Professional Documents
Culture Documents
(sola
Scriptura)
dan Anthenagoras juga terlihat hal yang sama. Tak ada tersirat dalam tulisan-tulisan ini,
yang merujuk pada kewewenangan Tradisi sebagai suatu bentuk wahyu yang terpisah dan
berdiri sendiri.
Irenaeus dan Tertullian berpegang pada sola Scriptura
Berdasarkan tulisan-tulisan Irenaeus dan Tertullian pada pertengahan hingga akhir abad
kedua inilah pertama kalinya kita mendapati konsep Tradisi Kerasulan (tradisi yang
diteruskan ke dalam gereja oleh para rasul secara lisan). Istilah "tradisi" hanya berarti
ajaran. Irenaeus dan Tertullian secara tegas menyatakan bahwa semua ajaran para Uskup
yang diberikan secara lisan berakar pada Ayat-ayat Suci dan dapat dibuktikan dari Ayatayat Suci tertulis.
Kedua orang ini menyatakan makna kedoktrinan yang sebenarnya dari Tradisi Kerasulan
yang secara lisan disampaikan dalam gereja-gereja.Dari sini, dapat dilihat secara jelas
bahwa semua doktrin mereka tersebut berasal dari Ayat-ayat Suci. Tak satupun doktrin,
yang mereka sebut sebagai Tradisi kerasulan, yang tak terdapat dalam Ayat-ayat Suci.
Dengan kata lain, Tradisi kerasulan yang didefinisikan oleh Irenaeus dan Tertullian
hanyalah ajaran Ayat-ayat Suci. Irenaeus lah yang menyatakan bahwa sementara para
Rasul yang pada mulanya berkotbah secara lisan, ajaran mereka kemudian dibuat tulisan
(Ayat-ayat Suci), dan sejak saat itu Ayat-ayat Suci menjadi tonggak dan dasar keyakinan
Gereja. Pernyataannya secara jelas adalah sebagai berikut:
"Kita telah belajar tentang rencana keselamatan kita dari mereka yang lewat mana kabar
baik turun kepada kita, yang telah mereka sampaikan di depan umum, dan, kemudian,
dengan kehendak Allah, diteruskan kepada kita dalam Ayat-ayat Suci, sebagai dasar dan
tiang kepercayaan kita." [1]
Tradisi, saat dikaitkan pada pernyataan lisan seperti khotbah atau pengajaran, dipandang
terutama sebagai penyampaian kebenaran Skriptur secara lisan, atau penyusunan
kebenaran alkitab dalam ekspresi keimanan. Tak ada seruan dalam tulisan Irenaeus atau
Tertullian tentang Tradisi mengenai doktrin yang tak terdapat dalam Skriptur.
Sebaliknya, kedua orang ini harus menghadapi kaum Gnostic yang adalah orang-orang
yang pertama-tama kali menyarankan dan mengajarkan bahwa mereka memiliki Tradisi
kerasulan lisan yang terpisah dari Ayat-ayat Suci. Irenaeus dan Tertullian menolak ide
tersebut dan bersandar hanya pada Ayat Suci untuk pernyataan dan pembelaan terhadap
doktrin. Sejarawan gereja, Ellen Flessman-van Leer menegaskan kebenaran ini:
"Bagi Tertullian, Ayat Suci adalah satu-satunya metode untuk menolak dan mensahkan
suatu doktrin berdasarkan isinya... Bagi Irenaeus doktrin Gereja pasti tak akan pernah
murni tradisional; sebaliknya, pemikiran bahwa disana ada beberapa kebenaran,
disampaikan semata-mata hanya lewat mulut (lisan), adalah merupakan jalan pikiran
kaum Gnostic... Bila Irenaeus ingin membuktikan kebenaran suatu doktrin secara
material, ia merujuk kepada Ayat Suci, karena disitulah ajaran para rasul dapat diperoleh
secara obyektif. Bukti dari tradisi dan Ayat Suci menyodorkan akhir yang tunggal dan
sama: untuk memperkenalkan ajaran Gereja sebagai ajaran Kerasulan yang asli. Yang
pertama membuktikan bahwa ajaran Gereja adalah ajaran rasul, dan yang kedua, apa
ajaran rasul itu." [2]
Alkitab adalah otoritas terakhir bagi Gereja permulaan. Secara materi cukup, dan
merupakan mediator akhir dalam segala permasalahan tentang kebenaran doktrin.
Sebagaimana yang dikatakan J.N.D. Kelly:
"Bukti yang paling jelas mengenai martabat Ayat Suci adalah kenyataan bahwa hampir
semua usaha keagamaan para Bapa rasul, apakah tujuan mereka menimbulkan polemik
atau pun konstruktif, dicurahkan pada apa yang disebut sebagai penjelasan Alkitab secara
terperinci. Selanjutnya, sudah menjadi anggapan dimanapun bahwa, agar suatu
doktrin dapat diterima, haruslah pertama-tama menunjukkan dasar Ayat Sucinya".
[3]
Heiko Oberman memberikan komentar tentang hubungan antara Ayat Suci dan Tradisi
dalam Gereja Pertama:
"Ayat Suci dan tradisi bagi Gereja Pertama tak mungkin saling terpisah: kerygma (pesan
kabar baik), Ayat Suci dan Tradisi sepenuhnya sama. Gereja mengajarkan kerygma, yang
ditemukan secara keseluruhan dalam bentuk tertulis dalam kitab-kitab kanonik. Tradisi
tidak dianggap sebagai suatu pelengkap bagi kerygma yang termuat dalam Ayat Suci
namun sebagai penyampaian kerygma yang sama dalam bentuk hidup: dengan kata lain
semuanya terdapat dalam Ayat Suci dan disaat yang sama semuanya terkandung dalam
Tradisi yang hidup". [4]
Cyril dari Yerusalem berpegang pada sola Scriptura
Kenyataan bahwa Gereja awal setia kepada prinsip Ayat Suci semata (sola Scriptura)
jelas terlihat lewat karya Cyril dari Yerusalem (uskup dari Yerusalem pada pertengahan
abad ke-4). Beliau adalah pengarang apa yang dikenal sebagai Kuliah-kuliah Kateketik
(Catechetical Lectures). Karya ini adalah serentetan panjang kuliah yang disampaikan
kepada para penganut baru yang menjelaskan secara terperinci doktrin-doktrin prinsip
keimanan. Ini adalah penjelasan lengkap tentang keimanan Gereja pada masa ia hidup.
Ajarannya sepenuhnya berdasarkan Ayat Suci. Malah tak ada satu pun seruan dari
keseluruhan Pengajaran merujuk kepada Tradisi Kerasulan lisan yang terlepas dari Ayat
Suci.
Ia menyatakan dengan tegas bahwa seandainya ia memberikan suatu ajaran apapun
kepada para katekumen ini yang tidak dapat disahkan berdasarkan Ayat Suci, mereka
akan menolaknya. Kenyataan ini memperkuat bahwa kekuasaannya sebagai seorang
uskup tergantung dari kesetiaannya kepada Ayat-ayat Suci tertulis dalam
ajarannya. Kutipan-kutipan berikut adalah beberapa pernyataannya tentang kekuasaan
akhir Ayat Suci.
"Tanda ini telah membuatmu berpikir; manakah sekarang berdasarkan ikhtisar yang telah
diberkati, dan jika Tuhan mengabulkan, dapatlah kemudian disusun sesuai kekuatan kita,
dengan pembuktian Ayat Suci. Mengenai keagungan dan kekudusan Misteri Iman,
kita tak dapat mengeluarkan ucapan sesederhana bagaimanapun tanpa Ayat-ayat
Suci: ataupun dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan belaka dan kecerdikan
argumen. Jangan pula kemudian mempercayai saya karena saya memberitahukan kamu
hal-hal ini, kecuali kamu menerimanya dari Ayat-ayat Suci bukti dari apa yang tertulis:
karena keselamatan ini, yang adalah dari iman kita, bukan lewat alasan-alasan yang
berakal, namun dengan bukti dari Ayat-ayat Suci." [5]
"Namun anggaplah dirimu dan pegang iman tersebut seperti halnya seorang yang baru
mulai dan dengan pernyataan, yang mana lewat Gereja disampaikan padamu, dan
berdasarkan keseluruhan Ayat Suci. Oleh karena semua yang tidak dapat membaca Ayat
Suci, beberapa karena kebodohan, yang lainnya karena pekerjaan, menjadi terhalang dari
pengetahuan tentang Ayat-ayat Suci; agar jiwa tak mati karena ketiadaan pengajaran,
dalam Artikel-artikel yang sedikit ini kita memahami doktrin Iman secara keseluruhan..
Dan untuk sekarang, hafalkan Keimanan, simak saja perkataan-perkataan; dan lihat pada
saatnya bukti tentang setiap bagian-bagiannya dari Ayat-ayat Suci yang Agung. Karena
Artikel-artikel Keimanan tidak disusun berdasarkan kehendak manusia: namun pokokpokok yang terpenting dipilih dari semua Ayat-ayat Suci, membentuk satu ajaran tentang
Iman. Dan, sebagaimana mustard tersemai dari bebijian kecil memiliki banyak cabang,
demikian juga Iman ini, dalam beberapa kata, menyertakan keseluruhan pengetahuan
keilahian yang terkandung dalam Perjanjian Lama dan Baru. Lihatlah, oleh karena itu,
saudara-saudara dan peganglah tradisi yang kamu terima sekarang, dan tulis semua itu
sepenuh hatimu". [6]
Perhatikan tulisan di atas dimana Cyril menyatakan bahwa para katekumen menerima
tradisi, dan ia mendorong mereka untuk berpijak kepada tradisi, yang mereka terima
sekarang. Dari sumber manakah tradisi ini berasal? Sudah jelas berasal dari Ayat-ayat
Suci, ajaran atau tradisi atau wahyu Tuhan, yang dijalankan para Rasul dan disampaikan
kepada Gereja, dan yang sekarang dapat di diperoleh hanya lewat Ayat Suci.
Jelas bahwa Cyril dari Yerusalem, yang menyampaikan keseluruhan dari keimanan
kepada para penganut baru ini, tidak membuat satu pun seruan terhadap tradisi lisan
untuk mendukung ajaran-ajarannya. Keseluruhan keimanan didasarkan pada Ayat Suci
dan hanya Ayat Suci saja.
Gregory dari Nyssa berpegang pada sola Scriptura
Gregory dari Nyssa juga menyerukan prinsip ini. Ia mengatakan:
"Manusia secara umum masih berubah-ubah pendapatnya tentang hal ini, dimana
kekeliruan mereka sama banyaknya dengan jumlah mereka. Bagi kita sendiri, bila filosofi
Gentile (non-Yahudi), yang secara metodologi berhubungan dengan semua pokok-pokok
ini, benar-benar memadai untuk suatu peragaan, sudah tentu menjadi sangat berlebihan
untuk menambahkan suatu diskusi mengenai kejiwaan pada spekulasi-spekulasi itu.
Namun sementara yang terakhir tersebut dilanjutkan, mengenai masalah jiwa, sejauh
dalam konsekuensi yang telah diperkirakan yang membuat bahagia sang pemikir, kita
tidak memiliki hak dalam perijinannya, maksud saya tentang mensahkan apa yang kita
mau kita membuat Ayat-ayat Suci sebagai kendali dan takaran untuk setiap prinsip;
kita harus memperhatikan itu, dan dan menyetujui hal itu sendiri yang mungkin dibuat
untuk dipadukan dengan maksud tulisan-tulisan itu." [7]
Gereja pertama diselenggarakan berdasarkan sola Scriptura
sejarah Gereja. Hanya karena satu Bapa Gereja tertentu menyatakan bahwa suatu praktek
tertentu tersebut adalah berasal dari kerasulan bukan berarti bahwa itu memang
sebagaimana adanya. Maksudnya adalah bahwa ia memang mempercayainya. Namun
adalah mustahil untuk membuktikan bahwa itu adalah tradisi para Rasul.
Ada banyak praktek yang dilakukan Gereja Awal yang konon bermula dari Kerasulan
(dicatat oleh Basil yang Agung), namun tidak dipraktekkan sekarang. Jelaslah oleh
karena itu, seruan-seruan senada terhadap Tradisi kerasulan lisan yang merujuk kepada
kebiasaan dan praktek-praktek adalah tak memiliki arti.
Seruan Gereja Katolik Roma terhadap Tradisi sebagai suatu kekuasaan adalah
tidak sah.
Gereja Katolik Roma menyatakan memiliki suatu Ajaran Kerasulan lisan yang terlepas
dari Ayat Suci, dan yang mengikat manusia. Mereka merujuk pada pernyataan Paulus
dalam 2 Tesalonika 2:15: "Sebab itu, saudara-saudaraku, berdirilah teguh dan
berpeganglah pada tradisi-tradisi yang diajarkan padamu, baik secara lisan maupun
secara tertulis".
Roma menegaskan bahwa, berdasarkan ajaran Paulus dalam ayat ini, ajaran sola
Scriptura adalah salah, karena ia menyampaikan ajaran-ajaran kepada penduduk
Tesalonika secara lisan maupun tertulis. Namun yang menarik dalam penegasan tersebut
adalah bahwa para pendukung Roma tidak pernah mendokumentasikan doktrin-doktrin
khusus Paulus yang mereka katakan ada pada mereka, dan menurut mereka mengikat
manusia. Dari Francis de Sales hingga karya-karya Karl Keating dan Robert Sungenis
terdapat ketiadaan yang amat nyata tentang dokumentasi dari doktrin-doktrin khusus
yang Rasul Paulus tunjukkan.
Sungenis baru-baru ini mengedit suatu buku sebagai pembelaan bagi ajaran Katolik
Roma tentang tradisi yang berjudul Not By Scripture Alone. Karya ini dipuji sebagai
suatu sangkalan yang pas terhadap ajaran Protestant tentang sola Scriptura (hanya Ayat
Suci). Bukunya terdiri dari 627 halaman.Tak sekalipun dalam buku itu pengarang
menjelaskan kandungan doktrinal dari apa yang dianggap sebagai Tradisi kerasulan yang
mengikat semua manusia! Bagaimanapun, kita diberitahu bahwa itu ada, bahwa Gereja
Katolik Roma memilikinya, dan bahwa kita diikat, oleh karena itu, supaya tunduk pada
gereja ini yang memiliki wahyu Tuhan secara utuh dari para Rasul.
Apa yang Sungenis dan pengarang Katolik Roma lainnya gagal untuk menjelaskan,
adalah isi dan doktrin-doktrin yang jelas dari apa yang disebut "Tradisi kerasulan".
Alasan sederhana bahwa mereka tidak melakukannya adalah karena itu tidak ada. Bila
tradisi seperti itu ada dan penting mengapa Cyril dari Yerusalem tidak menyinggungnya
dalam Kuliah-kuliah Kateketik (Catechetical Lectures) karyanya?
Kami menantang siapapun untuk mendaftarkan doktrin-doktrin yang dirujuk Paulus
dalam 2 Tesalonika 2:15 yang ia katakan ia lakukan secara lisan kepada penduduk
Tesalonika. Satu-satunya wahyu khusus yang manusia miliki sekarang dari Tuhan yang
disampaikan kepada para Rasul adalah Skriptur Tertulis.
Ini adalah keyakinan dan praktek Gereja pertama. Prinsip ini dianut oleh para Reformis.
Mereka mencoba untuk mengembalikan itu kepada Gereja setelah korupsi kedoktrinan
masuk lewat pintu tradisi.
Ajaran tentang suatu bagian yang terpisah dari wahyu kerasulan yang dikenal sebagai
Tradisi yang adalah lisan sifatnya berkembang bukan dengan Gereja Kristen tapi lebih
dengan ajaran Gnostic. Ini adalah usaha kaum Gnostic untuk mendukung kekuasaan
mereka dengan memaksakan bahwa Ayat-ayat Suci tidaklah cukup. Mereka menyatakan
memiliki wahyu Kerasulan yang utuh karena mereka tidak hanya memiliki wahyu yang
tertulis mengenai kerasulan dalam Ayat-ayat Suci tapi juga tradisi lisannya, dan juga,
kunci untuk menafsirkan dan memahami wahyu tersebut.
Sebagaimana Para Bapa Gereja awal membantah ajaran tersebut dan menegaskan dengan
suatu kepercayaan terbatas terhadap dan seruan kepada Skriptur tertulis, maka kita juga
harus.
"Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku, dan Aku mengenal mereka, dan mereka
mengikut Aku" Yohanes 10:27.