You are on page 1of 277

Pelengkap

BUKU PEGANGAN
Penyelenggaraan
Pemerintahan dan
Pembangunan Daerah

2012

Kebijakan Hubungan
Keuangan Pusat dan Daerah

2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012


Kebijakan Hubungan
Keuangan Pusat dan Daerah 2012
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan
April 2012

KEMENTERIAN Keuangan Republik Indonesia


Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gedung Radius Prawiro Lantai 9
Jl. DR. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat 10710
Tlp. 021.350.9442, Faks. 021.350.9443
Website: www.djpk.depkeu.go.id
Email: info@djpk.depkeu.go.id
ii

Pelengkap Buku Pegangan 2012

KATA PENGANTAR

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Kerangka otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan dimensi


yang lebih jelas bagi Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan
dan

pelayanan

serta

pengelolaan

keuangan

berdasarkan

prinsip

transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Melalui otonomi daerah


dan desentralisasi fiskal, pembangunan nasional yang bersifat inklusif
mengedepankan pembangunan berdimensi kewilayahan dengan daerah
sebagai pusat pertumbuhan. Dengan dimensi yang jelas tersebut, maka
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
didanai dari APBN, sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi urusan
pemerintah daerah didanai dari APBD. Dengan demikian sistem pendanaan
penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan lebih efisien,
efektif dan tidak menimbulkan tumpang tindih ataupun tidak tersedianya
pendanaan pada suatu bidang pemerintahan.
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah telah mengubah pola pengelolaan
administrasi pemerintahan dan fiskal di Indonesia yang semula bersifat
sentralisasi menjadi desentralisasi. Implikasi langsung dari kebijakan
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

iii

tersebut adalah kepada daerah diberikan diskresi untuk mengelola


belanjanya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah masingmasing. Sumber dana dalam APBD dapat dialokasikan untuk mendanai
pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan dalam bentuk program dan
kegiatan yang terkait dengan peningkatan pelayanan publik, penciptaan
lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas lingkungan,
dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Sebagai konsekuensi atas kebijakan tersebut, kebutuhan terhadap
dana untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi yang telah menjadi
kewenangan daerah juga meningkat. Untuk itu, pemerintah pusat
melaksanakan

kebijakan

desentralisasi

fiskal

melalui

perimbangan

keuangan antara pusat dan daerah sesuai dengan asas money follows
function sebagai upaya untuk mendukung pembiayaan berbagai urusan
dan kewenangan yang telah dilimpahkan kepada daerah. Tujuan utama dari
perimbangan keuangan tersebut adalah untuk mengurangi ketimpangan
fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, serta mengurangi kesenjangan
kemampuan fiskal antardaerah. Selain itu, kebijakan pendanaan kepada
daerah dalam rangka menjalankan urusan dan kewenangan yang telah
dilimpahkan tersebut diikuti dengan pemberian kewenangan dalam hal
perpajakan daerah.
Sangat disadari bahwa kebijakan desentralisasi fiskal erat kaitannya
dengan pelayanan publik mengingat fungsinya sebagai alat bagi
pemerintah daerah untuk menyediakan dan memberikan pelayanan yang
lebih baik kepada masyarakat. Desentralisasi fiskal akan terlaksana dengan
baik bila didukung oleh pemerintah yang mampu melakukan pengawasan
dan law enforcement, adanya sumber daya manusia yang kuat pada jajaran
aparatur pemerintah daerah, serta adanya keseimbangan dan kejelasan

iv

Pelengkap Buku Pegangan 2012

dalam hal pembagian kewenangan dan tanggung jawab untuk melakukan


pungutan pajak dan retribusi daerah dalam rangka meningkatkan PAD.
Untuk itu, peranan pemerintah daerah dalam fungsi alokasi menjadi
semakin

besar

terutama

untuk

merencanakan

dan

melaksanakan

kebijakan di daerah, sehingga tujuan otonomi daerah dan desentralisasi


fiskal dapat tercapai. Dalam kaitan inilah, maka upaya untuk membangun
kebijakan yang lebih mempertimbangkan kepentingan publik dirasakan
semakin penting. Dengan demikian, penciptaan lingkungan yang kondusif
perlu dibangun, antara lain melalui kepastian peraturan, transparansi
pelaksanaan aturan, kecepatan pemberian layanan,

kemudahan dan

kesederhanaan proses memperoleh layanan publik tersebut, serta sinergi


pembangunan serta kebijakan antara pusat dan daerah, serta antardaerah.
Sementara itu, Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2012 ini disusun agar
dapat mendiseminasikan prinsip-prinsip dan implementasi kebijakan
desentralisasi fiskal melalui Transfer ke Daerah, Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pinjaman Daerah, dan Hibah Daerah. Selain itu, buku
ini memberikan gambaran yang kuat atas pelaksanaan pendanaan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, serta pelaksanaan pendanaan
urusan bersama antara Pusat dan Daerah, terutama dalam hal
penanggulangan kemiskinan. Dalam rangka meningkatkan transparansi
atas kebijakan dan pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal, Kementerian
Keuangan merasa perlu membangun komunikasi dan informasi yang efektif
bagi pemerintah daerah dan stakeholders lainnya, maka instrumen kunci
yang juga menjadi penting bagi kesuksesan pelaksanaan sebuah kebijakan
adalah apabila ditunjang oleh sistem informasi yang terpadu. Saat ini
melalui Komunikasi dan Manajemen Data Nasional SIKD (KOMANDAN
SIKD) diharapkan informasi keuangan daerah yang komprehensif dapat

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

dinikmati oleh masyarakat luas agar proses pelaksanaan pembangunan


melalui desentralisasi fiskal dapat sejalan dengan prinsip tata pemerintahan
yang baik (good governance).
Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi
dalam penyusunan buku ini, mulai dari proses perancangan hingga
finalisasi dan harmonisasi substansinya. Akhirnya saya berharap semoga
buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya
dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
yang lebih baik di Indonesia.

Jakarta,

April 2012

MENTERI KEUANGAN,

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

vi

Pelengkap Buku Pegangan 2012

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................iii
DAFTAR ISI..................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................xiii
DAFTAR TABEL...........................................................................................xv
DAFTAR GRAFIK.......................................................................................xvii
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................... 3
BAB II
HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH..................................... 11
2.1. SISTEM PENDANAAN URUSAN PEMERINTAHAN............................ 11
2.2. PENGUATAN SISTEM PERPAJAKAN DAERAH................................. 17
2.3. KEBIJAKAN TRANSFER KE DAERAH................................................ 22

2.3.1. Dana Bagi Hasil (DBH)............................................................ 24

2.3.2. Dana Alokasi Umum (DAU)..................................................... 26

2.3.3. Dana Alokasi Khusus (DAK).................................................... 28

2.3.4. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian................................ 31

2.4. DANA DARURAT.................................................................................. 33


2.5. PINJAMAN DAERAH............................................................................ 34
2.6. HIBAH DAERAH................................................................................... 36
2.7. DANA DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN.................... 37
BAB III
KEBIJAKAN HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH TAHUN
2012............................................................................................................ 43
3.1. TRANSFER KE DAERAH.................................................................... 43

3.1.1. PENDAHULUAN...................................................................... 43

3.1.2. Dana Bagi Hasil (DBH)............................................................ 45

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

vii

3.1.2.1. DBH Pajak.................................................................. 45


3.1.2.1.1.
PAJAK PENGHASILAN (PPh) WAJIB
PAJAK ORANG PRIBADI DALAM
NEGERI (WPOPDN) DAN PPh
PASAL 21................................................ 48

3.1.2.1.2. DBH PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

(PBB)....................................................... 49
3.1.2.1.3.
DBH CUKAI HASIL TEMBAKAU
(DBH CHT).............................................. 51

3.1.2.2. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA)....... 61

A. DBH SDA PERTAMBANGAN MINYAK DAN

GAS BUMI (DBH SDA MIGAS)............................ 66


B.
DBH SDA PERTAMBANGAN UMUM................... 82
C.
DBH SDA KEHUTANAN....................................... 84
D.
DBH SDA PERIKANAN........................................ 87

E. DBH SDA PERTAMBANGAN PANAS BUMI........ 90

F.
PENETAPAN ALOKASI DBH SUMBER
DAYA ALAM ......................................................... 91

3.1.3. DANA ALOKASI UMUM (DAU)................................................ 93

3.1.3.1. PENYUSUNAN FORMULA DAN PERHITUNGAN

DAU............................................................................ 93

3.1.3.2. VARIABEL DAU......................................................... 93

3.1.3.3.
PERHITUNGAN ALOKASI DAU................................. 94

A. BENTUK UMUM FORMULA DAU........................ 94

B.
DATA PENGHITUNGAN DAU.............................. 96

3.1.3.4. DAU DAERAH PEMEKARAN................................... 101

3.1.4. DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)............................................ 101

3.1.4.1. Formulasi Kebijakan Dana Alokasi Khusus

TA 2012..................................................................... 102
3.1.4.1.1. Arah dan Penggunaan DAK...................... 102
3.1.4.1.2. Penetapan Program Dan Kegiatan........... 103
viii

Pelengkap Buku Pegangan 2012

3.1.4.1.3. Penghitungan Alokasi DAK ...................... 104


A.
KRITERIA UMUM.................................. 105
B.
KRITERIA KHUSUS.............................. 106
C.
KRITERIA TEKNIS................................ 107
3.1.4.1.4. Administrasi Pengelolaan DAK ................ 126
A.
Dana Pendamping................................. 126
B.
Penganggaran....................................... 126
C.
Pemantauan dan Pengawasan............. 127
D.
Pelaporan.............................................. 128

3.1.5. BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS)...................... 129

3.1.6. PENYALURAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH....... 130

3.1.6.1. PENYALURAN DBH PAJAK..................................... 131

3.1.6.1.1. Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh............. 131

3.1.6.1.2. Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB............. 133

3.1.6.5. PENYALURAN BOS................................................. 137


3.1.7. DANA BAGI HASIL PBB MIGAS DAN PANAS BUMI............ 142

3.1.7.1. Pengadministrasian Objek dan Subjek PBB

Migas dan Panas Bumi............................................. 144


3.1.7.2. Pembayaran PBB Migas dan Panas Bumi............... 148

3.1.7.3. Alokasi dan Penyaluran DBH PBB Migas dan

Panas Bumi............................................................... 150


3.1.7.4. PBB Migas sebagai Faktor Pengurang dalam ...............

Perhitungan DBH SDA Migas................................... 152


3.2. KEBIJAKAN DI BIDANG PERPAJAKAN DAN

RETRIBUSI DAERAH......................................................................... 154

3.2.1. Latar Belakang....................................................................... 154

3.2.2. Kebijakan Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

(PBB-KB)............................................................................... 158

3.2.3. Pendaerahan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan Serta Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan

dan Perkotaan........................................................................ 162


Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

ix

A. PELAKSANAAN PENGALIHAN BPHTB......................... 165

B. PELAKSANAAN PENGALIHAN PBB-P2........................ 170

3.2.4. Penambahan Jenis Retribusi Daerah.................................... 173

3.3. PINJAMAN, HIBAH, DAN PEMBIAYAAN PENATAAN DAERAH....... 176


3.3.1 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang

Pinjaman Daerah .................................................................. 176


3.3.2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.07/2011

Tentang Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan Dan

Belanja Daerah Dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman

Daerah Tahun Anggaran 2012............................................... 182


3.3.3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Hibah

Kepada Daerah...................................................................... 185


3.3.4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/Pmk.07/2011

Tentang Tata Cara Pemotongan DAU dan/atau DBH Bagi

Daerah Induk/Provinsi Yang Tidak Memenuhi Kewajiban

Hibah/Bantuan Pendanaan Kepada Daerah Otonom Baru

(DOB)..................................................................................... 188
3.5. DANA DEKONSENTRASI, DANA TUGAS PEMBANTUAN

DAN DANA URUSAN BERSAMA PUSAT DAN DAERAH ................. 191

3.5.1. Dana dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan.............. 191

3.5.1.1. Gambaran Umum..................................................... 191


3.5.1.2. Formulasi Keseimbangan Pendanaan di Daerah

Untuk Perencanaan Lokasi dan Anggaran


Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.................... 194

3.5.1.3. Rekomendasi Menteri Keuangan tentang

Keseimbangan Pendanaan di Daerah Dalam


Rangka Perencanaan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan Tahun Anggaran 2012......................... 196

3.5.2. Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah Untuk

Penanggulangan Kemiskinan................................................ 197


3.5.2.1. Gambaran Umum..................................................... 197

x

3.5.2.2. Peraturan Menteri Keuangan tentang Indeks

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Fiskal dan Kemiskinan Daerah Dalam Rangka

Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama Pusat


dan Daerah Untuk Penanggulangan Kemiskinan
Tahun Anggaran 2012............................................... 199
BAB IV
PENDUKUNG KEBIJAKAN HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN
DAERAH TAHUN 2012............................................................................. 207
4.1. PENERUSAN PINJAMAN LUAR NEGERI:
PROYEK JAKARTA EMERGENCY DREDGING INITIATIVE

(JEDI) / JAKARTA URGENT FLOOD MITIGATION PROJECT

(JUFMP).............................................................................................. 207
4.2. OBLIGASI DAERAH: USULAN PENERBITAN OBLIGASI

DAERAH PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA........................... 209

4.3. PINJAMAN DAERAH DARI PEMERINTAH PUSAT:


PUSAT INVESTASI PEMERINTAH ................................................... 210

4.4. PENERUSAN HIBAH LUAR NEGERI KEPADA PEMERINTAH


DAERAH............................................................................................. 211
4.5. PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

(LKD, KKD, DAN KKDK)..................................................................... 215

4.6. REVIEW ATAS BELANJA DAERAH DAN DANA PEMDA


DI PERBANKAN................................................................................. 219

4.6.1. Tren Belanja APBD secara Nasional..................................... 219

4.6.2. Dana Idle Pemda di Perbankan............................................. 223

4.6.3. Hubungan Belanja Daerah dengan Indikator

Kesejahteraan Masyarakat.................................................... 224


4.7. KOMUNIKASI DAN MANAJEMEN DATA NASIONAL SIKD

(KOMANDAN SIKD)........................................................................... 226

4.7.1. Pendahuluan.......................................................................... 226

4.7.2. Landasan Hukum................................................................... 228

4.7.3. Konsep KOMANDAN SIKD.................................................... 229

4.7.3.1. Definisi...................................................................... 229


Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

xi

4.7.3.2. Helpdesk................................................................... 230


4.7.4. Manfaat Komandan SIKD...................................................... 230

4.8. WEB-BASED REPORTING SYSTEM (WBRS)................................. 230


4.8.1. Latar Belakang.......................................................................... 230

4.8.2. Ruang Lingkup.......................................................................... 232

4.8.3. Manfaat..................................................................................... 233

4.9. KONSOLIDASI LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH


DENGAN LAPORAN KEUANGAN TRANSFER KE DAERAH

TAHUN ANGGARAN 2010................................................................. 233

4.9.1. Latar Belakang.......................................................................... 233

4.9.2. Lingkup, Tujuan dan Sumber Data........................................... 234

4.9.3. Dasar Penyusunan Laporan Konsolidasian.............................. 234

4.9.4. Gambaran Umum Hasil Konsolidasi......................................... 235

4.10. PENETAPAN DAN PENYAMPAIAN PERDA APBD .................. 237

BAB V........................................................................................................ 243


PENUTUP................................................................................................. 243
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 245
INDEX....................................................................................................... 251
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................... 255

xii

Pelengkap Buku Pegangan 2012

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1

Kerangka Hubungan Keuangan antara Pusat dan

Daerah............................................................................... 14
Gambar 3.1

Prosentase Pembagian Bagi Hasil Pajak.......................... 47

Gambar 3.2 Skema Perhitungan DBH Sumber Daya Alam (SDA)........ 64


Gambar 3.3

Porsi Pembagian DBH SDA Minyak Bumi......................... 68

Gambar 3.4

Porsi Pembagian DBH SDA Gas Bumi.............................. 69

Gambar 3.5

Mekanisme Penetapan Perkiraan Alokasi DBH SDA

Migas................................................................................. 73
Gambar 3.6

Mekanisme Perhitungan DBH SDA Migas........................ 76

Gambar 3.7

Counter Balance dalam Management Cashflow

DBH Migas........................................................................ 79
Gambar 3.8

Perhitungan DBH SDA Kehutanan.................................... 86

Gambar 3.9

Mekanisme Penetapan Alokasi DBH SDA......................... 92

Gambar 3.10

Mekanisme Penetapan Alokasi Pagu DAU Nasional........ 93

Gambar 3.11

Formula umum DAU Menurut undang-undang

Nomor 33 Tahun 2004..................................................... 100


Gambar 3.12

Pembagian DAU bagi Daerah Pemekaran...................... 101

Gambar 3.13

Penetapan Program dan Kegiatan.................................. 104

Gambar 3.14

Proses Penentuan Besaran Alokasi per Daerah............. 124

Gambar 3.15

Penyaluran Dana BOS Per Triwulan............................... 138

Gambar 3.16

Penyaluran Dana Cadangan BOS Per Triwulan............. 139

Gambar 3.17

Pola Hubungan Fungsi Antar Lembaga Dalam

Hibah Daerah.................................................................. 187


Gambar 3.18

Mekanisme Pemotongan DAU dan/atau DBH Bagi

Daerah Induk/Provinsi Yang Tidak Memenuhi


Kewajiban Hibah Bantuan Pendanaan Kepada

Daerah Otonom Baru (DOB)........................................... 189

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

xiii

Gambar 3.19

Pola Hubungan Antar Instansi Terkait dalam

Penyelengaraan dan Pendanaan Dekonsentrasi dan

Tugas Pembantuan......................................................... 194


Gambar 3.20 Alur Pikir Formulasi Keseimbangan Pendanaan
di Daerah......................................................................... 195
Gambar 3.21 Sumber Pendanaan Urusan Bersama............................. 199
Gambar 3.22

Alur Pikir Formulasi Indeks Fiskal Dan Kemiskinan

Daerah............................................................................. 203

xiv

Pelengkap Buku Pegangan 2012

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1

Pola Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi

dan gas Bumi........................................................................... 80


Tabel 3.2

Porsi Pembagian DBH SDA Pertambangan umum................. 84

Tabel 3.3

Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)....................... 89

Tabel 3.4

Tarif Pungutan Pungutan Hasil Perikanan (PHP).................... 89

Tabel 3.5

Tarif PBB-KB Berdasarkan Perda Provinsi........................... 160

Tabel 3.6

Kesiapan Daerah dalam memungut BPHTB

(Posisi: 20 April 2012)............................................................ 166


Tabel 3.7

Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011

(Daerah Tertentu)................................................................... 168


Tabel 3.8

Kesiapan daerah dalam memungut PBB-P2 ........................ 172

Tabel 4.1

Rencana komposisi pendanaan untuk Proyek

JUFMP/JEDI.......................................................................... 208
Tabel 4.2

Realisasi Penyaluran Hibah dan Output Kegiatan Hibah

Tahun 2010 s.d. 2011............................................................. 213

Tabel 4.3

PESERTA LKD, KKD, KKDK

SAMPAI DENGAN TAHUN 2011 (ORANG)........................... 216


Tabel 4.4

Trend Belanja Pegawai Daerah 2008-2011........................... 221

Tabel 4.5

Trend Belanja Modal Daerah 2008-2011............................... 222

Tabel 4.6

Konsolidasi Realisasi APBD & Transfer ke Daerah

TA 2008 2010 236 (dalam juta rupiah)................................ 236

Tabel 4.7

Penetapan Perda APBD TA 2007-2012 .................................238

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

xv

xvi

Pelengkap Buku Pegangan 2012

DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Tren Belanja APBD secara Nasional (%) 2008 - 2011........... 220
Grafik 4.2 Trend SiLPA 2007-2010......................................................... 223
Grafik 4.3 Trend Dana Pemda di Perbankan 2006-2011........................ 223

(data Per Desember)............................................................. 223

Grafik 4.4

Hubungan Realisasi Belanja Daerah dengan Jumlah

Kemiskinan dan Pengangguran............................................ 225

Grafik 4.5

Hubungan antara Realisasi Belanja Daerah dengan

Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran............................... 226

Grafik 4.6

Penyampaian APBD 2012 Prov., Kab., dan Kota


Se-Indonesia ....................................................................... 239

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

xvii

BAB I
PENDAHULUAN

Pendahuluan

Pelengkap Buku Pegangan 2012

BAB I
PENDAHULUAN
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah melewati
beberapa fase penting dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan
nasional serta memberikan arah yang jelas bagi pembangunan nasional.
Fase awal pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
di Indonesia bergulir pada awal tahun 2000 saat ditetapkannya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999. Saat ini, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang mengamanatkan bahwa
pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus
dilakukan secara adil, proporsional, dan akuntabel sehingga kebutuhan
pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai
dari sumber-sumber penerimaan dana desentralisasi secara efektif dan
efisien untuk mendanai kebutuhan pengeluaran yang menjadi kewenangan
daerah.
Perjalanan penerapan desentralisasi dari masa ke masa telah memberikan
pelajaran penting bahwa sistem yang sentralistis dapat berakibat pada
inefficiency dan high cost economy dalam penyediaan pelayanan sektor
publik dan penyediaan sarana dan prasarana dalam mengembangkan
perekonomian dan iklim investasi. Dengan demikian, diperlukan adanya
peran Pemerintah dalam menjaga adanya keseimbangan fiskal antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dan keseimbangan fiskal antardaerah.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

Pengalaman membuktikan bahwa pengambilan keputusan yang terlalu


sentralistis di bidang pelayanan sektor publik dan pengembangan bisnis
dan investasi di Indonesia, memberikan kontribusi terhadap rendahnya
akuntabilitas, lambatnya proses pembangunan infrastruktur, menurunnya
tingkat pengembalian pada proyek-proyek industri, dan terhambatnya
pengembangan investasi di daerah. Dengan melakukan ekspansi ekonomi,
kebutuhan dan peluang terhadap meningkatnya pelaksanaan desentralisasi
menjadi sebuah keharusan. Hal ini terlihat dengan transisi ekonomi yang
cukup cepat dilakukan di Indonesia. Namun demikian, sejalan dengan
cepatnya transformasi tersebut maka pemerintah menghadapi kendala
dalam implementasinya terutama dari kapasitas keuangan negara dan
institusi pengelola keuangan negara.
Penerimaan negara dari sumber daya alam terutama minyak dan gas relatif
semakin terbatas, terlebih lagi dengan posisi Indonesia saat ini sebagai net
importir. Terlebih lagi mobilisasi penerimaan negara dari sektor perpajakan
masih menghadapi banyak kendala. Akibatnya keuangan negara masih
harus ditopang dari pembiayaan melalui pinjaman dalam dan luar negeri.
Sementara di sisi lain, ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana
transfer dari pemerintah pusat (dari APBN) cenderung semakin meningkat.
Sejalan dengan makin meningkatnya dana yang ditransfer ke daerah,
maka

kebijakan

pemerintah

pusat

terkait

dengan

anggaran

dan

penggunaannya akan lebih efektif apabila daerah dapat mengelolanya


dengan lebih profesional. Dengan kewenangan yang yang dimiliki daerah
dan keleluasaan dalam penggunaan dana transfer, daerah dapat berbuat
banyak untuk penguatan sektor riil di wilayahnya masing-masing. Di
samping itu koordinasi dan kerjasama antardaerah juga perlu dilakukan agar
terjadi sinergi dalam pelaksanaan program yang direncanakan oleh daerah.

Pendahuluan

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Selanjutnya masyarakat sebagai subyek dan obyek dari semua program


yang dilaksanakan pemerintah perlu diminta masukan dan sarannya agar
terjadi kesesuaian apa yang dilakukan oleh pemerintah dan apa yang
dikehendaki oleh masyarakat.
Sementara itu, dimensi lain dari hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah bukan hanya terkait pola pembagian keuangan dalam
rangka mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah (vertical
fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance), namun juga
mencakup dukungan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
dan daya saing daerah. Untuk itu, pemerintah juga perlu memberikan
bimbingan

kepada

daerah

dalam

rangka

peningkatan

efektifitas

pengelolaan keuangan daerah sebagai subsistem pengelolaan keuangan


daerah, termasuk optimalisasi pengelolaan PAD, pinjaman daerah dan
hibah ke daerah.
Kerangka hubungan keuangan antara pusat dan daerah memberikan
landasan bagi pola pendanaan kepada daerah yang mengacu pada 3 (tiga)
prinsip utama yaitu : (1) perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai
konsekuensi penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah; (2) pemberian sumber keuangan negara kepada pemerintah
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi harus memperhatikan
keseimbangan fiskal; dan (3) perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh
dalam

rangka

pendanaan

penyelenggaraan

asas

desentralisasi,

dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.


Untuk itu, pengaturan hubungan keuangan pusat dan daerah berdasarkan
UU 33/2004 didasarkan atas 4 (empat) prinsip yaitu:

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

1. Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam


rangka dekonsentrasi, dibiayai dari dan atas beban APBN;
2. Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah sendiri dalam rangka
desentralisasi, dibiayai dari dan atas beban APBD;
3. Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah
daerah tingkat atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas
pembantuan, dibiayai oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau
oleh pemerintah daerah tingkat atasnya atas beban APBD-nya sebagai
pihak yang menugaskan; dan
4. Sepanjang potensi sumber-sumber keuangan daerah belum mencukupi,
maka pemerintah pusat memberikan sejumlah bantuan.
Implementasi prinsip hubungan keuangan antara pusat dan daerah
dapat mendukung sinkronisasi pembangunan nasional dan pertumbuhan
ekonomi yang inklusif dengan mengedepankan pembangunan berdimensi
kewilayahan yang menempatkan daerah sebagai pusat pertumbuhan.
Peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk mendukung upaya
pemerintah

dalam

menjaga

keserasian

dan

keseimbangan

antara

pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity). Disamping itu, dalam


menjaga keselarasan dengan prioritas nasional, pemerintah daerah harus
tetap memperhatikan pembangunan daerah yang memprioritaskan pada
pengentasan kemiskinan (pro poor), menciptakan lapangan kerja (pro job),
dan memperhatikan kelestarian lingkungan (pro environment). Dengan
demikian, setiap daerah dapat memberikan kontribusi terbaik dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan nasional dengan tetap mengutamakan
kemandirian daerah dalam mengelola sumber-sumber keuangan daerah.

Pendahuluan

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Pelengkap Buku Pegangan ini disusun untuk dapat memberikan informasi


atas kebijakan hubungan keuangan antara pusat dan daerah mencakup
beberapa hal sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip dasar HKPD yang ditinjau dari sistem pandanaan urusan
pemerintahan, penguatan sistem perpajakan, kebijakan transfer ke
daerah, pembiayaan melalui pinjaman daerah, pelengkap pendanaan
melalui hibah daerah, dan pendanaan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan;
2. Kebijakan penting di bidang HKPD tahun 2012 yang meliputi : informasi
tentang formulasi kebijakan DAK Tahun 2012, Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), Dana Bagi Hasil PBB Migas dan Panas Bumi, Kebijakan
di Bidang Perpajakan dan Retribusi Daerah, ketentuan mengenai batas
maksimal defisit APBD, pelaksanaan pinjaman dan hibah ke daerah,
pengembangan kapasitas melalui pelatihan pengelolaan keuangan
daerah, review atas belanja daerah, pelaksanaan dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan serta dana urusan bersama, dan pengembangan
sistem informasi keuangan daerah serta konsolidasi Laporan Keuangan
Pemerintah.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

BAB II
HUBUNGAN KEUANGAN
PUSAT DAN DAERAH

10

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

BAB II
HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN
DAERAH
2.1. SISTEM PENDANAAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan pedoman
yang jelas bahwa tujuan kehidupan bernegara adalah untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita yang luhur
tersebut, maka diperlukan adanya sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang efektif dan mampu melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Undang-Undang Dasar
1945 telah mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi yang terdiri atas
daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai
hak dan kewajiban dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya
sendiri, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan serta pelayanan kepada masyarakat. Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah harus melaksanakan hubungan keuangan,
pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Filosofi tersebut melandasi pembagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat, pemerintahan provinsi, dan pemerintahan
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

11

kabupaten/kota beserta sistem pendanaan untuk melaksanakan masingmasing urusan dimaksud. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004, sebagian urusan pemerintahan telah diserahkan kepada
pemerintahan daerah. Urusan utama pemerintahan yang terkait dengan
perencanaan, pembangunan, penyediaan dan penyelenggaraan pelayanan
kepada masyarakat telah dilimpahkan kepada pemerintahan kabupaten/
kota dan provinsi untuk dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan
karateristik daerah (otonomi daerah). Sementara pemerintah pusat hanya
melaksanakan 6 (enam) urusan pemerintahan yang bersifat mutlak, yaitu
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional, dan agama, serta beberapa urusan yang tidak diserahkan kepada
daerah.
Selain urusan pemerintahan, daerah juga telah diberikan sumber pendanaan
yang besar dan kewenangan yang luas untuk mengelola sumber-sumber
pendapatan asli daerah, utamanya dari perpajakan (desentralisasi fiskal).
Sesuai dengan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 yang kemudian diganti
dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004, untuk mendanai urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, daerah diberikan dana
perimbangan dan/atau hibah dari APBN dan kewenangan untuk memungut
dan mengelola perpajakan daerah (local taxing power) serta kewenangan
untuk melakukan pinjaman. Sistem pendanaan atas urusan pemerintahan di
daerah dilaksanakan berdasar prinsip (money follow functions), pendanaan
mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung
jawab

masing-masing

tingkat

pemerintahan.

Pembagian

keuangan

antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah secara proporsional,


demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi,

12

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

dan kebutuhan daerah, karena pemerintahan pada hakikatnya harus


melaksanakan tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi stabilisasi,
dan fungsi alokasi. Pemerintah pusat pada umumnya lebih efektif untuk
melaksanakan fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi, sehingga 6 urusan
pemerintahan yang bersifat mutlak, yaitu politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama, serta beberapa
urusan pemerintahan yang terkait dengan pelaksanaan fungsi tersebut tetap
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sementara fungsi alokasi lebih
efektif untuk dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah karena Pemerintah
Daerah lebih dekat dan lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi
masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Kerangka otonomi daerah dan desentralisasi fiskal telah memberikan
dimensi

yang

lebih

jelas

bagi

Daerah

dalam

menyelenggarakan

pemerintahan dan pelayanan serta pengelolaan keuangan berdasarkan


prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat didanai dari APBN, sedangkan
urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah daerah didanai dari
APBD. Dengan demikian sistem pendanaan penyelenggaraan pemerintahan
bisa berjalan efisien, efektif dan tidak menimbulkan tumpang tindih ataupun
tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan. Namun
demikian, pemerintah pusat masih dapat melimpahkan kewenangan kepada
Gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah dan/atau menugaskan
kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala daerah otonom untuk
melaksanakan urusan pemerintahan lainnya di luar 6 urusan yang bersifat
mutlak dalam rangka penyediaan pelayanan yang berskala nasional
(lintas provinsi). Pelimpahan kewenangan kepada Gubernur tersebut
dilaksanakan melalui pendanaan dekonsentrasi, sedangkan penugasan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

13

kepada Gubernur/Bupati/Walikota dilaksanakan melalui pendanaan tugas


pembantuan. Kedua sumber pendanaan tersebut dialokasikan melalui
anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan tidak masuk dalam APBD
karena yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kewenangan atas
urusan pemerintahan yang didanai dari dana dekonsentrasi dan dana tugas
pembantuan adalah pemerintah pusat. Kerangka hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan sebagaimana terinci pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1
Kerangka Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah

Untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan


daerah, sumber-sumber pendanaan yang dapat dikelola oleh Pemerintah
Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman
Daerah, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah. Pendapatan Asli Daerah
bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk
14

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah


sebagai perwujudan desentralisasi.
Pendapatan Asli Daerah bersumber dari hasil Pajak Daerah, hasil
Retribusi Daerah, hasil pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan,
dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang digali dari daerah
yang bersangkutan berdasarkan asas desentralisasi. Dana Perimbangan
merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri
atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi
Khusus (DAK). Ketiga komponen Dana Perimbangan dialokasikan kepada
daerah dalam satu kesatuan sistem transfer dana dari Pemerintah kepada
Pemerintah Daerah guna mengurangi ketimpangan sumber pendanaan
pemerintahan antara Pusat dan Daerah (vertical imbalance) serta untuk
mengurangi

kesenjangan

pendanaan

pemerintahan

antar-Daerah

(horizontal imbalance).
Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk
keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau
peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan
menggunakan sumber APBD. Dana Darurat merupakan bagian dari Lainlain Pendapatan dalam APBD dan diberikan dalam kerangka hubungan
keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dana Darurat
digunakan untuk mendanai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada
tahap pascabencana yang menjadi kewenangan daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengelolaan Dana Darurat
harus dilakukan secara tertib, taat pada ketentuan peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan aspek keadilan dan kepatutan. Oleh karena itu,
penggunaan Dana Darurat hanya digunakan untuk keperluan mendesak

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

15

dan penggunaannya tidak dapat digunakan untuk mendanai kegiatan yang


telah didanai dari sumber lainnya dalam APBN.
Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan yang bertujuan
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat. Mengingat peranannya sebagai salah
satu sumber pembiayaan, Pemerintah Daerah dituntut mampu mengelola
pinjaman berdasarkan kriteria, persyaratan dan mekanisme yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan agar tidak menimbulkan dampak
negatif bagi kondisi keuangan daerah yang bersangkutan serta stabilitas
ekonomi dan moneter secara nasional. Sementara Lain-lain Pendapatan
yang Sah bertujuan memberikan peluang kepada daerah untuk memperoleh
pendapatan lainnya yang berasal dari hasil kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan, hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan negara
yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, tuntutan ganti rugi,
keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi,
potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Selain sumber pendanaan dan pembiayaan, dalam rangka desentralisasi
fiskal, Daerah juga telah diberikan diskresi untuk mengelola belanja daerah
sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah. Sumber dana dalam APBD
dapat dialokasikan untuk mendanai pelaksanaan urusan wajib dan urusan
pilihan dalam bentuk program dan kegiatan yang terkait dengan peningkatan
pelayanan publik, penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan,
peningkatan kualitas lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi daerah. Namun
pengelolaan sumber dana APBD harus dilaksanakan secara tertib, taat
pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan
dan dapat dipertanggung-jawabkan, agar setiap dana yang dibelanjakan

16

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

dapat menghasilkan output yang terukur dalam menstimulasi peningkatan


kesejahteraan masyarakat daerah.

2.2. PENGUATAN SISTEM PERPAJAKAN DAERAH


Sejak otonomi daerah digulirkan tahun 2001, daerah telah diberikan
keleluasaan untuk memungut dan mengelola sendiri sumber-sumber
penerimaan yang berasal dari daerahnya. Dengan diundangkannya UndangUndang Nomor 34 tahun 2000 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, daerah diberi
kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis pajak, yaitu 4 (empat) jenis
Pajak Provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak Kabupaten/Kota sesuai dengan tarif
pajak maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang.
Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan
jenis Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam
undang-undang dan menetapkan jenis retribusi selain yang ditetapkan
dalam peraturan pemerintah. Namun keleluasan tersebut ternyata belum
efektif untuk meningkatkan PAD agar dapat mendanai pelaksanaan otonomi
daerah. Hal tersebut terutama terindikasi dari :
1. Belum adanya perubahan signifikan terhadap komposisi pendapatan
daerah.

Pada tahun 2010 dan 2011, kontribusi hasil penerimaan pajak daerah
dan retribusi daerah terhadap pendapatan APBD provinsi/kabupaten/
kota masing-masing adalah 14,2% dan 14,9%. Kondisi tersebut relatif
tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dibandingkan dengan
tahun 2001, dimana kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi
daerah terhadap total pendapatan APBD provinsi/kabupaten/kota

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

17

adalah sebesar 11,9%. Relatif rendahnya peranan pajak dan retribusi


daerah tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar daerah masih
banyak bergantung pada DAU, DBH, dan DAK sebagai sumber utama
penerimaan APBD. Sehingga pemberian peluang untuk mengenakan
pungutan

baru

yang

semula

diharapkan

dapat

meningkatkan

penerimaan daerah, dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan


dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran APBD.
2. Jenis

pajak

dan

retribusi

cenderung

kontraproduktif

terhadap

perekonomian daerah.

Hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh Daerah memberikan


dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan
Daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang
tindih dengan pungutan pusat serta cenderung merintangi arus barang
dan jasa antardaerah. Kondisi tersebut mengakibatkan kegiatan
investasi di daerah menjadi tidak berkembang dan perekonomian
daerah sangat bergantung pada pada ekspansi belanja APBD.

3. Rendahnya kepatuhan Daerah dalam menyampaikan Perda Pajak


Daerah dan Retribusi Daerah kepada Pemerintah Pusat.
Secara prinsip, ketentuan perpajakan daerah tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Untuk memastikan hal tersebut, setiap Perda yang
mengatur pajak dan retribusi dalam jangka waktu 15 (lima belas)
hari kerja sejak ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerintah
Pusat untuk dievaluasi. Namun demikian, masih banyak Daerah yang
tidak menyampaikan Perda kepada pemerintah pusat dan beberapa
Daerah masih tetap memberlakukan Perda yang telah dibatalkan oleh
Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena undang18

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Pemda yang


melanggar ketentuan tersebut.
4. Masih terbatasnya basis pajak di kabupaten/kota
Pengaturan

kewenangan

perpajakan

dan

retribusi

yang

ada

pada saat itu kurang mendukung pelaksanaan otonomi daerah.


Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula
dalam perpajakan dan retribusi. Basis pajak kabupaten dan kota
yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam
penetapan tarif pajaknya mengakibatkan daerah selalu mengalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya.

Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan


dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas
daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan
anggaran secara efisien dan kurangnya kontrol masyarakat setempat
atas

penggunaan anggaran daerah karena merasa tidak dibebani

dengan pajak dan retribusi.


Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah,
Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam
perpajakan dan retribusi. Kebutuhan akan hal tersebut diakomodir oleh
Pemerintah Pusat dengan dilakukannya perubahan perpajakan di daerah
melalui Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut telah diatur ketentuan
baru terkait dengan:
1. Perluasan basis pajak dan retribusi yang dapat dikelola oleh daerah

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

19

Perluasan basis pajak dan retribusi yang dapat dikelola oleh daerah
melalui perluasan terhadap objek pengenaan pajak dan retribusi,
pengalihan sebagian pajak pusat menjadi pajak daerah, dan
penambahan jenis pajak baru.

Perluasan objek pengenaan pajak dilakukan terhadap Pajak Kendaraan


Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang diperluas
hingga mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga
mencakup seluruh persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga
mencakup pelayanan katering. Sementara itu, perluasan objek retribusi
dilakukan terhadap Retribusi Izin Gangguan yang pengenaannya
diperluas hingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan
usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan
ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban
lingkungan dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja.

Pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah meliputi Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang dialihkan pada tahun
2011 dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB
P2) yang dialihkan paling lambat tahun 2014. Sementara jenis pajak
dan retribusi baru yang dapat dikelola daerah adalah Pajak Sarang
Burung Walet sebagai pajak kabupaten/kota dan Pajak Rokok sebagai
pajak baru bagi provinsi, Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi
Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi,
dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.

2. Ketentuan batas maksimum dan minimum dalam pengenaan tarif pajak


daerah.
Maksud penentuan batas maksimum adalah guna menghindari
penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi
20

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

masyarakat secara berlebihan. Sementara itu, penentuan tarif minimum


dimaksudkan untuk menghindari perang tarif pajak antardaerah untuk
objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor. Khusus
Pajak Kendaraan Bermotor, kebijakan penetapan tarifnya diarahkan
untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan
memberikan kewenangan Daerah menerapkan tarif pajak progresif
untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya.
3. Dasar Pengenaan Pajak Rokok atas cukai rokok.
Tarif Pajak Rokok ditetapkan secara definitif agar Pemerintah dapat
menjaga keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh
industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan daerah melalui
penetapan tarif cukai nasional.
4. Penambahan jenis Retribusi selain yang telah ditetapkan dalam
undang-undang.

Daerah diberikan peluang untuk menambah jenis Retribusi selain


yang ditetapkan dalam undang-undang sepanjang memenuhi kriteria
yang ditetapkan. Penambahan jenis retribusi tersebut dimaksudkan
untuk mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari
Pemerintah Pusat kepada Daerah yang akan diatur dengan peraturan
pemerintah.

5. Kebijakan earmarking untuk jenis pajak daerah tertentu


Untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan, sebagian
hasil pendapatan pajak daerah tertentu dialokasikan untuk membiayai
kegiatan yang dapat dirasakan secara langsung oleh pembayar
pajak tersebut. Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk
membiayai penerangan jalan, Pajak Kendaraan Bermotor sebagian

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

21

dialokasikan

untuk

pembangunan

dan/atau

pemeliharaan

jalan

serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum, dan Pajak


Rokok sebagian dialokasikan untuk membiayai pelayanan kesehatan
masyarakat dan penegakan hukum.
6. Perubahan mekanisme pengawasan terhadap pungutan daerah dari
sistem represif menjadi sistem preventif dan korektif.
Setiap Rancangan Perda tentang pajak dan retribusi, sebelum
ditetapkan menjadi Perda harus dievaluasi terlebih dahulu oleh
Pemerintah. Perda yang sudah ditetapkan dapat dibatalkan oleh
Pemerintah apabila bertentangan dengan kepentingan umum dan/
atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan
pembatalan Perda yang semula berada pada Menteri Dalam Negeri
dialihkan kepada Presiden untuk memperkuat dasar hukum pembatalan.
Selain itu, daerah yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
dapat dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana
alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.

2.3. KEBIJAKAN TRANSFER KE DAERAH


Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, sejak tahun 2001 sampai
dengan tahun 2007 telah digunakan instrumen kebijakan Dana Perimbangan
untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah dan antar Pemerintahan Daerah. Instrumen kebijakan tersebut
telah diperluas sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pendanaan urusan
pemerintahan yang harus dilaksanakan oleh daerah.

22

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Sejak tahun 2008 dana desentralisasi yang dialokasikan dalam APBN


dengan nomenklatur anggaran yang dialokasikan ke daerah telah
mengalami perubahan dari yang semula Anggaran Belanja Daerah menjadi
Anggaran Transfer ke Daerah. Perubahan tersebut dilakukan sesuai
dengan filosofi dasar dari otonomi daerah yaitu bahwa dana desentralisasi
yang dialokasikan ke daerah dilakukan berdasarkan prinsip money follows
function. Hakikatnya yang mempunyai kewenangan membelanjakan dan
mempertanggungjawabkan anggaran adalah pemerintahan daerah. Selain
itu perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk memperluas cakupan dana
yang dialokasikan ke daerah, sesuai dengan kebutuhan untuk mendanai
beberapa urusan pemerintahan yang kewenangannya telah diserahkan
kepada daerah. Transfer ke Daerah terdiri dari Dana Perimbangan berupa
Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi
Khusus (DAK), serta Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian.
Kebijakan alokasi Transfer ke Daerah diarahkan untuk mencapai tujuan
sebagai berikut:
1. Meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan
fiskal antara pusat dan daerah dan antardaerah.
2. Menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sesuai dengan
pembagian urusan pemerintahan.
3. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi
kesenjangan pelayanan publik antardaerah.
4. Meningkatkan kemampuan daerah dalam mendorong perekonomian
daerah.
5. Mendukung kesinambungan fiskal nasional.
6. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional.
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

23

7. Meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional


dengan rencana pembangunan daerah.

2.3.1. Dana Bagi Hasil (DBH)


Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
DBH dialokasikan berdasarkan prinsip by origin, dimana daerah penghasil
penerimaan negara mendapatkan bagian (persentase) yang lebih besar
dan daerah lainnya dalam satu provinsi mendapatkan bagian (persentase)
berdasarkan

pemerataan.

Sedangkan

penyaluran

DBH

dilakukan

berdasarkan prinsip by actual, dimana besarnya DBH yang disalurkan


kepada daerah, baik daerah penghasil maupun yang mendapat alokasi
pemerataan didasarkan atas realisasi penyetoran Penerimaan Negara
Pajak (PNP) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun anggaran
berjalan.
Dana Bagi Hasil terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA).
Dana Bagi Hasil Pajak meliputi DBH Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
DBH Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri (PPh Pasal 25/29 WP OPDN) dan Pajak Penghasilan Pasal
21 (PPh Pasal 21), dan DBH Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam berasal dari kehutanan, pertambangan
umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi,
dan pertambangan panas bumi.
Perhitungan Dana Bagi Hasil SDA dilakukan berdasarkan Penerimaan
Negara bukan Pajak dari masing-masing jenis sumber daya alam yang

24

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 dibagihasilkan


kepada daerah. Dasar Perhitungan DBH SDA adalah sebagai berikut:
1. DBH SDA Minyak bumi, dihitung berdasarkan produksi minyak yang
terjual (lifting) dan produksi gas yang terjual dari masing-masing
Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) setelah dikurangi dengan
Domestic Market Obligation (DMO), Fee Usaha Hulu Migas, Pajakpajak (PPN dan PBB), serta Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. DBH SDA Pertambangan Umum, dihitung berdasarkan penerimaan
dari iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas kesempatan
penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi pada suatu wilayah kerja
(Landrent) dan iuran produksi pemegang kuasa usaha pertambangan
atas hasil dari kesempatan eksplorasi/eksploitasi (Royalty).
3. DBH SDA Kehutanan, dihitung berdasarkan penerimaan negara dari
Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), Provisi Sumber Daya
Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi (DR). IIUPH merupakan pungutan
yang dikenakan kepada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat
izin usaha diberikan. PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai
pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan Negara.
Sedangkan DR adalah dana yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa kayu dalam
rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.
4. DBH SDA Perikanan, dihitung berdasarkan Pungutan Pengusahaan
Perikanan (P3) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Pungutan
Pengusahaan Perikanan adalah pungutan negara yang dikenakan
kepada pemegang Izin Usaha Perikanan dan/atau Persetujuan
Penggunaan Kapal Asing (PPKA) sebagai imbalan atas kesempatan
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

25

yang diberikan oleh Pemerintah untuk melakukan usaha perikanan


dalam Wilayah Perikanan Republik Indonesia. Pungutan Hasil
Perikanan adalah pungutan negara yang dikenakan kepada pemegang
Surat Penangkapan Ikan (SPI) dan atau Surat Izin Kapal Penangkap
dan Pengangkut Ikan Indonesia (SIKPPII) dan atau Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) sesuai dengan hasil produksi perikanan yang
diperoleh dan dijual di dalam negeri dan atau luar negeri.
5. DBH SDA Panas Bumi, dihitung berdasarkan setoran bagian Pemerintah
setelah dikurangi kewajiban perpajakan dan pungutan lainnya atas
dasar kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ditetapkan
dan Iuran Tetap dan Iuran Produksi. Iuran Tetap merupakan iuran
yang dibayarkan kepada negara sebagai kesempatan atas eksplorasi,
studi kelayakan, dan ekspoitasi pada suatu wilayah, sedangkan Iuran
Produksi adalah iuran yang diberikan kepada negara atas hasil yang
diperoleh dari usaha pertambangan panas bumi.
Selanjutnya PNBP SDA dimaksud dibagi hasilkan ke daerah secara
triwulan sesuai dengan proporsi dana bagi hasil SDA yang diatur dalam
ketentuan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004.

2.3.2. Dana Alokasi Umum (DAU)


DAU adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi. Sebagai equalization grant, DAU merupakan instrumen

26

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

transfer yang alokasinya ditujukan untuk meminimumkan ketimpangan


fiskal antar daerah, sekaligus memeratakan kemampuan antar daerah.
DAU dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan jumlah
keseluruhan DAU (DAU nasional) yang secara final ditetapkan dalam APBN,
yakni sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto.
PDN neto merupakan pendapatan dalam negeri setelah dikurangi dengan
penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Proporsi DAU
untuk provinsi dan kabupaten/kota dihitung berdasarkan perbandingan
antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan
kabupaten/kota. Namun apabila proporsi DAU untuk provinsi dan kabupaten/
kota belum dapat dihitung secara kuantitatif, proporsinya dapat ditetapkan
dengan imbangan 10% untuk provinsi dan 90% untuk kabupaten/kota.
Pengalokasian DAU untuk suatu daerah didasarkan atas formula yang
memperhitungkan Alokasi Dasar dan Celah Fiskal (Fiscal Gap). Alokasi
dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Daerah, yang
meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai
dengan peraturan penggajian Pegawai Negeri Sipil termasuk didalamnya
tunjangan beras dan tunjangan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21).
Sedangkan Celah Fiskal merupakan selisih antara Kebutuhan Fiskal
dengan Kapasitas Fiskal. Kebutuhan Fiskal mencerminkan kebutuhan dana
yang diperlukan oleh daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar
umum. Sehingga untuk mengukur Kebutuhan Fiskal digunakan variable
jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Kontruksi, Produk
Domestik Regional Bruto per Kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.
Sementara Kapasitas Fiskal mencerminkan kemampuan fiskal daerah
dalam mendanai pelaksanaan layanan dasar umum. Pengukuran Kapasitas

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

27

Fiskal dilakukan dengan berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana


Bagi Hasil yang secara cash basis diterima daerah.
DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu provinsi dihitung berdasarkan
perkalian bobot provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh
provinsi, dimana angka bobot provinsinya diperoleh dari perbandingan
antara celah fiskal provinsi yang bersangkutan dengan total celah fiskal
seluruh provinsi. Begitu juga dengan DAU atas dasar celah fiskal untuk
suatu kabupaten/kota, besarnya dihitung dari perkalian bobot provinsi yang
bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi. Bobot kabupaten/kota
diperoleh dari perbandingan antara celah fiskal provinsi yang bersangkutan
dengan total celah fiskal seluruh kabupaten/kota.
Untuk daerah otonom baru, DAU dialokasi setelah adanya penetapan
definitif daerah yang bersangkutan melalui undang-undang pembentukan
daerah. Alokasi DAU-nya dihitung setelah tersedianya data yang digunakan
untuk menghitung alokasi dasar dan celah fiskal. Sebelum adanya
ketersediaan data, DAU untuk daerah tersebut dihitung dengan cara
membagi DAU secara proporsional dengan daerah induknya berdasarkan
jumlah penduduk, luas wilayah, dan belanja pegawai.

2.3.3. Dana Alokasi Khusus (DAK)


Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang bersumber dari
Pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
sesuai prioritas nasional. Kegiatan khusus yang didanai DAK adalah
penyediaan/perbaikan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat
serta kegiatan yang dapat mendorong percepatan pembangunan daerah

28

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

dan pencapaian sasaran prioritas nasional. Adapun kebijakan umum


pengalokasian DAK adalah sebagai berikut:
1. mendukung pencapaian prioritas nasional, termasuk program-program
prioritas nasional yang bersifat lintas sektor/kewilayahan sesuai dengan
kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure
framework) dan penganggaran berbasis kinerja (performance based
budgeting).
2. membantu daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif
rendah dalam membiayai pelayanan publik dalam rangka pemerataan
pelayanan dasar dan mendorong pencapaian Standar Pelayanan
Minimal (SPM).
3. meningkatkan kualitas perhitungan alokasi DAK, serta mempercepat
penyusunan petunjuk teknis penggunaan DAK yang ditujukan untuk
mendorong penyusunan APBD yang efektif, efisien, dan tepat waktu.
4. meningkatkan koordinasi pengelolaan DAK secara utuh dan terpadu di
pusat dan daerah sehingga terwujud sinkronisasi kegiatan DAK dengan
kegiatan lain yang didanai dari sumber-sumber pendanaan lainnya.
5. meningkatkan penyediaan data-data teknis yang lebih akurat sebagai
basis kebijakan kementerian dan lembaga dalam rangka meningkatkan
keserasian dan menghindari duplikasi kegiatan antar Bidang DAK.
6. mendorong penggunaan kinerja pelaporan sebagai salah satu
pertimbangan dalam penyusunan kriteria pengalokasian DAK.
Penentuan alokasi DAK dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu (1) penentuan
daerah tertentu yang menerima DAK dan (2) penentuan alokasi DAK untuk
masing-masing daerah. Penentuan daerah tertentu didasarkan atas tiga
kriteria yang dilakukan secara berjenjang, yaitu:

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

29

Pertama; Kriteria Umum (KU), yang ditentukan berdasarkan kemampuan


keuangan daerah (indeks fiskal neto) yang dicerminkan dari penerimaan
umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil di daerah.
Penerimaan umum APBD terdiri dari PAD, DAU, dan DBH kecuali DBH
yang penggunaannya diarahkan (earmarking). Daerah dengan KU dibawah
rata-rata KU secara Nasional adalah daerah yang menjadi prioritas
mendapatkan DAK.
Kedua; Kriteria Khusus (KK), yang ditentukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus
dan aspek karakteristik daerah. Karakteristik daerah, meliputi:

a. Daerah tertinggal;
b. Daerah perbatasan dengan negara lain;
c. Daerah rawan bencana;
d. Daerah pesisir dan/atau kepulauan;
e. Daerah ketahanan pangan;
f. Daerah pariwisata
Ketiga; Kriteria Teknis (KT), yang ditentukan berdasarkan indikatorindikator teknis yang dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana
yang akan didanai dari DAK. Kriteria ini dirumuskan melalui indeks teknis
yang disusun oleh Menteri Teknis terkait.

2.3.4. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian


Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang diberikan kepada daerah yang telah ditetapkan
30

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

sebagai daerah otonomi khusus berdasarkan undang-undang otonomi


khusus. Ada dua undang-undang yang mengatur Otonomi Khusus, yaitu
UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua (jo) UU No. 35/2008
dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Alokasi Dana Otsus
bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat besarnya adalah 2% dari
Pagu DAU Nasional, dengan pembagian 70% untuk Provinsi Papua dan
30% untuk Provinsi Papua Barat. Selain dana Otsus, Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat juga mendapatkan alokasi alokasi Dana Tambahan
Infrastruktur yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan keuangan
negara dan tambahan porsi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas
Bumi masing-masing sebesar 55% dan 40% dari PNBP SDA Minyak bumi
dan Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi yang bersangkutan.
Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh berlaku untuk jangka waktu 20 tahun
sejak 2008, yang alokasinya dibedakan menjadi dua, yakni : (i) untuk
tahun pertama s.d tahun ke lima belas, besarnya setara dengan 2% plafon
DAU Nasional, dan (ii) untuk tahun keenam belas s.d tahun kedua puluh,
besarnya setara dengan 1% plafon DAU Nasional. Sedangkan tambahan
porsi DBH SDA Migas dalam rangka Otsus besarnya sama dengan untuk
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yakni masing-masing sebesar
55% dan 40% dari PNBP SDA Minyak bumi dan Gas Bumi yang berasal
dari wilayah provinsi yang bersangkutan.
Dana Penyesuaian dialokasikan dari pendapatan APBN untuk mendukung
pelaksanaan bidang pendidikan dan bidang lainnya yang menjadi prioritas
nasional di daerah. Alokasi dana penyesuaian yang terkait dengan bidang
pendidikan adalah:
1. Dana Tunjangan Profesi Guru PNSD; dialokasikan untuk memberikan
tunjangan profesi kepada daerah guru PNS di daerah. Alokasi dana

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

31

tersebut dihitung berdasarkan jumlah guru PNSD yang telah memiliki


sertifikasi profesi dan besarnya gaji pokok guru yang bersangkutan
sesuai dengan jenjang kepangkatan dan golongan.
2. Dana Tunjangan Tambahan Penghasilan Guru PNSD; dialokasikan
untuk memberikan tambahan penghasilan kepada daerah guru PNS di
daerah yang belum memiliki sertifikasi profesi. Alokasi dana tersebut
dihitung berdasarkan jumlah guru PNSD yang belum memiliki sertifikasi
profesi dan besarnya tambahan penghasilan yang ditetapkan, yakni
sebesar Rp250 ribu per guru per bulan tanpa memperhatikan jenjang
kepangkatan dan golongan.
3. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS); dialokasikan terutama
untuk mendanai kebutuhan biaya non personalia bagi satuan
pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar dan dapat
dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain sesuai petunjuk
teknis yang ditetapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dana
BOS dialokasikan berdasarkan jumlah siswa sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama dan penetapan besarnya tarif bantuan per siswa
per tahun.
4. Dana Insentif Daerah (DID); dialokasikan kepada beberapa daerah
sebagai insentif atas prestasi yang dicapai dalam kinerja pengelolaan
keuangan, pendidikan, ekonomi dan kesejahteraan. Alokasi DID
bertujuan untuk mendorong daerah agar selalu berupaya mengelola
keuangannya secara lebih baik yang ditunjukkan dari perolehan opini
Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah dan dapat menetapkan APBD secara tepat waktu. Daerah yang
menerima DID dapat menggunakan dana tersebut untuk membiayai

32

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggungjawab pemerintah


daerah.

2.4. DANA DARURAT


Kebijakan Dana Darurat merupakan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan
Daerah. Berdasarkan Pasal 46 ayat (1), Pemerintah mengalokasikan
Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang
diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak
dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD.
Pengaturan lebih lanjut mengenai Dana Darurat diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 44 Tahun 2012 tentang Dana Darurat yang mulai berlaku
pada tanggal 19 Maret 2012.
Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat kepada Daerah yang mengalami
Bencana Nasional dan/atau Peristiwa Luar Biasa dan tidak dapat
ditanggulangi dengan APBD. Keadaan yang digolongkan sebagai Bencana
Nasional dan/atau Peristiwa Luar Biasa tersebut ditetapkan oleh Presiden.
Dana Darurat hanya dapat digunakan untuk keperluan mendesak dan
mendanai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahap pascabencana
yang menjadi kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dana Darurat dapat diteruskan oleh Pemerintah
Daerah kepada badan usaha milik daerah yang melaksanakan fungsi
pelayanan publik.
Menteri Keuangan menetapkan alokasi Dana Darurat bagi Daerah yang
terkena Bencana Nasional dan/atau Peristiwa Luar Biasa sebelum tahun
anggaran berakhir setelah melalui persetujuan DPR, dan alokasi tersebut

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

33

merupakan bagian dari belanja transfer ke Daerah. Dana Darurat disalurkan


secara bertahap sesuai dengan capaian kinerja. Penyaluran Dana Darurat
tersebut dilaksanakan berdasarkan penilaian Menteri Keuangan dengan
berkoordinasi dengan menteri/pimpinan lembaga nonpemerintah terkait.

2.5. PINJAMAN DAERAH


Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi
daerah yang diatur dalam Undang-Undang No. 33/2004. Pinjaman
daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam APBD. Hal ini
sejalan dengan Undang-Undang No.17/2003 tentang Keuangan Negara
yang menyatakan bahwa selain mengalokasikan Dana Perimbangan
kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah dapat memberikan pinjaman dan/
atau hibah kepada Pemerintah Daerah.
Peraturan perundang-undangan tersebut secara tegas menjelaskan
pelaksanaan kebijakan pinjaman dan hibah daerah merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari penyelenggaraan asas desentralisasi
dan otonomi daerah. Pemberian pinjaman dan/atau hibah oleh Pemerintah
kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya merupakan wujud pelaksanaan
Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang
merupakan suatu sistem pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara
kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional,
demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi,
dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian
kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut,
termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya.
34

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Pinjaman daerah dapat digunakan untuk membiayai kegiatan yang


merupakan inisiatif dan kewenangan daerah berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan/atau digunakan untuk menutup kekurangan kas
daerah. Dana pinjaman dapat ditujukan untuk mendanai kegiatan investasi
berupa pengadaan prasarana dan/atau sarana daerah yang memberikan
manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Kegiatan investasi tersebut
memberikan sumbangan bagi perekonomian daerah pada umumnya dan/
atau penerimaan daerah pada khususnya. Selain itu, dana pinjaman juga
dapat ditujukan untuk mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan
dengan arus kas daerah. Oleh karena itu, bagi Pemerintah Daerah
yang akan melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dan
meningkatkan daya saing daerah, pinjaman daerah dapat menjadi salah
satu alternatif pembiayaannya. Namun demikian, Pemerintah Daerah
juga harus memperhitungkan risiko apabila akan melakukan pinjaman
daerah, seperti risiko kesinambungan fiskal, risiko tingkat bunga, dan risiko
pembiayaan kembali. Untuk itu diperlukan kecermatan dan kehati-hatian
dalam pengelolaan pinjaman daerah.
Pemerintah Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada
pihak luar negeri, kecuali dalam hal pinjaman langsung kepada pihak luar
negeri yang terjadi karena kegiatan transaksi obligasi daerah di Pasar
Modal Domestik. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak
boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah. Khusus untuk Obligasi Daerah,
Pemerintah Daerah dapat menggunakan proyek yang dibiayai dari obligasi
daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut
sebagai jaminan obligasi daerah.

2.6. HIBAH DAERAH


Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

35

Hibah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara


asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah,
badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa,
rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan
yang tidak perlu dibayar kembali. Hibah daerah meliputi hibah kepada
Pemerintah Daerah dan hibah dari Pemerintah Daerah dalam bentuk uang,
barang dan/atau jasa. Hibah kepada Pemerintah Daerah dapat bersumber
dari : (i) Pemerintah, (ii) Pemerintah Daerah lain, (iii) Badan/lembaga
organisasi swasta dalam negeri; dan/atau (iv) Kelompok masyarakat/
perorangan dalam negeri. Hibah dari Pemerintah dapat bersumber dari
penerimaan dalam negeri, pinjaman luar negeri, dan hibah luar negeri
yang berasal dari Pemerintah negara asing, Badan/lembaga asing, Badan/
lembaga internasional; dan/atau donor lainnya.
Hibah kepada Pemerintah Daerah yang bersumber dari penerimaan dalam
negeri dan pinjaman luar negeri, serta hibah dari Pemerintah Daerah
dituangkan dalam Perjanjian Hibah Daerah. Hibah yang bersumber dari
hibah luar negeri dilakukan melalui Pemerintah dengan penandatanganan
Perjanjian Penerusan Hibah. Perjanjian Hibah kepada Pemerintah Daerah
ditandatangani antara Menteri atau pejabat yang diberi kuasa dan Gubernur
atau Bupati/Walikota atau pejabat yang diberi kuasa.
Hibah daerah merupakan kewenangan Pemerintah dan bersifat bantuan
untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan
Pemerintah Daerah. Pengusulan Pemerintah Daerah sebagai penerima
hibah dilakukan oleh Kementerian/Lembaga dengan mempertimbangkan:
1. Kapasitas fiskal daerah;
2. Daerah yang ditentukan oleh Pemberi Hibah Luar Negeri;

36

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

3. Daerah yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh kementerian


negara/lembaga pemerintah non kementerian terkait; dan/atau
4. Daerah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Sebagai salah satu instrumen pendanaan desentralisasi, hibah daerah
merupakan suatu upaya mendukung dan melengkapi mekanisme dana
perimbangan. Hibah daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai
berikut:
1. Hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dilaksanakan dalam
kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.
2. Hibah dapat diteruskan kepada Badan Usaha Milik Daerah.
3. Hibah diprioritaskan untuk penyelenggaraan pelayanan publik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.
Hibah

dilaksanakan

dengan

memperhatikan

stabilitas

dan

keseimbangan fiskal.
5. Kegiatan yang dibiayai hibah diusulkan oleh Kementerian Negara/
Lembaga terkait merupakan diskresi Pemerintah.
6. Hibah disalurkan dengan menerapkan prinsip transfer berbasis kinerja
(performance-based).

2.7. DANA DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN


Penyerahan beberapa urusan pemerintahan kepada daerah, telah
memberikan konsekuensi bahwa Kementerian/Lembaga Negara tidak lagi
memerlukan instansi vertikal di daerah sebab urusan pemerintahan tersebut
akan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

37

dengan bidang tugasnya. Urusan Kementerian Negara/lembaga yang


mempunyai instansi vertikal didaerah hanya sebatas yang terkait dengan
pelaksanaan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
dan fiskal nasional, dan agama.
Untuk melaksanakan program/kegiatan atas urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat, Kementerian Negara dapat
menggunakan SKPD melalui dana dekonsentrasi dan/atau dana tugas
pembantuan, atau menggunakan SKPD kabupaten/kota melalui dana tugas
pembantuan. Namun pengalokasian dana dekonsentrasi dan dana tugas
pembantuan tersebut harus didahului dengan pelimpahan wewenang dan
penugasan kepada kepala daerah yang ditunjuk dan dilakukan sesuai
dengan mekanisme perencanaan dan penganggaran dalam APBN dan
APBD.
Pada tahap perencanaan anggaran, Menteri atau Pimpinan lembaga
harus memberikan informasi kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota
mengenai program/kegiatan yang akan dilimpahkan kepada Gubernur dan
akan ditugaskan kepada Gubernur/Bupati/Walikota. Hal ini dimaksudkan
agar informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan penyusunan
APBD, sehingga ada sinkronisasi antara program/kegiatan yang akan
dilaksanakan melalui dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan
dengan program/kegiatan yang akan dilaksanakan melalui dana APBD.
Prinsipnya, program dan kegiatan yang didanai oleh kementerian Negara/
lembaga melalui dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan tidak
akan tumpang tindih (overlap) dengan program dan kegiatan yang akan
didanai dari APBD, karena jenis urusan yang didanainya berbeda.
Kementerian negara/lembaga tidak boleh mendanai program/kegiatan
yang mencerminkan urusan pemerintahan daerah. Apabila ada anggaran

38

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

kementerian Negara/lembaga, termasuk yang sebelumnya dialokasikan


dalam bentuk dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, maka
sesuai dengan ketentuan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 33 tahun
2004 dana tersebut perlu dialihkan secara bertahap menjadi DAK agar
dapat dikelola oleh pemerintahan daerah sesuai dengan kewenangannya.
Mekanisme dan proses pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan secara bertahap telah diatur dalam PP No. 7 Tahun 2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Pada tahap pelaksanaan, Gubernur atau Bupati/Walikota melalui SKPD
yang ditunjuk melaksanakan dana dekonsentrasi dan dana tugas
pembantuan,

mempunyai

kewajiban

menyampaikan

laporan

teknis

dan keuangan terhadap pelaksanaan dana dimaksud kepada menteri/


pimpinan lembaga. Selanjutnya menteri/pimpinan lembaga yang akan
mempertanggungjawabkan

pelaksanaan

dana

dekonsentrasi

dan

dana tugas pembantuan karena dana tersebut merupakan bagian dari


anggaran Kementerian Negara/Lembaga. Walaupun dalam penganggaran,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan terpisah dari APBD, namun dana tersebut bisa menjadi
pendukung bagi APBD. Hal ini karena asset yang dihasilkan dari
pelaksanaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan dapat
dihibahkan oleh kementerian negara/lembaga kepada daerah agar dapat
dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat di daerah.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

39

40

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

BAB III
KEBIJAKAN HUBUNGAN
KEUANGAN PUSAT DAN
DAERAH TAHUN 2012

42

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

BAB III
KEBIJAKAN HUBUNGAN KEUANGAN
PUSAT DAN DAERAH TAHUN 2012
3.1. TRANSFER KE DAERAH
3.1.1. PENDAHULUAN
Secara konseptual, kebijakan Transfer ke Daerah diarahkan dalam
mengurangi ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah melalui alokasi
DBH dan meminimalkan kesenjangan fiskal antar daerah melalui DAU dan
DAK sehingga dapat mendukung kebutuhan pendanaan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan terutama kepada daerah-daerah marginal
yang memiliki potensi DBH SDA dan DBH Pajak sangat terbatas. Namun
demikian, seiring dengan perjalanan

desentralisasi fiskal di Indonesia

yang telah memasuki tahun ke 12, tantangan dari tahun ke tahun semakin
berat. Salah satu keberhasilan Pemerintah dalam rangka melaksanakan
formula dan kriteria Transfer ke Daerah secara konsisten adalah dengan
menghilangkan komponen Dana Penyesuaian yang bersifat adhoc dalam
TA 2012.
Reformulasi kebijakan, penghitungan, dan alokasi Transfer ke Daerah setiap
tahun dapat memberikan benefit yang cukup signifikan bagi pembangunan
di daerah provinsi, kabupaten, dan kota serta dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi secara nasional. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
indikator di beberapa daerah yang telah mampu meningkatkan perbaikan
kesejahteraan masyarakat baik yang tercermin dari pertumbuhan PDRB
perkapita maupun berdasarkan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

43

yang terus meningkat setiap tahun dan diiringi pula dengan peningkatan
kualitas pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik yang lebih baik.
Untuk mendukung reformulasi kebijakan yang berkelanjutan, maka arah
kebijakan Transfer ke Daerah tetap diarahkan untuk :
1. meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan
fiskal antara pusat & daerah dan antardaerah;
2. menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sesuai dengan
pembagian urusan pemerintahan;
3. meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi
kesenjangan pelayanan publik antardaerah;
4. mendukung kesinambungan fiskal nasional;
5. meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali potensi ekonomi
daerah;
6. meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; dan
7. meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional
dengan rencana pembangunan daerah.
Kebijakan alokasi Dana Transfer ke Daerah pada Tahun 2012 yang
terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
ditetapkan sebesar Rp. 478.775,9 miliar. Selanjutnya, Dana Perimbangan
tahun 2012 dialokasikan sebesar Rp. 408.352,1 miliar yang terdiri dari Dana
Bagi Hasil sebesar Rp.108.421,7 miliar, Dana Alokasi Umum sebesar Rp.
273.814,4 miliar dan Dana Alokasi Khusus sebesar Rp. 26.115,9 miliar.
Dana Perimbangan merupakan komponen terbesar dalam alokasi
Transfer ke Daerah, sehingga mempunyai peranan yang sangat penting
dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah.
Pemerintah terus berupaya melakukan perbaikan (continuous improvement)
44

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

terhadap mekanisme penyaluran Transfer ke Daerah. Perbaikan tersebut


dapat dilihat dari telah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 06/
PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran
Transfer ke Daerah yang menyempurnakan PMK-PMK sebelumnya yaitu
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 04/PMK.07/2008, Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 21/PMK.07/2009 dan direvisi lagi dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010. Perbaikan mekanisme
penyaluran anggaran Transfer ke Daerah tersebut terutama dimaksudkan
untuk memperbaiki efektifitas dan efisiensi penyaluran.
Implementasi perbaikan mekanisme penyaluran tersebut telah memberikan
dampak positif terhadap pengelolaan keuangan daerah, yakni: (1)
mempercepat penyelesaian Perda APBD; (2) mendorong pelaksanaan
sistem treasury single account dengan disalurkannya semua dana transfer
melalui satu rekening bank yang ditunjuk daerah; (3) memberikan kepastian
terhadap penerimaan kas daerah sehingga daerah dapat mengatur pola
belanja; (4) mempercepat pelaksanaan kegiatan/pembangunan daerah
dengan semakin cepat tersedianya dana; (5) mengurangi sisa anggaran
pada akhir tahun dengan pelaksanaan kegiatan yang lebih awal; (6)
mempercepat tersedianya data realisasi transfer; (7) meningkatkan
akuntabilitas penyusunan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Transfer ke
Daerah; dan (8) meningkatkan akurasi Sistem Informasi Keuangan Daerah
(SIKD).

3.1.2. Dana Bagi Hasil (DBH)


3.1.2.1. DBH Pajak
DBH Pajak dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu
dalam APBN yang bersumber dari penerimaan pajak yang diperoleh
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

45

Pemerintah sebagaimana yang telah ditetapkan berdasarkan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun
2005. Tujuan utama dari DBH Pajak adalah dalam rangka memperkecil
kesenjangan penerimaan dari sektor perpajakan antara Pemerintah dan
pemerintah daerah untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Penyempurnaan mekanisme perhitungan dan penyediaan data
DBH Pajak perlu didukung oleh instansi teknis terkait di tingkat pusat
maupun daerah agar penerimaan pajak dan DBH lebih optimal. Kebijakan
adanya DBH Pajak ini dilatarbelakangi oleh:
1. kebutuhan pendanaan daerah dalam rangka menyelenggarakan
pemerintahan di daerah, tidak seimbang dengan besarnya pendapatan
daerah itu sendiri;
2. keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam pengumpulan
dana secara mandiri;
3. adanya jenis penerimaan pajak dan atau bukan pajak yang berdasarkan
pertimbangan tertentu pemungutannya harus dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat, namun obyek dan atau subyek pajaknya berada di
daerah;
4. memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah;
5. memberikan insentif kepada daerah dalam melaksanakan program
Pemerintah Pusat;
6. memberikan kompensasi kepada daerah atas timbulnya beban dari
kegiatan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat.
Proporsi DBH Pajak yang diterima oleh daerah ditentukan berdasarkan
formula persentase tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. DBH
Pajak bersumber dari:
46

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

1. PPh Pasal 21 dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/Pasal 29 Wajib


Pajak orang Pribadi Dalam Negeri;
2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
3. Cukai Hasil Tembakau (dialokasikan sejak tahun 2009).
sesuai dengan undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB sudah dialihkan menjadi pajak
daerah terhitung mulai 1 Januari 2011.
Pembagian Bagi Hasil Pajak dilakukan dengan menggunakan prosentase
sebagaimana terinci pada skema gambar 3.1
Gambar 3.1
Prosentase Pembagian Bagi Hasil Pajak

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

47

3.1.2.1.1. PAJAK PENGHASILAN (PPh) WAJIB PAJAK ORANG


PRIBADI DALAM NEGERI (WPOPDN) DAN PPh PASAL 21
Alokasi DBH PPh didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun
2005 tentang Dana Perimbangan.
a. Pajak Negara dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25 dan 29 WPOPDN
dialokasikan kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk DBH.
b. Bagian Pemerintah sebesar 80%.
c. Bagian pemerintah daerah sebesar 20%, yang dibagi kembali dengan
komposisi sebagai berikut:

Bagian daerah provinsi sebesar 8%.

Bagian daerah kabupaten atau kota sebesar 12%, akan dibagi


kembali dengan rincian :
8,4% untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar; dan
3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan dengan bagian yang sama besar.

d. Alokasi sementara, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling


lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
dilaksanakan, sebagai dasar penyaluran triwulan I, II, dan III tahun
anggaran berjalan dimana ditetapkan masing-masing sebesar 20%.
e. Alokasi definitif, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat
pada bulan pertama triwulan IV tahun anggaran berjalan, sebagai dasar
penyaluran triwulan IV dengan memperhitungkan jumlah dana yang
telah dicairkan selama triwulan I, II, dan III.

48

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

3.1.2.1.2. DBH PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)


Alokasi DBH PBB
a. Penerimaan Negara dari PBB dialokasikan kepada pemerintah daerah
dalam DBH.
b. Bagian Pemerintah 10%.
c. Bagian pemerintah daerah 90%.
d. Bagian pemerintah pusat dibagi kembali ke daerah dengan imbangan
sebagai berikut:
6,5% dibagi secara merata kepada seluruh kabupaten/kota.
3,5% dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten/kota
yang realisasi penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan
pada TA sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan
yang ditetapkan.
e. Bagian daerah dari PBB sebesar 90% tersebut diperinci dengan
imbangan:
16,2% untuk daerah provinsi.
64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
9% untuk biaya pemungutan PBB.
f. Penyaluran DBH PBB didasarkan atas perkiraan alokasi, yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum
tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan, sebagai dasar
penyaluran tahun anggaran berjalan.
g. Untuk DBH PBB bagian Pusat, perkiraan alokasi merupakan dasar
penyaluran tahap I dan II dimana ditetapkan masing-masing sebesar
25% dan 50%.
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

49

h. Untuk DBH PBB bagian Pusat, prognosa realisasi penerimaan oleh


Ditjen Pajak ditetapkan sebagai dasar alokasi definitif, sebagai dasar
penyaluran tahap III dengan memperhitungkan jumlah dana yang
telah dicairkan selama tahap I dan II. Berdasarkan prognosa realisasi
penerimaan tersebut dalam tahap III ini dialokasikan pula insentif kepada
kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan dan
Perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui
rencana penerimaan yang ditetapkan.

Perhitungan DBH PBB


a. Besaran PBB yang dibebankan ke wajib pajak tergantung hasil penilaian
yang diklasifikasikan dan digolongkan berdasarkan nilai Nilai Jual
Obyek Pajak (NJOP) per m2. NJOP ditentukan melalui perbandingan
harga dengan obyek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau
NJOP Pengganti.
b. Tarif untuk pengenaan PBB ditetapkan sebesar 0,5% dari Nilai Jual Kena
Pajak (NJKP), sedangkan untuk NJKP Assessment Ratio yang berlaku
saat ini adalah 40% untuk obyek pajak perumahan dengan NJOP Rp.
1 milyar atau lebih, bidang usaha perkebunan, serta perhutanan, dan
20% untuk obyek pajak lainnya.
c. Dengan dasar perhitungan di atas maka perhitungan PBB adalah
sebagai berikut:

= tarif X NJKP

= 0,5 % X(40 % X NJOP)

= (20% X NJOP)

50

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

d. NJOP sebagai dasar pengenaan PBB sebelum dihitung beban PBBnya, terlebih dahulu dikurangi dengan NJOP-TKP (Tidak Kena Pajak)
per Wajib Pajak yang ditetapkan secara regional.
e. Pengenaan PBB diberitahukan kepada Wajib Pajak dengan menerbitkan
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang berisikan antara lain
nama serta alamat wajib pajak, besarnya pajak terutang, serta datadata mengenai obyek pajak.

3.1.2.1.3. DBH CUKAI HASIL TEMBAKAU (DBH CHT)


DBH CHT merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 66A UndangUndang Nomor 39 Tahun 2007. DBH CHT bersumber dari penerimaan
cukai hasil tembakau yang diproduksi dalam negeri yang dibagikan kepada
provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen). Dalam
pengelolaan dan penggunaannya, Gubernur mengatur pembagian dana
bagi hasil cukai hasil tembakau kepada Bupati/Walikota di daerahnya
masing-masing berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil
tembakaunya. Pembagian DBH CHT dilakukan dengan persetujuan
Menteri Keuangan, dengan komposisi 30% (tiga puluh persen) untuk
provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota daerah
penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya.
Perhitungan pembagian alokasi DBH CHT kepada Provinsi penghasil cukai
dan/atau penghasil tembakau (sebelum dibagihasilkan oleh Provinsi kepada
Kabupaten/Kota) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 197/PMK.07/2009 tentang Dasar Pembagian Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau Kepada Provinsi Penghasil Cukai dan/atau Penghasil
Tembakau menggunakan pola sebagai berikut :

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

51

a. 2% (dua persen) yang dibagihasilkan dihitung berdasarkan penerimaan


cukai hasil tembakau yang diproduksi dalam negeri yang ditetapkan
dalam Undang-Undang APBN dan Perubahannya.
b. Variabel yang digunakan dalam perhitungan tersebut meliputi (i)
Penerimaan cukai hasil tembakau 2 (dua) tahun sebelumnya yang
bersumber dari Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, (b)
rata-rata produksi kering selama 3 (tiga) tahun sebelumnya yang
bersumber dari Kementerian Pertanian, (c) Pembinaan lingkungan
sosial yang diukur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2 (dua)
tahun sebelumnya yang bersumber dari BPS, (d) Tingkat penyerapan
DBH CHT 2 (dua) tahun sebelumnya yang bersumber dari laporan
realisasi daerah penerima DBH CHT, dan (e) Tingkat pemberantasan
barang kena cukai ilegal 2 (dua) tahun sebelumnya yang bersumber
dari realisasi penggunaan DBH CHT masing-masing daerah penerima
DBH CHT untuk pemberantasan cukai ilegal.
c. Tiap-tiap variabel ditetapkan dengan bobot yaitu : (i) Penerimaan cukai
hasil tembakau sebesar 57,5%, (b) rata-rata produksi kering sebesar
37,5%, (c) Pembinaan lingkungan sosial (diukur dengan angka IPM)
sebesar 3%, (d) Tingkat penyerapan DBH CHT 1%, dan (e) Tingkat
pemberantasan barang kena cukai ilegal sebesar 1%
Adapun penggunaan DBH CHT diarahkan untuk mendanai lima kegiatan
utama yang sudah ditentukan (earmark) sebagaimana diatur dalam
Pasal 66A ayat (1) undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tersebut, yaitu
(1) peningkatan bahan baku industri hasil tembakau, (2) pembinaan
industri hasil tembakau, (3) pembinaan lingkungan sosial, (4) sosialisasi
ketentuan di bidang cukai, dan (5) pemberantasan barang kena cukai
ilegal. Tujuan diarahkannya penggunaan DBHCT tersebut adalah agar

52

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

DBHCT yang dibagikan ke daerah penghasil cukai hasil tembakau betulbetul dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya, baik dalam rangka
peningkatan produksi maupun pengendalian dampak yang ditimbulkannya
sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 39 tahun 2007.
Selanjutnya dalam rangka memberikan acuan penggunaan yang lebih
jelas, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 tentang
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi atas
Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, kelima
kegiatan utama tersebut dijabarkan lagi menjadi rincian kegiatan, yaitu :
1) Peningkatan kualitas bahan baku industri hasil tembakau, yang
meliputi:
a) standardisasi kualitas bahan baku;
b) pembudidayaan bahan baku dengan kadar nikotin rendah;
c) pengembangan sarana laboratorium uji dan pengembangan metode
pengujian;
d) penanganan panen dan pascapanen bahan baku; dan/atau
e) penguatan kelembagaan kelompok petani bahan baku untuk
industri hasil tembakau.
2) Pembinaan industri hasil tembakau, yang meliputi:
a) pendataan

mesin/peralatan

mesin

produksi

hasil

tembakau

(registrasi mesin/ peralatan mesin) dan memberikan tanda khusus;


(i) jumlah mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau di setiap
pabrik atau tempat lainnya;
(ii) identitas mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau
(merek, tipe, kapasitas, asal negara pembuat);

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

53

(iii) identitas kepemilikan mesin/peralatan mesin produksi hasil


tembakau; dan
(iv) perpindahan kepemilikan mesin/peralatan mesin produksi hasil
tembakau.
b) penerapan ketentuan terkait Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI);
c) pembentukan kawasan industri hasil tembakau;
d) pemetaan industri hasil tembakau berupa kegiatan pengumpulan
data yang berkaitan dengan industri hasil tembakau di suatu
daerah, meliputi:
(i) nama pabrik, Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai
(NPPBKC), dan nomor izin usaha industri;
(ii) lokasi/alamat pabrik (jalan/desa, kota/kabupaten, dan provinsi);
(iii) realisasi produksi;
(iv) jumlah tenaga kerja linting/ giling, tenaga kerja pengemasan,
dan tenaga kerja lainnya;
(v) realisasi pembayaran cukai;
(vi) wilayah pemasaran;
(vii) jumlah, merek, tipe, dan kapasitas mesin/peralatan mesin
produksi hasil tembakau;
(viii) jumlah alat linting;
e) asal daerah bahan baku (tembakau dan cengkih);
f) kemitraan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan usaha besar dalam
pengadaan bahan baku;
g) penguatan kelembagaan asosiasi industri hasil tembakau; dan/atau

54

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

h) pengembangan industri hasil tembakau dengan kadar tar dan


nikotin rendah melalui penerapan Good Manufacturing Practices
(GMP).
3) Pembinaan lingkungan sosial, meliputi :
a) pembinaan kemampuan dan ketrampilan kerja masyarakat di
lingkungan industri hasil tembakau dan/atau daerah penghasil
bahan baku industri hasil tembakau;
b) penerapan manajemen limbah industri hasil tembakau yang
mengacu kepada Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL);
c) penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat
khusus untuk merokok di tempat umum; dan/ atau
d) peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan
fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap
rokok.
4) Sosialisasi

ketentuan

di

bidang

cukai

merupakan

kegiatan

menyampaikan ketentuan di bidang cukai kepada masyarakat yang


bertujuan agar masyarakat mengetahui, memahami, dan mematuhi
ketentuan di bidang cukai yang dilaksanakan dalam periode tertentu
dan/atau secara insidentil.
5) Pemberantasan barang kena cukai ilegal, meliputi:
a) pengumpulan informasi hasil tembakau yang dilekati pita cukai
palsu di peredaran atau tempat penjualan eceran;
b) pengumpulan informasi hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai
di peredaran atau tempat penjualan eceran; dan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

55

c) pengumpulan informasi barang kena cukai berupa etil alkohol dan


minuman mengandung etil alkohol yang ilegal di peredaran atau
tempat penjualan eceran.
d) apabila dalam pelaksanaan kegiatan pengumpulan informasi
ditemukan indikasi adanya hasil tembakau yang dilekati pita cukai
palsu, hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai, atau etil alkohol
dan minuman mengandung etil alkohol yang ilegal di peredaran
atau

tempat

penjualan

eceran,

Gubernur/Bupati/Walikota

menyampaikan informasi secara tertulis kepada Direktorat Jenderal


Bea dan Cukai.
Dalam perkembangannya, sejalan dengan kebijakan Pemerintah dalam
rangka pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran, telah
dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.07/2008 khususnya Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6 , Pasal 7, dan Pasal
9 melalui penetapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.07/2009.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan penambahan 2 (dua)
butir kegiatan yang cukup memperluas penggunaan DBH CHT yaitu:
Butir e : Penguatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi
tenaga kerja industri hasil tembakau, dan/atau
Butir f : Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau
dalam rangka pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara lain melalui
bantuan permodalan dan sarana produksi.
Sesuai Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor SE-151/MK.07/2010
tanggal 27 April 2010 tentang Prioritas Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau TA 2010, akibat dari adanya kenaikan tarif cukai hasil
tembakau yang diperkirakan berdampak pada terbatasnya kesempatan
56

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

kerja di industri rokok kecil (golongan III) dan beredarnya rokok ilegal maka
dihimbau kepada Gubernur/Bupati dan Walikota agar menetapkan prioritas
penggunaan DBH CHT untuk kegiatan sebagai berikut:
1. Pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja masyarakat di
lingkungan industri hasil tembakau dan/atau daerah penghasil bahan
baku industri hasil tembakau. Kegiatan ini lebih diarahkan untuk
pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja dalam rangka alih
profesi tenaga kerja;
2. Penguatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga
kerja industri tembakau. Kegiatan ini lebih diarahkan untuk penguatan
sarana dan prasarana balai latihan kerja dalam mendukung alih profesi;
3. Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau
dalam rangka pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran,
dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara
lain melalui bantuan permodalan dan sarana produksi;
4. Pengumpulan informasi hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu
dan tidak dilekati pita cukai di peredaran atau tempat penjualan eceran,
agar berkoordinasi dengan kantor Bea dan cukai setempat dalam
rangka pemberantasan rokok/pita cukai ilegal.
Dalam pelaksanaannya, gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab untuk
menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan
prioritas dan karakteristik daerah masing-masing daerah. Keberhasilan
pemanfaatan DBH CHT sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
20/PMK.07/2009 adalah tergantung dari bagaimana para gubernur/bupati/
walikota menjabarkan lebih lanjut kegiatan-kegiatan penggunaan DBH CHT
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah yang dikaitkan dengan tujuan
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

57

DBH CHT. Penjabaran tersebut seyogyanya dituangkan dalam peraturan


Gubernur/Bupati/Walikota
Isu utama yang mengemuka dalam pelaksanaan ketentuan penggunaan
DBH CHT dari tahun ke tahun antara lain adalah (1) percepatan penetapan
alokasi DBH CHT, (2) penjabaran lebih teknis terhadap program/kegiatan
yang didanai dari DBH CHT, dan (3) penerapan sanksi yang mempertegas
penggunaan DBH CHT agar sesuai dengan peruntukannya. Penyelesaian
atas isu-isu utama tersebut direncanakan akan dilakukan melalui
penyempurnaan berbagai aturan yang terkait dengan DBH CHT di antaranya
melalui Revisi UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah agar tujuan yang diemban
dari kebijakan DBH CHT dapat terwujud.
Keberhasilan pemanfaat DBH CHT sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 20/PMK.07/2009 adalah tergantung dari bagaimana
para gubernur/bupati/walikota menjabarkan lebih lanjut kegiatan-kegiatan
penggunaan DBH CHT sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah.
Penjabaran tersebut seyogyanya dituangkan dalam peraturan Gubernur/
Bupati/Walikota yang masing-masing kegiatan dilengkapi dengan kerangka
acuan (Term of Reference/ToR) yang komprehensif. ToR tersebut
sebaiknya meliputi substansi 7W & 2H sebagai berikut:
1. What kegiatan apa : nama kegiatan yang akan didanai dari DBH
CHT;
2. Which kegiatan yang mana : penjelasan kaitannya dengan salah satu
kegiatan yang mana dari PMK No 84/PMK.07/2008 dan PMK No 20/
PMK.07/2009;

58

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

3. Why mengapa perlu kegiatan tersebut : Penjelasan alasan


perlunya, maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut bagaimana cara
melaksanakannya, dilengkapi dengan data dan gambaran kasus-kasus
yang telah terjadi sehingga mendorong perlunya solusi melalui kegiatan
tersebut;
4. Who siapa yang melaksanakan : penjelasan mengenai pelaksanan
kegiatan antara lain Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), unit
dibawah SKPD yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.
5. Whom siapa penerima manfaat : penjelasan mengenai masyarakat
yang akan menerima manfaat dari keluaran;
6. Where lokasi kegiatan : penjelasan mengenai dimana kegiatan
dilaksanakan dan dimana keluaran (output) kegiatan akan berada;
7. When waktu kegiatan : penjelasan mengenai waktu mulai dan waktu
selesai pelaksanaan kegiatan (lamanya), dengan tabel penjadwalan
pelaksanaan kegiatan rinci dan jelas;
8. How bagaimana cara melaksanakannya : penjelasan mengenai
cara-cara mencapai keluaran, misalnya melaui proses pengadaan,
melalui pengerahan tenaga kerja (padat karya), melalui koperasi dan
sebagainya;
9. How much berapa harga kegiatan : penjelasan mengenai sumber
dana dan besaran dana yang diperlukan, pengembangan dari butir how
much ini adalah Rincian Anggaran Biaya (RAB).

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

59

Boks
DBH CUKAI HASIL TEMBAKAU

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai,


disadari masih terdapat hal-hal yang belum tertampung untuk mengoptimalkan
upaya pengawasan dan pengendalian serta memberdayakan peranan cukai
sebagai salah satu sumber penerimaan negara sehingga diperlukan adanya
penyempurnaan kebijakan yang disesuaikan dengan perkembangan sosial
ekonomi nasional dan kebijakan Pemerintah lainnya. Untuk itu, pada tanggal
15 Agustus 2007 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007
tentang Cukai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995
tentang Cukai. Salah satu ruang lingkup perubahan UU tersebut adalah
mengenai pengaturan tambahan komponen DBH, yaitu DBH Cukai Hasil
Tembakau kepada Pemerintah Daerah, yang diatur dalam Pasal 66A sampai
dengan Pasal 66D. Dalam UU tersebut menyatakan bahwa Penerimaan
Negara dari Cukai Hasil Tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan
kepada provinsi penghasil Cukai Hasil Tembakau sebesar 2 (dua)
persen yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku,
pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di
bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal. Dalam
ketentuan tersebut, terdapat komponen utama, yaitu provinsi penghasil
Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan provinsi penghasil tembakau sebagai hasil
pertanian atau tembakau sebagai produk primer. Dalam hal ini penggunaan
CHT bersifat limitatif, sehingga yang memperoleh DBH CHT adalah daerah
provinsi dimana pabrik hasil tembakau berada. Hal tersebut didasarkan
pada sifat dan karakteristik dari pungutan cukai yang tidak dikenakan secara
langsung.

60

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Selanjutnya, sejalan dengan hasil peninjauan undang-undang cukai


berdasarkan amar putusan mahkamah konstitusi, dapat disampaikan
bahwa pengalokasian DBH CHT untuk provinsi penghasil tembakau dapat
dipenuhi paling lambat Tahun Anggaran 2010.

3.1.2.2. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA)


Dana Bagi Hasil SDA memegang peranan cukup dominan dalam
memberikan kontribusi terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) terutama kepada daerah-daerah penghasil yang
bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai tools untuk memperkecil
kesenjangan vertikal antara Pusat dan Daerah, DBH SDA diharapkan
dapat pula mendukung daerah-daerah penghasil tersebut untuk mendanai
penyelenggaraan

pembangunan

infrastruktur,

menjaga

kelestarian

lingkungan saat pra dan pasca eksploitasi SDA, mengurangi dampak


eksternalitas sosial di sekitar lokasi SDA, serta membantu mendanai
kebutuhan daerah dalam menyediakan layanan publik yang lebih memadai.
Sebagai bagian terbesar dari DBH dalam APBN, pendapatan dariSDA
dapat memiliki dampak terhadap Horizontal Fiscal Imbalance (HFI).
Pengalaman di berbagai negara, kebijakan pengalokasian DBH SDA
dijadikan sebagai argumen bahwapenerimaannegara dari sumber daya
alam
dapat memberikan kompensasi terhadap kerusakan lingkungan
dan infrastruktur akibat eksploitasi dan ekternalitas, sedangkan di sisi lain
pemerintah di negara-negara tersebut mengalami kesulitan dalam rangka
menerapkan kebijakanalokasi dari anggaran block grant dan specific
allocation grant lainnya yang bertujuan untukpemerataankapasitasfiskal

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

61

dan mendukung penyediaan layanan dasar terutama kepada daerah


marginal dan non penghasil. Berbeda halnya dengan pengalaman di
Indonesia, bahwa isu ketidakseimbangan fiskal di negara-negara lain
tersebut dijadikan sebagai pelajaran penting bagi Indonesia sehingga
Pemerintah dapat meminimalisasi isu ketimpangan secara integratif
melalui mekanisme pengalokasian DAU berdasarkan formula dan DAK
berdasarkan kriteria yang saling melengkapi dan saling mengisi Fiscal Gap
antar daerah sebagai bagian dari Trilogi Dana Perimbangan.
Isu-isu lain yang mendasar dalam kaitan dengan pengelolaan penerimaan
sumber daya alam secara umum dari praktek internasional dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Mengapa perlu meningkatkan pendapatandari sumber daya alam,
sedangkan rasio kontribusi terhadap APBN dari tahun ke tahun semakin
menurun sementara kerusakan lingkungan dan eksternalitas lainnya
tidak sebanding dengan penerimaan yang masuk;
2. Sejauh

mana

tingkat

pemerintahan yang

dapat

diberikan

memilikiakses terhadap data-data produksi, setoran PNBP, data lifting,


dari kementerian teknis;
3. Sejauh mana peran pemerintahan daerah dalam proses perencanaan
penerimaan dari DBH SDA, apakah cukup hanya menunggu dari Pusat
ataukah dapat dilibatkan dalam proses rekonsiliasi perencanaan di level
kementerian teknis sehingga tingkat akurasi perencanaan APBD dapat
ditingkatkan;
4.
Bagaimanakah

seharusnya

didistribusikan
antara
tingkat

alokasi
pemerintahan

DBH
Daerah

SDA

tersebut

Provinsi

dan

Kabupaten/Kota penghasil yang berbatasan, apakah cukup pemerataan

62

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

antar Kabupaten/Kota dalam lingkup satu Provinsi ataukah dapat


diperluas realokasi antar Provinsi apabila wilayah kerja pertambangan
(WKP) berbatasan dengan Provinsi lainnya.
Sebagaimana diketahui, sumber penerimaan SDA adalah bersifat Non
Renewable Resources atau tidak dapat diperbaharui, hal ini telah menjadi
bahan diskusi para akademisi di berbagai negara mengenai batasan dan
kriteria penerimaan SDA mana yang dapat dibagihasilkan kepada daerah.
Beberapa sektor SDA yang menurut best practices dapat dibagihasilkan
antara lain sumber daya mineral yang berasal dari minyak bumi, gas
bumi, pertambangan umum, dan geothermal karena diasumsikan memiliki
keterbatasan input dan tidak terbarukan. Namun demikian, terdapat sektor
SDA lainnya seperti kehutanan dan perikanan dapat pula dibagihasilkan
walaupun secara teoritis termasuk sumber daya yang terbarukan
(replenishable) karena hal ini dimungkinkan dengan asumsi masa
pemulihan yang relatif lama, tingkat eksploitasi dan konsumsi lebih tinggi
daripada upaya untuk memperbaharuinya, dan memiliki nilai ekonomi yang
cukup signifikan terhadap penerimaan negara.
Penerimaan DBH SDA sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2005,

bersumber dari PNBP dalam APBN yang

dibagihasilkan kepada daerah dengan angka persentase tertentu didasarkan


atas daerah penghasil untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
DBH SDA berasal dari penerimaan:
a. Pertambangan Minyak Bumi;
b. Pertambangan gas Bumi;
c. Pertambangan umum;

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

63

d. Pertambangan Panas Bumi;


e. Kehutanan; dan
f. Perikanan.
Persentase alokasi DBH SDA ditunjukkan dalam skema berikut:
Gambar 3.2
Skema Perhitungan DBH Sumber Daya Alam (SDA)

Bagi Hasil Sumber


Daya Alam

Kehutanan

Pusat (20%)
Iuran Hak Penguasaan
Hutan (IHPH)

Provinsi (16%)

Daerah (80%)
Pusat (20%)

Provisi Sumber Daya


Hutan (PSDH)

Kabupaten/Kota (64%)
Provinsi (16%)

Daerah (80%)
Pusat (60%)

Dana Reboisasi

Kabupaten/Kota Penghasil (32%)


Kabupaten/Kota dalam satu provinsi (32%)

Daerah (40%)
Pusat (20%)

Iuran Tetap (Land Rent)

Daerah (80%)

Pertambangan
Umum

Pusat (20%)

Iuran Eksplorasi dan


Eksploitasi (Royalty)

Perikanan

Pertambangan
Minyak Bumi

Pertambangan
Gas Bumi

Pertambangan
Panas Bumi

Daerah (80%)

Pungutan Pengusahaan
Perikanan

Daerah (15,5%)
Pusat (69,5%)
Daerah (30,5%)
Setoran Bagian
Pemerintah
Iuran Tetap dan
Produksi

Kabupaten/Kota (64%)
Provinsi (16%)
Kabupaten/Kota Penghasil (32%)
Kabupaten/Kota dalam satu provinsi (32%)

Pusat (20%)

Pungutan Hasil
Perikanan
Pusat (84,5%)

Provinsi (16%)

Kabupaten/Kota (80%)
Provinsi (3,1%)

0,1% untuk Anggaran Pendidikan Dasar

Kabupaten/Kota Penghasil (6,2%)

0,2% untuk Anggaran Pendidikan Dasar

Kabupaten/Kota dalam satu provinsi (6,2%)

0,2% untuk Anggaran Pendidikan Dasar

Provinsi (6,1%)

0,1% untuk Anggaran Pendidikan Dasar

Kabupaten/Kota Penghasil (12,2%)

0,2% untuk Anggaran Pendidikan Dasar

Kabupaten/Kota dalam satu provinsi (12,2%)

0,2% untuk Anggaran Pendidikan Dasar

Pusat (20%)
Daerah (80%)

16 % Provinsi; 32% Kab/Kota Penghasil; 32% Kab/Kota dalam satu provinsi

Keterangan:
Selain mendapatkan alokasi DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% dan DBH SDA Gas Bumi
sebesar 30,5%, khusus untuk Provinsi Aceh dan Provinsi Papua Barat juga mendapatkan
alokasi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi Dalam Rangka Otonomi Khusus di
Provinsi Aceh masing-masing sebesar 55% dan 40% yang diperuntukkan untuk mendanai
program/kegiatan bidang pendidikan dan kesehatan.

64

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Beberapa hal baru yang diatur dan ditegaskan dalam hal DBH SDA oleh
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1) Adanya penambahan obyek dana bagi hasil sumber daya alam, yaitu:

Dana

Reboisasi

(sebelumnya

Dana Alokasi

Khusus

Dana

Reboisasi/DAK-DR). Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan


sumber penerimaan yang berasal dari kehutanan yakni semula
DAK-DR menjadi DBH Dana Reboisasi (DBH-DR).

Sumber Daya Alam Panas Bumi.

2) Adanya penegasan mekanisme, yakni:


Penetapan alokasi DBH SDA dilakukan berdasarkan daerah


penghasil, dan dasar perhitungan.

Jadwal penetapan.

Penyaluran DBH SDA dilakukan secara triwulanan.

3) Penambahan persentase sebesar 0,5% dari penerimaan pertambangan


minyak bumi kepada daerah yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Pemerintah dari minyak bumi menjadi sebesar 84,5%.

Bagian daerah dari minyak bumi menjadi sebesar 15,5%.

4) Penambahan persentase sebesar 0,5% dari penerimaan gas bumi


kepada daerah yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Pemerintah dari minyak bumi menjadi sebesar 69,5%.

Bagian daerah dari minyak bumi menjadi sebesar 30,5%.


Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

65

5) Tambahan DBH dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi


untuk daerah sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran
pendidikan dasar dan dilaksanakan mulai tahun anggaran 2009.
Adapun pembagian porsi tambahan tersebut dibagikan dengan
perincian:
untuk provinsi yang bersangkutan sebesar 0,1%;
untuk kabupaten/kota penghasil 0,2%; dan
untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan
0,2%.
6) Realisasi penyaluran DBH dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak
melebihi 130% dari asumsi dasar harga minyak bumi dan dan gas bumi
dalam APBN tahun berjalan; dan apabila melebihi 130%, penyalurannya
dilakukan melalui mekanisme formula DAU.

A. DBH SDA PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI (DBH SDA


MIGAS)
1. Pola Pembagian DBH SDA Migas
Dalam rangka mendukung pelaksanaan kebijakan dimaksud diperlukan
kegiatan-
kegiatan yang meliputi penyusunan rencana (perkiraan) dan
realisasi di bidang DBH SDA Migas dari hasil kegiatan Kontraktor Kontrak
Kerjasama (KKKS). Terkait dengan perhitungan DBH SDA Migas per
provinsi/kabupaten/kota, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
selanjutnya menghitung perkiraan alokasi maupun realisasi DBH SDA Migas
sebagai dasar penyaluran DBH SDA Migas per provinsi/ kabupaten/kota.

66

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Porsi pembagian DBH SDA Migas menurut Undang-Undang Nomor 33


Tahun 2004 yang ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2005 adalah sebagai berikut:
a. DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan negara
SDA pertambangan minyak bumi dari wilayah kabupaten/kota yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.
Dana Bagi Hasil tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut :

3,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;

6,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan

6,2% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam


provinsi yang bersangkutan.

b. DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan


negara SDA pertambangan minyak bumi dari wilayah provinsi yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.
Dana Bagi Hasil tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut :

5,17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; dan

10,33% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam


provinsi yang bersangkutan.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

67

Gambar 3.3
Porsi Pembagian DBH SDA Minyak Bumi
Daerah Penghasil
Provinsi

Daerah Penghasil:
Kab/Kota

Provinsi
Penghasil

5%

Seluruh Kab/Kota
dalam Prov ybs

10%

Provinsi
Penghasil

0,17%

Seluruh Kab/Kota
dalam Prov ybs

0,33%

3%

Provinsi ybs

6%

Kab/Kota Penghasil

6%

Kab/Kota lainnya dalam


Provinsi ybs

0,1%

Provinsi ybs

0,2%

Kab/Kota Penghasil

15%

0,5%
Untuk Pendidikan
Dasar

0,2% Kab/Kota lainnya dalam


Provinsi ybs

c. DBH SDA Gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara
SDA pertambangan Gas Bumi dari wilayah kabupaten/kota yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.
Dana Bagi Hasil tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut :

6,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;

12,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan

12,2% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam


provinsi yang bersangkutan.

d. DBH SDA Gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara
SDA pertambangan Gas Bumi dari wilayah provinsi yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. Dana Bagi
Hasil tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut :

10,17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; dan

20,33% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam


provinsi yang bersangkutan.

68

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Gambar 3.4
Porsi Pembagian DBH SDA Gas Bumi

e. Pengecualian untuk Daerah Otonomi Khusus yaitu Provinsi Nanggroe


Aceh Darussalam (NAD) dan Papua Barat, selain mendapatkan DBH
Migas, daerah otonomi khusus tersebut mendapatkan tambahan DBH
Migas yang merupakan bagian dari penerimaan pemerintah provinsi
dengan ketentuan sebagai berikut :

bagian dari pertambangan Minyak Bumi sebesar 55%; dan

bagian dari pertambangan Gas Bumi sebesar 40%.

2. Penyusunan Perkiraan DBH SDA Migas


a. Mekanisme Penyusunan
Perkiraan DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota yang dihitung oleh
Ditjen Perimbangan Keuangan selanjutnya akan dituangkan ke dalam
Peraturan Menteri Keuangan mengenai Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

69

SDA Migas. Data yang digunakan sebagai dasar perhitungan perkiraan dan
mekanisme perhitungannya sebagai berikut :
1) Data
a) Prognosa lifting per daerah penghasil berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Penetapan
Daerah Penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas;
b) Surat Dirjen Anggaran-Kementerian Keuangan tentang Perkiraan
PNBP Migas per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak
bumi, kecuali PT PERTAMINA EP).
2) Mekanisme
a) Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan grouping per KKKS (per
jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA
EP) berdasarkan data Prognosa lifting dalam Surat Keputusan
Menteri ESDM tentang penetapan daerah penghasil Migas dan
Dasar Perhitungan DBH SDA Migas yang disampaikan oleh Ditjen
Migas dengan data perkiraan PNBP per KKKS yang disampaikan
Ditjen Anggaran. Lifting yang tersusun perdaerah penghasil per
KKKS pada data Ditjen migas dikonsolidasi dengan data lifting
per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali
PT PERTAMINA EP) dari Ditjen Anggaran sehingga didapatkan
data lifting per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi,
kecuali PT PERTAMINA EP) per daerah penghasil;
b) data hasil grouping tersebut di persentasekan dengan total lifting
per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT
PERTAMINA EP) sehingga didapat rasio lifting per KKKS (per jenis
minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) per

70

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

daerah penghasil. Rasio lifting dimaksud untuk mengetahui porsi


lifting yang dihasilkan KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak
bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) pada daerah penghasil tertentu;
c) rasio tersebut dikalikan dengan PNBP per KKKS (sebagaimana
yang tercantum dalam Surat Dirjen Anggaran tentang Perkiraan
PNBP Migas) untuk mengetahui PNBP per KKKS (per jenis minyak
khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) per daerah
penghasil;
d) PNBP per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi,
kecuali PT PERTAMINA EP) per daerah penghasil yang berada
pada

daerah

penghasil

yang

sama

dijumlahkan

sehingga

didapatkan PNBP per daerah penghasil;


e) PNBP per daerah penghasil dihitung porsi DBH-nya untuk
bagian Pemerintah, daerah penghasil, dan daerah pemerataan
berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah;
f) porsi DBH dari masing-masing daerah penghasil tersebut dijumlah
sehingga didapat perkiraan alokasi DBH SDA Migas per provinsi/
kabupaten/kota untuk selanjutnya ditetapkan dalam peraturan
Menteri Keuangan.
b. Penetapan

Proses penetapan perkiraan alokasi DBH SDA Migas sebagai berikut:


1) Penetapan besaran asumsi dasar berupa prognosa lifting, kurs
Rupiah terhadap Dollar, dan harga minyak Indonesia (ICP) melalui
penetapan asumsi makro APBN antara Pemerintah dengan DPR;
2) Berdasarkan

asumsi

tersebut

Menteri

ESDM

menetapkan

daerah penghasil dan dasar perhitungan DBH SDA Migas.


Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

71

Ketetapan tersebut paling lambat 60 hari sebelum tahun anggaran


bersangkutan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya ketetapan tersebut disampaikan kepada Menteri
Keuangan. Dalam hal lapangan migas tersebut berada pada
wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari satu daerah,
Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil berdasarkan
pertimbangan menteri teknis paling lambat 60 hari setelah
diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis. Ketetapan
Menteri Dalam Negeri tersebut menjadi dasar perhitungan lifting
per daerah penghasil SDA Migas oleh Menteri ESDM.
3) Bersamaan dengan proses tersebut, Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) melakukan
perhitungan perkiraan Cost Recovery, Gross Revenue, First Trance
Petroleoum (FTP), dan Bagian Pemerintah per KKKS;
4) Berdasarkan ketetapan Menteri ESDM tersebut, Dirjen Anggaran
melakukan perhitungan perkiraan faktor-faktor pengurang (Domestic
Market Obligation/DMo, Fee usaha Hulu Migas, PPN, PBB sektor
pertambangan Migas, PDRD). Hasil perhitungan PNBP SDA Migas
per KKKS tersebut disampaikan kepada Dirjen Perimbangan
Keuangan;
5) Berdasarkan Ketetapan Menteri ESDM dan perhitungan Dirjen
Anggaran tersebut, Dirjen Perimbangan Keuangan melakukan
perhitungan Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas yang kemudian
diajukan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan tentang Perkiraan Alokasi DBH SDA
Migas paling lambat 30 hari setelah diterimanya ketetapan Menteri
ESDM dan perhitungan Dirjen Anggaran.

72

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Diagram proses pelaksanaannya sebagai berikut:


Gambar 3.5
Mekanisme Penetapan Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas

APBN

Penetapan
Daerah
Penghasil

Konsultasi Batas Wilayah


Dalam hal sumber daya alam
berada pada wilayah yang
berbatasan atau berada pada lebih
dan 1 daerah

Men. ESDM

Per Kab/Kota

Mendagri

Ditjen
Perimbangan
Keuangan

SK Daerah
Penghasil

PMK

DBH SDA Migas


Per Prov/Kab/
Kota (dalam
rupiah)

Ditjen Anggaran
PNBP Per KKKS
(termasuk faktor
pengurang)

3. Penyusunan Realisasi DBH SDA Migas


a. Mekanisme Penghitungan
Proses penghitungan realisasi DBH SDA Migas berdasarkan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1. penghitungan realisasi DBH SDA Migas dilakukan setiap triwulan;
2. dana yang dibagihasilkan adalah penerimaan negara dari wilayah
daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan
pungutan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan;
3. mekanisme perhitungan realisasi DBH SDA Migas hampir sama dengan
penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas, yang membedakannya
adalah data yang dirasiokan yakni data Realisasi Gross Revenue,
sedangkan pada mekanisme penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA
Migas yang digunakan adalah data prognosa lifting. Hal ini dikarenakan
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

73

Realisasi Gross Revenue sudah berbentuk satuan mata uang, sehingga


perhitungan yang dihasilkan dianggap lebih mendekati dibanding jika
menggunakan realisasi lifting;
4. Data yang disajikan baik oleh Ditjen Migas maupun Ditjen Anggaran
dalam mekanisme penghitungan realisasi DBH SDA Migas ini
merupakan kumulatif triwulanan, sehingga dikenal data realisasi
triwulan I, realisasi s.d. triwulan II, realisasi s.d. triwulan III, dan realisasi
s.d. triwulan IV.
Data yang digunakan sebagai dasar penghitungan dan mekanisme
penghitungan realisasi DBH SDA Migas adalah sebagai berikut :
1) Data
a) realisasi lifting per daerah penghasil per KKKS (per jenis minyak
khusus untuk minyak bumi) berdasarkan berita acara rekonsiliasi
lifting yang disampaikan oleh Ditjen Migas;
b) Perkiraan Realisasi PNBP per KKKS (per jenis minyak khusus
untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) yang disampaikan
oleh Ditjen Anggaran.
2) Mekanisme
a) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan grouping
per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT
PERTAMINA EP) berdasarkan data Realisasi Gross Revenue yang
disampaikan oleh Ditjen Migas dengan data perkiraan realisasi PNBP
per KKKS yang disampaikan Direktorat Jenderal Anggaran. Gross
Revenue yang tersusun per daerah penghasil per KKKS pada data
Direktorat Jenderal Migas dielaborasi dengan data Gross Revenue
per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT
74

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

PERTAMINA EP) dari Ditjen Anggaran sehingga didapatkan data Gross


Revenue per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi,
kecuali PT PERTAMINA EP) per daerah penghasil;
b) data Gross Revenue per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak
bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) per daerah penghasil hasil grouping
tersebut di persentasekan dengan total Gross Revenue per KKKS (per
jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP)
sehingga didapat rasio Gross Revenue per KKKS (per jenis minyak
khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) per daerah
penghasil. Rasio Gross Revenue dimaksud untuk mengetahui porsi
Gross Revenue yang dihasilkan KKKS (per jenis minyak khusus untuk
minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) pada daerah penghasil
tertentu;
c) Dalam hal dimana suatu KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak
bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) tidak terdapat realisasi lifting
untuk periode berjalan, sementara terdapat realisasi penerimaan
SDA migas (dari DMO, over/under lifting, dll) untuk periode dimaksud,
maka perhitungan rasionya menggunakan rasio periode lifting tahun
sebelumnya.
d) rasio tersebut dikalikan dengan PNBP per KKKS (per jenis minyak
khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) sebagaimana
yang tercantum dalam Surat Dirjen Anggaran tentang Realisasi PNBP
SDA Migas untuk mengetahui PNBP per KKKS (per jenis minyak khusus
untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) per daerah penghasil;
e) PNBP per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali
PT PERTAMINA EP) per daerah penghasil yang berada pada daerah

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

75

penghasil yang sama dijumlahkan sehingga didapatkan PNBP per


daerah penghasil;
f) dihitung porsi DBH-nya dari PNBP per daerah penghasil untuk bagian
Pemerintah, daerah penghasil, dan daerah pemerataan berdasarkan
undang-undang dan peraturan pemerintah;
g) porsi DBH dari masing-masing daerah penghasil tersebut dijumlah
sehingga didapat realisasi DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota
untuk selanjutnya disalurkan ke tiap-tiap daerah;
h) sebelum disalurkan, realisasi DBH SDA Migas dikurangi terlebih dahulu
dengan kelebihan salur tahun sebelumnya dan total DBH SDA Migas
yang telah disalurkan pada triwulan sebelumnya pada tahun anggaran
berjalan.
Diagram proses pelaksanaan perhitungannya sebagai berikut:
Gambar 3.6
Mekanisme Perhitungan DBH SDA Migas

76

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

4. Mekanisme Counter Balance Penyaluran DBH SDA Migas


a. Prinsip DBH
Prinsip DBH secara umum meliputi : (1) harus ada PNBP-nya, (2)
besarannya adalah persentase tertentu dari PNBP (migas 84,5% pusat,
15,5% daerah); (3) alokasinya dalam APBN berdasarkan perkiraan PNBP
dalam satu tahun dalam hal migas perkiraan tersebut sangat tergantung
dari asumsi jumlah lifting, harga Indonesian Crude Price (ICP), serta kurs Rp
terhadap US$ dalam APBN; (4) penyalurannya kepada daerah berdasarkan
realisasi PNBP dalam satu tahun dalam hal DBH Migas, waktu satu
tahun tersebut dimulai dari Desember suatu tahun sampai November tahun
berikutnya (tetap 12 bulan).

b. Waktu Perhitungan realisasi PNBP/DBH Migas.


Penetapan segmen waktu tersebut semula dimaksudkan agar alokasi DBH
SDA seluruhnya dapat tersalur ke daerah pada akhir tahun anggaran.
Realisasi PNBP dihitung mulai dari Awal Desember sampai dengan Akhir
November agar hasil perhitungan PNBP tersebut dapat disalurkan DBHnya pada bulan Desember. Namun kenyataannya sampai dengan bulan
Desember pihak penyedia data PNBP Migas belum siap menyediakan
data, baru kemudian pada pertengahan Februari data realisasi PNBP
satu tahun dapat disediakan yang berarti sudah melewati tahun anggaran.
Hal ini menimbulkan masalah tersendiri dalam penyaluran DBH Migas
sehingga perlu diambil kebijakan penyaluran DBH Migas pada setiap
tahunnya.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

77

c. Kebijakan Pengalihan Sisa Anggaran ke Rekening Cadangan


Pada bulan Desember data realisasi penerimaan migas yang tersedia hanya
sampai pada bulan Agustus, idealnya (yang menjadi harapan semula) sudah
sampai pada bulan November. Dengan demikian pagu anggaran DBH Migas
baru akan dibebani untuk membayar realisasi migas dari bulan Desember
sampai dengan bulan Agustus atau 9 bulan, yang berarti masih tersisa
pagu anggaran 3 bulan. sisa pagu ini akan hangus setelah akhir Desember
apabila tidak direalisasikan. oleh karena itu, perlu diambil kebijakan untuk
mengalihkan sisa anggaran tersebut ke Rekening Cadangan Menteri
Keuangan (atau biasa disebut dengan Escrow Account) pada Bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan (dalam hal ini kewenangannya dilimpahkan
kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Pengelola Rekening Kas
Negara).
Dengan kebijakan tersebut, status sisa anggaran yang ditampung di
rekening cadangan sudah sebagai belanja dari rekening Kas Negara.
Penyalurannya ke rekening kas daerah dilaksanakan setelah data realisasi
PNBP Migas (per KKKs) diterima unit penyalur (DJPK) dan dihitung DBHnya (per daerah). Dengan demikian realisasi PNBP Migas yang dibagikan
ke daerah tetap meliputi waktu 12 bulan (misalnya Desember 2008 s/d
Agustus 2009 yang disalurkan pada Desember 2009, dan september s/d
November 2009 yang disalurkan pada Pertengahan Februari 2010).
Kebijakan ini akan dilakukan setiap tahun sepanjang unit penyedia data
realisasi belum bisa menyediakan data selama 12 bulan pada akhir
November, yang berarti terjadi selisih waktu antara realisasi dan penyaluran
selama satu triwulan.

78

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

d. Kebijakan Mekanisme Counter Balance


Dari aspek pergeseran waktu penyaluran yang seharusnya selesai pada
bulan Desember menjadi bulan Februari memang jelas menunjukkan
keterlambatan. Namun dari aspek jumlah bulan realisasi tetap meliputi
waktu 12 bulan, yang berarti hak daerah atas DBH satu tahun tidak
berkurang. Pengalihan penyaluran dari Desember menjadi Februari
namun tetap berdasarkan data realisasi tahun yang bersangkutan biasa
disebut dengan kebijakan Counter Balance. sisa anggaran tersebut tetap
membebani anggaran tahun lalu namun daerah mencatat pendapatan
sebagai penerimaan tahun berikutnya (lihat skema Counter Balance).
Gambar
3.7
Gambar 3.8
Counter
Balance
Cashow
Migas
Counter
Balancedalam
dalam Management
Management Cashflow
DBHDBH
MIgas

LOGO
Counter Balance dalam Management Cashflow DBH Migas
2010
DES JAN

2011
PE
B

MAR

APR

Tw V Tw I
2010 2011
Counter Balance :
DBH 2010 yang
dibagikan pada 2011
menjadi penerimaan
APBD 2011

MEI JUN JUL

Tw II
2011

2012
AG
U

SEP OKT NOP


NOP DES
DES

Tw III
2011

JA
JA
N
N

Tw IV
2011
Counter Balance
Balance ::
Counter
DBH 2011
2011 yang
yang
DBH
dibagikan pada
pada 2012
2012
dibagikan
menjadi penerimaan
penerimaan
menjadi
APBD 2012
2012
APBD

bulan
Jumlah bulan penyaluran tetap 12 bulan

5. Pola Penyaluran DBH SDA Migas

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

79

Sejak tahun 2008 Pemerintah melaksanakan penyaluran dana Transfer ke daerah dengan
pendekatan baru yang mengedepankan semangat untuk menjamin kepastian, kecepatan, akurasi,

5. Kebijakan Dana Cadangan Sisa DBH SDA Migas


Pola penyaluran Triwulan I s/d Triwulan IV ditambah Triwulan V telah
dilaksanakan secara rutin dan terpola. Pola yang direalisasikan secara urut
sebenarnya adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Pola Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan gas Bumi
Triwulan

Periode realisasi

III

Waktu

Penyaluran

Penyaluran

Tidak mempertimbangkan 20% dari perkiraan


realisasi

II

Besaran

Maret

alokasi

Tidak mempertimbangkan 20% dari perkiraan


realisasi

alokasi

Desember s/d Mei

Realisasi dikurangi

Juni

September

penyaluran Tw I dan
Tw II
IV

Desember s/d Agustus

Realisasi dikurangi

Desember

penyaluran Tw I s/d
Tw III
V

Desember s/d November

Realisasi

dikurangi Februari

penyaluran Tw I s/d
Tw IV
Sumber : Kementerian Keuangan

Dengan pola yang rutin dan tetap tersebut, maka kebijakan counter balance
dalam managemen penyaluran DBH Migas dapat dipersepsikan tidak ada
keterlambatan penyaluran DBH Migas, dengan penjelasan : (1) hak yang
dibagikan meliputi waktu 12 bulan; (2) besaran dana yang disalurkan sesuai
80

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

realisasi; (3) pelaksanaan penyaluran dengan pola yang konsisten. Pola ini
dapat diacu oleh daerah dalam membukukan penerimaan yang bersumber
dari DBH Migas, yaitu penerimaan yang masuk ke kas daerah dalam satu
tahun, dibelanjakan pada tahun yang sama (dalam satu tahun anggaran,
bulan Januari s/d Desember) terdapat 5 kali penerimaan DBH Migas yang
masuk ke kas daerah pada bulan Februari, Maret, Juni, September dan
Desember. Dari pola ini dapat dipersepsikan bahwa tidak ada keterlambatan
dalam penyaluran DBH Migas.

6. Pemantauan dan Evaluasi


Pada dasarnya DBH SDA Migas sebagaimana DBH SDA lainnya bersifat
Block Grant yang kewenangan penggunaannya diserahkan sepenuhnya
kepada pemda penerima, kecuali untuk dana Tambahan Anggaran
Pendidikan Dasar sebesar 0,5% dari porsi DBH SDA Migas harus digunakan
untuk sektor pendidikan dasar yang tata cara penggunaannya akan diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan
dana tambahan anggaran pendidikan dasar tersebut. Pemantauan atas
dana tambahan ini menyangkut apakah penggunaannya sesuai dengan
peruntukannya.
Apabila

hasil

pemantauan

dan

evaluasi

mengindikasikan

adanya

penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka Menteri Keuangan meminta


aparat pengawasan fungsional untuk melakukan pemeriksaan. Hasil
pemeriksaan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengalokasian DBH SDA Migas untuk tahun anggaran berikutnya, yaitu
daerah tersebut dapat dikenai sanksi administrasi berupa pemotongan
penyaluran DBH SDA Migas untuk periode berikutnya.
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

81

B. DBH SDA PERTAMBANGAN UMUM


Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor pertambangan umum
terdiri dari iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty) dan iuran tetap
(landrent). Kedua iuran tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen ESDM. Dalam
peraturan tersebut, tarif iuran tetap merupakan tarif satuan atas nilai US
$ per luas area eksploitasi/eksplorasi (hektar). Besarnya tarif dibedakan
atas dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak) untuk
Kuasa Pertambangan, tarif iuran tetap yang dikenakan pada Kuasa
Pertambangan merupakan tarif satuan atas nilai rupiah per satuan luas
eksploitasi/ eksplorasi (hektar) dan besarnya tarif juga dibedakan atas
dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak). Pemungutan
iuran tetap, yang dikenakan di sektor pertambangan dilakukan setiap
semester.
Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) adalah iuran produksi yang diterima
Negara dalam hal Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi mendapat
hasil berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan eksplorasi
yang diberikan kepadanya serta atas hasil yang diperoleh dari usaha
pertambangan eksploitasi satu atau lebih bahan galian. Royalty adalah
pembayaran kepada Pemerintah berkenaan dengan produksi mineral
yang berasal dari area penambangan. Royalti harus dibayar dalam
satuan rupiah atau satuan lainnya yang disetujui bersama. Tarif royalti
untuk pertambangan mineral dan batubara ditetapkan melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003, tarif royalti bersifat ad valorem (dalam
persentasi) dan dikenakan terhadap harga jual yang telah dikalikan dengan
jumlah produksi.

82

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Tata cara penghitungan Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) sebagai


berikut:
Jumlah Produksi yang Terjual x Persentase Tarif (%) x Harga Jual
(US$)
Besarnya tarif berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan
galian. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 ini juga
memasukkan peraturan mengenai besarnya tarif royalti untuk bahan
tambang batubara. Sebelumnya pengenaan royalti untuk batubara
sudah termasuk dalam bagian Pemerintah dari Dana Hasil Produksi
Batubara (DHPB) yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 75
Tahun 1996. Dalam peraturan tersebut, Pemerintah mendapat 13,5%
dari produksi batubara (dana hasil produksi batubara/DHPB). Bagian
Pemerintah sebesar 13,5% tersebut sudah mencakup pembayaran
royalti yang diestimasikan sebesar 3,3% dari 13,5% DHPB.
Iuran Tetap (landrent/deadrent) adalah seluruh penerimaan iuran yang
diterima Negara sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum,
eksplorasi atau eksploitasi pada suatu Wilayah Kuasa Pertambangan
(dalam hal ini termasuk Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara).
Tatacara penghitungan Iuran Tetap (landrent/deadrent) sebagai berikut:
Luas Wilayah KP/KK/PKP2B (Ha) x Tarif (Rp/US $)
Selanjutnya

untuk

perhitungan

DBH

SDA

Pertambangan

umum

sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005,


bagian daerah dari landrent adalah sebesar 80% dengan rincian 16% untuk
provinsi yang bersangkutan dan 64% untuk kabupaten/kota penghasil.
Untuk bagian daerah dari royalti adalah sebesar 80% dengan rincian 16%

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

83

untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/kota penghasil


dan 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Tabel 3.2
Porsi Pembagian DBH SDA Pertambangan umum
JENIS DBH
PERTAMBANGAN UMUM

PORSI
%
UNTUK
KAB/KOTA KAB/KOTA LAIN
DAERAH PROV PENGHASIL DALAM PROV

A. LAND RENT PENGHASIL KAB/KOTA

80%

16%

64%

B. LAND RENT PENGHASIL PROVINSI

80%

80%

C. ROYALTI PENGHASIL KAB/KOTA

80%

16%

32%

32%

D. ROYALTI PENGHASIL PROVINSI

80%

26%

54%

C. DBH SDA KEHUTANAN


Dana Bagi Hasil SDA Kehutanan berasal dari Penerimaan Negara Bukan
Pajak dari sektor kehutanan terdiri: (1) Iuran Izin usaha Pemanfaatan Hutan
(IIUPH); (2) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang merupakan royalti;
dan (3) Dana Reboisasi.
Definisi masing-masing penerimaan adalah berikut :
a. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); adalah pungutan yang dikenakan
sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan
Negara, dan
b. Dana Reboisasi (DR); adalah dana yang dipungut dari pemegang Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa kayu
dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan
c. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); adalah pungutan
yang bersifat license fee (terkait dengan perizinan) yang dikenakan
84

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

kepada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu


kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut
diberikan. Tarif IIUPH terakhir diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 59 Tahun 1998. Di dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa
tarif yang dikenakan adalah tarif satuan Rupiah per satuan luas Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) (hektar). Besarnya tarif tergantung dari
(1) kategori wilayah dan (2) status HPH (baru/ perpanjangan/ HPHTI).
IHPH dikenakan satu kali untuk jangka waktu berlakunya HPH (atau
sekitar 20 tahun).
Tarif PSDH tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 859/Kpts-II/1999. Dalam peraturan tersebut, tarif yang
dikenakan adalah tarif satuan Rupiah per m3, yang besarnya tergantung
dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH) dikenakan terhadap pemegang HPH,
pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan pemegang Izin
Pemanfaatan Kayu (IPK) (lihat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 juga
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999). Pada HPH, untuk penyaluran
produksi ke industri terkait dengan HPH, pembayaran dilakukan oleh pihak
industri penerima. Untuk produksi yang disalurkan ke industri yang tidak
terkait dengan pemegang HPH, pembayaran dilakukan oleh pemegang
HPH pada saat pengangkutan. Pembayaran dilakukan setiap bulan atas
dasar produksi bulan sebelumnya, disetor langsung ke Rekening Menteri
Kehutanan dan Perkebunan.
Perhitungan jumlah kayu yang dikenai kewajiban untuk membayar PSDH
dan Dana Reboisasi didasarkan dari Laporan Hasil Penebangan (LHP).
Sistem pelaporan produksi hasil hutan tersebut bersifat self assessment yaitu
perusahaan pemegang HPH mengisi volume produksi dan jenis tanaman.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

85

Setelah itu diterbitkan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan


(SKSHH) yang sebelumnya disebut Surat Angkutan Kayu Olahan (SAKO).
Pengesahan LHP dilakukan setelah diadakan pengukuran sampling 10% dari
area produksi oleh petugas kehutanan untuk menguji kebenaran pengisian
dokumen LHP. Jika terjadi penyimpangan volume <5%, LHP tetap disahkan,
namun tidak berlaku untuk kesalahan pengisian jenis tanaman.
Gambar 3.8
Perhitungan DBH SDA Kehutanan

Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan sumber penerimaan yang berasal


dari kehutanan yakni semula Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAKDR) menjadi DBH Dana Reboisasi (DBH-DR) serta Penetapan DBH PPh
Wajib Pajak orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Psl 21 masingmasing kabupaten/kota yang sebelumnya ditetapkan oleh Gubernur mulai
tahun 2006 ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dalam perkembangannya,
realisasi DBH senantiasa menunjukkan kecenderungan meningkat dari
tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya realisasi penerimaan dalam
negeri yang dibagihasilkan.

86

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Tarif Dana Reboisasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun


1999 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 59
Tahun 1998 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan Dan Perkebunan. Tarif Dana
Reboisasi merupakan tarif satuan US $ per m3, dimana besarnya tergantung
dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. Menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pungutan Dana
Reboisasi ini dikenakan terhadap pemegang Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) dan pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan.
Perhitungan bagian daerah akan ditetapkan berdasarkan rencana produksi
hasil hutan dan rencana penerbitan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
atau Usaha Pemanfaatan Hutan (UPH) dengan perhitungan sebagai
berikut:
-

Perkiraan penerimaan IHPH/IIUPH, baik hutan alam maupun tanaman


yang dihitung dari luas areal yg akan diterbitkan izin HPH/UPH dikalikan
tarif IHPH yang berlaku;

Perkiraan penerimaan PSDH yang dihitung dari target produksi hasil


hutan kayu dan bukan dan dikali tarif PSDH yang berlaku;

- Perkiraan Penerimaan PSDH dan yang bersumber dari tunggakan


PSDH.

D. DBH SDA PERIKANAN


Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Perikanan berasal dari Pungutan
Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP).
Pungutan Pengusahaan Perikanan, yaitu pungutan hasil perikanan yang
dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang memperoleh

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

87

Izin Usaha Perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman


Modal (APIPM), dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sebagai
imbalan atas kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia
untuk melakukan usaha perikanan dalam wilayah perikanan Republik
Indonesia. Pungutan Hasil Perikanan, yaitu pungutan hasil perikanan
yang

dikenakan

kepada

perusahaan

perikanan

Indonesia

yang

melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan


Ikan (SPI) yang diperoleh. Pungutan untuk sektor perikanan ini diatur
dalam SK Menteri Pertanian Nomor 424/ Kpts/7/1977. Pungutan
Pengusahaan Perikanan (PPP) bersifat license fee, dikenakan satu
kali pada saat pengajuan permohonan Surat Ijin Kapal Perikanan.
Tarif PPP merupakan tarif nominal (US $) dan didasarkan atas ukuran
kapal penangkapan ikan (Dead weight Ton -DWT). Dalam hal ini tarif
dikenakan atas dasar berat kosong kapal. Adapun Pungutan Hasil
Perikanan (PHP) dikenakan pada hasil produksi sektor perikanan yang
diekspor. Tarif yang dikenakan bersifat ad valorem (persentasi), dimana
besar tarif dibedakan menurut kelompok jenis ikan.

Perhitungan DBH SDA Perikanan


a. Pungutan Pengusahaan Perikanan, obyek yang penting dalam
penghitungan PPP adalah: Kapal Penangkapan Ikan.
Rumus

yang

dipakai

untuk

menghitung

PPP

PPP = Tarif (US $) x Ukuran Kapal (DWT)


Data yang dibutuhkan untuk dapat menghitung PPP adalah:


1. Data Jumlah Surat Izin Kapal Perikanan yang dikeluarkan.
2. Daftar Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)

88

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

adalah:

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Tabel 3.3
Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)
No.

Ukuran Kapal

Tarif

<50 DWT

US $ 500

50-100 DWT

US $ 1000

Sumber: SK Mentan No.424/Kpts/7/1977

Catatan: untuk setiap kelebihan di atas 100 DWT dengan pembulatan


perhitungan sampai dengan 50 DWT dikenakan tambahan US $ 250.
b. Pungutan Hasil Perikanan (PHP)
Obyek dalam penghitungan PHP ini adalah: Hasil Produksi Sektor
Perikanan yang diekspor, dengan rumus sebagai berikut:

PHP = Hasil Produksi (Ton) x Tarif (%)

data yang diperlukan adalah:


1. Data Hasil Ekspor Produksi Sektor Perikanan.
2. Daftar Tarif PHP untuk setiap jenis ikan.

Dalam penghitungan ini hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah
jumlah kapal dan volume hasil produksi perikanan yang akan diekspor.
Tabel 3.4
Tarif Pungutan Pungutan Hasil Perikanan (PHP)
No.

Golongan Jenis

Udang

Ikan Tuna, Cakalang.

lain-lain yang tidak termasuk gol.1 dan 2

Tarif (%)
2
1.5
1

Sumber: SK Mentan No.424/Kpts/7/1977

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

89

E. DBH SDA PERTAMBANGAN PANAS BUMI


Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Panas Bumi
diperhitungkan berdasarkan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal
dari:
a. Setoran Bagian Pemerintah
Setoran pengusahaan panas bumi yang diterima pemerintah sebesar
34% dari pemerimaan bersih usaha atau Net Operating Income (NOI)
setelah dikurangi kewajiban perpajakan. Setoran bagian pemerintah ini
dikenakan atas kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani
sebelum berlakunya UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
b. Iuran Tetap dan Iuran Produksi

Iuran Tetap adalah Iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai


kesempatan atas eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi SDA pada
suatu wilayah.

Iuran Produksi adalah iuran yang diberikan kepada negara atas hasil
yang diperoleh dari usaha pertambangan panas bumi.

Penerimaan Iuran Tetap dan Iuran Produksi ini dikenakan atas kontrak
pengusahaan panas bumi yang ditandatangani setelah berlakunya UU No.
27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
PNBP dari pertambangan panas bumi sampai dengan tahun 2011 (existing)
masih berasal dari Setoran Bagian Pemerintah yang ditempatkan pada
Rekening Panas Bumi nomor 508.000084 pada Bank Indonesia. Selain
untuk menampung penerimaan setoran bagian Pemerintah, rekening
tersebut juga digunakan untuk membayarkan pengeluaran kewajiban
Pemerintah terkait dengan kegiatan usaha panas bumi yaitu:

Pembayaran kembali (reimbursment) Pajak Pertambahan Nilai (PPN);


90

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);

Pembayaran lainnya.

Selisih dari penerimaan dan pembayaran kewajiban pemerintah tersebut


merupakan penerimaan negara yang dapat dibagihasilkan kepada daerah
dalam bentuk DBH SDA Panas Bumi.
DBH SDA Panas Bumi sesuai Pasal 14 huruf g UU No. 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah dibagi dengan imbangan 20% bagian Pemerintah
dan 80% bagian daerah. Bagian daerah dengan rincian: 16% bagian
provinsi, 32% bagian kab/kota penghasil dan 32% bagian kab/kota lainnya
dalam provinsi yang bersangkutan.
F. PENETAPAN ALOKASI DBH SUMBER DAYA ALAM
Penetapan Alokasi DBH SDA diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2005 pasal 27 sebagai berikut:
a. Menteri Teknis menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan
DBH SDA paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran
bersangkutan dilaksanakan setelah berkonsultasi dengan Menteri
Dalam Negeri.
b. Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan
atau berada pada lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri
menetapkan daerah penghasil sumber daya alam berdasarkan
pertimbangan menteri teknis terkait paling lambat 60 (enam puluh) hari
setelah diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

91

Gambar 3.9
Mekanisme Penetapan Alokasi DBH SDA

c. Ketetapan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud menjadi


dasar penghitungan DBH sumber daya alam oleh menteri teknis.
d. Ketetapan Menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Menteri Keuangan.
e. Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH SDA untuk
masing-masing daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya ketetapan dari menteri teknis.
f. Perkiraan alokasi DBH SDA Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk
masing-masing daerah ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari setelah menerima ketetapan dari menteri teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perkiraan bagian pemerintah, dan perkiraan
unsur-unsur pengurang lainnya.

92

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

3.1.3. DANA ALOKASI UMUM (DAU)


3.1.3.1. PENYUSUNAN FORMULA DAN PERHITUNGAN DAU
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 porsi Dana Alokasi Umum
(DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Penerimaan Dalam Negeri
Netto. Sementara itu, proporsi pembagian DAU adalah bagian 10% untuk
Provinsi dan bagian 90% untuk Kabupaten/Kota.
Gambar 3.10
Mekanisme Penetapan Alokasi Pagu DAU Nasional

3.1.3.2. VARIABEL DAU


1. Variabel Alokasi Dasar adalah belanja pegawai yang dicerminkan
oleh jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD).
2. Variabel kebutuhan fiscal terdiri dari jumlah penduduk, luas wilayah
darat dan perairan,

Indeks Pembangunan Manusia, Indeks


Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

93

Kemahalan Konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto


(PDRB) per kapita (sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004).
3. Variabel kapasitas fiskal yang merupakan sumber pendanaan
daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan DBH
Pajak dan DBH SDA.

3.1.3.3. PERHITUNGAN ALOKASI DAU


Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004,
kebijakan dalam pengalokasian DAU tahun 2012 adalah sebagai berikut :
a. DAU ditetapkan 26% dari Penerimaan Dalam Negeri (PDN) Neto
yang ditetapkan dalam APBN. Besaran alokasi DAU per daerah
sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun
2005 ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden.
b. Proporsi pembagian DAU adalah sebesar 10% (sepuluh persen)
untuk Daerah Provinsi dan sebesar 90% (Sembilan puluh persen)
untuk Daerah Kabupaten/Kota dari besaran DAU secara Nasional.
c. Pengalokasian DAU kepada masing-masing daerah menggunakan
formula DAU, yaitu dihitung berdasarkan formula atas dasar Celah
Fiskal (CF) dan alokasi Dasar (AD). CF suatu daerah merupakan
selisih antara Kebutuhan Fiskal (KbF) dengan Kapasitas Fiskal
(KpF), sedangkan AD dihitung berdasarkan Jumlah Gaji PNSD.

A. BENTUK UMUM FORMULA DAU


Bentuk umum formula alokasi DAU kepada masing-masing daerah
secara formula dapat ditunjukkan pada persamaan berikut ini:

94

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

DAU = AD + CF
Dimana:
DAU = Dana Alokasi umum
AD

= Alokasi Dasar

CF

= Celah Fiskal

Dimana
CF = KbF KpF (celah fiscal merupakan selisih dari kebutuhan fiscal dan
kapasitas fiskal).

Celah Fiskal (CF) merupakan selisih antara Kebutuhan Fiskal (KbF)


dengan Kapasitas Fiskal (KpF), atau dirumuskan:
CF = KbF KpF

Kebutuhan Fiskal (KbF):

Rumusan tentang kebutuhan fiskal (KbF) dapat ditunjukkan sebagai


berikut:
KbF = TBR ( IP + IW + IPM + IKK + iPDRB/kap)
1

Dimana:
TBR

= Total Belanja Rata-rata APBD

IP

= Indeks Jumlah Penduduk

IW

= Indeks Luas Wilayah

IPM

= Indeks Pembangunan Manusia

IKK

= Indeks Kemahalan Konstruksi

IPDRB/kapita

= Indeks Produk Domestik Regional Bruto per kapita

1, 2, 3, 4, 5 = Bobot dari masing-masing indeks variable


1+2+3+4+5 = 100%

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

95

Kapasitas (KpF):
KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA

DBH Pajak = PBB + BPHTB + PPh + CHT


Keterangan :

PAD : Pendapatan Asli Daerah;


DBH : Dana Bagi Hasil;
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan;

BPHTB :

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

PPh : Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25 dan 29,


PPh WPOPDN;

CHT

SDA

: Cukai Hasil Tembakau;


: Sumber Daya Alam.

B. DATA PENGHITUNGAN DAU


Penghitungan alokasi DAU telah menggunakan data yang berdasar pada
Pasal 41 PP Nomor 55 Tahun 2005 yang mengamanatkan penggunaan
data yang dapat dipertanggungjawabkan yang bersumber dari instansi
lembaga

statistik

Pemerintah

dan/atau

lembaga

Pemerintah

yang

berwenang menerbitkan data, termasuk dalam hal penggunaan data dasar


penghitungan DAU tahun sebelumnya jika data tidak tersedia.
i.

Alokasi Dasar (AD).

Alokasi Dasar dalam penghitungan DAU tahun 2012 dihitung


berdasarkan data jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) dan
besaran belanja gaji PNSD dengan memperhatikan kebijakan-kebijakan

96

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

perbaikan penghasilan PNS antara lain kenaikan gaji pokok, gaji bulan
ke-13, formasi CPNSD tahun 2011, dan kebijakan-kebijakan lain terkait
penggajian. Adapun data dasar yang digunakan adalah data gaji induk
bulan Juni 2011 yang terdiri dari komponen Gaji Pokok, Tunjangan
Keluarga, Tunjangan Jabatan, Tunjangan PPh, Tunjangan Beras.
Untuk lebih mengoptimalkan peranan formula celah fiskal (CF) dalam
perhitungan DAU maka panja menyepakati untuk membatasi Porsi AD
terhadap DAU secara nasional sebesar 49% (empat puluh sembilan
persen) untuk provinsi dan 48% (empat puluh delapan persen)
untuk kabupaten/kota. Komponen Alokasi Dasar dalam DAU

tidak

dimaksudkan untuk menutup seluruh kebutuhan belanja gaji PNSD,


terlebih untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi (Penjabaran
dari pasal 32, UU No.33 Tahun 2004).
ii. Kebutuhan Fiskal (KbF)
1. Data Jumlah Penduduk yang digunakan bersumber dari Badan

Pusat Statistik (BPS) berbasis data Juni 2011.


2. Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan

atas penyediaan sarana prasarana per satuan wilayah. Data luas


wilayah yang akan digunakan untuk penghitungan alokasi DAU
meliputi data luas wilayah daratan (administratif) yang bersumber
dari Departemen Dalam Negeri dan data luas wilayah perairan
(laut) yang bersumber dari Bakosurtanal. Data luas wilayah daratan
dan perairan dimaksud sudah mencakup daerah pemekaran yang
secara hukum sudah disahkan pembentukannya berdasarkan
Undang-Undang. Luas wilayah perairan laut dihitung 4 mil dari garis
pantai untuk kabupaten/kota dan 12 mil untuk provinsi.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

97

3. IKK digunakan sebagai proxy untuk mengukur tingkat kesulitan

geografis suatu daerah, semakin sulit letak geografis suatu daerah


maka semakin tinggi pula tingkat harga di daerah tersebut. Data
IKK bersumber dari BPS dengan basis Juni 2011.
4. IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan

dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/


penduduk) atau secara komprehensif dianggap sebagai ukuran
kinerja suatu negara/wilayah dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi.
5. Data PDRB per kapita yang bersumber dari BPS berbasis Juni

2011, dan diberlakukan kebijakan khusus terhadap PDRB per kapita


suatu daerah yang dinilai outlier atau pencilan. Pada data PDRB
per kapita yang terlalu tinggi dibandingkan dengan yang lainnya
diputuskan untuk ditarik ke tingkat PDRB per kapita setingkat lebih
rendah agar tidak berdampak pada komposisi data PDRB per
kapita secara keseluruhan.
6. Total Belanja Rata-rata (TBR) didapat dari APBD realisasi tahun

2010 yang bersumber dari Daerah dan Kementerian Keuangan.


7. Bobot masing-masing variabel adalah sebagai berikut, untuk

Provinsi:
o Indeks Jumlah Penduduk (IP)

: 30%

o Indeks Luas Wilayah (IW)

: 13%

luas perairan : 35%

98

o Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)

: 30%

o Indeks PDRB per Kapita

: 15%

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

o Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

: 12%

8. Bobot masing-masing variabel adalah sebagai berikut, untuk

Kabupaten/Kota:
o Indeks Jumlah Penduduk (IP)

: 30%

o Indeks Luas Wilayah (IW)

: 13%

: 40%

o Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)

: 31%

o Indeks PDRB per Kapita

: 15%

o Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

: 11%

luas perairan

iii. Kapasitas Fiskal (KpF)


Variabel Kapasitas Fiskal yang digunakan dalam penghitungan DAU


2012 adalah data realisasi tahun 2010 yang terdiri dari:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) berdasarkan laporan APBD

realisasi tahun 2010 yang bersumber dari Daerah dan Kementerian


Keuangan. Bobot untuk provinsi dihitung sebesar 50%, sedangkan
untuk Kabupaten/Kota sebesar 60%;
2. DBH Pajak termasuk DBH Cukai Hasil Tembakau bersumber dari

Kementerian Keuangan. Bobot untuk provinsi dihitung sebesar


75%, sedangkan untuk kabupaten/kota sebesar 60%;
3. DBH SDA bersumber dari Kementerian Keuangan. Bobot untuk

provinsi dihitung sebesar 70%, sedangkan untuk kabupaten/kota


sebesar 52%.
Secara Sistematika Penyusunan Formula DAU dapat digambarkan
dalam Gambar 3.11 berikut ini :

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

99

Gambar 3.11
Formula umum DAU Menurut undang-undang Nomor 33 Tahun 2004

Sementara itu, terkait dengan daerah pemekaran baru, perhitungan alokasi


DAU untuk daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.12.

100

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Gambar 3.12
Pembagian DAU bagi Daerah Pemekaran
Alokasi Dasar

Dibagi secara proporsional

Belanja PNSD
Daerah Induk
(Persentase)

Belanja PNSD
Daerah Pemekaran
(Persentase)

Celah Fiskal
Dibagi secara proporsional
Luas Wilayah dan Jumlah
Penduduk Daerah Induk
(Persentase)

Luas Wilayah dan Jumlah

DAU Daerah
Induk

DAU Daerah
Pemekaran

Penduduk Daerah Pemekaran


(Persentase)

3.1.3.4. DAU DAERAH PEMEKARAN


Sejak dimulainya implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
di Indonesia telah memberikan warna baru dengan adanya pemekaran
daerah baik di tingkat provinsi serta ter utama di tingkat kabupaten/
kota. Pemekaran daerah memberi serta dampak terutama terhadap
jumlah DAU yang diterima oleh daerah pemekaran. Pembagian DAU
pada daerah yang mengalami pemekaran dialokasikan pada daerah
induk sebelum pemekaran, dan dibagi secara proporsional dengan
menggunakan 3 variabel luas wilayah, jumlah penduduk, dan jumlah
PNSD.

3.1.4. DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)


Sesuai dengan Pasal 39 undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan
bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan kepada pemerintah
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

101

daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan


daerah. Sementara itu, Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun
2005 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk
mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang
menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah.

3.1.4.1. Formulasi Kebijakan Dana Alokasi Khusus TA 2012


Formulasi yang berkaitan dengan alokasi DAK secara garis besar dapat
dibagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu (1) arah dan penggunaan DAK, (2)
penetapan program dan kegiatan, (3) penghitungan alokasi DAK, dan (4)
administrasi pengelolaan DAK.

3.1.4.1.1. Arah dan Penggunaan DAK


Arah Kebijakan DAK Tahun 2012, yaitu:
1. mendukung pencapaian prioritas nasional, termasuk program-program
prioritas nasional yang bersifat lintas sektor/kewilayahan sesuai dengan
kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure
framework) dan penganggaran berbasis kinerja (performance based
budgeting);
2. membantu daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif
rendah dalam membiayai pelayanan publik dalam rangka pemerataan
pelayanan dasar dan mendorong pencapaian Standar Pelayanan
Minimal (SPM).
3. meningkatkan kualitas perhitungan alokasi DAK, serta mempercepat
penyusunan petunjuk teknis penggunaan DAK yang ditujukan untuk
mendorong penyusunan APBD yang efektif, efisien, dan tepat waktu.
102

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

4. meningkatkan koordinasi pengelolaan DAK secara utuh dan terpadu di


pusat dan daerah sehingga terwujud sinkronisasi kegiatan DAK dengan
kegiatan lain yang didanai dari sumber-sumber pendanaan lainnya.
5. meningkatkan penyediaan data-data teknis yang akurat sebagai basis
kebijakan kementerian dan lembaga dalam rangka meningkatkan
keserasian dan menghindari duplikasi kegiatan antar Bidang DAK.
6. mendorong penggunaan kinerja pelaporan sebagai salah satu
pertimbangan dalam penyusunan kriteria pengalokasian DAK.
DAK Tahun 2012 digunakan untuk mendanai kegiatan di 19 bidang,
yaitu: (1) Pendidikan; (2)Kesehatan; (3) Infrastruktur Jalan; (4) Infrastruktur
Irigasi; (5) Infrastruktur Air Minum; (6)Infrastruktur Sanitasi; (7) Prasarana
Pemerintahan Daerah; (8) Kelautan dan Perikanan; (9)Pertanian; (10)
Lingkungan Hidup; (11) Keluarga Berencana; (12) Kehutanan; (13) Sarana
Perdagangan; (14) Sarana dan Prasarana daerah tertinggal; (15) Listrik
Perdesaan; (16)Perumahan dan Kawasan Permukiman; (17) Keselamatan
Transportasi Darat; (18) Transportasi Perdesaan; serta (19) Sarana dan
Prasarana Kawasan Perbatasan.

3.1.4.1.2. Penetapan Program Dan Kegiatan


Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan khusus yang di danai dari
DAK merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional
dan menjadi urusan daerah. Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2005 menyatakan bahwa program yang menjadi prioritas nasional
dimaksud dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun anggaran
bersangkutan. Berdasarkan prioritas nasional sebagaimana tercantum
dalam RKP tersebut, menteri teknis mengusulkan kegiatan khusus dan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

103

ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri


Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.
Selanjutnya, menteri teknis menyampaikan kegiatan khusus yang telah
ditetapkan tersebut kepada Menteri Keuangan.
Gambar 3.13
Penetapan Program dan Kegiatan

3.1.4.1.3. Penghitungan Alokasi DAK


Penghitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu:
1. Penentuan daerah tertentu yang menerima alokasi DAK
2. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah.
Penentuan daerah tertentu yang mendapat alokasi DAK harus memenuhi
kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Sementara itu, penentuan

104

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan


indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.

A. KRITERIA UMUM
Sesuai dengan pasal 40 undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dinyatakan
bahwa alokasi DAK mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah
dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD
untuk membiayai kebutuhan-
kebutuhan dalam rangka pembangunan
daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja
pegawai. Dalam bentuk rumus, kriteria umum tersebut dapat ditunjukkan
pada beberapa persamaan di bawah ini:
Penerimaan Umum

Kemampuan

Belanja Pegawai

APBD

Keuangan Daerah

Daerah

Penerimaan Umum = PAD + DAU + (DBH DBHDR)


Belanja Pegawai Daerah

= Belanja PNSD

Dimana:
PAD = Pendapatan Asli Daerah
APBD

= Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

DAU

= Dana Alokasi umum

DBH = Dana Bagi Hasil


DBHDR

Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi

PNSD

= Pegawai Negeri Sipil Daerah

Kemampuan keuangan daerah dihitung melalui indeks fiskal neto (IFN)


tertentu yang ditetapkan setiap tahun. Dalam tahun 2012, arah kebijakan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

105

umum DAK adalah untuk membantu daerah-daerah yang kemampuan


keuangan daerahnya relatif rendah. Hal ini diterjemahkan bahwa DAK
dialokasikan untuk daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya
berada di bawah rata-rata nasional atau IFN-nya kurang dari 1 (satu). Dalam
hal ini, rata-rata kemampuan keuangan daerah secara nasional dihitung
dengan menggunakan rumus di bawah ini.
Rata-rata Kemampuan Keuangan Daerah secara Nasional =

Total Kemampuan Keuangan Daerah


Jumlah Daerah

Selanjutnya, perhitungan IFN dilakukan dengan membagi kemampuan


keuangan daerah dengan rata-rata nasional kemampuan keuangan daerah.
Jika IFN < 1, atau dengan kata lain daerah tersebut memiliki kemampuan
keuangan daerah lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka
daerah tersebut mendapatkan prioritas dalam memperoleh DAK.
Rumus IFN dapat dilihat di bawah ini.
Indeks Fiskal Netto Daerah Z =

Kemampuan Keuangan Daerah Z


Rata-rata Nasional Kemampuan Keuangan Daerah

B. KRITERIA KHUSUS
Ditetapkan

dengan

memperhatikan

peraturan

perundang-undangan,

dan karakteristik daerah. Untuk daerah provinsi, kabupaten dan kota di


wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat serta seluruh daerah tertinggal
diprioritaskan mendapatkan alokasi DAK
Karakteristik daerah yang meliputi :
1. Untuk Provinsi :
a. Daerah tertinggal
b. Daerah pesisir dan/atau kepulauan

106

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

c. Daerah perbatasan dengan negara lain


d. Daerah rawan bencana
e. Daerah ketahanan pangan
f. Daerah pariwisata
2. Untuk Kabupaten dan Kota :

a. Daerah tertinggal

b. Daerah pesisir dan/atau kepulauan

c. Daerah perbatasan dengan negara lain

d. Daerah rawan bencana

e. Daerah ketahanan pangan

f. Daerah pariwisata

C. KRITERIA TEKNIS
Kriteria teknis dirumuskan oleh kementerian negara/departemen teknis
terkait. Kriteria teknis tersebut dicerminkan dengan indikator-indikator yang
dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana-prasarana pada
masing-masing bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK.

1. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup Kegiatan DAK Pendidikan


Lingkup Kegiatan
a. SD/SDLB : menuntaskan rehabilitasi ruang kelas rusak berat
pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya dan

dan

sarana

untuk peningkatan mutu pendidikan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

107

b. SMP/SMPLB :
1) rehabilitasi ruang kelas (RK) rusak sedang dan berat,
2) membangun ruang kelas baru (RKB) untuk memenuhi kesenjangan
antara jumlah rombongan belajar (rombel) dengan jumlah RK yang
ada dan memenuhi target APK di tahun 2015;
3) membangun ruang perpustakaan beserta perabotnya; dan
4) membangun ruang belajar lainnya termasuk penyediaan alat
pendidikan untuk laboratorium IPA, komputer, bahasa, dan ruang
ketrampilan/serbaguna

Indikator Teknis
a. SD
1) Jumlah Ruang Kelas Rusak Sedang
2) Jumlah Ruang Kelas Rusak Berat
3) Jumlah SD yang Belum Memiliki Perpustakaan
4) Angka Partisipasi Murni (APM) SD
b. SMP
1) Jumlah ruang belajar rusak sedang SMP/SMPLB
2) Jumlah ruang belajar rusak berat SMP/SMPLB
3) Jumlah SMP/SMPLB yang belum memiliki perpustakaan
4) Jumlah ruang kelas baru (RKB) yang masih dibutuhkan sekolah
5) Jumlah ruang belajar lain (RBL) yang masih dibutuhkan sekolah
6) Jumlah SMP/SMPLB yang masih membutuhkan alat laboratorium
IPA
108

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

7) Jumlah SMP/SMPLB yang masih membutuhkan alat peraga


matematika
8) Jumlah SMP/SMPLB yang masih membutuhkan alat peraga IPS
9) Jumlah SMP/SMPLB yang masih membutuhkan alat olahraga
10) Jumlah SMP/SMPLB yang masih membutuhkan alat kesenian
11) Jumlah SMP/SMPLB yang masih membutuhkan alat laboratorium
bahasa
12) Capaian Partisipasi Pendidikan (Angka Partisipasi Kasar SMP/
SMPLB)

2. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup Kegiatan DAK Kesehatan


Lingkup Kegiatan
a. pelayanan kesehatan dasar yakni pemenuhan sarana, prasarana
dan peralatan bagi puskesmas dan jaringannya, antara lain meliputi
peningkatan puskesmas mampu menjalankan persalinan normal,
pembangunan puskesmas baru termasuk rumah dinas tenaga
kesehatan; serta Pembangunan Poskesdes;
b. pelayanan kesehatan rujukan, antara lain

meliputi pemenuhan

fasilitas tempat tidur kelas III RS, pemenuhan sarana, prasarana


dan peralatan PONEK RS, serta pemenuhan sarana, prasarana dan
peralatan untuk pelayanan darah;
c. pelayanan kefarmasian, antara lain meliputi pengadaan obat dan
perbekalan kesehatan, pembangunan baru/rehabilitasi dan penyediaan
sarana pendukung instalasi farmasi kabupaten dan kota, dan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

109

pembangunan baru instalasi farmasi gugus pulau/satelit dan sarana


pendukungnya

Indikator Teknis
a. Pelayanan Dasar
1) Jumlah poskesdes, Jumlah Desa dan Usulan Poskesdes
2) Jumlah Puskesmas, jumlah penduduk, usulan puskesmas
3) Jumlah Puskesmas PONED, usulan puskesmas PONED
4) IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat)
5) Luas Wilayah
b. Pelayanan Rujukan Provinsi dan Kab/kota
1) BOR Klas III
2) Sarana prasarana PONEK RS
3) Sarana Prasarana Pelayanan Darah
4) Sarana Prasarana IGD RS di RS Pemerintah type D
c. Farmasi
1) Jumlah penduduk miskin data jamkesmas Th 2011
2) Jumlah penduduk
3) Anggaran Obat dan Perbekkes APBD 2 Th 2011
4) Prediksi sisa stok obat s/d Desember 2011
5) Kondisi sarana prasarana Instalasi Farmasi
6) Kondisi sarana prasarana pendukung Instalasi Farmasi

110

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

3. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Bidang Infrastruktur


Lingkup Kegiatan
a. Bidang Infrastruktur Jalan

Pemeliharaan berkala jalan dan jembatan provinsi/kabupaten/kota,


peningkatan kapasitas jalan dan jembatan provinsi/kabupaten/kota,
serta pembangunan jalan dan jembatan provinsi/kabupaten/kota

b. Bidang Infrastruktur Irigasi


rehabilitasi jaringan irigasi pada daerah irigasi yang rusak agar


kualitas layanan irigasi dapat segera kembali seperti sedia kala,
dan peningkatan/pembangunan jaringan irigasi sebagai perwujudan
kontribusi daerah terhadap pemenuhan target nasional tersebut.

c. Bidang Infrastruktur Air Minum


mendorong

peningkatan

sambungan

rumah

untuk

masyarakat

berpenghasilan rendah (MBR) di perkotaan, pemasangan master meter


untuk masyarakat miskin perkotaan; serta peningkatan pelayanan air
minum di lokasi rawan air dan/atau terpencil.
d. Bidang Infrastruktur Sanitasi
untuk air limbah, persampahan, dan drainase, pengembangan
prasarana dan sarana air limbah komunal; pengembangan fasilitas
pengurangan sampah dengan pola 3R (reduce, reuse, dan recycle),
serta pengembangan prasarana dan sarana drainase mandiri yang
berwawasan lingkungan, ecodrainage, drainase skala kawasan.

Indikator Teknis
a. Bidang Infrastruktur Jalan
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

111

1) Panjang Jalan
2) Panjang Jalan Kondisi Tidak Mantap
3) Luas Wilayah
4) Jumlah Penduduk
5) Besaran APBD Pembangunan tahun berjalan
6) Alokasi sektor Jalan (di luar DAK)
7) Pelaporan
b. Bidang Infrastruktur Irigasi
1) Luas Daerah Irigasi
2) Kondisi Daerah Irigasi
3) Rata-rata produksi pada sawah
4) Luas Wilayah
5) Besaran APBD Pembangunan tahun berjalan
6) Alokasi sektor Irigasi (di luar DAK)
7) Pelaporan
c. Bidang Infrastruktur Air Minum
1) Jumlah Desa/Kelurahan Rawan Air Bersih
2) Jumlah Penduduk Miskin
3) Cakupan Air Minum
4) Besaran APBD Pembangunan tahun berjalan
5) Alokasi sektor Air Minum (di luar DAK)
6) Pelaporan
d. Bidang Infrastruktur Sanitasi
1) Jumlah Desa/Kelurahan Rawan Sanitasi

112

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

2) Jumlah Penduduk Miskin


3) Luas Wilayah Kumuh
4) Cakupan Pelayanan Sanitasi
5) Besaran APBD Pembangunan tahun berjalan
6) Alokasi sektor Sanitasi (di luar DAK)
7) Pelaporan

4. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Kelautan dan Perikanan


Lingkup Kegiatan
Pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap termasuk
didalamnya pengadaan kapal untuk DAK provinsi; pengembangan
sarana dan prasarana perikanan budidaya; pengembangan sarana dan
prasarana pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan;
pengembangan sarana dan prasarana pemberdayaan ekonomi masyarakat
di pesisir dan pulau-pulau kecil; pengembangan sarana dan prasarana
pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan; pengembangan sarana
dan prasarana penyuluhan perikanan; dan pengembangan sarana statistik
kelautan dan perikanan.

Indikator Teknis
a. Provinsi

1) Produksi Tangkap

2) Panjang Pantai

3) Jumlah Nelayan

b. Kab/Kota
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

113

1) Jumlah Produksi Perikanan (ton)

2) Jumlah Kapal Berlabuh (unit)

3) Jumlah Pangkalan Pendaratan Ikan (unit)

4) Luas Lahan Budidaya (ha)

5) Jumlah Tenaga Kerja Perikanan (orang)

6) Jumlah Pokmaswas (kelompok)

7) Luas Kawasan Konservasi Perairan (ha)

8) Jumlah Pasar Ikan Tradisional (unit)

9) Jumlah Unit Pengolahan Ikan (unit)

10) Jumlah Penyuluh Perikanan (orang)

11) Jumlah Kawasan Minapolitan (kawasan)

5. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Pertanian


Lingkup Kegiatan
a. perluasan areal pertanian;
b. penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan air;
c. penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan lahan;
d. penyediaan lumbung pangan masyarakat atau gudang pangan
pemerintah;
e. pembangunan/rehabilitasi Balai Penyuluhan Pertanian di Kecamatan;
f. penyediaan
Kabupaten

prasarana
untuk

dan

sarana

Tanaman

Balai

Pangan/Hortikultura/Perkebunan/

Peternakan;

114

Perbenihan/Perbibitan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

g. pembangunan/rehabilitasi

Pusat/Pos/Klinik

Pelayanan

Kesehatan

Hewan dan Inseminasi Buatan;


h. penanganan pasca panen.
Indikator Teknis
a. Luas Penggunaan Lahan
b. Jumlah Balai Penyuluhan Pertanian
c. Jumlah Penyuluh Pertanian
d. Jumlah Balai Benih/Perbibitan
e. Jumlah Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan)/Pos Inseminasi Buatan (IB)

6. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Lingkungan Hidup


Lingkup Kegiatan
Pemantauan kualitas air yang dilakukan melalui kegiatan pembangunan
gedung laboratorium, penyediaan sarana dan prasarana pemantauan
kualitas

air,

pembangunan

laboratorium

bergerak,

dan

kendaraan

operasional; pengendalian pencemaran melalui kegiatan penerapan


teknologi sederhana untuk pengurangan limbah), Taman Kehati, Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) medik dan Usaha Kecil dan Menengah
(UKM), dan pengadaan kendaraan pengangkut sampah; pengendalian
polusi udara melalui kegiatan pengadaan alat pemantau kualitas udara;
serta perlindungan sumber daya air melalui kegiatan penanaman di luar
kawasan hutan, dan pengadaan papan informasi

Indikator Teknis
a. Kepadatan penduduk
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

115

b. Panjang sungai tercemar


c. Luas tutupan lahan
d. Bentuk kelembagaan
e. Ruang tutupan hijau
f. Volume sampah
g. Kinerja Pelaporan/Pelaksanaan DAK

7. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Prasarana Pemerintahan


Daerah
Lingkup Kegiatan
Pembangunan kantor Bupati, Walikota, Sekretariat Daerah, DPRD,
Sekretariat DPRD, Dinas, Badan dan Kantor SKPD lainnya.
Indikator Teknis
a. Jumlah SKPD yang belum memiliki kantor sendiri
b. Jumlah SKPD yang kondisinya rusak
c. Daerah yang pindah ibukota
d. Luas Praspem yang masih dibutuhkan

8. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Keluarga Berencana


Lingkup Kegiatan
Penyediaan sarana mobilitas (motor) dan sarana pengelolaan data
berbasis teknologi informasi (Personal computer) bagi PKB/PLKB/PPLKB,
pemenuhan sarana pelayanan KB di Klinik KB statis (Implant Kit, IUD Kit)
dan sarana Pelayanan KB Keliling (MUYAN) dan pembangunan Gudang
116

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Alat/Obat Kontrasepsi, dan penyediaan sarana dan prasarana penerangan


KB keliling (MUPEN), pengadaan Public Adress dan KIE

Indikator Teknis
a. Indeks Penyuluh KB / Petugas Lapangan KB
b. Indeks Pengendali Petugas Lapangan KB
c. Indeks Jumlah Desa / Kelurahan
d. Indeks Jumlah Kecamatan
e. Indeks Klinik KB

9. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Kehutanan


Lingkup Kegiatan
Rehabilitasi hutan produksi, hutan lindung, lahan kritis, Tahura dan Hutan
Kota; sarana dan prasarana pengamanan hutan; sarana dan prasarana
Taman Hutan Rakyat (Tahura); sarana dan prasarana KPH; serta sarana
dan prasarana penyuluhan.

Indikator Teknis
a. Kab/ Kota
1) Luas Wilayah
2) Luas Hutan Mangrove
3) Luas Lahan Kritis
4) Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan
5) Luas Hutan Lindung
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

117

6) Luas Kawasan Konservasi


7) Luas Lahan Gambut
8) Daerah Penghasil/Jumlah DBH yang Diperoleh
9) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
10) Rencana Reboisasi Hutan dan Lahan (RHL)
11) Pelaporan
b. Provinsi
1) Luas Tahura
2) Luas Kawasan Konservasi
3) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
4) Rencana Reboisasi Hutan dan Lahan (RHL)
5) Pelaporan

10. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Sarana Perdagangan


Lingkup Kegiatan
Mendanai kegiatan pembangunan dan pengembangan pasar tradisional;
peningkatan sarana metrologi legal; serta pembangunan gudang, fasilitas
dan peralatan penunjangnya dalam kerangka Sistem Resi Gudang.

Indikator Teknis
a. Pembangunan, Perluasan dan Renovasi Pasar Tradisional :
1) Jumlah desa yang tdk memiliki pasar permanen/semi permanen pd
jarak < 3 km

118

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

2) Jumlah Pasar Tanpa Bangunan


3) Prosentase jumlah pasar rusak
b. Peningkatan Sarana Metrologi Legal :
1) Jumlah unit pengawasan berjalan Tera/Tera Ulang UTTP
-

Jumlah SKPD yang menangani metrologi legal

Jumlah potensi UTTP yang belum tertangani

2) Jumlah Pengadaan Pos Ukur Ulang


-

Jumlah pasar percontohan

Jumlah pasar tertib ukur

c. Pembangunan Gudang, Sarana Penunjang, & Peralatan Gudang


1) Jumlah Produksi Padi
2) Jumlah Produksi Jagung
3) Jumlah Produksi Kopi
4) Jumlah Produksi Kakao
5) Jumlah Produksi Lada
6) Jumlah Produksi Karet
7) Jumlah Produksi Rumput Laut

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

119

11. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Perumahan dan Kawasan
Permukiman
Lingkup Kegiatan
Membantu daerah dalam mendanai kebutuhan fisik infrastruktur perumahan
dan permukiman dalam rangka mencapai Standar Pelayanan Minimum
(SPM) meliputi :
a. penyediaan sarana dan prasarana air minum,
b. sarana septik tank komunal,
c. tempat pengolahan sampah terpadu (TPST),
d. jaringan distribusi listrik, dan
e. penerangan jalan umum.

Indikator Teknis
a. Indeks Backlog Perumahan
b. Indeks Kemiskinan
c. Indeks Kesiapan Lokasi Perumahan dan Permukiman :
1) Sub Indeks Perda Tata Ruang (RTRW)
2) Sub Indeks Bantuan Stimulan PSU Kemenpera
3) Sub Indeks Pembangunan Rumah Tahun 2012
4) Sub Indeks Rawan Air Minum dan atau Sanitasi
d. Indeks Rencana Pembangunan Rumah per Kab/Kota2012

120

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

12. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Listrik Perdesaan


Lingkup Kegiatan
Pembangunan pembangkit listrik dengan memanfaatkan potensi energi
terbarukan.

Indikator Teknis
a. Rasio elektrifikasi kabupaten kota (pada propinsi yang mempunyai rasio
elektrifikasi dibawah 50%)
b. Harga BPP Listrik per propinsi

13. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Sarana dan Prasarana
Kawasan Perbatasan

Lingkup Kegiatan
Pembangunan jalan/peningkatan kondisi permukaan jalan non-status yang
menghubungkan kecamatan perbatasan prioritas dengan pusat kegiatan
disekitarnya.

Indikator Teknis
a. Panjang Garis Batas Kecamatan Perbatasan
b. Jumlah Desa Wilayah Perbatasan
c. Luas Wilayah Perbatasan
d. Jumlah Penduduk di Kecamatan Perbatasan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

121

14. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Transportasi Perdesaan


Lingkup Kegiatan
Jalan poros desa melalui pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan
jalan antardesa yang menghubungkan sentra produksi dengan sentra
pemasaran di kawasan strategis cepat tumbuh (KSCT), serta angkutan
perdesaan melalui pengadaan sarana transportasi angkutan penumpang
dan barang yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.

Indikator Teknis
a. Indeks Kebutuhan Prasarana Angkutan yaitu Rasio jumlah desa bukan
aspal / jumlah desa moda transport darat
b. Indeks Kebutuhan Sarana Angkutan yaitu rata-rata waktu tempuh per
km dari desa ke kecamatan
c. Indeks Karakteristik Kewilayahan yaitu rasio jumlah desa pertanian,
jasa dibagi total jumlah desa
d. Kawasan Strategis Cepat Tumbuh

15. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Keselamatan Transportasi


Darat
Lingkup Kegiatan
Pengadaan dan pemasangan fasilitas dan peralatan keselamatan jalan
melalui pemasangan rambu jalan, marka jalan, pagar pengaman jalan, alat
pengatur isyarat lalu lintas, paku jalan; dan delienator.

Indikator Teknis
122

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

a. Indeks Aksesibilitas (panjang jalan/luas wilayah)


b. Indeks Kepadatan Penduduk (jumlah penduduk/luas wilayah)

16. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Sarana dan Prasarana
Daerah Tertinggal
Lingkup Kegiatan
Penyediaan

moda

transportasi

darat/perairan

untuk

meningkatkan

mobilitas barang dan penumpang antar wilayah perdesaan dengan pusat


pertumbuhan; pembangunan dan rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan
perahu untuk

mendukung angkutan orang dan barang, khususnya

dermaga kecil atau tambatan perahu di wilayah pesisir yang tidak ditangani
Kementerian

Perhubungan;

penyediaan/pembangunan

pembangkit

energi listrik perdesaan yang memanfaatkan sumber energi mikrohidro


dan pikohidro dan; serta pembangunan/rehabilitasi embung irigasi untuk
menunjang sektor pertanian.

Indikator Teknis
a. Indeks Infrastruktur

1) Indeks Infrastruktur energi

- Indeks Rumah Tangga


- Indeks Desa

2) Indeks Infrastruktur Transportasi

Indeks Akses Kendaraan Roda 4

- Indeks Jalan
- Indeks Moda Transportasi
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

123

b. Indeks Administrasi Pelaporan


Dari beberapa penjelasan di atas, proses pengalokasian DAK

dapat

dijelaskan pada Gambar 3.14 di bawah ini.


Gambar 3.14
Proses Penentuan Besaran Alokasi per Daerah

IFN<1

UU & PP

Y
IFN + IKW
IFW > 1

IFW + IT
IFWT > 1

LAYAK
Bobot DAK
BD = IFWT x IKK
Alokasi DAK per Bidang
ABD=BD x Pagu per Bidang
Alokasi DAK
(AD) = (ADB1) + (ADB2) + (ADBn)

Dari Gambar 3.14 di atas, terdapat serangkaian proses yang harus dilalui,
baik dalam menentukan daerah tertentu yang menerima DAK maupun
dalam menentukan besaran alokasi masing-masing daerah.

124

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Tahap 1 : Menentukan Daerah Tertentu Penerima DAK


1. Jika suatu daerah memenuhi kriteria umum yang ditunjukkan dengan
IFN < 1, maka daerah tersebut pada proses ini layak mendapat alokasi
DAK;
2. Jika pada proses no. 1 di atas daerah tidak memenuhi, maka dilihat
kriteria khusus yang pertama yaitu apakah daerah tersebut termasuk
dalam pengaturan otonomi khusus atau termasuk dalam 199 kabupaten
tertinggal. Jika ya, maka daerah tersebut layak memperoleh alokasi
DAK;
3. Jika daerah tersebut tidak termasuk dalam kriteria khusus pada butir 2
di atas, maka lihat kembali kriteria khusus yang kedua yaitu karakteristik
wilayah yang ditunjukkan dengan indeks kewilayahan (IKW). Pada
proses ini, IFN dan IKW digabungkan sehingga menghasilkan IFW.
Dalam hal ini apabila IFW > 1, maka daerah tersebut layak memperoleh
DAK;
4. Jika daerah tersebut ternyata masih belum layak untuk mendapatkan
DAK pada proses nomor 3 di atas, maka dilihat kriteria teknisnya
untuk masing-masing bidang yang didanai dari DAK yang dicerminkan
dengan indeks teknis (IT). Pada proses ini, IT digabungkan dengan IFW
sehingga menghasilkan IFWT. Jika IFWT > 1, maka daerah tersebut
layak mendapat alokasi DAK pada bidang tersebut.

Tahap 2 : Menentukan Besaran Alokasi DAK masing-masing Daerah


Setelah proses penentuan daerah tertentu dilalui, maka harus dihitung
besaran

alokasi

untuk

masing-masing

bidang

dan

masing-masing

daerahnya (ADB, alokasi daerah dan bidang);

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

125

IFWT masing-masing daerah dikalikan dengan Indeks Kemahalan


Konstruksi (IKK) dan menghasilkan Bobot Daerah (BD) untuk masingmasing daerah;
Selanjutnya, BD tersebut dikalikan dengan pagu alokasi DAK masingmasing bidang sehingga dihasilkan alokasi daerah bersangkutan untuk
masing-masing bidang.

3.1.4.1.4. Administrasi Pengelolaan DAK


A. Dana Pendamping
Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab daerah dalam
pelaksanaan program yang didanai DAK, daerah penerima DAK wajib
menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh
persen) dari nilai DAK yang diterimanya untuk mendanai kegiatan fisik.
Dana Pendamping tersebut wajib dianggarkan dalam APBD tahun anggaran
berjalan. Jika daerah tidak menganggarkan Dana Pendamping, pencairan
DAK tidak dapat dilakukan. Dana Pendamping juga dicantumkan dalam
Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA-SKPD) atau dokumen pelaksana
anggaran sejenis lainnya.
Untuk daerah dengan kemampuan keuangan tertentu, yaitu selisih antara
penerimaan umum APBD dan Belanja Pegawainya sama dengan 0 (nol)
atau negatif maka tidak diwajibkan menganggarkan Dana Pendamping.

B. Penganggaran
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan yang dapat dibiayai dari DAK,
Menteri Teknis menetapkan Petunjuk Teknis pelaksanaan kegiatan DAK
untuk masing-masing bidang. Selanjutnya, pelaksanaan kegiatan yang
126

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

didanai DAK harus selesai paling lambat 31 Desember tahun anggaran


berjalan dan hasil dari kegiatan yang didanai DAK harus sudah dapat
dimanfaatkan pada akhir tahun anggaran tesebut.
Sesuai dengan PMK Nomor 216/PMK.07/2010 diatur bahwa daerah wajib
menyampaikan rencana penggunaan DAK kepada Menteri/Kepala Badan
terkait dengan tembusan Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan
Keuangan, yang memuat pilihan kegiatan, volume dan besaran, serta dana
pendamping.
Sementara itu, berdasarkan PMK No. 6/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah Pasal 29, daerah penerima
DAK dapat melakukan optimalisasi penggunaan DAK dengan merencanakan
dan menganggarkan kembali kegiatan DAK dalam APBD Perubahan tahun
berjalan apabila akumulasi nilai kontrak pada suatu bidang DAK lebih kecil
dari pagu bidang DAK tersebut. Optimalisasi penggunaan DAK tersebut
dilakukan untuk kegiatan-kegiatan pada bidang DAK yang sama dan sesuai
dengan petunjuk teknis yang ditetapkan. Dalam hal terdapat sisa DAK pada
kas daerah saat tahun anggaran berakhir, daerah dapat menggunakan
sisa DAK tersebut untuk mendanai kegiatan DAK pada bidang yang sama
tahun anggaran berikutnya sesuai dengan petunjuk teknis tahun anggaran
sebelumnya dan/atau tahun berjalan. Sisa DAK tidak dapat digunakan untuk
dana pendamping DAK.

C. Pemantauan dan Pengawasan


Pemantauan dan pengawasan dari kegiatan yang dibiayai melalui Dana
Alokasi Khusus ini melibatkan tiga hal penting, yaitu pemantauan teknis,
pelaksanaan kegiatan dan administrasi keuangan serta penilaian terhadap
manfaat kegiatan yang dibiayai oleh DAK tersebut. Menteri Teknis
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

127

melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan teknis


pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DAK sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
Pengawasan fungsional/pemeriksaan pelaksanaan kegiatan dan administrasi
keuangan DAK dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan/atau
aparat pengawasan intern pemerintah daerah. Apabila dalam pemeriksaan
tersebut terdapat penyimpangan dan/atau penyalahgunaan, BPK dan/atau
aparat pengawas intern pemerintah daerah menindaklanjutinya sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Daerah sendiri
melalui tim koordinasi melakukan evaluasi terhadap manfaat pelaksanaan
DAK yang melibatkan pihak terkait setempat.
Sementara itu, untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan DAK di daerah
dalam kaitannya dengan penyempurnaan kebijakan DAK, telah diterbitkan
Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan,
dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Nomor 0239/M.PPN/11/2008, SE 1722/MK.07/2008, 900/3556/SJ Petunjuk
Pelaksanaan Pemantauan Teknis Pelaksanaan Dan Evaluasi Pemanfaatan
Dana Alokasi Khusus (DAK). SEB dimaksud lebih banyak mengatur
tata hubungan dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi DAK yang
dilaksanakan antar tingkat pemerintahan.

D. Pelaporan
Daerah

menyampaikan

laporan

triwulanan

yang

memuat

laporan

pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK kepada Menteri/Kepala Badan


terkait dengan tembusan Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan
Keuangan, meliputi gambaran, rencana kegiatan, sasaran, hasil yang telah
dicapai, hambatan, serta jumlah realisasi dana.
128

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Selanjutnya, Menteri Teknis menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan


DAK pada akhir tahun anggaran kepada Menteri Keuangan, Menteri
Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Menteri
Dalam Negeri.

3.1.5. BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS)


Sesuai pasal 51 UU No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS disebutkan
bahwa Pengelolaan satuan pendidikan dasar dilaksanakan dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah. Sementara itu pasal 3 PP
No. 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan menyebutkan biaya
operasi Sekolah termasuk dalam Biaya Satuan Pendidikan dan pada pasal
5 disebutkan bahwa Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat mendanai
investasi dan/atau biaya operasi satuan pendidikan dalam bentuk hibah
atau bantuan sosial sesuai peraturan perundang-undangan.
Sejalan dengan itu dalam PMK 201/PMK.07/2011 disebutkan bahwa
BOS adalah dana yang digunakan terutama untuk biaya non personalia
bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar,
dan dapat dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain sesuai
petunjuk teknis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
BOS dialokasikan kepada daerah provinsi untuk meringankan beban
masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9
tahun yang bermutu.
Sekolah penerima BOS adalah Sekolah Dasar/Sekolah Dasar Luar Biasa
(SD/SDLB) dan Sekolah Menengah Pertama/Sekolah Menengah Pertama
Luar Biasa/Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMP/SMPLB/SMPT),
termasuk SD-SMP Satu Atap (SATAP) dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

129

(TKBM) yang diselenggarakan oleh masyarakat baik negeri maupun swasta


di seluruh provinsi di Indonesia.
Dalam Tahun 2012 BOS merupakan komponen Anggaran Transfer ke
Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran
2012 dan menjadi bagian dari pendapatan daerah, serta dianggarkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Tahun Anggaran 2012
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Perubahan Tahun
Anggaran 2012 pada kelompok Lain-lain Pendapatan yang Sah.
Dalam hal ini, BOS ditujukan terutama untuk stimulus bagi daerah dan
bukan sebagai pengganti dari kewajiban daerah untuk menyediakan
anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
baik untuk BOS Daerah dan/atau Bantuan Operasional Pendidikan.

3.1.6. PENYALURAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH


Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
menyatakan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang
kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, kekuasaan
pengelolaan keuangan negara tersebut diserahkan kepada gubernur/
Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola
keuangan daerah dan mewakili pemerintahan daerah dalam kepemilikan
kekayaan daerah yang dipisahkan. Hal ini berarti, pemerintah daerah
melakukan sendiri pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan sampai dengan pertanggungjawabannya.
Sejalan

dengan

menyempurnakan

130

amanat
bagan

undang-undang
akun

standar

tersebut,
Menteri

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

dalam

Keuangan

upaya
telah

Pelengkap Buku Pegangan 2012

mengelompokkan bagan akun yang terkait dengan pengalokasian Dana


Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian ke dalam
kelompok bagan akun tersendiri yaitu Kelompok Transfer ke Daerah
menggantikan Kelompok Belanja ke Daerah. Hal ini diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar.
Selanjutnya pada tahun 2008, perubahan ini diimplementasikan ke dalam
perubahan nomenklatur APBN dari sebelumnya Belanja ke Daerah menjadi
Transfer ke Daerah dan diikuti pula dengan perubahan mendasar dalam
pelaksanaan penyalurannya dari kas negara ke kas daerah. Pelaksanaan
penyaluran ini terakhir diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran
Transfer ke Daerah.
Penyaluran angggaran Transfer ke Daerah dilakukan dengan cara
pemindahbukuan dari rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum
Daerah. Dalam rangka penyaluran tersebut, Bendaharawan Umum Daerah
(BUD) atau Kuasa BUD membuka rekening pada bank sentral atau bank
umum untuk menampung penyaluran semua anggaran Transfer ke Daerah
(DBH Pajak, DBH SDA, DAU, dan DAK) dengan nama Rekening Kas
Umum Daerah.

3.1.6.1. PENYALURAN DBH PAJAK


3.1.6.1.1. Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh
Penyaluran DBH PPh mengacu pada PMK No. 06/PMK.07/2012 tentang
Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
a. Penyaluran DBH PPh WPoPDN dan DBH PPh Pasal 21 dilaksanakan
berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21 tahun anggaran berjalan.
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

131

b. Penyaluran DBH PPh WPoPDN dan DBH PPh Pasal 21 dilaksanakan


secara triwulanan, dengan rincian sebagai berikut :

Penyaluran triwulan I sampai dengan triwulan III masing-masing


sebesar 20% dari alokasi sementara;

Penyaluran

triwulan

IV

didasarkan

pada

selisih

antara

pembagian definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan


selama triwulan I sampai dengan triwulan III.

Dalam hal terjadi kelebihan penyaluran karena penyaluran


triwulan I sampai dengan triwulan III yang didasarkan atas
alokasi sementara lebih besar daripada alokasi definitif, maka
kelebihan dimaksud diperhitungkan dalam penyaluran tahun
anggaran berikutnya.

c. Penyaluran DBH Cukai Hasil Tembakau


Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) disalurkan


secara triwulanan, yaitu:
a. Triwulan I sebesar 20% dari pagu alokasi sementara,
dilaksanakan pada bulan Maret.
b. Triwulan II sebesar 30% dari pagu alokasi sementara,
dilaksanakan pada bulan Juni.
c. Triwulan III sebesar 30% dari pagu alokasi sementara,
dilaksanakan pada bulan September.
d. Triwulan IV didasarkan pada selisih antara pagu alokasi definitif
dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I s.d.
III.

132

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Apabila sampai dengan lima hari kerja sebelum berakhirnya tahun


anggaran berjalan alokasi definitife belum ditetapkan, penyaluran
triwulan IV adalah sebesar sisa pagu alokasi sementara.

Penyaluran triwulan IV dilaksanakan setelah daerah melalui


Gubernur menyampaikan laporan konsolidasi penggunaan dana
atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT semester I tahun anggaran
berjalan. Namun apabila laporan konsolidasi tersebut tidak
menunjukkan adanya realisasi penggunaan dana, penyaluran
triwulan IV ditunda sampai dengan disampaikannya laporan
konsolidasi

penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH

CHT yang menunjukkan adanya realisasi penggunaan dana. DBH


CHT yang ditunda dalam penyaluran triwulan IV dapat disalurkan
kembali setelah dipenuhinya kewajiban penyampaian laporan dari
daerah sepanjang tidak melampaui tahun anggaran berjalan.

3.1.6.1.2. Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB


Penyaluran DBH PBB mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran
Transfer ke Daerah.
a. Penyaluran DBH PBB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan
PBB tahun anggaran berjalan.
b. Penyaluran DBH PBB dan biaya pemungutan PBB bagian daerah
dilaksanakan secara mingguan melalui KPPN di daerah sesuai dengan
realisasi penerimaan.
c. Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah yang dibagikan secara merata
kepada seluruh kabupaten dan kota dilaksanakan dalam tiga tahap,
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

133

yaitu bulan April sebesar 25%, bulan Agustus sebesar 50% dari alokasi
sementara, dan bulan November tahun anggaran berjalan.

Berdasarkan realisasi penerimaan PBB dikurangi dengan dana yang


sudah disalurkan pada triwulan I dan II.

d. Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah yang dibagikan sebagai


insentif kepada kabupaten dan kota yang realisasi penerimaan PBB
sektor pedesaan dan perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya
mencapai/melampaui

rencana

penerimaan

yang

ditetapkan,

dilaksanakan dalam bulan November tahun anggaran berjalan.

3.1.6.2. PENYALURAN DBH SUMBER DAYA ALAM


a. Triwulan I sebesar :
-

20% dari pagu perkiraan alokasi DBH SDA migas, panas bumi, dan
pertambangan umum;

15% dari pagu perkiraan alokasi DBA SDA kelautan dan perikanan;

b. Triwulan II sebesar :
-

20% dari pagu perkiraan alokasi DBA SDA migas dan panas bumi;

15% dari pagu perkiraan alokasi DBA SDA pertambangan umum,


kelautan dan perikanan;

c. Triwulan III disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan negara


sampai dengan triwulan III dikurangi dengan realisasi pengeluaran
triwulan I dan II.
d. Triwulan IV disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan negara
sampai dengan triwulan IV dikurangi dengan realisasi pengeluaran
triwulan I, II, dan III.
134

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Pola Penyaluran DBH SDA Migas


Sejak tahun 2008 Pemerintah melaksanakan penyaluran dana Transfer ke
daerah dengan pendekatan baru yang mengedepankan semangat untuk
menjamin kepastian, kecepatan, akurasi, dan akuntabilitas. Semangat
ini diwujudkan dengan penyaluran DBH Migas Triwulan I dan Triwulan II
masing-masing 20% dari alokasi per daerah, disalurkan dalam bulan Maret
dan bulan Juni. Maksud dari pola ini adalah agar daerah mendapatkan
kepastian waktu dan ketepatan jumlah, tanpa menunggu perhitungan
realisasi PNBP Migas. Selanjutnya Triwulan III disalurkan pada bulan
September berdasarkan hasil rekonsiliasi PNBP yang disetor ke kas negara
mulai bulan Desember sampai dengan bulan Mei, yang datanya sudah
dapat disediakan dalam bulan Agustus. Besarnya penyaluran Triwulan III
adalah jumlah DBH suatu daerah berdasarkan hasil rekonsiliasi dikurangi
penyaluran Triwulan I dan Triwulan II. Sedangkan Triwulan IV disalurkan
dalam bulan Desember berdasarkan realisasi PBNP sampai dengan bulan
Agustus. Selanjutnya realisasi sampai dengan Bulan November akan
disalurkan ke daerah sebagai sisa DBH SDA pada bulan Februari tahun
anggaran berikutnya.

3.1.6.3. PENYALURAN DAU


Sampai dengan tahun 2007 penyaluran DAU dilakukan oleh Ditjen
Perbendaharaan melalui KPPN setempat. Kepala daerah bertindak
selaku KPA dari Bendaharawan Umum Negara (BUN) membuat DIPA
dan menyampaikannya kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan untuk
mendapatkan pengesahan. Selanjutnya, kepala daerah atau pejabat
yang ditunjuk menerbitkan SPM dan menyampaikannya kepada KPPN
setempat untuk penyaluran DAU setiap bulan.
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

135

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan


dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, mulai tahun
2008 Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan bertindak selaku KPA
yang menyusun DIPA dan menyampaikannya kepada Direktur Jenderal
Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan. Penyaluran DAU
dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 dari besaran
alokasi masing-
masing daerah. Dalam rangka penyaluran tersebut,
Dirjen Perimbangan Keuangan atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan
SPM setiap bulan dan menyampaikannya kepada Kuasa BUN (KPPN
Jakarta II - DJPB).

3.1.6.4. PENYALURAN DAK


Mulai tahun 2008 penyaluran DAK dilaksanakan langsung melalui
Kuasa BUN (KPPN Jakarta II - DJPB) dengan cara memindahbukukan
dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah.
Berdasarkan

Peraturan

Menteri

Keuangan

tentang

Pelaksanaan

dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, Dirjen


Perimbangan Keuangan ditunjuk sebagai KPA yang menyusun DIPA
dan menyampaikannya kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan
untuk mendapatkan pengesahan. Dalam rangka menyalurkan DAK,
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atau pejabat yang ditunjuk
menerbitkan SPM yang terbagi dalam 3 tahap yaitu;

Tahap I sebesar 30 persen dari alokasi, dilaksanakan setelah Perda


mengenai APBD, Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun
anggaran sebelumnya, dan Surat Pernyataan Penyediaan Dana
Pendamping diterima oleh Dirjen Perimbangan Keuangan,

136

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Tahap II sebesar 45 persen dari alokasi, dilaksanakan selambatlambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah Laporan Realisasi
Penyerapan DAK Tahap I diterima oleh Dirjen Perimbangan
Keuangan, dan

Tahap III sebesar 25 persen dari alokasi, dilaksanakan selambatlambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah Laporan Realisasi
Penyerapan DAK Tahap II diterima oleh Dirjen Perimbangan
Keuangan.

Sesuai dengan PMK, pelaksanaan penyaluran secara bertahap tersebut


tidak dapat dilakukan sekaligus dan tidak boleh melampaui tahun
anggaran berjalan.

3.1.6.5. PENYALURAN BOS


Mekanisme penyaluran BOS Tahun Anggaran 2012 dilakukan melalui
pemindahbukuan dana dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas
Umum Daerah Provinsi, untuk selanjutnya diteruskan secara langsung ke
satuan pendidikan dasar dalam bentuk hibah.
1. Penyaluran BOS dilakukan secara triwulanan, yaitu:
a. Triwulan I dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja pada
awal bulan Januari 2012;
b. Triwulan II dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja pada awal
bulan April 2012;
c. Triwulan III dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja pada awal
bulan Juli 2012; dan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

137

d. Triwulan IV dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja pada awal


bulan Oktober 2012.
Penyaluran Triwulan I, Triwulan II, Triwulan III, dan Triwulan IV sebagaimana
dimaksud diatas dilakukan sebesar (satu perempat) dari alokasi BOS
Gambar 3.15
Penyaluran Dana BOS Per Triwulan

2. Penyaluran Dana Cadangan BOS dilakukan secara triwulanan,


yaitu:
a. Triwulan I dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum
triwulan I berakhir;
b. Triwulan II dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum
triwulan II berakhir;

138

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

c.

Triwulan III dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum


triwulan III berakhir; dan

d. Triwulan IV dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja


sebelum triwulan IV berakhir.
Gambar 3.16
Penyaluran Dana Cadangan BOS Per Triwulan

Mekanisme transfer per Triwulan


Perhitungan Kurang /Lebih Salur
Mekanisme penyaluran sesuai ketentuan APBD
Rekomendasi kurang/lebih salur

selanjutnya, untuk mendukung kelancaran penyaluran Bos di daerah


terpencil, sesuai dengan PMK nomor 26/PMK.07/2012 tentang Pedoman
umum dan Alokasi Bantuan operasional sekolah untuk sekolah di Daerah
Terpencil Tahun Anggaran 2012 diatur mekanisme penyaluran sebagai
berikut :
Penyaluran Bos untuk sekolah di daerah terpencil Tahun Anggaran 2012
dilakukan melalui pemindahbukuan dana dari Rekening Kas umum Negara
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

139

ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, untuk selanjutnya diteruskan


secara langsung ke satuan pendidikan dasar dalam bentuk hibah yang
dilakukan secara semesteran.
1. Semester pertama dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
setelah Peraturan Menteri ini ditetapkan;
a. sebesar (satu per empat) dari alokasi BOS sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/
PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Bantuan
Operasional Sekolah Tahun Anggaran 2012; dan ditambah
b. sebesar (satu per empat) dari alokasi BOS daerah terpencil
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
2. Semester kedua dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja pada awal
bulan Juli 2012;

sebesar (satu per dua) dari alokasi BOS daerah terpencil


sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri nomor 26/
PMK.07/2012

tentang

Pedoman

Umum

dan

Alokasi

Bantuan

Operasional Sekolah untuk Sekolah di Daerah Terpencil Tahun


Anggaran 2012.

Penyaluran Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah


(PNSD)

Tunjangan Profesi Guru PNSD disalurkan secara triwulanan, yaitu masingmasing sebesar 25% dari pagu alokasi per daerah, yang dilaksanakan pada
bulan Maret, Juni, September dan Desember.
Penyaluran triwulan I dilaksanakan setelah Daerah menyampaikan
Laporan Realisasi Pembayaran TPG PNSD semester II tahun anggaran
140

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

sebelumnya kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.


Apabila Daerah belum menyampaikan laporan tersebut, maka
penyaluran triwulan I akan ditunda sampai dengan disampaikannya
laporan dimaksud.
Penyaluran triwulan IV dilaksanakan setelah Daerah menyampaikan
Laporan Realisasi Pembayaran TPG PNSD semester I tahun anggaran
berjalan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Apabila
Daerah belum menyampaikan laporan tersebut, maka penyaluran
triwulan I akan ditunda sampai dengan disampaikannya laporan
dimaksud.
Penyaluran Dana Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil
Daerah (PNSD)

Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD disalurkan secara triwulanan,


yaitu masing-masing sebesar 25% dari pagu alokasi per daerah, yang
dilaksanakan pada bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penyaluran triwulan I dilaksanakan setelah Daerah menyampaikan


Laporan Realisasi Pembayaran
Guru PNSD

Dana Tambahan Penghasilan

semester II tahun anggaran sebelumnya kepada

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Apabila Daerah belum


menyampaikan laporan tersebut, maka penyaluran triwulan I akan
ditunda sampai dengan disampaikannya laporan dimaksud.
Penyaluran triwulan IV dilaksanakan setelah Daerah menyampaikan
Laporan Realisasi Pembayaran

Dana Tambahan Penghasilan Guru

PNSD semester I tahun anggaran berjalan kepada Direktorat Jenderal


Perimbangan Keuangan. Apabila Daerah belum menyampaikan laporan
tersebut, maka penyaluran triwulan I akan ditunda sampai dengan
disampaikannya laporan dimaksud.
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

141

Penyaluran Dana Insentif Daerah (DID)


Dana Insentif Daerah (DID) disalurkan sekaligus (100%) dalam setahun


berdasarkan alokasi DID yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keungan . Penyaluran DID dilakukan setelah Daerah menyampaikan
dokumen persyaratan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan, berupa:

a. Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran yang


bersangkutan;

b. Surat Pernyataan dari Daerah akan mencantumkan DID dalam


APBD atau APBD Perubahan tahun anggaran bersangkutan; dan

c. Rencana Penggunaan DID

3.1.7. DANA BAGI HASIL PBB MIGAS DAN PANAS BUMI


Pajak Bumi dan Bangunan atau disingkat PBB merupakan salah satu
jenis pajak yang sangat populer bagi daerah. Bukan hanya karena proses
pemungutan dan administrasinya yang melibatkan peran serta aparat
Pemda, tapi juga karena nilai penerimaan pajaknya seluruhnya akan
dinikmati oleh Daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil. PBB sesungguhnya
adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan. Bumi
mencakup permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya,
sedangkan bangunan merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap (permanen) pada tanah dan/atau perairan.
Komponen bumi dan bangunan tersebut merupakan objek yang dikenakan
PBB berdasarkan nilai ekonomi dari objek yang bersangkutan dimana
objek itu berada. Namun cakupan objek tersebut tidak termasuk bumi dan
bangunan yang digunakan untuk : (i) melayani kepentingan umum, seperti

142

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

tempat ibadah dan sekolah, (ii) hutan lindung dan suaka, dan (iii) kantor
perwakilan diplomatik dan organisasi internasional lainnya. Secara sektoral,
objek PBB terdiri dari 5 sektor, yakni sektor perdesaan, sektor perkotaan,
sektor perkebunan, sektor kehutanan, dan sektor pertambangan. PBB
sektor pertambangan mencakup pertambangan minyak bumi gas bumi dan
panas bumi (PBB Migas dan panas bumi), dan pertambangan umum.
Diantara lima sektor PBB tersebut, PBB sektor pertambangan Migas dan
panas bumi mempunyai karateristik yang agak berbeda, antara lain karena
adanya beberapa hal sebagai berikut:
1. Objek yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak selain berada di
permukaan daratan, perairan dan juga pada tubuh bumi.
2. PBB Migas dan panas bumi disetor oleh pengusaha penambangan
migas dan panas bumi bersamaan dengan setoran bagian pemerintah
atas nilai penjualan migas dan panas bumi. Sehingga untuk
memisahkan nilai pembayaran PBB Migas dan Panas Bumi, Pemerintah
harus melakukan pemindahbukuan dari rekening penerimaan Migas
dan Panas Bumi ke rekening bank persepsi yang ditunjuk untuk
membukukan Penerimaan Negara dari Pajak.
3. PBB Migas dari permukaan perairan dan tubuh bumi dibagihasilkan
kepada seluruh kabupaten/kota berdasarkan pembagian objek PBB
Migas pada saat penerbitan dokumen Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT).
4. Secara nominal nilai PBB Migas dan panas bumi jauh lebih besar
dibandingkan dengan nilai PBB dari sektor perdesaan, perkotaan,
perkebunan, dan juga kehutanan, sehingga DBH PBB Migas dan panas

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

143

bumi yang diterima daerah relatif lebih besar dibandingkan dengan


DBH PBB sektor lainnya.
5. PBB Migas merupakan faktor pengurang dalam rangka perhitungan
PNBP Migas yang digunakan untuk menghitung alokasi DBH SDA
Migas.

3.1.7.1. Pengadministrasian Objek dan Subjek PBB Migas dan Panas


Bumi
PBB adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan.
Bumi mencakup permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya,
sedangkan bangunan merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap (permanen) pada tanah dan/atau perairan.
Komponen bumi dan bangunan tersebut merupakan objek yang dikenakan
PBB berdasarkan nilai ekonomi dari objek yang bersangkutan dimana
objek itu berada. Objek bumi dan bangunan yang dikenakan pajak adalah
yang berada di dalam wilayah kerja atau wilayah kuasa pertambangan
minyak bumi dan gas bumi serta panas bumi yang dimiliki, dikuasai, dan/
atau dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk
pertambangan migas atau pengusaha panas bumi untuk pertambangan
panas bumi. Namun cakupan objek tersebut tidak termasuk bumi dan
bangunan yang digunakan untuk : (i) melayani kepentingan umum, seperti
tempat ibadah dan sekolah, (ii) hutan lindung dan suaka, dan (iii) kantor
perwakilan diplomatik dan organisasi internasional lainnya.
Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah yang akan dikenakan pajak,
diperhitungkan beberapa faktor mempengaruhi nilai ekonomi dari objek
tersebut, antara lain berupa faktor : (i) letak tanah, (ii) peruntukan tanah

144

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

oleh Subjek Pajak, (iii) pemanfaatan tanah oleh Subjek Pajak, dan (iv)
kondisi lingkungan. Permukaan bumi yang dikenakan PBB Migas meliputi
areal daratan (onshore) dan areal perairan lepas pantai (offshore), yang
digunakan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan Migas
dan panas bumi. Sedangkan klasifikasi bangunan yang dikenakan pajak
memperhatikan faktor : (i) kuantitas dan kualitas bahan bangunan yang
digunakan, (ii) proses rekayasa/teknik arsitektur yang mempenguhi nilai
bangunan, (iii) letak bangunan, (iv) dan kondisi lingkungannya. Bangunan
yang dikenakan PBB meliputi konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap di areal onshore atau areal offshore.
Pelaksanaan kegiatan pertambangan Migas dan panas bumi, dilakukan
oleh perusahaan penambang yang melakukan kontrak karya dengan
pemerintah Indonesia atau KKKS. Berdasarkan data dari Badan Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), jumlah KKKS
yang melakukan kegiatan eksploitasi (produksi) di Indonesia saat ini
adalah sebanyak 73 perusahaan dan yang melakukan kegiatan eksplorasi
sebanyak 172 perusahaan. Selain itu terdapat pula 42 perusahaan
penambang gas bumi yang berasal dari gas metan batubara (coal bed
methans, CBM). Sesuai dengan dokumen kontrak kerjasama, perusahaanperusahaan tersebut diberikan kewenangan/hak atas bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi. Apabila dalam rangka kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi Migas dan panas bumi perusahaan tersebut membangun
konstruksi fisik, maka bangunan tersebut juga termasuk dimiliki, dikuasai,
diperoleh manfaatnya oleh perusahaan penambang. Karena mempunyai
kewenangan atas bumi dan bangunan yang terkait dengan eksplorasi
dan eksploitasi Migas dan panas bumi, perusahaan penambang tersebut

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

145

diperlakukan sebagai Subjek Pajak, yang apabila mempunyai kewajiban


membayar PBB Migas maka ia juga berkedudukan sebagai Wajib Pajak.
Sebagai Subjek Pajak atau Wajib Pajak, KKKS dan perusahaan
penambang panas bumi mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan atau
memutakhirkan (up-dating) data objek PBB Migas dan panas bumi setiap
tahun dengan cara mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
Isian SPOP harus sudah disampaikan ke Direktorat Jenderal Pajak paling
lambat akhir Maret tahun berjalan. Data objek pajak dari SPOP akan
ditatausahakan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan jenis
dan lokasi objeknya untuk digunakan sebagai dasar penerbitan Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Untuk data objek PBB Migas
untuk areal onshore dan PBB Panas Bumi ditatausahakan oleh
KPP setempat berdasarkan wilayah kabupaten/kota atau wilayah DKI
Jakarta, yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak berada.
Sedangkan penatausahaan data objek PBB Migas dari areal offshore
dan tubuh bumi dilakukan melalui pembagian (men-split) data
objek PBB Migas kepada seluruh kabupaten/kota, baik penghasil
maupun non penghasil migas, pada saat penerbitan SPPT. Pembagian data
objek pajak tersebut menggunakan formula Angka Pembanding Tertimbang
(APT), yang variabelnya mencakup jumlah penduduk, luas wilayah,
Pendapatan Asli Daerah, Potensi Areal Sumber Daya Migas, dan Potensi
Produksi Sumber Daya Migas. Objek pajak yang telah terbagi berdasarkan
dokumen SPPT tersebut akan menjadi dasar pencatatan penerimaan PBB
Migas per daerah, dan selanjutnya penerimaan tersebut digunakan untuk
menghitung alokasi DBH PBB Migas kepada provinsi/kabupaten/kota
berdasarkan prosentase yang ditetapkan dalam UU Nomor 33 tahun 2004
dan PP Nomor 55 tahun 2005.

146

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Dengan demikian, maka pengisian SPOP akan menjadi suatu tahapan


proses sangat penting dalam menentukan besarnya pengenaan PBB Migas
dan panas bumi. Setiap Wajib Pajak dituntut dapat melakukan pengisian
SPOP secara jelas, benar, dan lengkap termasuk dilengkapi dengan peta
wilayah kerja perusahaan penambang. Apabila Subjek Pajak atau Wajib
Pajak tidak menyampaikan SPOP atau mengisi SPOP tidak sesuai dengan
keadaan sebenarnya sehingga bisa menimbulkan kerugian negara, maka
ia akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Dasar pengenaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi adalah Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) atas bumi dan bangunan yang ada dalam wilayah kerja KKKS
atau perusahaan penambang panas bumi. Penentuan NJOP PBB Migas
dan panas bumi untuk bumiadalah sebagai berikut:
1. PBB Migas dan PBB Panas Bumi untuk permukaan bumi, NJOP-nya
ditentukan melalui harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli
yang terjadi secara wajar atau perbandingan harga dengan objek lain
yang sejenis.
2. PBB Migas untuk tubuh bumi, NJOP-nya ditentukan melalui pendekatan
nilai jual pengganti yang dihitung berdasarkan hasil perkalian angka
kapitalisasi, hasil produksi, harga minyak mentah Indonesia, dan harga
produksi gas bumi.
3. PBB Panas Bumi untuk tubuh bumi, NJOP-nya ditentukan melalui
pendekatan nilai jual pengganti yang dihitung berdasarkan hasil
perkalian angka kapitalisasi, hasil dan harga produksi uap, serta hasil
dan harga produksi listrik.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

147

Angka kapitalisasi yang digunakan dalam penetapan NJOP tersebut adalah


suatu faktor untuk mengkonversi hasil produksi menjadi nilai jual objek.
Sedangkan hasil produksi yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak
adalah berupa minyak bumi yang terjual (lifting) dan gas bumi yang terjual
dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan. Untuk panas bumi, hasil
produksi yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak adalah berupa
uap dan listrik yang terjual dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.
Untuk faktor harga minyak, harga produksi uap, harga produksi listrik, dan
kurs yang digunakan sebagai dasar penetapan NJOP PBB Migas dan
NJOP PBB Panas Bumi dapat ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan
mempertimbangkan besaran harga dan nilai kurs yang digunakan dalam
APBN atau APBN Perubahan. Penentuan NJOP PBB Migas dan PBB
Panas Bumi untuk bangunan dilakukan melalui nilai perolehan baru
sebesar biaya pembangunan baru setelah dikurangi dengan penyusutan.

3.1.7.2. Pembayaran PBB Migas dan Panas Bumi


Sesuai dengan ketentuan umum perpajakan, yang mempunyai kewajiban
untuk membayar pajak adalah perorangan atau badan yang berkedudukan
sebagai Wajib Pajak. Namun khusus untuk PBB Migas dan panas bumi,
mekanisme pembayarannya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Untuk KKKS dan pengusaha panas bumi membuat kontrak kerjasama
sebelum adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2010
tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak
Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi, PBB Migas
dan panas buminya ditanggung oleh pemerintah. Sehingga walaupun
KKKS dan pengusaha panas bumi bertindak juga sebagai Wajib Pajak,
namun mereka tidak mempunyai kewajiban langsung untuk membayar
148

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

PBB Migas dan panas bumi. Karena sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam UU Migas dan Kontrak Kerjasama, perusahaan KKKS dan
pengusaha panas bumi mempunyai kewajiban untuk menyetor bagian
pemerintah atas hasil penjualan Migas dan panas bumi ke rekening
Migas pada bank sentral. Setoran tersebut didalamnya sudah termasuk
Pajak-pajak seperti PPN dan PBB, Bea masuk, serta Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
2. Untuk perusahaan KKKS yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi
setelah berlakunya PP Nomor 79 tahun 2010, dapat melakukan
pembayaran PBB Migas dengan cara menyetor langsung ke rekening
penerimaan negara yang ditentukan.
Pembayaran PBB Migas dan panas bumi untuk KKKS dan pengusaha
panas bumi yang melakukan kontrak kerjasama sebelum adanya PP Nomor
79 tahun 2010, dilakukan melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Direktorat

Jenderal

Pajak,

selaku

unit

yang

bertugas

mengadministrasikan penerimaan negara pajak (PNP) mengajukan


permintaan pembayaran PBB Migas dan panas Bumi kepada Direktorat
Jenderal Anggaran, selaku unit yang bertugas mengadministrasikan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Besarnya permintaan
pembayaran tersebut dihitung berdasarkan rekapitulasi SPPT PBB
Migas dan panas bumi untuk satu tahun pajak. Permintaan pembayaran
yang diajukan harus dilengkapi dengan rincian SPPT per kabupaten/
kota yang displit objek pajaknya dengan menggunakan formula APT.
Surat permintaan pembayaran tersebut harus sudah disampaikan
paling lambat minggu kedua bulan Juli agar pembayarannya dapat
dilakukan sebelum akhir Desember sehingga tidak melampau batas

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

149

waktu yang ditetapkan dalam UU No. 12 tahun 1985 tentang Pajak


Bumi dan Bangunan.
2. Direktorat Jenderal Anggaran meneliti permintaan pembayaran dari
Direktorat Jenderal Pajak dan selanjutnya meminta kepada Direktorat
Jenderal Perbendaharaan untuk memindahbukukan dana dari rekening
migas ke rekening kas negara pada bank persepsi guna pembayaran
PBB Migas dan panas bumi.
3. Dana yang sudah diterima pada bank persepsi dapat dibukukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak sebagai realisasi penerimaan PBB Migas dan
panas bumi tahun anggaran berjalan.
Pembayaran PBB Migas dan panas bumi dapat dilakukan secara bertahap
sesuai dengan rencana penggunaan dana pada rekening Migas dan panas
bumi. Namun pelunasan pembayaran PBB Migas dan panas bumi tidak
boleh lebih dari enam bulan sejak adanya penyampaian SPPT sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam UU Nomor 12 tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan.

3.1.7.3. Alokasi dan Penyaluran DBH PBB Migas dan Panas Bumi
PBB Migas dan panas bumi dibagi kepada daerah penghasil maupun non
daerah penghasil Migas dan panas bumi. Pembagian dilakukan melalui
pengalokasian DBH PBB Migas dan panas bumi pada setiap awal tahun
anggaran yang perhitungannya dilakukan berdasarkan rencana penerimaan
PBB Migas dan panas bumi yang di-split objeknya ke seluruh kabupaten/
kota. Mekanisme perhitungan alokasi DBH PBB Migas dan panas bumi
adalah sebagai berikut:

150

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

1. Berdasarkan pagu penerimaan PBB yang ditetapkan dalam APBN,


Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan rencana penerimaan PBB
Migas dan panas bumi yang dirinci per kabupaten/kota kepada
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
2. Berdasarkan rencana penerimaan PBB tersebut Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan alokasi sementara
DBH PBB Migas dan panas bumi per daerah sesuai dengan persentase
pembagian yang ditetapkan UU Nomor 33 tahun 2004 dan PP Nomor
55 tahun 2005, yaitu :
a. 10% dari penerimaan adalah bagian pemerintah pusat
b. 64,8% dari penerimaan adalah bagian kabupaten/kota yang
bersangkutan
c. 16,2% dari penerimaan adalah bagian dari provinsi yang
bersangkutan
d. 9% dari penerimaan adalah bagian biaya pemungutan yang
merupakan haknya kabupaten/kota dan Direktorat Jenderal Pajak.
3. Hasil perhitungan alokasi sementara DBH PBB Migas dan panas bumi
tersebut bersamaan dengan alokasi sementara DBH PBB nonmigas
disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan melalui
Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Alokasi DBH PBB Migas dan panas bumi yang telah ditetapkan melalui
PMK digunakan sebagai dasar untuk pelaksanaan penyaluran kepada
daerah. Pada triwulan 1 s.d. triwulan 3, besarnya dana yang disalurkan
ke rekening kas umum daerah masing-masing adalah 25% dari alokasi
sementara DBH PBB Migas dan panas bumi yang ditetapkan dalam PMK.
Penyaluran triwulan 1 dilaksanakan bulan Maret, triwulan 2 bulan Juni dan
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

151

triwulan 3 bulan September. Pengaturan terhadap besaran prosentase dan


waktu penyaluran tersebut dimaksudkan agar daerah mempunyai kepastian
mengenai dana yang akan masuk di kas daerah sehingga diharapkan dapat
memudahkan pengelolaan kas daerah.
Untuk penyaluran triwulan 4, besarnya DBH PBB Migas dan panas bumi
disesuaikan dengan realisasi penerimaan PBB Migas dan panas bumi yang
dibukukan oleh bank persepsi atas pembayaran dari Direktorat Jenderal
Anggaran. Berdasarkan pembayaran tersebut, Direktorat Jenderal Pajak
menyampaikan ketetapan penerimaan PBB Migas dan panas bumi yang
terinci per daerah (yang objeknya di-split per kabupaten/kota dengan
menggunakan formula APT). Ketetapan penerimaan PBB Migas dan
panas bumi tersebut digunakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan untuk menghitung alokasi definitif DBH PBB Migas dan panas
bumi dengan menggunakan prosentase pembagian sebagaimana yang
digunakan dalam pembagian rencana penerimaan PBB Migas dan Panas
bumi pada saat menghitung alokasi sementara DBH PBB Migas dan
Panas Bumi.
Apabila DBH PBB Migas dan panas bumi yang dihitung dari realisasi
penerimaan PBB Migas dan panas bumi sampai dengan triwulan 4 lebih
rendah dari jumlah DBH PBB Migas dan panas bumi yang sudah disalurkan
pada triwulan 1 s.d. 3, maka berarti terjadi adanya lebih salur kepada daerah.
Kelebihan penyaluran tersebut akan diperhitungkan dalam penyaluran
DBH PBB Migas dan panas bumi pada tahun berikutnya sehingga tidak
menimbulkan utang jangka panjang bagi daerah.

3.1.7.4. PBB Migas sebagai Faktor Pengurang dalam Perhitungan DBH
SDA Migas
152

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

PBB Migas dan panas bumi merupakan penerimaan negara yang bukan
hanya digunakan sebagai penentu dalam perhitungan alokasi DBH
PBB Migas dan panas bumi, namun juga digunakan sebagai komponen
pengurang dalam perhitungan alokasi DBH SDA Migas dan panas bumi.
Alokasi DBH SDA migas dihitung berdasarkan penerimaan negara bukan
pajak (PNBP) dari sektor migas. PNBP yang digunakan untuk menghitung
DBH SDA Migas tersebut adalah produksi minyak yang terjual (lifting)
dan produksi gas yang terjual dari masing-masing Kontraktor Kontrak
Kerjasama (KKKS) setelah dikurangi dengan beberapa faktor pengurang,
yaitu Domestic Market Obligation (DMO), Fee Usaha Hulu Migas, Pajakpajak yakni PPN dan PBB, Bea masuk serta Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. PNBP Migas per KKKS yang telah dikurangi dengan beberapa
faktor pengurang tersebut digunakan untuk menghitung rincian PNBP Migas
per daerah.
Acuan daftar daerah yang digunakan dalam perhitungan DBH SDA Migas
adalah ketetapan daerah penghasil yang dikeluarkan oleh Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral setelah memperhatikan lokasi sumur
migas dari masing-masing KKKS. Berdasarkan PNBP Migas per daerah,
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan alokasi
DBH SDA Migas dengan prosentase pembagian yang ditetapkan dalam
UU Nomor 33 tahun 2004 dan PP Nomor 55 tahun 2005, yaitu bahwa 85%
dari PNBP per daerah adalah bagian pemerintah pusat dan 15% lainnya
merupakan bagian dari pemerintah Daerah. Bagian pemerintah daerah
sebesar 15% tersebut, dibagi kepada kabupaten/kota penghasil migas
sebesar 6%, kabupaten/kota nonpenghasil migas 6%, dan provinsi yang
bersangkutan 3%.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

153

DBH SDA Migas pada dasarnya dihitung berdasarkan PNBP Migas yang
dihasilkan oleh masing-masing KKKS. Alokasi DBH SDA Migas kepada
daerah penghasil ditentukan oleh kemampuan KKKS dalam menghasilkan
lifting migas. Sedangkan penetapan daerah penghasil migas ditentukan
berdasarkan lokasi sumur migas KKKS yang menghasilkan migas terjual.
Daerah yang mempunyai sumur migas berhak mendapatkan bagian DBH
SDA Migas yang lebih besar, dan sebaliknya daerah nonpenghasil hanya
akan mendapatkan alokasi yang lebih kecil dibandingkan dengan daerah
penghasil. Sementara dari sisi perpajakan, PBB Migas dikenakan terhadap
objek PBB Migas yang dimiliki, dikuasai, dan dimanfaatkan oleh KKKS,
baik yang sudah menghasilkan maupun yang belum menghasilkan lifting
migas. Dalam rangka alokasi DBH SDA Migas, PBB Migas yang digunakan
sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PNBP Migas adalah PBB
Migas per KKKS yang sudah menghasilkan lifting Migas. PBB Migas dari
KKKS yang belum menghasilkan lifting Migas tidak digunakan sebagai
faktor pengurang. Hal ini mengakibatkan bahwa secara nasional jumlah
PBB Migas yang digunakan sebagai dasar perhitungan DBH PBB Migas
lebih besar dibandingkan dengan yang digunakan sebagai dasar untuk
perhitungan DBH SDA Migas. Selain itu daerah penerima alokasi DBH PBB
Migas juga lebih banyak dibandingkan dengan daerah penerima alokasi
DBH SDA Migas.

3.2. KEBIJAKAN DI BIDANG PERPAJAKAN DAN RETRIBUSI DAERAH


3.2.1. Latar Belakang
Instrumen utama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal dilakukan melalui
pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak
(taxing power) dan transfer ke daerah. Dalam hal ini, kebijakan taxing power
154

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

kepada daerah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28


Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU 28/2009). UU
tersebut merupakan langkah strategis untuk lebih memperkuat kebijakan
desentralisasi fiskal, khususnya dalam rangka membangun hubungan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang lebih
ideal. Beberapa kebijakan mendasar yang diatur dalam UU tersebut, antara
lain, adalah:
1. Perubahan penetapan pajak daerah dan retribusi daerah dari open-list
system menjadi closed-list system. Salah satu pertimbangan penerapan
closed-list system adalah untuk memberikan kepastian bagi masyarakat
dan dunia usaha mengenai jenis pungutan daerah yang wajib dibayar,
serta meningkatkan efisiensi pemungutan pajak daerah dan retribusi
daerah. Dengan closed-list system, pemerintah daerah hanya dapat
memungut jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang tercantum
dalam UU.
2. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang
perpajakan dan retribusi daerah (local taxing empowerment), melalui
beberapa kebijakan, yaitu:
a. memperluas basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah
ada, seperti perluasan basis Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran dan
Retribusi Izin Gangguan;
b. menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, seperti Pajak
Rokok, Pajak Sarang Burung Walet, Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan (PBB-P2), Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang,

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

155

Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara


Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan;
c. menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, seperti
Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor,
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hiburan, Pajak
Parkir, dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; dan
d. memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah kecuali
Pajak Rokok.

Daerah diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menetapkan besaran


tarif pajak daerah untuk diberlakukan di daerahnya sepanjang tidak
melampaui tarif minimum dan maksimum yang tercantum dalam UU
28/2009. Kewenangan yang lebih luas di bidang perpajakan daerah ini
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah sehingga dapat
mengkompensasi hilangnya penerimaan dari beberapa jenis pungutan
daerah sebagai akibat dari adanya perubahan open-list system
menjadi closed-list system. Dalam kaitan ini, daerah didorong untuk
mengoptimalkan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dengan
landasan hukum yang kuat dan tidak menciptakan jenis pungutan
baru yang potensinya relatif kecil dan tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

3. Memperbaiki sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah


melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota
yang lebih pasti, serta kebijakan earmarking untuk jenis pajak daerah
tertentu.

Kebijakan bagi hasil pajak ini mencerminkan bentuk tanggungjawab


pemerintah provinsi untuk ikut serta menanggung beban biaya

156

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

yang diperlukan oleh kabupaten/kota dalam pelaksanaan fungsinya


memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, dengan
adanya kebijakan earmarking, sebagian hasil pendapatan pajak daerah
tertentu dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang dapat dirasakan
secara langsung oleh pembayar pajak tersebut.
4. Meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan
mengubah mekanisme pengawasan dari sistem represif (berdasarkan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000) menjadi sistem preventif dan
korektif.
Setiap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang pajak daerah
dan retribusi daerah, sebelum ditetapkan menjadi Perda harus dievaluasi
terlebih dahulu oleh Pemerintah. Perda yang sudah ditetapkan dapat
dibatalkan oleh Pemerintah apabila bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum.
Kewenangan pembatalan Perda yang semula berada pada Menteri
Dalam Negeri dialihkan kepada Presiden dalam rangka memperkuat
dasar hukum pembatalan Perda. Selain itu, daerah yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pajak
daerah dan retribusi daerah dapat dikenakan sanksi berupa penundaan
dan/atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil
atau restitusi.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, perubahan


kebijakan tersebut diharapkan akan memberikan dampak positif
khususnya bagi Pemerintah Daerah. Dampak positif yang diharapkan,
antara lain, Pemerintah Daerah dapat lebih menyesuaikan kebijakan
perpajakan

dengan

kondisi

daerah

masing-masing,

munculnya

competitiveness antar daerah untuk lebih menciptakan iklim investasi


Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

157

yang lebih baik di masing-masing daerah, terjalinnya hubungan


kemitraan yang lebih baik antara Pemerintah Daerah dengan
pengusaha/investor dan masyarakat untuk memikul tanggung jawab
pembangunan karena didukung adanya kejelasan, kepastian dan
kesederhanaan berbagai regulasi yang ada, serta pertumbuhan
ekonomi daerah akan lebih cepat karena didorong dengan sumber
pendanaan yang memadai dalam memenuhi kebutuhan pembangunan
sarana dan prasarana perekonomian.

3.2.2. Kebijakan Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)


Salah satu kebijakan yang diatur dalam UU 28/2009 adalah menaikkan
tarif PBB-KB dari 5 persen menjadi maksimum 10 persen. Pemerintah
Provinsi diberikan kewenangan untuk menerapkan tarif PBB-KB sampai
dengan 10 persen yang ditetapkan dalam Perda. Kebijakan lain yang
diatur dalam UU tersebut adalah tarif PBB-KB untuk bahan bakar minyak
(BBM) yang digunakan kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit
50% lebih rendah dari tarif PBB-KB untuk kendaraan pribadi. Dengan
demikian, pengenaan tarif PBB-KB dapat dilakukan secara diskriminatif
baik antar daerah maupun antar jenis kendaraan bermotor. Pengenaan tarif
diskriminatif antara kendaraan bermotor dilakukan dengan memperhatikan
aspek kesiapan daerah untuk membedakan pengguna bahan bakar.
Peluang pemberlakuan diskriminasi tarif tersebut dimaksudkan untuk
meningkatkan daya saing daerah, karena harga jual per liter BBM dapat
berbeda antar daerah. Diskriminasi harga tersebut secara tidak langsung
juga ditujukan agar Pemerintah Daerah dapat berperan optimal menurunkan
konsumsi BBM, memperbaiki moda transporasi umum, mengurangi tingkat

158

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

kemacetan, mengurangi polusi, meningkatkan produktifitas masyarakat


dengan

adanya

penurunan

kemacetan,

serta

untuk

meningkatkan

Penerimaan Asli Daerah (PAD). Bagi Pemerintah Pusat, kenaikan tarif PBBKB tersebut untuk jangka panjang akan mengurangi beban subsidi dengan
asumsi penggunaan BBM bersubsidi (bensin dan minyak solar) menurun
akibat adanya kenaikan harga.
Dalam kondisi tertentu, sesuai UU 28/2009, Pemerintah diberikan
kewenangan untuk mengintervensi tarif PBB-KB yang telah ditetapkan
oleh daerah dengan menerbitkan Peraturan Presiden. Penetapan tarif
oleh Pemerintah dilakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
Kewenangan Pemerintah untuk mengubah tarif PBB-KB tersebut dilakukan
dalam hal:
1. terjadi kenaikan harga minyak dunia melebihi 130 persen dari asumsi
harga minyak dunia yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan. Bila harga
minyak dunia sudah kembali normal, Peraturan Presiden dicabut dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.
2. diperlukan stabilisasi harga bahan bakar minyak untuk jangka waktu
paling lama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya UU 28/2009. Ketentuan
ini diperlukan untuk menghindari gejolak sosial akibat adanya
kemungkinan perbedaan harga BBM antardaerah.
Berdasarkan data yang ada, sampai dengan tanggal 20 Maret 2012,
dari 33 Pemerintah Provinsi yang telah menetapkan Perda tentang PBBKB, sebanyak 14 daerah menetapkan tarif sebesar 5 persen, 13 daerah
sebesar 7,5 persen dan 6 daerah sebesar 10 persen. Data daerah yang
telah menetapkan Perda tentang PBB-KB selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel. 3.5 di bawah.
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

159

Tabel 3.5
Tarif PBB-KB Berdasarkan Perda Provinsi
No.

Pemerintah Provinsi

Nomor dan Tahun Perda

Tarif PBB-KB

Aceh

Perda 2 Tahun 2012

5%

Sumatera Utara

Perda 1 Tahun 2011

10%

Sumatera Barat

Perda 1 Tahun 2012

5%

Riau

Perda 8 Tahun 2011

5%

Jambi

Perda 6 Tahun 2011

7,5%

Sumatera Selatan

Perda 3 Tahun 2011

7,5%

Bengkulu

Perda 2 Tahun 2011

5%

Lampung

Perda 2 Tahun 2011

7,5%

Kepulauan Bangka Belitung

Perda 1 Tahun 2011

5%

10

Kepulauan Riau

Perda 8 Tahun 2011

10%

11

DKI Jakarta

Perda 10 Tahun 2010

5%

12

Jawa Barat

Perda 13 Tahun 2011

5%

13

Jawa Tengah

Perda 2 Tahun 2011

5%

14

Daerah Istimewa Yogyakarta

Perda 3 Tahun 2011

5%

15

Jawa Timur

Perda 9 Tahun 2010

10%

16

Banten

Perda 1 Tahun 2011

5%

17

Bali

Perda 1 Tahun 2011

10%

18

Nusa Tenggara Barat

Perda 1 Tahun 2011

10%

19

Nusa Tenggara Timur

Perda 2 Tahun 2010

10%

20

Kalimantan Barat

Perda 8 Tahun 2010

7,5%

21

Kalimantan Tengah

Perda 7 Tahun 2010

7,5%

22

Kalimantan Selatan

Perda 5 Tahun 2011

7,5%

23

Kalimantan Timur

Perda 01 Tahun 2011

7,5%

24

Sulawesi Utara

Perda 7 Tahun 2011

5%

25

Sulawesi Tengah

Perda 1 Tahun 2011

7,5%

26

Sulawesi Selatan

Perda 10 Tahun 2010

7,5%

27

Sulawesi Tenggara

Perda 5 Tahun 2011

7,5%

160

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

No.

Pemerintah Provinsi

Nomor dan Tahun Perda

Tarif PBB-KB

28

Gorontalo

Perda 5 Tahun 2011

5%

29

Sulawesi Barat

Perda 01 Tahun 2011

7,5%

30

Maluku

Perda 05 Tahun 2010

7,5%

31

Maluku Utara

Perda 05 Tahun 2011

7,5%

32

Papua Barat

Perda 5 Tahun 2011

5%

33

Papua

Perda 4 Tahun 2011

5%

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

Mengingat saat ini harga jual eceran jenis BBM tertentu, antara lain,
bensin (gasoline) RON 88 dan minyak solar (gas oil) masih disubsidi oleh
Pemerintah, peningkatan tarif PBB-KB yang ditetapkan oleh daerah tersebut
di satu pihak akan meningkatkan PAD, namun di lain pihak dapat berdampak
terhadap peningkatan subsidi BBM. Dalam rangka mengendalikan beban
subsidi dan stabilitasi harga BBM, Pemerintah mengambil kebijakan
mengubah tarif PBB-KB dengan menetapkan Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Tarif PBB-KB. Peraturan Presiden
tersebut mengubah tarif PBB-KB yang telah ditetapkan dalam Perda
Provinsi menjadi sebesar 5 persen dan berlaku sampai dengan tanggal 15
September 2012. Dengan demikian, mulai tanggal 16 September 2012, tarif
PBB-KB yang berlaku adalah sebagaimana ditetapkan dalam Perda.
Berkaitan dengan akan berakhirnya masa berlaku Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2011, Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan/regulasi
yang selaras dengan UU 28/2009 dengan mempertimbangkan dampak
tarif PBB-KB terhadap fiskal, inflasi, dan sosial. Pemerintah juga perlu
mencermati tren harga minyak mentah di pasar dunia yang semakin
meningkat. Kebijakan penetapan tarif PBB-KB seragam sebesar 5 persen
oleh Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

161

15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna


Jenis BBM Tertentu dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, belum
mencerminkan harga keekonomian. Di satu sisi, dengan adanya kenaikan
tarif PBB-KB tanpa menaikan harga BBM akan menambah beban subsidi.
Di sisi lain, peningkatan tarif PBB-KB on top dari harga eceran yang
ditetapkan oleh Pemerintah akan mengakibatkan harga BBM yang berbeda
antardaerah. Kenaikan harga BBM dan perbedaan harga jual antardaerah
tersebut perlu dilakukan secara hati-hati.
Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah perlu menyiapkan
sistem, mekanisme serta sarana dan prasarana yang memadai dalam
pelaksanaan penjualan BBM serta pendataan terhadap jenis kendaraan
umum dan pribadi sebelum dilaksanakannya pemberlakuan kebijakan
diskriminasi tarif agar kebijakan tersebut dapat dioptimalkan dalam
mengurangi subsidi BBM. Perlu adanya sistem pengawasan terpadu serta
penegakan disiplin yang konsisten dalam alur distribusi BBM dari produsen
hingga konsumen akhir dalam menghadapi kemungkinan terjadinya black
market atau kelangkaan BBM di daerah-daerah tertentu. Perlu dilakukan
sosialisasi sebelum diberlakukannya penetapan tarif PBB-KB yang baru,
baik yang bersifat seragam maupun apabila dilaksanakan diskriminasi
tarif guna mengantisipasi terjadinya gejolak pada masyarakat. Selain itu
pemberlakuan aturan baru dalam penerapan PBB-KB perlu dilaksanakan
pada situasi dan kondisi yang tepat. Selanjutnya untuk mengurangi
konsumsi BBM yang tidak terkendali, perlu dilakukan perbaikan infrastruktur
transportasi

yang

memadai

sekaligus

penyediaan

alternatif

moda

transportasi massal yang aman, nyaman, dan terjangkau oleh masyarakat.

162

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

3.2.3. Pendaerahan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan


Serta Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Sebagai salah satu bentuk continuous improvement, Pemerintah secara
konsisten memperkuat dan menyempurnakan kebijakan desentralisasi
fiskal untuk mendukung tercapainya peningkatan layanan publik bagi
masyarakat di daerah. Konsistensi tersebut diwujudkan tidak hanya
melalui penguatan desentralisasi fiskal dari sisi pengeluaran, namun juga
melalui desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan berupa perluasan local
taxing power. Salah satu wujud nyata komitmen tersebut adalah dengan
mengalihkan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, yaitu Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Langkah awal yang dilakukan untuk memperbaiki struktur keuangan daerah
salah satunya adalah dengan menyerahkan pengelolaan BPHTB dan
PBB-P2 kepada Pemerintah Daerah. Jika ditelaah lebih jauh sebenarnya
karakteristik kedua jenis pajak ini merupakan pajak daerah, paling tidak jika
dillihat dari sisi kepada siapa sebagian besar penerimaannya diserahkan.
Namun demikian, kewenangan dalam hal penentuan basis pajak, pentarifan,
pemberian hasil penerimaan (sharing tax) dan pengelolaan administrasinya
masih berada pada Pemerintah Pusat. Dengan diberlakukan UU 28/2009,
maka seluruh kewenangan dalam pemungutan diserahkan kepada
Pemerintah Daerah. Dengan penyerahan ini, BPHTB dan PBB-P2
diharapkan akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial
bagi daerah, dibandingkan keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah
yang selama ini telah ada.
Beberapa dasar pemikiran dan alasan pokok pengalihan (devolution)
BPHTB dan PBB-P2 menjadi pajak daerah, antara lain, pertama
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

163

berdasarkan teori, property tax lebih bersifat lokal (local origin), visibilitas,
objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile), dan terdapat hubungan erat
antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut (the benefit
tax-link principle). Kedua, pengalihan kedua jenis pajak tersebut diharapkan
akan meningkatkan PAD dan sekaligus memperbaiki struktur APBD. Ketiga,
untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (public services), akuntabilitas,
dan transparasi dalam pengelolaan BPHTB dan PBB-P2. Keempat, bahwa
berdasarkan praktek di berbagai negara, BPHTB dan PBB-P2 termasuk
dalam jenis local tax.
Diserahkannya pemungutan BPHTB dan PBB-P2 kepada daerah, tidak
hanya sekedar untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam memenuhi
kebutuhan pengeluarannya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan,
namun juga untuk lebih mengefektifkan pengelolaan BPHTB dan PBBP2. Pemerintah Daerah tentunya lebih memahami karakteristik daerahnya
dan mengetahui apa yang terbaik yang akan dilakukan bagi masyarakat
setempat. Singkatnya dengan dialihkannya BPHTB dan PBB-P2 menjadi
pajak daerah diharapkan pelayanan kepada Wajib Pajak akan menjadi lebih
baik, efektif, efisien dan akuntabel.
Agar kualitas layanan kepada Wajib Pajak dan stakeholder tetap terjaga
selama masa peralihan, maka proses dalam masa peralihan menjadi hal
yang paling penting untuk dipikirkan dan direncanakan secara cermat. Kunci
sukses pelaksanaan devolusi BPHTB dan PBB-P2 kepada Pemerintah
Daerah, antara lain adalah:
1. Proses peralihan kewenangan pemungutan BPHTB dan PBB-P2
berjalan lancar (smooth) dengan harga (cost) yang minimal, baik untuk
pihak yang mengalihkan maupun pihak yang menerima pengalihan;

164

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

2. Stabilitas penerimaan BPHTB dan PBB-P2 bagi Pemerintah Daerah


tetap terjaga dengan tingkat deviasi yang dapat ditekan seminimal
mungkin sehingga daerah tidak banyak kehilangan penerimaan dengan
adanya pengalihan tersebut;
3. Masyarakat sebagai Wajib Pajak tidak merasakan adanya perubahan
pelayanan atau bahkan dapat merasakan adanya peningkatan yang
signifikan dalam hal kualitas dan kecepatan pelayanan.
A. PELAKSANAAN PENGALIHAN BPHTB
Sesuai dengan UU 28/2009, BPHTB secara efektif dialihkan menjadi pajak
kabupaten/kota sejak tanggal 1 Januari 2011. Sebagaimana halnya dengan
pajak daerah lainnya, pemungutan BPHTB hanya dapat dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dengan menerbitkan Perda. Perda tentang BPHTB
merupakan dasar hukum yang mengatur kebijakan BPHTB di suatu daerah
yang mencakup objek, subjek dan wajib pajak, tarif, dasar pengenaan, dan
ketentuan lain yang diperlukan untuk pemungutan BPHTB sesuai dengan
kondisi masyarakat dan karakteristik daerah masing-masing. Selanjutnya,
Pemerintah Daerah harus menyusun Peraturan Kepala Daerah sebagai
pelaksanaan dari Perda untuk mengatur secara rinci tata cara pemungutan
BPHTB, menyiapkan sumber daya manusia (SDM), melakukan kerjasama
dengan pihak terkait, serta membuka rekening penerimaan BPHTB.
Berbagai langkah telah dilakukan Pemerintah untuk mendorong daerah
agar segera menetapkan Perda BPHTB. Dalam setiap kegiatan sosialisasi
pengalihan BPHTB dan PBB-P2 dan kegiatan lain yang berhungan
dengan Pemerintah Daerah, seperti konsultasi regional dan bimbingan
teknis, Pemerintah selalu mendorong daerah untuk segera mempercepat
penetapan Perda BPHTB serta mengingatkan implikasinya apabila daerah
tidak menetapkan Perda BPHTB. Namun demikian, masih terdapat sejumlah
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

165

daerah yang belum menetapkan Perda BPHTB karena berbagai kendala


dan pertimbangan. Kendala dan pertimbangan yang dihadapi tersebut,
antara lain, daerah mengambil kebijakan untuk tidak menerbitkan Perda
karena tidak adanya atau kecilnya potensi penerimaan BPHTB, proses
pembahasan Raperda dengan DPRD yang berlarut-larut karena perbedaan
kepentingan politik. Selain itu, beberapa Kepala Daerah sedang tersangkut
masalah hukum, persiapan pemilihan Kepala Daerah, serta masa transisi
pergantian Kepala Daerah juga mengakibatkan proses penyusunan Perda
BPHTB menjadi terhambat.
Berdasarkan data sampai dengan 20 April 2012, terdapat 474 daerah
atau 96,3 persen dari jumlah daerah yang telah menetapkan Perda
BPHTB. Kelompok daerah ini memiliki potensi BPHTB sekitar 99,991
persen dari total penerimaan BPHTB tahun 2010. Sementara itu, masih
terdapat 18 daerah atau 3,7 persen dari jumlah daerah yang masih dalam
proses menetapkan Perda BPHTB. Kelompok daerah ini memiliki potensi
penerimaan BPHTB sekitar 0,009 persen dari total penerimaan BPHTB
tahun 2010. Dengan demikian, 18 daerah yang belum menetapkan
Perda tersebut dipastikan akan kehilangan potensi penerimaan BPHTB
sekitar Rp733,8 juta. Data kesiapan daerah dalam memungut BPHTB
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel. 3.6
Tabel 3.6
Kesiapan Daerah dalam memungut BPHTB
(Posisi: 20 April 2012)
Jumlah
No. Kesiapan Daerah

166

Daerah

Prosentase (%)

Penerimaan BPHTB

Jumlah

Penerimaan

2010 (Rp)

Daerah

BPHTB 2010

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

474

8.017.682.511.780

96,3

99,991

siap
2. Raperda (dalam

18

733.888.146

3,7

0,009

proses)
3. Belum menyusun

0,0

0,0

492

8.018.416.399.926

100

100

1.

Perda yang telah

Raperda
Total

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak

Pelaksanaan pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah


telah berjalan lebih dari 1 (satu) tahun. Untuk melihat sejauh mana
efektivitas kebijakan pengalihan BPHTB seyogyanya dikaitkan dengan
tujuan pengalihan BPHTB itu sendiri, yaitu untuk meningkatkan pendapatan
daerah (local taxing power). Perlu diperhatikan bahwa salah satu prinsip
perpajakan daerah yang baik adalah prinsip kecukupan dan elastisitas.
Sumber pendapatan harus menghasilkan pendapatan yang lebih besar
dalam kaitannya dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang
akan dikeluarkan. Selain itu, dengan adanya pajak tersebut diharapkan
mampu menghasilkan tambahan pendapatan agar dapat menutup tuntutan
pelayanan yang lebih baik dari Pemerintah Daerah.
Salah satu indikator keberhasilan pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah
adalah kemampuan daerah untuk memungut seluruh potensi BPHTB
di daerahnya. Karena potensi BPHTB sangat ditentukan oleh kegiatan
ekonomi yang berlangsung di daerahnya, maka tolok ukur yang digunakan
sebagai pembanding adalah realisasi penerimaan BPHTB pada tahun
sebelum pengalihan. Berdasarkan data daerah (66 daerah) yang telah
menyampaikan laporan realisasi penerimaan BPHTB tahun 2011, lebih
dari 50 persen (36 daerah) mengalami kenaikan penerimaan. Secara

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

167

keseluruhan, penerimaan BPHTB setelah dipungut daerah mengalami


peningkatan sebesar 13,26 persen. Dari data tersebut diketahui bahwa
kenaikan penerimaan BPHTB tahun 2011 Pemerintah Kabupaten ternyata
lebih besar dari pada Pemerintah Kota, yaitu 27,35 persen berbanding
11,87 persen.
Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Way Kanan merupakan 2 (dua)
daerah yang mengalami peningkatan penerimaan BPHTB yang paling
besar.

Sedangkan

Kabupaten

Kerinci

dan

Kabupaten

Sarolangun

merupakan daerah yang mengalami penurunan penerimaan BPHTB paling


besar. Data realisasi penerimaan BPHTB tahun 2011 selengkapnya dapat
dilihat pada tabel.3.7.

Tabel 3.7
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 (Daerah Tertentu)
No

Tabel 3.7
Daerah
Nomor dan
Penerimaan BPHTB
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 (Daerah Tertentu)
Tahun 2010
Tahun 2011
Tahun Perda

1.

Prop. DKI Jakarta

Perda 18/2010

2.

Kota Palembang

Perda 1/2011

328,960,804,265

74,946,134,964

(77.22)

Kota Medan

Perda 1/2011

201,296,912,754

254,217,144,359

26.29

Kota Semarang

Perda 2/2011

154,359,578,638

154,291,807,387

(0.04)

Kota Depok

Perda 07/2010

140,356,172,434

117,351,949,865

(16.39)

Kota Batam

Perda 1/2011

130,925,385,000

155,402,406,174

18.70

1.
3.
2.
3.
4.
4.
5.
5.
6.
6.
7.
7.
8.
8.
9.
10.
9.
11.
10.
12.
13.
11.
14.
12.
15.
13.
16.
17.
14.
18.
15.
19.
20.
21.
168
22.
23.
24.
25.
26.
27.

2,529,429,323,126 2,988,908,444,409

%
18.17

Kota Pekanbaru

Perda 4/2010

40,743,083,985

68,670,971,803

68.55

Kota Yogyakarta

Perda 8/2010

30,572,531,195

45,610,273,626

49.19

Kota Bandar Lampung

Perda 1/2011

29,315,256,500

39,288,758,264

34.02

Kota Padang

Perda 1/2011

19,824,105,987

14,748,363,377

(25.60)

Kota Jambi

Perda 10/2010

13,890,943,976

18,500,000,000

33.18

Kota Kendari

Perda 5/2010

9,582,354,208

10,311,619,867

7.61

Kota Tegal

Perda 1/2011

6,255,397,091

8,788,124,540

40.49

Kota Bukit Tinggi

Perda 3/2011

4,405,813,530

5,150,434,236

16.90

Perda 12/2010

3,601,482,791

4,136,278,342

14.85

Kota Mojokerto

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
1.
18.
2.
19.
3.
20.
4.
No
21.
5.
22.
6.
23.
7.
16.
24.
8.
17.
25.
9.
26.
10.
18.
27.
11.
19.
28.
12.
29.
13.
20.
30.
14.
21.
31.
15.
32.
22.
16.
33.
17.
23.
34.
18.
24.
35.
19.
36.
20.
25.
37.
21.
26.
38.
22.
39.
23.
27.
40.
24.
28.
41.
25.
29.
42.
26.
43.
27.
30.
44.
28.
31.
45.
29.
46.
30.
32.
47.
31.
33.
48.
32.
49.
34.
33.
50.
34.
35.
51.
35.
36.
52.
36.
53.
37.
37.
54.
38.
38.
55.
39.
56.
40.
39.
57.
41.
40.
58.
42.
41.
59.
43.
60.
44.
42.
61.
45.
43.
62.
46.
63.
47.
44.
64.
48.
45.
65.
66.
46.

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Tabel 3.7
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 (Daerah Tertentu)

Daerah

Nomor dan
Tahun Perda

Penerimaan BPHTB
Tahun 2010

Tahun 2011

Kota Magelang

Perda 9/2010

3,095,756,852

2,889,205,213

(6.67)

Kab. Deli Serdang

Perda 2/2011

56,263,594,981

54,413,522,668

(3.29)

Perda 14/2010

49,190,514,144

49,427,864,663

0.48

Kab. Sleman
Kab. Gresik

Perda 2/2011

43,677,407,599

73,028,382,302

67.20

Kab. Bandung Barat

Perda 1/2011

42,516,539,040

57,342,473,655

34.87

Kab. Cianjur

Perda 2/2011

24,388,118,837

24,606,285,868

0.89

Kab. Sukoharjo

Perda 10/2010

19,867,470,795

17,311,116,917

(12.87)

Kab. Bantul

Perda 9/2010

15,529,119,154

15,676,962,927

0.95

Kab. Banyuasin

Perda 8/2011

13,683,078,335

3,893,457,217

(71.55)

Kab. Pati

perda 1/2011

6,513,059,133

12,543,202,742

92.59

Kab. Sumedang

Perda 8/2010

6,029,444,750

5,258,594,026

(12.78)

Kab. Karimun

Perda 19/2010

5,604,440,131

3,126,397,673

(44.22)

Kab. Kendal

Perda 11/2011

5,052,387,998

4,415,114,450

(12.61)

Kab. Bungo

Perda 6/2011

4,183,687,716

1,142,300,813

(72.70)

Kab. Sarolangun

Perda 8/2010

4,014,985,757

539,450,321

(86.56)

Kab. Muaro Jambi

Perda 2/2011

3,382,726,212

4,349,381,675

28.58

Perda 12/2010

3,113,140,043

1,638,994,779

(47.35)

Kab. Lamongan
Kab. Pekalongan

Perda 10/2010

2,874,741,998

884,459,234

(69.23)

Kab. Madiun

Perda 12/2010

2,259,366,628

1,862,588,950

(17.56)

Kab. Bengkalis

Perda 2/2011

Kab. Kulon Progo

Perda 9/2010

2,063,184,826
13,052,021,575
Pelengkap
Buku Pegangan
Tahun 2012 532.62
1
1,961,072,095
1,681,820,836 (14.24)

Kab. Sorong

Perda 5/2011

1,484,577,100

2,920,598,940

Kab. Batanghari

96.73

Perda 3/2011

1,460,276,110

2,014,092,497

37.93

Kab. Gunung Kidul

Perda 15/2010

1,336,683,439

812,205,285

(39.24)

Kab. Tanah Laut

Perda 1/2011

1,304,269,364

1,382,089,562

5.97

Kab. Dharmasraya

Perda 13/2010

1,294,246,978

425,165,641

(67.15)

Kab. Lahat

Perda 3/2011

1,159,500,107

557,206,046

(51.94)

Kab. Sumbawa

Perda 33/2010

1,090,812,116

472,611,868

(56.67)

Kab. Bangka Tengah

Perda 12/2011

963,156,929

1,040,475,776

8.03

Kab. Lombok Utara

Perda 3/2010

596,388,324

3,962,154,890

564.36

Kab. Kutai Barat

Perda 10/2010

521,920,000
8,110,587,556 1,453.99
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2012
1

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

169

49.
50.
51.
52.
53.
54.
Tabel 3.7
55.
56.
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 (Daerah Tertentu)
57.
58.
No
Daerah
Nomor dan
dan
Penerimaan BPHTB
BPHTB
%
59.
No
Daerah
Nomor
Penerimaan
%
60.
Tahun 2010
2010
Tahun 2011
2011
Tahun Perda
Perda
61.
1.
Tahun
Tahun
Tahun
62. Kab. Hulu Sungai Perda 3/2011
2.
47.
495,557,887
5,160,680,027 941.39
50.
Timor Tengah
Perda 7/2011
240,589,947
65,755,100 (72.67)
63. Kab.
3.
Selatan
selatan
64.
4.
48.
Kab. Kerinci
Barito Utara
Perda17/2011
1/2011
457,254,128
309,079,700
(32.41)
65. Kab.
5.
51.
Perda
150,953,884
500,000 (99.67)
66.
6.
49. Kab.
Kab. Tanjung
Jabung Perda
Perda 2/2011
6/2011
443,549,675
3,727,334,328
740.34
52.
Bangka selatan
119,387,000
60,164,935 (49.61)
7. Barat
8.
Sumber:
JenderalPerda
Perimbangan
dan Direktorat Jenderal
Pajak (72.67)
9. Kab.Direktorat
50.
Timor Tengah
7/2011 Keuangan
240,589,947
65,755,100
10. Selatan
11. Kab. Kerinci
51.
Perda 17/2011
150,953,884
500,000 (99.67)
12.
52.
Kab.
Bangka
Selatan
Perda
2/2011
119,387,000
60,164,935
(49.61)
13.
B.14. PELAKSANAAN PENGALIHAN PBB-P2
15.
Sumber:
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak
sesuai
dengan uu28/2009, PBB-P2 dialihkan secara bertahap sampai
16.
17.
dengan
31 Desember 2013. Pengalihan kewenangan tersebut meliputi
18.
19.
B.20. PELAKSANAAN
PENGALIHAN
PBB-P2
seluruh
proses administrasi
pemungutan
pajak mulai dari pendataan sampai
21.
dengan
pembayaran
dan pengajuan
Pengalihan
22.
Sesuai
dengan
UU28/2009,
PBB-P2keberatan
dialihkanpajak.
secara
bertahap tersebut
sampai
23.
menuntut
pemerintah
daerah
untuk
mempersiapkan
langkah-langkah
yang
24.
dengan
31 Desember 2013. Pengalihan kewenangan tersebut meliputi
25.
diperlukan
sehingga
dapatpemungutan
meningkatkan
penerimaan
pajak daerahnya.
26.
seluruh
proses
administrasi
pajak
mulai dari pendataan
sampai
27.
Pengalihan
PBB-P2
didesain
tidak
dilakukan
serentak
pada
seluruh
28.
dengan
pembayaran dan pengajuan keberatan pajak. Pengalihan tersebut
29.
Pemerintah
Daerah. Hal
ini dilakukan
supaya proses
pengalihan tersebut
menuntut
pemerintah
daerah
untuk mempersiapkan
langkah-langkah
yang
30.
31.
benar-benar
dipersiapkan
oleh
Pemerintah
Daerah,
baik
dari
sisi
peraturan
diperlukan
sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajak daerahnya.
32.
33.
pelaksanaan
yang menjadi
payung
perangkat
lunak
danseluruh
keras,
Pengalihan
PBB-P2
didesain
tidak hukum,
dilakukan
serentak
pada
34.
35.
dan
sumber Daerah.
daya manusia
akan mengelolanya,
pengalihan
Pemerintah
Hal iniyang
dilakukan
supaya proses sehingga
pengalihan
tersebut
36.
37.
PBB-P2
tidakdipersiapkan
menimbulkan
baru yang
wajib
benar-benar
olehpermasalahan
Pemerintah Daerah,
baik membebani
dari sisi peraturan
38.
39.
pajak
dan Pemerintah
Daerah.
pelaksanaan
yang menjadi
payung hukum, perangkat lunak dan keras,
40.
41.
dan
daya
manusia menerima
yang akan pengalihan
mengelolanya,
sehingga
pengalihan
Dalam
rangka
persiapan
memungut
42. sumber
Pelengkap Bukukewenangan
Pegangan
Tahun 2012
2
43.
PBB-P2
tidak menimbulkan
permasalahan
baru yang
membebani
wajib
PBB-P2,
sesuai
dengan Peraturan
Bersama Menteri
Keuangan
dan Menteri
44.
45.
pajak
dan
Pemerintah
Dalam
Negeri
Nomor:Daerah.
213/PMK.07/2010 dan Nomor: 58 Tahun 2010
46.
47.
tentang
Tahapan
Persiapan
Pengalihan
PBB-P2 kewenangan
sebagai Pajak
Daerah,
Dalam
rangka
persiapan
menerima
pengalihan
memungut
48.

sesuai
amanat
182
angka 1 Bersama
uu Nomor
28 Tahun
2009, dan
Pemerintah
PBB-P2,
sesuaiPasal
dengan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Menteri
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2012

170
170

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012


Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Dalam Negeri Nomor: 213/PMK.07/2010 dan Nomor: 58 Tahun 2010


tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB-P2 sebagai Pajak Daerah,
sesuai amanat Pasal 182 angka 1 UU Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah
Daerah mempunyai tanggung jawab untuk mempersiapkan beberapa hal,
yaitu Perda tentang PBB-P2, Peraturan Kepala Daerah mengenai Standard
Operating Procedure (SOP) pemungutan PBB-P2, sarana dan prasarana,
kerjasama dengan pihak terkait, dan pembukaan rekening penerimaan
PBB-P2. Langkah persiapan tersebut perlu dilakukan sedini mungkin oleh
Pemerintah Daerah.
Berdasarkan data sampai dengan 20 April 2012, terdapat 188 daerah
atau 38,2 persen dari jumlah daerah yang telah menetapkan Perda PBBP2. Kelompok daerah ini memiliki potensi PBB-P2 sekitar 78,3 persen dari
total penerimaan PBB-P2 tahun 2010. Sementara itu, terdapat 26 daerah
atau 5,3 persen dari jumlah daerah yang masih dalam proses menetapkan
Perda PBB-P2. Kelompok daerah ini memiliki potensi penerimaan PBB-P2
sekitar 4,6 persen dari total penerimaan PBB-P2 tahun 2010. Sementara
itu, terdapat 278 daerah atau 56,5 persen dari jumlah daerah yang belum
menyusun Perda PBB-P2. Kelompok ini memiliki potensi penerimaan PBBP2 sekitar 20,1 persen dari total penerimaan tahun 2010.
Dari 188 daerah yang telah menetapkan Perda PBB-P2, terdapat 1 daerah,
yaitu Kota Surabaya yang telah memungut PBB-P2 tahun 2011 dan 17
daerah mulai memungut PBB-P2 tahun 2012. Sementara itu, 52 daerah
merencanakan akan memungut PBB-P2 pada tahun 2013 dan sejumlah
118 daerah akan memungut pada tahun 2014. Data kesiapan daerah dalam
memungut PBB-P2 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel. 3.8

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

171

Tabel 3.8
Kesiapan Daerah dalam memungut PBB-P2
(Posisi: 20 April 2012)
Jumlah
No.

Kesiapan Daerah

Daerah

Prosentase (%)

Penerimaan PBB-

Jumlah

Penerimaan

P2 2010 (Rp)

Daerah

PBB-P2 2010

2.

Perda yang telah siap


Raperda (dalam

188 5.718.348.452.823
26
350.870.824.187

38,2
5,3

75,3
4,6

3.

proses)
Belum menyusun

278 1.529.102.193.372

56,5

20,1

492 7.598.321.470.382

100

100

1.

Raperda
Total

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak

Dalam rangka mempercepat pengalihan PBB-P2 dan sekaligus sebagai


bentuk tanggung jawab moral, pada tahun 2011 Pemerintah bersama
dengan DPR-RI telah melakukan kegiatan sosialisasi di 160 Pemerintah
Kabupaten/Kota. Kegiatan sosialisasi ini akan terus dilakukan kepada
seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota sampai dengan tahun 2013. Pada
tahun 2012, kegiatan sosialisasi akan dilaksanakan di 150 Pemerintah
Kabupaten/Kota. Sosialisasi tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan
awareness dan memotivasi daerah agar segera menyiapkan fasilitas dan
infrastruktur yang diperlukan untuk menerima pengalihan pemungutan
PBB-P2. Disisi lain, sosialisasi ini juga sebagai public announcement,
khususnya kepada masyarakat dan aparat yang akan menangani
172

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

pemungutan terkait dengan kebijkan pengalihan PBB-P2 sebagai pajak


daerah.
Pelaksanaan sosialisasi ini melibatkan Komisi XI DPR-RI, Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat
Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Materi yang
disampaikan meliputi, filosofi pengalihan, kebijakan pengalihan, teknis
pemungutan PBB-P2, serta struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah
Daerah terkait dengan persiapan pengalihan. Peserta sosialisasi meliputi,
unsur DPRD Kabupaten/Kota setempat, SKPD terkait, Camat, Kepala Desa/
Lurah, Sekretaris Desa/Lurah, Kantor Pertanahan (BPN), KPP Pratama,
Notaris/PPAT, akademisi, dan tokoh masyarakat.
Selanjutnya sebagai upaya Pemerintah mendukung suksesnya pengalihan
PBB-P2, khususnya terkait dengan penyiapan sumber daya manusia,
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, bekerjasama dengan Direktorat Jenderal
Pajak dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, telah membuka
program D1 Keuangan Spesialisasi Pajak Konsentrasi Penilai PBB-P2
dan D1 Keuangan Spesialisasi Pajak Konsentrasi operator console (OC).
Pemerintah Daerah dapat mengirimkan beberapa pegawai yang akan
menangani pemungutan PBB-P2 untuk dididik dan dipersiapkan agar pada
saatnya nanti bisa mengelola PBB-P2 dengan baik.

3.2.4. Penambahan Jenis Retribusi Daerah


Kebijakan lainnya yang diatur dalam UU 28/2009 adalah perubahan
kewenangan penetapan pajak daerah dan retribusi daerah dari open-list
system menjadi closed-list system. Salah satu pertimbangan penerapan
closed-list system adalah untuk memberikan kepastian bagi masyarakat

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

173

dan dunia usaha mengenai jenis pungutan daerah yang wajib dibayar, serta
meningkatkan efisiensi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Dengan closed-list system, pemerintah daerah hanya dapat memungut
jenis pajak daerah yang tercantum dalam undang-undang. Untuk retribusi
daerah, dengan peraturan pemerintah masih dibuka kemungkinan dan
peluang untuk dapat menambah jenis retribusi daerah selain yang telah
ditetapkan sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam
undang-undang. Dengan kebijakan closed-list system tersebut, Pemerintah
Daerah diharapkan akan lebih fokus dalam mengelola pajak daerah dan
retribusi daerah yang ditetapkan dalam UU.
Salah satu maksud dibukanya peluang untuk menambah jenis retribusi
daerah adalah untuk mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan
perizinan dari Pemerintah kepada daerah. Selain itu, peluang untuk
menambah jenis retribusi daerah ini juga dapat dijadikan sebagai instrumen
kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi Pemerintah. Salah
satu permasalahan yang menjadi isu nasional adalah kemacetan lalu lintas
di berbagai kota besar.
Kemacetan lalu lintas terutama di kota-kota besar bukan merupakan
masalah yang berdiri sendiri. Pertumbuhan kendaraan bermotor merupakan
dampak langsung dari kemajuan ekonomi masyarakat. Sejalan dengan
kemajuan dan pertumbuhan ekonomi tersebut, kepemilikan kendaraan
pribadi terus meningkat. Pada kondisi ini, kemudian jumlah kendaraan yang
beredar di jalan makin bertambah, sementara volume jalan tidak tumbuh
secara signifikan sehingga mengakibatkan tingkat kemacetan yang semakin
tinggi. Kemacetan yang terjadi secara langsung akan menyebabkan dampak
negatif lainnya, yaitu meningkatnya tingkat pencemaran/polusi udara dan

174

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

suara, kerugian ekonomi, gangguan kesehatan karena kualitas udara yang


semakin buruk, pemborosan konsumsi BBM dan lain sebagainya.
Pemecahan masalah kemacetan dengan menambah kapasitas jalan
atau membangun jalan-jalan baru di kota-kota besar tidak mudah untuk
dilakukan, karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan lahan
yang akan digunakan makin terbatas. Salah satu instrumen yang akan
diaplikasikan guna mengatasi permasalahan kemacetan adalah dengan
menerapkan Electronic Road Pricing (ERP). Pengenaan ERP diharapkan
akan dapat mengurangi kemacetan lalu lintas dan hasil penerimaannya
dapat di-earmark untuk memperbaiki infrastruktur serta sistem angkutan
massal. Sejalan dengan pemberian kewenangan untuk menetapkan jenis
retribusi daerah lain, saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Penambahan Jenis Retribusi Daerah sedang dalam proses
penetapan. RPP tersebut akan menetapkan 2 (dua) jenis retribusi daerah
baru, salah satunya adalah Retribusi Pengendalian Lalu Lintas.
Jenis retribusi daerah lainnya yang akan ditetapkan adalah Retribusi
Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tanaga Kerja Asing (IMTA). Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, penerbitan perpanjangan IMTA
merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/
Kota sesuai dengan cakupan wilayah kerja tenaga kerja. Namun demikian,
pada prakteknya pungutan atas penerbitan perpanjangan IMTA dilakukan
oleh Pemerintah Pusat (PNBP). Ke depan, dalam rangka menata kembali
fungsi dan kewenangan yang lebih akuntabel, Pemerintah Pusat tidak
lagi memungut PNBP atas perpanjangan IMTA. Sejalan dengan kebijakan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

175

tersebut, kewenangan pemungutan perpanjangan IMTA akan diserahkan


kepada daerah dan ditetapkan menjadi salah satu jenis retribusi daerah.

3.3.

PINJAMAN, HIBAH, DAN PEMBIAYAAN PENATAAN DAERAH

3.3.1 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman


Daerah
Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan pinjaman
daerah serta menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dalam
rangka pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, dilakukan revisi Peraturan Pemerintah No.54/2005
tentang Pinjaman Daerah menjadi Peraturan Pemerintah No. 30/ 2011
tentang Pinjaman Daerah. Revisi Peraturan Pemerintah
sejalan dengan dilakukannya revisi Peraturan Pemerintah

ini dilakukan
No.2/2006

tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah


serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri menjadi Peraturan
Pemerintah

No.10/2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar

Negeri dan Penerimaan Hibah.


Beberapa pokok perubahan yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah
No.30/2011 tentang Pinjaman Daerah antara lain :
1. Peningkatan fleksibilitas penggunaan pinjaman daerah.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 30/2011 tentang
Pinjaman Daerah, jenis dan penggunaan pinjaman daerah adalah
sebagai berikut:
a. Pinjaman Jangka Pendek
176

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Pinjaman jangka pendek merupakan pinjaman daerah dalam jangka


waktu paling lama 1 (satu) tahun anggaran. Kewajiban pembayaran
kembali Pinjaman Jangka Pendek yang meliputi pokok pinjaman,
bunga, dan/atau kewajiban seluruhnya harus dilunasi dalam tahun
anggaran berkenaan. Pinjaman Jangka Pendek digunakan hanya
untuk menutup kekurangan arus kas.

b. Pinjaman Jangka Menengah


Pinjaman Jangka Menengah merupakan pinjaman daerah dalam


jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran. Kewajiban
pembayaran kembali Pinjaman Jangka Menengah meliputi pokok
pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya harus
dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan
gubernur, bupati atau walikota yang bersangkutan. Pinjaman
Jangka Menengah digunakan untuk membiayai pelayanan publik
yang tidak menghasilkan penerimaan.

c. Pinjaman Jangka Panjang


Pinjaman Jangka Panjang merupakan pinjaman daerah dalam


jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran. Kewajiban
pembayaran kembali Pinjaman Jangka Panjang meliputi pokok
pinjaman, bunga dan/atau kewajiban lain seluruhnya harus dilunasi
pada tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan
perjanjian pinjaman yang bersangkutan.

Peningkatan
pengaturan

fleksibilitas
bahwa

penggunaan

pinjaman

jangka

pinjaman
panjang

daerah
digunakan

melalui
untuk

mendanai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka


penyediaan pelayanan publik yang:

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

177

menghasilkan penerimaan langsung berupa pendapatan bagi


APBD yang berkaitan dengan pembangunan prasarana dan sarana
tersebut;

menghasilkan penerimaan tidak langsung berupa penghematan


terhadap belanja APBD yang seharusnya dikeluarkan apabila
kegiatan tersebut tidak dilaksanakan; dan/atau

memberikan manfaat ekonomi dan sosial.

Namun demikian, khusus untuk pinjaman jangka panjang berupa


obligasi daerah dibatasi hanya untuk membiayai kegiatan investasi
prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan
publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang diperoleh dari
pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut.

2. Penambahan prinsip umum pinjaman daerah.


Dalam Peraturan Pemerintah No.54/2005 tentang Pinjaman Daerah,


prinsip umum pinjaman daerah belum diatur. Dalam Peraturan
Pemerintah No.30/2011 tentang Pinjaman Daerah, terdapat prinsip
umum pinjaman daerah seperti:
a. penegasan peran Menteri Keuangan selaku Bendaharawan Umum
Negara (BUN) yang mempunyai kewenangan untuk memberikan
pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah;
b. penegasan bahwa Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman
dan pinjaman tersebut harus merupakan inisiatif Pemerintah Daerah
dalam rangka melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

178

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

c. pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah diberikan


dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan
pemerintahan daerah; dan
d. Pemerintah Daerah dapat meneruskan pinjaman daerah sebagai
pinjaman, hibah, dan/atau penyertaan modal kepada Badan
Usaha Milik Daerah dalam kerangka hubungan keuangan antara
pemerintahan daerah dan Badan Usaha Milik Daerah.
3. Penambahan sumber pinjaman yang bersumber dari Pemerintah.

Pinjaman daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah


No.30/2011 tentang Pinjaman Daerah dapat bersumber dari:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah Lain;
c. lembaga keuangan bank;
d. lembaga keuangan bukan bank; dan
e. masyarakat.

Sejalan dengan Peraturan Pemerintah No.1/2008 tentang Investasi


Pemerintah telah dibentuk Pusat Investasi Pemerintah. Dalam
perkembangannya Pusat Investasi Pemerintah dapat memberikan
pinjaman kepada Pemerintah Daerah. Untuk itu, dalam Peraturan
Pemerintah No. 30/2011, diatur bahwa pinjaman daerah yang
bersumber dari Pemerintah berasal dari APBN termasuk dana investasi
Pemerintah yang dilaksanakan melalui Pusat Investasi Pemerintah,
penerusan Pinjaman Dalam Negeri, dan/atau penerusan Pinjaman Luar
Negeri.
4. Peningkatan reliabilitas perhitungan rasio kemampuan keuangan
daerah.
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

179

Dalam melakukan pinjaman daerah, Pemerintah Daerah wajib


memenuhi persyaratan:
a. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan
ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah
penerimaan umum APBD tahun sebelumnya.
b. Memenuhi ketentuan rasio kemampuan keuangan daerah untuk
mengembalikan pinjaman (Debt Service Coverage Ratio/DSCR)
yang ditetapkan Pemerintah yaitu paling sedikit 2,5 (dua koma
lima). Persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh calon pemberi
pinjaman.
c. Dalam

hal

pinjaman

daerah

diajukan

kepada

Pemerintah,

Pemerintah Daerah juga wajib memenuhi persyaratan tidak


mempunyai

tunggakan

atas

pengembalian

pinjaman

yang

bersumber dari Pemerintah.


d. Untuk pinjaman jangka menengah dan pinjaman jangka panjang
wajib mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Semula perhitungan DSCR menggunakan proyeksi PAD, DAU,
DBH, BW, Pokok Pinjaman selama jangka waktu pinjaman. Hal ini
menyebabkan perhitungan DSCR sulit untuk dijadikan landasan
mengingat proyeksi tersebut sangat subyektif dan penuh justifikasi yang
sulit dicari dasar pembenarannya.
Untuk itu dalam Peraturan Pemerintah No.30/2011, terdapat perubahan
cara penghitungan DSCR yang semula berdasarkan angka proyeksi
selama masa pinjaman menjadi rata-rata realisasi per tahun selama 3
(tiga) tahun terakhir.

180

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Penghitungan

Debt Service Coverage Ratio/DSCR dengan rumus

sebagai berikut:
DSCR =

{PAD + DAU +(DBH-DBHDR)}BW


Pokok pinjaman + Bunga + BL

2,5

Keterangan:
DSCR

Rasio kemampuan membayar kembali pinjaman

PAD

daerah yang bersangkutan;


Pendapatan Asli Daerah;

DAU

Dana Alokasi Umum;

DBHDR

Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi;

BW

Belanja Wajib, yaitu belanja pegawai


dan belanja DPRD dalam tahun

Pokok pinjaman

anggaran bersangkutan;
Angsuran Pokok Pinjaman;

Beban Bunga pinjaman;

BL

Biaya lain (misal biaya administrasi, komitmen,


provisi, asuransi, dan denda yang terkait dengan
Pinjaman Daerah.

DSCR Pemda

Rasio kemampuan membayar kembali pinjaman


(DSCR) yang ditetapkan Pemerintah

5. Optimalisasi mekanisme penarikan dana pinjaman daerah.


Cakupan penarikan dana pinjaman dioptimalkan melalui pembayaran


langsung, rekening khusus, pemindahbukuan ke Rekening Kas Umum
Daerah, Letter of Credit (L/C), dan pembiayaan pendahuluan.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

181

3.3.2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.07/2011 Tentang


Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Daerah Dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun
Anggaran 2012
Dalam rangka pengendalian batas maksimal defisit dan pinjaman
Pemerintah Daerah, Menteri Keuangan setiap bulan Agustus menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan mengenai batas maksimal defisit APBD
dan batas maksimal pinjaman daerah. Untuk tahun anggaran 2012, telah
ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan No. 127/PMK.07/2011 tentang
Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan
Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2012.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut diatur hal-hal sebagai:
1. Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD untuk Tahun Anggaran 2012
ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari proyeksi PDB
Tahun Anggaran 2012.
2. Batas Maksimal Defisit APBD Tahun Anggaran 2012 untuk masingmasing daerah ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari perkiraan
Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2012.
3. Batas maksimal kumulatif pinjaman daerah yang masih menjadi
kewajiban daerah sampai dengan Tahun Anggaran 2012 ditetapkan
sebesar 0,35% (nol koma tiga puluh lima persen) dari proyeksi PDB
Tahun Anggaran 2012.
4. Pinjaman daerah tersebut termasuk pinjaman daerah yang diteruskan
menjadi pinjaman, hibah, dan/atau penyertaan modal kepada Badan
Usaha Milik Daerah.
182

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

5. Pemerintah Daerah wajib melaporkan rencana pelampauan Batas


Maksimal Defisit APBD kepada Menteri Keuangan sebelum APBD
ditetapkan.
6. Dalam hal defisit APBD akan dibiayai dari Pinjaman Daerah yang
bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri, Pemerintah Daerah
lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga keuangan bukan bank
dengan jumlah Pinjaman Daerah melampaui 6% (enam persen) dari
perkiraan Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2012, maka defisit
APBD tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan.
7. Menteri Keuangan dalam memberikan persetujuan terlebih dahulu
meminta pertimbangan kepada Menteri Dalam Negeri.
8. Persetujuan atau penolakan Menteri Keuangan terhadap pelampauan
Batas Maksimal Defisit APBD yang dibiayai dari Pinjaman Daerah
menjadi dokumen yang dipersyaratkan dalam proses evaluasi
Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD atau evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah tentang APBD Perubahan.
Tata cara pengajuan permohonan persetujuan pelampauan Batas Maksimal
Defisit APBD dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
1. Gubernur, bupati, atau walikota mengajukan permohonan persetujuan
atas pelampauan Batas Maksimal Defisit APBD kepada Menteri
Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Menteri
Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Keuangan Daerah.
2. Surat permohonan persetujuan yang diajukan oleh bupati atau walikota
ditembuskan kepada gubernur.
3. Pengajuan permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dilakukan
sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sebelum Rancangan Peraturan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

183

Daerah tentang APBD atau Rancangan Peraturan Daerah tentang


APBD Perubahan dikirimkan untuk dievaluasi.
4. Surat permohonan persetujuan sebagaimana tersebut di atas memuat
alasan melampaui Batas Maksimal Defisit APBD dan rencana
penggunaan pinjaman, dengan dilampiri dokumen:
a. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun
terakhir;
b. Rancangan APBD atau Rancangan APBD Perubahan tahun
berkenaan;
c. Perhitungan sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang
akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah
penerimaan umum APBD tahun sebelumnya; dan
d. Perhitungan tentang rasio kemampuan keuangan daerah untuk
mengembalikan pinjaman.
5. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan
meminta pertimbangan kepada Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur
Jenderal Keuangan Daerah.
6. Direktur Jenderal Keuangan Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri
memberikan pertimbangan dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah
diterimanya surat permintaan pertimbangan dari Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan.
7. Dalam hal Direktur Jenderal Keuangan Daerah atas nama Menteri
Dalam Negeri tidak menyampaikan pertimbangan dalam jangka waktu
yang ditetapkan, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama
Menteri Keuangan dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas
pelampauan Batas Maksimal Defisit APBD.
184

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

8. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan


wajib memberikan persetujuan atau penolakan paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja setelah surat permohonan diterima dari Pemerintah
Daerah beserta dokumen kelengkapannya.

3.3.3. Peraturan Pemerintah

Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Hibah

Kepada Daerah
Hibah Daerah adalah pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari
Pemerintah atau pihak lain kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya
yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya dan dilakukan
melalui perjanjian. Dasar hukum yang mengatur mengenai pemberian
dan penggunaan hibah kepada Pemerintah Daerah tersebut telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57/2005 tentang Hibah Kepada
Daerah. Sebagai pelaksanaannya, telah diterbitkan pula Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.07/2008 Tentang Hibah Daerah dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.07/2008 Tentang Tata Cara
Penyaluran Hibah Kepada Pemerintah Daerah. Sebagai upaya peningkatan
akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan hibah daerah, pada tahun 2012
telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2/2012 tentang Hibah Daerah
sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No. 57/2005.
Beberapa ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 2/2012
antara lain:
1. Penegasan bahwa hibah dari pemerintah kepada Pemerintah Daerah
atau sebaliknya dilaksanakan melalui mekanisme APBN dan APBD.
2. Pengaturan mengenai perencanaan hibah, baik yang bersumber
dari luar negeri maupun penerimaan dalam negeri yang diberikan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

185

berdasarkan kriteria tertentu dan kewenangan pihak-pihak yang terkait


pemberian atau penerusan hibah.
3. Pengaturan terhadap variasi metode penyaluran hibah dalam bentuk
uang untuk Pemerintah Daerah sejalan dengan Peraturan Pemerintah
No. 10/2011 yang mencakup pemindahbukuan dari Rekening Kas
Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah, pembayaran langsung,
rekening khusus, Letter of Credit (L/C), dan pembiayaan pendahuluan.
4. Pengaturan bahwa penyaluran hibah kepada Pemerintah Daerah
dapat disalurkan secara bertahap sesuai dengan capaian kinerja
dan dilakukan setelah mendapat pertimbangan terlebih dahulu dari
kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian.
5. Penerapan asas fleksibilitas dalam penerimaan, penganggaran, dan
pelaksanaan hibah kepada daerah terutama yang bersumber dari hibah
luar negeri.
Perubahan

peraturan

sebagaimana

dimaksud

di

atas

merupakan

respon akomodatif atas permasalahan pelaksanaan hibah daerah dan


perubahan peraturan terkait pelaksanaan hibah. Perubahan tersebut juga
diarahkan untuk memperkuat mekanisme hibah kepada daerah dalam
upaya mendorong peningkatan kualitas belanja publik. Karakteristik ini
didukung oleh 2 (dua) hal yang menjadi pilar dalam praktek dan termuat
dalam peraturan pelaksanaan hibah kepada daerah. Pertama, penguatan
hubungan antar lembaga berbasis pada penegasan fungsi dalam
penyaluran dana hibah ke daerah, dimana Pemerintah Daerah bertindak
selaku implementing agency, kementerian/lembaga selaku executing
agency, dan Kementerian Keuangan selaku bendahara; Kedua, penerapan
pola penyaluran dana hibah berbasis kinerja (performance-based grant),

186

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

dimana transfer dana hanya dimungkinkan jika Pemerintah Daerah sudah


memenuhi persyaratan tertentu yang telah ditetapkan.
Gambar 3.17
Pola Hubungan Fungsi Antar Lembaga Dalam Hibah Daerah

Karakteristik ini didesain dengan sistem yang fleksibel namun terkontrol.


Perjanjian hibah menjamin adanya komitmen bersama untuk mencapai
tujuan/output dari pelaksanaan dana hibah. Mekanisme penyaluran yang
bersifat performance-based menjamin bahwa setiap realisasi dana hibah
akan menghasilkan target yang telah ditetapkan. Fungsi kementerian/
lembaga selaku verifikator teknis akan memperkuat kualitas output yang
dihasilkan. selain itu, salinan perjanjian yang juga disampaikan kepada
pemeriksa akan menjamin akuntabilitas pelaksanaan hibah. Ditambah
dengan sistem monitoring yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak,
maka pendanaan dengan mekanisme hibah diharapkan menjadi suatu
model pendanaan yang meningkatkan pemenuhan atas asas akuntabilitas,
transparansi, dan efisiensi dalam kerangka hubungan keuangan pusat dan
daerah.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

187

3.3.4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.07/2011 Tentang


Tata Cara Pemotongan DAU dan/atau DBH Bagi Daerah Induk/
Provinsi Yang Tidak Memenuhi Kewajiban Hibah/Bantuan
Pendanaan Kepada Daerah Otonom Baru (DOB)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.07/2011 ditetapkan sebagai
pelaksanaan amanat Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 78/2007 tentang
Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dalam
Peraturan Pemerintah tersebut diatur bahwa Pemerintah Pusat melakukan
fasilitasi terhadap Daerah Otonom Baru (DOB) berupa pemberian hibah
dari Daerah Induk dan pemberian bantuan dari Provinsi. Pemerintah
mengenakan sanksi Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi
Hasil Bagi Daerah Induk/Provinsi yang tidak melaksanakan kewajiban hibah/
bantuan pendanaan kepada DOB, dalam hal undang-undang mengenai
pembentukan DOB mengamanatkan.
Adapun ketentuan pemotongan DAU dan/atau DBH terhadap Daerah Induk
yang tidak memenuhi kewajiban hibah/bantuan pendanaan kepada DOB
antara lain:
1. Tertera dalam amanat Undang-Undang pembentukan DOB.
2. Jumlah kewajiban diperhitungkan yang belum terealisasi (belum
terbayarkan).
3. Apabila DAU tidak mencukupi, maka pemotongan dilakukan terhadap
DBH.
4. Pemotongan DAU dan/atau DBH pertahun maksimal sebesar 10%
(sepuluh per seratus) dari jumlah DAU dan/atau DBH yang akan
disalurkan pada tahun anggaran berkenaan.

188

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Perhitungan persentase pemotongan harus memperhatikan kapasitas


fiskal daerah secara berkala artinya seberapa kemampuan keuangan
daerah induk/provinsi yang bersangkutan dalam memenuhi kewajiban
hibah/bantuan pendanaannya.

5. Memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri berapa tahap (per


periode transfer) daerah induk/provinsi dilakukan pemotongan DAU/DBH.

Mekanisme Pemotongan DAU dan/atau DBH Bagi Daerah Induk/


Provinsi Yang Tidak Memenuhi Kewajiban Hibah Bantuan Pendanaan
kepada Daerah Otonom Baru (DOB) adalah sebagai berikut:
Gambar 3.18
Mekanisme Pemotongan DAU dan/atau DBH Bagi Daerah Induk/

Provinsi Yang Tidak Memenuhi Kewajiban Hibah Bantuan Pendanaan


Kepada Daerah Otonom Baru (DOB)
Mekanisme Pemotongan DAU dan/atau DBH terkait Kewajiban Hibah/Bantuan
Pendanaan Daerah Induk/Provinsi kepada Daerah Otonom Baru
DOB
Surat Permintaan
Penyelesaian
Kewajiban Hibah
dan/atau Bantuan
Pendanaan DOB

DJPK (PA/KPA Transfer ke Daerah)


Dit. PKD

Dit. Daper

(1)

Tembusan

Surat Permintaan
Penyelesaian
Kewajiban Hibah
dan/atau Bantuan
Pendanaan DOB

Kemendagri

DJPB

Daerah Induk

(KPPN Jakarta II)

Surat Permintaan
Penyelesaian
Kewajiban Hibah
dan/atau Bantuan
Pendanaan DOB

(2)

Surat Permintaan
Pertimbangan

Surat Pertimbangan
Penyelesaian
Kewajiban Hibah /
Bantuan Pendanaan

Surat Ketetapan
Sanksi
Pemotongan
(SKSP) DAU/DBH

Surat Pertimbangan a.l. berisi:


Nama Daerah induk/Provinsi
Jumlah tunggakan kewajiban
Persetujuan/penolakan potong
DAU/DBH

(3)
(4)

SKSP DAU/DBH antara lain


berisi:
Nama Daerah induk/Provinsi
Rek.Daerah Induk/Provinsi
Nominal yag dipotong

SPP & SPM


DAU/DBH

Surat Perintah
Pencairan
Dana (SP2D)
Pemotongan
DAU/DBH

(5)

(6)

LRA DAU/DBH Bruto

(DAU/DBH
Bruto)
+

(Tambahan
Potongan DAU)

Pemerintah tidak
melakukan akuntansi
terhadap pemotongan
tersebut

Mengkredit
Rekening
DOB

Mendebit
rekening
DAU/DBH
Induk

(DAU/DBH
Bruto)

(7)

(8)

(Pemotongan
Untk DOB)

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

189

1. DOB menyampaikan Surat Permintaan Penyelesaian Kewajiban


(SPPK) Hibah/Bantuan Pendanaan kepada Menteri Keuangan c.q.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan Menteri
Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Otonomi Daerah.
2. Berdasarkan

surat

Permintaan

tersebut,

Menteri

Keuangan

menyampaikan Surat Permintaan Pertimbangan Penyelesaian (SPPP)


kewajiban hibah/bantuan pendanaan kepada Menteri Dalam Negeri cq.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah.
3. Menteri Dalam Negeri menyampaikan pertimbangan setidaknya
mencakup jumlah tunggakan dan persetujuan pemotongan DAU/DBH
dalam kurun waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya surat
permintaan pertimbangan dari Menteri Keuangan.
4. Pertimbangan Menteri Dalam Negeri ditetapkan setelah melakukan fasilitasi
penyelesaian antara daerah induk/provinsi dan daerah otonom baru.
5. Berdasarkan surat pertimbangan Menteri Dalam Negeri, Direktur
Jenderal Perimbangan Keuangan cq. Direktur Pembiayaan dan
Kapasitas Daerah melakukan perhitungan besaran pemotongan DAU/
DBH dan membuat Surat Ketetapan Pemotongan DAU/DBH (SKP DAU/
DBH) yang ditandatangani Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
atas nama Menteri Keuangan.
6. Berdasarkan SKP DAU/DBH, maka PA/KPA Transfer mencantumkan
pemotongan DAU/DBH pada lampiran Surat Permintaan Pembayaran
(SPP) DAU/DBH daerah induk/provinsi;
7. PA/KPA Transfer ke Daerah melaksanakan pemotongan DAU/DBH dengan
mencantumkan sanksi pemotongan DAU/DBH pada lampiran Surat Perintah
Membayar (SPM) DAU/DBH dan disampaikan ke KPPN Jakarta II.

190

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

8. PA/KPA Transfer ke Daerah tetap melaporkan DAU/DBH Bruto dalam


Laporan Realisasi Anggaran.
9. KPPN Jakarta II menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)
DAU/DBH Bruto sebesar jumlah Bruto ditambah pemotongan DAU/
DBH daerah Induk/Provinsi.
KPPN Jakarta II menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) DAU/
DBH Daerah Induk/Provinsi sebesar jumlah Bruto dikurangi pemotongan
DAU/DBH Penyelesaian Kewajiban Hibah/Bantuan Pendanaan Ke DOB.

3.5.

DANA DEKONSENTRASI, DANA TUGAS PEMBANTUAN DAN


DANA URUSAN BERSAMA PUSAT DAN DAERAH

3.5.1. Dana dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan

3.5.1.1. Gambaran Umum


Dekonsentrasi dapat didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang/urusan
pemerintahan dari Pemerintah kepada gubernur selaku wakil Pemerintah
di daerah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten, atau kota
dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten, atau kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
Mekanisme

penyelenggaraan

dan

pendanaan

Dekonsentrasi

dan

Tugas Pembantuan melibatkan beberapa instansi Pemerintah di Pusat


dan daerah dalam suatu pola hubungan penyelenggaraan tugas dan
wewenang. Pada tingkat Pemerintah Pusat, Instansi yang terlibat terdiri
dari Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, Kementerian Keuangan, dan
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

191

Kementerian Teknis yang berkoordinasi dalam perumusan kebijakan,


perencanaan, dan evaluasi. Kementerian Dalam Negeri mempunyai
tugas dan wewenang dalam hal penataan urusan pemerintahan sejalan
dengan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan aturan pelaksanaannya. Bappenas mempunyai tugas dan wewenang
dalam hal penetapan dan sinkronisasi program sejalan dengan ketentuan
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional. Kementerian Keuangan mempunyai tugas dan wewenang
dalam hal pengelolaan pendanaan sejalan dengan UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan aturan pelaksanaannya.
Sementara Kementerian Teknis mempunyai tugas dan wewenang dalam
hal pelimpahan/penugasan urusan kepada Daerah yang berkaitan dengan
program/kegiatan.
Lebih spesifik terhadap pendanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,
pelimpahan dan penugasan urusan pemerintahan dimaksud didanai dari
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara melalui bagian anggaran
kementerian/lembaga (K/L). Hal ini berarti dekonsentrasi dan tugas
pembantuan merupakan penyelenggaran sebagian urusan Pemerintah
di daerah yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah daerah, sedangkan
pertanggungjawabannya kepada K/L yang memberikan Dana Dekonsentrasi/
Dana Tugas Pembantuan
Pengalokasian dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Kementerian
Keuangan dilaksanakan oleh beberapa unit Eselon I yang mempunyai
peranan dalam siklus pendanaan. Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan mempunyai tugas dalam pengelolaan informasi, evaluasi, dan

192

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

perumusan rekomendasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan


sejalan dengan PP No. 7 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
dan PMK No. 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebagaimana telah disempurnakan
dengan

PMK

No.248/PMK.07/2010.

Direktorat

Jenderal

Anggaran

mempunyai tugas dalam penelaahan RKA-KL, penerbitan RABPP dan


SAPSK sejalan dengan PP 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan aturan pelaksanaannya
termasuk PMK yang mengatur mengenai Standar Biaya. Direktorat Jenderal
Perbendaharaan mempunyai tugas dalam pengesahan Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA), penerbitan Surat Rincian Alokasi Anggaran
(SRAA), pencairan dana, pengenaan sanksi, pembinaan dan koordinasi
sistem akuntansi instansi (SAI) dan pelaporan keuangan sejalan dengan
PP No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, PP No. 8
Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah,
PMK No. 171/PMK.06/2007 sebagaimana disampaikan dengan PMK
No.233/PMK.05/2011 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
pemerintah Pusat, serta aturan pelaksanaanya. Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara mempunyai tugas dalam bidang pengelolaan barang
milik Negara/daerah sejalan dengan PP No. 6 Tahun 2006 sebagaimana
disampaikan dengan PP No. 38 Tahun 2008 tentang pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah dan aturan pelaksanaannya.
Terkait BMN Eks Dekonsentrasi dan/atau Tugas Pembantuan, Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara telah mengeluarkan PMK No.125/PMK.06/2011
tentang Pengelolaan BMN yang Berasal dari Dana Dekonsentrasi dan Dana
Tugas Pembantuan Sebelum Tahun Anggaran 2011. PMK ini secara garis
besar memuat pengaturan mengenai penggunaan, pemindahtanganan,

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

193

pemusnahan,

penghapusan,

penatausahaan,

pengawasan

dan

pengendalian serta batas waktu BMN Eks Dekonsentrasi dan/atau Tugas


Pembantuan.
Gambar 3.19
Pola Hubungan Antar Instansi Terkait dalam Penyelengaraan dan
Pendanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

3.5.1.2.
Formulasi

Keseimbangan

Pendanaan

di

Daerah

Untuk

Perencanaan Lokasi dan Anggaran Dekonsentrasi dan Tugas


Pembantuan
Agar sebaran lokasi dan alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan
tidak terkonsentrasi pada daerah tertentu, menjadi efektif dan efisien serta

194

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

transparan dan akuntabel maka proporsionalitas perlu dilakukan dengan


memperhatikan aspek keseimbangan pendanaan.
Keseimbangan pendanaan di daerah diformulasikan dari 2 (dua)
jenis variabel umum, yaitu Variabel Kemampuan Fiskal Daerah (KFD)
dan Variabel Pembangunan di Daerah. Kemampuan Fiskal Daerah
menggambarkan kemampuan keuangan daerah dan besarnya dana
transfer ke daerah. Sedangkan variabel pembangunan di daerah diukur
dengan menggunakan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Data yang digunakan dalam formulasi keseimbangan pendanaan di
daerah meliputi data fiskal dan data non fiskal. Data fiskal terdiri dari data
kemampuan keuangan daerah sedangkan data non fiskal terdiri dari data
IPM, Jumlah Penduduk, dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) yang
bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Gambar 3.20
Alur Pikir Formulasi Keseimbangan Pendanaan di Daerah

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

195

3.5.1.3.
Rekomendasi
Pendanaan

Menteri
di

Keuangan

Daerah

tentang

Dalam

Rangka

Keseimbangan
Perencanaan

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2012


Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan
Tugas Perbantuan Pasal 21 Ayat (2) dan Pasal 50 Ayat (2) mengamanatkan
bahwa rencana lokasi dan anggaran untuk program dan kegiatan yang
akan didekonsentrasikan/ditugaskan disusun dengan memperhatikan
kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah,
dan kebutuhan pembangunan daerah. Selanjutnya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 tentang pedoman pengelolaan Dana
Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan pada Pasal 10 menyatakan bahwa
Kementerian Keuangan merumuskan keseimbangan pendanaan di daerah
serta melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan instansi
terkait lainnya dalam rangka pengumpulan data dan informasi pendanaan
program dan kegiatan yang dijadikan sebagai bahan evaluasi dan kajian
yang hasilnya dituangkan dalam Rekomendasi Menteri Keuangan.
Lebih lanjut, pada tanggal 23 Maret 2011 Kementerian Keuangan dalam
hal ini Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan telah menyampaikan
Rekomendasi Menteri Keuangan Tentang Keseimbangan Pendanaan Di
Daerah Dalam Rangka Perencanaan Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan
Tahun Anggaran 2012. Penyampaian rekomendasi tersebut dimaksudkan
untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas, serta pengalokasian
dana dekonsentrasi dan tugas perbantuan yang proporsional; meningkatkan
efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan dana dekonsentrasi dan tugas
perbantuan; dan memberikan masukan bagi Kementerian/Lembaga dalam
merencanakan lokasi dan alokasi dana dekonsentrasi/tugas perbantuan
agar tepat sasaran dan tidak terkonsentrasi di daerah tertentu.

196

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Secara garis besar, rekomendasi dimaksud memuat penjelasan mengenai


gambaran umum pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan berikut
permasalahannya, penjelasan mengenai landasan hukum, penggunaan
rekomendasi Menteri Keuangan, dan gambaran serta analisis atas
penerapan rekomendasi Menteri Keuangan tahun 2010 serta rekomendasi
menteri keuangan dalam rangka perencanaan lokasi dan anggaran
dekonsentrasi dan tugas pembantuan T.A 2012.

3.5.2.

Pendanaan

Urusan

Bersama

Pusat

dan

Daerah

Untuk

Penanggulangan Kemiskinan
3.5.2.1. Gambaran Umum
Dalam rangka melaksanakan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun
2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 15
Tahun 2010

tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Menteri

Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Bendahara Umum Negara perlu


mengatur penyediaan dan tata cara pengelolaan dana program Nasional
penanggulangan kemiskinan.

Dengan ditetapkan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 168/PMK.07/2009 tentang Pedoman Pendanaan Urusan


Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan, yang hanya
diperuntukkan bagi pendanaan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan dan PNPM Mandiri Perdesaan
maka pemerintah telah melakukan upaya untuk memberikan dasar hukum
bagi daerah untuk menyediakan dana pendamping dari APBD untuk
program PNPM Mandiri atau yang disebut Dana Daerah untuk Urusan
Bersama (DDUB). Disamping itu PMK dimaksud juga merupakan upaya
untuk menyempurnakan mekanisme pendanaan yang digunakan untuk
program PNPM Mandiri selama ini.
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

197

PNPM Mandiri merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan


yang berbasis pemberdayaan masyarakat, yaitu suatu program yang
merupakan harmonisasi dan konsolidasi program-program pemberdayaan
masyarakat

yang

diperlukan

untuk

mempercepat

penanggulangan

kemiskinan dan mempercepat penciptaan lapangan kerja. Harmonisasi dan


konsolidasi program-program penanggulangan kemiskinan yang tersebar
di beberapa kementerian/lembaga ke dalam satu program PNPM Mandiri
tersebut telah dimulai pada tahun 2007.
Urusan
urusan

Bersama

Pusat

pemerintahan

di

dan
luar

Daerah
urusan

dapat

didefinisikan

pemerintahan

sebagai

yang menjadi

kewenangan sepenuhnya Pemerintah, yang diselenggarakan bersama


oleh Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota. Urusan
bersama pusat dan daerah difokuskan untuk penanggulangan kemiskinan
yang merupakan kebijakan dan program Pemerintah dan Pemerintah
Daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan bersinergi dengan
dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin
dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat.
Pendanaan Urusan Bersama adalah pendanaan yang bersumber dari APBN
dan APBD yang digunakan untuk mendanai program/kegiatan bersama
Pusat dan daerah untuk penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan
sumber pendanaannya, dibedakan menjadi Dana Urusan Bersama yang
selanjutnya disebut DUB, yaitu dana yang bersumber dari APBN; serta
Dana Daerah untuk Urusan Bersama yang selanjutnya disebut DDUB,
yaitu dana yang bersumber dari APBD. Gambar dibawah ini memberikan
penjelasan singkat mengenai hal tersebut.

198

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Gambar 3.21
Sumber Pendanaan Urusan Bersama

Pengaturan lebih lanjut mengenai Pendanaan urusan Bersama Pusat dan


Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan tercantum dalam PMK No.
168/PMK.07/2009 tentang Pedoman Pendanaan urusan Bersama Pusat
dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan.

3.5.2.2. Peraturan Menteri Keuangan tentang Indeks Fiskal dan


Kemiskinan Daerah Dalam Rangka Perencanaan Pendanaan
Urusan Bersama Pusat dan Daerah Untuk Penanggulangan
Kemiskinan Tahun Anggaran 2012
salah satu perwujudan dari upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam
penguatan sinergi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah,
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

199

adalah dengan disusun dan ditetapkannya PMK 66/PMK.07/2011 tanggal


31 Maret 2011 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah Dalam
Rangka Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah
Untuk Penanggulangan Kemiskinan TA 2012. PMK tersebut merupakan
pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Pasal 7 ayat (6) PMK No. 168/
PMK.07/2009 tentang Pedoman Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan
Daerah Untuk Penanggulangan Kemiskinan, yang menyatakan bahwa
Indeks fiskal dan kemiskinan daerah disusun dan ditetapkan oleh Menkeu,
serta disampaikan kepada Bappenas dan K/L penyelenggara urusan
bersama untuk penanggulangan kemiskinan dengan tembusan kepada
TKPK Nasional paling lambat bulan Maret sebelum penyusunan Renja-KL.
Secara umum PMK tersebut bertujuan untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas, serta proporsional dalam pendanaan urusan bersama; serta
mendukung K/L penyelenggara dalam merencanakan pendanaan urusan
bersama agar tepat sasaran dan tujuan yang nantinya diharapkan akan
bermuara pada peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan
Dana Urusan Bersama (DUB).
Proses penyusunan PMK 66/PMK.07/2011 dilakukan melalui beberapa
tahap, yaitu :
A. Formulasi Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah

Formulasi Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah dilakukan melalui 4


(empat) tahap, yaitu:
1. Penghitungan Ruang Fiskal Daerah
a. Penghitungan

Ruang

Fiskal

Daerah

dilakukan

dengan

menghitung besaran kemampuan keuangan daerah dan


transfer ke daerah dikurangi dengan belanja wajib.

200

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

b. Besaran kemampuan keuangan daerah meliputi Pendapatan


Asli Daerah dan Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah.
c. Besaran transfer ke daerah meliputi Dana Alokasi Umum,
Dana Bagi Hasil, Dana Penyesuaian, dan Dana Otonomi
Khusus.
d. Hasil penghitungan Ruang Fiskal Daerah tersebut dibagi
dengan jumlah penduduk dan Indeks Kemahalan Konstruksi
agar tercermin kemampuan fiskal daerah riil per kapita.
e. Penghitungan Ruang Fiskal Daerah didasarkan data anggaran.
2. Penghitungan Indeks Fiskal Daerah
Penghitungan Indeks Fiskal Daerah dilakukan dengan menghitung
Ruang Fiskal masing-masing daerah dibagi dengan rata-rata Ruang
Fiskal seluruh daerah.
3. Penghitungan Indeks Kemiskinan Daerah;
a. Penghitungan Indeks Kemiskinan Daerah dilakukan dengan
menghitung persentase jumlah penduduk miskin masingmasing daerah dibagi dengan rata-rata persentase jumlah
penduduk miskin seluruh daerah (nasional).
b. Persentase jumlah penduduk miskin tersebut adalah persentase
jumlah penduduk miskin berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik pada tahun terakhir.
4. Pengkaitan Indeks Fiskal dengan Indeks Kemiskinan Daerah.
a. Pengkaitan Indeks Fiskal dengan Indeks Kemiskinan Daerah
dilakukan dengan mengkaitkan hasil penghitungan Indeks
Fiskal Daerah dan Indeks Kemiskinan Daerah masing-masing

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

201

sebagai sumbu tegak dan sumbu mendatar dalam peta


kuadran.
b. Berdasarkan hasil pengkaitan tersebut, daerah sasaran
dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok, sbb:
-

Kelompok 1 adalah daerah yang indeks fiskal dan indeks


persentase penduduk miskinnya di atas rata-rata nasional;

Kelompok 2 adalah daerah yang indeks fiskalnya di bawah


rata-rata nasional, namun indeks persentase penduduk
miskinnya di atas rata-rata nasional;

Kelompok 3

adalah daerah yang indeks fiskal dan

indeks persentase penduduk miskinnya di bawah rata-rata


nasional;
-

Kelompok 4 adalah daerah yang indeks fiskalnya di atas


rata-rata nasional, namun indeks persentase penduduk
miskinnya di bawah rata-rata nasional.

B. Formulasi Penghitungan Persentase Besaran Penyediaan DDUB Per


Kelompok dan Per Daerah

DDUB yang harus disediakan oleh daerah disesuaikan dengan indeks


fiskal dan kemiskinan daerah, dengan rincian tingkatan:
1. Kelompok 1 adalah daerah yang indeks ruang fiskal dan indeks
persentase penduduk miskinnya di atas rata-rata nasional (IRFD
dan IPPMD > 1); menyediakan DDUB Sangat Tinggi.
2. Kelompok 2 adalah daerah yang indeks ruang fiskalnya di bawah
rata-rata nasional, namun indeks persentase penduduk miskinnya
di atas rata-rata nasional (IRFD < 1, IPPMD > 1); menyediakan
DDUB Sedang.

202

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

3. Kelompok 3 adalah daerah yang indeks ruang fiskal dan indeks


persentase penduduk miskinnya di bawah rata-rata nasional (IRFD
< 1, IPPMD < 1); menyediakan DDuB Rendah.
4. Kelompok 4 adalah daerah yang indeks ruang fiskalnya di atas
rata-rata nasional, namun indeks persentase penduduk miskinnya
di bawah rata-rata nasional (IRFD> 1, IPPMD < 1);menyediakan
DDuB Tinggi.
5. Persentase untuk menentukan besaran penyediaan DDuB untuk
masing-masing tingkatan tersebut ditetapkan lebih lanjut melalui
Keputusan Ketua TKPK Nasional atau berdasarkan pertimbangan
Menteri Keuangan.
Gambar 3.22
Alur Pikir Formulasi Indeks Fiskal Dan Kemiskinan Daerah

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

203

Dengan demikian dapat digarisbawahi bahwa pendanaan program


PNPM mandiri seyogyanya dilakukan dengan mekanisme tersendiri,
yaitu pendanaan urusan bersama Pusat dan daerah. Dengan adanya
PMK ini diharapkan Daerah tidak khawatir atau ragu-ragu lagi dalam
mengalokasikan DDUB dari APBD sehingga dapat mendukung pelaksanaan
program penanggulangan kemiskinan secara optimal.
Terkait dengan kriteria/dasar penentuan besaran DDUB yang harus
disediakan oleh daerah, PMK 168 Tahun 2009 mengamanatkan untuk
menindaklanjuti dengan PMK tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan
Daerah yang merupakan dasar pertimbangan bagi Ketua Tim Koodinasi
Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Nasional atau tim sejenis yang
menangani masalah kemiskinan dalam menetapkan besaran DDUB untuk
masing-masing daerah. PMK tentang Indeks fiskal dan kemiskinan daerah
bertujuan agar besaran DDUB yang disediakan oleh daerah sesuai dengan
kondisi kemampuan/ruang fiskal daerah dan jumlah penduduk miskin
daerah.

204

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

BAB IV
PENDUKUNG KEBIJAKAN
HUBUNGAN KEUANGAN
PUSAT DAN DAERAH TAHUN
2012

206

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

BAB IV
PENDUKUNG KEBIJAKAN
HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN
DAERAH TAHUN 2012
4.1. PENERUSAN PINJAMAN LUAR NEGERI:

PROYEK JAKARTA

EMERGENCY DREDGING INITIATIVE (JEDI) / JAKARTA URGENT


FLOOD MITIGATION PROJECT (JUFMP)
JUFMP/JEDI

bertujuan

mendukung

peningkatan

operasional

dan

pemeliharaan sistem pengendalian banjir di wilayah DKI Jakarta melalui:


1. Pengerukan sungai/kanal dan waduk.
2. Rehabilitasi dan konstruksi tanggul.
3. Peningkatan kapasitas instansi yang bertanggung jawab dalam
meningkatkan operasional, pemeliharaan dan pengelolaan sistem
pengendalian banjir.
Berdasarkan simulasi banjir yang terjadi pada tahun 2007 bisa diprediksikan
bahwa 40% dari dampak banjir dapat dihindari jika sistem pengendalian
banjir yang ada bisa berfungsi pada kapasitas yang semestinya.
Rencana komposisi pendanaan untuk keseluruhan proyek JUFMP/JEDI
adalah sebagaimana tabel berikut:

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

207

Tabel 4.1
Rencana komposisi pendanaan untuk Proyek JUFMP/JEDI
Item

Total

Counterpart

IBRD

Bilateral

Funding

Grant

(US$ million)
COMPONENT 1
1 Dredging and rehabilitation

of selected key floodways,

canals and retention basins.


a. DGWR

53.2

10.8

42.4

b.

DGCK

22.4

4.6

17.8

c.

DKI Jakarta

100.5

31.16

69.34

176.1

46.56

129.54

9.6

9.6

implementation of RPs)
3 Flood Management

0.5

0.5

Information System (FMIS)


4 Panel of Experts

0.5

0.5

5 Resettlement Costs (DKI

2.8

2.8

13.4

2.8

10.1

0.5

Total Project Cost


Front End Fee (0.25%)

189.5
0.35

49.36
0.35

139.64

0.5

Total Financing Required

189.9

49.71

139.64

0.5

Subtotal Component 1
COMPONENT 2
2 Supervision Consultant
(contracts management,
engineering design reviews
and construction supervision,
support to project GRS and

Jakarta)
Subtotal Component 2

208

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Pada tanggal 17 Januari 2012, Board of Executive Directors The World


Bank telah menyetujui pinjaman untuk JUFMP/JEDI dan secara resmi
telah disampaikan melalui surat Executive Director

The World Bank

tanggal 20 Januari 2012. Pada tanggal 17 Februari 2012 telah dilakukan


penandatangan Loan Agreement antara GoI (Goverment Of Indonesia)
dan World Bank. Proses selanjutnya adalah Penandatangan Penerusan
Pinjaman Luar Negeri (SLA) antara Pemerintah Pusat c.q Kementerian
Keuangan dan Pemprov DKI Jakarta.

4.2. OBLIGASI DAERAH: USULAN PENERBITAN OBLIGASI DAERAH


PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA
Obligasi Daerah merupakan salah satu alternatif pembiayaan investasi
sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat
bagi masyarakat. Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah
sepanjang memenuhi persyaratan Pinjaman Daerah. Obligasi Daerah
merupakan efek yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah dan tidak dijamin
oleh Pemerintah. Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat digunakan untuk
membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka
penyediaan pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD
yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana
tersebut.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah mengajukan usulan
rencana penerbitan Obligasi Daerah kepada Menteri Keuangan untuk
membiayai proyek-proyek infrastruktur sebagai berikut:
1. Rumah Susun Daan Mogot.
2. Rumah Sakit Umum Jakarta Selatan.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

209

3. Pembangunan Sistem Air Limbah Casablanca.


4. Terminal Bus Pulo Gebang.

4.3. PINJAMAN

DAERAH

DARI

PEMERINTAH

PUSAT:

PUSAT

INVESTASI PEMERINTAH
Salah satu sumber pinjaman dari Pemerintah Pusat yaitu Dana Investasi
Pemerintah, termasuk di dalamnya dana yang dikelola oleh Pusat
Investasi Pemerintah (PIP). PIP merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF)
Indonesia dan menjadi operator investasi Pemerintah. Adapun cakupan
sektor investasi PIP meliputi bidang infrastruktur dan bidang lainnya yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Investasi di bidang pembangunan
infrastruktur sebagai salah satu fokus dari investasi PIP didasarkan pada
alasan filosofis bahwa pembangunan infrastruktur merupakan salah satu
roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan dipandang sebagai lokomotif
pembangunan nasional dan daerah. Salah satu bentuk investasi langsung
PIP adalah pemberian pinjaman kepada Pemerintah Daerah. Pinjaman
yang diberikan PIP kepada Pemerintah Daerah dibatasi hanya untuk
pembangunan infrastruktur dasar, antara lain mencakup: ketenagalistrikan,
Jalan/Jembatan, Transportasi, Pasar, Rumah Sakit, Terminal, dan Air
Bersih.
Pemerintah Daerah yang sudah menerima pinjaman ke PIP adalah sebagai
berikut :
1. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, perjanjian pinjaman dilakukan
pada tanggal 28 Januari 2011 dengan nilai pinjaman Rp190 Milyar
dimana dana tersebut digunakan untuk pembangunan RSUD Provinsi;
dan

210

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

2. Pemerintah Kota Surakarta, perjanjian

pinjaman dilakukan pada

tanggal 27 Juni 2011 dengan nilai pinjaman Rp40,5 Milyar dimana dana
tersebut digunakan untuk pembangunan proyek RSUD.

4.4.
PENERUSAN HIBAH LUAR NEGERI KEPADA PEMERINTAH
DAERAH
Mekanisme hibah kepada daerah mulai efektif pada tahun 2010 dengan
disalurkannya dana hibah untuk kegiatan Local Basic Education Capacity
(L-BEC) meskipun penganggarannya telah tercatat dalam APBN-P 2009.
APBN-P 2009 mencatat 2 (dua) program hibah, yaitu L-BEC dan Support to
Community Health Services (SCHS). L-BEC merupakan penerusan hibah
yang bersumber dari hibah Pemerintah Kerajaan Belanda dan Uni Eropa
dengan perwalian Bank Dunia dan akan dilaksanakan sampai dengan tahun
2012. Hibah ini diberikan kepada 50 (lima puluh) pemerintah kabupaten/
kota dengan tujuan meningkatkan kapasitas penyelenggara pendidikan
dalam hal perencanaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban anggaran
sekolah berbasis teknologi informasi. Sedangkan SCHS merupakan hibah
dari Uni Eropa yang dikelola oleh World Health Organization (WHO) untuk
pembangunan instalasi perawatan pasien flu burung di 10 (sepuluh) daerah.
Namun, pada tahun 2009 tidak ada dana hibah yang disalurkan kepada
Pemerintah Daerah karena masih terdapat perbedaan penafsiran terhadap
peraturan penganggaran dan penatausahaan hibah ke daerah.
Pada APBN 2010, sempat tercantum alokasi hibah yang bersumber dari
penerimaan dalam negeri. Seiring dengan proses politik anggaran, terdapat
realokasi dana ini menjadi salah satu instrumen Transfer Ke Daerah pada
APBN-P 2010. Namun dalam APBN-P 2010 muncul tambahan alokasi dan
program hibah selain L-BEC, yaitu Mass Rapid Transit (MRT), Hibah Air
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

211

Minum, Hibah Air Limbah, dan Water and Sanitation Program D (WASAPD). Proyek MRT yang bersumber dari pinjaman Japan International
Cooperation Agency (JICA) bertujuan untuk mengatasi permasalahan
transportasi di Jakarta yang menjadi prioritas nasional dan telah tercantum
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan
dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah Air Minum dan
Hibah Air Limbah merupakan penerusan hibah yang bersumber dari hibah
Pemerintah Australia. Hibah Air Minum bertujuan untuk meningkatkan
akses penyediaan air minum bagi masyarakat yang belum memiliki akses
sambungan air minum perpipaan secara berkesinambungan dalam upaya
mencapai target MDGs di 35 (tiga puluh lima) daerah. Sedangkan Hibah Air
Limbah bertujuan untuk meningkatkan akses sistem air limbah perpipaan
bagi masyarakat khusus untuk kota-kota yang sudah memiliki sistem
pengelolaan air limbah terpusat di 5 (lima) daerah. Dalam kegiatan WASAPD, Bank Dunia memberikan hibah yang ditujukan untuk pembangunan
sarana pengelolaan air limbah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
(MBR) di 6 (enam) daerah.
APBN 2011 mencatat 7 (tujuh) program hibah yang sebagian besar
merupakan kelanjutan dari program tahun sebelumnya. Program baru yang
muncul dalam tahun ini adalah Infrastructure Enhancement Grant (IEG)
Sanitasi dan Infrastructure Enhancement Grant (IEG) Transportasi yang
bersumber dari hibah Pemerintah Australia. IEG Sanitasi diberikan kepada
22 (dua puluh dua) daerah yang memiliki kepedulian dan komitmen dalam
pembangunan sanitasi. Sedangkan IEG Transportasi diberikan kepada
2 (dua) daerah yang telah memenuhi syarat tertentu dan ditetapkan oleh
kementerian/lembaga terkait.

212

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Tercatat 3 (tiga) program hibah baru dalam APBN 2012 mendampingi


2 (dua) program lama (L-BEC dan MRT). Pertama, Simeulue Physical
Infrastructure Project II (SPIP II) yang bersumber dari pinjaman Islamic
Development Bank (IDB) kepada Pemerintah Kabupaten Simeulue
untuk kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana tsunami.
Kedua, Exploration of Seulawah Agam Geothermal Working Area Project
merupakan hibah dari KfW Jerman kepada Pemerintah Provinsi Aceh untuk
eksplorasi energi panas bumi. Terakhir, Water Resources and Irrigation
Sector Management Program Phase 2 (WISMP-2) yang bersumber dari
pinjaman World Bank bertujuan untuk peningkatan pengelolaan irigasi
partisipatif di 115 (seratus lima belas) daerah yang telah berkinerja baik
pada WISMP-1 dan memenuhi syarat yang ditentukan oleh kementerian/
lembaga terkait.
Berdasarkan kondisi di atas, kelembagaan mekanisme hibah kepada daerah
sudah mulai diakui sebagai salah satu instrumen pendanaan desentralisasi.
Namun terdapat hal yang membedakan dengan pendanaan desentralisasi
lainnya. Karakteristik tersebut terlihat dari kemampuan untuk mengungkap
output kinerja daerah atas dana hibah yang telah disalurkan. Tabel 4.2
menyajikan besaran dana yang disalurkan dan output yang dihasilkan oleh
mekanisme hibah kepada daerah selama tahun 2010-2011.

Tabel 4.2
Realisasi Penyaluran Hibah dan Output Kegiatan Hibah
Tahun 2010 s.d. 2011
Penerbitan Peraturan Pemerintah No. 2/2012 tentang Hibah Daerah telah
membawa perubahan yang cukup signifikan dalam peletakan kerangka
213
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012
hukum hibah kepada daerah. Kemajuan
terutama terjadi pada peningkatan

fleksibilitas penyaluran hibah seiring dengan semakin banyaknya variasi

Program
2010
Hibah Realisasi (Rp)
Output
L-BEC

Air
Limbah
Air Minum

WASAP-D

IEG

MRT

2011
Realisasi (Rp)

Output

24.535.777.575 265 kegiatan


45.937.448.826 427 kegiatan
peningkatan kapasitas
peningkatan kapasitas
di bidang pendidikan di
di bidang pendidikan
50 kab/kota
di 50 kab/kota
8.100.000.000 Terpasangnya 1.620
16.030.000.000 Terpasangnya 4.826
SR Pengelolaan Air
SR Pengelolaan Air
Limbah
Limbah
37.373.000.000 Terpasangnya 15.441 161.677.000.000 Terpasangnya 77.000
Sambungan Rumah
Sambungan Rumah
(SR) Air Minum
(SR) Air Minum
0
6.297.150.700 Pembangunan fisik
sanitasi berbasis
masyarakat dan
berbasis institusi
43.389.800.400 Pembangunan sarana
persampahan dan air
limbah di 21 kab/kota
6.777.398.429 Pelaksanaan Tender
Assistance Services
1

Jumlah

70.008.777.575

280.108.798.355

Penerbitan Peraturan Pemerintah No. 2/2012 tentang Hibah Daerah telah


membawa perubahan yang cukup signifikan dalam peletakan kerangka
hukum hibah kepada daerah. Kemajuan terutama terjadi pada peningkatan
fleksibilitas penyaluran hibah seiring dengan semakin banyaknya variasi
karakteristik program yang didanai dengan pinjaman/hibah luar negeri yang
diteruskan sebagai hibah kepada daerah. Pedoman pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 2/2012 akan diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri
Keuangan yang saat ini sedang dalam proses finalisasi. Penyempurnaan

214

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

atas peraturan-peraturan terkait hibah kepada daerah ini diharapkan


meningkatkan daya serap anggaran, yang akan membawa pengaruh positif
bagi pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.
Pada akhirnya, perkembangan peraturan hibah kepada daerah yang
progresif saat ini masih membuka adanya kemungkinan upaya-upaya
optimalisasi dalam implementasi kebijakannya. Upaya tersebut salah
satunya dilakukan dengan penegasan pembagian urusan antar tingkat
pemerintahan dalam pelaksanaan kegiatan di daerah khususnya untuk
kegiatan bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri. Mekanisme hibah
kepada daerah dapat menjadi alternatif fund channelling dalam meneruskan
pinjaman/hibah luar negeri untuk mendanai kegiatan yang sudah menjadi
urusan daerah yang semula menggunakan mekanisme dekonsentrasi
dan tugas pembantuan. Hal ini merupakan wujud komitmen kementerian/
lembaga untuk ikut mendukung upaya desentralisasi pendanaan sesuai
dengan kewenangan yang dimiliki (money follow function). Di sisi lain, hal
ini juga menunjukkan komitmen Pemerintah Daerah untuk bersama-sama
mendukung upaya pencapaian target dan prioritas nasional. Terkait dengan
hibah kepada daerah yang bersumber dari penerimaan dalam negeri,
upaya optimalisasi dapat dilakukan antara lain dengan penataan ulang atas
dana-dana APBN yang didesentralisasikan. Diperlukan adanya konsistensi
dan ketegasan kriteria antar dana-dana yang dilaksanakan di daerah agar
tercipta pola pendanaan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.

4.5. PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (LKD, KKD,


DAN KKDK)
Kegiatan Latihan Keuangan Daerah (LKD) dan Kursus Keuangan Daerah
(KKD) dilaksanakan sejak tahun 1981/1982. Kegiatan ini diawali dengan
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

215

kerja sama dengan Universitas Birmingham Inggris untuk melatih dan


melakukan pendidikan formal lanjutan yaitu program short course, program
S2 dan S3 untuk pengembangan ilmu keuangan daerah bagi para pengajar
di perguruan tinggi, PNS di Pemerintah Pusat dan PNS Daerah, dengan
bantuan pendanaan dari pemerintah Kerajaan Inggris. Jumlah peserta
untuk kegiatan LKD, KKD, dan Kursus Keuangan Daerah Khusus (KKDK)
Penata Usahaan/Akuntansi Keuangan Daerah sampai dengan tahun 2011
dapat terlihat dari tabel berikut ini:
Tabel 4.3
PESERTA LKD, KKD, KKDK
SAMPAI DENGAN TAHUN 2011 (ORANG)
CENTER

LKD

KKD

KKDK

1.498

1.098

400

325

952

429

Universitas Andalas (UNAND)

748

372

Universitas Hasanuddin (UNHAS)

852

400

Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT)

315

359

Universitas Brawijaya (UNIBRAW)

385

395

Sekolah Tinggi Akuntansi (STAN)

467

1.823

4.350

2.822

Universitas Indonesia (UI)


Universitas Gadjah Mada (UGM)

SUB TOTAL
TOTAL

8.995

Pada tahun 2012 direncanakan untuk melaksanakan kegiatan KKD dan


KKDK. Pusat penyelenggara KKD masih sama dengan tahun-tahun
sebelumnya yaitu: Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada,
Universitas Hasanuddin, Universitas Andalas, Universitas Brawijaya,
216

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Universitas Sam Ratulangi. Sedangkan untuk KKDK terdapat satu pusat


lain yaitu Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).
Dalam rangka efektifitas dan agar tidak terjadi overlap diantara center
penyelenggara dalam melaksanakan kegiatan Kursus Keuangan Daerah,
maka dilakukan pembagian wilayah untuk masing-masing center. Adapun
pembagian wilayah center untuk KKD sebagaimana dimaksud di atas
adalah sebagai berikut:

No.
1.

Center Penyelenggara
Universitas Indonesia

Wilayah (Provinsi)
DKI Jakarta, Jawa Barat, Bangka
Belitung, Sumatera Utara, dan Maluku

2.

Universitas Gadjah Mada

D.I. Yogyakarta, Jawa tengah,


Kalimantan Selatan, Gorontalo,
Kalimantan Tengah, dan Banten

3.

Universitas Hasanuddin

Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,


Sulawesi Tenggara, Papua Barat,
Sulawesi Tengah, dan Sumatera
Selatan

4.

Universitas Andalas

Sumatera Barat, Nanggroe Aceh


Darussalam, Jambi, Bengkulu, Riau,
dan Kepulauan Riau

5.

Universitas Brawijaya

Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara


Barat, Kalimantan Barat, dan
Lampung

6.

Universitas Sam Ratulangi Sulawesi Utara, Papua, Maluku Utara,


Nusa Tengara Timur, dan Kalimantan
Timur

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

217

Sedangkan untuk KKDK, pembagian wilayahnya sebagai berikut:


No.
1.

Center Penyelenggara
Universitas Indonesia

Wilayah (Provinsi)
DKI Jakarta, Jawa Barat, Bangka
Belitung, Sumatera Utara, dan Maluku

2.

Universitas Gadjah Mada

D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah,


Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah

3.

Universitas Andalas

Sumatera Barat, Nanggroe Aceh


Darussalam, Jambi, Bengkulu, Riau

4.

Universitas Brawijaya

Jawa Timur, Bali, Nuas Tenggara


Barat, Kalimantan Barat

5.

Universitas Hasanudin

Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,


Sulawesi Tenggara, Papua Barat,
Sulawesi Tengah

6.

Universitas Sam Ratulangi

Sulawesi Utara, Papua, Maluku


Utara, Nusa Tenggara Timur

Sekolah Tinggi Akuntansi

Banten, Lampung, Kepulauan Riau,

Negara

Sumatera Selatan, Kalimantan Timur

Kementerian Keuangan berencana untuk melakukan kerja sama dengan


Universitas Terbuka (UT) dalam hal Pelatihan Pengelolaan Keuangan
Daerah pada tahun 2012 ini. Kerja sama ini dimaksudkan untuk menjadi
pelengkap (complement) dari kegiatan pelatihan pengelolaan keuangan
daerah yang sudah ada sebelumnya (KKD dan KKDK). Kegiatan pelatihan
tersebut rencananya berupa Pelatihan Keuangan Daerah.
218

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Tujuan dari kerja sama dimaksud antara lain:


1. Membantu Kementerian Keuangan dalam meningkatkan koordinasi,
perencanaan, dan pengembangan kapasitas aparatur pemerintah
daerah dalam pengelolaan keuangan daerah khususnya di bidang
akuntansi keuangan daerah.
2. Menjangkau wilayah Pemda yang selama ini belum dapat dijangkau
oleh ketujuh center KKD-KKDK.
Sedangkan ruang lingkup kerjasama tersebut antara lain:
1. Penyusunan kurikulum pelatihan.
2. Penyusunan modul/ bahan ajar.
3. Pelaksanaan pelatihan:
a. Pelatihan dilaksanakan di 7 (tujuh) pusat KKD-KKDK (UI, UGM,
Unibraw, Unand, Unhas, dan STAN)
b. Tenaga Pengajar berasal dari UT, pusat KKD-KKDK, dan
Kementerian Keuangan.
Dalam hal pendanaan, UT menanggung seluruh dana pelatihan termasuk
untuk tahap persiapan pelaksanaan pelatihan, misalnya pendanaan
kegiatan workshop penyusunan kurikulum dan workshop penyusunan
modul yang melibatkan Kementerian Keuangan dan Pusat KKD-KKDK.

4.6.
REVIEW ATAS BELANJA DAERAH DAN DANA PEMDA DI
PERBANKAN
4.6.1. Tren Belanja APBD secara Nasional
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

219

Total belanja daerah pada APBD TA 2011 secara nasional mencapai


Rp514,4 triliun, yang terdiri dari Rp128,0 triliun belanja pemerintah provinsi
(24,9%) dan Rp386,3 belanja pemerintah kabupaten/kota (75,1%). Porsi
belanja pemerintah provinsi yang terbesar adalah belanja barang & jasa
(26,5%) kemudian diikuti belanja pegawai (24,7%), belanja modal (20,7%),
belanja transfer dan bagi hasil ke kab/kota (19,9%) dan sisanya belanja
lainnya. sementara belanja pemerintah kabupaten/kota di dominasi belanja
pegawai yang sangat tinggi hingga mencapai 51% total belanja, sedangkan
belanja modal hanya sebesar 23% serta belanja barang dan jasa sebesar
18%.
Grafik 4.1
Tren Belanja APBD secara Nasional (%) 2008 - 2011

sumber: APBD 2008-2011, DJPK

secara nasional porsi belanja yang paling dominan adalah belanja pegawai,
dengan porsi yang terus meningkat di tahun 2007-2010 dan sedikit menurun
di tahun 2011. Belanja pegawai terdiri dari belanja pegawai tidak langsung
220

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

(gaji) dan belanja pegawai langsung (honorarium/upah) sebagaimana terlihat


dalam tabel 4.4 Dalam tabel tersebut terlihat bahwa secara nominal belanja
pegawai tidak langsung (gaji PNS) meningkat dengan besar peningkatan
lebih tinggi dibanding tahun 2009 dan 2010 dan untuk belanja pegawai
langsung (honor-honor) kembali mengalami peningkatan. Namun jika dilihat
porsi terhadap total belanja, belanja pegawai mengalami penurunan, baik
belanja pegawai langsung dan tidak langsung.
Penurunan porsi belanja pegawai menunjukkan kondisi yang baik, karena
dengan penurunan porsi belanja pegawai belanja lainnya khususnya
belanja modal menjadi lebih besar. Di tahun 2011 porsi belanja modal naik
0,7% menjadi 22,1%, secara nominal belanja modal APBD 2011 lebih besar
dibanding dengan APBD TA 2010 dan TA 2008.
Tabel 4.4
Trend Belanja Pegawai Daerah 2008-2011
Tahun

Total
Belanja

Belanja Pegawai
(miliar rupiah)
Total

Persentase terhadap
total Belanja (%)

Tidak
Langsung
Tidak
Langsung
Langsung
Langsung

2008

390.392

153.823

128.071

25.752

32,81

6,60

2009

429.580

180.439

155.959

24.480

36,30

5,70

2010

435.479

197.126

173.625

23.501

39,87

5,40

2011

514.380

229.081

203.386

25.695

39,54

5,00

Sumber: APBD 2008 2011, DJPK

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

221

Tabel 4.5
Trend Belanja Modal Daerah 2008-2011
Tahun

Total Belanja
(miliar rupiah)

Belanja Modal
(miliar rupiah)

Persentase terhadap
total Belanja (%)

2008

390.392

112.134

28,7

2009

429.580

114.598

26,7

2010

435.479

96.179

21,7

2011

514.380

113.523

22,1

Sumber: APBD 2008 2011, DJPK

Selanjutnya apabila dilihat dari realisasi belanja daerah secara nasional


pada tahun 2010 maka realisasi belanja daerah adalah Rp443 ,1 triliun
sedikit lebih rendah dibanding anggarannya sebesar Rp439,5 triliun
(99,1%). Realisasi belanja tersebut merupakan realisasi belanja daerah
terbesar dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana komponen
belanja daerah yang secara persentase mempunyai realisasi terbesar
adalah belanja pegawai (101,2%). Sedangkan realisasi belanja lainnya
berkisar antara 95%-98%.
Realisasi belanja daerah tahun 2010 hampir mencapai 100 persen,
namun besaran SiLPA tahun berkenaan tahun 2010 tetap mengalami
peningkatan yang cukup besar (Rp4,3 triliun), dimana peningkatan SiLPA
tahun berkenaan TA 2010 cenderung disebabkan realisasi pendapatan
yang mencapai 111,4% dan pembiayaan (115%). Secara nominal SiLPA
tahun berkenaan TA 2010 lebih besar dari TA 2009, namun secara proporsi
terhadap pendapatan TA 2010 lebih kecil dari TA 2009. Proporsi SiLPA yang

222

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

lebih kecil menunjukkan kuantitas pengeluaran daerah yang lebih besar.


selanjutnya untuk memperkirakan besaran silPA tahun berkenaan tahun
2011 dapat digunakan data dana pemda di Perbankan, baik bank umum
ataupun BPR. Penurunan atau peningkatan dana pemda di perbankan
pasti diikuti oleh penurunan atau peningkatan silPA tahun berkenaan, oleh
karena itu dapat diprediksi realisasi silPA tahun berkenaan TA 2011 lebih
besar dari TA 2010.

4.6.2. Dana Idle Pemda di Perbankan


Grafik 4.2

Grafik 4.3

Trend SiLPA 2007-2010

Trend Dana Pemda di Perbankan 2006-2011


(data Per Desember)

sumber: Realisasi APBD 2007-2010, DJPK sumber: BI

untuk mengetahui besarnya dana pemda yang idle atau tidak digunakan,
maka dapat dilakukan analisis trend dana pemda di perbankan per bulan
yang biasanya pada akhir Desember merupakan titik terendah dalam
satu tahun anggaran. secara akumulatif dana pemda kabupaten/kota di
perbankan lebih besar dari akumulasi dana pemda provinsi di perbankan.
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

223

Meskipun demikian, apabila dilihat per entitas unit pemerintahan, terlihat


bahwa rata-rata dana pemerintah provinsi di Perbankan lebih besar
daripada rata-rata dana pemerintah kabupaten/kota di Perbankan. Secara
tidak langsung hal tersebut menggambarkan dana pemerintah provinsi
yang menganggur lebih besar dibanding dana pemerintah kabupaten/kota.
Besaran dana yang belum tergunakan baik di provinsi ataupun kabupaten/
kota diharapkan dapat dikelola dengan lebih bijaksana, mengingat besaran
dana tersebut yang cukup besar (kurang lebih 6% APBN), sedangkan
fungsi utama pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan dasar
pada masyarakat, bukan mengembangkan transaksi pembiayaan secara
berlebihan.

4.6.3. Hubungan Belanja Daerah dengan Indikator Kesejahteraan


Masyarakat
Secara teoritis, indikator ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang
dapat dipengaruhi oleh pemerintah daerah melalui kebijakan belanjanya
adalah

pengurangan

pengangguran

dan

kemiskinan.

Pertumbuhan

ekonomi juga merupakan indikator yang dapat dipengaruhi oleh belanja


daerah, namun mengingat bahwa kontribusi belanja pemerintah daerah
dalam pembentukan PDRB relatif kecil, maka signifikansi secara langsung
mungkin tidak terlalu besar. Namun demikian, belanja pemerintah daerah
tentunya bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi
indikator ekonomi, masih banyak faktor lain seperti investasi swasta,
kebijakan ekonomi nasional, kondisi sosial politik, dan lain-lain.
Mengenai hubungan antara realisasi belanja daerah dengan jumlah
pengangguran dan jumlah kemiskinan, grafik di bawah menunjukkan
pola hubungan yang relatif sama, yaitu hubungan negatif kedua indikator
224

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

ekonomi dengan realisasi belanja daerah (grafik menunjukkan hubungan


belanja tahun t-1 dengan pengangguran dan kemiskinan tahun t). Hal ini
berarti peningkatan belanja daerah diikuti dengan penurunan pengangguran
dan kemiskinan ditahun berikutnya. Kenaikan realisasi belanja daerah tahun
2010 dibandingkan dengan tahun 2009 ternyata selaras dengan penurunan
baik jumlah pengangguran maupun jumlah kemiskinan. Kenaikan realisasi
belanja dari tahun 2008 ke tahun 2009 sebesar Rp37,7 Triliun (10,3%)
diikuti penurunan jumlah pengangguran dan jumlah kemiskinan dari tahun
2009 ke tahun 2010 sebesar masing-masing 640 ribu orang (7,14%)
dan 1,33 juta orang (4,09%). sementara itu, untuk tahun 2010 belanja
mengalami kenaikan sebesar Rp34,9 Triliun (8,61%) dan diikuti penurunan
baik jumlah pengangguran dan kemiskinan pada tahun 2011 sebesar
masing-masing 200 ribu orang (2,4%) dan 1 juta orang (3,21%).

Grafik 4.4
Hubungan Realisasi Belanja Daerah dengan Jumlah Kemiskinan dan
Pengangguran

sumber: DJPK dan BPs

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

225

Grafik 4.5
Hubungan antara Realisasi Belanja Daerah dengan Tingkat
Kemiskinan dan Pengangguran

sumber: DJPK dan BPs

Pola yang sama juga terjadi untuk perbandingan antara belanja daerah
dengan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan sebagaimana dapat
dilihat pada grafik di atas. Kenaikan realisasi belanja daerah dari tahun 2008
ke tahun 2009 diikuti pola penurunan persentase tingkat pengangguran dan
tingkat kemiskinan pada tahun 2010 masing-masing sebesar 0,8% dan
0,9%, sementara untuk 2010, kenaikan realisasi belanja daerah diikuti oleh
penurunan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan pada tahun 2011
masing-masing sebesar 0,3% dan 0,8%.

4.7. KOMUNIKASI

DAN

MANAJEMEN

DATA

NASIONAL

SIKD

(KOMANDAN SIKD)
4.7.1. Pendahuluan
Pemerintah Pusat sebagai perumus dan pelaksana kebijakan APBN
berkewajiban untuk terbuka dan bertanggung jawab terhadap seluruh
226

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

hasil pelaksanaan pembangunan. Salah satu bentuk tanggung jawab


tersebut adalah menyediakan informasi keuangan yang komprehensif
kepada masyarakat luas, termasuk di dalamnya informasi keuangan
daerah. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk
mengembangkan dan memanfaatkan perkembangan kemajuan teknologi
informasi untuk meningkatkan kemampuan mengelola keuangan daerah
dan menyampaikan informasi keuangan daerah kepada stakeholder.
Hal ini dilakukan agar proses pembangunan sejalan dengan prinsip tata
pemerintahan yang baik (good governance).
Dalam rangka mewujudkan good governance, Pemerintah melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi
Keuangan Daerah (SIKD) sebagaimana direvisi dengan PP Nomor 65
Tahun 2010, mengatur mengenai penyelenggaraan SIKD. Dalam PP
tersebut diamanatkan bahwa penyelenggara SIKD secara nasional adalah
Menteri Keuangan, sedangkan Pemerintah Daerah menyelenggarakan
SIKD di daerahnya masing-masing dengan menggunakan sistem informasi
pengelolaan keuangan daerah.
Sistem informasi pengelolaan keuangan daerah yang dipergunakan oleh
524 Pemerintah Daerah cukup beragam. Sistem informasi pengelolaan
keuangan daerah yang berhasil diidentifikasi antara lain Aplikasi SIPKD
yang dikelola Kementerian Dalam Negeri, aplikasi SIMDA dikelola BPKP dan
beberapa aplikasi lainnya yang dikembangkan oleh pengembang swasta.
Proses penyampaian informasi keuangan daerah hingga saat ini mayoritas
masih dikirimkan dalam bentuk hardcopy sehingga harus diolah terlebih
dahulu sebelum bisa digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan.
Untuk mengatasi kendala tersebut pada tahun anggaran 2010 DJPK
mengembangkan suatu sistem Komunikasi dan Manajemen Nasional

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

227

SIKD (Komandan SIKD) sebagai perwujudan pelaksanaan SIKD secara


nasional. Konsep dasar Komandan adalah sistem integrasi, yaitu sistemsistem berbeda yang ada di pemerintah daerah disatukan outputnya
dengan pembakuan elemen data. Komandan SIKD merupakan suatu
sistem integrasi yang menjembatani komunikasi data antara berbagai
sistem pengelolaan keuangan daerah dengan menggunakan teknologi
informasi sesuai standardisasi input, proses dan ouput yang ditetapkan
serta mengolah data tersebut dalam suatu manajemen data nasional
dengan prinsip akurat, relevan dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menghasilkan informasi yang dapat membantu pengambilan keputusan
dalam penetapan kebijakan desentralisasi fiskal.

4.7.2. Landasan Hukum


Komandan SIKD sebagai penyelenggaraan SIKD secara nasional erat
kaitannya dengan Penyelenggara, Tata Cara Penyampaian IKD, dan tata
cara teknis penyampaian IKD.
1. Penyelenggaraan SIKD Secara Nasional

Penyelenggaraan SIKD Secara Nasional dilaksanakan oleh Menteri


Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan
dasar hukum:
a. BAB XII Pasal 101 104 Pasal UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah;
b. PP Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan
Daerah;

228

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

c. PP Nomor 65 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 56


Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
2. Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah

Tata cara penyampaian informasi keuangan daerah diatur dengan


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 46/PMK.02/2006 yang telah
dilakukan perubahan dengan PMK Nomor 04/PMK.07/2011 tentang
Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah.

3. Tata Cara Teknis Penyampaian Informasi Keuangan Daerah


Dalam rangka percepatan penyampaian informasi keuangan daerah


maka disusun Surat Edaran Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
Nomor SE-03/PK/2011 tentang Tata Cara Teknis Penyampaian Informasi
Keuangan Daerah Melalui Sistem Komunikasi dan Manajemen Data
Nasional SIKD (Komandan SIKD).

4.7.3. Konsep KOMANDAN SIKD


4.7.3.1. Definisi
Komandan SIKD merupakan suatu sistem integrasi yang menjembatani
komunikasi data antara berbagai sistem pengelolaan keuangan daerah
yang diselenggarakan oleh Pemerintah daerah dengan menggunakan
teknologi informasi sesuai standardisasi input, proses dan ouput yang
ditetapkan serta mengolah data tersebut dalam suatu manajemen data
nasional dengan prinsip akurat, relevan dan dapat dipertanggungjawabkan
sehingga menghasilkan informasi yang dapat membantu pengambilan
keputusan dalam penetapan kebijakan desentralisasi fiskal.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

229

4.7.3.2. Helpdesk
Komandan SIKD dapat diakses di website DJPK dengan alamat www.djpk.
depkeu.go.id.
Apabila memerlukan penjelasan teknis dapat menghubungi Tim Helpdesk
Komandan SIKD pada Telepon (021) 3440715; Fax. (021) 3505103 atau
Email : komandansikd@djpk.depkeu.go.id.

4.7.4. Manfaat Komandan SIKD


Manfaat

pelaksanaan

penyelenggaraan

Komandan

SIKD

sebagai

perwujudan SIKD secara Nasional adalah sebagai berikut:


1. Memberi kemudahan bagi Pemerintah Daerah dalam mengirimkan
Informasi Keuangan Daerah kepada DJPK.
2. Menyediakan Informasi Keuangan Daerah secara nasional yang
lengkap, dapat diandalkan, akurat dan up-to-date.
3. Menyediakan analisa pengelolaan keuangan daerah sebagai bahan
evaluasi dalam perumusan kebijakan.
4. Menyediakan informasi keuangan daerah yang diperlukan dalam
perhitungan alokasi Transfer ke Daerah.

4.8. WEB-BASED REPORTING SYSTEM (WBRS)


4.8.1. Latar Belakang
Sejak dilaksanakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001 berdasarkan
UU Nomor 25 Tahun 1999 yang direvisi dengan UU Nomor 33 Tahun
2004, jumlah alokasi dana yang didaerahkan dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Besaran dana dari pemerintah pusat yang didaerahkan untuk
230

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

provinsi rata-rata 60% dari APBD dan untuk kabupaten/kota sekitar 85%
dari APBD. Dana tersebut berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Bagi Hasil (DBH) yang bersifat block-grant, dan Dana Alokasi Khusus
(DAK) yang bersifat specific-grant.
Sejalan dengan reformasi keuangan negara, sejak tahun 2008 Pemerintah
Pusat menyalurkan langsung dana transfer ke daerah. Transfer ke daerah
terdiri dari DAU, DBH, DAK dan Dana Penyesuaian. Pasal 39 UU Nomor
33 Tahun 2004 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan kepada pemerintah
daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah. Demikian halnya dalam Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2005 ditegaskan bahwa DAK dialokasikan kepada daerah tertentu
untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program
yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah.
Sebagai bagian dari perwujudan prioritas nasional, DAK terutama sektor
infrastruktur seperti proyek jalan, irigasi, air minum dan sanitasi merupakan
dana transfer ke daerah yang outputnya bisa dirasakan langsung oleh
masyarakat. Sampai dengan tahun 2010, Pemerintah pusat sudah
menyalurkan DAK secara langsung sebesar Rp66,85 Triliun kepada
pemerintah daerah. Pertanggungjawaban dana yang telah disalurkan
kepada Pemerintah Daerah dilakukan dengan membuat suatu laporan
pertanggungjawaban keuangan dan teknis proyek DAK. Laporan tersebut
selama ini dicetak dalam jumlah terbatas dan didistribusikan pada kalangan
terbatas sehingga informasi yang komprehensif mengenai proyek tersebut
hingga saat ini belum bisa dijadikan sebagai bahan pengambilan kebijakan.
Meskipun Kementerian Keuangan dan Kementerian Pekerjaan Umum
masing-masing telah mengembangkan suatu sistem evaluasi dan pelaporan
teknis dan keuangan yang berbasis web namun masih belum seperti yang

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

231

diharapkan sehingga akuntabilitas pelaporan teknis dan keuangan DAK


belum bisa terukur secara komprehensif. Laporan keuangan dan teknis DAK
diharapkan berisi laporan yang lengkap (complete), andal (realiable), terkini
(up to date) dan akurat (accurate) dengan menggunakan sistem pelaporan
yang aman (secure).
Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas terhadap hasil pelaksanaan
DAK baik dari sisi keuangan maupun teknis maka perlu dikembangkan
suatu sistem pelaporan terintegrasi yang mudah diakses oleh pihak-pihak
yang berkepentingan termasuk masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut maka pada tahun anggaran 2011 Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan mengembangkan sebuah sistem pelaporan DAK berbasis web
yang diberi nama Web-Based Reporting System (WBRS) melalui Proyek
Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2).

4.8.2. Ruang Lingkup


WBRS diharapkan dapat menyatukan pelaporan keuangan di Kementerian
Keuangan, pelaporan teknis di Kementerian Pekerjaan Umum, monitoring
dan evaluasi serta verifikasi output yang dilakukan oleh BPKP. Pada tahap
awal sistem ini akan diterapkan hanya pada DAK untuk bidang infrastruktur
(jalan, irigasi, air minum, dan sanitasi) di 5 provinsi sebagai pilot project
yaitu Jambi, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, dan Maluku
Utara beserta kabupaten/kota di dalamnya. Tahap selanjutnya aplikasi
WBRS tersebut akan diterapkan di seluruh daerah penerima DAK bidang
infrastruktur.
Dengan adanya WBRS maka seluruh informasi proyek DAK bidang
infrastruktur dapat disajikan secara cepat dan lengkap. Informasi tentang
lokasi proyek, GPS, data teknis, kemajuan fisik, dan gambar (foto) riil
232

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

kemajuan proyek beserta informasi penggunaan/penyerapan dana tersaji


lengkap dalam WBRS.

4.8.3. Manfaat
Aplikasi WBRS akan diimplementasikan kepada Pemerintah Daerah yang
masuk sebagai

pilot project mulai tahun 2012. Adapun manfaat yang

didapat dari implementasi WBRS antara lain adalah:


1. Meningkatkan akuntabilitas pengelolaan DAK baik di Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah;
2. Memudahkan akses pihak-pihak terkait dan masyarakat terhadap
informasi tentang DAK;
3. Penyajian informasi keuangan dan fisik suatu proyek DAK secara
komprehensif, cepat dan akurat;
4. Memudahkan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan DAK di
daerah.

4.9.
KONSOLIDASI LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
DENGAN LAPORAN KEUANGAN TRANSFER KE DAERAH TAHUN
ANGGARAN 2010
4.9.1. Latar Belakang
Penyusunan Laporan keuangan konsolidasi antara Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) dengan Laporan Keuangan Transfer ke
Daerah (LKTD) merupakan inisiasi untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

233

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK yang termuat dalam laporan hasil reviu
transparansi fiskal pemeriksanan tahun 2008 nomor 25/05/LHP/XV/05/2009
pada tanggal 20 Mei 2009, BPK menyatakan bahwa pelaksanaan peran
dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam pengelolaan fiskal masih
memiliki kelemahan antara lain belum adanya mekanisme konsolidasi
LKPD dan rendahnya transparansi fiskal pada tingkat Pemerintah Daerah.
Dengan demikian, perlu melaksanakan konsolidasi LKPD dengan LKTD.

4.9.2. Lingkup, Tujuan dan Sumber Data


Lingkup penyajian laporan keuangan konsolidasi antara LKPD dengan
LKTD ini dibatasi pada penggabungan Laporan Realisasi Anggaran/LRA
pada LKPD dan LKTD dengan unsur-unsur pendapatan dan belanja.
Tujuan utama penyajian laporan konsolidasi adalah dalam rangka memenuhi
kewajiban transparansi fiskal oleh Menteri Keuangan selaku pengelola
fiskal nasional. Data yang tersaji diharapkan memberi manfaat bagi para
pihak yang berkepentingan seperti kalangan dunia usaha, akademisi dan
masyarakat luas serta kalangan pengambil keputusan di pemerintahan, baik
pusat maupun daerah. Selanjutnya, laporan konsolidasi ini akan menjadi
bahan untuk konsolidasi dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
(LKPP)
Sumber data dalam penyusunan laporan keuangan konsolidasi ini antara
lain LKTD, LKPD berupa LRA pemerintah provinsi, kabupaten.

4.9.3. Dasar Penyusunan Laporan Konsolidasian


PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian (PP 71 tahun
2010 tentang SAP Lampiran II) menyatakan laporan konsolidasian adalah
234

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

suatu laporan keuangan yang merupakan gabungan keseluruhan laporan


keuangan entitas pelaporan sehingga tersaji sebagai satu laporan tunggal.
Hasil akhir dari laporan konsolidasian tidak dimaksudkan untuk tujuan
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan, tetapi lebih pada tujuan
transparansi fiskal. Tanggung jawab atas nilai dari masing-masing unsur
laporan keuangan yang dikonsolidasikan tetap berada pada masing-masing
entitas pelaporan.
Konsolidasi dilaksanakan dengan cara menggabungkan dan menjumlahkan
akun yang diselenggarakan oleh entitas pelaporan dengan entitas pelaporan
lainnya dengan atau tanpa mengeliminasi akun timbal balik. Salah satu
unsur pokok pendapatan pada LKPD adalah transfer dari pemerintah pusat,
maka penyusunan laporan konsolidasi LKPD menjadi lebih mudah dan
bermanfaat jika prosesnya dimulai dari konsolidasi.

4.9.4. Gambaran Umum Hasil Konsolidasi


Berdasarkan hasil konsolidasi, pada tahun 2010 transfer dari pemerintah
pusat menyumbang 80,91% dari seluruh pendapatan daerah dengan
jumlah nominal sebesar Rp343,9 triliun, sedangkan PAD menyumbang
19,09% dengan jumlah nominal sebesar Rp81,1 triliun. Di sisi belanja,
porsi terbesar digunakan untuk belanja pegawai, yaitu mencapai 47,26%
dari total pendapatan dengan nominal sebesar Rp200,9 triliun, sedangkan
belanja modal mendapatkan porsi 22,11% dengan nominal sebesar Rp94
triliun.
Di sisi belanja, Belanja Pegawai yang merupakan komponen terbesar
pengeluaran daerah terus mengalami kenaikan. Pada tahun anggaran (TA)
2009 kenaikan jenis belanja ini adalah sebesar 13,25% dibanding TA 2008,
yaitu dari Rp148,5 triliun menjadi Rp168,2 triliun, sementara pada tahun
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

235

2010 terjadi kenaikan 19,44% sehingga jumlah Belanja Pegawai mencapai


Rp200,9 triliun. Di lain pihak, Belanja Transfer (didominasi dari pemerintah
kabupaten ke desa) terus mengalami penurunan, dari Rp4,5 triliun di tahun
2008 turun 12,25% menjadi Rp3,9 triliun pada tahun 2009, dan turun lagi
41,0% hingga mencapai Rp2,3 triliun di tahun 2010.
Peningkatan pendapatan dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 14,43%
atau dari Rp371,5 triliun menjadi Rp425,1 triliun yang diikuti peningkatan
belanja hanya sebesar 4,35% dari Rp390,49 triliun menjadi Rp407,35 triliun
mengubah defisit Rp19,0 triliun pada tahun 2009 menjadi surplus Rp17,7
triliun pada tahun 2010. Surplus ini dipengaruhi oleh adanya penyaluran
transfer non-DAU sebesar Rp38 triliun pada Desember 2010 yang
mengakibatkan daerah baru dapat membelanjakan pendapatan tersebut
pada tahun 2011.
Tabel 4.6
Konsolidasi Realisasi APBD & Transfer ke Daerah
TA 2008 2010
(dalam juta rupiah)
No.

PENDAPATAN/BELANJA

TA 2008

TA 2009

TA 2010

PENDAPATAN

PENDAPATAN ASLI DAERAH

64.745.871

67.528.250

81.140.393

Pajak Daerah

44.693.411

45.127.168

56.171.965

Retribusi Daerah

8.003.155

7.656.295

7.700.594

PAD Lainnya1)

12.049.304

14.770.316

17.267.835

PENDAPATAN TRANSFER

288.646.372 303.938.520

343.939.872

DBH Pajak

37.680.548

40.318.393

45.799.404

DBH SDA

36.952.510

30.099.773

44.394.237

236

353.392.243 371.466.770

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

425.080.266

Pelengkap Buku Pegangan 2012

No.

PENDAPATAN/BELANJA

TA 2008
t.a.

10 DBH CHT2)
11 DAU
12 DAK

TA 2009

TA 2010

1.065.069

1.202.111

179.507.145 186.414.100

203.571.491

20.787.347

24.707.415

20.956.311

13.718.822

21.333.769

28.016.319

14 BELANJA

347.915.951 390.489.653

407.355.390

15 Belanja Pegawai

148.515.158 168.188.147

200.889.683

13 Transfer Lainnya

3)

16 Belanja Barang

66.584.523

75.226.171

80.727.070

17 Belanja Modal

97.300.708 102.529.407

93.995.193

18 Belanja Lainnya

31.065.096

40.640.492

29.440.130

4.450.465

3.905.435

2.303.314

19 Transfer

4)

Keterangan:
1) PAD Lainnya terdiri dari Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan/HPKDYD
dan Lain-lain PAD.
2) DBH CHT/Cukai Hasil Tembakau baru ada mulai TA 2009.
3) Transfer Lainnya terdiri dari Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian.
4) Transfer pada kelompok belanja merupakan transfer ke desa.

4.10. PENETAPAN DAN PENYAMPAIAN PERDA APBD


Sejalan dengan tuntutan reformasi untuk menyelenggarakan tata kelola
pemerintahan yang baik, salah satu hal yang harus dilakukan dibidang
Keuangan Negara/Daerah adalah melaksanakan pengelolaan keuangan
secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas
keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Siklus pengelolaan
keuangan daerah diawali dengan penyusunan Perda APBD. APBD
merupakan alat yang penting dalam rangka mewujudkan pelayanan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi di daerah
serta penyempurnaan program pembangunan baik di bidang infrastruktur,
Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

237

pendidikan, kesehatan maupun bidang-bidang lainnya sesuai dengan


standar pelayanan minimal yang ditetapkan.
Berdasarkan PP No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, Perda APBD harus sudah ditetapkan paling lambat 31 Desember
TA sebelumnya. Sementara itu, sesuai amanat PP No 56 Tahun 2005
sebagaimana direvisi dengan PP No 65 Tahun 2010, penyampaian Perda
APBD oleh Pemda ke Menteri Keuangan paling lambat 31 Januari TA
berjalan.
Pada tabel berikut dapat dilihat perkembangan penyelesaian atau
penetapan Perda APBD dalam kurun waktu tahun 2007-2012.
Tabel 4.7
Penetapan Perda APBD TA 2007-2012
Batas Waktu

Jumlah Daerah
2007

2008

2009

2010

2011

2012

Des Thn Sebelum

25

118

118

214

211

274

Jan

85

188

186

160

176

139

Peb

105

93

109

76

62

60

Mar

125

50

73

60

62

41

Setelah Maret

127

35

24

14

13

10

Total

467

484

510

524

524

524

Tabel 4.7 menunjukkan tren kepatuhan daerah dalam menetapkan Perda


APBD mengalami peningkatan dari tahun ke tahun meskipun sempat
mengalami penurunan pada tahun 2011 tetapi kembali meningkat pada
tahun 2012. Namun demikian pada tahun 2012, masih terdapat 250 daerah

238

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

Pelengkap Buku Pegangan 2012

(47,71%) yang terlambat menetapkan APBD, yaitu menetapkan APBD TA


2012 pada tahun berjalan.
Grafik 4.6
Penyampaian APBD 2012 Prov., Kab., dan Kota Se-Indonesia

Berdasarkan grafik 4.6, dapat dilihat bahwa secara umum, jumlah daerah
yang menyampaikan APBD tepat waktu, yaitu pada bulan Januari TA
berjalan, semakin meningkat. Namun jika dilihat dari jumlah daerah,
masih banyak daerah yang menyampaikan Perda APBD setelah bulan
Januari. Pada tahun 2012 misalnya, terdapat 267 daerah (50,95%)
yang menyampaikan perda APBD tepat waktu, sedangkan sisanya
menyampaikan setelah bulan Januari TA berjalan.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

239

Kendala-kendala yang mempengaruhi proses penetapan APBD


Keterlambatan penetapan APBD akan berpengaruh secara langsung
terhadap penyampaian APBD ke Menteri Keuangan. Beberapa kendala
yang dihadapi daerah, diantaranya:
1. Peraturan-peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah yang ada
saat ini masih belum sinkron satu dengan yang lain.
2. Pelaksanaan bimtek, sosialisasi dan diseminasi mengenai pengelolaan
keuangan daerah yang dilakukan pemerintah pusat dirasa masih
kurang, baik dari sisi materi maupun frekuensi.
3. Kualitas dan kuantitas SDM yang dimiliki oleh Pemda masih belum
memadai.
4. Sarana dan prasarana pendukung yang masih terbatas.
5. Penggunaan aplikasi berbasis komputer dalam proses penyusunan
APBD masih belum memadai.

Langkah Strategis yang perlu dilakukan


Terkait dengan kendala-kendala tersebut diatas, perlu dilakukan berbagai
upaya antara lain:
1. Sinkronisasi

peraturan-peraturan

tentang

pengelolaan

keuangan

daerah
2. Dalam rangka meningkatkan kualitas SDM, Pemerintah Pusat perlu
melakukan program bimbingan teknis terkait proses penyusunan APBD
secara berkesinambungan
3. Perlu

pengembangan

prasarana

pendukung

di

kebutuhan.
240

Pendukung Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 2012

daerah

sesuai

BAB V
PENUTUP

242

Penutup

Pelengkap Buku Pegangan 2012

BAB V
PENUTUP
Penyelenggaraan desentralisasi fiskal antara lain menekankan peningkatan
peranserta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan
berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman
antardaerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal ini dianggap sangat penting,
karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional
di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan
mengharuskan diselenggarakannya desentralisasi fiskal yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan
desentralisasi fiskal itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
Sumber-sumber pendapatan potensial yang dimiliki suatu daerah akan
menentukan juga tingkat kemampuan keuangannya. Setiap daerah
mempunyai potensi pendapatan yang berbeda karena perbedaan kondisi
ekonomi, sumber daya alam, besaran wilayah, tingkat pengangguran dan
jumlah penduduk. Sumber-sumber pendapatan potensial tercermin dalam
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber pendapatan
daerah merupakan sumber pendapatan yang dapat diperoleh dengan
memanfaatkan serta mengelola sumber-sumber keuangan daerahnya
sendiri. Besarnya PAD sangat menentukan tingkat perkembangan otonomi
suatu daerah. Semakin besar jumlah penerimaan PAD berarti semakin
besar pula kesempatan daerah tersebut untuk mengadakan perkembangan

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

243

dan pembangunan daerah menuju penyelenggaraan otonomi daerah yang


nyata dan bertanggung jawab.
Peningkatan daya saing merupakan kinerja pemerintah yang berfokus pada
peningkatan iklim investasi dan usaha, percepatan penyediaan infrastruktur
atau

pembangunan

jalur

penyambung

antar

daerah,

peningkatan

pembangunan industri di berbagai koridor ekonomi, dan penciptaan


lapangan kerja.
Melalui kebijakan desentralisai fiskal diharapkan perekonomian daerah
menjadi tumbuh lebih pesat yang akhirnya akan bermuara pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Harapan ini tidaklah berlebihan mengingat
transfer uang ke daerah dalam era desentralisasi fiskal semakin besar
dibandingkan dengan era sebelumnya. Disamping itu Pemerintah Pusat
juga telah mendelegasikan sejumlah wewenang ke daerah.

244

Penutup

Pelengkap Buku Pegangan 2012

DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank (ADB) TA 3967-INO: Local Government Provision of Minimum
Basic Service for the Poor, 2005.
Bappenas, (2004), Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta: Bappenas
(www.bappenas.go.id).
BPKP, Pedoman Penyusunan APBD Berbasis Kinerja, 2005.
Brodjonegoro, Bambang PS dan Robert A. Simanjuntak, (2005), Study on Decentralization
Framework and Fiscal and Administrative Capacity of Local Governments in Indonesia,
Laporan Akhir, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) and Institute for
Economics and Social Research-Faculty of Economics University of Indonesia (LPEMFEUI), Jakarta: LPEM-FEUI.
Building Institutions for Good Governance (BIGG), Pedoman Acuan Anggaran Kinerja,
2003-2004.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Pusat, (2005). Sinergi Pembangunan antara Pusat
dan Daerah, draft hasil Focus Group Discussion (FGD) Sinergi Pembangunan antara
Pusat dan Daerah, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Pusat, Jakarta, Juli 2005.
Kementerian Keuangan, (2010), Buku Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2010.
Kementerian Keuangan, (2010), Nota Keuangan APBN 2011, Jakarta: Kemenkeu RI (www.
depkeu.go.id).
Kuncoro, M., (2004). Otonomi Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Laporan Panitia Kerja Belanja Daerah dalam Rangka Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan
RUU tentang RAPBN TA.2006.
LPEM FEUI dan PSE-KP FEUGM. Reformulasi Dana Alokasi Umum: Laporan Penelitian,
2004.
Pemerintah Republik Indonesia, (2009), Produk Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta:
Pemerintah RI (www.indonesia.go.id).
Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No. 186/PMK.07/2010 dan
53 Tahun 2010 tentang Tahapan Pengalihan BPHTB menjadi Pajak Daerah.

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

245

Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No. 213/PMK.07/2010 dan
58 Tahun 2010 tentang Tahapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi
Pajak Daerah.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 005/2006 tentang Tatacara Perencanaan dan
Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah
Luar Negeri yang mengatur perencanan dan proses lebih lanjut pengadaan Pinjaman/
Hibah Luar Negeri oleh Pemerintah Pusat.
Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Perpres Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis
BBM Tertentu.
PMK No. 04/PMK.07/2011 tentang tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan
Daerah.
PMK No. 53/2006 tentang Tatacara Pemberian Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang
Dananya Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri yang mengatur proses lebih lanjut
penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah kepada pemerintah daerah dalam bentuk
pinjaman.
PMK No. 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban dan Publikasi
Informasi Obligasi Daerah, diatur lebih lanjut tentang perencanaan, pengajuan usulan
dan persetujuan serta pernyataan pendaftaran umum.
PMK No. 171/PMK.06/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan pemerintah
Pusat, serta aturan pelaksanaanya.
PMK No. 129/PMK.07/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Pemotongan Dana
Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil Dalam Kaitannya Dengan Pinjaman Daerah
Dari Pemerintah Pusat.
PMK No. 153/PMK.05/2008 Tentang Penyelesaian Piutang Negara Yang Bersumber
Dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi, Dan Rekening
Pembangunan Daerah pada Pemerintahan Daerah.
PMK No. 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana
Tugas Pembantuan.
PMK No. 20/PMK.07/2008 tenntang Perubahan PMK no. 84/PMK.07/2008 tentang
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau dan Sanksi akan Penyalahgunaan
Alokasi DBH Cukai Tembakau.

246

Daftar Pustaka

Pelengkap Buku Pegangan 2012

PMK No. 21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran


Transfer ke Daerah.
PMK No. 223 Tahun 2009 tentang Alokasi dan Pedoman Umum Dana Tambahan Penghasilan
Bagi Guru PNSD Kepada Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota Tahun Anggaran 2009.
PMK No. 197 Tahun 2009 tentang Dasar Pembagian Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Kepada Provinsi Penghasil Cukai dan/atau Provinsi Penghasil Tembakau.
PMK No. 174 Tahun 2009 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah.
PMK No. 168 Tahun 2009 tentang Pedoman Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah
untuk Penanggulangan Kemiskinan.
PMK No. 11/PMK.07/2010 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran
Ketentuan di Bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
PMK No. 147/PMK.07/2010 tentang Badan atau Perwakilan Internasional yang Dikecualikan
sebagai Subjek BPHTB.
PMK No. 148/PMK.07/2010 tentang Badan atau Perwakilan Internasional yang Dikecualikan
sebagai Subjek PBB Perdesaan dan Perkotaan.
PMK No. 149/PMK.07/2010 tentang Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran
2011.
PMK No. 216/PMK.07/2010 tentang Pedoman Umum dan Alokasi DAK Tahun Anggaran
2011.
PMK No. 245/PMK.07/2010 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah.
PMK No. 47/PMK.07/2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Pinjaman Pemerintah
Daerah Kepada Pemerintah Melalui Sanksi Pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU)
dan/atau Dana Bagi Hasil (DBH).
PMK No. 66/PMK.07/2011 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah dalam rangka
Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan
Kemiskinan Tahun Anggaran 2012.
PMK No. 125/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal Dari
Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Sebelum TA 2011.
PMK No. 162/PMK.07/2011 tentang Tata Cara Pemotongan DAU dan/atau DBH Bagi Daerah
Induk/Provinsi yang tidak mematuhi Kewajiban Hibah/Bantuan Pendanaan Kepada
Daerah Otonom Baru (DOB).

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

247

PMK No. 201/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Bantuan Operasional
Sekolah Tahun Anggaran 2012.
PMK No. 20/PMK.07/2012 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Bantuan Operasional
Sekolah Untuk Sekolah di Daerah Terpencil TA 2012.
PMK No. 6/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke
Daerah.
PP No. 92 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 59 Tahun 1998 tentang
Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom.
PP No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam
Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
PP No. 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32 Tahun 1969 tentang
Pelaksanaan

UU

No.

11

Tahun

1967

tentang

Ketentuan-Ketentuan

Pokok

Pertambangan.
PP No. 56 Tahun 2001 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
PP No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Jumlah
Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
PP No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang
berlaku pada Departemen ESDM.
PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga.
PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
PP No. 65 Tahun 2010 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
PP no. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah.
PP No. 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah
Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.

248

Daftar Pustaka

Pelengkap Buku Pegangan 2012

PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Kekayaan Negara/ Daerah.
PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
PP No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada
Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Daerah Kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Kepada Masyarakat.
PP No. 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah,
PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan
Daerah.
PP No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah.
PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
PP No. 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
PP No. 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan
Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu

Minyak Dan Gas Bumi.

PP No. 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan
Kepala Daerah (Official Assessment) atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak (Self
Assessment).
PP No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah.
PP No. 2 tahun 2012 tentang Hibah Daerah.
PP No. 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan
Hibah.
Sidik, Machfud et.all. Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi
Daerah. (Jakarta: Kompas, 2002).
Smoke, Paul, Can Desentralization Help Rebuild Indonesia, paper for Conference
Expenditure Assignment under Indonesias Emerging Decentralization: A Review of
Progress and Issues for the Future, Sponsored by the International Studies Program,
Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, May 2002.
Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nomor: 0239/M.PPN/11/2008,

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

249

SE-1722/MK.07/2011, 950/3556/SJ tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Evaluasi


Pemanfaatan DAK.
Surat Edaran Menteri Nomor: 151/MK.07/200 tanggal 27 April 2010 tentang Prioritas
Penggunaann DBH Cukai Hasil tembakau TA 2010.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah.
UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1995 tentang Cukai.
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
UU No. 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara TA 2012.
World Bank Dutch Trust Fund, Strengthening Indonesias Framework for Decentralization,
Support to the Ministry of Home Affairs, November 2002.
World Bank Report of Dutch Trust Fund Package 8 on Reformulasi Dana Alokasi Umum,
2004.

250

Daftar Pustaka

Pelengkap Buku Pegangan 2012

INDEX
A
Akuntabilitas 4, 13, 20, 22, 45, 135, 164, 185, 187, 196, 200, 232, 233

B
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 7, 32
Belanja daerah 7, 17, 219, 222, 224, 225, 226

D
Dana
Dana Urusan Bersama 3, 4, 7, 12, 14, 15, 17, 20, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 31, 32,
33, 35, 37, 38, 39, 40, 45, 46, 48, 50, 51, 59, 65, 73, 80, 81, 83, 84, 127, 128,
129, 132, 133, 134, 135, 137, 139, 149, 150, 151, 157, 179, 181, 186, 187,
192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 210, 211, 213, 215, 219, 223, 224, 230,
231, 233
Dana Alokasi Umum 15, 24, 27, 44, 93, 181, 188, 201, 231, 246, 247, 248, 251,
253
Dana Bagi Hasil
dana bagi hasil pajak 7, 15, 24, 25, 28, 44, 45, 51, 53, 56, 61, 67, 68, 69, 84, 87,
90, 96, 105, 131, 132, 133, 142, 181, 188, 201, 231, 247, 248
dana bagi hasil SDA 7, 15, 24, 25, 28, 44, 45, 51, 53, 56, 61, 67, 68, 69, 84, 87,
90, 96, 105, 131, 132, 133, 142, 181, 188, 201, 231, 247, 248
Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan 7, 39, 40

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

251

H
Hibah
Hibah daerah 5, 7, 12, 34, 35, 36, 37, 38, 129, 137, 140, 178, 182, 185, 186, 187,
188, 189, 190, 211, 212, 213, 214, 215
Hibah luar negeri 5, 7, 12, 34, 35, 36, 37, 38, 129, 137, 140, 178, 182, 185, 186,
187, 188, 189, 190, 211, 212, 213, 214, 215

K
Komandan SIKD 226, 229
Kriteria khusus
Kriteria teknis 104, 105, 125

O
Obligasi daerah 36, 178

P
Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan 21, 25, 47, 91, 96, 142, 149, 150, 155, 162, 163, 252
Pajak daerah dan retribusi daerah 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 25, 28, 43, 45, 46,
47, 48, 50, 51, 61, 82, 84, 86, 87, 90, 91, 94, 96, 99, 131, 142, 143, 144, 145,
146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 162, 163, 164,
165, 167, 170, 172, 173, 236, 246, 248, 251, 252, 253
Pajak Penghasilan 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 25, 28, 43, 45, 46, 47, 48, 50, 51,
61, 82, 84, 86, 87, 90, 91, 94, 96, 99, 131, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148,
149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 162, 163, 164, 165, 167, 170,
172, 173, 236, 246, 248, 251, 252, 253

252

Index

Pelengkap Buku Pegangan 2012

Pendanaan urusan bersama pusat dan daerah 5, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 23, 24,
30, 35, 37, 43, 44, 46, 94, 103, 158, 187, 188, 190, 191, 192, 194, 195, 196,
197, 198, 200, 204, 207, 208, 213, 215, 216, 219
Pendapatan Asli Daerah 14, 15, 28, 94, 96, 99, 105, 146, 181, 201, 243
Pinjaman
Pinjaman daerah 34, 176, 207, 210
Pinjaman luar negeri vii, x, xi, 34, 176, 207, 210
PNPM Mandiri 197, 198

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

253

254

Index

Pelengkap Buku Pegangan 2012

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada para kontributor yang telah meluangkan waktunya
untuk menyumbangkan bahan, menyusun materi, dan kepada semua
pendukung yang telah membantu terbitnya Buku Kebijakan Hubungan
Keuangan Pusat dan Daerah 2012 sebagai Pelengkap Buku Pegangan
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan
Daerah.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Marwanto Harjowiryono,
MA., Prof. Heru Subiyantoro, Ph.D., Drs. Pramudjo, M.Soc.Sc., Ir. Adijanto,
M.P.A., Drs. Adriansyah, Drs. Yusrizal Ilyas, MA., Dr. Ahmad Yani, SH, Ak.,
MM., Putut Hari Satyaka, S.E., M.P.P., Ubaidi Socheh Hamidi, SE, MM.,
Anwar Syahdat, SH, ME., Dra. Diah Sarkorini, M.A., Berlin Panjaitan, SE,
MM., Dra. Wendy Julianti, M.Soc.Sc., Rukijo, SE, MM., Sugiyarto, SE,Ak,M.
Sc., Edison Sihombing, S.E., M.T., Drs. Matheus Agus Kristianto, M.A.,
Dudi Hermawan. S.E., M.M., M.Si., Erny Murniasih, S.Sos, M.Sc., Esthi
Budilestari, S.E., M.M., Drs. Masagus Zenaidi, MM., Fachroedy Junianto,
S.E., Endang Zainatun, SE., Nafi, SE, MM., Anang Adik Rustiadi, S.IP.,
Imaduddin, SE, MM., Muhammad Zainuddin, S.E., M.F.M., Yadi Hadian,
S.E., M.A., Wahyu Widjayanto, S.E., M.M., Lily Kuntratih, SH, MPA. atas
kontribusinya membantu penyusunan materi, serta masukannya sehingga
terselesaikannya buku ini.
Tidak lupa disampaikan terima kasih kepada Ichwan Setyarno, Kurnia,
Agung Setio Budi, Hesti Budi Utomo, Denny Kurniawan, Ricka Yunita
Prasetya, Titik Fatmawati, David Rudolf, Lukman Adi Santoso, Alit Ayu
Meinarsari, Helmy Rukmana, Adhi Kurniawan, dan Nanang Faosi yang

Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2012

255

telah membantu proses pengumpulan naskah editing sampai setting, serta


semua pihak yang tidak bisa disebut satu-persatu. Kepada semuanya sekali
lagi kami ucapkan terima kasih atas kerja kerasnya.

256

Ucapan Terima Kasih

You might also like