Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lembaga kejaksaan dengan undang-undang nomor 16 tahun 2004
telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara
dibidang penuntutan. Kejaksaa memiliki peran yang sangat penting dalam
proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana
masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Penuntut Umum.
Peran yang amat besar inilah seharusnya disertai kemandirian dalam
melaksanakan kewenangannya tersebut, karena tanpa kemandirian dari
kajaksaan, maka akan sangat sulit mengarapkan kemandirian kekuasaan
peradilan pidana.
Lembaga Kejaksaan dalam perkembangannya telah beberapa kali
memiliki payung hukum. Pada masa orde lama dengan undang-undang
nomor 15 tahun 1961, pada masa orde baru dengan undang-undang nomor
5 tahun 1991 dan yang sekarang berlaku dengan undang-undang nomor 16
tahun 2004. Dari ketiga undang-undang tersebut sebenarnya tidak ada
perbedaan yang signifikan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga
kejaksaan. Kedudukan kejaksaan justru lebih mantap ketika masa orde
lama bila dibanding dengan masa reformsi. Dalam Undang-undang nomor
15 tahun 1961 pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa kejaksaan adalah alat
negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum.
Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1991 dan UU nomor 16 tahun 2004
justru kejaksaan menjadi lembaga pemerintahan artinya kejaksaan adalah
lembaga eksekutif, padahal kalau dilihat kewenangan kejaksaan dalam
melakukan penuntutan jelas kejaksaan melakukan kekuasaan dibidang
yudikatif. Disinilah terjadi ambivalensi kedudukan kejaksaan dalam
penegakan hukum di indonesia. Memang dalam undang-undang 16 tahun
2004 pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa kekuasaan kejaksaan dilakukan
secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan
1.3.3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang dibuat untuk
menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu
ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu
usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada
dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima.
Adapun komponen-komponen dalam sistem peradilan pidana yang
bekerja menurut kewenangannya masing-masing, antara lain kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan advokat. Pada kali
ini, penulis akan membahas tentang peran kejaksaan dalam sistem
peradilan pidana.
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita ulas pengertian dari
kejaksaan. Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan
yang
melaksanakan
pelaksanaan
tugas
kekuasaan
dan
negara
kewenangan
secara
di
bidang
merdeka
terutama
penuntutan
dan
2.1.2
Kehakiman,
sedangkan
Kepolisian
termasuk
dalam
2.4.3
tanggung jawabnya;
pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang
berintikan keadilan di bidang pidana;.
2.4.4
dan ketentraman
pertimbangan,
pelayanan
umum, pemberian
dan penegaakan hukum
di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan
tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum,
pemerintah
kewibawaanm
Jaksa Agung;
penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau
tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan
penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau
disebabkan hal - hal yang dapat membahayakan orang lain,
2.4.6
2.4.7
BAB III
KEWEWENANG
3.1 Wewenang Kejaksaan
Adapun tugas dan wewenang Kejaksaan dalam UU No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan R.I. sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30,
yaitu :
3.1.2
bersyarat;
3.1.2.4 Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
3.1.2.5 Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
3.1.3
dengan penyidik.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk
3.1.4
tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat
membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 UndangUndang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan
wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur
bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina
hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan
negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan
dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi
pemerintah lainnya.
Republik Indonesia, juga di dalam KUHAP diatur tugas dan kewenangan
tersebut. Berdasarkan hal tersebut menurut Djoko Prakoso (1988:23-25) dapat
diinventarisir kewenangan yang diatur dalam KUHAP tersebut sebagai berikut :
a)
Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai
melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan Berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 30 ayat (1) dapat kita lihat bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan
memang sangat menentukan dalam membuktikan apakah seseorang atau korporasi
terbukti melakukan suatu tindak pidana atau tidak. Selain tugas dan wewenang
yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1), maka dimungkinkan pula Kejaksaan
diberikan tugas dan wewenang tertentu berdasarkan Undang-Undang yang lain
selain Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
misalnya dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Terorisme. Hal ini diatur dalam Pasal 32 Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yang tertulis :
Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, Kejaksaan
dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Dalam hal penuntutan pihak Kejaksaan sebagai Penuntut Umum setelah
menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik segera setelah menunjuk
salah seorang jaksa untuk mempelajari dan menelitinya yang kemudian hasil
penelitiannya diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (KAJARI). Menurut
Leden Marpaung (1992:19-20) bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam proses penuntutan yaitu : [3]
1)
dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf
a dan b. dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung
dari penyidik pembantu (Pasal 12).
1). Mengadakan prapenuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan
ketentuan materi Pasal 110 ayat (3), (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2).
2). Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2), melakukan
penahanan rumah (Pasal 22 ayat (2), penahanan kota (Pasal 22 ayat (3)), serta
mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23).
3). Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan
penahanan serta dapat mencabut penangguhan dalam hal tersangka atau terdakwa
melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31).
4). Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau
membahayakan karena tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan
terhadap
perkara
itu
memperoleh
kekuatan
hukum
yang
tetap
atau
10
isi pembicaraan (Pasal 71 ayat (1)) dan dalam hal kejahatan terhadap keamanan
negara dapat mendengar isi pembicaraan tersebut (Pasal 71 ayat (2)).
6). Meminta dilakukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
menerima sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal
80). Maksud Pasal 80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan
kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.
7). Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima
penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk
mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat
(1).
8). Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan
atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139).
9). Mengadakan tindakan lain antara lain meneliti identitas tersangka, barang
bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara
penyidik, penuntut umum dan pengadilan (Pasal 14 huruf i).
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan
(Pasal 140 ayat 1).
1). Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a.
2). Melanjutkan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan dikarenakan
adanya alasan baru (Pasal 140 ayat (2) huruf d).
3). Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat
dakwaan (Pasal 141).
4). Mengadakan pemecahan penuntutan (splitsing) terhadap satu berkas perkara
yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka
(Pasal 142).
5). Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan
beserta berkas perkara (Pasal 143 ayat (1).
6). Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat (2).
7). Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan,
penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan
hari sidang atau selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai (Pasal
144).
3.2 kewenangan kejaksaan dalam pidana khusus
11
diserahkan
sepenuhnya kepada
penyidik
sebagaimana
diatur dalam pasal 6 KUHAP, maka kejaksaan tidak lagi berwenang untuk
melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum. Namun
demikian, sesuai dengan ketentuan pasal 284 ayat (2) KUHAP Jo pasal 17
Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983, Jaksa masih berwenang untuk
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu (tindak pidana khusus).
12
hukum tersebut
dengan
mengeluarkan
pendapat/fatwa
nomor
13
5). Pasal 30 ayat (1) huruf d UU nomor 16 tahun 2004. (sumber Varia Peradilan
ke-XXI nomor 243 Pebruari 2006, hal. 34).
Melalui fatwa Mahkamah Agung ini didapat konstruksi hukum yaitu
bahwa berdasarkan pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. UU nomor 20 tahun
2001 penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap
tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum Acara Pidana (KUHAP),
sehingga oleh karena KUHAP ada aturan pasal 284 ayat (2) KUHAP dan
penjelasannya jo pasal 17 PP nomor 27 tahun 1983 maka jelas jaksa memiliki
kewenangan dalam menyidik tindak pidana korupsi.
14
BAB IV
SIMPULAN
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka terutama pelaksanaan tugas dan
kewenangan di bidang penuntutan dan melaksanakan tugas dan kewenangan di
bidang penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan Pelanggaran
HAM berat serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang, yang terdiri dari
Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung.
Adapun tugas dan wewenang Kejaksaan dalam UU No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan R.I. sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu di bidang
pidana, perdata dan tata usaha negara, dan ketertiban dan ketentraman umum.
Kejaksaanpun memiliki kewenangan untuk menyidik pidana khusus, seperti
pidana korupsi yang telah diatur dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dan
penjelasannya jo pasal 17 PP nomor 27 tahun 1983.
15
DAFTAR PUSTAKA
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Kedudukan dan Fungsinya dari
Perspektif Hukum, 2005
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Mengenal Lembaga Kejaksaan di
Indonesia, 1987
Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,1988
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta, 1992
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung,
1979
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Yoyakarta: Citra
Aditya Bakti, 1993), hal. 2.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum.
Jakarta: Pradnya Pramita, 1996.
http://Kejaksaan.go.id/tentang_Kejaksaan.php?id=1 diakses pada
19.00 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_Republik_Indonesia
16/04/2016
diakses
pada