You are on page 1of 26

SKENARIO IV

ANASTESI LOKAL DAN EKSODONSIA

Pak Budi umur 45 tahun datang ke RSGM FKG Unej atas rujukan bagian lain
dengan permintaan pencabutan gigi. Data pemeriksaan klinis intraoral terdapat
gigi 12, 13 dan 28 dengan kondisi gigi kaies profunda perforasi serta gigi 43 dan
48 sisa akar. Masing-masing gigi tersebut diindikasikan untuk dilakukan
eksodonsi. Pemeriksaan vital sign dan kondisi fisik pasien baik

STEP 1
1. Eksodonsia

: Tindakan pencabutan gigi dalam bidang kedokteran gigi

yang dilakukan tanpa menimbulkan trauma pada jaringan penyangga gigi.


2. Anestesi lokal : Tindakan untuk menghilangkan rasa sakit dengan cara
menghambat penjalaran impuls saraf nyeri yang bekerja pada lokasi
spesifik pada tubuh tanpa menghilangkan kesadaran dari pasien .
3. Rujukan
: Pelimpahan tanggung jawab kepada pihak yang lebih
kompeten atas penanganan suatu kasus
4. Vital sign
: Tanda-tanda vital yang meliputi nadi, suhu tubuh, tekanan
darah dan pernafasan, di mana pemeriksaan tersebut bertujuan
menggambarkan keadaan umum seseorang untuk membantu menegakkan
diagnosa dan menentukan rencana perawatan

STEP 2
1. Apakah tindakan pencabutan gigi 12, 13, 28, 43, dan 48 bisa dilakukan
secara bersamaan?
2. Apakah teknik anestesi pada pencabutan gigi 12, 13, 28, 43, dan 48
berbeda-beda? Bahan anestesi apa yang digunakan?
3. Apa pengaruh pemeriksaan vital sign dan kondisi fisik pasien terhadap
prosedur anestesi lokal dan eksodonsia?

4. Apakah gigi 12, 13, dan 28 dengan kondisi karies profunda perforasi harus
selalu dilakukan pencabutan?
5. Apa saja hal-hal yang dapat menyebabkan kegagalan anestesi?
6. Komplikasi apa saja yang dapat timbul setelah prosedur eksodonsia?
7. Instruksi apa saja yang harus diberikan dokter gigi kepada pasien setelah
pencabutan?

STEP 3
1. Tindakan pencabutan gigi 12, 13, 28, 43, dan 48 tidak bisa dilakukan
secara bersamaan. Hal ini berkaitan dengan faktor estetik pasien karena
terdapat gigi-geligi anterior yang diindikasikan untuk dicabut. Selain itu
juga akan berdampak pada kondisi psikologis pasien. Pasien akan merasa
tidak nyaman saat mengunyah makanan apabila gigi-geliginya dicabut
bersamaan. Diperlukan pertimbangan-pertimbangan sebelum melakukan
pencabutan gigi, seperti luar regio yang akan mengalami trauma,
perbedaan letak gigi, kondisi pasca pencabutan, komplikasi yang mungkin
terjadi, dll. Pada skenario dapat dilakukan 4 kali kunjungan pencabutan.
Yaitu pencabutan pada gigi 12 sekaligus gigi 13, lalu gigi 28, gigi 43 dan
gigi 48.
2. Teknik anestesi yang digunakan untuk mencabut gigi 12, 13, 28, 43, dan
48 berbeda-beda. Pada gigi 12 dan 13 digunakan teknik anestesi infiltrasi.
Untuk menganestesi bagian labial dan gigi yang bersangkutan, jarum
diarahkan pada daerah mukolabial gigi 13 sebelah mesial setinggi apeks
gigi yang bersangkutan. Jarum diinjeksikan dengan posisi bagian bevel
jarum menghadap ke tulang, sampai menyentuh periosteum. Nervus yang
dituju adalah nervus alveolaris superior anterior. Untuk anestesi bagian
palatal, jarum diarahkan ke daerah papilla incisiva untuk menganestesi
nervus nasopalatina yang terletak pada foramen incisivus.
Pada gigi 28, digunakan teknik anestesi infiltrasi untuk menganestesi
nervus alveolaris superior posterior dan nervus palatinur mayor untuk
bagian palatal.

Pada gigi 43, digunakan teknik anestesi infiltrasi untuk menganestesi


nervus mentalis. Selain itu untuk bagian lingual dianestesi pada nervus
lingualis, sedangkan bagian palatal nervus bukalis
Pada gigi 48, digunakan teknik anestesi blok pada nervus alveolaris
inferior. Untuk bagian lingual dianestesi pada nervus lingualis, sedangkan
bagian bukal dianestesi pada nervus bukalis.
Untuk penggunaan bahan anestetikum dapat menggunakan golongan
amida, yaitu lidokain, yang paling sering digunakan karena memenuhi
standar ideal bahan anestetikum, seperti tidak iritatif dan toksis, mampu
berdifusi dalam jaringan, durasi cukup panjang. Namun lidokain ini sering
dikombinasikan dengan bahan vasokonstriktor yaitu epinefrin dengan
perbandingan 1:100.000 untuk menambah durasi kerja obat.
3. Pemeriksaan vital sign dan kondisi fisik sangan berpengaruh pada
tindakan anestesi lokal dan eksodonsia. Pemeriksaan vital sign pada
dasarnya memiliki fungsi untuk menentukan obat anestetikum yang
digunakan, menentukan cara kerja operator seperti apa (dapat bekerja
sendiri atau secara tim), dan juga menentukan obat-obatan yang perlu
dipersiapkan apabila terjadi komplikasi. Misalnya pada pemeriksaan
tekanan darah, jika didapatkan tekanan darah pasien tinggi, tidak
dianjurkan menggunakan bahan anestetikum yang mengandung
vasokonstriktor karena dapat membahayakan keadaan pasien. Selain itu
apabila dilakukan pemeriksaan intraoral ditemukan pembengkakan pada
gingiva pasien karena peradangan, hal ini juga dapat menyebabkan
kegagalan dari tindakan anestesi lokal, karena akumulasi cairan eksudat
dapat menghambat kinerja dari obat anestetikum.
4. Gigi-geligi dengan kondisi karies profunda perforasi tidak harus selalu
diindikasikan pencabutan, tergantung dari kondisi gigi yang bersangkutan
dan juga kondisi jaringan periodontal yang menyangganya, apakah
memungkinkan untuk dilakukan perawatan saluran akar atau tidak
(diindikasikan pencabutan). Namun pada skenario gigi-geligi dengan
kondisi karies profunda perforasi memang diindikasikan pencabutan,

namun tidak disebutkan apa yang menyebabkan gigi tersebut diindikasikan


pencabutan.
5. Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan anestesi yaitu ada 2
:
a. Berasal dari pasien
1. Kondisi klinis rongga mulut pasien, apakah terdapat
pembengkakan yang dapat menghambat difusi obat anestetikum
atau tidak
2. Kebiasaan buruk pasien, seperti mabuk-mabukan, merokok, dll
3. Nilai ambang rasa sakit pasien tinggi
4. Variasi anatomi pasien
b. Berasal dari operator
1. Kurangnya skills dan pengetahuan operator mengenai anatomi
daerah kepala, sehingga dapat berakibat pada salah teknik dan
tempat injeksi pada nervus yang akan dianestesi
2. Kurang cermatnya operator saat melakukan anamnesis, sehingga
terdapat obat-obatan anestetikum yang alergik terhadap pasien.
Obat-oabtan ini dapat menyebabkan terjadinya syok pada pasien
6. Komplikasi yang terjadi saat dilakukan prosedur anestesi dan eksodonsia
adalah :
a. Saat dilakukan prosedur: perdarahan, fraktur akar, fraktur mahkota, dll
b. Pasca dilakukan prosedur : perdarahan hebat, hematoma, dry socket,
edema, parastesi, dll
7. Instruksi yang dapat disampaikan oleh dokter gigi kepada pasien pasca
pencabutan adalah :
a. Tidak diperbolehkan menghisap daerah pencabutan secara berlebihan
b. Tidak diperbolehkan makan makanan yang keras
c. Tidak diperbolehkan berkumur selama 30 menit setelah pencabutan

STEP

Sisa Akar dan


Karies Profunda Perforasi

Ekstraksi Gigi 12,


13, 28 dan 43 dan
48
Gigi 12 & 13

Gigi 28

Anestesi Infiltrasi
- N. Alveolaris Superior
Anterior
- N. Nasopalatinus

Gigi 43

Gigi 48

Anestesi Infiltrasi
- N. Mentalis
- N. Lingualis

Anestesi Infiltrasi
- N. Alveolaris Superior
Posterior
- N. Palatinus Mayor

Pemilihan
Obat dan
Komplikasi
Alat
Anestesi
dan
Anestesi
dan
Prosedur
Anestesi
Eksodonsia
Eksodonsia

Anestesi Blok
- N. Alveolaris Inferior
- N. Buccalis
- N. Lingualis
5

STEP 5
1. Mahasiswa mampu menentukan bahan anestesi yang dipakai sesuai kasus
pada skenario
2. Mahasiswa mampu menjelaskan teknik dan prosedur anestesi sesuai kasus
pada skenario
3. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi anestesi lokal dan eksodonsia
beserta penanganannya

STEP 7
1. Mahasiswa mampu menentukan bahan anestesi yang dipakai sesuai
kasus pada skenario
Anestetika lokal terdiri dari 2 bagian, gugus amin hidrofilik yang
dihubungkan dengan gugus aromatik hidrofobik oleh gugus antara. Gugus antara
dan gugus aromatik dihubungkan oleh ikatan amida atau ikatan ester.
Berdasarkan ikatan ini, anestetika lokal digolongkan menjadi :
a. senyawa ester

b. senyawa amida
A. Ester
Merupakan lokal anestesi yang dihidrolisa dalam aliran darah dan hati,
sering menyebabkan reaksi toksik, durasi pendek, tidak stabil dalam bentuk
larutan, diffusi jelek dalam jaringan, dan dapat menyebabkan reaksi alergi.
Tabel 1. Macam-macam obat lokal anestesi golongan ester :
Ester
Kokain

Toksisitas
Sangat tinggi

Benzokain

Rendah

Prokain

Rendah

1.

Kokain
Merupakan ester dari benzoic acid. Hanya dijumpai dalam bentuk topikal

semprot 4% untuk mukosa jalan napas atas. Lama kerja 2-30 menit. Contoh :
Fentanil. Efek lokal kokain yang terpenting yaitu kemampuannya untuk
memblokade konduksi saraf. Atas dasar efek ini, pada suatu masa kokain pernah
digunakan secara luas untuk tindakan di bidang oftalmologi, tetapi kokain ini
dapat menyebabkan terkelupasnya epitel kornea. Maka penggunaan kokain
sekarang sangat dibatasi untuk pemakaian topikal, khususnya untuk anestesi
saluran nafas atas. Kokain sering menyebabkan keracunan akut. Diperkirakan
besarnya dosis fatal adalah 1,2 gram. Sekarang ini, kokain dalam bentuk larutan
kokain hidroklorida digunakan terutama sebagai anestetik topikal, dapat
diabsorbsi dari segala tempat, termasuk selaput lendir. Pada pemberian oral
kokain tidak efektif karena di dalam usus sebagian besar mengalami hidrolisis.
2.

Benzokain
Merupakan derivat ester, tidak larut dalam air, digunakan sebagai lokal

anestesi pada permukaan mukosa, dan menghasilkan analgesi permukaan pada


mulut, pharing, telinga dan kulit
3.

Prokain
7

Sebagai anestetik lokal, prokain pernah digunakan untuk anestesi infiltrasi,


anestesi blok saraf, anestesi spinal, anestesi epidural, dan anestesi kaudal. Namun
karena potensinya rendah, mula kerja lambat, serta masa kerja pendek maka
penggunaannya sekarang hanya terbatas pada anestesi infiltrasi dan kadangkadang untuk anestesi blok saraf. Untuk infiltrasi digunakan larutan dengan
konsentrasi 0,25-0,5% sedangkan untuk blok saraf sebanyak 1-2%. Dosis yang
digunakan sebanyak 15 mg/kg BB dengan durasi 30-60 menit.
B. Amida
Merupakan lokal anestesi yang stabil dalam bentuk larutan, lebih cepat
berdifusi lewat jaringan, dan dimetabolisme dalam hati.
Tabel 2. Macam-macam lokal anestesi golongan amida
Amida
Lidokain

Toksisitas
Sedang

Mepivakain

Sedang

Prilokain

Rendah

Bupivakain

Sedang/tinggi

1. Bupivakain
Merupakan lokal anestesi yang mempunyai kekuatan 4 kali lebih poten
dari pada lidokain. Onset lambat, durasi lama. Cepat diabsorbsi dari tempat
injeksi, tetapi absorbsi tergantung dari dari vaskularisasi tempat injeksi.
Bupivakain dimetabolisme dalam liver dan hanya 4-10 % dikeluarkan dalam urine
dalam bentuk tak berubah. Digunakan untuk nerve block dan anestesi epidural.
Konsentrasi yang tersedia : 0,75 %, 0,5 %, 0,25 %, ada yang ditambah epinephrin.
Sekali pemberian tidak boleh lebih dari 150 mg atau dalam waktu 4 jam (30 cc
setara dengan 0,5 %).
2. Lidokaine
Lidokain (xilokain) adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas
dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat,
dan lebih ekstensif daripada yang ditunjukkan oleh prokain pada konsentrasi yang
8

sebanding. Lidokain mempunyai potensi menyebabkan vasodilatasi. Sehingga


lidokain murni yang digunakan pada anestesi pulpa hanya bertahan 5-10 menit
saja, dan biasanya jarang digunakan tanpa penambahan vasokonstriktor.
Konsentrasi lidokain 2% dengan epinefrin 1:100.000 akan menghasilkan durasi
kerja selama 60 menit dan apabila digunakan pada anestesi jaringan lunak akan
bertahan 3-5 jam.
Lidokain memiliki resiko toksisitas sistemik yang rendah dan jarang
menimbulkan reaksi alergi. Apabila konsentrasi vasokonstriktor yang digunakan
sangat tinggi yaitu lidokain 2% dengan epinefrin 1:50.000, telah dibuktikan tidak
ada penurunan rasa nyeri yang berarti jika dibandingkan dengan konsentrasi
epinefrin 1:100.000, akan tetapi hal ini dapat menimbulkan efek samping yaitu
timbulnya reaksi pada jantung.
Larutan Lidokain 0,5% digunakan untuk anestesi infiltrasi, sedangkan
larutan 1-2% untuk anestesia blok dan topikal. Dosis maksimum yang digunakan
100 ml (500 mg) dengan adrenalin dan 40 ml (200 mg) tanpa adrenalin. Pada
nerve blok digunakan larutan 1 %.
3.

Prilokain

Sebagai lokal analgesik mirip lidocaine. Duration of action lama, dan kurang
toksik. Untuk pemberian topical sangat active pada permukaan mucosa. Dipecah
di dalam hati. Digunakan untuk infiltrasi, nerve, epidural dan spinal block, topical
application dan intravena. Pada umumnya digunakan larutan 0,5 2 %.
Durasi kerja dari prilokain bergantung pada teknik injeksinya. Ketika
larutan 4% prilokain murni diberikan secara injeksi blok, akan terjadi peningkatan
durasi kerja yang mulanya sebentar menjadi sedikit lama dan pada anestesi pulpa
dapat memberikan durasi kerja sekitar 40-60 menit dan jika anestesi jaringan
lunak maka durasinya kurang lebih 2-4 jam. Prilokain lebih efektif jika durasi
kerja yang dibutuhkan lebih lama dibandingkan dengan mepivakain dan lidokain.
Prilokain murni memiliki durasi yang sedikit lebih lama dibandingkan dengan
mepivakain murni. Prilokain dengan konsentrasi epinefrin 1:200.000 memiliki
durasi yang sedikit lebih lama dibandingkan dengan lidokain dengan epinefrin

1:100.000. Konsentrasi epinefrin 1:200.000 memiliki setengah potensi dari


konsentrasi 1:100.000, sehingga pasien dengan penyakit kardiovaskular dapat
diberikan dua kali ampul yang berisi prilokain dengan epinefrin 1:100.000.
4. Mepivakain
Mepivakain memiliki kesamaan dengan lidokain dalam hal mula kerja,
durasi kerja, potensi dan toksisitasnya.Mepivakain tersedia dalam dua konsentrasi
yaitu 3% mepivakain murni dan 2% mepivakain dengan levonordefrin. Karena
mepivakain menimbulkan vasodilatasi yang lebih rendah daripada lidokain,
anestesi ini efektif digunakan tanpa penambahan vasokonstriktor dan dapat
dijadikan alternatif apabila terdapat kontraindikasi penggunaan vasokonstriktor.
Mepivakain murni konsentrasi 3% dapat digunakan jika prosedur perawatan yang
diinginkan relatif singkat, dan dapat menghasilkan durasi kerja 20 menit pada
anestesi pulpa dengan infiltrasi, dan 40 menit dengan anestesi blok.
Mepivakain murni juga dapat menghasilkan durasi kerja 2-3 jam pada
anestesi jaringan lunak dan dapat digunakan pada saat anestesi pulpa tidak
diperlukan. Mepivakain 2% dengan levonordefrin menghasilkan kedalaman dan
durasi anestesi pulpa dan anestesi jaringan lunak yang lebih baik jika
dibandingkan dengan kombinasi lidokain dan epinefrin.
Berdasarkan uraian pada skenario yang menyebutkan bahwa kondisi fisik
dan vital sign pasien baik, dapat digunakan obat anestetikum lokal jenis lidokain
dengan penambahan vasoonstriktor berupa epinefrin dengan perbandingan
1:100.00. Hal ini karena sifat kombinasi lidokain dan epinefrin menimbulkan
anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih ekstensif daripada yang
ditunjukkan oleh obat anestetikum lain.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan teknik dan prosedur anestesi sesuai


kasus pada skenario

10

Hal-hal awal sebelum melakukan tindakan pencabutan pada gigi 12, 13,
28, 43, dan 48 adalah melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu :
1. Dipertimbangkan untuk mencabut gigi yang mudah terlebih dahulu, seperti
gigi dengan kondisi mahkota masih lengkap, dll. Hal ini sangat penting
terlebih apabila pasien baru pertama mencabutkan giginya. Mencabut gigi
yang mudah akan memberikan rasa nyaman dan percaya pasien terhadap
dokter gigi
2. Dipertimbangkan faktor estetik pasien. Sebaiknya dokter gigi tidak
mencabut gigi-gigi anterior terlebih dahulu. Hal ini akan membuat kondisi
psikologis pasien menurun karena malu.
Oleh karena itu, tindakan pencabutan gigi akan dilakukan dalam 4 kali
kunjungan . Kunjungan pertama melakukan pencabutan gigi 43 dengan kondisi
sisa akar. Selanjutnya kunjungan kedua melakukan pencabutan gigi 28 dengan
kondisi karies profunda perforasi dan mahkota masih utuh. Kunjungan ketiga
mencabut gigi 12 dan 13 secara bersamaan. Lalu kunjungan keempat mencabut
gigi 48 dengan kondisi sisa akar.
A. Pencabutan Gigi 43.
1. Mengeringkan membran mukosa dan melakukan prosedur asepsis
daerah kerja terlebih dahulu menggunakan betadine.
2. Menentukan apeks gigi-gigi premolar bawah sebagai tanda dari lokasi
foramen mentalis.
3. Menarik pipi ke arah bukal dari gigi premolar. Jarum dimasukkan ke
dalam membran mukosa di antara kedua gigi premolar dengan jarak 10
mm dari permukaan bukal mandibula. Posisi jarum suntik membentuk
sudut 45 terhadap permukaan bukal mandibula, mengarah ke apeks
akar premolar kedua dengan bevel menghadap periosteum.
4. Menusukkan jarum tersebut sampai menyentuh tulang.
5. Mendeponir 0,5 ml obat anestetikum, lalu menunggu sebentar.
Kemudian menggerakkan ujung jarum tanpa menarik jarum keluar,
sampai terasa masuk ke dalam foramen (jaga agar tetap membentuk
sudut 45 agar jarum tidak terpeleset ke balik periosteum dan

11

memperbesar kemungkinan masuknya jarum ke foramen), dan


masukkan kembali 0,5 ml obat anestetikum dengan hati-hati.
6. Dalam hal ini nervus yang teranestesi adalah nervus mentalis dan
bagian bukan dari gigi 43.
7. Selanjutnya menganestesi nervus lingualis untuk memberikan efek
kebas pada bagian lingual gigi 43 dengan cara menyuntikkan jarum
pada mukoperiosteum lingual setinggi setengah panjang akar gigi yang
dianestesi. Karena posisi dari gigi insisivus, daerah ini sulit dicapai
dengan jarum lurus. Jadi jarum sebaiknya dibengkokkan dengan cara
menekannya di antara ibu jari dan jari lain atau menggunakan hub
bengkok.
8. Mendeposisikan obat anestetikum secara pelan-pelan ke dalam muko
periosteum sebanyak 0,5 cc.
9. Menunggu beberapa saat agar obat anestetikum bereaksi. Untuk
mengecek apakah jaringan sekitar gigi sudah teranestesi atau belum,
dapat menggunakan sonde dengan cara ditusukkan pada bagian
gingiva. Apabila pasien merasa kesakitan, berarti obat anestetikum
belum bereaksi, namun jika pasien sudah tidak merasakan sakit, dapat
dilanjutkan pada prosedur pencabutan.
10. Untuk mencabut sisa akar gigi 43, menggunakan tang cabut khusus
sisa akar. Selanjutnya merusak perlekatan gigi 43 menggunakan sonde
untuk mencari retensi dari gigi 43. Selain itu, perlu untuk mengecek
tingkat kerapuhan dari gigi 43 karena gigi dengan kondisi sisa akar
cenderung rapuh.
11. Setelah itu mulai mencabut gigi 43 dengan perlahan digerakkan ke
arah labial-palatal
12. Lalu membersihkan soket gigi 43 dari jaringan yang tertinggal untuk
mempermudah pembentukan blood clot.
13. Menutup soket gigi dengan tampon yang telah ditetesi dengan sedikit
betadine. Pasien diinstruksikan untuk menggigitnya. Instruksi
selanjutnya, pasien tidak boleh berkumur selama 30 menit, tidak boleh
menghisap-hisap daerah soket gigi, merokok, dll.
B. Pencabutan Gigi 28

12

1. Mengeringkan membran mukosa dan melakukan prosedur asepsis


daerah kerja terlebih dahulu menggunakan betadine.
2. Titik suntikan terletak pada lipatan mukobukal di atas gigi molar kedua
atas. Jarum diinjeksikan sejajar dengan apeks gigi molar kedua untuk
menganestesi nervus alveolaris superior posterior.
3. Lalu menggerakkan jarum ke arah distal dan superior kemudian
mendeponirkan obat anestetikum sebanyak 1-2 ml kira-kira di atas
apeks akar gigi molar ketiga.
4. Untuk menganestesi membran mukosa bagian palatal, jarum
diinjeksikan di daerah foramen palatinus majus yang terletak di sekitar
gigi molar kedua dan ketiga untuk menganestesi nervus palatinur
mayor. Daerah foramen ini ditandai dengan warna mukosa palatal yang
agak pucat.
5. Mendeponir obat anestetikum sebanyak 0,5 cc secara perlahan-lahan.
6. Menunggu beberapa saat agar obat anestetikum bereaksi. Untuk
mengecek apakah jaringan sekitar gigi sudah teranestesi atau belum,
dapat menggunakan sonde dengan cara ditusukkan pada bagian
gingiva. Apabila pasien merasa kesakitan, berarti obat anestetikum
belum bereaksi, namun jika pasien sudah tidak merasakan sakit, dapat
dilanjutkan pada prosedur pencabutan.
7. Untuk mencabut gigi 28, menggunakan tang cabut rahang atas.
Selanjutnya merusak perlekatan gigi 28 menggunakan sonde untuk
mencari retensi dari gigi 28.
8. Setelah itu mulai mencabut gigi 28 dengan perlahan digerakkan ke
arah bukal-palatal
9. Lalu membersihkan soket gigi 28 dari jaringan yang tertinggal untuk
mempermudah pembentukan blood clot.
10. Menutup soket gigi dengan tampon yang telah ditetesi dengan sedikit
betadine. Pasien diinstruksikan untuk menggigitnya. Instruksi
selanjutnya, pasien tidak boleh berkumur selama 30 menit, tidak boleh

13

menghisap-hisap daerah soket gigi, merokok, dll. Namun apabila luka


bekas pencabutan terlalu besar, dapat dilakukan perjahitan.
C. Pencabutan Gigi 12 dan 13
1. Mengeringkan membran mukosa dan melakukan prosedur asepsis
daerah kerja terlebih dahulu menggunakan betadine.
2. Titik suntikan terletak pada lipatan mukolabial sedikit mesial dari gigi
kaninus. Jarum diarahkan ke apeks kaninus, lalu menyuntikkan obat
anestetikum sebanyak 1-2 cc secara perlahan-lahan di atas apeks akar
gigi tersebut.
3. Untuk menganestesi membran mukosa bagian palatal, jarum
diinjeksikan di daerah foramen incisivum yang terletak pada daerah
gigi insisivus sentral bagian palatal untuk menganestesi nervus
nasopalatinus. Daerah foramen ini ditandai dengan adanya papilla
incisiva.
4. Titik suntikan terletak sepanjang papilla incisiva yang berlokasi pada
garis tengah rahang, di posterior gigi insisivus sentral. Ujung jarum
diarahkan ke atas pada garis tengah menuju kanalis palatina anterior.
5. Mendeponir obat anestetikum sebanyak 0,5 cc secara perlahan-lahan.
6. Menunggu beberapa saat agar obat anestetikum bereaksi. Untuk
mengecek apakah jaringan sekitar gigi sudah teranestesi atau belum,
dapat menggunakan sonde dengan cara ditusukkan pada bagian
gingiva. Apabila pasien merasa kesakitan, berarti obat anestetikum
belum bereaksi, namun jika pasien sudah tidak merasakan sakit, dapat
dilanjutkan pada prosedur pencabutan.
7. Untuk mencabut gigi 12 dan 13, menggunakan tang cabut rahang atas.
Selanjutnya merusak perlekatan gigi 12 dan 13 menggunakan sonde
untuk mencari retensi dari gigi 12 dan 13.
8. Setelah itu mulai mencabut gigi 12 terlebih dahulu dengan perlahan
digerakkan ke arah labial-lingual, dilanjutkan dengan gigi 13

14

9. Lalu membersihkan soket gigi 12 dan 13 dari jaringan yang tertinggal


untuk mempermudah pembentukan blood clot.
10. Menutup soket gigi dengan tampon yang telah ditetesi dengan sedikit
betadine. Pasien diinstruksikan untuk menggigitnya. Instruksi
selanjutnya, pasien tidak boleh berkumur selama 30 menit, tidak boleh
menghisap-hisap daerah soket gigi, merokok, dll. Namun apabila luka
bekas pencabutan terlalu besar, dapat dilakukan perjahitan.
D. Pencabutan Gigi 48
1. Mengeringkan membran mukosa dan melakukan prosedur asepsis
daerah kerja terlebih dahulu menggunakan betadine.
2. Melakukan palpasi fossaretromolaris dengan jari telunjuk sehingga
kuku jari menempel pada linea obliqua. Dengan barrel syringe terletak
di antara kedua premolar pada sisi yang berlawanan, jarum diarahkan
sejajar dengan dataran oklusal gigi-gigi mandibula ke arah ramus dan
jari. Jarum ditusukkan pada apeks trigonumpterygomandibular dan
gerakkan jarum di antara ramus dan ligamentum serta otot yang
menutupi fasies interna ramus diteruskan sampai ujungnya kontak
dengan dinding posterior sulkus mandibularis.
3. Mendeponir sebanyak 1,5 ml obat anestetikum untuk menganestesi
nervus alveolaris inferior (rata-rata kedalaman insersi jarum adalah 15
mm, tapi bervariasi tergantung ukuran mandibula dan proporsinya
berubah sejalan dengan pertambahan umur). Setelah itu menarik jarum
suntik sepanjang pertengahan perjalanan masuknya jarum lalu
mendeponirkan sejumlah kecil obat anestetikum pada daerah tersebut.
Tindakan ini akan menganestesi nervus lingualis.
4. Untuk menganestesi bagian bukal, nervus yang dituju adalah nervus
bukalis longus yaitu dengan cara memasukkan jarum pada lipatan
mukosa pada suatu titik tepat di depan gigi molar pertama
5. Perlahan-lahan menusukkan jarum sejajar dengan korpus mandibula
dengan bevel mengarah ke bawah menuju suatu titik sejauh molar
ketiga
6. Mendeponir obat anestetikum secara perlahan-lahan sebanyak 0,75 cc

15

7. Menunggu beberapa saat agar obat anestetikum bereaksi. Untuk


mengecek apakah jaringan sekitar gigi sudah teranestesi atau belum,
dapat menggunakan sonde dengan cara ditusukkan pada bagian
gingiva. Apabila pasien merasa kesakitan, berarti obat anestetikum
belum bereaksi, namun jika pasien sudah tidak merasakan sakit, dapat
dilanjutkan pada prosedur pencabutan.
8. Untuk mencabut sisa akar gigi 48, menggunakan tang cabut rahang
rahang bawah khusus sisa akar. Selanjutnya merusak perlekatan gigi
48 menggunakan sonde untuk mencari retensi dari gigi 48.
9. Setelah itu mulai mencabut gigi 48 dengan perlahan digerakkan ke
arah bukal-lingual.
10. Lalu membersihkan soket gigi 48 dari jaringan yang tertinggal untuk
mempermudah pembentukan blood clot.
11. Menutup soket gigi dengan tampon yang telah ditetesi dengan sedikit
betadine. Pasien diinstruksikan untuk menggigitnya. Instruksi
selanjutnya, pasien tidak boleh berkumur selama 30 menit, tidak boleh
menghisap-hisap daerah soket gigi, merokok, dll. Namun apabila luka
bekas pencabutan terlalu besar, dapat dilakukan perjahitan.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi anestesi lokal dan
eksodonsia beserta penanganannya
A. Komplikasi Pemberian Anestesi Lokal
1.
Nyeri pada saat injeksi
Rasa nyeri dapat disebabkan oleh karena jarum yang tumpul atau injeksi
anestesi lokal yang terlalu cepat. Hal ini dapat ditangani dengan menggunakan
jarum yang tajam, anestesi topikal, dan injeksikan secara perlahan untuk
menghindari hal ini terjadi.
2. Rasa terbakar saat injeksi
Rasa terbakar dapat terjadi karena injeksi yang terlalu cepat, pH anestesi
lokal, dan anestesi lokal yang hangat. Rasa terbakar akan hilang seiring dengan
efek kerja anestesi lokal jika penyebabnya adalah pH-nya. Injeksi yang terlalu
cepat atau anestesi lokal yang hangat dapat menyebabkan trismus, edema, dan

16

parasthesia. Hal ini dapat diatasi dengan cara menempatkan anestesi lokal pada
suhu ruangan dan dalam tempat yang bersih tanpa alkohol atau bahan sterilisasi.
3. Paresthesia
Paresthesia dapat terjadi karena trauma pada saraf atau perdarahan
disekitar saraf dapat menyebabkan paresthesia. Pasien akan merasakan sensasi
syok ketika saraf terkena. Prilokain 4% (Citanest) dan septokain 4% (Artikain)
biasanya jarang menimbulkan parasthesia jika dikombinasikan dengan anestesi
lokal yang lain, dan harus dihindari pada pasien dengan multiple sclerosis (MS).
Multiple sclerosis adalah penyakit autoimun kronik yang menyerang myelin otak
dan medulla spinalis. Penyakit ini menyebabkan kerusakan myelin dan juga akson
yang mengakibatkan gangguan transmisi konduksi saraf. Parasthesia dapat
sembuh 8 minggu tanpa perawatan, tetapi jika saraf yang terkena parah dapat
bersifat permanen. Yakinkan pasien dan lakukan pemeriksaan rutin untuk
mengetahui keadaannya. Pasien yang merasakan gejala yang berlebihan atau
pasien yang cemas dapat diberikan 2 mg/5mg diazepam (Valium) sebelum tidur.
4.

Trismus
Trismus terjadi karena adanya spasme pada otot rahang yang

berkepanjangan dengan rahang yang terkunci dan trismus dapat menjadi kronis
dan harus segera ditangani. Penyebab yang paling umum adalah trauma pada otot
atau pembuluh darah di fossa infratemporal. Gejalanya biasa muncul setelah 1-6
sesudah perawatan. Untuk menghindari terjadinya trismus, kurangi penetrasi
jarum pada daerah kerja dan jangan menginjeksikan terlalu banyak. Pasien dapat
diberikan perawatan berupa terapi rasa hangat, pembilasan dengan larutan salin
hangat, pemberian analgesik, dan jika diperlukan dapat diberikan 10mg diazepam
(Valium).
5.

Hematoma
Hematoma terjadi akibat dari adanya penyempitan arteri atau pembuluh

darah pada saat injeksi dapat menimbulkan ruang ekstravaskular yang


menyebabkan nyeri memar dan pembengkakan selama 7-14 hari. Hematoma
dapat ditangani dengan pemberian tekanan pada daerah perdarahan selama 2
menit. Pemberian analgesik dan anjuran untuk mengaplikasikan handuk hangat

17

setelah hari pertama untuk menghindari terjadinya vasodilatasi dan mengurangi


gejala.
6.

Infeksi
Injeksi anestesi lokal pada daerah infeksi tidak dapat memberikan efek

anestesi yang optimal. Namun jika anestesi lokal tetap diinjeksikan, bakteri di
daerah yang terinfeksi akan menyebar ke jaringan disekitarnya.Infeksi ini dapat
diatasi dengan pemberian antibiotik, analgesik, dan benzodiazepines.
7.

Paralisis saraf fasialis


Paralisis pada saraf fasialis terjadi karena terdapat kelumpuhan saraf pada

wajah dapat terjadi ketika jarum dimasukkan terlalu dalam sampai ke glandula
parotis. Dalam beberapa detik, pasien akan merasakan kekakuan pada otot yang
terkena. Untuk penanganannya, yakinkan pasien bahwa situasi ini hanya
berlangsung beberapa jam tanpa ada efek samping. Lakukan pemeriksaan rutin.
8. Subkutan emfisema
Komplikasi ini jarang terjadi, biasanya terjadi karena adanya udara yang
terjebak pada barrel syringe saat pengambilan obat anestetikum. Apabila udara ini
dibiarkan akan masuk jaringan ikat atau spasia pada wajah. Terjadi amat cepat,
terdapat pembengkakan, akan sembuh dalam 1 sampai 2 minggu tanpa
pengobatan.
9.

Syok anafilaksis
Penyebab dari syok anafilaksis adalah adanya pelepasan sejumlah

mediator aktif biologis dari sel mast dan basofil, yang dipicu oleh interaksi antara
alergen dengan antibodi IgE spesifik yang terikat pada membran sel. Aktivasi sel
menyebabkan pelepasan mediator yang sebelumnya telah terbentuk dan disimpan
dalam granul (histamin, triptase, dan kimase) serta mediator yang baru dibentuk
(prostaglandin dan leukotrien). Mediator-mediator ini menyebabkan kebocoran
kapiler, edema mukosa, dan kontraksi otot polos. Penangannya dapat dilakukan
dengan mempertahankan jalur nafas dengan ABC (airway, breathing, circulation)
dan penggantian cairan dengan kristaloid dan koloid, pemberian adrenalin 0,31,0ml diulangi dengan interval 10-20 menit jika dibutuhkan.

18

10. Syncope (fainting).


Merupakan bentuk syok neurogenik yang dapat disebabkan Iskemia
serebral sekunder, penurunan volume darah ke otak, dan trauma psikologi. Pasien
mengalami kehilangan kesadaran. Hal ini dapat dicegah melalui ventilasi yang
cukup, posisi kepala lebih rendah dari tubuh, hentikan bila terjadi perubahan
wajah pasien. Cara menangani Syncope yaitu dengan memposisikan kepala lebih
rendah dari tubuh, kaki sedikit diangkat, dan rangsang pernafasan dengan wangiwangian ,bila sadar anjurkan untuk menarik nafas dalam-dalam.
B. Komplikasi Eksodonsia
1. Fraktur Mahkota Gigi
Paling sering terjadi karena adanya karies yang besar atau akar yang
divergen. Kesalahan pada operator juga bisa karena terburu-buru, tidak tepatnya
aplikasi tang pada gigi. Bila fraktur mahkota gigi terjadi, metode yang digunakan
untuk mengambil sisa dari gigi bergantung pada banyaknya gigi yang tersisa serta
penyebab kegagalan tadi. Terkadang diperlukan aplikasi tang atau elevator
tambahan untuk mengungkit gigi dan terkadang diperlukan metode pencabutan
transalveolar.
2. Fraktur Tulang Alveolar
Fraktur alveolar biasa terjadi pada pencabutan dan pemeriksaan gigi
setelah tercabut menunjukan fragmen alveolar yang menempel pada akar. Terjadi
karena tenaga operator yang tidak terkontrol dan besar, akar bengkok, alveolar
yang tipis. Disarankan untuk membuang fragmen alveolar yang telah kehilangan
lebih dari setengah perlekatan periostealnya dengan menjepitnya menggunakan
tang hemostatik dan memindahkannya dari jaringan lunak dengan elevator
periosteal.
3. Fraktur Tubermaksilaris
Terkadang, selama pencabutan gigi molar atas, tulang pendukung dan
tubermaksilaris terasa goyang bersama dengan gigi. Kejadian ini biasanya

19

berhubungan dengan dekatnya letak tuberositas terhadap sinus, yang biasa terjadi
bila terdapat gigi molar atas yang terisolasi. Geminasi patologis antara gigi molar
kedua atas yang telah erupsi dengan gigi molar ketiga atas yang tidak erupsi
adalah faktor predisposisi yang jarang terjadi. Bila terjadi fraktur, tang harus
diletakkan dan dibuat flap mukoperiosteal bukal yang besar. Tuber yang fraktur
dan gigi tersebut kemudian dibebaskan dari jaringan lunak palatal dengan alat
tumpul dan diangkat dari soketnya. Flap jaringan lunak kemudian didekatkan satu
sama lain dan dijahit untuk menyatukan tepinya dan jahitan dibiarkan sedikitnya
10 hari. Jika komplikasi ini terjadi pada suatumaksila, pasien harus diingatkan
bahwa komplikasi yang sama dapat terjadi bila dilakukan pencabutan pada sisi
lain dari mulut. Hanya bila gambaran radiografi praoperasi menunjukkan
kemungkinan komplikasi, resiko fraktur tuber ini dapat dikurangi dengan
mencabut secara pembelahan.
4. Fraktur Gigi yang Bersebelahan atau Gigi Antagonis
Gigi antagonis bisa pecah atau fraktur bila gigi yang akan dicabut tiba-tiba
diberikan tekanan yang tidak terkendali dan tang membentur gigi tersebut. Teknik
pencabutan yang terkontrol secara cermat dapat mencegah kejadian ini. Di bawah
anastesi lokal, gigi lain selain yang akan dicabut dapat rusak oleh penggunaan
gags dan pengganjal gigi yang tidak bijaksana. Adanya gigi dengan restorasi besar
atau gigi goyang, mahkota tiruan atau mahkota jembatan harus dicatat dan
diperhatikan oleh ahli anastesi. Gigi-gigi tersebut harus dihindari bila pengganjal
gigi dan gags akan dipasang. Bila mungkin,mouthgags sebaiknya tidak
digunakan. Gags dan props harus ditempatkan pada tempat yang langsung terlihat,
atau bila dipasangkan oleh ahli anestesi yang berdiri di belakang pasien harus
diarahkan ke tempatnya oleh operator.
5. Fraktur Mandibula
Mandibula mungkin melemah oleh osteoporosis dan atrofi, osteomielitis,
terapi radiasi akhir-akhir ini, atau osteodistrofi seperti osteitisdeformans,
displasiafibros, atau fragilitasosteum. Gigi yang tidak erupsi, kista,
hiperparatiroidisme atau tumor, juga rentan terhadap fraktur. Bila ada salah satu

20

keadaan tersebut, pencabutan hanya boleh dilakukan setelah pemeriksaan klinis


dan radiografis yang cermat serta dibuatkan splint sebelum operasi. Bila fraktur
mandibula terjadi, pendukung ekstraoral harus diaplikasikan dan pasien dirujuk ke
rumah sakit.
6. Dislokasi dari Gigi yang Berdekatan
Penyebabnya serupa dengan penyebab fraktur gigi yang berdekatan.
Meskipun digunakan elevator yang tepat, sebagian tekanan dapat diteruskan pada
gigi yang berdekatan melalui septum interdental. Untuk alasan ini, elevator tidak
boleh diaplikasikan pada permukaan mesial dari gigi molar pertama tetap, karena
gigi premolar kedua yang lebih kecil dapat terungkit dari soketnya. Selama
penggunaan elevator, jari harus diletakkan pada gigi yang berdekatan untuk
menyokong gigi tadi dan memungkinkan tekanan yang diteruskan padanya
terdeteksi.
7. Dislokasi dari sendi temporomandibula
Komplikasi ini pada pencabutan di rahang bawah dapat dicegah bila
rahang bawah dipegang selama pencabutan. Dislokasi dapat pula disebabkan oleh
penggunaan gags yang ceroboh. Operator menempatkan ibu jarinya ke dalam
mulut pada krista obliquaeksterna di lateral gigi molar bawah dan jari-jari lainnya
berada di tepi bawah mandibula secara ekstraoral. Tekanan ke bawah dari ibu jari
dan tekanan ke atas dari jari-jari lain dapat mengurangi dislokasi. Bila perawatan
terlambat, spasme otot dapat menyebabkan sulitnya pengembalian mandibula,
kecuali di bawah anastesi umum. Pasien harus diingatkan untuk tidak membuka
mulutnya terlalu lebar selama beberapa hari pascaoperasi.
8. Berpindahnya Akar Gigi ke dalam Jaringan Lunak
Hal tersebut terjadi karena usaha memegang akar gigi secara tidak efektif
pada keadaan lapang pandang yang tidak cukup. Komplikasi ini dapat dihindari
bila operator mencoba untuk memegang akar hanya dengan pandangan langsung.
9. Masuknya Gigi ke dalam Sinus

21

Biasa terjadi pada akar gigi palatal dari premolar atau molar atas. Adanya
sinus yang besar merupakan faktor predisposisi, tetapi insidens dari komplikasi ini
dapat dikurangi bila petunjuk sederhana di bawah ini diperhatikan: (1) Tidak
mengaplikasikan tang pada gigi atau akar posterior atas kecuali bila panjang gigi
atau akar gigi cukup besar dalam arah palatal dan bukal sehingga ujung tang dapat
diaplikasikan dengan pandangan langsung. (2) Meninggalkan 1/3 apeks akar
palatal gigi molar atas bila tertinggal selama pencabutan dengan tang kecuali bila
ada indikasi positif untuk mengeluarkannya. (3) Tidak mencoba mencabut akar
gigi atas yang patah dengan memasukkan instrumen ke dalam soket. Bila
diindikasikan pencabutan, buat flap mukoperiosteal yang besar dan buang tulang
secukupnya sehingga elevator dapat dimasukkan di atas permukaan akar yang
patah dan semua tekanan yang diaplikasikan pada akar gigi cenderung
menggerakkannya ke bawah dan jauh dari sinus.
Bila satu akar hilang sementara gigi dicabut dengan anastesi umum,
anastesi harus segera dihentikan dan kepala pasien dikedepankan. Setelah terjadi
refleks batuk, mulut diperiksa dan pack dengan cermat dikeluarkan dan diamati.
Bila telah dilakukan persiapan pengamanan secukupnya, akar gigi kebanyakan
dapat ditemukan pada pack. Namun apabila tidak ditemukan pada pack, maka
lakukanlah pemeriksaan radiografi dada. Maksud pemeriksaan radiografi dada
adalah untuk meyakinkan bahwa akar tidak masuk ke dalam bronkus. Bila akar
ditemukan dalam bronkus, pasien segera dirujuk ke rumah sakit untuk dilakukan
bronkoskopi sebelum terjadi abses paru.
10. Trauma Jaringan Lunak (Laserasi) dan Gigi Sekitarnya
Abrasi atau luka pada bibir dan sudut mulut, umumnya karena gesekan
alat pada jaringan lunak. Jika abrasi terjadi, dokter harus menginformasikan
pasien untuk melapisi luka dengan vaselin atau salep antibiotik. Pertahankan salep
agar menempel di daerah luka. Abrasi biasanya akan sembuh dalam waktu 5-10
hari.Sedangkan trauma pada gigi tetangga dapat juga terjadi pada saat dilakukan
ekstraksi. Dokter gigi biasanya terlalu fokus pada gigi yang akan di cabut
sehingga tidak memperhatikan gigi sekitarnya yang mengalami trauma seperti

22

menjadi goyang karena menjadi tumpuan elevator, tambalam lepas, dan kadang
giginya dapat avulsi. Bila terjadi, segera lakukan penanganan seperti penambalan
dan memfiksasi gigi goyang atau yang avulsi.
11. Perdarahan Primer dan Sekunder
Bila perdarahan telah terjadi dapat dilakukan suction atau pembersihan
daerah dengan perdarahan dengan hati-hati untuk menemukan sumber perdarahan
tersebut. Bila sumber perdarahannya telah ditemukan dapat dilakukan hemostatik
lokal seperti penekanan langsung dengan menggigit tampon (bisa dibasahi dengan
cairan vasokonstriktor) selama 20 menit, penjahitan atau aplikasi surgicel,
gelfoam, bone wax . Dapat juga dilakukan hemostatik dengan diathermi.
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang timbul setelah tindakan
ekstraksi atau pembedahan selesai dilakukan. Hal ini biasanya terjadi karena
adanya trauma pada socket atau terlepasnya gumpalan darah dari socket karena
infeksi atau berkumur, dan kebiasaan menghisap daerah bekas ekstraksi.
Penanganannya hampir sama dengan perdarahan primer, hanya di lakukan
anestesi lokal agar mudah untuk memanipulasi socket serta pembuangan
gumpalan darah yang tersisa dan pembersihan luka dengan larutan saline, untuk
mencari sumber perdarahan dan melakukan tindakan penanggulangan.
Hematoma atau perdarahan dibawah kulit yang disebut ekimosis juga
dapat terjadi. Hematom atau ekimosis akan hilang dengan sendirinya atau di
kompres dingin, atau di beri salep yang mengandung heparin untuk mempercepat
hilangnya hematoma.
12. DrySocket
DrySocket atau disebut juga sebagai osteitis alveolar merupakan proses
penyembuhan yang terhambat tetapi tidak berhubungan dengan adanya infeksi
mikroorganisme. Rasa sakit yang muncul berkisar antara 3 sampai 4 hari pasca
ekstraksi. Kasus paling banyak terjadi pada drysocket adalah setelah melakukan
pencabutan gigi molar RB.

23

Gambaran drysocket adalah terlihat gambaran yang kosong pada soket


pasca ekstraksi, dengan disertai hilangnya clot darah bisa sebagian atau
seluruhnya, dan beberapa permukaan tulang alveolar biasanya terbuka.
Terbukanya permukaan tulang ini yang menyebabkan soket menjadi sensitif dan
sakit.
Hilangnya clot darah pada drysocket belum diketahui secara jelas, namun
diduga dikarenakan adanya proses fibrinolitik yang berlebih di sekitar soket.
Pencegahan drysocketsyndromemembutuhkan prosedur yang dapat meminimalisir
trauma dan kontaminasi bakteri pada area operasi. Setelah operasi, harus diirigasi
oleh saline. Insidensi infeksi juga dapat dikurangi dengan memberikan
mouthwash pasca ekstraksi seperti chlorhexidine.
Perawatan drysocket adalah dengan mengurangi sakit yang timbul selama
proses penyembuhan. Apabila drysocket tidak dirawat, maka besar
kemungkinannya terjadi sakit yang menetap. Untuk perawatan drysocketadalah
spertama-tama soket diirigasi dengan lembut menggunakan saline yang steril.
Biasanya clot darah yang terbentuk tidak semuanya lysis, oleh karena itu clot
yang masih tersisa harus dipertahankan untuk melindungi terbukanya tulang pasca
ekstraksi. Soket disedot dengan menggunakan irigasi oleh saline, dan potongan
kecil kassaiodoform dengan obat-obatan diinsersikan ke dalam soket. Obat-obatan
yang diberikan berisi: eugenol, anestesi topikal (seperti benzokain), dan balsam of
Peru. Kassa berisikan obat-obatan harus diganti setiap 3-6 hari sekali, tergantung
keparahan dari rasa sakit yang ditimbulkan. Soket harus selalu diirigasi oleh saline
setiap kali penggantian kassa, apabila sakitnya berukurang, maka tidak perlu lagi
dilakukan penggantian kassa dengan yang baru, karena akan menghambat proses
penyembuhan luka.

24

DAFTAR PUSTAKA

Handogo,H. 1979. Buku Kuliah Bedah Mulut. Yogyakarta : FKG UGM


Hasanah, Andi Husnul. 2015. Pertimbangan Pemilihan Anestesi Lokal Pada
Pasien dengan Penyakit Sistemik. Makassar: Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hasanuddin
Howe, Geoffrey L. 1999. Pencabutan Gigi Geligi Edisi II. Jakarta.
Malamed, SF. 2004. Handbook of Local Anesthesia, Fifth Edition. Missouri:
Elsevier Mosby.
Meechan, JG. 2002. Practical Dental Local Anaesthesia. London: Quintessence
Publishing Co. Ltd.
Narlan, Sumawinata. 2013. Anastesi Lokal dalam perawatan Konservasi Gigi.
Jakarta: EGC
Ritiasa K. 1993. ISO Indonesia, Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta:
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
Syarif A. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta: FK-UI.
Tjay, TH., Raharja, K. 2005. Obat-obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Pedersen, W.G. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC.
Peterson, Larry J. 2003. Contemporary Oral MaxillofacialSurgery. St.Louis:
Mosby.
Wiyatmi, Hardani. 2014. Anestesi Lokal dalam Pencabutan Gigi di Rumah Sakit
Jiwa Grhasia Propinsi DIY oleh drg. Hardani Wiyatmi DIY Klinik Gigi dan Mulut
RSJ Grhasia Propinsi

25

26

You might also like