You are on page 1of 4

Itqan Ghazali

(G99142115)

Hernowo Setyo Utomo

(G99142116)

1. Tahap-tahap dalam patofisiologi terjadinya Pneumonia


a. Kongesti (24 jam pertama) : Merupakan stadium pertama, eksudat yang kaya protein
keluar masuk ke dalam alveolar melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor,
disertai kongesti vena. Paru menjadi berat, edematosa dan berwarna merah.
b. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) : Terjadi pada stadium kedua, yang berakhir
setelah beberapa hari. Ditemukan akumulasi yang masif dalam ruang alveolar, bersamasama dengan limfosit dan magkrofag. Banyak sel darah merah juga dikeluarkan dari
kapiler yang meregang. Pleura yang menutupi diselimuti eksudat fibrinosa, paru-paru
tampak berwarna kemerahan, padat tanpa mengandung udara, disertai konsistensi mirip
hati yang masih segar dan bergranula (hepatisasi = seperti hepar).
c. Hepatisasi kelabu (3-8 hari) : Pada stadium ketiga menunjukkan akumulasi fibrin
yang berlanjut disertai penghancuran sel darah putih dan sel darah merah. Paru-paru
tampak kelabu coklat dan padat karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi di
dalam alveoli yang terserang.
d. Resolusi (8-11 hari) : Pada stadium keempat ini, eksudat mengalami lisis dan
direabsorbsi oleh makrofag dan pencernaan kotoran inflamasi, dengan mempertahankan
arsitektur dinding alveolus di bawahnya, sehingga jaringan kembali pada strukturnya
semula.
(Buku Ajar Ilmu Patologi Price-Wilson halaman 711)
2. Pengelompokan pneumonia
Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia/CAP) adalah pneumonia yang
didapat di masyarakat
Diagnosis pneumonia kumoniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan
fisis, foto toraks dan laboratorium. Gambaran klinis biasanya ditandai dengan demam,
menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40 C, batuk dengan dahak mukoid atau
purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napasdan nyeri dada. Temuan pemeriksaan
fisis tergantung dari luas lesi di paru, pada auskultasi terdengar suara
napasbronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. Diagnosis pasti pneumonia
komuniti ditegakkan jika foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif
ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :

batukbatuk bertambah
perubahan karakteristik dahak/purulen
suhu tubuh > 38o C / riwayat demam
pemeriksaan fisis : ada tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki
leukosit > 10 000 atau < 4500

Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam
dirawat di
rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit.
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta), diagnosis
pneumonia
nosokomial adalah sebagai berikut :
a. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan
menyingkirkan semua
infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit
b. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
Ditambah 2 diantara kriteria berikut:
- suhu tubuh > 38C
- sekret purulen
- leukositosis
Health-care associated pneumonia (HCAP) adalah infeksi pada parenkim paru yang
dimana pada pasien ditemukan kultur positif bakteri pernafasan selama 2 hari setelah
perawatan di pelayanan kesehatan, hemodialisis jangka panjang, atau perawatan di rumah
sakit 30 hari sebelumnya tanpa penggunaan ventilator.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia, 2003)
3. Diagnosis AKI
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi
ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) yang
menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (urea-kreatin) dan non nitrogen, dengan
antau tanpa disertaio oliguria. Tergantung dari keparahan dan lamanya gangguan fungsi
ginjal, retensi sisa metabolisme tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik
lainnya seperti asidosis dan hiperkalemia, gangguan keseimbangan cairan serta dampak
terhadap berbagai organ tubuh lainnya. (Aru. W. Suddoyo, 2007. Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid .1 EGC: Jakarta.hal 574)

4. Terapi insulin dan pengaruhnya terhadap kadar kalium plasma


Hipokalemia bisa terjadi tanpa perubahan cadangan kalium sel. Ini disebabkan faktorfaktor yang merangsang berpindahnya kalium dari intravaskular ke intraseluler, antara
lain beban glukosa, insulin, obat adrenergik, bikarbonat, dsb. Insulin dan obat
katekolamin simpatomimetik diketahui merangsang influks kalium ke dalam sel otot.
Sedangkan aldosteron merangsang pompa Na+/K+ ATP ase yang berfungsi sebagai
antiport di tubulus ginjal. Efek perangsangan ini adalah retensi natrium dan sekresi
kalium.
Insulin mendorong kalium ke dalam sel saat transport glukosa dari plasma ke ruang
intrasel sehingga pemberian hormon ini selalu menyebabkan penurunan sementara dari
kalium serum. Melalui mekanisme ini dapat dicermati bahwa keadaan hipokalemia dapat
disebabkan karena pemberian insulin atau peningkatan kadar gula darah yang memicu
sekresi insulin dari sel beta pankreas.
5. Skema penatalaksanaan ketoasidosis diabetic dan sindroma hyperosmolar hiperglikemi
(Perkeni 2015)
Jam ke
(Infus I: NaCl 0,9%)

Infus II (Insulin)

Infus III (Koreksi

Infus IV (Koreksi

K+)

Bicnat)

0
1
2
3
4
5
Bila

2 kolf, jam
1 kolf, jam
2 kolf

Pada jam ke-2 Bolus 180

50 mEq/6 jam

1 kolf

mU/kgBB dilajutkan

(dalam infus)
Bila kadar K+:
< 3 : 75
3 4,5 : 50
4,5 6 : 25
>6:0
Kalium diperiksa

1 kolf
kolf

GD < 200 mg/dl,


ganti dextrose 5%.

dengan insulin IV kontinyu


90 mU/jam/KgBB dalam
NaCl 0,9%.
Bila GD < 200 mg/dl, pada

Bila kadar Na+ > 145


mEq, infus NaCl 0,9%
diganti dengan NaCl
0,45%
Pada pasien dengan gagal
jantung dan gagal ginjal
kongestif
direkomendasikan
pemasangan CVC (Central
Venous Catherter) untuk
memonitor pemberian
cairan.
Penanganan penyakit
pencetus juga merupakan
prioritas yang harus segera
dilakukan (misalnya
pemberian antibiotic yang
adekuat pada kasus
infeksi)

KAD atau GD < 300 mg/dl


pada SHH, kecepatan
insulin IV kontinyu
dikurangi 45 mU/jam/kgBB
Bila GD stabil 200 300
mg/dl selama 12 jam dan
pasien dapat makan, dapat
dimulai pemberian insulin
IV kontinyu 1-2 U/jam
disertai dengan insulin IV
kontinyu dihentikan setelah
hasil keton darah negative.
Kemudian dilanjutkan
dengan pemberian insulin
fixed dose basal bolus,
disesuaikan dengan
kebutuhan sebelumnya

ulang tiap 6 jam


sampai stabil
selama 24 jam

Bila PH:
< 7 : 100 mEq
HCO3
7 7,1: 50 mEq
HCO3
>7,1 : 0
Analisa gas darah
diperiksa ulang
tiap 6 jam sampai
stabil selama 24
jam

You might also like