You are on page 1of 19

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1

Definisi
Istilah leukemia pertama kali dijelaskan oleh Virchow sebagai darah putih
pada tahun 1874, adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi
dan proliferasi sel induk hematopoetik.2
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik pada
satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal akan
tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan menimbulkan
gejala klinis.2 Keganasan hematologik ini adalah akibat dari proses neoplastik
yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk
hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel ganas tersebut
dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik. Leukemia
adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk
leukosit yang lain daripada normal dengan jumlah yang berlebihan dapat
menyebabkan kegagalan sumsum tulang dan sel darah putih sirkulasinya
meninggi.5,6

Gambar 3.1 Bagan jenis leukemia yang dapat timbul dari berbagai tingkatan
sel induk hemopoetik5,6
Leukemia diklasifikasikan berdasarkan tipe sel, baik menurut maturitas sel
maupun turunan sel. Berdasarkan maturitas sel, leukemia dibedakan atas akut dan

32

kronik. Jika sel ganas tersebut sebagian besar immatur (blast) maka leukemia
diklasifikasikan akut, sedangkan jika yang dominan adalah sel matur maka
diklasifikasikan sebagai leukemia kronik. Berdasarkan turunan sel, leukemia
diklasifikasikan atas leukemia mieloid dan leukemia limfoid.2
Leukemia akut adalah keganasan primer sumsum tulang yang berakibat
terdesaknya komponen darah normal oleh komponen darah abnormal (blastosit)
yang disertai dengan penyebaran ke organ-organ lain. Leukemia akut memiliki
perjalanan klinis yang cepat, tanpa pengobatan penderita akan meninggal rata-rata
dalam 2-4 bulan. Leukemia akut dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu leukemia
3.2

mielositik akut dan leukemia limfositik akut. 2


Morfologi dan Fungsi Normal Sel Darah Putih
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh, yaitu
berfungsi melawan infeksi dan penyakit lainnya. Batas normal jumlah sel darah
putih berkisar dari 4.000 sampai 10.000/mm.3,6
Berdasarkan jenis granula dalam sitoplasma dan bentuk intinya, sel darah
putih digolongkan menjadi 2 yaitu: granulosit (leukosit polimorfonuklear) dan

agranulosit (leukosit mononuklear).6


3.2.2 Granulosit
Granulosit merupakan leukosit yang memiliki granula sitoplasma.
Berdasarkan warna granula sitoplasma saat dilakukan pewarnaan terdapat 3 jenis
granulosit yaitu neutrofil, eosinofil, dan basofil.6
a. Neutrofil
Neutrofil adalah garis pertahanan pertama tubuh terhadap invasi oleh
bakteri sangat fagositik dan sangat aktif. Sel-sel ini sampai di jaringan
terinfeksi untuk menyerang dan menghancurkan bakteri, virus atau agen
penyebab infeksi lainnya.1,5
Neutrofil mempunyai inti sel yang berangkai dan kadang-kadang seperti
terpisah- pisah, protoplasmanya banyak bintik-bintik halus (granula). Granula
neutrofil mempunyai afinitas sedikit terhadap zat warna basa dan memberi
warna biru atau merah muda pucat yang dikelilingi oleh sitoplasma yang
berwarna merah muda (gambar 3.2 hapusan sumsum tulang dengan
perbesaran 1000x).5

33

Gambar 3.2 Neutrofil5


Neutrofil merupakan leukosit granular yang paling banyak, mencapai
60% dari jumlah sel darah putih.25 Neutrofil merupakan sel berumur pendek
dengan waktu paruh dalam darah 6-7 jam dan jangka hidup antara 1-4 hari
dalam jaringan ikat, setelah itu neutrofil mati.1,5
b. Eosinofil

Gambar 3.3 Eosinofil5


Eosinofil merupakan fagositik yang lemah. Jumlahnya akan meningkat
saat terjadi alergi atau penyakit parasit. Eosinofil memiliki granula sitoplasma
yang kasar dan besar. Sel granulanya berwarna merah sampai merah jingga
(gambar 3.3 hapusan sumsum tulang dengan perbesaran 1000x). Eosinofil
memasuki darah dari sumsum tulang dan beredar hanya 6-10 jam sebelum
bermigrasi ke dalam jaringan ikat, tempat eosinofil menghabiskan sisa 8-12
hari dari jangka hidupnya.1,5
Dalam darah normal, eosinofil jauh lebih sedikit dari neutrofil, hanya 24% dari jumlah sel darah putih.5

34

c. Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitu kurang
dari 1% dari jumlah sel darah putih. Basofil memiliki sejumlah granula
sitoplasma yang bentuknya tidak beraturan dan berwarna keunguan sampai
hitam (gambar 3.4 hapusan sumsum tulang dengan perbesaran 1000x).1,5

Gambar 3.4 Basofil1,5


Basofil memiliki fungsi menyerupai sel mast, mengandung histamin
untuk meningkatkan aliran darah ke jaringan yang cedera dan heparin untuk
membantu mencegah pembekuan darah intravaskular. 1,5
3.2.2. Agranulosit
Agranulosit merupakan leukosit tanpa granula sitoplasma. Agranulosit
terdiri dari limfosit dan monosit. 1,5
a. Limfosit
Limfosit adalah golongan leukosit kedua terbanyak setelah neutrofil,
berkisar 20-35% dari sel darah putih, memiliki fungsi dalam reaksi imunitas.
Limfosit memiliki inti yang bulat atau oval yang dikelilingi oleh pinggiran
sitoplasma yang sempit berwarna biru (gambar 3.5 hapusan sumsum tulang
dengan perbesaran 1000x). Terdapat dua jenis limfosit yaitu limfosit T dan
limfosit B. Limfosit T bergantung timus, berumur panjang, dibentuk dalam
timus. Limfosit B tidak bergantung timus, tersebar dalam folikel-folikel
kelenjar getah bening.1,5

35

Gambar 3.5 Limfosit1,5


Limfosit T bertanggung jawab atas respons kekebalan selular melalui
pembentukan sel yang reaktif antigen sedangkan limfosit B, jika dirangsang
dengan

semestinya,

berdiferesiansi

menjadi

sel-sel

plasma

yang

menghasilkan imunoglobulin, sel-sel ini bertanggung jawab atas respons


kekebalan hormonal. 1,5
b. Monosit
Monosit merupakan leukosit terbesar. Monosit mencapai 3-8% dari sel
darah putih, memiliki waktu paruh 12-100 jam di dalam darah. 1

Gambar 3.6 Monosit5


Intinya terlipat atau berlekuk dan terlihat berlobus, protoplasmanya
melebar, warna biru keabuan yang mempunyai bintik-bintik sedikit kemerahan
(gambar 3.6 hapusan sumsum tulang dengan perbesaran 1000x). Monosit
memiliki fungsi fagositik dan sangat aktif, membuang sel-sel cedera dan mati,
3.3

fragmen-fragmen sel, dan mikroorganisme. 1,5


Patofisiologi

36

Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat
dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel
darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda
dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemia
memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi.
Sel leukemia juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk
sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada
jaringan.2
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi
kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom
dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh
kromosom, atau perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan kembali),
delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau lebih mengubah
bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan
mulainya proliferasi sel abnormal.4
Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel leukemia yang
mengakibatkan:
1. Penekanan hemopoesis normal sehingga terjadi bone marrow failure
2. Infiltrasi sel leukemia ke dalam organ sehingga menimbulkan
organomegali
3. Katabolisme sel meningkat sehingga terjadi keadaan hiperkatabolik.
Skema patofisiologi timbulnya gejala-gejala klinik pada leukemia akut
dapat dilihat pada gambar 3.6. 7

37

3.4

Gambar 3.7 Skema patofisiologi leukemia akut7


Leukemia Mieloblastik Akut
LMA merupakan leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik yang akan
berdiferensiasi ke semua sel mieloid. LMA merupakan leukemia nonlimfositik
yang paling sering terjadi. LMA lebih sering ditemukan pada orang dewasa (85%)
dibandingkan anak-anak (15%). Permulaannya mendadak dan progresif dalam
masa 1 sampai 3 bulan dengan durasi gejala yang singkat. Jika tidak diobati, LMA
fatal dalam 3 sampai 6 bulan.4

Gambar 3.8 Leukemia Mieloblastik Akut4

38

Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai


dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari
seri mieloid.7
Cara klasifikasi morfologik menurut FAB (France-America-British) seperti
berikut ini:4,7
a.
b.
c.
d.
e.
f.

M0: leukemia mielositik akut tanpa diferensiasi (5%)


M1: leukemia mielositik akut tanpa maturasi (15%)
M2: leukemia mielositik akut dengan maturasi (25%)
M3: leukemia promielositik akut (10%)
M4: leukemia mielomonositik akut (20%)
M5: leukemia monositik akut (10%)
1.
Subtipe M5a : tanpa maturasi
2.
Subtipe M5b : dengan maturasi
g. M6: leukemia eritroblastik (eritroleukemia)(5%) .
h. M7: leukemia megakariositik akut (5%)
WHO membuat klasifikasi untuk LMA yang pada dasarnya merupakan
klasifikasi MIC (morphology, immunophenotype, cytogenetic). Adapun klasifikasi
LMA menurut WHO tahun 2008 adalah sebagai berikut:8
a. AML with recurrent genetic abnormalities;
1. AML with t(8;21)(q22;q22) (RUNX1-RUNX1T1
2. AML with Inv(16)(p13.1q22), t(16;16)(p13.1;q22), CBFB-MYH11
3. Acute promyelocytic leukemia (APL) with t(15,17)(q22;q12), PML-RARA
4. AML with t(9;11)(p22;q23);MLLT3-MLL
5. AML with t(6;9)(p23;q34); DEK-NUP214
6. AML with inv(3)(q21q26.2) or t(3;3)(q21;q26.2); RPN1-EVI1
7. AML (megakaryoblastic) with t(1;22)(p13;q13); RBM15-MKL1
8. Provisional entity: AML with mutated Nucleophosmin 1 (NPM1)
9. Provisional entity: AML with mutated CEBPA
b. AML with myelodysplasia-related changes;
c. Therapy related myeloid neoplasms;
d. AML not otherwise specified (NOS);
1. Acute myeloid leukemia with minimal differentiation
2. Acute myeloid leukemia without maturation
3. Acute myeloid leukemia with maturation
4. Acute myelomonocytic leukemia
5. Acute monoblastic/monocytic leukemia
6. Acute erythroid leukemia
7. Pure erythroid leukemia
8. Erythroleukemia, erythroid/myeloid
9. Acute megakaryoblastic leukemia
10. Acute basophilic leukemia
11. Acute panmyelosis with myelofibrosis (syn.: acute myelofibrosis; acute
myelosclerosis)
e. Myeloid sarcoma;
f. Myeloid proliferations related to Down syndrome;
39

g. Blastic plasmocytoid dendritic cell neoplasm.


h. Acute leukemias of ambiguous lineage
Klasifikasi WHO mempunyai hubungan yang lebih baik dengan prognosis.
Pentingnya nilai prognostik dari kelainan genetik ditunjukkan dengan jelas pada
LMA dengan recurrent chromosome translocations: t(15;17)(q22;q12): t(8:21)
(q22;q22) dan inv16(p13q22) yang secara umum menunjukkan prognosis yang
lebih baik dengan remisi dan angka bertahan hidup yang lebih lama jika diobati
dengan pengobatan yang tepat. Sebaliknya LMA dengan karyotipe kompleks (>3
abnormalitas kromosom), delesi parsial atau hilangnya kromosom 5 dan/atau 7,
dan LMA dengan kelainan 11q23 sering kali ditandai oleh multilineage dysplasia,
positif terhadap multi drug resistant glycoprotein disertai respon yang tidak baik
terhadap terapi dan angka bertahan hidup yang paling pendek.7
3.5

Epidemiologi
Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh
kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada
anak (15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga
masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara
eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia. LMA pada orang yang berusia 30
tahun adalah 0,8%, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang
yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%. Secara tidak umum tidak
didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA, meskipun pernah
dilaporkan adanya insidens LMA tipa M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali besar pada ras
Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan dengan ras Kaukasia.4

40

Gambar 3.9 Insiden LMA9


Resiko mengalami LMA meningkat sekitar 10x dari umur 30-34 tahun
(sekitar 1 kasus setiap 100.000 orang) sampai umur 65-69 tahun (sekitar 10 kasus
setiap 100.000 orang). Untuk orang yang berusia di atas 70 tahun, tingkat insiden
meningkat yang puncaknya antara usia 80-84 tahun.9
3.6

Etiologi dan Faktor Resiko


Etiologi LMA tidak diketahui. Meskipun demikian, ada beberapa faktor
yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi
LMA pada populasi tertentu.10,11
a. Paparan terhadap zat kimia dihubungkan dengan peningkatan resiko ketika
paparannya signifikan dalam durasi waktu (merokok) atau bahayanya paparan
(benzena dan paparan petrokimia yang melibatkan kontak kimia langsung).
Benzene merupakan zat leukomogenik untuk LMA.
b. Paparan radiasi secara langsung merusak sel DNA sehingga menyebabkan
mutasi baik dengan mencegah sel menjadi dewasa atau menyebabkan sel
berproliferasi lebih dari jumlah normal dan dapat menyebabkan LMA.
Terdapat penelitian pada orang-orang yang selamat dari serangan bom atom
Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan
ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan
mencapai puncak 6 sampai 8 tahun sesudah pengeboman.
c. Terapi sebelumnya menggunakan obat obat anti kanker jenis tertentu
meningkatkan resiko mengembangkan LMA. LMA akibat terapi adalah
41

komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma


multipel, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker testis. Jenis kemoterapi
yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkalyting agent,
platinum agent, dan topoisomerase II inhibitor. LMA akibat terapi mempunyai
prognosis yang lebih buruk dibandingkan LMA de novo sehingga di dalam
klasifikasi leukemia versi WHO dikelompokkan tersendiri.
d. Trisomi adalah kelainan genetik ketika adanya ekstra salinan ketiga dari
kromosom. Dua jenis trisomi yang umumnya berkaitan dengan LMA adalah
trisomi kromosom 8 dan trisomi kromosom 21. Trisomi kromosom 8
mengakibatkan banyak kelainan skeletal yang meningkatkan resiko LMA.
Trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom Down
mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia,
khususnya LMA tipe M7.
e. Sindrom genetik seperti sindrom Bloom, sindrom Li-Fraumeni dan anemia
Fanconi,

Ataxia-telangiectasia,

Diamond-Blackfan

anemia,

sindrom

Schwachman-Diamond syndrome, Neurofibromatosis tipe 1, Neutropenia


kongenital berat (disebut juga sindrom Kostmann) juga diketahui mempunyai
risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita
LMA.
f. Beberapa penyakit darah memiliki resiko berkembang menjadi LMA seperti
Sindrom Mielodisplastik (sel darah putih yang abnormal dalam bentuk dan
ukurannya) serta penyakit mieloproliferatif (sel darah putih yang produksinya
3.7

berlebihan).
Gejala Klinik dan Kelainan Laboratorium
Gejala klinik LMA dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar:7,8,10,11
a. Gejala kegagalan sumsum tulang:
1) anemia menimbulkan gejala pucat dan lemah
2) netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai oleh demam, infeksi
rongga mulut, tenggorok, kulit, saluran napas, dan sepsis sampai syok
septik
3) trombositopenia

menimbulkan

easy

bruising,

perdarahan

kulit,

perdarahan mukosa, seperti perdarahan gusi dan epistaksis


b. Keadaan hiperkatabolik:
1) kaheksia
2) keringat malam
3) hiperurikemia yang dapat menimbulkan gout dan gagal ginjal
c. Infiltrasi ke dalam organ menimbulkan organomegali dan gejala lain seperti:

42

1)
2)
3)
4)
5)

nyeri tulang dan nyeri sternum


limfadenopati superfisial
splenomegali atau hepatomegali, biasanya ringan
hipertrofi gusi dan infiltrasi kulit
sindrom meningeal: sakit kepala, mual muntah, mata kabur, kaku kuduk

Adapun kelainan laboratorik yang dapat ditemukan pada LMA: 7,8,10,11


a. Darah tepi:
1) dijumpai anemia normokromik normositer, anemia sering berat dan
timbul cepat
2) trombositopenia, sering sangat berat di bawah 10x106/l
3) leukosit meningkat, tetapi dapat juga normal atau menurun (aleukemic
leukemia). Sekitar 25% menunjukkan leukosit normal atau menurun,
sekitar 50% menunjukkan leukosit meningkat 10.000-100.000/mm3, dan
25% meningkat di atas 100.000/mm3.
4) apusan darah tepi khas menunjukkan adanya sel muda (mieloblast,
promielosit, limfoblast, monoblast, erithroblast, atau megakariosit) yang
melebihi 5% dari sel berinti pada darah tepi. Sering dijumpai pseudo
Pelger-Huet Anomaly, yaitu neutrofil dengan lobus sedikit (dua atau satu)
yang disertai dengan hipo atau agranular.
b. Sumsum tulang
Hiperselular, hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast),
tampak monoton oleh sel blast, dengan adanya leukemic gap (terdapat
perubahan tiba-tiba dari sel muda / blast ke sel yang matang, tanpa sel antara).
Sistem hemopoesis normal mengalami depresi. Jumlah blast minimal 30%
dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam hitung 500 sel pada apusan
sumsum tulang).
c. Pemeriksaan immunophenotyping
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan klasifikasi
imunologik leukima akut. Pemeriksaan ini dikerjakan untuk pemeriksaan
surface marker guna membedakan jenis leukemia
d. Pemeriksaan sitogenetik
Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat diperlukan
dalam diagnosis leukemia karena kelainan kromososm dapat dihubungkan
3.8

dengan prognosis seperti terlihat pada klasifikasi WHO.


Kriteria Diagnosis
Diagnosis leukemia akut harus dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan
sumsum tulang. Pemeriksaan darah tepi yang normal tidak dapat menyingkirkan

43

kemungkinan diagnosis, terutama pada aleukemic leukemia. Tahap-tahap


diagnosis:7,8
1. Tentukan adanya leukemia akut:
a.Klinis
1. adanya gejala gagal sumsum tulang: anemia, perdarahan, dan infeksi,
sering disertai tanda-tanda hiperkatabolik
2. sering dijumpai organomegali, limfedenopati, hepatomegali, atau
splenomegali
b. Darah tepi dan sumsum tulang
1. blast dalam darah tepi lebih dari 5%
2. blast dalam sumsum tulang lebih dari 30%
Dari kedua pemeriksaan di atas kita dapat membuat diagnosis klinis
leukemia akut. Langkah berikutnya adalah menentukan jenis leukemia
akut yang dihadapi.
c.Tentukan jenisnya: dengan pengecatan sitokimia ditentukan klasifikasi FAB. Jika
terdapat fasilitas, lakukan:
1. immunophenotyping
2. pemeriksaan sitogenetika (kromosom)
Dengan langkah-langkah di atas akan ditegakkan diagnosis leukemia akut
serta klasifikasi morfologik maupun imunologiknya dan ditentukan status
prognostiknya. Di tempat-tempat dengan fasilitas terbatas, yang terpenting ialah
membedakan antara LMA dan LLA dengan teknik morfologi konvensional.
Dengan pengecatan konvensional, misalnya dengan MGG (May-GrunwaldGiemsa) ketepatan diagnosis hanya sekitar 30%. Membedakan LLA dengan LMA
sangat penting karena akan menentukan jenis pengobatan. 7,8
3.9

Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang dekat dengan LMA adalah LLA. Secara klinis keduanya
sulit dibedakan. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan apusan darah tepi dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Adapuna perbedaan antara LMA dan LLA: 7
Tabel 3.1 Perbedaan antara LMA dengan LLA7
Morfologi:
Kromatin
Nukleoli

Auer rod
Sel pengiring

LMA
LLA
Mieloblast:
Limfoblast:
Lebih halus
Bergumpal
Lebih
prominent, Lebih samar, lebih

lebih banyak
Positif
Neutrofil

sedikit
Negatif
Limfosit

Sitokimia:

44

mieloperoksidase
Sudan black
esterase non-spesifik
PAS
acid phosphatase
platelet peroxidase
Enzim
Tdt
Serum lysozime
Imunofenotipe
Mieloid
CD13
CD33
Glycophorin
Platelet antigens e.g. CD41
Myeloperoksidase
T lineage
TdT
3.10 Tatalaksana LMA

+
+
+
+ (monositik)
+ (halus)
+ (M7)

(kasar)
+ (ThyLLA)
-

+ (monositik)

+
-

+
+
+ (M6)
+ (M7)
+ (M0)

Terapi untuk LMA dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 7,8


1. Terapi spesifik : dalam bentuk kemoterapi
2. Terapi suportif : untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang baik karena
proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi.
A. Terapi Spesifik
Tahapan pengobatan kemoterapi pada LMA terdiri atas:
1. Fase induksi remisi
Berupa kemoterapi intensif untuk mencapai remisi, yaitu sutu keadaan dimana
gejala klinis menghilang, disertai blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
Dengan pemeriksaan morfologik tidak dapat dijumpai sel leukemia dalam
sumsum tulang dan darah tepi. Regimen kemoterapi untuk LMA pada fase
induksi remisi umumnya terdiri atas: 7,8
a. three plus seven regimen: Daunorubicin (golongan anthracycline/
antibiotik antitumor) 60mg/m2/hari (iv) untuk hari 1-3, dilanjutkan dengan
Ara-C

(cytosine

arabinoside/cytarabine

merupakan

golongan

antimetabolit) 200mg/m2/hari iv kontinu selama 7 hari.


b. ada juga yang memakai regimen DAT (daunorubicin, ARA-C, dan 6
Thioguanin = 6TG)
c. sekarang dipakai juga mitoxantrone atau etoposide pada kasus dengan
cadangan jantung yang compromised

45

d. pilihan lain adalah high dose Ara-C (HIDAC). Ara-C diberikan 1-3 g/m2
setiap 12 sampai 24 jam sampai dengan 12 dosis. HIDAC dapat juga
diberikan setelah regimen 3+7, yaitu hari 8-10 disebut dengan regimen
3+7+3
e. untuk induksi remisi pada kasus LMA M3 (leukimia promielositik akut)
daunorubisin digabungkan dengan ATRA (all-transretinoic acid). Untuk
kasus yang relap diberikan arsenic trioxide.
2. Fase post remisi
Suatu fase pengobatan untuk mempertahankan remisi selama mungkin yang
pada akhirnya akan menuju kesembuhan. Hal ini dicapai dengan: 7,8
a. Kemoterapi lanjutan terdiri dari:
i.
Terapi konsolidasi
2-6 siklus Ara-C dan 6 TG dengan atau tanpa DNR, dapat juga
ii.

diberikan Ara-C dosis tinggi ataupun amsacrine.


Terapi pemeliharaan (maintenance)
Umumnya, dengan terapi per oral jangka panjang meskipun manfaatnya
masih diperdebatkan sehingga sebagian besar terapi pemeliharaan tidak

iii.

diberikan pada LMA


Late intensification
Imunoterapi dapat diberikan misalnya dengan BCG meskipun

manfaatnya masih belum terbukti.


b. Transplantasi sumsum tulang : merupakan terapi konsolidasi yang
memberikan penyembuhan permanen pada sebagian penderita, terutama
penderita yang berusia di bawah 40 tahun. Efek samping dapat berupa
pneumonia interstitial (cytomegalo virus), graft versus host disease, dan
graft rejection. Sekarang lebih sering diberikan dalam bentuk transplantasi
sel induk dari darah tepi (peripheral blood stem cell transplantation).
B. Terapi Suportif
Terapi suportif bertujuan untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping obat.
Terapi suportif yang diberikan adalah: 7,8
1. Terapi untuk mengatasi anemia: transfusi PRC untuk mempertahankan
hemoglobin sekitar 9-10 g/dl.
2. Terapi untuk mengatasi infeksi terdiri atas:
a. antibiotika adekuat
b. transfusi konsentrat granulosit
c. perawatan khusus (isolasi)
d. hemopoietic growth factor (G-CSF atau GM-CSF)
3. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas:

46

a. transfusi konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit minimal


10x106/ml, idealnya di atas 20x106/ml.
b. pada M3 diberikan heparin untuk mengatasi DIC
4. Terapi untuk mengatasi hal-hal lain, yaitu:
a. Pengelolaan leukostasis: dilakukan dengan hidrasi intravenous dan
leukapharesis. Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan jumlah
leukosit.
b. Pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup, pemberian
alopurinol dan alkalinisasi urine.7,8
3.11 Prognosis
Hasil pengobatan LMA tidak sebaik LLA, tetapi akhir-akhir ini hasil
pengobatan mencapai kemajuan yang sangat pesat. Remisi dicapai pada 60-80%
kasus, 30% diantaranya tetap bebas leukemia setelah 3-5 tahun, sebagian besar
darinya akan mengalami kesembuhan. Namun pada umur di atas 65 tahun hanya
didapat hasil kesembuhan sekitar 5%.7
Tabel 3.2 Prognosis LMA7
Sitogenetik

Respon

sumsum

terhadap terapi
Usia

Prognosis Baik
t(15;17)
t(8;21)
inv(16)

Prognosis Buruk
Delesi kromosom 5 atau 7,
mutasi Flt-3
11q23
t(6;9)
abn (3q)
complex rearrangement
tulang <5% blast setelah induksi >20% blast setelah terapi
remisi
<60 tahun

pertama
>60 tahun

47

BAB IV
PENUTUP
1. Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri
mieloid.7 Hal ini menyebabkan terjadinya gejala klinis seperti gejala gagal sumsum
tulang

(anemia,

perdarahan,

dan

infeksi),

organomegali,

limfedenopati,

hepatomegali, atau splenomegali serta kelainan darah tepi dan sumsum tulang.
Dimana terapi yang diberikan berupa terapi spesifik (fase induksi remisi, dan post
remisi), serta terapi suportif. Prognosis pasien ditentukan oleh sitogenetik, respon
sumsum tulang terhadap terapi serta usia pasien.
2. Pada pasien ditemukan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan penunjang yang
mengarah ke Susp Leukemia Akut (LMA), dimana terapi yang diberikan saat ini
berupa terapi suportif, untuk stabilisasi kondisi pasien sebelum dilakukan
pemeriksaan lanjutan untuk memastikan jenis leukimia akut yang diderita pasien.

48

DAFTAR PUSTAKA
1. McKenzie SB. Text book of hematology, 2nd edition. Baltimore: William & Wilkins.
1996; 309-417.
2. Launder TM, Lawnicki LC, Perkins ML. Introduction to leukemia and the acute
leukemias. In: Harmening DM, eds. Clinical hematology and fundamental of
hemostasis. 4th edition. Philadelphia: FA. Davis Company. 2002; 272-357.
3. Wirawan R. Diagnosis Keganasan Darah dan Sumsum Tulang. Dalam:
Suryaatmadja, ed. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik. Jakarta: Bagian
Patologi Klinik FKUI. 2003; 129-150.
4. Kurniada A. Leukemia Mieloblastik Akut. Dalam: Sudoyo A., Setiyohadi B., Alwi I.,
(Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. 2006. Hal: 716-719.
5. Greet JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B (editors).
Winstrobes Clinical Hematology. 11th edition. Philadelphia: Lippincott-William
Wilkins, 2004.
6. Hoffman R, Benz EJ, Shatil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlave P
(editors), Hematology: Basic Principles and Practices. Third edition. New York:
Churchill Livingstone, 2000.
7. Bakta IM, Hematologi Klinik Ringkas. Cetakan 1. Denpasar:EGC, 2007.
8. Dohner H, et all. Diagnosis and Management of Acute Myeloid Leukemia in Adults:
Recommendations frorm an International Expert Panel, on Behalf of The European
LeukemiaNet. Blood. 2010; 115(3):453-474.
9. Howlader N, Noone AM, Krapcho M, Neyman N, Aminou R, Waldron W, Altekruse
SF, Kosary CL, Ruhl J, Tatalovich Z, Cho H, Mariotto A, Eisner MP, Lewis DR,
49

Chen HS, Feuer EJ, Cronin KA, Edwards BK (eds). SEER Cancer.Statistics Review,
1975-2008,

National

Cancer

Institute.

Bethesda,

MD,

www.seer.cancer.gov/csr/1975_2008/, based on November 2010 SEER data


submission, posted to the SEER website, 2011.
10. Kohrt HEK, Jezdic S, Fey M, Geissler J, Jost L. Acute Myeloblastic Leukaemia.
ESMO/ACF Patient Guide Series. www.anticancerfund.org. www.esmo.org. 2011.
11. American Cancer Society. Leukemia-Acute Myeloid (Myelogenous). Atlanta, Ga:

American Cancer Society; 2016.

50

You might also like