You are on page 1of 16

REFERAT

TUBERCULOSIS PARU DENGAN DIABETES MELITUS

Oleh:

Andrie Febriansyah, S.Ked


Desti Omega Rohyadi, S.Ked
Yuli Darlinawati, S.Ked

Pembimbing :
dr. Toni Prasetia, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2016

Halaman Pengesahan

Judul Refrat : Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus


Disusun oleh :
Andrie Febriansyah, S.Ked
Desti Omega Rohyadi, S.Ked
Yuli Darlinawati, S.Ked

11310034
11310093
11310412

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Rumah Sakit Pertamina
Bintang Amin Bandar Lampung.

Bandar Lampung, Oktober 2016


Pembimbing

dr. Toni Prasetia, Sp.PD

BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sampai saat ini masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh dunia.
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2011 mengenai perkiraan
kasus TB secara global disebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat insidensi TB
sebanyak 8,59,2 juta kasus per tahun,1 sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1,7 juta
kematian akibat TB. Pengendalian TB saat ini diperkirakan mulai mengalami kendala
seiring dengan peningkatan jumlah pasien diabetes mellitus (DM) di dunia, yaitu
terdapat sekitar 285 juta pasien DM dan akan bertambah menjadi 438 juta di tahun
2030.2
Hubungan antara TB dan DM telah lama diketahui karena pada kondisi diabetes
terdapat penekanan pada respon imun penderita yang selanjutnya akan mempermudah
terjadinya infeksi oleh mikobakteri Mycobacterium tuberculosis (M.tb) dan kemudian
berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Pasien dengan diabetes memiliki risiko
terkena tuberkulosis sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. 2
Interaksi antara penyakit kronik seperti TB dengan DM perlu mendapatkan perhatian
lebih lanjut karena kedua kondisi penyakit tersebut seringkali ditemukan secara
bersamaan yaitu sekitar 42,1%, terutama pada orang dengan risiko tinggi menderita TB.3
Diabetes mellitus telah dilaporkan dapat mempengaruhi gejala klinis TB serta
berhubungan dengan respons lambat pengobatan TB dan tingginya mortalitas.
Peningkatan reaktivasi TB juga telah dicatat pada penderita DM. 3 Sebaliknya juga
bahwa penyakit tuberkulosis dapat menginduksi terjadinya intoleransi glukosa dan
memperburuk kontrol glikemik pada pasien dengan DM, namun akan mengalami
perbaikan dengan pengobatan anti TB (OAT).4 Upaya pencegahan dan pengendalian dua
penyakit mematikan DM dan TB sangat penting untuk menurunkan mortalitas karena
TB, oleh karena itu penting untuk diketahui bagaimana mekanisme DM dapat
menyebabkan TB dan bagaimana TB dapat mempengaruhi kontrol glikemik pada
penderita DM.

BAB II
HUBUNGAN TUBERKULOSIS DAN DIABETES MELITUS
Risiko tuberkulosis pada diabetes mellitus
Jumlah penyakit tidak menular tercatat sebesar 47% dari seluruh beban penyakit
yang ada di negara berkembang pada tahun 1990 sedangkan penyakit menular masih
menempati urutan pertama sebagai masalah di bidang kesehatan, namun pada tahun
2020 akan terjadi kondisi sebaliknya yaitu persentase penyakit tidak menular
diperkirakan akan meningkat menjadi sebesar 69%. Meningkatnya industrialisasi dan
urbanisasi menyebabkan meningkatnya angka obesitas dan diabetes. Pada tahun 2000
terdapat sekitar 171 juta orang yang menderita diabetes yang jumlahnya akan terus
meningkat menjadi 366 440 juta di tahun 2030, tiga perempat dari jumlah penderita
diabetes tersebut hidup di negara berkembang. Sementara itu TB masih menjadi
penyakit dengan angka kematian yang tinggi, terdapatnya komorbid seperti diabetes
menyebabkan penatalaksanaan dan kontrol penyakit TB menjadi sulit. Beberapa
penelitian menemukan bahwa kombinasi penyakit TB dan DM sering ditemukan baik di
negara berkembang maupun di negara maju.4
Tahun 1934, Root melakukan penelitian tentang TB dan DM menemukan bahwa
kejadian TB pada orang dewasa dengan DM ternyata banyak ditemukan dari yang
diperkirakan serta risiko untuk terkena TB sangat tinggi pada penderita DM anak-anak
dan remaja. Penyakit TB ini lebih sering ditemukan pada penderita DM dengan kontrol
glikemik yang buruk. Root juga menyatakan bahwa pada pertengahan abad ke-19,
pasien DM yang bisa lolos dari koma diabetikum pada akhirnya akan meninggal karena
penyakit TB.4,5 Penelitian yang dilakukan di Philadelphia pada tahun 1952
mengungkapkan bahwa dari 3.106 penderita DM terdapat sekitar 8,4% yang menderita
TB paru dibandingkan dengan 4,3% penderita TB dari 71767 orang tanpa DM.
Tuberkulosis lebih banyak muncul pada penderita DM yang telah memiliki penyakit DM
selama lebih dari 10 tahun yaitu sekitar 17% dibandingkan penderita DM kurang dari 10
tahun yaitu hanya sekitar 5% saja yang menderita TB. Tuberkulosis ditemukan lebih
tinggi prevalensnya pada penderita DM yang memerlukan insulin lebih dari 40 unit per
hari.4,6
Suatu penelitian longitudinal di Korea selama 3 tahun pada 800.000 pegawai
negeri sipil mendapatkan risiko relatif TB pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol

tanpa DM adalah sebesar 3,47. Penelitian di Hongkong selama 5 tahun pada 42.000
geriatri juga mendapatkan risiko untuk terkena TB aktif adalah lebih besar pada pasien
dengan DM dibandingkan dengan pasien tanpa DM, namun peningkatan risiko tersebut
hanya didapatkan pada pasien-pasien DM dengan kadar hemoglobin terglikosilasi (Hb
A1c) lebih besar dari 7%.4 Diabetes mellitus tetap menjadi salah satu faktor risiko
terpenting untuk penyakit TB bersama dengan infeksi, malnutrisi, alkoholisme dan HIV
di negara India. Prevalens TB paru pada penderita DM di India bervariasi dari 3,3%
menjadi 8,3% atau sekitar 4 kali dari populasi umum.6
Gangguan fungsi imun pada diabetes mellitus
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang dapat menyebabkan penurunan
sistem imunitas selular. Terdapat penurunan jumlah sel limfosit T dan netrofil pada
pasien DM yang disertai dengan penurunan jumlah T helper 1 (Th1) dan penurunan
produksi mediator inflamasi seperti TNF , IL-1 serta IL-6. Limfosit Th1 mempunyai
peranan penting untuk mengontrol dan menghambat pertumbuhan basil M.tb, sehingga
terdapatnya penurunan pada jumlah maupun fungsi limfosit T secara primer akan
bertanggungjawab terhadap timbulnya kerentanan pasien DM untuk terkena TB. Fungsi
makrofag juga mengalami gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk
menghasilkan reactive oxygen species, fungsi kemotaksis dan fagositik yang menurun.7
Infeksi oleh basil tuberkel akan menyebabkan gangguan yang lebih lanjut pada sitokin,
makrofag-monosit dan populasi sel T CD4/CD8. Keseimbangan antara sel limfosit T
CD4 dan CD8 memainkan peranan penting dalam mengatur pertahanan tubuh melawan
mikobakteri dan menentukan kecepatan regresi pada TB aktif.6
Derajat hiperglikemi juga berperan dalam menentukan fungsi mikrobisida pada
makrofag. Pajanan kadar gula darah sebesar 200 mg% secara signifikan dapat menekan
fungsi penghancuran oksidatif dari makrofag. Penderita DM yang kurang terkontrol
dengan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) tinggi menyebabkan TB menjadi lebih
parah dan berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi. Selain terjadi kerusakan
pada proses imunologi, pada pasien DM juga terdapat gangguan fisiologis paru seperti
hambatan dalam proses pembersihan sehingga memudahkan penyebaran infeksi pada
inang. Glikosilasi non enzimatik pada protein jaringan menginduksi terjadinya gangguan
pada fungsi mukosilier atau menyebabkan neuropati otonom diabetik sehingga
menyebabkan abnormalitas pada tonus basal jalan napas yang mengakibatkan

menurunnya reaktifitas bronkus serta bronkodilatasi.5,6 Gangguan fungsi imun dan


fisiologi paru pada pasien DM dijelaskan pada tabel 1.
Tabel 1. Gangguan fungsi imun dan fisiologis paru penderita DM .
Kelainan fungsi imunologi paru pada DM
Disfungsi fisiologis paru pada DM
Gangguan
kemotaksis,
perlengketan,
Reaktifitas bronkial berkurang
fagositosis dan mikrobisida polimorfonuklear
Penurunan monosit perifer dengan gangguan
fagositosis

Penurunan elastic recoil dan volume paru

Buruknya fungsi transformasi sel blast menjadi


limfosit

Penurunan kapasitas difusi

Cacat fungsi opsonisasi C3.

Sumbatan mukus pada saluran napas


Penurunan respons ventilasi terhadap
hipoksemia
Dikutip dari 8,9

Hiperglikemia akibat tuberkulosis


Pada awal abad ke-19, Root mengatakan bahwa pasien TB tidak akan
berkembang menjadi DM dibandingkan dengan pasien bukan TB, namun pandangan ini
kemudian berubah pada tahun 1957 setelah Nichols menemukan bahwa pada 178 pasien
TB ternyata 5% berkembang menjadi DM dan 22% memperlihatkan kelainan pada uji
penapisan. Penelitian multisenter yang diadakan di India pada tahun 1987 menemukan
prevalensi DM yang sebelumnya tidak terduga pada pasien TB adalah sebesar 9,7% ,
pada laki-laki usia diatas 40 tahun didapatkan angka prevalensi sebesar 17,8%
dibandingkan dengan usia di bawah 40 tahun yaitu sebesar 5,1%. Sementara pada
perempuan masing-masing adalah sebesar 23,5% dan 4,0%. Secara keseluruhan untuk
laki-laki dan perempuan masing-masing menjadi 10% dan 8,7%.6
Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk. menemukan 13%
pasien TB ternyata memiliki DM, jumlah ini lebih besar bila dibandingkan kontrol tanpa
TB dengan usia dan jenis kelamin yang sama yaitu hanya sebesar 3,2% yang memiliki
DM, dari 13% pasien tersebut ternyata 60% didiagnosis sebagai pasien DM baru.10
Penelitian di Nigeria juga mendapatkan hasil bahwa pada pasien TB yang disertai
dengan gangguan toleransi glukosa ternyata setelah 3 bulan diberikan pengobatan TB
hasil tes toleransi glukosa kembali normal. 4,6 Penelitian di Tanzania pada 506 pasien TB

paru dengan sputum bakteri tahan asam (BTA) positif, 9 di antaranya diketahui
menderita DM. Diabetes mellitus yang didiagnosis melalui tes toleransi glukosa oral
(TTGO) pada 11 pasien TB tambahan memberikan peningkatan pada prevalens DM
menjadi 4%. Gangguan toleransi glukosa (GTG) terdapat pada 82 pasien (16,2%).
Sebagai perbandingan survei TTGO serupa yang dilakukan Guptan dan Shah pada suatu
komunitas mendapatkan prevalens DM hanya sebesar 0,9% dan GTG sebesar 8,8%.6
Gangguan toleransi glukosa pada TB jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
DM. Walaupun GTG dapat kembali normal pada sejumlah besar kasus TB dengan
kemoterapi yang efektif, namun persentase yang lebih tinggi pada GTG adalah
signifikan karena menurut National Diabetes Data Group dari National Institutes of
Health 1-5 persen dari pasien dengan GTG dapat berkembang menjadi DM setiap
tahunnya.6 Data-data yang telah ditemukan di atas menekankan pentingnya dilakukan uji
penapisan DM pada pasien TB.
Intoleransi glukosa pada tuberkulosis
Terdapatnya kondisi seperti stres akut merupakan penyebab penting pada
perkembangan GTG. Demam, inaktifitas yang berlarut-larut dan malnutrisi dapat
merangsang hormon stres seperti: epinefrin, glukagon, kortisol dan hormon
pertumbuhan yang bekerja secara sinergis meningkatkan kadar gula darah lebih dari 200
mg%. Kadar plasma IL-1 dan TNF juga meningkat pada penyakit berat yang dapat
merangsang sekresi hormon anti-insulin. Usia, penyakit komorbid dan alkohol juga
dapat mempengaruhi respons inang. Kadar serum hormon adrenokortiko-tropin, kortisol
dan T3 ditemukan menurun pada pasien TB, kelainan ini menyebabkan kemampuan
respons inang terhadap stress menjadi terganggu.6
Fungsi endokrin pankreas dapat mengalami gangguan pada kasus TB yang berat
dan ternyata insidens pankreatitis kronis yang disertai dengan kalsifikasi lebih tinggi
pada kasus DM dengan TB, mendorong suatu keadaan defisiensi insulin absolut. 11
Kelompok protein transporter asam lemak yang terdapat pada basil tuberkel
kemungkinan dapat menyebabkan disregulasi homeostasis energi pada penyakit TB. Gen
protein transporter asam lemak dari mikobakterium yang diekspresikan pada hepatosit
mamalia dapat meningkatkan ambilan asam lemak rantai panjang. Asam lemak rantai
panjang merupakan sumber energi penting pada sebagian besar organisme serta
berfungsi pula sebagai hormon darah yang mengatur berbagai fungsi penting seperti

metabolisme glukosa di hepar. Pada pasien TB terdapat gangguan metabolisme lipid


tersebut.6
Kerusakan pankreas akibat tuberkulosis
Bukti bukti yang menunjukkan mikobakterium dapat menyebabkan DM
meningkat dengan cepat dari waktu ke waktu. Seorang ahli patologi Dr. Phillip Schwarz
membuat hipotesis bahwa TB dapat menyebabkan DM karena terdapat amiloidosis pada
pankreas. Otopsi yang dilakukan pada 331 kasus amiloid berusia 16-87 tahun, Schwartz
menemukan lesi TB yang berasal dari infeksi TB saat anak-anak

dan 224 kasus

diantaranya terdapat amiloidosis pankreas. Sebagian besar pasien yang diotopsi tersebut
didiagnosis DM sebelum kematiannya sehingga diduga amiloidosis pada sel-sel
langerhans pankreas tersebut yang menyebabkan DM. Menurut Schwartz sebagian besar
kasus amiloidosis pada pankreas yang menyebabkan DM harus dianggap sebagai
kelainan imunologi yang disebabkan TB. Diabetes mudah ditemukan dengan uji
laboratorium rutin, namun TB tidak mudah untuk ditemukan sehingga proses kerusakan
tersebut berlangsung secara tersembunyi yang memerlukan waktu bertahun-tahun
sampai kelainan tersebut ditemukan.12
Schwartz menjelaskan terdapat dua mekanisme TB dapat menyerang pankreas
yaitu melalui reaksi imunobiologi toksik-alergi sebagai respon terhadap TB sistemik
yang disebut sebagai pankreatitis, mikroba menyerang pankreas melalui toksin M.tb dan
produk-produk inflamasinya dalam peredaran darah sehingga meningkatkan kerentanan
inflamasi (reaksi hipersensitivitas) dan menimbulkan amiloidosis. Schwartz mengakui
fakta bahwa mikroba tidak perlu selalu ditemukan dalam jaringan pankreas akan
membingungkan para ilmuwan untuk generasi mendatang karena mereka akan menduga
bahwa amiloidosis ini adalah suatu penyakit autoimun akibat ketidakmampuan untuk
mengenali infeksi TB tersebut.12
Mekanisme yang lain dan lebih sedikit kemungkinan terjadinya yaitu serangan
mikobakteri secara langsung ke organ pankreas melalui penyebaran tuberkel bakteri
dalam darah maupun melalui penetrasi jaringan perkejuan kelenjar getah bening
abdominal yang ada disekitar pankreas. Sel-sel langhans dan epiteloid, merupakan tanda
infeksi pada infeksi TB, biasanya tidak ditemukan pada jaringan pakreas, namun
terjadinya perkejuan dapat mendorong timbulnya kalsifikasi dan amiloidosis pada
pankreas. Lazarus dan Folk melaporkan bahwa ketika pankreas mengalami kalsifikasi
maka terdapat 23-50% insidens DM.

12

Elias dan Markovits melakukan percobaan pada

tikus dan menemukan penyebab diabetes juvenile tergantung insulin ternyata disebabkan
karena terdapat proses reaksi silang antigen, antigen tersebut berhubungan dengan heat
shock protein (HSP) yang ditemukan pada M tb yaitu HSP-65. Pada penelitiannya,
mereka melihat destruksi sel beta pankreas oleh limfosit yang bertujuan untuk
menghancurkan elemen dari mikobakteria yaitu HSP-65. Beberapa minggu kemudian
mulai terbentuk antibodi terhadap HSP-65 bersamaan dengan antibodi antiinsulin hingga
akhirnya muncullah kondisi DM tergantung insulin.13
GAMBARAN RADIOLOGI PADA PASIEN TB-DM
Gambaran radiologi pasien TB ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya lama
sakit dan status imunologi pasien. Pada tahun 1927, Sosman dan Steidl melaporkan
bahwa pada sebagian besar pasien TB-DM memiliki pola radiologi khusus yang terdiri
dari konfluen, kavitas, dan lesi berbentuk baji menyebar dari hilus menuju bagian tepi,
terutama pada zona bagian bawah paru, sementara pada pasien TB non DM lesi biasanya
berupa infiltrat di lobus atas paru.4,6 Penelitian yang dilakukan di Pakistan oleh Jabbar,
dkk pada 173 pasien TB-DM mendapatkan gambaran radiologi sebagian besar
melibatkan lapang bawah paru yaitu sebanyak 36%, lesi bilateral didapatkan pada 47%
pasien, efusi pleura sebanyak 32% pasien. Lesi juga disertai dengan kavitas yang secara
signifikan lebih sering ditemukan pada laki-laki sebanyak 32% dibandingkan dengan
perempuan sebanyak 15%.14
Anand dkk. meneliti gambaran radiologi 50 pasien TB paru dengan DM
menemukan bahwa 84% terdapat lesi TB di bagian lapang bawah paru, lebih banyak
dibandingkan dengan lesi yang terdapat di lapang atas paru yang hanya sebesar 16%.
Lesi bilateral sebanyak 32%, 20% pasien terdapat kavitas pada paru dengan sebagian
besar letak kavitas terdapat di lapang bawah paru yaitu 80%, lesi nodular ditemukan
pada 36% pasien dan lesi eksudatif pada 36% pasien. Mereka menyimpulkan bahwa
gambaran radiologis pasien TB paru dengan DM cenderung atipikal oleh karena itu bila
menemukan pasien DM dengan gambaran lesi di lapang bawah paru harus dipikirkan
kemungkinan infeksi TB sehingga dapat dilakukan diagnosis serta penanganan yang
tepat.15 Pada beberapa penelitian yang lain juga ditemukan gambaran radiologis yang
umum ditemukan pada pasien TB-DM adalah berupa lesi yang mengenai banyak lobus
serta kavitas multipel. Individu usia tua cenderung mengalami lesi di lobus bawah paru,

kemungkinan hal ini disebabkan karena terjadi perubahan tekanan oksigen alveolar di
lobus bawah paru yang disebabkan oleh pengaruh usia atau penyakit DM.4

DERAJAT KEPARAHAN PENYAKIT TB-DM DAN HASIL PENGOBATAN


Diabetes mellitus mengganggu sistem kekebalan terhadap TB sehingga
menyebabkan beban awal jumlah mikobakteri yang lebih tinggi dan waktu konversi
sputum yang lebih lama sehingga menyebabkan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi.
Tiga penelitian retrospektif menunjukkan bahwa beban awal mikobakteri lebih tinggi
pada pasien DM dibanding kontrol. Namun dari beberapa hasil penelitian yang menilai
konversi sputum-kultur menunjukkan hasil yang beragam tergantung pada variabel yang
digunakan. Pada salah satu studi yang menilai konversi sputum setelah minimal 2 bulan
pengobatan mendapatkan hasil proporsi konversi pasien DM ternyata adalah sama
dengan kontrol.4
Penelitian yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk. mendapatkan hasil bahwa DM
bukan faktor risiko kepositifan pada apus sputum maupun kultur sputum pada bulan ke2 pengobatan.16 Penelitian di Arab Saudi yang dilakukan pada 692 pasien TB BTApositif didapatkan 98,9% pasien DM dan 94,7% kontrol mengalami konversi sputum
TB BTA menjadi negatif pada bulan ke-3. Bagaimanapun juga pada beberapa penelitian
yang menilai waktu yang dibutuhkan untuk konversi apus sputum dan kultur sputum
pada pasien DM ternyata didapatkan hasil bahwa pada pasien DM dibutuhkan waktu
lebih lama untuk mencapai kultur negatif. Seperti penelitian yang dilakukan di Turki
pada pasien DM yang mendapatkan pengobatan TB, membutuhkan waktu konversi
kultur sputum lebih lama dibandingkan pasien non-DM (67 vs 55 hari, p = 0,02).4
Penelitian analisis masa tahan hidup yang digunakan untuk mengukur waktu
konversi kultur, secara bermakna didapatkan waktu tengah negatifitas kultur pada pasien
DM lebih lama dibanding kontrol (42 vs 37 hari, p = 0,03). Penelitian lain

juga

menemukan kecenderungan peningkatan waktu rata-rata konversi kultur pada pasien


DM (49 vs 39 hari, p = 0,09). Data-data tersebut menunjukkan bahwa beban awal
jumlah mikobakteri pada pasien DM mungkin lebih tinggi sehingga membutuhkan
waktu lebih lama untuk konversi kultur sputum, namun kecepatan konversi kultur
sputum pada pasien DM secara umum tidak jauh berbeda dengan pasien non DM yaitu
antara 2-3 bulan setelah pengobatan. Apakah peningkatan waktu konversi kultur pada
pasien DM dapat menyebabkan risiko kambuh lebih tinggi masih belum cukup diteliti.4

Pasien TB yang kemudian berkembang menjadi DM mempunyai derajat


keparahan penyakit yang lebih tinggi saat onset TB, mempunyai lesi paru yang lebih
banyak dan perubahan paru yang lebih besar saat penyembuhan dan sebaliknya pasien
DM yang terinfeksi TB memiliki kadar gula darah yang lebih tinggi dan kemungkinan
yang lebih besar untuk terjadi koma serta mikroangiopati.6 Diabetes mellitus juga diduga
sebagai predisposisi untuk terjadi gagal pengobatan dan meningkatan mortalitas pasien
TB. Penelitian di Mesir yang membandingkan 119 pasien dengan gagal pengobatan dan
119 kontrol didapatkan peningkatan risiko gagal pengobatan TB pada pasien DM adalah
3,9 kali. Penelitian yang dilakukan di Indonesia didapatkan kultur sputum setelah
pengobatan selama 6 bulan dengan kepatuhan berobat yang tinggi ternyata masih positif
pada 22,2% pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol sebesar 6,9%.

Dua

penelitian kohort retrospektif pasien TB paru di Maryland, Amerika Serikat


menunjukkan peningkatan risiko kematian sebesar 6,5-6,7 kali pada pasien DM
dibandingkan dengan non-DM. Diantara 416 kematian pada pasien TB di Sao Paulo,
Brazil ternyata DM merupakan komorbid yang paling sering didapatkan yaitu sebesar
16%. Penelitian-penelitian tersebut mengindikasikan bahwa gagal pengobatan dan
kematian pada TB lebih sering didapatkan pada pasien DM.2,4

PENATALAKSANAAN TB-DM
Interaksi obat anti tuberkulosis (OAT) dengan obat hipoglikemi oral (OHO)
Terdapat interaksi obat antara OAT dengan OHO, selain itu toksisitas obat juga
harus dipertimbangkan ketika memberikan terapi secara bersamaan pada TB-DM.
Pasien TB-DM juga memperlihatkan respon terapi yang lebih lambat terhadap OAT bila
dibandingkan dengan pasien non DM.2,4 Rifampisin merupakan suatu zat yang bersifat
inducer kuat terhadap enzim mikrosomal hepar yang terlibat dalam metabolisme suatu
zat termasuk enzim sitokrom P450 dan enzim fase II. Induksi pada enzim-enzim tersebut
menyebabkan peningkatan metabolisme obat-obatan lain yang diberikan bersamaan
dengan rifampisin sehingga mengurangi efek pengobatan yang diharapkan. Rifampisin
dapat menurunkan kadar OHO dalam darah pada golongan sulfonilurea (gliklazid,
gliburide, glpizide dan glimepirid) dan biguanid.4,5,6
Penurunan kadar OHO dalam darah yang disebabkan oleh rifampisin besarnya
bervariasi antara 20-70%.5 Takayasu dkk. mengamati bahwa rifampisin menginduksi
hiperglikemia fase awal yang dihubungkan dengan peningkatan penyerapan di usus,

namun tidak ada kasus diabetes yang nyata dan dia berpendapat bahwa rifampisin tidak
diabetogenik.6 Efek rifampisin secara langsung maupun tidak langsung terhadap kontrol
glikemik menyebabkan perlunya monitoring kadar gula disertai dengan penyesuaian
dosis OHO terutama pada pasien TB-DM. 4 Rifabutin sebuah rifamicin baru juga
menginduksi enzim metabolisme hepar namun efeknya tidak sekuat rifampisin. Isoniasid
(INH) dapat menyebabkan toksisitas berupa neuropati perifer yang dapat memperburuk
atau menyerupai neuropati diabetik, sehingga harus diberikan suplemen vitamin B6 atau
piridoksin selama pengobatan TB pada pasien DM. 4,5 Obat anti TB lain sangat jarang
mengganggu kadar gula darah. Dosis tinggi INH mungkin dapat menyebabkan
hiperglikemia dan pada kasus yang jarang DM mungkin menjadi sulit untuk dikontrol
pada pasien yang menggunakan Pirazinamid. Ethionamide juga dapat menyebabkan
hipoglikemia namun hal ini jarang terjadi.5,6
Diabetes mellitus juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada
farmakokinetik OAT mengakibatkan peningkatan risiko gagal pengobatan pada pasien
TB-DM. Diabetes mellitus mempunyai efek negatif terhadap pengobatan TB terutama
pada pasien-pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk sehingga angka kegagalan
dan kekambuhan TB lebih tinggi dibandingkan dengan pasien TB non DM. Konsentrasi
OAT plasma yang rendah berhubungan dengan gagal pengobatan dan resistensi obat
pada TB. Terdapatnya DM, berat badan yang lebih besar dan kadar glukosa darah yang
tinggi menyebabkan rendahnya konsentrasi rifampin plasma. 2,4,5 Penelitian Nijland dkk.
mendapatkan kadar rifampisin plasma 53% lebih rendah pada pasien TB-DM
dibandingkan dengan pasien TB non DM.16 Hal ini menunjukkan bahwa pada pasien
TB-DM yang lebih berat memerlukan dosis rifampin yang lebih besar dan kontrol
glikemik yang lebih baik untuk meningkatkan konsentrasi obat dalam plasma. 2 Diabetes
melitus juga dapat menyebabkan perubahan penyerapan obat oral, penurunan ikatan
protein dengan obat, insufisiensi ginjal, perlemakan hati dan gangguan bersihan obat.4

Prinsip pengobatan TB-DM

Pengobatan TB-DM meliputi pengobatan terhadap DM dan pengobatan TB paru


secara bersamaan. Terdapat beberapa prinsip dalam penatalaksaan pasien TB-DM,
yaitu :6
1. Pengobatan tepat.
2. Pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk harus dirawat untuk menstabilkan
kadar gula darahnya.
3. Insulin sebaiknya digunakan untuk mengontrol kadar gula darah.
4. Obat hipoglikemi oral hanya digunakan pada kasus DM ringan karena terdapat
interaksi Rifampisin dengan OHO.
5. Keseimbangan glikemik harus tercapai karena penting untuk keberhasilan terapi
OAT. Target yang harus dicapai yaitu kadar gula darah puasa <120 mg% dan HbA1c
<7%.
6. Kemoterapi yang efektif dan baik sangatlah penting, lakukan monitoring terhadap
efek samping obat terutama efek samping terhadap hepar dan system saraf.
Pertimbangkan penggunaan piridoksin pada pemberian INH terutama untuk pasien
dengan neuropati perifer.
7. Durasi kemoterapi ditentukan oleh kontrol diabetes dan respon pasien terhadap
pengobatan. Pengobatan yang lebih lama mungkin diperlukan.
8. Penanganan penyakit komorbid, malnutrisi dan rehabilitasi pada alkoholisme harus
dilakukan.
9. Berikan terapi suportif secara aktif pada pasien DM.

Pemberian insulin pada pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus


Penatalaksanaan DM pada TB harus agresif, karena kontrol glikemik yang
optimal memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Terapi insulin harus segera
dimulai dengan menggunakan regimen basal bolus atau insulin premixed. The American
Association of Clinical Endocrinology merekomendasikan penggunaan insulin analog
atau insulin modern karena lebih sedikit menyebabkan hipoglikemia, penggunaan
insulin manusia tidak dianjurkan. Kebutuhan insulin pada awal penyakit biasanya tinggi
namun akan menurun kemudian seiring dengan tercapainya koreksi glukotoksisitas dan
terkontrolnya infeksi.7
Rasionalisasi penggunaan insulin pada DM tipe 2 yang disertai TB aktif adalah :7

1. Infeksi TB yang berat.


2. Hilangnya jaringan dan fungsi pancreas seperti pada TB pancreas atau defisiensi
endokrin pankreas.
3. Kebutuhan diet kalori dan protein yang tinggi serta kebutuhan akan efek anabolic.
4. Terdapat interaksi antara OHO dan OAT.
5. Terdapatnya penyakit hepar yang menyertai menghambat penggunaan OHO.

PENAPISAN
Penapisan diabetes mellitus pada pasien tuberkulosis
Penelitian yang dilakukan di Tanzania menyatakan bahwa bila tes toleransi
glukosa oral tidak dilakukan saat terapi TB dimulai maka lebih dari separuh kasus DM
tidak akan dapat terdeteksi. Kesadaran terhadap penyakit DM di negara berkembang
umumnya rendah dan pasien dengan DM tipe 2 mungkin tidak bergejala atau
memperlihatkan gejala yang minimal, sehingga seringkali pasien tidak akan
mengeluhkan riwayat penyakit yang mengarah ke DM terutama pada pasien-pasien TB
dengan tingkat pendidikan yang rendah. Penapisan terhadap penyakit DM merupakan
satu-satunya cara untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya komorbid DM pada TB.
Metode penapisan sederhana dan ekonomis yang dapat diterapkan di seluruh klinik TB
di dunia diantaranya adalah anamnesis penyakit DM yang dilakukan pada setiap pasien
TB baru dan bila memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan gula darah dengan alat
fingerstick glucometer assay. Pasien dengan hasil pemeriksaan yang tinggi harus
mendapatkan perhatian khusus mengingat besarnya kemungkinan terjadinya kegagalan
pengobatan.5
Penapisan tuberkulosis pada pasien diabetes mellitus
Semua penderita DM memerlukan pemeriksaan medis yang teratur dan
pemeriksaan foto toraks tiap dua tahun sekali. Pemeriksaan ini harus dilakukan lebih
ketat pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun atau dengan berat badan kurang dari
10% dari berat badan ideal. Setiap pasien DM dengan keluhan

batuk tiba-tiba,

kehilangan berat badan, kelainan pada foto toraks atau peingkatan dosis insulin untuk
mengkontrol glukosa darah, harus dilakukan penapisan untuk penyakit TB. American
Thoracic Society tahun 1986 merekomendasikan bahwa penderita IDDM terutama
dengan control glikemik yang buruk harus diberikan kemoprofilaksis INH. Walaupun

kemoprofilaksis primer mungkin berguna pada komunitas tertentu dengan prevalens


tinggi DM dan TB seperti penduduk asli Sioux Oglala Amerika Utara namun tidak ada
alasan untuk pemberian kemoprofilaksis primer pada pasien DM yang terkontrol dengan
baik. Kemoprofilaksis sekunder pada pasien DM dengan tes tuberkulin positif biasanya
direkomendasikan walaupun beberapa peneliti masih mempertanyakan manfaatnya.6

KESIMPULAN
1. Diabetes mellitus menyebabkan kerusakan pada fungsi imun dan fisiologis paru
sehingga

dapat

meningkatkan

risiko

infeksi

maupun

reaktifasi

TB,

memperpanjang waktu konversi sputum dan meningkatkan risiko gagal


pengobatan yang mendorong terjadinya TB MDR.
2. Tuberkulosis dapat menginduki hiperglikemi sehingga dapat menyebabkan GTG
bahkan DM. Hal ini diduga selain karena proses infeksi yang menyebabkan
peningkatan sekresi hormon anti-insulin juga disebabkan karena terjadinya
kerusakan pankreas seperti pakreatitis maupun amiloidosis akibat proses
inflamasi terhadap toksin M. tb.
3. Gambaran foto toraks pada TB-DM bersifat atipikal, namun beberapa penelitian
menunjukkan kecenderungan infiltrat yang lebih luas, infiltrat pada lobus bawah
paru, kavitas multipel dan efusi pleura.
4. Terdapat interaksi antara OAT dengan OHO, sehingga sebaiknya digunakan
insulin untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien DM dengan TB.
5. Sebaiknya dilakukan penapisan TB pada pasien DM terutama di negara-negara
dengan insidensi TB yang tinggi agar dapat dilakukan kontrol dan
penatalaksanaan yang lebih baik untuk kedua penyakit tersebut.

Daftar Pustaka

1.

World Health Organization. Global tuberculosis control 2011. Geneva : World


Health Organization; 2011.
2. Sulaiman SA, Mohd Zain FA, Abdul Majid S, Munyin N, Mohd Tajuddin NS,
Khairuddin Z, et al. Tuberculosis among diabetic patient. Webmed Central
Infectious Diseases. 2011;2(12):1-13.
3. Palomino JC, Leo SC, Ritacco V. Tuberculosis 2007: From basic science to
patient care 1st ed. Argentina. Bouciller Kamps. 2007. P.26-52.
4. Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus : convergence of
two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9(12):737-46.
5. Kapur A, Harries AD, Lonnroth K, Bygbjerg C, Lefebvre P. Diabetes and
tuberculosis-old associates posing a renewal public health challenge. US
Endrocinology. 2009;5(1):12-14.
6. Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: an appraisal. Ind J
Tuberc. 2000;47:3-8.
7. Niazi AK, Kalra S. Diabetes and tuberculosis : a review of the role of optimal
glycemic control. Journal of diabetes & metabolic disorders. 2012;11(28):1-4.
8. McMahon MM, Bistrian Bruce R. Host defences and susceptibility to infection
in patients with diabetes mellitus. Infect Dis Clin North Am. 1995;9:1-9.
9. Koziel H, Koziel MJ. Pulmonary complications of diabetes mellitus. Infect
Dis Clin North Am. 1995;9:65-96.
10. Alisjahbana B, van Crevel R, Sahiratmadja E, den Heijer M, Maya A, Istriana E,
et al. Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis in Indonesia. Int
J Tuberc Lung Dis. 2006;10:696-700.
11. Mollentzc WF, Pansegrouw DR, Steyn AF. Diabetes mellitus, pulmonary
tuberculosis and chronic calcific pancreatitis revisited. South Afr Med J.
1990;78:235-9.
12. Broxmeyer L. Diabetes mellitus, tuberculosis and the mycobacteria: two
millennia of enigma. Med Hypotheses. 2005;65:4339.
13. Elias D, Markovits D. Induction and therapy of autoimmune diabetes in the non
obese diabetic (NOD)/lt mouse by a 65-kDa heat shock protein. Proc Natl Acad
Sci. 1990;87:1576-80.
14. Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. Clinical characteristics of pulmonary
tuberculosis in adult Pakistani patients with co-existing diabetes mellitus.
Eastern Mediterranean Health Journal. 2006;12:522-7.
15. Patel AK, Rami KC, Ghanchi FD. Radiological presentation of patients of
pulmonary tuberculosis with diabetes mellitus. Lung India. 2011;28:70.
16. Nijland HM, Ruslami R, Stalenhoef JE, Nelwan EJ, Alisjahbana B, Nelwan
RHH, et al. Exposure to rifampicin is strongly reduced in patients with
tuberculosis and type 2 diabetes. Clin Infect Dis. 2006;43:848-54.

You might also like