Professional Documents
Culture Documents
html
Dibaca: 1589
Komentar: 3
Pendahuluan
Masalah agraria dengan segala dinamika dan problematikanya seringkali masih
dipandang sebagai rimba-belantara bagi sebagian besar warga bangsa kita. Hal ini
bukan saja karena masih terbatasnya sumber referensi di bidang ini, tapi juga
kerena ada semacam disain tertentu dimana persolan agraria seperti sengaja
ditutup-tutupi, bahkan dipersulit untuk mewacanakannya seperti terjadi pada masa
kolonial hingga masa Orde Baru.
Menurut Sadikin Gani (2006) sepanjang sejarah kekuasaan formal Orde Baru,
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang secara hakiki bertujuan
mewujudkan keseimbangan distribusi penguasaan dan pemilikan sumber-sumber
agraria untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia
didiskreditkan dan didelegitimasikan sebagai produk PKI. Padahal, jika ditelusuri
secara jernih ide-ide pokok yang mendasarinya, dan sejarah pembentukkannya,
UUPA 1960 merupakan kebijakan nasional yang lahir dari kesepakatan semua
unsur kekuatan politik yang hidup waktu itu, baik itu golongan nasionalis, Islam,
sosialis maupun komunis. Masalah ketimpangan dan konflik agraria yang terus
mengemuka hingga kini merupakan warisan dari serangkaian politik agraria yang
pernah diterapkan di Indonesia sejak jaman penjajahan hingga Indonesia merdeka
di bawah Orde Baru. Ketika Orde Baru berkuasa, rezim yang mengklaim dirinya
sebagai antitesis Orde Lama ini menerapkan strategi pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, di mana investasi modal menjadi motor
penggerak utamanya. Pondasi ideologi populis yang dipancangkan pemerintahan
Sukarno dibongkar dan diganti dengan gagasan-gagasan kapitalisme. Implikasinya,
segala upaya yang telah dirintis pemerintahan Sukarno untuk meletakkan reforma
agraria sebagai basis pembangunan tidak diberi ruang hidup.
Bahkan, ketika angin reformasi mengantarkan kita ke arah transisi demokrasi pun,
kita seolah masih terstigmatisasi untuk tidak begitu mewacanakan persoalan agraria
secara massif. Tak heran jika kemudian persoalan agrarian seringkali masih
dipandang sebelah mata. Masalah agraria bukan menjadi persoalan fundamental
yang urgen sehingga banyak pihak termasuk dan terutama para pengambil
kebijakan melihat dan memahaminya secara parsial dan serampangan. Ini antara
lain dapat disimak dari agenda reformasi yang kerap dikumandangkan dimana
reforma agraria tidak masuk menjadi prioritas penting.
Dalam situasi dan konteks inilah buku Masalah Agraria sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia karya Mochammad Tauchid
2
menjadi penting sebagai pengugah. Melalui buku ini, Tauchid seolah mau
menggedor kesadaran kita dan mengingatkan bahwa masalah agraria merupakan
persoalan fundamental bagi bangsa ini. Ia mengawali tulisannya dengan suatu
pernyataan yang begitu mendalam: Soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan
penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan. Soal tanah
adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia. Perebutan tanah
berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela
menumpahkan darah, mengurbankan segala yang ada untuk mempertahankan
hidup selanjutnya.
Banyak hal yang dapat dielaborasi dan dikritisi dari buku tersebut. Namun begitu,
tulisan review ini akan lebih fokus mengulasnya dalam konteks kajian teori politik,
terutama kajian epistimologi kekuasaan. Namun begitu, dalam pembahasannya
disadari akan sulit untuk hanya memokuskan pada satu tema kajian secara absolut
sehingga bisa jadi juga akan bersinggungan dengan tema kajian teori politik lainnya
seperti strukturasi dan contentious politics dimana sejumlah persoalan agraria yang
ditulis dalam buku tersebut memiliki relevansi dan signifikansinya dalam konteks
kasus-kasus agraria yang muncul akhir-akhir ini.
pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1811, Raffles, salah seorang Gubernur
Jenderal Belanda berkata: Raja-raja sudah hilang. Gubernurmen yang
menggantikannya. Karena itulah Gubernurmenlah yang menerima hak-hak yang
dulu ada pada raja, yaitu hak memiliki semua tanah, juga tenaga rakyat bilamana
diperlukan. Pada saat itulah muncul beragam pengaturan atas tanah yang
didasarkan atas Ordonansi Belanda, seperti: Hak Eigendom, Hak Opstal,
Hak Erfpacht, serta Hak Pakai dengan segala implikasi dan beban sosial-politik yang
menyertainya.
Arah politik agraria kolonial dapat dilihat dari aneka produk hukum yang
dilahirkannya. Ciri terpenting dari politik agraria kolonial adalah pengalokasian
sumber-sumber agraria khususnya tanah dan tenaga kerja demi akumulasi modal
oleh perusahaan. Untuk melegalkan usaha ini, Agrarische Wet 1870 diundangkan di
Hindia Belanda.Agrarische Wet telah membuka peluang luas bagi investasi
perkebunan dan pertanian yang sekalgus menggusur areal pertanian
rakyat. Sementara itu, hak-hak adat masyarakat atas tanah diletakkan sedemikian
rupa kepada kelompok feodal melalui azas domeinverklaring. Kondisi ini menjadikan
rakyat hidup dalam dua kewajiban yang menghisap dan memberatkan.
Secara detil, Tauchid mendeskripsikan bahwa selama masa kolonialisme Belanda
tanah dan rakyat Indonesia diperas-habis untuk kepentingan Belanda. Produksi tani
Indonesia menurutnya merupakan andalan pemerintah Belanda dalam perdagangan
dunia saat itu. Bagi Belanda dan kaum modal asing lainnya, Indonesia merupakan
sumber kekayaan, hingga 15% dari penghasilan nasional negeri Belanda saat itu.
Indonesia sungguh menjadi gantungan hidup negeri Belanda sebagaimana diakui
sendiri oleh Baud, salah seorang menteri Belanda yang mengatakan bahwa Java
was de kruk, waarop Nederland dreef. Tabel berikut merupakan sebagian
komoditas agraria Indonesia yang menjadi andalan utama pada masa kolonialisme
Belanda.
Hasil
Kina
Kapuk
Lada
Karet
Kopra
Gula
Kopi
Minyak Sawit
Tahun
Kuantitas
1929 (%)
1939 (%)
diantara jajahan
di dunia
94
73
69
30
29
11
6
5
91
72
86
37
27
6
4
24
1
1
1
2
2
2
1
1
1
1
1
2
2
3
2
-
karena segala peraturan dan hukum-hukum juga dikendalikan seluruhnya oleh raja
sebagai pemegang kuasa. Proses penaklukan rakyat oleh raja bisa dijelaskan dari
ragam epistemologi kekuasaan.
Max Weber, misalnya melihat otoritas kuasa bersumber dari tiga hal, yaitu:
tradisional, kharismatik, dan legal rasional. Sementara Gramsci menitikberatkan
pada legitimasi dan dominasi. Legitimasi adalah keyakinan anggota-anggota
masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa
adalah wajar dan memang sudah sepatutnya. Secara timbal balik, legitimasi juga
merupakan produk dari hegemoni kekuasaan. Dengan mengutip beberapa ahli
politik, Haryanto (2005) membuat kategori teoretik kekuasaan sebagai berikut:
Tokoh
Teori
Max Weber
Charles
Andrain
Legitimate
Domination
F. Legitimate
Teory
Keterangan
Traditional, Charismatik, dan Legal Rational
Traditional Legitimate, Ideologis Legitimate,
Personal Legitimate, Prosedural Legitimate,
Instruental Legitimate
kolonial Belanda saat VOC berhasil merebut kedaulatan agrarian dari tangan rajaraja di seantero Nusantara. Tampaknya, pemerintah kolonial Belanda sangat paham
psikologi rakyat Indonesia dalam konteks penguasaan tanah. Mitologi
manunggaling kawula gusti, raja tak pernah salah, dan idiom-idiom simbolikmitologis kuasa Jawa lainnya yang lebih memposisikan rakyat sebagai abdi telah
mendorong langgengnya cengkeraman pemerintah kolonial Belanda hingga ratusan
tahun lamanya. Konsolidasi kekuasaan kolonial bahkan dikuatkan lagi dengan
dibuatnya ragam aturan (staatsblad) agraria yang komprehensif. Pada masa
kolonial Belanda itulah kita menyaksikan ragam peraturan agraria yang komplit,
namun tentu saja semuanya menguntungkan pemerintah kolonial Belanda sebagai
pembuat kebijakan tunggal.
Fenomena itu seolah menjustifikasi model strukturasi sebagaimana diungkapkan
Anthony Giddens. Menurut Giddens, hubungan antara pelaku dan struktur berupa
relasi dualitas terjadi pada praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas
ruang dan waktu yang mengarahkan kontinuitas dan transmutasi dari struktur untuk
mereproduksi sistem sosial. Dalam konteks ini, Giddens melihat tiga gugus besar
struktur, yaitu:
1. Signifikansi menyangkut skemata simbolik, penyebutan dan wacana.
2. Struktur dominasi yang menyangkut skemata penguasaan atas orang (politik)
dan barang (ekonomi).
3. Struktur legitimasi menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap
dalam tata aturan hukum positif.
Eksposisi konsep strukturasi akan tampak dalam dimensi struktur sosial yang
mempertalikan struktur dengan domain teoretik dan implementasinya dalam tata
aturan yang terinstitusionalisasi. Secara sederhana, hal ini dapat disimak pada tabel
berikut:
Struktur
Signifikansi
Dominasi
Legitimasi
Domain Teoretik
Aturan Institusi
Peraturan simbolik
Institusi
politik
ekonomi
Institusi
hokum
dan
legal/aturan
Kuatnya struktur dominasi yang dibangun pemerintah kolonial Belanda antara lain
tampak pada sejumlah aturan agraria yang masih langgeng. Bahkan, ketika
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945 persoalan agraria tidak
serta-merta terselesaikan secara signifikan Kemerdekaan politik itu tampaknya tidak
membawa dampak nyata bagi masyarakat dalam penuntasan kasus-kasus
pertanahan. Malahan yang terjadi justru makin banyaknya sengketa tanah yang
belum terselesaikan dari waktu ke waktu. Warisan kolonial dalam persoalan agraria
bukan saja tampak dari peraturan agraria yang masih berbau hukum kolonial, tapi
juga dalam cara-cara kolonial yang sudah terlanjur terstrukturasi dalam penanganan
persoalan pertanahan hingga kini.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misalnya, mencatat bahwa pendekatan
kekerasan dan teror masih sering dilakukan pemerintah dalam penyelesaian konflik
agraria. Untuk tahun ini saja, misalnya, KPA telah merekam 89 laporan kasus konflik
agraria dengan luas sengketa 133.278,79 Ha dan korban langsung dari sengketa ini
tidak kurang dari 7.585 KK. Ini tetap saja angka minimal, sebab metode yang dipakai
dalam pendataan ini berdasarkan kasus yang dilaporkan oleh masyarakat kepada
KPA dan direkam oleh KPA melalui pemberitaan media massa.
Menyeruaknya beragam kasus dan konflik agraria memang perlu segera diantisipasi
dan diselesaikan secara serius. Ahli hukum pertanahan UGM, Maria SW
Sumardjono menilai bahwa permasalahan tanah selalu saja timbul karena
kompleksitasnya persoalan tanah selalu terkait banyak aspek. Tanah sebagai
sarana pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan papan dan pangan serta
10
merupakan sumber daya alam yang langka itu menjadi rentan diperebutkan oleh
banyak pihak. Menurut Maria, persoalan ini selalu timbul karena kita belum memiliki
disain reforma agraria yang baik yang bisa menuntun kita menemukan jalan keluar
yang adil bagi para pihak. Dalam konteks inilah, deskripsi historis yang cukup
lengkap yang diulas dalam buku ini mengajak kita untuk lebih arif memahami dan
menyelesaikan persoalan agraria secara lebih komprehensif dengan melihat
kompleksitasnya persoalan pertanahan secara simultan.
sebagai buku babon (mother book) dalam bidang agraria. Buku ini diharapkan
dapat menerbitkan matahari kesadaran rakyat Indonesia, menjadi pemapar dan
penjelas bagi kondisi agraria mulai masa feodal dan masa kolonial sekaligus
membuka jalan bagi pekerjaan lanjutan bagi usaha-usaha terpenting dalam
menemukan rumah politik hukum dan ekonomi agraria terbaik yang hingga kini
belum terwujud di bumi pertiwi, Indonesia tercinta.
***
Daftar Bacaan
Doorn, Van, J.A.A, (1957). De laatste eeuw van Indie. Ontwikkeling en Ondergang van een Koloniaal
Project dalam AAGN Ari Dwipayana, Kuliah Teori Politik: Konsep Kekuasaan, Bahan Presentasi
Perkuliahan Semester I 2009, Magister Ilmu Politik, Fisipol-UGM, Yogyakarta.
Foucault, Michel (1982). The Subject
Hermeneutics, University of Chicago Press.
and
Power
in Beyond
Structuralism
and
14
http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=427&Itemid=1
[1] Sadikin Gani, Tantangan Reforma Agraria dalam situs http://rumakiri.net dengan
berikut: http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=166&Itemid=97
link
[2] Bagian lampiran buku ini juga diperkaya dengan rujukan dokumentasi peraturan perundangan
tentang agraria dari waktu ke waktu secara rinci.
[3] Harold D. Lasswell, Abraham Kaplan (1963). Power and Society: A Framework for Political Inquiry,
Paperback, Yale University Press.
Van Doorn, J.A.A, (1957). De laatste eeuw van Indie. Ontwikkeling en ondergang van een koloniaal
project dalam AAGN Ari Dwipayana, Kuliah Teori Politik: Konsep Kekuasaan, Bahan Presentasi
Perkuliahan Semester I 2009, Magister Ilmu Politik, Fisipol-UGM, Yogyakarta.
[5] Haryanto (2005). Kekuasaan Elit: Suatu Bahasan Pengantar, S2 PLOD UGM-JIP UGM,
Yogyakarta.
[6] Jurgen Habermas (1962). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a
Category of Bourgeois Society. The MIT Press, Germany.
Michel Foucault (1982). The Subject
Hermeneutics, University of Chicago Press.
and
Power
in Beyond
Structuralism
and
[8] Peraturan Agraria pertama di Indonesia adalah Undang-Undang Nr.6 tahun 1952. Undang-undang
ini hanya menetapkan peraturan kolonial Belanda, yaitu Undang-undang Darurat Nr.6 tahun 1951
yang berasal dari Grondhuur Ordonnantie (Stbl.1981 Nr88) sebagai Undang-undang.
Dalam laporan tahunannya, misalnya KPA mencatat tertembaknya 12 petani di Kab. Ogan Ilir,
Sumatera Selatan oleh pihakkepolisian Desember 2009, sebelumnya 10 petani Takalar di Sulawesi
Selatan juga dilaporkan tertembak pada Agustus 2009, dan dua orang Petani Ujung Kulon, Banten
pada Mei 2009. Tahun ini dilaporkan 3 orang petani Bangun Purba, Rokan Hulu, tewas akibat
penganiayaan security (pamswakarsa) PT.SSL. Ini adalah bukti masih dipakainya cara-cara
primitif oleh pemerintah seperti penembakan, pembakaran, penganiayaan, penculikan dan bentuk
intimidasi lainnya untuk menakut-nakuti rakyat ketika memperjuangkan hak-haknya dalam
menyelesaikan sengketa agraria
Laporan Akhir Tahun 2009, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dapat disimak pada link
berikut: http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=427&Itemid=1
[11] Maria SW Sumardjono (2008). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Iwan Nurdin, Yang Bertahan dan Tumbuh Menjalar Kata Pengantar dalam Mochammad Tauchid
(2007) Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia,
Pewarta, Yogyakarta.
[13] Usep Setiawan, Menjaring Komitmen Demi Keadilan Agraria, dalam Kompas: Edisi 17
November 2003.
15