You are on page 1of 19

Askep Pada Anak Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai perubahan terjadi pada system musculoskeletal, meliputi tulang keropos
(osteoporosis), pembesaran sendi, pengerasan tendon, keterbatasan gerak,
penipisan discus intervertebralis, dan kelemahan otot, terjadi pada proses penuaan.
Pada lansia, struktur kolagen kurang mampu menyerap energi. Kartilago sendi
mengalami degenerasi didaerah yang menyangga tubuh dan menyembuh lebih
lama. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya osteoarthritis. Begitu juga masa otot
dan kekuatannya juga berkurang.
Gangguaan pada sistem musculoskeletal bisa terjadi bukan hanya ada orang
dewasa atau pada lansia namun bisa juga terjadi pada anak anak bahkan pada
bayi yang baru lahir misalnya CDH (Congenital Dislocation Of the Hip), selain itu
gangguan pada tulang belakang seperti Scoliosis juga bisa diderita pada anak dan
jika kondisi ini terus berlanjut maka akan mengakibatkan immobilisasi pada
penderita Penanganan pada pasien anak- anak dengan gangguan sistem
muskoluskeletal harus ditangani secara komprehensip, berdasarkan alasan tersebut
maka penulis tertarik untuk melihat lebih dalam terkait penanganan dengan
pendekatan pada asuhan kemperawatan secara komprehensif.

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mendapatkan gambaran secara umum tentang penyakit pada sistem
musculoskeletal
2. Untuk mendapatkan informasi tentang asuhan keperawatan pada gangguan
sistem musculoskeletal khususnya pada kasus CDH, Skoliosis, Immobilisasi.
3. Sebagai penugasan pada mata muliah Keperawatan anak

BAB II
TINJAUAN KONSEP

A. CDH (CONGENITAL DISLOCATION OF THE HIP)


a. Konsep Medis
1. Definisi

CDH adalah deformitas ortopedik yang didapat segera sebelum atau pada saat
kelahiran, Kondisi ini mengacu pada malformasi sendi pinggul selama
perkembangan janin.

2. Etiologi
Kondisi ini dapat disebabkan oleh cara kaki janin ditempatkan di dalam rahim. Hal
ini lebih cenderung terjadi pada orang dengan riwayat keluarga dari kekacauan. Hal
ini juga mempengaruhi anak perempuan lebih sering daripada anak laki-laki. Ini
adalah tiga kali lebih mungkin terjadi di pinggul kiri dari kanan. Hal ini lebih umum
setelah persalinan sungsang, di antara bayi besar dan pada anak kembar. Bawaan
dislokasi hip sering dikaitkan dengan kondisi lain seperti spina bifida, torticollis M.
sternomastoideus, atau sindrom Down.

3. Klasifikasi
1) Sub luxsasi
Kaput femoris berada di acetabulum dan dapat mengalami dislokasi partial saat
dilakukan pemeriksaan
2) Dislocatable
Pinggul dapat dislokasi seluruhnya dengan manipulasi tetapi berada pada lokasi
normal pada saat bayi sedang istirahat
3) Dislocated
Pinggul berada dalam posisi dislokasi
4. Insiden
1) Dislokasi panggul congenital 1 : 1000 Kelahiran
2) Perempuan laki-laki: 7 : 1
3) Insiden meningkat pada kelahiran sungsang
4) Terjadi peningkatan pada saudara kandung anak yang terkena
5) Pinggul kiri lebih sering terkena dari pinggul kanan
6) Sering berhubungan dengan kondisi lain : spina bifida
7) Insiden terdapat pada kelompok tertentu

5. Manifestasi Klinik
a. Bayi

Mungkin tanpa gejala nyata karena pergeseran femur pada bayi minimal
Lipatan gluteal asimetri
Kaki yang terkena lebih pendek dari yang normal
Adduksi pinggul terbatas pada sisi yang sakit
Maneuver Barlow (+)
Maneuver ortolani (+)
b. Anak Yang sudah Besar
Gaya berjalan seperti bebek
Condong ke sisi badan yang menahan beban
Peningkatan lordosis lumbal saat berdiri
Tanda Tredelenberg (+)

6. Komplikasi
a. Displasia persisten
b. Dislokasi kambuhan
c. Nekrosis avaskular

7. Uji Laboratorium
Dibuat Ro foto anteroposterior pelvis

8. Penatalaksanaan Medis
Selama periode neonatal --. Mengembalikan dan mempertahankan pinggul pada
posisi fleksi dan abduksi dengan menggunakan alat koreksi
Usia 2 bulan dan 12 sampai 18 bulan traksi dilanjutkan dengan reduksi terbuka
atau tertutup dan digunakan gips hip spica
b. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian musculoskeletal
Kaji tanda iritasi kulit
Kaji respon anak terhadap traksi dan immobilisasi dalam balutan gips

Pasca operasi kaji tanda vital dan drainase luka


Kaji tingkat perkembangan anak
Kaji kesiapan orang tua untuk merawat di rumah
2. Diagnosa Keperawatan
a. Hambatan mobilitas fisik
b. Resiko tinggi cedera
c. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit
d. Resiko tinggi perubahan tumbuh kembang
e. Kurang pengetahuan
3. Intervensi
1. Ajarkan orang tua cara memelihara dan merawat alat :
a. Harness Pelvik
Pertahankan pemakaian alat 3 6 bulan
Lakukan perawatan kulit gunakan lotion/lubricant
Ganti popok dengan sering
b. Brace adduksi
Lakukan perawatan kulit
Pantau adanya tanda iritasi pada kulit
Ganti popok dengan sering
2. Jika anak di reduksi terbuka
Siapkan orang tua untuk pelaksanaan pembedahan
Pantau respon anak setelah operasi (tanda vital, tiap 2 jam stabil --. Tiap 4 jam,
pantau adanya drainase gips, lakukan pemeriksaan sirkulasi awal pasca bedah,
kemudian setiap 4 jam)
Beri obat pengurang rasa sakit bila perlu

B. SKOLIOSIS
a. Konsep Medis
1. Defenisi
Skoliosis berasal dari kata Yunani yang berarti lengkungan, mengandung arti kondisi
patologik.Vertebra servikal, torakal, dan lumbal membentuk kolumna vertikal

dengan pusat vertebra berada pada garis tengah. Skoliosis adalah deformitas
kelainan tulang belakang yang menggambarkan deviasi vertebra kearah lateral dan
rotasional.
Skoliosis adalah kelengkungan tulang belakang yang abnormal ke arah samping,
yang dapat terjadi pada segmen servikal (leher), torakal (dada) maupun lumbal
(pinggang).
Kesimpulan, skoliosis mengandung arti kondisi patologik yaitu kelengkungan tulang
belakang yang abnormal ke arah samping.

Gambar. 1.1
2. Etiologi
Penyebab terjadinya skoliosis diantaranya kondisi osteopatik, seperti fraktur,
penyakit tulang, penyakit arthritis, dan infeksi. Pada skoliosis berat, perubahan
progresif pada rongga toraks dapat menyebabkan perburukan pernapasan dan
kardiovaskuler.
Terdapat 3 penyebab umum dari skoliosis:
a. Kongenital (bawaan), biasanya berhubungan dengan suatu kelainan dalam
pembentukan tulang belakang atau tulang rusuk yang menyatu
b. Neuromuskuler, pengendalian otot yang buruk atau kelemahan otot atau
kelumpuhan akibat penyakit berikut:
1) Cerebral palsy
2) Distrofi otot
3) Polio
4) Osteoporosis juvenile
c. Idiopatik, penyebabnya tidak diketahui.

3. Klasifikasi
Skoliosis dapat dibagi atas dua yaitu
a. Skoliosis struktural
Skoliosis tipe ini bersifat irreversibel ( tidak dapat di perbaiki ) dan dengan rotasi
dari tulang punggung. Komponen penting dari deformitas itu adalah rotasi vertebra,
processus spinosus memutar kearah konkavitas kurva.
Tiga bentuk skosiliosis struktural yaitu :

1) Skosiliosis Idiopatik. adalah bentuk yang paling umum terjadi dan diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok :
a) Infantile : dari lahir - 3 tahun.
b) Anak-anak : 3 tahun - 10 tahun
c) Remaja : Muncul setelah usia 10 tahun ( usia yang paling umum )
2) Skoliosis Kongenital adalah skoliosis yang menyebabkan malformasi satu atau
lebih badan vertebra.
3) Skoliosis Neuromuskuler, anak yang menderita penyakit neuromuskuler (seperti
paralisis otak, spina bifida, atau distrofi muskuler) yang secara langsung
menyebabkan deformitas.
b. Skoliosis nonstruktural ( Postural ):
Skoliosis tipe ini bersifat reversibel (dapat dikembalikan ke bentuk semula), dan
tanpa perputaran (rotasi) dari tulang punggung.. Pada skoliosis postural, deformitas
bersifat sekunder atau sebagai kompensasi terhadap beberapa keadaan di luar
tulang belakang, misalnya dengan kaki yang pendek, atau kemiringan pelvis akibat
kontraktur pinggul, bila pasien duduk atau dalam keadaan fleksi maka kurva
tersebut menghilang.

4. Tanda dan Gejala


Gejalanya berupa:
a.Tulang belakang melengkung secara abnormal ke arah samping
b. Bahu dan atau pinggul kiri dan kanan tidak sama tingginya
c. Nyeri punggung
d. Kelelahan pada tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama
e. Skoliosis yang berat (dengan kelengkungan yang lebih besar dari 60 )
bisa menyebabkan gangguan pernafasan.
f. Kebanyakan pada punggung bagian atas, tulang belakang membengkok ke kanan
dan pada punggung bagian bawah, tulang belakang membengkok ke kiri; sehingga
bahu kanan lebih tinggi dari bahu kiri. Pinggul kanan juga mungkin lebih tinggi dari
pinggul kiri.

5. Patofisiologi
Skoliosis adalah kondisi abnormal lekukan tulang belakang, Skoliosis di turunkan,
serta umumnya sudah terjadi sejak masa kanak-kanak. Penyebabnya tidak
diketahui dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan postur tubuh, diet, olahraga,

dan pemakaian backpack. Dan ternyata, anak perempuan lebih sering terkena
ketimbang anak laki-laki. Penyebab lain dari skoliosis yaitu infeksi kuman TB daerah
korpus vertebra ( spondiliatis ) dan terjadi perlunakan korpus.
Perubahan postural berupa lengkungan berbentuk S dan C terjadi pada tulang
spinal atau termasuk rongga tulang spinal. Derajat lengkungan penting untuk di
ketahui apakah terjadi penekanan pada paru-paru dan jantung. Umumnya sih,
skoliosis tidak akan memburuk, dan yang terpenting adalah lakukan check up
secara teratur (setiap 3 sampai 6 bulan). Catatan: Pada kondisi yang berat, bisa
terjadi nyeri punggung, kesulitan bernapas, atau kelainan bentuk tubuh. Bisa jadi,
anak perlu brace (alat khusus) atau harus dioperasi. Tidak ada patokan baku untuk
membantu membuat keputusan penanganan skoliosis, karena sangat dipengaruhi
usia anak, derajat pembengkokan tulang punggung, serta prediksi tingkat
keparahan sejalan dengan pertumbuhannya.

6. Komplikasi
Walaupun skoliosis tidak mendatangkan rasa sakit, penderita perlu dirawat seawal
mungkin. Tanpa perawatan, tulang belakang menjadi semakin bengkok dan
menimbulkan berbagai komplikasi seperti :
a. Kerusakan paru-paru dan jantung.
Ini boleh berlaku jika tulang belakang membengkok melebihi 700. Tulang rusuk akan
menekan paru-paru dan jantung, menyebabkan penderita sukar bernafas dan cepat
capai. Justru, jantung juga akan mengalami kesukaran memompa darah. Dalam
keadaan ini, penderita lebih mudah mengalami penyakit paru-paru dan pneumonia.
b. Sakit tulang belakang.
Semua penderita, baik dewasa atau kanak-kanak, berisiko tinggi mengalami
masalah sakit tulang belakang kronik. Jika tidak dirawat, penderita mungkin akan
menghidap masalah sakit sendi. Tulang belakang juga mengalami lebih banyak
masalah apabila penderita berumur 50 atau 60 tahun.

7. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan fisik penderita biasanya diminta untuk membungkuk ke depan
sehingga pemeriksa dapat menentukan kelengkungan yang terjadi.
Pemeriksaan neurologis (saraf) dilakukan untuk menilai kekuatan, sensasi atau
refleks.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
a. Skoliometer adalah sebuah alat untuk mengukur sudut kurvaturai.
Cara pengukuran dengan skoliometer dilakukan pada pasien dengan posisi
membungkuk, kemudian atur posisi pasien karena posisi ini akan berubah-ubah

tergantung pada lokasi kurvatura, sebagai contoh kurva dibawah vertebra lumbal
akan membutuhkan posisi membungkuk lebih jauh dibanding kurva pada thorakal.
Kemudian letakkan skoliometer pada apeks kurva, biarkan skoliometer tanpa
ditekan, kemudian baca angka derajat kurva.Pada screening, pengukuran ini
signifikan apabila hasil yang diperoleh lebih besar dari 50, hal ini biasanya
menunjukkan derajat kurvatura > 200 pada pengukuran cobbs angle pada radiologi
sehingga memerlukan evaluasi yang lanjut
b. Rontgen tulang belakang X-Ray Proyeksi Foto polos : Harus diambil dengan
posterior dan lateral penuh terhadap tulang belakang dan krista iliaka dengan posisi
tegak, untuk menilai derajat kurva dengan metode Cobb dan menilai maturitas
skeletal dengan metode Risser. Kurva structural akan memperlihatkan rotasi
vertebra, pada proyeksi posterior-anterior, vertebra yang mengarah ke puncak
prosessus spinosus menyimpang kegaris tengah; ujung atas dan bawah kurva
diidentifikasi sewaktu tingkat simetri vertebra diperoleh kembali.Cobb Angle diukur
dengan menggambar garis tegak lurus dari batas superior dari vertebra paling atas
pada lengkungan dan garis tegak lurus dari akhir inferior vertebra paling bawah.
Perpotongan kedua garis ini membentuk suatu sudut yang diukur. Maturitas
kerangka dinilai dengan beberapa cara, hal ini penting karena kurva sering
bertambah selama periode pertumbuhan dan pematangan kerangka yang cepat.
Apofisis iliaka mulai mengalami penulangan segera setelah pubertas; ossifikasi
meluas kemedial dan jika penulangan krista iliaka selesai, pertambahan skoliosis
hanya minimal. Menentukan maturitas skeletal melalui tanda Risser, dimana
ossifikasi pada apofisis iliaka dimulai dari Spina iliaka anterior superior (SIAS) ke
posteriormedial. Tepi iliaka dibagi kedalam 4 kuadran dan ditentukan kedalam grade
0 sampai 5.
Derajat Risser adalah sebagai berikut :
Grade 0 : tidak ada ossifikasi,
grade 1 : penulangan mencapai 25%,
grade 2 : penulangan mencapai 26-50%,
grade 3 : penulangan mencapai 51-75%,
grade 4 : penulangan mencapai 76%
grade 5 : menunjukkan fusi tulang yang komplit.
c. MRI ( jika di temukan kelainan saraf atau kelainan pada rontgen )
8. Penatalaksanaan
Adapun pilihan terapi yang dapat dipilih, dikenal sebagai The three Os adalah :
a. Observasi
Pemantauan dilakukan jika derajat skoliosis tidak begitu berat, yaitu <250 pada
tulang yang masih tumbuh atau <500 pada tulang yang sudah berhenti
pertumbuhannya. Rata-rata tulang berhenti tumbuh pada saat usia 19 tahun.

Pada pemantauan ini, dilakukan kontrol foto polos tulang punggung pada waktuwaktu tertentu. Foto kontrol pertama dilakukan 3 bulan setelah kunjungan pertama
ke dokter. Lalu sekitar 6-9 bulan berikutnya bagi yang derajat <200 dan 4-6 bulan
bagi yang derajatnya >200.
b. Orthosis
Orthosis dalam hal ini adalah pemakaian alat penyangga yang dikenal dengan
nama brace. Biasanya indikasi pemakaian alat ini adalah :
1) Pada kunjungan pertama, ditemukan derajat pembengkokan sekitar 250
2) Terdapat progresifitas peningkatan derajat sebanyak 250
Jenis dari alat orthosis ini antara lain :
a) Milwaukee
b) Boston
c) Charleston bending brace
Alat ini dapat memberikan hasil yang cukup signifikan jika digunakan secara teratur
23 jam dalam sehari hingga masa pertumbuhan anak berhenti.
c. Operasi
Tidak semua skoliosis dilakukan operasi. Indikasi dilakukannya operasi pada
skoliosis adalah :
1)Terdapat progresifitas peningkatan derajat pembengkokan >40-45o pada anak
yang sedang tumbuh
2)Terdapat kegagalan setelah dilakukan pemakaian alat orthosis
3)Terdapat derajat pembengkokan >50o pada orang dewasa

b. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Pemeriksaan fisik meliputi :
a. Mengkaji skelet tubuh
Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang abnormal akibat
tumor tulang. Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak
dalam kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada tulang panjang atau gerakan
pada titik selain sendi biasanya menandakan adanya patah tulang.
b. Mengkaji tulang belakang
Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang)

c. Mengkaji sistem persendian


Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas, stabilitas, dan adanya
benjolan, adanya kekakuan sendi.
d. Mengkaji system otot
Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan ukuran masingmasing otot. Lingkar ekstremitas untuk memantau adanya edema atau atropfi,
nyeri otot.
e. Mengkaji cara berjalan
Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah satu
ekstremitas lebih pendek dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang
berhubungan dengan cara berjalan abnormal (mis.cara berjalan spastic hemiparesis
- stroke, cara berjalan selangkah-selangkah penyakit lower motor neuron, cara
berjalan bergetar penyakit Parkinson).
f. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer
Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau lebih dingin
dari lainnya dan adanya edema.Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut
perifer, warna, suhu dan waktu pengisian kapiler.

2. Analisa data
DS :
Pasien mengatakan nyeri punggung
Pasien mengatakan kelelahan di tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama
Pasien mengatakan kesusahan bernafas
DO :
Bahu yang tampak tidak sama tinggi
Tampak tonjolan skapula yang tidak sama
Tampak pinggul yang tidak sama

3. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penekanan nyeri
b. Nyeri punggung berhubungan dengan posisi tubuh miring ke lateral
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan postur tubuh yang tidak seimbang

d. Gangguan citra tubuh atau konsep diri yang berhubungan dengan postur tubuh
miring ke
lateral.

4. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penekanan paru
1) Tujuan : Pola nafas efektif
2) Intervensi :
a) Kaji status pernafasan setiap 4 jam
b) Bantu dan ajarkan pasien melakukan nafas dalam setiap 1 jam
Rasional :
Meningkatkan ventilasi maksimal dan oksigenasi dan menurunkan/mencegah
atelektasis
c) Atur posisi tidur semi fowler untuk meningkatkan ekspansi paru
Rasional :
Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan
d) Pantau tanda vital setiap 1 jam
Rasional :
Indikator umum, status sirkulasi dan keadekuatan perfusi
b. Nyeri punggung berhubungan dengan posisi tubuh miring ke lateral
1) Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
2) Intervensi :
a) Kaji tipe, intensitas dan lokasi nyeri
Rasional :
Mempengaruhi pilihan / pengawasan keefektifan intervensi tingkat ansietas dapat
mempengaruhi terhadap nyeri.
b) Ajarkan relaksasi dan tehnik distraksi
Rasional :
Untuk mengalihkan perhatian sehingga mengurangi nyeri
c) Ajarkan dan anjurkan pemakaian brace
Rasional :

Untuk mengurangi nyeri saat aktivitas


d) Kolaborasi dalam pemberian analgesi
Rasional :
Untuk meredakan nyeri.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan postur tubuh yang tidak seimbang
1) Tujuan : Meningkatkan mobilitas fisik
2) Intervensi
a) Kaji tingkat mobilitas fisik
Rasional :
Mempengaruhi pilihan / pengawasan keefektifan intervensi
b) Tingkatkan aktivitas jika nyeri berkurang
Rasional :
Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi
c) Bantu dan ajarkan latihan rentang gerak sendi aktif
Rasional :
Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi
d) Libatkan keluarga dalam melakukan perawatan diri
Rasional :
Keluarga yang kooperatif dapat meringankan petugas, dan memberikan
kenyamanan pada pasien
d. Gangguan citra tubuh atau konsep diri yang berhubungan dengan postur tubuh
yang miring ke lateral.
1) Tujuan : Meningkatkan citra tubuh
2) Intervensi :
a) Anjurkan untuk mengungkapkan perasaan dan masalahnya
Rasional :
Ekspresi emosi membantu pasien mulai menerima kenyataan dan realitas hidup
b) Beri harapan yang realistik dan buat sasaran jangka pendek untuk memudahkan
pencapaian
Rasional :

Harapan yang tidak realistik menyebabkan pasien mengalami kegagalan dan


menguatkan perasaan-perasaan tidak berdaya
c) Beri penghargaan untuk tugas yang di lakukan
Rasional :
Penguatan positif meningkatkan harga diri dan mendorong pengulangan perilaku
yang di harapkan
d) Beri dorongan untuk merawat dari sesuai toleransi
Rasional :
Meningkatkan kemandirian
( Doenges, E Marilynn.1999 )

C. IMOBILISASI
a. Konsep Medis
1. Definisi
Imobilisasi adalah ketidakmampuan untuk bergerak secara aktif akibat berbagai
penyakit atau impairment (gangguan pada alat/ organ tubuh) yang bersifat fisik
atau mental.
Imobilisasi adalah terapi utama untuk cedera jaringan lunak, tulang panjang,
ligament, vertebra dan sendi. Imobilisasi lama adalah untuk terapi atau karena sakit
atau kelemahan, dapat menimbulkan komplikasi hebat, banyak dari komplikasikomplikasi tersebut yang dapat dicegah.
Biasanya alasan immobilisasi pada anak atau pembatasan aktivitas pada anak
tanpa disability adalah sakit atau injury. Bed rest atau penggunaan alat restraining
mekanik merupakan tindakan yang paling sering dilakukan untuk penyembuhan
dan pemulihan. Saat anak sakit mereka cenderung diam dan aktivitasnya
berkurang. Anak terpaksa tidak active karena keterbatasan fisik/teraphy akan
memberikan efek terhadap keterbatasan gerak.

2. Etiologi
Alasan yang paling banyak untuk terjadinya immobilisasi antara lain:
1. Congenital defect (spina bifida)
2. Degenerative disorder (muscular dystropi)
3. Infeksi/injury pada system integument (luka baker)

4. Gangguan system musculoskeletal (fraktur/osteomielitis)


5. Gangguan neurologic system (spinal cord injury, polyneuritis, head injury)
6. Therapi (traksi, spinal fussion)

3. Efek/akibat Imobilisasi
a. Efek fisiologi
1. Sistem Muskular
Otot yang tidak aktif akan mengalami kehilangan kekuatan 3% per hari, dan dalam
hal ini tanpa defisit neuromuskular primer kadang-kadang memerlukan beberapa
minggu/bulan untuk dapat berfungsi kembali. Streching dapat terjadi seperti
kehilangan tonus otot atau seperti exessive strain (wirst drop/foot drop) dapat
terjadi karena kerusakan jaringan/atropi otot. Pada atropi otot yang general
penurunan kekuatan otot dan kekakuan pada persendian.

2. Sistem Skeletal
Kondisi skeletal sehari-hari akan dipertahankan antara aktivitas formasi tulang
(Osteoblastic activity) dan resporsi tulang (osteoclastic actinity). Bila stressing pada
tulang berkurang, aktivitas osteobalas menurun, akan dilanjutkan dengan destruksi
tulang, calsium tulang akan berkurang, sedangkan serum nirogen dan phospor
meningkat deminralisasi tulang (osteopenia) fraktur patologis dan peningkatan
kalsium darah. Pada anak yang tidak dapat bergerak, seperti anak dengan
penurunan kesadaran, pergerakan menjadi terbatas kontrkator persendian.
Kontraktor paling sering di hip lutut, bahu, paintar kaki.
3. Sistem Cardio vascular
Ada tiga efek yang dapat terjadi pada system kardio vaskuler:
a. Hypotensi ortostatik
b. Peningkatan kerja jantung
c. Trombus formation
4. Sistem Respiratory
Basal Metabolisme Rate (BMR) menurun karena adanya penurunan kebutuhan
energi dalam sel kebutuhan sel akan oksigen menurun produksi CO2,
berkurang penurunan kebutuhan O2 dan CO2 menyebabkan respirasi menjadi
lambat dan dalam. Expansi dada terbatas karena adanya distensi abdomen akibat
akumulasi feses, gas dan cairan atau karena penggunaan alat yang membatasi
gerak seperti body cast, brace, tight bindes.
5. Sistem Gastro intestinal

Immobilisasi yang lama dapat menyebabkan balance nitrogen yang negatif yang
disebabkan oleh peningkatan aktivitas katabolisme penurunan kontribusi energi
ingesti nutrisi menurun nafsu makan menurun. Penurunan aktivitas efek
gravitational pada pergerakan feses fases menjadi keras sulit untuk dikeluarkan
konstipasi.
6. Sistem Renal
Struktur dalam sistem perkemihan dirancang untuk posisi tegak lurus sehingga bila
terjadi perubahan posisi kontraksi peristaltik ureter akan memberikan tahanan
terhadap kandung kemih urine menjadi statis merangsang pembentukan batu
batu dalam saluran kemih.
Batu dalm saluran kemih urine statis media untuk pertumbuhan mikro
organisme infeksi saluran kemih.
7. Sistem Integument
Akibat immobilisasi dapat menyebabkan aliran darah menurun terutama pada
daerah yang tertekan (sacrum, occiput, trokanter dan ankle) distribusi O2 dan
nutrisi menurun ischemia jaringan nekritic jaringan ulcer (decubitus)
8. Sistem Neurosensory
Menurut hasil penelitian efek immobilisasi terhadap sistem neurosensory tidak
begitu terlihat. Dua hal yang dapat terjadi : loss of innervation dan sensory and
perceptual deprivation.

b. Efek psikologis
1 Tingkat kecemasan lebih tinggi
a. Resietness
b. Sulit melaksanakan problem solving
c. Depresi
d. Regresi
e. egosentris
2. Monotomy dapat mengakibatkan
a. Sluggist intellectual response
b. Sluggist psychomotor response
c. Penurunan kemampuan komunikasi
d. Fantastis meningkat
e Halusinasi

f. Disorentasi
g. Ketergantungan
h. Perilaku yang tidak biasa

c. Efek terhadap keluarga


1. Penurunan status finansial (sumber keuangan keluarga berkurang)
2. Fokus keluarga terhadap anak sakit, sehingga sibling merasa disia-siakan
3. Koping individu dan keluarga tidak efektif sehingga tidak dapat menanggulangi
krisis keluarga yang terjadi
4. Orang tua selalu merasa bersalah atas sakit anaknya.

b. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Mengkaji skelet tubuh
Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang abnormal akibat
tumor tulang. Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak
dalam kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada tulang panjang atau gerakan
pada titik selain sendi biasanya menandakan adanya patah tulang.
b. Mengkaji tulang belakang
- Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang)
- Kifosis (kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada)
- Lordosis (membebek, kurvatura tulang belakang bagian pinggang berlebihan)
c. Mengkaji sistem persendian
- Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif,
- Deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan, adanya
- Kekakuan sendi
d. Mengkaji sistem otot
Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan ukuran masingmasing otot. Lingkar ekstremitas untuk mementau adanya edema atau atropfi,
nyeri otot.
e. Mengkaji cara berjalan

Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah satu
ekstremitas lebih pendek dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang
berhubungan dengan caraberjalan abnormal (mis. cara berjalan spastic hemiparesis
stroke, cara berjalan selangkah-selangkah penyakit lower motor neuron, cara
berjalan bergetar penyakit Parkinson).
f. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer
Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau lebih dingin
dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut
perifer, warna, suhu dan waktu pengisian kapiler.

2. Diagnosa keperawatan
a. Perubahan mobilitas fisik b/d restriksi mekanik, physical ability
b. Devisit aktivitas b/d Imobilitas
c. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d fraktur
d. Resiko terjadinya gangguan kulit b/d Imobilitas

3. Intervensi Keperawatan
1. Pindahkan anak dengan menggunakan kursi roda atau brankar
2. Ubah posisi tempat tidur dalam ruangan
3. Ubah posisi anak ditempat tidur jika memungkinkan
4. Berikan alat mobilisasi pada anak Kruk atau kursi roda
5. Kaji skala nyeri
6. Berikan posisi yang nyaman
7. Berikan analgetik seperlunya

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
CDH adalah deformitas ortopedik yang didapat segera sebelum atau pada saat
kelahiran, Kondisi ini mengacu pada malformasi sendi pinggul selama
perkembangan janin. Kondisi ini dapat disebabkan oleh cara kaki janin ditempatkan
di dalam rahim. Hal ini lebih cenderung terjadi pada orang dengan riwayat keluarga
dari kekacauan.
Skoliosis adalah kelengkungan tulang belakang yang abnormal ke arah samping,
yang dapat terjadi pada segmen servikal (leher), torakal (dada) maupun lumbal
(pinggang).
Penyebab umum dari skoliosis meliputi kongenital, neuromuskuler dan idiopatik,
Skoliosis di bagi menjadi dua yaitu skoliosis struktural dan non struktural. Gejala
dari skoliosis berupa kelengkungan abnormal ke arah samping, bahu dan pinggul
tidak sama tinggi, nyeri punggung, kelelahan pada tulang belakang, dan gangguan
pernafasan.
Imobilisasi adalah ketidakmampuan untuk bergerak secara aktif akibat berbagai
penyakit atau impairment (gangguan pada alat/ organ tubuh) yang bersifat fisik
atau mental. Imobilisasi adalah terapi utama untuk cedera jaringan lunak, tulang
panjang, ligament, vertebra dan sendi. Imobilisasi lama adalah untuk terapi atau
karena sakit atau kelemahan, dapat menimbulkan komplikasi hebat, banyak dari
komplikasi-komplikasi tersebut yang dapat dicegah.

B.Saran
1. Perawat harus banyak membaca dan memperbanyak referensi sehingga
meningkatkan pemahaman tentang penganan pada kasus sistem muskuloskeletal
khususnya pada kasus CDH, Skoliosis, Immobilisasi.
2. Perawat harus teliti dan selalu memantau perkembangan kesehatan pasien
3. Perawat membekali pasien dan keleuarga pasien dengan pengetahuan tenttang
kasus CDH, kasus CDH, Skoliosis, Immobilisasi..

DAFTAR PUSTAKA

Alpers, Ann. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol. 3. Jakarta : EGC
Cecilly L. Belz Phd. Rn dan Linda A. Sowoen Mn. Rn, 2002 ed.III. Keperawatan
Pediatri; Jakarta. EGC Doengoes, Marylinn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan.
Jakarta : EGC
http://cahyanisukman.blogspot.com/2011/01/asuhan-keperawatan-anakdengan.html
Keperawatan anak, 2008 : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Nettina, Sandra, M. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta : EGC
Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Bintang
Lamumpatue
Wong. 2004. Pedoman klinis keperawatan pediatric. Jakarta: EGC

You might also like