Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Definisi
Istilah leukemia pertama kali dijelaskan oleh Virchow sebagai darah putih
pada tahun 1874, adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi
dan proliferasi sel induk hematopoetik.2
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik pada
satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal akan
tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan menimbulkan
gejala klinis.2 Keganasan hematologik ini adalah akibat dari proses neoplastik
yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk
hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel ganas tersebut
dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik. Leukemia
adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk
leukosit yang lain daripada normal dengan jumlah yang berlebihan dapat
menyebabkan kegagalan sumsum tulang dan sel darah putih sirkulasinya
meninggi.5,6
Gambar 3.1 Bagan jenis leukemia yang dapat timbul dari berbagai tingkatan
sel induk hemopoetik5,6
Leukemia diklasifikasikan berdasarkan tipe sel, baik menurut maturitas sel
maupun turunan sel. Berdasarkan maturitas sel, leukemia dibedakan atas akut dan
32
kronik. Jika sel ganas tersebut sebagian besar immatur (blast) maka leukemia
diklasifikasikan akut, sedangkan jika yang dominan adalah sel matur maka
diklasifikasikan sebagai leukemia kronik. Berdasarkan turunan sel, leukemia
diklasifikasikan atas leukemia mieloid dan leukemia limfoid.2
Leukemia akut adalah keganasan primer sumsum tulang yang berakibat
terdesaknya komponen darah normal oleh komponen darah abnormal (blastosit)
yang disertai dengan penyebaran ke organ-organ lain. Leukemia akut memiliki
perjalanan klinis yang cepat, tanpa pengobatan penderita akan meninggal rata-rata
dalam 2-4 bulan. Leukemia akut dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu leukemia
3.2
33
34
c. Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitu kurang
dari 1% dari jumlah sel darah putih. Basofil memiliki sejumlah granula
sitoplasma yang bentuknya tidak beraturan dan berwarna keunguan sampai
hitam (gambar 3.4 hapusan sumsum tulang dengan perbesaran 1000x).1,5
35
semestinya,
berdiferesiansi
menjadi
sel-sel
plasma
yang
36
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat
dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel
darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda
dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemia
memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi.
Sel leukemia juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk
sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada
jaringan.2
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi
kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom
dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh
kromosom, atau perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan kembali),
delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau lebih mengubah
bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan
mulainya proliferasi sel abnormal.4
Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel leukemia yang
mengakibatkan:
1. Penekanan hemopoesis normal sehingga terjadi bone marrow failure
2. Infiltrasi sel leukemia ke dalam organ sehingga menimbulkan
organomegali
3. Katabolisme sel meningkat sehingga terjadi keadaan hiperkatabolik.
Skema patofisiologi timbulnya gejala-gejala klinik pada leukemia akut
dapat dilihat pada gambar 3.6. 7
37
3.4
38
Epidemiologi
Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh
kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada
anak (15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga
masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara
eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia. LMA pada orang yang berusia 30
tahun adalah 0,8%, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang
yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%. Secara tidak umum tidak
didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA, meskipun pernah
dilaporkan adanya insidens LMA tipa M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali besar pada ras
Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan dengan ras Kaukasia.4
40
Ataxia-telangiectasia,
Diamond-Blackfan
anemia,
sindrom
berlebihan).
Gejala Klinik dan Kelainan Laboratorium
Gejala klinik LMA dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar:7,8,10,11
a. Gejala kegagalan sumsum tulang:
1) anemia menimbulkan gejala pucat dan lemah
2) netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai oleh demam, infeksi
rongga mulut, tenggorok, kulit, saluran napas, dan sepsis sampai syok
septik
3) trombositopenia
menimbulkan
easy
bruising,
perdarahan
kulit,
42
1)
2)
3)
4)
5)
43
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang dekat dengan LMA adalah LLA. Secara klinis keduanya
sulit dibedakan. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan apusan darah tepi dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Adapuna perbedaan antara LMA dan LLA: 7
Tabel 3.1 Perbedaan antara LMA dengan LLA7
Morfologi:
Kromatin
Nukleoli
Auer rod
Sel pengiring
LMA
LLA
Mieloblast:
Limfoblast:
Lebih halus
Bergumpal
Lebih
prominent, Lebih samar, lebih
lebih banyak
Positif
Neutrofil
sedikit
Negatif
Limfosit
Sitokimia:
44
mieloperoksidase
Sudan black
esterase non-spesifik
PAS
acid phosphatase
platelet peroxidase
Enzim
Tdt
Serum lysozime
Imunofenotipe
Mieloid
CD13
CD33
Glycophorin
Platelet antigens e.g. CD41
Myeloperoksidase
T lineage
TdT
3.10 Tatalaksana LMA
+
+
+
+ (monositik)
+ (halus)
+ (M7)
(kasar)
+ (ThyLLA)
-
+ (monositik)
+
-
+
+
+ (M6)
+ (M7)
+ (M0)
(cytosine
arabinoside/cytarabine
merupakan
golongan
45
d. pilihan lain adalah high dose Ara-C (HIDAC). Ara-C diberikan 1-3 g/m2
setiap 12 sampai 24 jam sampai dengan 12 dosis. HIDAC dapat juga
diberikan setelah regimen 3+7, yaitu hari 8-10 disebut dengan regimen
3+7+3
e. untuk induksi remisi pada kasus LMA M3 (leukimia promielositik akut)
daunorubisin digabungkan dengan ATRA (all-transretinoic acid). Untuk
kasus yang relap diberikan arsenic trioxide.
2. Fase post remisi
Suatu fase pengobatan untuk mempertahankan remisi selama mungkin yang
pada akhirnya akan menuju kesembuhan. Hal ini dicapai dengan: 7,8
a. Kemoterapi lanjutan terdiri dari:
i.
Terapi konsolidasi
2-6 siklus Ara-C dan 6 TG dengan atau tanpa DNR, dapat juga
ii.
iii.
46
Respon
sumsum
terhadap terapi
Usia
Prognosis Baik
t(15;17)
t(8;21)
inv(16)
Prognosis Buruk
Delesi kromosom 5 atau 7,
mutasi Flt-3
11q23
t(6;9)
abn (3q)
complex rearrangement
tulang <5% blast setelah induksi >20% blast setelah terapi
remisi
<60 tahun
pertama
>60 tahun
47
BAB IV
PENUTUP
1. Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri
mieloid.7 Hal ini menyebabkan terjadinya gejala klinis seperti gejala gagal sumsum
tulang
(anemia,
perdarahan,
dan
infeksi),
organomegali,
limfedenopati,
hepatomegali, atau splenomegali serta kelainan darah tepi dan sumsum tulang.
Dimana terapi yang diberikan berupa terapi spesifik (fase induksi remisi, dan post
remisi), serta terapi suportif. Prognosis pasien ditentukan oleh sitogenetik, respon
sumsum tulang terhadap terapi serta usia pasien.
2. Pada pasien ditemukan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan penunjang yang
mengarah ke Susp Leukemia Akut (LMA), dimana terapi yang diberikan saat ini
berupa terapi suportif, untuk stabilisasi kondisi pasien sebelum dilakukan
pemeriksaan lanjutan untuk memastikan jenis leukimia akut yang diderita pasien.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. McKenzie SB. Text book of hematology, 2nd edition. Baltimore: William & Wilkins.
1996; 309-417.
2. Launder TM, Lawnicki LC, Perkins ML. Introduction to leukemia and the acute
leukemias. In: Harmening DM, eds. Clinical hematology and fundamental of
hemostasis. 4th edition. Philadelphia: FA. Davis Company. 2002; 272-357.
3. Wirawan R. Diagnosis Keganasan Darah dan Sumsum Tulang. Dalam:
Suryaatmadja, ed. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik. Jakarta: Bagian
Patologi Klinik FKUI. 2003; 129-150.
4. Kurniada A. Leukemia Mieloblastik Akut. Dalam: Sudoyo A., Setiyohadi B., Alwi I.,
(Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. 2006. Hal: 716-719.
5. Greet JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B (editors).
Winstrobes Clinical Hematology. 11th edition. Philadelphia: Lippincott-William
Wilkins, 2004.
6. Hoffman R, Benz EJ, Shatil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlave P
(editors), Hematology: Basic Principles and Practices. Third edition. New York:
Churchill Livingstone, 2000.
7. Bakta IM, Hematologi Klinik Ringkas. Cetakan 1. Denpasar:EGC, 2007.
8. Dohner H, et all. Diagnosis and Management of Acute Myeloid Leukemia in Adults:
Recommendations frorm an International Expert Panel, on Behalf of The European
LeukemiaNet. Blood. 2010; 115(3):453-474.
9. Howlader N, Noone AM, Krapcho M, Neyman N, Aminou R, Waldron W, Altekruse
SF, Kosary CL, Ruhl J, Tatalovich Z, Cho H, Mariotto A, Eisner MP, Lewis DR,
49
Chen HS, Feuer EJ, Cronin KA, Edwards BK (eds). SEER Cancer.Statistics Review,
1975-2008,
National
Cancer
Institute.
Bethesda,
MD,
50