You are on page 1of 15

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lembaga kejaksaan dengan undang-undang nomor 16 tahun 2004
telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara
dibidang penuntutan. Kejaksaa memiliki peran yang sangat penting dalam
proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana
masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Penuntut Umum.
Peran yang amat besar inilah seharusnya disertai kemandirian dalam
melaksanakan kewenangannya tersebut, karena tanpa kemandirian dari
kajaksaan, maka akan sangat sulit mengarapkan kemandirian kekuasaan
peradilan pidana.
Lembaga Kejaksaan dalam perkembangannya telah beberapa kali
memiliki payung hukum. Pada masa orde lama dengan undang-undang
nomor 15 tahun 1961, pada masa orde baru dengan undang-undang nomor
5 tahun 1991 dan yang sekarang berlaku dengan undang-undang nomor 16
tahun 2004. Dari ketiga undang-undang tersebut sebenarnya tidak ada
perbedaan yang signifikan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga
kejaksaan. Kedudukan kejaksaan justru lebih mantap ketika masa orde
lama bila dibanding dengan masa reformsi. Dalam Undang-undang nomor
15 tahun 1961 pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa kejaksaan adalah alat
negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum.
Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1991 dan UU nomor 16 tahun 2004
justru kejaksaan menjadi lembaga pemerintahan artinya kejaksaan adalah
lembaga eksekutif, padahal kalau dilihat kewenangan kejaksaan dalam
melakukan penuntutan jelas kejaksaan melakukan kekuasaan dibidang
yudikatif. Disinilah terjadi ambivalensi kedudukan kejaksaan dalam
penegakan hukum di indonesia. Memang dalam undang-undang 16 tahun
2004 pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa kekuasaan kejaksaan dilakukan
secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan

sebagai lembaga eksekutif maka suatu kemustahilan bila kejaksaan dapat


menjaankan kekuasaan dan kewenangan dialakukan secara merdeka.
Berdasarkan undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan, maka jelas bahwa kedudukan kejaksaan adalah sebagai
lembaga eksekutif yang melakukan tugas dan wewenang dibidang
yudikatif, sehingga sangat mustahil kejaksaan dalam menjalankan
tugasnya benar-benar merdeka atau independen.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa saja Tugas dan Fungsi Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana?
1.2.2 Apa saja Wewenang Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana?
1.2.3 Mengapa Kejaksaan mempunyai wewenang untuk melakukan
penyidikan dalam pidana khusus?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Agar mahasiswa mengetahui apa saja Wewenang Kejaksaan dalam
1.3.2

Sistem Peradilan Pidana


Agar mahasiswa mengetahui apa saja Fungsi Kejaksaan dalam

1.3.3

Sistem Peradilan Pidana


Agar mahasiswa mengetahui mengapa Kejaksaan mempunyai
wewenang untuk melakukan penyidikan dalam pidana khusus.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang dibuat untuk
menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu
ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu
usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada
dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima.
Adapun komponen-komponen dalam sistem peradilan pidana yang
bekerja menurut kewenangannya masing-masing, antara lain kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan advokat. Pada kali
ini, penulis akan membahas tentang peran kejaksaan dalam sistem
peradilan pidana.
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita ulas pengertian dari
kejaksaan. Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan
yang

melaksanakan

pelaksanaan

tugas

kekuasaan
dan

negara

kewenangan

secara
di

bidang

merdeka

terutama

penuntutan

dan

melaksanakan tugas dan kewenangan di bidang penyidikan dan penuntutan


perkara tindak pidana korupsi dan Pelanggaran HAM berat serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Pelaksanaan kekuasaan negara tersebut diselenggarakan oleh:
2.1.1

Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Indonesia dan


daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia.
Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang
merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung jawab
tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan
tugas, dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung

2.1.2

diangkat dan diberhentikan oleh presiden.


Kejaksaan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin
oleh seorang kepala kejaksaan tinggi yang merupakan pimpinan

dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan


2.1.3

pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.


Kejaksaan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Kejaksaan
Negeri dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan negeri yang
merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang
memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang
kejaksaan di daerah hukumnya. Pada Kejaksaan Negeri tertentu
terdapat juga Cabang Kejaksaan Negeri yang dipimpin oleh Kepala
Cabang Kejaksaan Negeri.

2.2 Sejarah Kejaksaan Indonesia


Lembaga kejaksaan yang kita kenal saat ini memiliki sejarah
panjang mulai dari masa kolonial, penjajahan Jepang sampai dengan saat
ini. Jaksa yang kita kenal saat ini berasal dari bahasa Sansakerta, Adhyaksa
yang baik dahulu maupun sekarang selalu dihubungkan dengan bidang
penegakan hukum, namun dalam hubungan yang agak berbeda saat ini.
Kata Adhyaksa dapat diartikan, antara lain:
1). Superintendant atau superintendance;
2). pengawas dalam urusan kependetaan, baik agama Budha maupun
Syiwa dan mengepalai kuil-kuil yang didirikan di sekitar istana, disamping
itu juga bertugas sebagai hakim dan berada di bawah perintah serta
pengawasan mahapatih;
3). Adhyaksa diartikan sebagai hakim sedangkan Dharmaadhyaksa sebagai
opperrechternya;
4). Adhyaksa sebagai rechter van instructie bijde landraad yang kalau
dihubungkan dalam dunia modern saat ini sama dengan jabatan sebagai
hakim komisaris.
Istilah Adhyaksa berganti menjadi Jaxa pada era VOC, kemudian
dilanjutkan pada pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda, jaksa berada di bawah Residen atau Asisten Residen dan
bukan di bawah Prosecureur General, dan pejabat jaksa ini hanya dikenal
di Jawa. Di Sulawesi Selatan dahulu tidak dikenal pejabat yang bertugas

sebagai jaksa dan polisi seperti sekarang ini. Tugas-tugas demikian


dilakukan oleh para Kepala Adat dan orang yang merasa dirugikan
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Belanda mengambil alih
lembaga penuntut umum ini dari Perancis dan memasukkannya dalam
undang-undang hukum acara pidananya (1838) yang berdasarkan
Inlandsche Reglement (IR) tahun 1848 diterapkan pula di Indonesia.
Perkembangan yang berarti justru pada masa pendudukan Jepang. Pada
masa pendudukan Jepang tersebut, jabatan Asisten Residen dihapuskan,
wewenang Asisten Residen di bidang hukum acara pidana dialihkan
sepenuhnya kepada jaksa, dalam hal ini adalah Kepala Kejaksaan Negeri
(Thio Kensatsu Kiyokuco) yang berada di bawah Kepala Kejaksaan Tinggi
(Kooto Kensatsu Kiyokuco).
Setelah kemerdekaan, dengan Maklumat Pemerintah Republik
Indonesia tanggal 1 Oktober 1945, Kejaksaan dikembalikan ke
Departemen

Kehakiman,

sedangkan

Kepolisian

termasuk

dalam

Departemen Dalam Negeri.


2.3 Tugas Kejaksaan
Melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di
daerah hukum Kejaksaan Tinggi yang bersangkutan sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
Jaksa serta tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
2.4 Fungsi Kejaksaan
2.4.1 Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis
pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan
sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan perundang2.4.2

undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;


penyelengaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan
sarana, pembinaan manajemen, administrasi, organisasi dan
tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik negara menjadi

2.4.3

tanggung jawabnya;
pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang
berintikan keadilan di bidang pidana;.

2.4.4

pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial,


dibidang ketertiban
bantuan,

dan ketentraman

pertimbangan,

pelayanan

umum, pemberian
dan penegaakan hukum

di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan
tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum,
pemerintah

kewibawaanm

dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan


2.4.5

Jaksa Agung;
penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau
tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan
penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau
disebabkan hal - hal yang dapat membahayakan orang lain,

2.4.6

lingkungan atau dirinya sendiri;


pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah,
penyusunan peraturan perundang-undangan serta peningkatan

2.4.7

kesadaran hukum masyarakat;


koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta
pengawasan, baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas
pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

BAB III
KEWEWENANG
3.1 Wewenang Kejaksaan
Adapun tugas dan wewenang Kejaksaan dalam UU No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan R.I. sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30,
yaitu :
3.1.2

Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:


3.1.2.1 Melakukan penuntutan;
3.1.2.2 Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
3.1.2.3

telah memperoleh kekuatan hukum tetap;


Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan

bersyarat;
3.1.2.4 Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
3.1.2.5 Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
3.1.3

dengan penyidik.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk

3.1.4

dan atas nama negara atau pemerintah


Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
3.1.4.1 Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
3.1.4.2 Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
3.1.4.3 Pengamanan peredaran barang cetakan;
3.1.4.4 Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
3.1.4.5 Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
3.1.4.6 Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.

Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan


dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit
atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena bersangkutan

tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat
membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 UndangUndang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan
wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur
bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina
hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan
negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan
dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi
pemerintah lainnya.
Republik Indonesia, juga di dalam KUHAP diatur tugas dan kewenangan
tersebut. Berdasarkan hal tersebut menurut Djoko Prakoso (1988:23-25) dapat
diinventarisir kewenangan yang diatur dalam KUHAP tersebut sebagai berikut :
a)
Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai
melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan Berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 30 ayat (1) dapat kita lihat bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan
memang sangat menentukan dalam membuktikan apakah seseorang atau korporasi
terbukti melakukan suatu tindak pidana atau tidak. Selain tugas dan wewenang
yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1), maka dimungkinkan pula Kejaksaan
diberikan tugas dan wewenang tertentu berdasarkan Undang-Undang yang lain
selain Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
misalnya dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Terorisme. Hal ini diatur dalam Pasal 32 Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yang tertulis :
Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, Kejaksaan
dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Dalam hal penuntutan pihak Kejaksaan sebagai Penuntut Umum setelah
menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik segera setelah menunjuk
salah seorang jaksa untuk mempelajari dan menelitinya yang kemudian hasil
penelitiannya diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (KAJARI). Menurut
Leden Marpaung (1992:19-20) bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam proses penuntutan yaitu : [3]

1)

Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik karena ternyata belum

lengkap disertai petunjuk-petunjuk yang akan dilakukan penyidik (prapenuntutan)


2)
Melakukan penggabungan atau pemisahan berkas
3)
Hasil penyidikan telah lengkap tetapi tidak terdapat bukti cukup atau
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya disarankan
agar penuntutan dihentikan. Jika saran disetujui maka diterbitkan surat ketetapan.
Atas surat ketetapan dapat diajukan praperadilan.
4)
Hasil penyidikan telah lengkap dan dapat diajukan ke pengadilan Negeri.
Dalam hal ini KAJARI menerbitkan surat penunjukan Penuntutan Umum.
Penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan rampung
kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada Pengadilan
Negeri.
Selain tugas dan wewenang Kejaksaan yang diatur dalam Undang Nomor
16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan tindak pidana (Pasal 109 ayat (1)) dan
pemberitahuan baik dari penyidik mab)

Menerima berkas perkara dari penyidik

dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf
a dan b. dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung
dari penyidik pembantu (Pasal 12).
1). Mengadakan prapenuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan
ketentuan materi Pasal 110 ayat (3), (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2).
2). Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2), melakukan
penahanan rumah (Pasal 22 ayat (2), penahanan kota (Pasal 22 ayat (3)), serta
mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23).
3). Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan
penahanan serta dapat mencabut penangguhan dalam hal tersangka atau terdakwa
melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31).
4). Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau
membahayakan karena tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan
terhadap

perkara

itu

memperoleh

kekuatan

hukum

yang

tetap

atau

mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat


(1)).
5). Melarang atau mengurangi kebebasan hubungan antara penasehat hukum
dengan tersangka sebagai akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat (4)) dan
mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tanpa mendengar

10

isi pembicaraan (Pasal 71 ayat (1)) dan dalam hal kejahatan terhadap keamanan
negara dapat mendengar isi pembicaraan tersebut (Pasal 71 ayat (2)).
6). Meminta dilakukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
menerima sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal
80). Maksud Pasal 80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan
kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.
7). Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima
penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk
mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat
(1).
8). Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan
atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139).
9). Mengadakan tindakan lain antara lain meneliti identitas tersangka, barang
bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara
penyidik, penuntut umum dan pengadilan (Pasal 14 huruf i).
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan
(Pasal 140 ayat 1).
1). Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a.
2). Melanjutkan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan dikarenakan
adanya alasan baru (Pasal 140 ayat (2) huruf d).
3). Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat
dakwaan (Pasal 141).
4). Mengadakan pemecahan penuntutan (splitsing) terhadap satu berkas perkara
yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka
(Pasal 142).
5). Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan
beserta berkas perkara (Pasal 143 ayat (1).
6). Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat (2).
7). Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan,
penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan
hari sidang atau selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai (Pasal
144).
3.2 kewenangan kejaksaan dalam pidana khusus

11

Sejak berlakunya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981, sesuai dengan


pasal 6 KUHAP, maka yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat kepolisian
negara R.I dan Pejabat pegawai Negeri Sipil yang diberi kewenangan khusus
(dalam hal ini tidak termasuk kejaksaan), sehingga di negara R.I ini Kepolisian
merupakan penyidik tunggal terhadap perkara apapun.
Didalam peraturan peralihan KUHAP yaitu pasal 284 ayat (2) disebutkan :
Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap
semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualiaan
untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Lalu dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
ketentuan khusus adalah ketentuan yang menyangkut pengusutan, penuntutan dan
peradilan tindak pidana ekonomi (UU nomor 7 Drt tahun 1955 dan UU tentang
Pemberantasan tindak Pidana korupsi.
Akan tetapi untuk tidak menimbulkan keragaman penafsiran dalam
Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983 dalam pasal 17 secara tegas
menyebutkan kejaksaan sebagai penyidik untuk tindak pidana tertentu (korupsi).
Untuk lebih lengkapnya isi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2)
KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan pejabat Penyidik yang berwenang
lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Bahwa pada saat berlakunya KUHAP, dimana ditetapkan bahwa tugastugas penyidikan

diserahkan

sepenuhnya kepada

penyidik

sebagaimana

diatur dalam pasal 6 KUHAP, maka kejaksaan tidak lagi berwenang untuk
melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum. Namun
demikian, sesuai dengan ketentuan pasal 284 ayat (2) KUHAP Jo pasal 17
Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983, Jaksa masih berwenang untuk
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu (tindak pidana khusus).

12

Disamping PP nomor 27 tahun 1983 tersebut yang menjadi dasar hukum


kejaksaan melakukan penyidikan adalah pasal 2 TAP MPR Nomor :
XI/MPR/1998 tanggal 13 Nopember 1983 yang secara eksplisit mengakui
eksistensi kejaksaan Republik Indonesia sebagai penyidik tindak pidana korupsi
dan menugaskan kejaksaan untuk melakukan akselerasi dalam pemberantasan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bahkan dengan berlakunya Undang-undang
nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat
(1) huruf d yang menyebutkan :
Tugas dan kewenangan Jaksa adalah : Melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan UU.
Dalam penjelasannya dinyatakan yang dimaksud dengan tindak pidana
tertentu berdasarkan UU adalah sebagaimana diatur dalam UU Nomor : 26 tahun
2000 tentang pengadilan HAM dan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Korupsi Jo
UU Nomor 20 tahun 2000 Jo UU Nomor : 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Seperti telah disebutkan dimuka adanya putusan pengadilan negeri tersebut
setidaknya telah menimbulkan keragaman putusan pengadilan atas suatu hal dan
objek yang sama. Memang belum dapat dipastikan adanya jurisprudensi tetap
yang dapat dijadikan pedoman dalam menjawab dengan pasti mengenai
kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
Mahkamah Agung telah memberikan jawaban untuk menanggapi
persoalan

hukum tersebut

dengan

mengeluarkan

pendapat/fatwa

nomor

KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret 2005, dimana pada pokonya fatwa tersebut


berpendirian bahwa jaksa mempunyai kewenangan untuk menyidik perkara tindak
pidana korupsi sesudah berlakunya UU Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang
nomor 20 tahun 2001 dengan dasar :
1). Pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 ju undang-undang nomor 20 tahun 2001.
2). Pasal 27 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
3). Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya.
4). Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983

13

5). Pasal 30 ayat (1) huruf d UU nomor 16 tahun 2004. (sumber Varia Peradilan
ke-XXI nomor 243 Pebruari 2006, hal. 34).
Melalui fatwa Mahkamah Agung ini didapat konstruksi hukum yaitu
bahwa berdasarkan pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. UU nomor 20 tahun
2001 penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap
tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum Acara Pidana (KUHAP),
sehingga oleh karena KUHAP ada aturan pasal 284 ayat (2) KUHAP dan
penjelasannya jo pasal 17 PP nomor 27 tahun 1983 maka jelas jaksa memiliki
kewenangan dalam menyidik tindak pidana korupsi.

14

BAB IV
SIMPULAN
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka terutama pelaksanaan tugas dan
kewenangan di bidang penuntutan dan melaksanakan tugas dan kewenangan di
bidang penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan Pelanggaran
HAM berat serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang, yang terdiri dari
Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung.
Adapun tugas dan wewenang Kejaksaan dalam UU No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan R.I. sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu di bidang
pidana, perdata dan tata usaha negara, dan ketertiban dan ketentraman umum.
Kejaksaanpun memiliki kewenangan untuk menyidik pidana khusus, seperti
pidana korupsi yang telah diatur dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dan
penjelasannya jo pasal 17 PP nomor 27 tahun 1983.

15

DAFTAR PUSTAKA
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Kedudukan dan Fungsinya dari
Perspektif Hukum, 2005
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Mengenal Lembaga Kejaksaan di
Indonesia, 1987
Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,1988
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta, 1992
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung,
1979
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Yoyakarta: Citra
Aditya Bakti, 1993), hal. 2.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum.
Jakarta: Pradnya Pramita, 1996.
http://Kejaksaan.go.id/tentang_Kejaksaan.php?id=1 diakses pada
19.00 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_Republik_Indonesia

16/04/2016

diakses

16/04/2016 19.11 WIB


http://iusyusephukum.blogspot.co.id/2015/11/makalah-kejaksaan-dalamsistem_6.html diakses pada 16/04/2016 19.30 WIB

pada

You might also like