah-langkah
yang
24.
dengan
31 Desember 2013. Pengalihan kewenangan tersebut meliputi
25.
diperlukan
sehingga
dapatpemungutan
meningkatkan
penerimaan
pajak daerahnya.
26.
seluruh
proses
administrasi
pajak
mulai dari pendataan
sampai
27.
Pengalihan
PBB-P2
didesain
tidak
dilakukan
serentak
pada
seluruh
28.
dengan
pembayaran dan pengajuan keberatan pajak. Pengalihan tersebut
29.
Pemerintah
Daerah. Hal
ini dilakukan
supaya proses
pengalihan tersebut
menuntut
pemerintah
daerah
untuk mempersiapkan
langkah-langkah
yang
30.
31.
benar-benar
dipersiapkan
oleh
Pemerintah
Daerah,
baik
dari
sisi
peraturan
diperlukan
sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajak daerahnya.
32.
33.
pelaksanaan
yang menjadi
payung
perangkat
lunak
danseluruh
keras,
Pengalihan
PBB-P2
didesain
tidak hukum,
dilakukan
serentak
pada
34.
35.
dan
sumber Daerah.
daya manusia
akan mengelolanya,
pengalihan
Pemerintah
Hal iniyang
dilakukan
supaya proses sehingga
pengalihan
tersebut
36.
37.
PBB-P2
tidakdipersiapkan
menimbulkan
baru yang
wajib
benar-benar
olehpermasalahan
Pemerintah Daerah,
baik membebani
dari sisi peraturan
38.
39.
pajak
dan Pemerintah
Daerah.
pelaksanaan
yang menjadi
payung hukum, perangkat lunak dan keras,
40.
41.
dan
daya
manusia menerima
yang akan pengalihan
mengelolanya,
sehingga
pengalihan
Dalam
rangka
persiapan
memungut
42. sumber
Pelengkap Bukukewenangan
Pegangan
Tahun 2012
2
43.
PBB-P2
tidak menimbulkan
permasalahan
baru yang
membebani
wajib
PBB-P2,
sesuai
dengan Peraturan
Bersama Menteri
Keuangan
dan Menteri
44.
45.
pajak
dan
Pemerintah
Dalam
Negeri
Nomor:Daerah.
213/PMK.07/2010 dan Nomor: 58 Tahun 2010
46.
47.
tentang
Tahapan
Persiapan
Pengalihan
PBB-P2 kewenangan
sebagai Pajak
Daerah,
Dalam
rangka
persiapan
menerima
pengalihan
memungut
48.
sesuai
amanat
182
angka 1 Bersama
uu Nomor
28 Tahun
2009, dan
Pemerintah
PBB-P2,
sesuaiPasal
dengan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Menteri
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2012
170
170
171
Tabel 3.8
Kesiapan Daerah dalam memungut PBB-P2
(Posisi: 20 April 2012)
Jumlah
No.
Kesiapan Daerah
Daerah
Prosentase (%)
Penerimaan PBB-
Jumlah
Penerimaan
P2 2010 (Rp)
Daerah
PBB-P2 2010
2.
188 5.718.348.452.823
26
350.870.824.187
38,2
5,3
75,3
4,6
3.
proses)
Belum menyusun
278 1.529.102.193.372
56,5
20,1
492 7.598.321.470.382
100
100
1.
Raperda
Total
173
dan dunia usaha mengenai jenis pungutan daerah yang wajib dibayar, serta
meningkatkan efisiensi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Dengan closed-list system, pemerintah daerah hanya dapat memungut
jenis pajak daerah yang tercantum dalam undang-undang. Untuk retribusi
daerah, dengan peraturan pemerintah masih dibuka kemungkinan dan
peluang untuk dapat menambah jenis retribusi daerah selain yang telah
ditetapkan sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam
undang-undang. Dengan kebijakan closed-list system tersebut, Pemerintah
Daerah diharapkan akan lebih fokus dalam mengelola pajak daerah dan
retribusi daerah yang ditetapkan dalam UU.
Salah satu maksud dibukanya peluang untuk menambah jenis retribusi
daerah adalah untuk mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan
perizinan dari Pemerintah kepada daerah. Selain itu, peluang untuk
menambah jenis retribusi daerah ini juga dapat dijadikan sebagai instrumen
kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi Pemerintah. Salah
satu permasalahan yang menjadi isu nasional adalah kemacetan lalu lintas
di berbagai kota besar.
Kemacetan lalu lintas terutama di kota-kota besar bukan merupakan
masalah yang berdiri sendiri. Pertumbuhan kendaraan bermotor merupakan
dampak langsung dari kemajuan ekonomi masyarakat. Sejalan dengan
kemajuan dan pertumbuhan ekonomi tersebut, kepemilikan kendaraan
pribadi terus meningkat. Pada kondisi ini, kemudian jumlah kendaraan yang
beredar di jalan makin bertambah, sementara volume jalan tidak tumbuh
secara signifikan sehingga mengakibatkan tingkat kemacetan yang semakin
tinggi. Kemacetan yang terjadi secara langsung akan menyebabkan dampak
negatif lainnya, yaitu meningkatnya tingkat pencemaran/polusi udara dan
174
175
3.3.
ini dilakukan
No.2/2006
Peningkatan
pengaturan
fleksibilitas
bahwa
penggunaan
pinjaman
jangka
pinjaman
panjang
daerah
digunakan
melalui
untuk
177
178
179
hal
pinjaman
daerah
diajukan
kepada
Pemerintah,
tunggakan
atas
pengembalian
pinjaman
yang
180
Penghitungan
sebagai berikut:
DSCR =
2,5
Keterangan:
DSCR
PAD
DAU
DBHDR
BW
Pokok pinjaman
anggaran bersangkutan;
Angsuran Pokok Pinjaman;
BL
DSCR Pemda
181
183
Kepada Daerah
Hibah Daerah adalah pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari
Pemerintah atau pihak lain kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya
yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya dan dilakukan
melalui perjanjian. Dasar hukum yang mengatur mengenai pemberian
dan penggunaan hibah kepada Pemerintah Daerah tersebut telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57/2005 tentang Hibah Kepada
Daerah. Sebagai pelaksanaannya, telah diterbitkan pula Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.07/2008 Tentang Hibah Daerah dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.07/2008 Tentang Tata Cara
Penyaluran Hibah Kepada Pemerintah Daerah. Sebagai upaya peningkatan
akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan hibah daerah, pada tahun 2012
telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2/2012 tentang Hibah Daerah
sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No. 57/2005.
Beberapa ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 2/2012
antara lain:
1. Penegasan bahwa hibah dari pemerintah kepada Pemerintah Daerah
atau sebaliknya dilaksanakan melalui mekanisme APBN dan APBD.
2. Pengaturan mengenai perencanaan hibah, baik yang bersumber
dari luar negeri maupun penerimaan dalam negeri yang diberikan
185
peraturan
sebagaimana
dimaksud
di
atas
merupakan
186
187
188
Dit. Daper
(1)
Tembusan
Surat Permintaan
Penyelesaian
Kewajiban Hibah
dan/atau Bantuan
Pendanaan DOB
Kemendagri
DJPB
Daerah Induk
Surat Permintaan
Penyelesaian
Kewajiban Hibah
dan/atau Bantuan
Pendanaan DOB
(2)
Surat Permintaan
Pertimbangan
Surat Pertimbangan
Penyelesaian
Kewajiban Hibah /
Bantuan Pendanaan
Surat Ketetapan
Sanksi
Pemotongan
(SKSP) DAU/DBH
(3)
(4)
Surat Perintah
Pencairan
Dana (SP2D)
Pemotongan
DAU/DBH
(5)
(6)
(DAU/DBH
Bruto)
+
(Tambahan
Potongan DAU)
Pemerintah tidak
melakukan akuntansi
terhadap pemotongan
tersebut
Mengkredit
Rekening
DOB
Mendebit
rekening
DAU/DBH
Induk
(DAU/DBH
Bruto)
(7)
(8)
(Pemotongan
Untk DOB)
189
surat
Permintaan
tersebut,
Menteri
Keuangan
190
3.5.
penyelenggaraan
dan
pendanaan
Dekonsentrasi
dan
191
192
PMK
No.248/PMK.07/2010.
Direktorat
Jenderal
Anggaran
193
pemusnahan,
penghapusan,
penatausahaan,
pengawasan
dan
3.5.1.2.
Formulasi
Keseimbangan
Pendanaan
di
Daerah
Untuk
194
195
3.5.1.3.
Rekomendasi
Pendanaan
Menteri
di
Keuangan
Daerah
tentang
Dalam
Rangka
Keseimbangan
Perencanaan
196
3.5.2.
Pendanaan
Urusan
Bersama
Pusat
dan
Daerah
Untuk
Penanggulangan Kemiskinan
3.5.2.1. Gambaran Umum
Dalam rangka melaksanakan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun
2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 15
Tahun 2010
197
yang
diperlukan
untuk
mempercepat
penanggulangan
Bersama
Pusat
pemerintahan
di
dan
luar
Daerah
urusan
dapat
didefinisikan
pemerintahan
sebagai
yang menjadi
198
Gambar 3.21
Sumber Pendanaan Urusan Bersama
199
Ruang
Fiskal
Daerah
dilakukan
dengan
200
201
Kelompok 3
202
203
204
BAB IV
PENDUKUNG KEBIJAKAN
HUBUNGAN KEUANGAN
PUSAT DAN DAERAH TAHUN
2012
206
BAB IV
PENDUKUNG KEBIJAKAN
HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN
DAERAH TAHUN 2012
4.1. PENERUSAN PINJAMAN LUAR NEGERI:
PROYEK JAKARTA
bertujuan
mendukung
peningkatan
operasional
dan
207
Tabel 4.1
Rencana komposisi pendanaan untuk Proyek JUFMP/JEDI
Item
Total
Counterpart
IBRD
Bilateral
Funding
Grant
(US$ million)
COMPONENT 1
1 Dredging and rehabilitation
53.2
10.8
42.4
b.
DGCK
22.4
4.6
17.8
c.
DKI Jakarta
100.5
31.16
69.34
176.1
46.56
129.54
9.6
9.6
implementation of RPs)
3 Flood Management
0.5
0.5
0.5
0.5
2.8
2.8
13.4
2.8
10.1
0.5
189.5
0.35
49.36
0.35
139.64
0.5
189.9
49.71
139.64
0.5
Subtotal Component 1
COMPONENT 2
2 Supervision Consultant
(contracts management,
engineering design reviews
and construction supervision,
support to project GRS and
Jakarta)
Subtotal Component 2
208
209
4.3. PINJAMAN
DAERAH
DARI
PEMERINTAH
PUSAT:
PUSAT
INVESTASI PEMERINTAH
Salah satu sumber pinjaman dari Pemerintah Pusat yaitu Dana Investasi
Pemerintah, termasuk di dalamnya dana yang dikelola oleh Pusat
Investasi Pemerintah (PIP). PIP merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF)
Indonesia dan menjadi operator investasi Pemerintah. Adapun cakupan
sektor investasi PIP meliputi bidang infrastruktur dan bidang lainnya yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Investasi di bidang pembangunan
infrastruktur sebagai salah satu fokus dari investasi PIP didasarkan pada
alasan filosofis bahwa pembangunan infrastruktur merupakan salah satu
roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan dipandang sebagai lokomotif
pembangunan nasional dan daerah. Salah satu bentuk investasi langsung
PIP adalah pemberian pinjaman kepada Pemerintah Daerah. Pinjaman
yang diberikan PIP kepada Pemerintah Daerah dibatasi hanya untuk
pembangunan infrastruktur dasar, antara lain mencakup: ketenagalistrikan,
Jalan/Jembatan, Transportasi, Pasar, Rumah Sakit, Terminal, dan Air
Bersih.
Pemerintah Daerah yang sudah menerima pinjaman ke PIP adalah sebagai
berikut :
1. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, perjanjian pinjaman dilakukan
pada tanggal 28 Januari 2011 dengan nilai pinjaman Rp190 Milyar
dimana dana tersebut digunakan untuk pembangunan RSUD Provinsi;
dan
210
tanggal 27 Juni 2011 dengan nilai pinjaman Rp40,5 Milyar dimana dana
tersebut digunakan untuk pembangunan proyek RSUD.
4.4.
PENERUSAN HIBAH LUAR NEGERI KEPADA PEMERINTAH
DAERAH
Mekanisme hibah kepada daerah mulai efektif pada tahun 2010 dengan
disalurkannya dana hibah untuk kegiatan Local Basic Education Capacity
(L-BEC) meskipun penganggarannya telah tercatat dalam APBN-P 2009.
APBN-P 2009 mencatat 2 (dua) program hibah, yaitu L-BEC dan Support to
Community Health Services (SCHS). L-BEC merupakan penerusan hibah
yang bersumber dari hibah Pemerintah Kerajaan Belanda dan Uni Eropa
dengan perwalian Bank Dunia dan akan dilaksanakan sampai dengan tahun
2012. Hibah ini diberikan kepada 50 (lima puluh) pemerintah kabupaten/
kota dengan tujuan meningkatkan kapasitas penyelenggara pendidikan
dalam hal perencanaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban anggaran
sekolah berbasis teknologi informasi. Sedangkan SCHS merupakan hibah
dari Uni Eropa yang dikelola oleh World Health Organization (WHO) untuk
pembangunan instalasi perawatan pasien flu burung di 10 (sepuluh) daerah.
Namun, pada tahun 2009 tidak ada dana hibah yang disalurkan kepada
Pemerintah Daerah karena masih terdapat perbedaan penafsiran terhadap
peraturan penganggaran dan penatausahaan hibah ke daerah.
Pada APBN 2010, sempat tercantum alokasi hibah yang bersumber dari
penerimaan dalam negeri. Seiring dengan proses politik anggaran, terdapat
realokasi dana ini menjadi salah satu instrumen Transfer Ke Daerah pada
APBN-P 2010. Namun dalam APBN-P 2010 muncul tambahan alokasi dan
program hibah selain L-BEC, yaitu Mass Rapid Transit (MRT), Hibah Air
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
211
Minum, Hibah Air Limbah, dan Water and Sanitation Program D (WASAPD). Proyek MRT yang bersumber dari pinjaman Japan International
Cooperation Agency (JICA) bertujuan untuk mengatasi permasalahan
transportasi di Jakarta yang menjadi prioritas nasional dan telah tercantum
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan
dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah Air Minum dan
Hibah Air Limbah merupakan penerusan hibah yang bersumber dari hibah
Pemerintah Australia. Hibah Air Minum bertujuan untuk meningkatkan
akses penyediaan air minum bagi masyarakat yang belum memiliki akses
sambungan air minum perpipaan secara berkesinambungan dalam upaya
mencapai target MDGs di 35 (tiga puluh lima) daerah. Sedangkan Hibah Air
Limbah bertujuan untuk meningkatkan akses sistem air limbah perpipaan
bagi masyarakat khusus untuk kota-kota yang sudah memiliki sistem
pengelolaan air limbah terpusat di 5 (lima) daerah. Dalam kegiatan WASAPD, Bank Dunia memberikan hibah yang ditujukan untuk pembangunan
sarana pengelolaan air limbah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
(MBR) di 6 (enam) daerah.
APBN 2011 mencatat 7 (tujuh) program hibah yang sebagian besar
merupakan kelanjutan dari program tahun sebelumnya. Program baru yang
muncul dalam tahun ini adalah Infrastructure Enhancement Grant (IEG)
Sanitasi dan Infrastructure Enhancement Grant (IEG) Transportasi yang
bersumber dari hibah Pemerintah Australia. IEG Sanitasi diberikan kepada
22 (dua puluh dua) daerah yang memiliki kepedulian dan komitmen dalam
pembangunan sanitasi. Sedangkan IEG Transportasi diberikan kepada
2 (dua) daerah yang telah memenuhi syarat tertentu dan ditetapkan oleh
kementerian/lembaga terkait.
212
Tabel 4.2
Realisasi Penyaluran Hibah dan Output Kegiatan Hibah
Tahun 2010 s.d. 2011
Penerbitan Peraturan Pemerintah No. 2/2012 tentang Hibah Daerah telah
membawa perubahan yang cukup signifikan dalam peletakan kerangka
213
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
hukum hibah kepada daerah. Kemajuan
terutama terjadi pada peningkatan
Program
2010
Hibah Realisasi (Rp)
Output
L-BEC
Air
Limbah
Air Minum
WASAP-D
IEG
MRT
2011
Realisasi (Rp)
Output
Jumlah
70.008.777.575
280.108.798.355
214
215
LKD
KKD
KKDK
1.498
1.098
400
325
952
429
748
372
852
400
315
359
385
395
467
1.823
4.350
2.822
SUB TOTAL
TOTAL
8.995
No.
1.
Center Penyelenggara
Universitas Indonesia
Wilayah (Provinsi)
DKI Jakarta, Jawa Barat, Bangka
Belitung, Sumatera Utara, dan Maluku
2.
3.
Universitas Hasanuddin
4.
Universitas Andalas
5.
Universitas Brawijaya
6.
217
Center Penyelenggara
Universitas Indonesia
Wilayah (Provinsi)
DKI Jakarta, Jawa Barat, Bangka
Belitung, Sumatera Utara, dan Maluku
2.
3.
Universitas Andalas
4.
Universitas Brawijaya
5.
Universitas Hasanudin
6.
Negara
4.6.
REVIEW ATAS BELANJA DAERAH DAN DANA PEMDA DI
PERBANKAN
4.6.1. Tren Belanja APBD secara Nasional
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
219
secara nasional porsi belanja yang paling dominan adalah belanja pegawai,
dengan porsi yang terus meningkat di tahun 2007-2010 dan sedikit menurun
di tahun 2011. Belanja pegawai terdiri dari belanja pegawai tidak langsung
220
Total
Belanja
Belanja Pegawai
(miliar rupiah)
Total
Persentase terhadap
total Belanja (%)
Tidak
Langsung
Tidak
Langsung
Langsung
Langsung
2008
390.392
153.823
128.071
25.752
32,81
6,60
2009
429.580
180.439
155.959
24.480
36,30
5,70
2010
435.479
197.126
173.625
23.501
39,87
5,40
2011
514.380
229.081
203.386
25.695
39,54
5,00
221
Tabel 4.5
Trend Belanja Modal Daerah 2008-2011
Tahun
Total Belanja
(miliar rupiah)
Belanja Modal
(miliar rupiah)
Persentase terhadap
total Belanja (%)
2008
390.392
112.134
28,7
2009
429.580
114.598
26,7
2010
435.479
96.179
21,7
2011
514.380
113.523
22,1
222
Grafik 4.3
untuk mengetahui besarnya dana pemda yang idle atau tidak digunakan,
maka dapat dilakukan analisis trend dana pemda di perbankan per bulan
yang biasanya pada akhir Desember merupakan titik terendah dalam
satu tahun anggaran. secara akumulatif dana pemda kabupaten/kota di
perbankan lebih besar dari akumulasi dana pemda provinsi di perbankan.
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
223
pengurangan
pengangguran
dan
kemiskinan.
Pertumbuhan
Grafik 4.4
Hubungan Realisasi Belanja Daerah dengan Jumlah Kemiskinan dan
Pengangguran
225
Grafik 4.5
Hubungan antara Realisasi Belanja Daerah dengan Tingkat
Kemiskinan dan Pengangguran
Pola yang sama juga terjadi untuk perbandingan antara belanja daerah
dengan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan sebagaimana dapat
dilihat pada grafik di atas. Kenaikan realisasi belanja daerah dari tahun 2008
ke tahun 2009 diikuti pola penurunan persentase tingkat pengangguran dan
tingkat kemiskinan pada tahun 2010 masing-masing sebesar 0,8% dan
0,9%, sementara untuk 2010, kenaikan realisasi belanja daerah diikuti oleh
penurunan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan pada tahun 2011
masing-masing sebesar 0,3% dan 0,8%.
4.7. KOMUNIKASI
DAN
MANAJEMEN
DATA
NASIONAL
SIKD
(KOMANDAN SIKD)
4.7.1. Pendahuluan
Pemerintah Pusat sebagai perumus dan pelaksana kebijakan APBN
berkewajiban untuk terbuka dan bertanggung jawab terhadap seluruh
226
227
228
229
4.7.3.2. Helpdesk
Komandan SIKD dapat diakses di website DJPK dengan alamat www.djpk.
depkeu.go.id.
Apabila memerlukan penjelasan teknis dapat menghubungi Tim Helpdesk
Komandan SIKD pada Telepon (021) 3440715; Fax. (021) 3505103 atau
Email : komandansikd@djpk.depkeu.go.id.
pelaksanaan
penyelenggaraan
Komandan
SIKD
sebagai
provinsi rata-rata 60% dari APBD dan untuk kabupaten/kota sekitar 85%
dari APBD. Dana tersebut berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Bagi Hasil (DBH) yang bersifat block-grant, dan Dana Alokasi Khusus
(DAK) yang bersifat specific-grant.
Sejalan dengan reformasi keuangan negara, sejak tahun 2008 Pemerintah
Pusat menyalurkan langsung dana transfer ke daerah. Transfer ke daerah
terdiri dari DAU, DBH, DAK dan Dana Penyesuaian. Pasal 39 UU Nomor
33 Tahun 2004 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan kepada pemerintah
daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah. Demikian halnya dalam Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2005 ditegaskan bahwa DAK dialokasikan kepada daerah tertentu
untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program
yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah.
Sebagai bagian dari perwujudan prioritas nasional, DAK terutama sektor
infrastruktur seperti proyek jalan, irigasi, air minum dan sanitasi merupakan
dana transfer ke daerah yang outputnya bisa dirasakan langsung oleh
masyarakat. Sampai dengan tahun 2010, Pemerintah pusat sudah
menyalurkan DAK secara langsung sebesar Rp66,85 Triliun kepada
pemerintah daerah. Pertanggungjawaban dana yang telah disalurkan
kepada Pemerintah Daerah dilakukan dengan membuat suatu laporan
pertanggungjawaban keuangan dan teknis proyek DAK. Laporan tersebut
selama ini dicetak dalam jumlah terbatas dan didistribusikan pada kalangan
terbatas sehingga informasi yang komprehensif mengenai proyek tersebut
hingga saat ini belum bisa dijadikan sebagai bahan pengambilan kebijakan.
Meskipun Kementerian Keuangan dan Kementerian Pekerjaan Umum
masing-masing telah mengembangkan suatu sistem evaluasi dan pelaporan
teknis dan keuangan yang berbasis web namun masih belum seperti yang
231
4.8.3. Manfaat
Aplikasi WBRS akan diimplementasikan kepada Pemerintah Daerah yang
masuk sebagai
4.9.
KONSOLIDASI LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
DENGAN LAPORAN KEUANGAN TRANSFER KE DAERAH TAHUN
ANGGARAN 2010
4.9.1. Latar Belakang
Penyusunan Laporan keuangan konsolidasi antara Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) dengan Laporan Keuangan Transfer ke
Daerah (LKTD) merupakan inisiasi untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.
233
Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK yang termuat dalam laporan hasil reviu
transparansi fiskal pemeriksanan tahun 2008 nomor 25/05/LHP/XV/05/2009
pada tanggal 20 Mei 2009, BPK menyatakan bahwa pelaksanaan peran
dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam pengelolaan fiskal masih
memiliki kelemahan antara lain belum adanya mekanisme konsolidasi
LKPD dan rendahnya transparansi fiskal pada tingkat Pemerintah Daerah.
Dengan demikian, perlu melaksanakan konsolidasi LKPD dengan LKTD.
235
PENDAPATAN/BELANJA
TA 2008
TA 2009
TA 2010
PENDAPATAN
64.745.871
67.528.250
81.140.393
Pajak Daerah
44.693.411
45.127.168
56.171.965
Retribusi Daerah
8.003.155
7.656.295
7.700.594
PAD Lainnya1)
12.049.304
14.770.316
17.267.835
PENDAPATAN TRANSFER
288.646.372 303.938.520
343.939.872
DBH Pajak
37.680.548
40.318.393
45.799.404
DBH SDA
36.952.510
30.099.773
44.394.237
236
353.392.243 371.466.770
425.080.266
No.
PENDAPATAN/BELANJA
TA 2008
t.a.
10 DBH CHT2)
11 DAU
12 DAK
TA 2009
TA 2010
1.065.069
1.202.111
179.507.145 186.414.100
203.571.491
20.787.347
24.707.415
20.956.311
13.718.822
21.333.769
28.016.319
14 BELANJA
347.915.951 390.489.653
407.355.390
15 Belanja Pegawai
148.515.158 168.188.147
200.889.683
13 Transfer Lainnya
3)
16 Belanja Barang
66.584.523
75.226.171
80.727.070
17 Belanja Modal
97.300.708 102.529.407
93.995.193
18 Belanja Lainnya
31.065.096
40.640.492
29.440.130
4.450.465
3.905.435
2.303.314
19 Transfer
4)
Keterangan:
1) PAD Lainnya terdiri dari Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan/HPKDYD
dan Lain-lain PAD.
2) DBH CHT/Cukai Hasil Tembakau baru ada mulai TA 2009.
3) Transfer Lainnya terdiri dari Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian.
4) Transfer pada kelompok belanja merupakan transfer ke desa.
237
Jumlah Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
2012
25
118
118
214
211
274
Jan
85
188
186
160
176
139
Peb
105
93
109
76
62
60
Mar
125
50
73
60
62
41
Setelah Maret
127
35
24
14
13
10
Total
467
484
510
524
524
524
238
Berdasarkan grafik 4.6, dapat dilihat bahwa secara umum, jumlah daerah
yang menyampaikan APBD tepat waktu, yaitu pada bulan Januari TA
berjalan, semakin meningkat. Namun jika dilihat dari jumlah daerah,
masih banyak daerah yang menyampaikan Perda APBD setelah bulan
Januari. Pada tahun 2012 misalnya, terdapat 267 daerah (50,95%)
yang menyampaikan perda APBD tepat waktu, sedangkan sisanya
menyampaikan setelah bulan Januari TA berjalan.
239
peraturan-peraturan
tentang
pengelolaan
keuangan
daerah
2. Dalam rangka meningkatkan kualitas SDM, Pemerintah Pusat perlu
melakukan program bimbingan teknis terkait proses penyusunan APBD
secara berkesinambungan
3. Perlu
pengembangan
prasarana
pendukung
di
kebutuhan.
240
daerah
sesuai
BAB V
PENUTUP
242
Penutup
BAB V
PENUTUP
Penyelenggaraan desentralisasi fiskal antara lain menekankan peningkatan
peranserta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan
berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman
antardaerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal ini dianggap sangat penting,
karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional
di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan
mengharuskan diselenggarakannya desentralisasi fiskal yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan
desentralisasi fiskal itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
Sumber-sumber pendapatan potensial yang dimiliki suatu daerah akan
menentukan juga tingkat kemampuan keuangannya. Setiap daerah
mempunyai potensi pendapatan yang berbeda karena perbedaan kondisi
ekonomi, sumber daya alam, besaran wilayah, tingkat pengangguran dan
jumlah penduduk. Sumber-sumber pendapatan potensial tercermin dalam
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber pendapatan
daerah merupakan sumber pendapatan yang dapat diperoleh dengan
memanfaatkan serta mengelola sumber-sumber keuangan daerahnya
sendiri. Besarnya PAD sangat menentukan tingkat perkembangan otonomi
suatu daerah. Semakin besar jumlah penerimaan PAD berarti semakin
besar pula kesempatan daerah tersebut untuk mengadakan perkembangan
243
pembangunan
jalur
penyambung
antar
daerah,
peningkatan
244
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank (ADB) TA 3967-INO: Local Government Provision of Minimum
Basic Service for the Poor, 2005.
Bappenas, (2004), Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta: Bappenas
(www.bappenas.go.id).
BPKP, Pedoman Penyusunan APBD Berbasis Kinerja, 2005.
Brodjonegoro, Bambang PS dan Robert A. Simanjuntak, (2005), Study on Decentralization
Framework and Fiscal and Administrative Capacity of Local Governments in Indonesia,
Laporan Akhir, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) and Institute for
Economics and Social Research-Faculty of Economics University of Indonesia (LPEMFEUI), Jakarta: LPEM-FEUI.
Building Institutions for Good Governance (BIGG), Pedoman Acuan Anggaran Kinerja,
2003-2004.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Pusat, (2005). Sinergi Pembangunan antara Pusat
dan Daerah, draft hasil Focus Group Discussion (FGD) Sinergi Pembangunan antara
Pusat dan Daerah, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Pusat, Jakarta, Juli 2005.
Kementerian Keuangan, (2010), Buku Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2010.
Kementerian Keuangan, (2010), Nota Keuangan APBN 2011, Jakarta: Kemenkeu RI (www.
depkeu.go.id).
Kuncoro, M., (2004). Otonomi Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Laporan Panitia Kerja Belanja Daerah dalam Rangka Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan
RUU tentang RAPBN TA.2006.
LPEM FEUI dan PSE-KP FEUGM. Reformulasi Dana Alokasi Umum: Laporan Penelitian,
2004.
Pemerintah Republik Indonesia, (2009), Produk Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta:
Pemerintah RI (www.indonesia.go.id).
Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No. 186/PMK.07/2010 dan
53 Tahun 2010 tentang Tahapan Pengalihan BPHTB menjadi Pajak Daerah.
245
Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No. 213/PMK.07/2010 dan
58 Tahun 2010 tentang Tahapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi
Pajak Daerah.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 005/2006 tentang Tatacara Perencanaan dan
Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah
Luar Negeri yang mengatur perencanan dan proses lebih lanjut pengadaan Pinjaman/
Hibah Luar Negeri oleh Pemerintah Pusat.
Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Perpres Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis
BBM Tertentu.
PMK No. 04/PMK.07/2011 tentang tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan
Daerah.
PMK No. 53/2006 tentang Tatacara Pemberian Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang
Dananya Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri yang mengatur proses lebih lanjut
penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah kepada pemerintah daerah dalam bentuk
pinjaman.
PMK No. 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban dan Publikasi
Informasi Obligasi Daerah, diatur lebih lanjut tentang perencanaan, pengajuan usulan
dan persetujuan serta pernyataan pendaftaran umum.
PMK No. 171/PMK.06/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan pemerintah
Pusat, serta aturan pelaksanaanya.
PMK No. 129/PMK.07/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Pemotongan Dana
Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil Dalam Kaitannya Dengan Pinjaman Daerah
Dari Pemerintah Pusat.
PMK No. 153/PMK.05/2008 Tentang Penyelesaian Piutang Negara Yang Bersumber
Dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi, Dan Rekening
Pembangunan Daerah pada Pemerintahan Daerah.
PMK No. 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana
Tugas Pembantuan.
PMK No. 20/PMK.07/2008 tenntang Perubahan PMK no. 84/PMK.07/2008 tentang
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau dan Sanksi akan Penyalahgunaan
Alokasi DBH Cukai Tembakau.
246
Daftar Pustaka
247
PMK No. 201/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Bantuan Operasional
Sekolah Tahun Anggaran 2012.
PMK No. 20/PMK.07/2012 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Bantuan Operasional
Sekolah Untuk Sekolah di Daerah Terpencil TA 2012.
PMK No. 6/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke
Daerah.
PP No. 92 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 59 Tahun 1998 tentang
Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom.
PP No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam
Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
PP No. 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32 Tahun 1969 tentang
Pelaksanaan
UU
No.
11
Tahun
1967
tentang
Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Pertambangan.
PP No. 56 Tahun 2001 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
PP No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Jumlah
Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
PP No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang
berlaku pada Departemen ESDM.
PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga.
PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
PP No. 65 Tahun 2010 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
PP no. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah.
PP No. 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah
Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
248
Daftar Pustaka
PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Kekayaan Negara/ Daerah.
PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
PP No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada
Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Daerah Kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Kepada Masyarakat.
PP No. 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah,
PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan
Daerah.
PP No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah.
PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
PP No. 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
PP No. 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan
Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu
PP No. 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan
Kepala Daerah (Official Assessment) atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak (Self
Assessment).
PP No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah.
PP No. 2 tahun 2012 tentang Hibah Daerah.
PP No. 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan
Hibah.
Sidik, Machfud et.all. Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi
Daerah. (Jakarta: Kompas, 2002).
Smoke, Paul, Can Desentralization Help Rebuild Indonesia, paper for Conference
Expenditure Assignment under Indonesias Emerging Decentralization: A Review of
Progress and Issues for the Future, Sponsored by the International Studies Program,
Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, May 2002.
Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nomor: 0239/M.PPN/11/2008,
249
250
Daftar Pustaka
INDEX
A
Akuntabilitas 4, 13, 20, 22, 45, 135, 164, 185, 187, 196, 200, 232, 233
B
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 7, 32
Belanja daerah 7, 17, 219, 222, 224, 225, 226
D
Dana
Dana Urusan Bersama 3, 4, 7, 12, 14, 15, 17, 20, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 31, 32,
33, 35, 37, 38, 39, 40, 45, 46, 48, 50, 51, 59, 65, 73, 80, 81, 83, 84, 127, 128,
129, 132, 133, 134, 135, 137, 139, 149, 150, 151, 157, 179, 181, 186, 187,
192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 210, 211, 213, 215, 219, 223, 224, 230,
231, 233
Dana Alokasi Umum 15, 24, 27, 44, 93, 181, 188, 201, 231, 246, 247, 248, 251,
253
Dana Bagi Hasil
dana bagi hasil pajak 7, 15, 24, 25, 28, 44, 45, 51, 53, 56, 61, 67, 68, 69, 84, 87,
90, 96, 105, 131, 132, 133, 142, 181, 188, 201, 231, 247, 248
dana bagi hasil SDA 7, 15, 24, 25, 28, 44, 45, 51, 53, 56, 61, 67, 68, 69, 84, 87,
90, 96, 105, 131, 132, 133, 142, 181, 188, 201, 231, 247, 248
Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan 7, 39, 40
251
H
Hibah
Hibah daerah 5, 7, 12, 34, 35, 36, 37, 38, 129, 137, 140, 178, 182, 185, 186, 187,
188, 189, 190, 211, 212, 213, 214, 215
Hibah luar negeri 5, 7, 12, 34, 35, 36, 37, 38, 129, 137, 140, 178, 182, 185, 186,
187, 188, 189, 190, 211, 212, 213, 214, 215
K
Komandan SIKD 226, 229
Kriteria khusus
Kriteria teknis 104, 105, 125
O
Obligasi daerah 36, 178
P
Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan 21, 25, 47, 91, 96, 142, 149, 150, 155, 162, 163, 252
Pajak daerah dan retribusi daerah 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 25, 28, 43, 45, 46,
47, 48, 50, 51, 61, 82, 84, 86, 87, 90, 91, 94, 96, 99, 131, 142, 143, 144, 145,
146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 162, 163, 164,
165, 167, 170, 172, 173, 236, 246, 248, 251, 252, 253
Pajak Penghasilan 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 25, 28, 43, 45, 46, 47, 48, 50, 51,
61, 82, 84, 86, 87, 90, 91, 94, 96, 99, 131, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148,
149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 162, 163, 164, 165, 167, 170,
172, 173, 236, 246, 248, 251, 252, 253
252
Index
Pendanaan urusan bersama pusat dan daerah 5, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 23, 24,
30, 35, 37, 43, 44, 46, 94, 103, 158, 187, 188, 190, 191, 192, 194, 195, 196,
197, 198, 200, 204, 207, 208, 213, 215, 216, 219
Pendapatan Asli Daerah 14, 15, 28, 94, 96, 99, 105, 146, 181, 201, 243
Pinjaman
Pinjaman daerah 34, 176, 207, 210
Pinjaman luar negeri vii, x, xi, 34, 176, 207, 210
PNPM Mandiri 197, 198
253
254
Index
255
256