You are on page 1of 11

PENGUATAN KINERJA PERDAGANGAN ANTAR PULAU SEBAGAI PERISAI

INDONESIA MENGHADAPI MEA


Abdi1, Usman Rianse1, Weka Widayati2, Ine Fausayana1, Weka Gusmiarty
Abdullah1, Ilma Sari Mustaqiyama Rianse1
1

Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo


Fakultas Teknologi dan Ilmu Kebumian, Universitas Halu Oleo

Abstrak
Indonesia merupakan negara matirim dengan sumber daya yang melimpah dan
memiliki pengalaman dalam perniagaan dunia melalui lautan. Namun saat ini,
sektor kelautan dan perikanan Indonesia menghadapi tantangan baru yakni
Masyarakat Ekonomi Asia (MEA). Kebijakan percepatan industrialisasi kelautan
dan perikanan merupakan salah satu langkah strategis menghadapi MEA.
Kebijakan tersebut harus disinergikan dengan peningkatan kinerja perdagangan
antar pulau. Peningkatkan kinerja perdagangan antar pulau dapat dilakukan
dengan pembangunan pelabuhan baru melalui pendekatan Tol Laut dan
perubahan perilaku konsumen. Hal ini akan berdampak pada: (1) peningkatan
pangsa pasar (market share) komoditi kelautan dan perikanan di pasar global;
(2) percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan; (3) peningkatan nilai
tambah komoditi kelautan dan perikanan; (4) peningkatan pendapatan negara;
(5) peningkatan kesejahteraan nelayan dan petani ikan; dan (6) pemertahanan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kata kunci: MEA,perdagangan antarpulau, kinerja, industrialisasi
I.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara


matirim dengan sumber daya yang
melimpah dan memiliki pengalaman
dalam perniagaan dunia melalui
lautan (Anshory dan Arbaningsih,
2008; Wolters, 2011; Caro, 2012).
Oleh karena itu, sudah saatnya
Indonesia melakukan reorientasi
paradigma
pembangunan.
Reorientasi tersebut mencakup dua
hal mendasar. Pertama, reorientasi
fokus pembangunan, dari basis
sumberdaya daratan ke basis
sumberdaya
kelautan.
Kedua,
bahwa
tujuan
pembangunan
kelautan hendaknya tidak sematamata
mengejar
pertumbuhan
ekonomi,
melainkan
untuk
mewujudkan pertumbuhan ekonomi
(kemakmuran),
pemerataan
kesejahteraan (social equity), dan
terpeliharanya daya dukung dan
kualitas lingkungan pesisir serta

lautan secara seimbang (Dahuri,


2003).
Gagasan
reorientasi
paradigma pembangunan ini selain
mendasarkan
pada
potensi,
peluang, permasalahan, kendala,
dan kondisi pembangunan kelautan
yang ada, juga mempertimbangkan
pengaruh
lingkungan
strategis
terhadap pembangunan nasional
seperti globalisasi dan otonomi
daerah. Sektor ini memiliki potensi
sangat tinggi dan strategis serta
berdaya
saing
tinggi
dalam
perdagangan internasional. Apabila
potensi perikanan dan kelautan
Indonesia yang begitu besar dikelola
dengan baik seperti sektor-sektor
lainnya
(tanaman
pangan,
perkebunan, dan kehutanan), maka
perekonomian nasional akan jauh
melebihi
pertumbuhan ekonomi
negara-negara tetangga di Asia
Tenggara.

Indonesia memiliki wilayah


perairan laut sekitar 5,8 Juta km2
(70% total luas wilayah teritorial).
Luas perairan laut tersebut tercatat
panjang garis pantai 81.000 km
dengan potensi areal budidaya
perairan laut untuk ikan seluas
3.124.747
ha
(Nurjana,1997;
Kamaluddin, 2002). Data tersebut
menunjukkan
bahwa
Indonesia
memiliki potensi sumberdaya laut
yang lebih besar dibanding dengan
negara tetangga seperti Philipina,
Thailand, atau Vietnam. Ironisnya
kapasitas produksi dan nilai ekspor
perikanan
dari
negara-negara
tetangga tersebut jauh lebih besar
dibandingkan dengan Indonesia.
Nilai ekspor hasil perikanan
cenderung mengalami peningkatan
setiap tahunnya, misalnya pada
Tahun 2013 nilai ekspor perikanan
mengalami peningkatan sebesar
14,26%, sedangkan nilai ekspor
pada Tahun 2012 sebesar 8,25%.
Walaupun demikian, nilai impor
perikanan
juga
mengalami
peningkatan yakni 10,88% pada
Tahun 2012 menjadi 12,62% pada
Tahun 2013 (PDSI, 2014). Upaya
penurunan impor dapat dilakukan
dengan percepatan industrialisasi
kelautan dan perikanan. Salah satu
industri yang perlu dibangun adalah
pengolahan
tepung
ikannilai
impornya setiap tahun mengalami
peningkatan. Selain itu, saat ini
produk olahan ikan berupa ikan asin
dan ikan kering yang dihasilkan
nelayan dan petani ikan menghadapi
kompetitor asal Jepang, Inggris,
Singapura, Hongkong, Thailand,
Vietnam, dan Myanmar.
Percepatan
industrialisasi
kelautan dan perikanan menjadi
keharusan untuk mengurangi impor,
meningkatkan penerimaan negara
dan peningkatan
kesejahteraan
nelayan dan petani ikan. Walaupun
demikian, industrialisasi tersebut

tidak akan berhasil tanpa adanya


peningkatan kinerja perdagangan
antar pulau. Hal tersebut perlu
dilakukan
sebagai
upaya
peningkatan
distribusi
hasil
perikanan, sehingga kekurangan
produk perikanan di suatu daerah
tidak disuplai oleh negara lain.
Selain itu, peningkatan kinerja
perdagangan antar pulau harus
ditingkatkan untuk memperbesar
pasar domestik karena 40% pasar
ASEAN ada di Indonesia. Oleh
karena itu, diperlukan peningkatan
sarana dan prasarana trasportasi
laut. Kamaluddin (2002), Salah satu
penunjang utama ekonomi matirim
berasal dari aspek transportasi laut.
Transportasi
laut
memegang
peranan penting karena dapat
memperlancar transaksi barang
antar pulau, sehingga merangsang
pertumbuhan ekonomi pada wilayah
berkembang. Dengan demikian,
peningkatan kinerja perdagangan
antar pulau menjadi keharusan bagi
Indonesia
sebagai
perisai
menghadapi MEA.
II.

PEMBANGUNAN KELAUTAN
DAN PERIKANAN

Letak
geografis
dan
kandungan sumber daya kelautan
yang dimiliki Indonesia memberikan
pengakuan
bahwa
Indonesia
merupakan negara bahari dan
kepulauan terbesar di dunia, dengan
luas laut 5,8 juta km2 atau 3/4 dari
total wilayah Indonesia merupakan
lautan dan ditaburi sekitar 17.506
pulau yang dikelilingi oleh 81.000
km garis pantai dengan potensi
ekonomi yang sangat besar. Kondisi
geografis ini diperkuat dengan
kenyataan bahwa Indonesia berada
pada posisi geopolitis yang penting
yakni Lautan Pasifik dan Lautan
Hindia, sebuah kawasan paling
dinamis dalam percaturan politik,
pertahanan dan keamanan dunia.
2

Alasan tersebut sudah cukup


menjadi dasar untuk menjadikan
pembangunan kelautan sebagai
arus
utama
(mainstream)
pembangunan nasional (Dahuri,
2003).
Sumberdaya perikanan dan
kelautan
adalah
salah
satu
sumberdaya alam yang merupakan
aset
negara
dan
dapat
memberikan sumbangan yang
berharga bagi kesejahteraan suatu
bangsa
termasuk
Indonesia.
Sebagai negara maritim yang
terdiri dari ribuan pulau yang
membentang dari Sabang sampai
Merauke,
Indonesia memiliki
potensi sumberdaya perikanan dan
kelautan cukup besar dengan garis
pantai yang terpanjang kedua di
dunia setelah Kanada, memiliki
lebih kurang 17.506 buah pulau
dan luas perairan sekitar 5,8 juta
km2
serta
potensi
lestari
sumberdaya
perikanan
laut
Indonesia diperkirakan sebesar
6,40 juta ton per tahun (Tabel 1).
Dari potensi tersebut, jumlah
tangkapan yang diperbolehkan
sebesar 5,12 juta ton per tahun
atau sekitar 80% dari potensi
lestari.
Besarnya
potensi
sumberdaya
perikanan
di
Indonesia ini dapat dijadikan
argumen
untuk
dapat
meningkatkan
pembangunan
perekonomian
nasional
yang
berbasis pada perikanan dan
kelautan.
Dahuri
(2003),
pembangunan berbasis perikanan
seharusnya dapat dijadikan arus
utama pembangunan nasional
karena
sumberdaya
yang
dimilikinya sangat berlimpah dan
kaya. Industri yang berbasis
sumberdaya
perikanan
dan
kelautan memiliki keterkaitan yang
sangat kuat dengan industri lainnya
dan sumberdaya perikanan dan

kelautan
senantiasa
dapat
diperbaharui sehingga keunggulan
komparatif dan kompetitif dapat
dipertahankan
dalam
jangka
panjang.
Tabel 1. Potensi Lestari Perikanan
Indonesia
No.

Perairan

1.
2.

Selat Malaka
Laut Cina
Selatan
Laut Jawa
Selat
Makasar dan
Laut Flores
Laut Banda
Laut Seram
dan Teluk
Tomini
Laut
Sulawesi dan
Samudera
Pasifik
Laut Arafuru

3.
4.
5.
6.
7.

8.
9.

Samudera
Hindia
Jumlah

Jumlah
(ton/tahun)
276.030
1.057.050
796.640
911.000
277.490
590.620
621.720

771.5
50
1.076
.890
6.378
.990

Sumber: BPS, 2001.


Oleh karena itu, sektor
perikanan dan kelautan saat ini
dikembangkan sebagai salah satu
andalan bagi pemasukan negara
dalam
rangka
mendukung
pembangunan nasional. Apabila
dibandingkan dengan negara lain,
maka kontribusi sektor perikanan
Indonesia masih relatif rendah
(Tabel 2).
Beberapa negara seperti
RRC, Amerika Serikat, Korea
Selatan, dan Jepang kontribusi
ekonominya
dalam
bidang
perikanan dan kelautan terhadap
PDB nasional sudah lebih dari 30
persen. Kontradiktif sekali jika
dibandingkan dengan kontribusi
3

sektor perikanan dan kelautan di


Indonesia. Sumberdaya perikanan
yang sangat besar dengan megabiodiversity-nya hanya memberikan
sumbangan yang masih relatif
rendah. Hal ini disebabkan potensi
dan kekayaan sumberdaya alam
tersebut belum bisa dimanfaatkan
sepenuhnya dengan baik terutama
di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI). Selain itu,
pembangunan sektor perikanan
dan kelautan Indonesia selama tiga
dasa warsa terakhir ini selalu
diposisikan
sebagai
sektor
pinggiran dalam perekonomian
nasional.
Tabel 2. Perbandingan Kontribusi
Sektor
Perikanan
Beberapa
Negara

No.

1.

Negara

Amerika
Serikat

Panjang
Pantai
(km)

19.800

Luas
Perairan
(km2)

bd

Kontribusi
Sektor
Kelautan
Terhadap
GDP
%

Nilai

32,00

$
14
Milyar
(1995)

2.

Korea
Selatan

2.713

bd

37,00

$ 14,7
Milyar
(Huh
and
Lee,
1992)

3.

RRC

32.000

3 juta

48,40

$
17.353
Milyar
(1998)

4.

Indonesia

81.000

5,8
juta

20,06

Rp 189
Trilyun
(1998)

5.

Jepang

34.386

bd

54,00

$ 21,4
Trilyun
(Itosu,
1992)

Sumber: Zulbainarni, 2003.


bd = belum diperoleh data.
Dalam
melaksanakan
pembangunan pesisir dan pulaupulau kecil secara berkelanjutan,
Departemen
Kelautan
dan

Perikanan sebagai lembaga yang


masih
sangat
muda,
melalui
program-program kerjanya terus
mengupayakan
pembangunan
pesisir dan pulau-pulau kecil dalam
berbagai aspek.
Pembangunan
tidak hanya difokuskan pada aspek
perikanan semata, namun juga
mencakup pengembangan kegiatankegiatan ekonomis di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil, peningkatan
riset-riset kelautan dan perikanan,
pengawasan sumberdaya perikanan
dan kelautan dari perusakan dan
pengambilan
secara
ilegal,
pemanfaatan benda-benda berharga
bawah
laut,
pengelolaan
sumberdaya
pesisir
secara
berkelanjutan dan konservasi serta
rehabilitasi
ekosistem-ekosistem
pesisir yang rusak.
Pemerintah
melalui
Departemen
Perikanan
dan
Kelautan telah melakukan kebijakan
Pemberdayaan
Ekonomi
Masyarakat Pesisir (PEMP) yang
berjalan
berdasarkan
kebijakan
Keputusann
Menteri
(Kepmen)
Nomor 41 Tahun 2000 Departemen
Kelautan dan Perikanan tentang
Pedoman
Umum
Pengelolaan
Pulau-pulau
Kecil
yang
Berkelanjutan
dan
Berbasis
Masyarakat. Tujuan dalam program
pemberdayaan ekonomi masyarakat
pesisir adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir
melalui pemberdayaan ekonomi
masyarakat. Kebijakan tersebut
menghendaki
perlu
adanya
partisipasi
masyarakat,
karena
keikutsertaan
masyarakat
akan
membawa dampak positif, serta
lebih
memahami
berbagai
permasalahan yang muncul serta
memahami keputusan akhir yang
akan diambil.
Untuk itu, dalam
partisipasi masyarakat diperlukan
adanya komunikasi dua arah yang
terus menerus dan informasi yang
4

berkenaan dengan program, proyek


atau kebijakan yang disampaikan
dengan bermacam-macam teknik
yang tidak hanya pasif dan formal
tetapi juga aktif dan informal (Hadi
dalam Pical, 2003).
Di berbagai lokasi telah
dilakukan pendekatan-pendekatan
rehabilitasi
yang
berbeda.
Pendekatan tersebut antara lain
perbaikan
kawasan
perikanan,
perlindungan erosi pantai, dan
investigasi kerusakan lingkungan
pesisir. Bahkan telah dilakukan
berbagai
pilot
project
untuk
pembangunan desa-desa pesisir
dalam rangka perbaikan lingkungan
dan sanitasi. Selain itu, kemitraan
dan
kerjasama
juga
terus
dikembangkan dengan semua pihak
baik pemerintah, perguruan tinggi,
swasta,
maupun
masyarakat.
Khusus dengan perguruan tinggi,
saat ini sudah dibentuk Program
Mitra
Bahari
dalam
rangka
percepatan penguatan kelembagaan
dan sumberdaya manusia di daerah
dalam pembangunan wilayah pesisir
III. POTENSI DAN MASALAH
SEKTOR KELAUTAN DAN
PERIKANAN
Potensi Pengembangan
Indonesia
adalah
negara
kepulauan terbesar di dunia karena
memiliki luas laut dan jumlah pulau
yang
besar.
Panjang
pantai
Indonesia mencapai 104.000 km
dengan
luas
wilayah
laut
berdasarkan
UNCLOS
1982
mencapai 284.210,9 km2 laut
teritorial, 2.981.211 km2 ZEEI, dan
279.322 km2 laut 12 mil. Potensi
tersebut menempatkan Indonesia
sebagai negara yang dikaruniai
sumber daya kelautan yang besar
termasuk
kekayaan
keanekaragaman hayati dan non

hayati kelautan terbesar (KKP,


2015).
Klasifikasi potensi tersebut
pada umumnya dibedakan menjadi
sumber
daya
terbaharukan
(renewable
resources),
seperti
sumber daya perikanan (perikanan
tangkap dan budidaya), mangrove,
terumbu karang, padang lamun,
mineral air laut dan air laut dalam,
energi gelombang, pasang surut,
angin dan OTEC (Ocean Thermal
Energy Conversion), dan sumber
daya tidak terbaharukan (non
renewable
resources),
seperti
sumber daya minyak dan gas bumi
dan berbagai jenis mineral. Selain
dua jenis sumber daya tersebut,
juga terdapat berbagai macam jasa
lingkungan kelautan yang dapat
dikembangkan untuk pembangunan
kelautan seperti pariwisata bahari,
industri maritim, jasa angkutan, dan
sebagainya (Kamaluddin, 2002;
KKP, 2015).
Potensi pengembangan sektor
kelautan dan perikanan terdiri dari:
a.
Perikanan tangkap di laut
sebesar 6,5 juta ton dan di
perairan umum seluas 54 juta
hektar dengan potensi produksi
0,9 juta ton/tahun.
b.
Budidaya laut seluas 8,3 juta
ha terdiri dari budidaya ikan
(20%), budidaya kekerangan
(10%), budidaya rumput laut
(60%) dan lainnya (10%).
c.
Potensi budidaya air payau
(tambak) seluas 1,3 juta ha.
d.
Budidaya air tawar terdiri dari
kolam seluas 526,40 ribu ha,
perairan umum (danau, waduk,
sungai dan rawa) seluas 158,2
ribu ha, sawah untuk mina padi
seluas 1,55 juta ha.
e.
Bioteknologi kelautan untuk
pengembangan
industri
bioteknologi kelautan: industri
bahan baku untuk makanan,
industri bahan pakan alami, benih
5

ikan dan udang, dan industri non


pangan
misalnya
industri
kesehatan
dan
kosmetika
(farmasetika laut).
Selain itu, terdapat potensi dan
peluang pengembangan meliputi:
(a)
pengembangan
pulau-pulau
kecil, (b) pemanfaatan benda
berharga
asal
muatan
kapal
tenggelam, (c) pemanfaatan air laut
dalam
(deep
sea
water),
(d) industri garam rakyat, (e)
pengelolaan pasir laut, (f) industri
penunjang, dan
(g)
keanekaragaman hayati laut.
Selain potensi sumberdaya
alam, terdapat potensi lainnya,
yakni:
1.
Potensi kelembagaan, antara
lain seperti peranan Komisi Tuna
Indonesia,
Komisi
Udang,
Masyarakat Perikanan Nusantara
(MPN), Gabungan Pengusaha
Perikanan Indonesia (Gappindo),
Himpunan
Nelayan
Seluruh
Indonesia (HNSI), Asosiasi Tuna
Indonesia (Astuin), Asosiasi Tuna
Longline Indonesia (ATLI), LSM
bidang kelautan dan perikanan.
2.
Potensi
sarana
dan
prasarana: Unit Pelaksana Teknis
di daerah yakni Pelabuhan
Perikanan, Balai Budidaya, Balai
Pengujian Mutu dan Pengolahan
Hasil Perikanan, Balai Litbang,
Balai Karantina Ikan, dan Sekolah
Perikanan.
Potensi lain yang sangat
penting yakni budidaya tanaman
komoditas ekspor, antar lain, kelapa
dan jambu mete yang dilakukan oleh
nelayan dan masyarakat pesisir.
Selain komoditas ekspor, nelayan
dan
masyarakat
pesisir
juga
membudidayakan tanaman pangan,
misalnya jagung, padi ladang, dan
sayur-sayuran. Masyarakat pesisir
mengusahakan komoditi ekspor dan
komoditi pangan sebagai strategi

meningkatkan
pendapatan
dan
bertahan hidup.
Oleh karena itu, diperlukan
upaya percepatan dan terobosan
dalam pembangunan kelautan dan
perikanan yang didukung dengan
kebijakan ekonomi serta iklim sosial
politik yang kondusif. Upaya tersebut
bertujuan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan potensi sumber daya
kelautan
dan
perikanan
dan
menjadikan sektor ini sebagai prime
mover
pembangunan
ekonomi
nasional. Berkenaan dengan hal
tersebut, koordinasi dan dukungan
lintas sektor serta para pemangku
kepentingan lainnya menjadi salah
satu prasyarat yang sangat penting.
Permasalahan
Berdasarkan potensi sumber
daya kelautan dan perikanan yang
sangat besar, maka tantangan lain
yang timbul adalah maraknya
kegiatan Illegal Unreported and
Unregulated (IUU) Fishing yang
berdampak merugikan negara dan
mengancam kelestarian sumber
daya kelautan dan perikanan (KKP,
2014). Disamping itu, terdapat
permasalahan yang dihadapi yang
menjadi strategyc issue untuk
dilakukan upaya tindak lanjut, antara
lain:
1. Masih rendahnya produktivitas
dan daya saing usaha kelautan
dan perikanan yang disebabkan
struktur armada yang masih
didominasi oleh kapal berukuran
kecil,
belum
terintegrasinya
sistem produksi hulu dan hilir, dan
masih terbatasnya sarana dan
prasarana yang dibangun.
2. Kurangnya dukungan permodalan
usaha dari perbankan dan
lembaga keuangan lainnya.
3. Bencana alam; menimbulkan
berbagai kerusakan mulai dari
tingkat ringan hingga berat yang
merusakan sarana dan prasarana
6

kelautan
dan
perikanan,
perumahan penduduk hingga
korban jiwa, yang memerlukan
upaya mitigasi yang lebih baik.
4. Degradasi lingkungan perairan;
masih adanya penggunaan alat
tangkap yang tidak ramah
lingkungan, penggunaan bahan
peledak, adanya spesies tertentu
yang belum dilindungi, eksploitasi
sumberdaya ikan yang berlebihan
di wilayah pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia.
IV. PENINGKATAN
PERDAGANGAN
PULAU

KINERJA
ANTAR

Peluang Pasar
FAO
memperkirakan
total
permintaan dunia terhadap ikan dan
produk perikanan akan meningkat
hampir 50 juta ton, dari 133 juta ton
tahun 1999/2001 ke 183 juta ton
tahun 2015. Permintaan makanan
laut
per
kapita
per
tahun
diperkirakan meningkat dari rata-rata
16,1 kilogram pada Tahun 19992001 menjadi 18,4 kilogram pada
Tahun 2010 dan 19,1 kilogram pada
Tahun 2015. Tercatat 70% dari nilai
tersebut dikonsumsi untuk pangan.
FAO juga memperkirakan kebutuhan
ikan
segar
dunia
mengalami
kenaikan hingga 45% setiap tahun.
Sayangnya, dari jumlah tersebut di
atas, market share Indonesia baru
3,57%.
Tingkat konsumsi ikan dalam
negeri sebesar 37 kg/kapita/tahun
pada Tahun 2014 mengalami
peningkatan dibandingkan Tahun
2013 sebesar 35 kg/kapita/tahun,
tetapi lebih rendah dibandingkan
Jepang dan Malaysia, masingmasing
sebesar
60
-70
kg/kapita/tahun
dan
50-57
kg/kapita/tahun.
Perdagangan Antar Pulau

Volume
bongkar
muat
perdagangan antarpulau mengalami
fluktuasi setiap tahun, misalnya
Tahun 2011 sebesar 238,9 juta ton,
mengalami peningkatan pada Tahun
2012 sebesar 312,6 juta ton, namun
mengalami penurunan pada Tahun
2013, yakni sebesar 303,9 juta ton
(BPS, 2014). Berkenaan dengan
nilai perdagangan antar pulau,
terdapat ketimpangan yang sangat
besar antar wilayah Jawa-Bali
dengan
wilayah
Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Wilayah
Timur Indonesia. Hal ini disebabkan
Wilayah Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi
dan
Wilayah
Timur
Indonesia paling banyak melakukan
kegiatan ekonomi ke wilayah JawaBali.
Nilai bongkar muat antar pulau
di 26 Kantor Perwakilan Dagang
(KPD) Jawa Timur, tahun 2012-2014
terus mengalami peningkatan. Pada
2012 mencapai Rp 238,633 triliun,
2013 mencapai Rp 275,605 triliun,
dan 2014 mencapai Rp 325,553
triliun. Nilai aktivitas muat antar
pulau pada 2012 mencapai Rp
301,488 triliun, 2013 mencapai Rp
346,022 triliun, dan 2014 mencapai
Rp 415,876 triliun. Keberadaan KPD
meningkatkan potensi transaksi
perdagangan dari Tahun 2011
mencapai Rp 463,35 triliun dan
2014 meningkat menjadi Rp 741,43
triliun. Hal ini menandakan rata-rata
potensi transaksi perdagangan antar
pulau
per
tahunnya
tumbuh
sebanyak 15 persen (Rp 69,52
triliun)
(BPS,
2015).
Volume
perdagangan antar pulau Sulawesi
Tenggara Tahun 2014 sebesar 5.648
ton, dengan nilai perdagangan
antarpulau sebesar Rp 20,5 milyar
(BPS,
2015).
Hal
ini
mengindikasikan adanya hambatan
dalam keterkaitan antar daerah di
Indonesia
berkenaan
dengan
pemerataan pembangunan kawasan
7

industri. Beberapa hambatan dalam


keterkaitan antar daerah dalam
pembangunan industri antara lain:
(1) regulasi yang membatasi arus
barang-jasa antar wilayah; (2)
retribusi dan pungutan lokal di tiap
wilayah;
(3)
keterbatasan
infrastruktur
transportasi;
dan
(4) keterbatasan sarana pendukung
logistik.
Kondisi-kondisi
yang
menghambat perdagangan antar
pulau terdiri dari: (1) internal dan
(2) eksternal. Kondisi internal terdiri
dari: (1) biaya transportasi dan
distribusi yang tinggi; (2) PerdaPerda yang menghambat distribusi
(ekonomi biaya tinggi) dan kinerja
distribusi antar pulau; dan (3) pasar
oligopsoni. Kondisi eksternal terdiri
dari: (1) daya saing produk impor
tinggiharga; management supply,
fasilitas-fasilitas
dari
negara
pengekspor modal, transportasi,
karantina, distribusi, pajak, dan lainlain dan (2) dumping yang sulit
dibuktikan.
Strategi untuk mengatasi faktor
penghambat perdagangan antar
pulau meliputi: (1) membangun
pasar
produk
berdaya
saing
(penyelamatan nilai produk dan
memperkecil
losses);
(2)
mengadvokasi pasar lokal melalui
kecintaan produk lokal dan promosi
(melalui pencitraan produk lokal); (3)
meningkatkan
peluang
pasar
produk-produk lokal dan jaringan
pemasaran;
(4)
membangun
kemitraan strategis hulu-hilir dan
investasi
(networking); dan (5)
mengupayakan produk bersertifikat
dan organik untuk memenuhi
pangsa pasar baru.
Strategi 1. Memperkecil Losses
a)
Optimalisasi distribusi produk
dan pemanfataan teknologi
penyimpanan (silo)

b)

Pengamanan
pasar
Domestik melalui kemitraan hulu
hilir
c)
Penyelamatan nilai produk
melalui standarisasi produk dan
pelabelan (wajib SNI)
Strategi 2. Kecintaan Produk Lokal
dan Promosi
Subtitusi Produk Impor melalui:
a)
Penyebaran informasi dan
pelayanan pasar ter update.
b)
Pencitraan produk local.
c)
Memperluas jejaring pasar
produk.
Strategi 3. Pelayanan Informasi dan
Pasar
a)
Pelayanan informasi pasar
melalui: Internet dan sms harga,
papan
informasi
harga,
mengembangkan pasar tani.
b)
Fasilitasi pasar untuk petani
melalui: operasionalisasi resi
gudang, membangun kemitraan
hulu- hilir.
Strategi 4. Networking
a)
Membangun
Network
melalui: kerjasama pemasaran
regional, kerjasama pemasaran
Internasional.
b)
Melaksanakan
lelang
komoditas.
c)
Menciptakan
pola
pemasaran yang fair, diplomasi
perdagangan,
harmonisasi
peraturan perdagangan.
Strategi 5. Produk Bersertifikat dan
Organik
untuk
Memenuhi
Pangsa Pasar Baru
a)
Penguatan kelembagaan
b)
Kendali mutu yang ketat dan
terstandar
Selain
5
(lima)
strategi
tersebut, strategi lain yang harus
dilakukan
yakni
Hadapi
MEA
(Masyarakat
Ekonomi
ASEAN)
dengan SENYUM (Sinergi antar
elemen, Etos kerja yang tinggi,
Network, Yakin dan percaya diri,
Unggulan produk, Mindset positif)
8

Sektor Kelautan dan Perikanan


Hadapi MEA
Mengantisipasi
persaingan
perdagangan global pada MEA 2015
khususnya di sektor kelautan dan
perikanan maka pemerintah dituntut
untuk terus berbenah melakukan
berbagai upaya strategis dalam
menyelamatkan produk kelautan
dan perikanan di pasar dalam negeri
dari ancaman masuknya produkproduk perikanan dari luar (negara
lain).
Kebijakan
percepatan
industrialisasi
kelautan
dan
perikanan merupakan salah satu
langkah strategis menghadapi MEA.
Implementasi kebijakan tersebut
berupa peningkatkan nilai tambah
produk
perikanan
melalui
diversifikasi produk yang menjadi
pemicu
percepatan
produksi
perikanan nasional. Integrasi sektor
perikanan dari hulu ke hilir yang
berbasis
pada
pembangunan
kewilayahan
dan
prinsip-prinsip
ekonomi biru disertai program
peningkatan mutu, produktivitas dan
efisiensi usaha. Oleh karena itu,
perlu penerapan sistem manajemen
kelautan dan perikanan berorientasi
pasar.
Penguatan Kinerja Perdagangan
Antar Pulau
Peningkatan
kinerja
perdagangan
antarpulau
dapat
dilakukan
melalui
peningkatan
kuantitas dan kualitas sarana dan
prasarana transportasi laut. Hal ini
perlu dilakukan karena selama
Tahun 2012-2014 jumlah pelabuhan
tidak mengalami peningkatan (Tabel
3). Penambahan jumlah transportasi
laut
sangat
penting
untuk
peningkatan volume dan nilai
perdagangan antarpulau, sehingga
seluruh
kebutuhan
masyarakat
berkaitan dengan kebutuhan ikan
dan hasil olahan perikanan lain

dapat dipenuhi oleh nelayan, petani


ikan, dan industri dalam negeri.
Peningkatkan
kinerja
perdagangan antar pulau dapat
dilakukan dengan pembangunan
pelabuhan baru melalui pendekatan
TOL LAUT. Pendekatan tersebut
akan menggerakan:
Tabel

No
.
1.

2.

3.
4.
5.

3.

Jumlah
Pelabuhan
Perikanan
di
Indonesia
Menurut
Kelas Tahun 20122014.

Kelas
Pelabuhan
Perikanan
Samudera
(PPS)
Pelabuhan
Perikanan
Nusantara
(PPN)
Pelabuhan
Perikanan
Pantai (PPP)
Pangkalan
Pendaratan
Ikan (PPI)
Pelabuhan
Perikanan
Swasta
Total

Tahun
2012

2013

2014

14

15

15

47

47

47

749

748

748

816

816

816

Sumber: PDSI, 2014


1.
Peningkatan dan penguatan
konektivitas antar wilayah NKRI
2.
Spesialisasi
komoditi
kelautan
dan
perikanan
berdasarkan wilayah
3.
Penjenuhan pasar dalam
negeri
4.
Peningkatan
fragmentasi
pasar
Upaya tersebut harus diikuti
oleh perubahan perilaku konsumen
untuk lebih memilih produk dan hasil
olahan komoditi kelautan dan
perikanan
dalam
negeri.
Keberhasilan
pendekatan
TOL
LAUT dan upaya pendukungnya
akan berdampak pada:
9

1.
2.
3.
4.
5.
6.
V.

Peningkatan pangsa pasar


(market share) komoditi kelautan
dan perikanan di pasar global,
Percepatan
industrialisasi
kelautan dan perikanan,
Peningkatan nilai tambah
komoditi kelautan dan perikanan,
Peningkatan
pendapatan
negara,
Peningkatan kesejahteraan
nelayan dan petani ikan, dan
Pemertahanan
keutuhan
NKRI.
KESIMPULAN

Kebijakan
percepatan
industrialisasi
kelautan
dan
perikanan merupakan salah satu
langkah strategis menghadapi MEA.
Kebijakan
tersebut
harus
disinergikan dengan peningkatan
kinerja perdagangan antar pulau.
Kondisi-kondisi yang menghambat
perdagangan antar pulau terdiri dari:
(1) internal dan (2) eksternal.
Kondisi internal terdiri dari: (1) biaya
transportasi dan distribusi yang
tinggi;
(2)
Perda-Perda
yang
menghambat distribusi (ekonomi
biaya tinggi) dan kinerja distribusi
antar pulau;
dan (3)
pasar
oligopsoni. Kondisi eksternal terdiri
dari: (1) daya saing produk impor
tinggiharga; management supply,
fasilitas-fasilitas
dari
negera
pengekspormodal,
transportasi,
karantina, distribusi, pajak, dan lainlain dan (2) dumping yang sulit
dibuktikan.
Strategi untuk mengatasi faktor
penghambat perdagangan antar
pulau meliputi: (1) membangun
pasar
produk
berdaya
saing
(penyelamatan nilai produk dan
memperkecil
losses);
(2)
mengadvokasi pasar lokal melalui
kecintaan produk lokal dan promosi
(melalui pencitraan produk lokal); (3)
meningkatkan
peluang
pasar
produk-produk lokal dan jaringan

pemasaran;
(4)
membangun
kemitraan strategis hulu-hilir dan
investasi (networking); dan (5)
mengupayakan produk bersertifikat
dan organik untuk memenuhi
pangsa pasar baru.
Peningkatkan
kinerja
perdagangan antar pulau dapat
dilakukan dengan pembangunan
pelabuhan baru melalui pendekatan
TOL LAUT dan perubahan perilaku
konsumen. Hal ini akan berdampak
pada: (1) peningkatan pangsa pasar
(market share) komoditi kelautan
dan perikanan di pasar global; (2)
percepatan industrialisasi kelautan
dan perikanan; (3) peningkatan nilai
tambah
komoditi kelautan dan
perikanan;
(4)
peningkatan
pendapatan negara; (5) peningkatan
kesejahteraan nelayan dan petani
ikan;
dan
(6)
pemertahanan
keutuhan NKRI.
DAFTAR PUSTAKA
Anshory, N dan D. Arbaningsih,
2008.
Negara
Maritim
Nusantara: Jejak Sejarah yang
Terhapus.
Tiara
Wacana,
Yogyakarta
BPS, 2001. Statistik Perikanan
Indonesia 2000. Badan Pusat
Statistik Indonesia, Jakarta.
, 2014. Indonesia dalam Angka
2014. Badan Pusat Statistik
Indonesia, Jakarta.
, 2014. Jawa Timur dalam
Angka 2014. Badan Pusat
Statistik Indonesia, Jakarta.
, 2014. Sulawesi Tenggara
dalam Angka 2014. Badan
Pusat
Statistik
Indonesia,
Jakarta.
Caro, P., 2012. Ekspedisi Phinisi
Nusantara: Pelayaran 69 Hari
Mengarungi Samudera Pasifik.
Kompas Media Nusantara,
Jakarta.
Dahuri, R., 2003. Kebijakan dan
Strategi
Pembangunan
10

Kelautan
dan
Perikanan.
Makalah Seminar Nasional
Potensi
Biologi
Kelautan
sebagai Sumber Keragaman
Genetik
dan
Strategi
Pemanfaatannya
secara
Berkelanjutan.
Diselenggarakan
dalam
Rangka
Dies
Natalis
Universitas Haluoleo XXI di
Kendari, 26-27 Juli 2003.
Direktorat
Jenderal
Perikanan
Tangkap,
2002.
Selayang
Pandang
Pelabuhan
Perikanan Samudera Kendari.
Departemen Kelautan dan
Perikanan RI, Jakarta.
Kamaluddin,
LM.,
2002.
Pembangunan
Ekonomi
Maritim di Indonesia. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
KBRI Slowakia, 2015. Peluang
Ekspor Produk Fresh Fish
Seafood dan Ikan Olahan
Indonesia ke Slowakia. KBRI
Slowakia, Bratislava.
KKP,
2015.
Laporan
Kinerja
Kementerian Kelautan dan
Perikanan
Tahun
2014.
Kementerian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia,
Jakarta.
Murwito, Ig. S., B. Rheza, S. Mulyati,
E. Karlinda, A. A. Riyadi, dan
R.
Darmawiasih,
2013.
Kerjasama antar daerah di
Bidang Perdagangan sebagai
Alternatif
Kebijakan
Peningkatan
Perekonomian
Daerah. Laporan Penelitian.
Komite
Pemantauan
Pelaksanaan Otonomi Daerah,
Jakarta.
Natalia, D. dan Nurozy, 2012.
Kinerja Daya Saing Produk
Perikanan Indonesia di Pasar
Global. Buletin Ilmiah Litbang
Perdagangan; 6(1): 69-88.
Nurhayati, P., 2004. Nilai Tambah
Produk Olahan Perikanan

pada
Industri
Perikanan
Tradisional di DKI Jakarta.
Buletin Ekonomi Perikanan;
5(2): 17-23.
Nurjana, 1997. Pembenihan Kerapu
Macan. Departemen Pertanian,
Direktorat Jenderal Perikanan.
Balai Budidaya Laut Lampung.
PDSI,
2014.
Kelautan
dan
Perikanan dalam Angka Tahun
2014. Pusat Data, Statistik dan
Informasi KKP, Jakarta.
Pical, V. Jolanda, 2003. Sistem
Pembinaan
Masyarakat
Nelayan
dalam
Perspektif
Pembangunan Perikanan yang
Berkelanjutan di Indonesia.
www.ipb.ac.id.
Diakses
Tanggal 12 Januari 2016
Tajerin dan Moh. Noor, 2004. Daya
Saing Udang Indonesia di
Pasar Internasional: Sebuah
Analisis dengan Pendekatan
Pangsa Pasar Menggunakan
Model Ekonomterika. Jurnal
Ekonomi Pembangunan; 9(2):
117-191.
Wolters, OW, 2011. Kemaharajaan
Maritim
Sriwijaya
dan
Perniagaan Dunia Abad IIIAbad VII. Diterjemahkan oleh:
Edy
Sembodo.
Cornell
University Press, New York.
Zulbainarni, N., 2003. Kebijakan
Eksploitasi
Sumberdaya
Perikanan
dan
Kelautan
Berkelanjutan. www.ipb.ac.id.
Diakses Tanggal 12 Januari
2016.

11

You might also like