You are on page 1of 15

http://media.kompasiana.com/buku/2011/11/10/review-buku-masalah-agraria-dan-kemakmuranrakyat-indonesia-411304.

html

Review Buku: Masalah Agraria


dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
OPINI | 10 November 2011 | 13:25

Dibaca: 1589

Komentar: 3

Sofian Munawar Asgart

Judul Buku : Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan


KemakmuranRakyat Indonesia
Pengarang : Mochammad Tauchid
Halaman : xxviii + 609
Penerbit : Tjakrawala, Jakarta (1962) dan
Pewarta, Yogyakarta (2007)

Pendahuluan
Masalah agraria dengan segala dinamika dan problematikanya seringkali masih
dipandang sebagai rimba-belantara bagi sebagian besar warga bangsa kita. Hal ini
bukan saja karena masih terbatasnya sumber referensi di bidang ini, tapi juga
kerena ada semacam disain tertentu dimana persolan agraria seperti sengaja
ditutup-tutupi, bahkan dipersulit untuk mewacanakannya seperti terjadi pada masa
kolonial hingga masa Orde Baru.
Menurut Sadikin Gani (2006) sepanjang sejarah kekuasaan formal Orde Baru,
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang secara hakiki bertujuan
mewujudkan keseimbangan distribusi penguasaan dan pemilikan sumber-sumber
agraria untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia
didiskreditkan dan didelegitimasikan sebagai produk PKI. Padahal, jika ditelusuri
secara jernih ide-ide pokok yang mendasarinya, dan sejarah pembentukkannya,
UUPA 1960 merupakan kebijakan nasional yang lahir dari kesepakatan semua
unsur kekuatan politik yang hidup waktu itu, baik itu golongan nasionalis, Islam,
sosialis maupun komunis. Masalah ketimpangan dan konflik agraria yang terus
mengemuka hingga kini merupakan warisan dari serangkaian politik agraria yang
pernah diterapkan di Indonesia sejak jaman penjajahan hingga Indonesia merdeka
di bawah Orde Baru. Ketika Orde Baru berkuasa, rezim yang mengklaim dirinya
sebagai antitesis Orde Lama ini menerapkan strategi pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, di mana investasi modal menjadi motor
penggerak utamanya. Pondasi ideologi populis yang dipancangkan pemerintahan
Sukarno dibongkar dan diganti dengan gagasan-gagasan kapitalisme. Implikasinya,
segala upaya yang telah dirintis pemerintahan Sukarno untuk meletakkan reforma
agraria sebagai basis pembangunan tidak diberi ruang hidup.
Bahkan, ketika angin reformasi mengantarkan kita ke arah transisi demokrasi pun,
kita seolah masih terstigmatisasi untuk tidak begitu mewacanakan persoalan agraria
secara massif. Tak heran jika kemudian persoalan agrarian seringkali masih
dipandang sebelah mata. Masalah agraria bukan menjadi persoalan fundamental
yang urgen sehingga banyak pihak termasuk dan terutama para pengambil
kebijakan melihat dan memahaminya secara parsial dan serampangan. Ini antara
lain dapat disimak dari agenda reformasi yang kerap dikumandangkan dimana
reforma agraria tidak masuk menjadi prioritas penting.
Dalam situasi dan konteks inilah buku Masalah Agraria sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia karya Mochammad Tauchid
2

menjadi penting sebagai pengugah. Melalui buku ini, Tauchid seolah mau
menggedor kesadaran kita dan mengingatkan bahwa masalah agraria merupakan
persoalan fundamental bagi bangsa ini. Ia mengawali tulisannya dengan suatu
pernyataan yang begitu mendalam: Soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan
penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan. Soal tanah
adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia. Perebutan tanah
berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela
menumpahkan darah, mengurbankan segala yang ada untuk mempertahankan
hidup selanjutnya.
Banyak hal yang dapat dielaborasi dan dikritisi dari buku tersebut. Namun begitu,
tulisan review ini akan lebih fokus mengulasnya dalam konteks kajian teori politik,
terutama kajian epistimologi kekuasaan. Namun begitu, dalam pembahasannya
disadari akan sulit untuk hanya memokuskan pada satu tema kajian secara absolut
sehingga bisa jadi juga akan bersinggungan dengan tema kajian teori politik lainnya
seperti strukturasi dan contentious politics dimana sejumlah persoalan agraria yang
ditulis dalam buku tersebut memiliki relevansi dan signifikansinya dalam konteks
kasus-kasus agraria yang muncul akhir-akhir ini.

Persoalan Agraria: Dari Masa(lah) ke Masa(lah)


Buku setebal 609 halaman itu mendeskripsikan banyak hal seputar isu agraria,
namun secara umum dikategorikan dalam dua bagian besar. Bagian pertama yang
terdiri dari enam bab mengulas persoalan agraria mulai dari masa kekuasaan rajaraja nusantara hingga masa kolonialisme Belanda. Sementara dua bab berikutnya
pada bagian kedua mengulas masalah agraria pada masa penjajahan Jepang serta
dasar-dasar hukum dan politik agraria kontemporer.
Cerita-cerita adiluhung tentang masa keemasan kerajaan di Nusantara ternyata
menyimpan banyak ironi. Salah satu ironi itu adalah persoalan agraria dimana
hukum pertanahan saat itu sepenuhnya didasarkan atas feodalisme yang begitu
memberatkan rakyat. Dalam sistem feodalisme yang nyaris berlaku di seluruh
Nusantara saat itu tanah adalah milik raja secara mutlak. Bahkan bukan hanya
tanah saja, rakyat adalah milik raja juga. Rakyat laksana benda sehingga ia menjadi
hamba yang dapat digunakan untuk apa saja demi kepentingan dan kehormatan
raja.

Sebagai illustrasi, misalnya, di Kerajaan Mataram baik di Yogyakarta maupun di


Surakarta dulu dinyatakan bahwa tanah itu kagungan dalem. Artinya, tanah adalah
milik Sultan dan Sunan. Rakyat hanya sebagai deelbouwer (pemaro) dan hanya
berhak meminjam (wewenang anggaduh) atas tanah. Hal serupa juga terjadi di
Gorontalo. Pada hari penobatan raja, para kepala adat (bete-bete) menyerukan
ucapan di hadapan raja, yang artinya kira-kira: Angin, api, air, tanah, dan semua
orang yang ada di sini adalah kepunyaan seri paduka. Begitu juga di daerah-daerah
lainnya hampir di seantero Nusantara dimana raja memerintah, menganggap bahwa
segala isi negerinya termasuk dan terutama tanah adalah hak mutlak dari raja.
Menurut Tauchid, sistem feodalisme saat itu merupakan perbudakan, baik dalam arti
ekonomi, politik, maupun sosial kultural. Tanah dikuasai raja, sementara rakyat yang
mengerjakan tanah mempunyai kewajiban untuk menyerahkan sebagian besar
hasilnya. Rakyat dijadikan alat untuk kepentingan kekuasaan dan kehormatan raja
karena segala peraturan dan hukum-hukum juga dikendalikan seluruhnya oleh raja
sebagai pemegang kuasa. Perbudakan saat itu juga disempurnakan dengan idiomidiom kultural-religius seperti dengan kata-kata manunggaling kawula gusti. Raja
menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia untuk melindungi rakyatnya
sehingga rakyat berkewajiban mengabdi kepada raja sebagai bentuk manifestasi
pengabdian kepada Tuhan. Karena itu pemerasan terhadap rakyat justru dirupakan
sebagai kewajiban ilahiyah untuk bakti sebagai kewajiban moral-spiritual yang harus
dipenuhi. Rakyat bukan hanya takut karena hukuman dari undang-undang, tetapi
juga takut atas murka dan kutukan Tuhan yang dimanifestasikan pada ketundukan
total terhadap titah raja.
Namun, hak atas tanah dan tenaga rakyat yang secara de jure merupakan
kekuasaan raja, secara de facto pada praktiknya lebih banyak berada pada tangan
para abdi dalem sebagai pegawai kerajaan. Kewajiban menyerahkan bakti oleh
pegawai-pegawai kerajaan kepada raja biasanya ditimpakan kepada rakyat pada
level paling bawah. Karena para abdi dalem kerajaan ingin mengurangi beban berat
yang dipikulnya, maka ia membagikan beban itu seringan-ringannya dan terpaksa
menambah orang dalam daerah bawahannya. Untuk itu maka ia terus membagi-bagi
bebannya kepada orang-orang baru di bawahnya sehingga pada akhirnya kondisi ini
berakibat pada pengecilan (versnippering) tanah garapan rakyat.
Pada kurun berikutnya, kedatangan VOC dan kolonialisme Belanda telah mengubah
pola pemilikan tanah. Penaklukan raja-raja Nusantara oleh Belanda sekaligus juga
berarti perampasan atas kekuasaan raja. Hak raja atas tanah dan tenaga rakyat
dengan beragam pengaturannya secara otomatis juga berpindah ke tangan
4

pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1811, Raffles, salah seorang Gubernur
Jenderal Belanda berkata: Raja-raja sudah hilang. Gubernurmen yang
menggantikannya. Karena itulah Gubernurmenlah yang menerima hak-hak yang
dulu ada pada raja, yaitu hak memiliki semua tanah, juga tenaga rakyat bilamana
diperlukan. Pada saat itulah muncul beragam pengaturan atas tanah yang
didasarkan atas Ordonansi Belanda, seperti: Hak Eigendom, Hak Opstal,
Hak Erfpacht, serta Hak Pakai dengan segala implikasi dan beban sosial-politik yang
menyertainya.
Arah politik agraria kolonial dapat dilihat dari aneka produk hukum yang
dilahirkannya. Ciri terpenting dari politik agraria kolonial adalah pengalokasian
sumber-sumber agraria khususnya tanah dan tenaga kerja demi akumulasi modal
oleh perusahaan. Untuk melegalkan usaha ini, Agrarische Wet 1870 diundangkan di
Hindia Belanda.Agrarische Wet telah membuka peluang luas bagi investasi
perkebunan dan pertanian yang sekalgus menggusur areal pertanian
rakyat. Sementara itu, hak-hak adat masyarakat atas tanah diletakkan sedemikian
rupa kepada kelompok feodal melalui azas domeinverklaring. Kondisi ini menjadikan
rakyat hidup dalam dua kewajiban yang menghisap dan memberatkan.
Secara detil, Tauchid mendeskripsikan bahwa selama masa kolonialisme Belanda
tanah dan rakyat Indonesia diperas-habis untuk kepentingan Belanda. Produksi tani
Indonesia menurutnya merupakan andalan pemerintah Belanda dalam perdagangan
dunia saat itu. Bagi Belanda dan kaum modal asing lainnya, Indonesia merupakan
sumber kekayaan, hingga 15% dari penghasilan nasional negeri Belanda saat itu.
Indonesia sungguh menjadi gantungan hidup negeri Belanda sebagaimana diakui
sendiri oleh Baud, salah seorang menteri Belanda yang mengatakan bahwa Java
was de kruk, waarop Nederland dreef. Tabel berikut merupakan sebagian
komoditas agraria Indonesia yang menjadi andalan utama pada masa kolonialisme
Belanda.
Hasil
Kina
Kapuk
Lada
Karet
Kopra
Gula
Kopi
Minyak Sawit

Tahun

Kuantitas

1929 (%)

1939 (%)

diantara jajahan

di dunia

94
73
69
30
29
11
6
5

91
72
86
37
27
6
4
24

1
1
1
2
2
2
1
1

1
1
1
2
2
3
2
-

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sejatinya merupakan negeri


agraris yang penting. Namun justru karena itulah Indonesia menjadi menarik untuk
dikuasai dan diperebutkan. Kekayaan Indonesia dari hasil pertanian seperti yang
termuat dalam tabel tersebut tidak menjadi sumber kekayaan rakyat, karena politik
pertanahan dipegang oleh kaum penjajah. Rakyat hanya menjadi alat untuk
menghasilkan dari tanah itu. Rakyat terus menderita di atas tanahnya yang subur
dan kaya. Rakyat kelaparan di atas timbunan hasil bumi. Rakyat miskin di atas
kekayaan alam yang melimpah ruah.
Kehadiran Jepang di Indonesia juga telah menambah malapetaka dan penderitaan
rakyat. Obsesi Jepang menjadikan Indonesia sebagai benteng pertahanan
menghadapi sekutu memaksa rakyat Indonesia untuk melipatgandakan hasil bumi
agar Indonesia terutama Jawa menjadi gudang dan sumber perbekalan perang.
Untuk itu penanaman bahan makanan digiatkan dengan mengerahkan rakyat secara
massif. Rakyat bukan hanya dipaksa menjadi romusha, tapi juga diwajibkan
menyerahkan bakti berupa hasil bumi dengan pungutan yang besar.
Riwayat kekejaman culturstelsel terulang kembali saat masa Jepang. Bahkan,
tanah-tanah partikelir oleh pemerintah Jepang dimasukkan dalam urusan
pemerintah dengan mengadakan Syiichi Kanri Kosha (Kantor Urusan Tanah
Partikelir). Uang kumpenian saat itu memang dihapuskan. Seolah-olah tanah
partikelir itu semuanya dikuasai oleh pemerintah dan tuan tanah seolah tak berkuasa
lagi. Namun ternyata semua itu hanya siasat untuk mengambil hati rakyat. Upaya ini
ternyata hanya akal bulus Jepang untuk memudahkan pengumpulan padi bagi
keperluan cadangan perang menghadapi sekutu. Kungkungan penjajahan fasis
Jepang sebagai pengganti penjajahan Belanda meninggalkan bekas-bekas
kehancuran dan kelaparan serta malapetaka yang tiada tara. Namun, di satu sisi,
kehadiran Jepang telah memberi inspirasi tersendiri bagi bangsa Indonesia. Belanda
yang pada mulanya dianggap rakyat tidak dapat diganggu kedaulatannya, ternyata
bisa dikalahkan dengan mudah oleh Jepang. Hal ini telah membuka pikiran dan
menimbulkan perasaan harga diri bahwa Belanda bisa dikalahkan dan begitu juga
Jepang hingga bangsa Indonesia mampu melucuti Jepang beberapa tahun
kemudian.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945 persoalan
agraria tidak serta-merta terselesaikan secara menggembirakan. Kemerdekaan
politik itu tidak membawa dampak riil bagi masyarakat dalam mengakses tanah
secara adil. Dalam salah satu klausul perjanjian Konferensi Meja Mundar (KMB)
Belanda bahkan meminta jaminan atas tanah-tanah perkebunan (onderneming)
6

yang masih dikuasainya sebagai salah satu kompensasi penyerahan kedaulatan


terhadap Indonesia. Tanah-tanah onderneming itu sebagian telah dinasionalisasi
dan diberikan hak penguasaannya kepada perusahaan-perusahaan besar. Sebagian
lagi ada yang masih terlantar dan tidak jelas penguasaannya meski telah dikaplingkapling oleh negara, kapital, maupun masyarakat. Karena itulah pasca kemerdekaan
Indonesia, tanah-tanah onderneming ini banyak melahirkan persoalan sengketa
tanah yang hingga kini belum kunjung jua penyelesaiannya.
Dalam buku ini, Tauchid menilai bahwa urusan tanah merupakan salah satu
persoalan urgen yang harus segera diselesaikan pemerintah nasional. Politik agraria
warisan kolonial harus segera diubah sehingga kita bisa menyelesaikan berbagai
konflik agraria yang ada secara lebih bijaksana. Tauchid menyayangkan bahwa
pemerintah hingga kini belum memulai melakukan langkah-langkah yang prinsipil
seputar persoalan agraria. Persoalan agraria bahkan masih dilihat sebelah mata.
Masalah agraria seringkali hanya dilihat semata-mata hanya persoalan golongan
tani yang tidak berarti. Padahal, menurutnya, persoalan agraria harus dilihat sebagai
sebuah persoalan bangsa yang fundamental. Siapa menguasai tanah, ia
menguasai makanan. Siapa menguasai sumber makanan, ia menguasai sumber
kehidupan.Soal tanah adalah tiang dan sumber bagi penghidupan, ujarnya.

Persoalan Agraria dan Epistemologi Kekuasaan


dan Abraham Kaplan (1963) merumuskan kekuasaan sebagai kemampuan pelaku
untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkat
laku pelaku terakhir sesuai dengan keinginan pelaku yang mempunyai
kekuasaan.Sementara Van Doorn (1957) melihat kekuasaan sebagai kemampuan
pelaku untuk menetapkan secara mutlak alternatif-alternatif bertindak atau alternatifalternatif memilih pelaku lain. Hal ini menunjukkan bahwa konsepsi kekuasaan
memperlihatkan suatu hubungan yang bersifat tidak seimbang, dalam arti bahwa
satu pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari pelaku lain.
Dalam konteks masalah agraria, epistemologi kekuasaan tampak nyata bahwa
rakyat merupakan objek yang tuna-kuasa, baik di hadapan raja maupun di hadapan
pemerintah kolonial Belanda. Potret inilah yang antara lain dilukiskan Tauchid dalam
bagian pertama buku ini. Awalnya, semua tanah dikuasai raja, sementara rakyat
yang mengerjakan tanah mempunyai kewajiban untuk menyerahkan sebagian besar
hasilnya. Rakyat dijadikan alat untuk kepentingan kekuasaan dan kehormatan raja
7

karena segala peraturan dan hukum-hukum juga dikendalikan seluruhnya oleh raja
sebagai pemegang kuasa. Proses penaklukan rakyat oleh raja bisa dijelaskan dari
ragam epistemologi kekuasaan.
Max Weber, misalnya melihat otoritas kuasa bersumber dari tiga hal, yaitu:
tradisional, kharismatik, dan legal rasional. Sementara Gramsci menitikberatkan
pada legitimasi dan dominasi. Legitimasi adalah keyakinan anggota-anggota
masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa
adalah wajar dan memang sudah sepatutnya. Secara timbal balik, legitimasi juga
merupakan produk dari hegemoni kekuasaan. Dengan mengutip beberapa ahli
politik, Haryanto (2005) membuat kategori teoretik kekuasaan sebagai berikut:

Tokoh

Teori

Max Weber
Charles
Andrain

Legitimate
Domination

F. Legitimate
Teory

Keterangan
Traditional, Charismatik, dan Legal Rational
Traditional Legitimate, Ideologis Legitimate,
Personal Legitimate, Prosedural Legitimate,
Instruental Legitimate

dalam konteks persoalan agrarian memang menempatkan rakyat sebagai objek


yang tuna-kuasa. Dalam ruang politik yang diktator-feodalistik, misalnya, raja
sebagai pihak yang berkuasa seringkali mengendalikan rakyat yang dikuasainya
lewat kekerasan fisik. Namun begitu, pelanggengan kekuasaan juga dilakukan
dengan modal simbolik. Jurgen Habermas salah seorang tokoh teori kritis
mengatakan bahwa bahasa merupakan medium dominasi dan kekuasaan. Artinya,
kekuasaan beroperasi efektif lewat kegiataan berbahasa, yakni lewat proses
komunikasi simbolik. Idiom-idiom simbolik seperti manunggaling kawula gusti
merupakan contoh penaklukan rakyat oleh raja. Dalam bahasa lain, Michel Foucault
menyebutkan bahwa arena kuasa tidak berakhir pada represi dari struktur politis,
pemerintah, kelas sosial yang dominan, melainkan menaruh perhatian pada
mekanisme dan strategi kuasa, bagaimana kekuasaan dipraktekkan, diterima dan
dilihat sebagai kebenaran, bahkan menjadi ritual kebenaran yang terus direproduksi.
Konsepsi kekuasaan itu pula yang dapat menjelaskan mengapa reproduksi
penderitaan rakyat begitu mudah dipindahkan dari tangan raja-raja ke pemerintah
8

kolonial Belanda saat VOC berhasil merebut kedaulatan agrarian dari tangan rajaraja di seantero Nusantara. Tampaknya, pemerintah kolonial Belanda sangat paham
psikologi rakyat Indonesia dalam konteks penguasaan tanah. Mitologi
manunggaling kawula gusti, raja tak pernah salah, dan idiom-idiom simbolikmitologis kuasa Jawa lainnya yang lebih memposisikan rakyat sebagai abdi telah
mendorong langgengnya cengkeraman pemerintah kolonial Belanda hingga ratusan
tahun lamanya. Konsolidasi kekuasaan kolonial bahkan dikuatkan lagi dengan
dibuatnya ragam aturan (staatsblad) agraria yang komprehensif. Pada masa
kolonial Belanda itulah kita menyaksikan ragam peraturan agraria yang komplit,
namun tentu saja semuanya menguntungkan pemerintah kolonial Belanda sebagai
pembuat kebijakan tunggal.
Fenomena itu seolah menjustifikasi model strukturasi sebagaimana diungkapkan
Anthony Giddens. Menurut Giddens, hubungan antara pelaku dan struktur berupa
relasi dualitas terjadi pada praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas
ruang dan waktu yang mengarahkan kontinuitas dan transmutasi dari struktur untuk
mereproduksi sistem sosial. Dalam konteks ini, Giddens melihat tiga gugus besar
struktur, yaitu:
1. Signifikansi menyangkut skemata simbolik, penyebutan dan wacana.
2. Struktur dominasi yang menyangkut skemata penguasaan atas orang (politik)
dan barang (ekonomi).
3. Struktur legitimasi menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap
dalam tata aturan hukum positif.
Eksposisi konsep strukturasi akan tampak dalam dimensi struktur sosial yang
mempertalikan struktur dengan domain teoretik dan implementasinya dalam tata
aturan yang terinstitusionalisasi. Secara sederhana, hal ini dapat disimak pada tabel
berikut:
Struktur
Signifikansi
Dominasi
Legitimasi

Domain Teoretik

Aturan Institusi

Teori interpretasi nilai


Teori kekuasaan otoritatif

Peraturan simbolik
Institusi
politik

Teori legitimasi normatif

ekonomi
Institusi
hokum

dan

legal/aturan

Secara illustratif, Giddens membuat visualisasi diagram konsep strukturasi sebagai


berikut:
9

Kuatnya struktur dominasi yang dibangun pemerintah kolonial Belanda antara lain
tampak pada sejumlah aturan agraria yang masih langgeng. Bahkan, ketika
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945 persoalan agraria tidak
serta-merta terselesaikan secara signifikan Kemerdekaan politik itu tampaknya tidak
membawa dampak nyata bagi masyarakat dalam penuntasan kasus-kasus
pertanahan. Malahan yang terjadi justru makin banyaknya sengketa tanah yang
belum terselesaikan dari waktu ke waktu. Warisan kolonial dalam persoalan agraria
bukan saja tampak dari peraturan agraria yang masih berbau hukum kolonial, tapi
juga dalam cara-cara kolonial yang sudah terlanjur terstrukturasi dalam penanganan
persoalan pertanahan hingga kini.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misalnya, mencatat bahwa pendekatan
kekerasan dan teror masih sering dilakukan pemerintah dalam penyelesaian konflik
agraria. Untuk tahun ini saja, misalnya, KPA telah merekam 89 laporan kasus konflik
agraria dengan luas sengketa 133.278,79 Ha dan korban langsung dari sengketa ini
tidak kurang dari 7.585 KK. Ini tetap saja angka minimal, sebab metode yang dipakai
dalam pendataan ini berdasarkan kasus yang dilaporkan oleh masyarakat kepada
KPA dan direkam oleh KPA melalui pemberitaan media massa.
Menyeruaknya beragam kasus dan konflik agraria memang perlu segera diantisipasi
dan diselesaikan secara serius. Ahli hukum pertanahan UGM, Maria SW
Sumardjono menilai bahwa permasalahan tanah selalu saja timbul karena
kompleksitasnya persoalan tanah selalu terkait banyak aspek. Tanah sebagai
sarana pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan papan dan pangan serta
10

merupakan sumber daya alam yang langka itu menjadi rentan diperebutkan oleh
banyak pihak. Menurut Maria, persoalan ini selalu timbul karena kita belum memiliki
disain reforma agraria yang baik yang bisa menuntun kita menemukan jalan keluar
yang adil bagi para pihak. Dalam konteks inilah, deskripsi historis yang cukup
lengkap yang diulas dalam buku ini mengajak kita untuk lebih arif memahami dan
menyelesaikan persoalan agraria secara lebih komprehensif dengan melihat
kompleksitasnya persoalan pertanahan secara simultan.

Refleksi: Timbangan dan Kontribusi Buku


Dalam pengatar buku ini, Koordinator Advokasi Kebijakan KPA, Iwan Nurdin
menyebutkan bahwa pembaruan agraria di Indonesia adalah usaha kebangsaan
yang telah menjadi agenda nasional setelah disyahkannya UUPA 1960. Tujuan
pembaruan agraria ini tidak lain adalah merombak struktur agraria nasional warisan
kolonial sekaligus menyusun dasar bagi usaha pembangunan nasional, Sayangnya,
agenda ini semakin menghilang sekaligus dimusuhi seiring berkuasanya Orde Baru.
Banyak pihak menilai bahwa komitmen pemerintah untuk menjalankan pembaruan
agraria merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan reformasi agraria secara
bermakna. Namun sayangnya justru ditenggarai masih banyaknya kebijakan yang
tumpang-tindih seputar persoalan pertanahan. Usep Setiawan menyebutkan bahwa
Kekeliruan kebijakan agraria selama ini bukan saja pada level implementasi, tetapi
juga pada ideologi, paradigma, konsep, dan orientasi politiknya. Berbarengan
dengan itu, sejumlah peraturan perundangan-undangan agraria disusun sendirisendiri yang memicu disharmoni kebijakan sebagai implikasinya. Bahkan, berbagai
kebijakan agraria telah menuai ketegangan yang menjurus konflik antarkebijakan.
Selain kekeliruan kebijakan, lemahnya komitmen pemerintah untuk menjalankan
pembaruan agraria terpantul dari ungkapan pemikiran yang sektoral dan tidak
sensitif terhadap krisis agraria. Ini tampak, misalnya dari ketidakmaupahaman atas
kenyataan di lapangan dan ketidakmaumengertian aparat pemerintahan atas
langkah yang seharusnya ditempuh untuk memperbaiki kenyataan agraria menjadi
gejala yang mencolok. Faktor ini dapat menjadi batu sandungan bagi pembaruan
watak suprastruktur pemerintahan.
Dengan berkaca pada ragam pengalaman pengaturan pertanahan mulai zaman
feodal hingga masa kolonial, Tauchid mengingatkan betapa pentingnya reforma
agraria dilakukan oleh pemerintah nasional saat Indonesia merdeka. Namun justru
11

bayang-bayang feodalisme dan kolonialisme itu terlalu kuat sehingga pemerintah


Indonesia justru sulit keluar dari jeratan bayang-bayang itu. Ini tampak antara lain
dari peraturan pertanahan yang masih banyak mengadopsi ordonansi Belanda.
Demikian pula perilaku birokrasi terkait penanganan persoalan pertanahan agaknya
masih membawa aroma feodalisme dan kolonialisme.
Beruntunglah kita diinterupsi dengan jeda masa pendudukan Jepang. Meski
membawa malapetaka, penjajahan Jepang telah memberi inspirasi baru bagi
munculnya perlawanan rakyat. Dalam konteks perjuangan agraria, semangat
perlawanan ini juga muncul sehingga ideologi perlawanan rakyat untuk merdeka
bukan saja bisa dibaca sebagai gugatan politik untuk merdeka, tapi juga semangat
untuk merebut dan mempertahankan sejengkal tanah dengan segala akses dan
kepentingan yang melekat padanya. Semangat merebut dan mempertahankan hak
atas tanah ini yang kemudian muncul hingga kini juga bisa dibaca
sebagai contentious politics yang mengedepankan identitas perlawanan rakyat
terhadap rezim yang menguasai tanah sebagai alat sekaligus sumber produksi.
Dalam perkembangan berikutnya semangat contentious politics dalam perjuangan
agraria itu memunculkan idiom-idiom tandingan yang menjadi simbol perlawanan
rakyat: tanah untuk rakyat dan reforma agraria merupakan repertoir yang banyak
dipakai dalam berbagai demontrasi kaum tani, miskin kota, dan kelompok marginal
lainnya yang menuntut keadilan agraria. Dalam konteks inilah buku ini melihat
bahwa gerakan masa yang mulai sadar akan hak atas tanah mulai mengubah
orientasinya menjadi semacam gerakan sosial yang oleh Hanspieter didefinisikan
sebagai sekelompok orang yang melakukan perlawanan dengan mengembangkan
identitas tertentu dengan repertoire of action secara massif. Semangat contentious
politics ini pula agaknya yang menjadi cikal bakal munculnya berbagai advokasi
masyarakat sipil dengan beragam model perlawanan baik terhadap negara maupun
terhadap pemodal yang menguasai tanah.
Ini tentu merupakan salah satu tesis penting yang diangkat Tauchid dalam buku ini
selain deskripsi historisitas yang panjang lebar mengenai persoalan agraria.
Kesimpulan terpenting yang dapat diperoleh dari buku ini adalah bahwa penjajahan
di Indonesia akan tergambarkan secara utuh jika kita memahami kebijakan politik
agrarianya. Dengan membaca buku ini kita akan menyadari bahwa politik agraria
warisan era kolonial sesungguhnya secara praktek masih tetap dipertahankan
setelah kita merdeka. Kondisi ini pula yang kemudian memunculkan bertahannya
semangat perlawanan rakyat dalam memperjuangkan keadilan agraria.
12

Sebagai pembanding atau bisa juga saling berkomplementasi, tesis, persoalan,


serta deskripsi yang hapir serupa juga ditulis oleh Gunawan Wiradi. Dalam
bukunya,Reforma Agraria: Dari Desa ke Agenda Bangsa Gunawan memberi
tinjauan umum historis dan teoretis masalah agraria di Indonesia, dan juga seluruh
dunia, sejak zaman kuno hingga awal Abad ke-XXI. Buku ini awalnya merupakan
Orasi Ilmiah dalam Rangka Penganugerahan Dr. Honoris Causa dalam Bidang
Sosiologi Pedesaan dengan Fokus Kajian Agraria di kampus Institut Pertanian
Bogor (IPB), 28 Mei 2009. Selain itu, beberapa buku Maria SW Sumardjono juga
banyak mengulas isu-isu agraria meskipun bahasannya lebih bersifat akademik.
Dibanding buku-buku lain, agaknya, buku Masalah Agraria sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia karya Mochammad Tauchid ini
lebih dokumentatif dan detil. Selain deskripsi historisitas persoalan agraria yang
secara runtut termuat dalam delapan bab buku ini, bagian lampirannya (XXIXc)
menyajikan dokumentasi peraturan perundangan yang cukup komplit. Peraturan
Pemerintahan Desa mengenai kebijakan agraria di sejumlah tempat pada masa
kolonial, beragam aturan, persetujuan, penyelesaian kasus-kasus pertanahan masa
kolonial Belanda dan Jepang juga ragam Staatsblad seputar agraria terdokumentasi
secara lengkap. Ini tentu penting setidaknya menjadi cermin untuk mengaca
sehingga kita bisa membuat dan mendisain produk kebijakan agraria yang lebih
baik.
Namun demikian, pilihan Mochammad Tauchid untuk bercerita secara detil
tampaknya telah melenakannya dari aspek penting lainnya. Banyak kasus-kasus
dan data serta informasi mutakhir seputar isu agraria tidak cukup tercover dalam
buku ini. Selain itu, model tawaran mengenai reformasi agraria yang banyak disebutsebut juga tidak begitu konkret dalam level implementasinya. Dua hal inilah
setidaknya yang menurut hemat saya menjadi setitik nila diantara hamparan
informasi penting yang termuat dalam buku ini.
Pada level praksis maupun teoretis, setitik nila itu tentunya sedikitpun tidak
menggoyahkan arti pentingnya buku itu. Sejumlah data, informasi, illustrasi juga
semangat perlawanan yang inklusif termaktub dalam buku ini menjadi bagian
penting tersendiri. Bukan saja bagi para petani atau organisasi serikat tani yang
haus atas keadilan agraria, namun juga bagi para peneliti, akademisi, para
pengambil kebijakan, serta bagi khalayak masyarakat umum lainnya yang berharap
keadilan agraria akan mengejawantah di negeri ini. Tidak berlebihan jika Henry
Saragih, Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) kemudian menilai buku ini
13

sebagai buku babon (mother book) dalam bidang agraria. Buku ini diharapkan
dapat menerbitkan matahari kesadaran rakyat Indonesia, menjadi pemapar dan
penjelas bagi kondisi agraria mulai masa feodal dan masa kolonial sekaligus
membuka jalan bagi pekerjaan lanjutan bagi usaha-usaha terpenting dalam
menemukan rumah politik hukum dan ekonomi agraria terbaik yang hingga kini
belum terwujud di bumi pertiwi, Indonesia tercinta.
***
Daftar Bacaan
Doorn, Van, J.A.A, (1957). De laatste eeuw van Indie. Ontwikkeling en Ondergang van een Koloniaal
Project dalam AAGN Ari Dwipayana, Kuliah Teori Politik: Konsep Kekuasaan, Bahan Presentasi
Perkuliahan Semester I 2009, Magister Ilmu Politik, Fisipol-UGM, Yogyakarta.
Foucault, Michel (1982). The Subject
Hermeneutics, University of Chicago Press.

and

Power

in Beyond

Structuralism

and

Gani, Sadikin (2006) Tantangan Reforma Agraria dalam situs: http://rumakiri.net


Habermas, Jurgen (1962). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a
Category of Bourgeois Society. The MIT Press, Germany.
Haryanto (2005). Kekuasaan Elit: Suatu Bahasan Pengantar, S2 PLOD UGM-JIP UGM, Yogyakarta.
Konsorsium Pembaruan Agraria (2009). Laporan Akhir Tahun 2009, KPA, Jakarta.dalam
situs: http://www.kpa.or.id/
Lasswell, Harold D. and Abraham Kaplan (1963). Power and Society: A Framework for Political
Inquiry, Paperback, Yale University Press.
Setiawan, Usep Menjaring Komitmen Demi Keadilan Agraria, dalam Kompas: Edisi 17 November
2003.
Sumardjono, Maria SW (2008). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta.
- (1982). Tinjauan Kasus Beberapa Masalah Tanah, Jurusan Hukum Agraria, Fakultas
Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tauchid, Mochammad (2007) Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran
Rakyat Indonesia, Pewarta, Yogyakarta.
Wiradi, Gunawan (2009). Reforma Agraria: Dari Desa ke Agenda Bangsa, IPB Press, Bogor.
Wiradiputra, RA (1952). Agraria (Hukum Tanah), Penerbit Jambatan, Jakarta.
http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=166&Itemid=97

14

http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=427&Itemid=1

[1] Sadikin Gani, Tantangan Reforma Agraria dalam situs http://rumakiri.net dengan
berikut: http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=166&Itemid=97

link

[2] Bagian lampiran buku ini juga diperkaya dengan rujukan dokumentasi peraturan perundangan
tentang agraria dari waktu ke waktu secara rinci.
[3] Harold D. Lasswell, Abraham Kaplan (1963). Power and Society: A Framework for Political Inquiry,
Paperback, Yale University Press.
Van Doorn, J.A.A, (1957). De laatste eeuw van Indie. Ontwikkeling en ondergang van een koloniaal
project dalam AAGN Ari Dwipayana, Kuliah Teori Politik: Konsep Kekuasaan, Bahan Presentasi
Perkuliahan Semester I 2009, Magister Ilmu Politik, Fisipol-UGM, Yogyakarta.
[5] Haryanto (2005). Kekuasaan Elit: Suatu Bahasan Pengantar, S2 PLOD UGM-JIP UGM,
Yogyakarta.
[6] Jurgen Habermas (1962). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a
Category of Bourgeois Society. The MIT Press, Germany.
Michel Foucault (1982). The Subject
Hermeneutics, University of Chicago Press.

and

Power

in Beyond

Structuralism

and

[8] Peraturan Agraria pertama di Indonesia adalah Undang-Undang Nr.6 tahun 1952. Undang-undang
ini hanya menetapkan peraturan kolonial Belanda, yaitu Undang-undang Darurat Nr.6 tahun 1951
yang berasal dari Grondhuur Ordonnantie (Stbl.1981 Nr88) sebagai Undang-undang.
Dalam laporan tahunannya, misalnya KPA mencatat tertembaknya 12 petani di Kab. Ogan Ilir,
Sumatera Selatan oleh pihakkepolisian Desember 2009, sebelumnya 10 petani Takalar di Sulawesi
Selatan juga dilaporkan tertembak pada Agustus 2009, dan dua orang Petani Ujung Kulon, Banten
pada Mei 2009. Tahun ini dilaporkan 3 orang petani Bangun Purba, Rokan Hulu, tewas akibat
penganiayaan security (pamswakarsa) PT.SSL. Ini adalah bukti masih dipakainya cara-cara
primitif oleh pemerintah seperti penembakan, pembakaran, penganiayaan, penculikan dan bentuk
intimidasi lainnya untuk menakut-nakuti rakyat ketika memperjuangkan hak-haknya dalam
menyelesaikan sengketa agraria
Laporan Akhir Tahun 2009, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dapat disimak pada link
berikut: http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=427&Itemid=1
[11] Maria SW Sumardjono (2008). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Iwan Nurdin, Yang Bertahan dan Tumbuh Menjalar Kata Pengantar dalam Mochammad Tauchid
(2007) Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia,
Pewarta, Yogyakarta.
[13] Usep Setiawan, Menjaring Komitmen Demi Keadilan Agraria, dalam Kompas: Edisi 17
November 2003.

15

You might also like