You are on page 1of 42

Makassar, 03 Oktober 2016

LAPORAN PBL
MODUL KULIT GATAL
SISTEM INDRA KHUSUS

Pembimbing : dr. Dwi Anggita


Disusun oleh :
Kelompok 2
Andi Mentari Dwi Putri

(11020120136)

Sitti Ainun Tyas Asimu

(11020140003)

Dini Rosyadah

(11020140013)

Suci Walidalhuda

(11020140023)

Mohammad Fadil Putra

(11020140031)

Qaidil Qoimil Chaecar

(11020140048)

Vivin Desiani

(11020140066)

Nurul Afina Ramadhani Irfan

(11020140073)

Freska Ayu Wardhani

(11020140092)

A . Nur Chamidah Wulandari

(11020140100)

A . Siti Nabilah Nurfajri P. Parawansa

(11020140121)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016

SKENARIO 2
Perempuan berusia 29 tahun datang ke poliklinik dengan bintik-bintik merah
bersisik pada wajah, punggung dan dada sejak 4 bulan yang lalu. Keluhan disertai
gatal dan pasien merasa ingin menggaruk tetapi ringan. Jika berobat keluhan sembuh
tapi kemudian muncul kembali. Gejala semakin berat setelah pasien dipecat dari
pekerjaannya dan belum kembali bekerja, sejak 3 bulan terakhir. Pada pemeriksaan
fisis ditemukan makula eritema dan skuama agak kasar dan sebagian halus. Sudah
berobat ke puskesmas berulang kali tetapi tidak mengalami perubahan malah semakin
banyak dan keluhan semakin hebat karena penderita stres. Riwayat kakak pasien
memiliki keluhan yang sama. Pasien sering merasa nyeri pada sendi-sendi besar.
A. KATA/ KALIMAT KUNCI
Perempuan berusia 29 tahun
Bintik-bintik merah bersisik pada wajah, punggung dan dada sejak 4 bulan yang
lalu
Keluhan disertai gatal dan pasien merasa ingin menggaruk tetapi ringan
Pemeriksaan fisis ditemukan makula eritema dan skuama agak kasar dan sebagian
halus
Keluhan semakin hebat karena penderita stres
Pasien sering merasa nyeri pada sendi-sendi besar
PERTANYAAN PENTING
1. Sebutkan faktor pencetus dan faktor resiko terhadap gejala yang dirasakan pasien?
2. Jelaskan patomekanisme gatal secara umum ?
3. Jelaskan patomekansme makula eritema dan skuama ?
4. Jelaskan hubungan stress dengan memberatnya keluhan yang dirasakan pasien?
5. Apa yang menyebabkan nyeri sendi pada pasien ?
6. Jelaskan langkah-langkah diagnosis berdasarkan skenario ?
7. Jelaskan diagnosis dan diagnosis banding dari skenario ?

8. LEARNING OBJECTIVE
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi kulit ?
2. Jelaskan somatosensoris pada kulit ?
3. JAWABAN PERTANYAAN
1. Apakah faktor resiko dan faktor pencetus terhadap gejala yang dirasakan pasien?
a.

Faktor Resiko

1) Usia : Kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia.


Sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering.
Kekeringan pada kult ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit
sehingga kulit mudah terkana paparan.

2) Jenis kelamin : Tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi nilai dan tingkah laku dalam hal penyakit kulit perempuan dikatakan
lebih beresiko mendapat penyakit kulit. Dibanding dengan pria, kulit wanita
memproduksi lebih sedikit minyak untuk melindungi dan menjaga
kelembapan kulit, selain itu juga kulit wanita lebih tipis daripada kulit pria
sehingga lebih rentan untuk menderita penyakit kulit.

3) Genetik: Salah satu faktor resiko terjadi penyakit kulit yaitu adanya riwayat
penyakit kulit terdahulu kemungkinan akan diturunkan pada anaknya,
contohnya : psoriasis

4) Personal hygiene: Kebersihan perorangan adalah konsep dasar dari


pembersihan, kerapihan dan perawitan badan. Kebersihan perorangan dapat
mecegah penyebaran kuman dan penyakit, mengurangi papan pada bahan
kimia dan kontaminasi, dan melakukan pencegahan alergi kulit .

5) Sosioekonomi: Pada masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah yang


kehidupannya

dalam

taraf

kehidupannya

sangat

kurang.

Dapat

memungkinkan terjadi kelainan kulit yang disebabkan kehidupan sosial


ditempat kumuh serta lingkungan yang tidak sehat, terutama penggunaan air
bersih.1,2

6) Faktor Pencetus
1) Alergen
2) Bahan iritan : detergen
3) Infeksi : virus, bakteri, jamur
4) Faktor psikis : cemas, stress
5) Lingkungan : suhu, kelembapan udara.2,3

6) Patomekanisme gatal secara umum


Diketahui bahwa zat kimia dan rangsangan fisik (faktor pencetus).
Faktor pencetus akan dianggap sebagai antigen oleh tubuh yang kemudian akan
mensensitasi sel langerhans yang terdapat dalam kulit yang bertugas sebagai APC
(Antigen Presenting Cell). Kemudian sel langerhans membawa antigen ke sel T dan
sel mast. Setelah dipresentasikan kepada sel T, maka sel T akan berikatan dengan
antigen membentuk Interleukin (IL-2,IL-6,IL-31). Yang nantinya mengubah sel B lain
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi Immunoglobulin E yang sudah mengenal
antigen serta bersirkulasi dalam darah. 4,5
Setelah itu sel mast akan berikatan dengan antigen dan dengan bantuan dari Ig
E yang telah mengenal antigen akan melepaskan kemokin dan sitokin pruitogenik
(bradikinin, triptase, prostaglandin, histamin leukotrien, endotelin dan TNF-. Yang
kemudian akan menghasilkan rasa gatal setalah itu reseptor-reseptor berafinitas tinggi
terhadap mediator-mediator pruitogenik (pruriseptor) di neuron afferen primer ( A
delta fibers dan C fibers) menghantarkan stimulus tersebut melalui intracellular
signaling dari perifer ke Ganglia Basalis Dorsalis. Setelah sinyal diteruskan ke
Lamina kornu Dorsalis dari Medulla Spinalis. Setelah melewati sisi kontralateral,
sinyal dihantarkan ke CNS, tepatnya di thalamus.4
Dari thalamus stimuli diteruskan ke Anterior Cingulate Cortex (ACC), Insular
Cortex (Insula), and secondary somatosensory cortices (SSC). Yang kemudian akan
menghasilkan presepsi gatal, kemudian respon motoris diterima di Supplementary
Motor Area (SMA), Premotor Area (PMA), dan Prefrontal Cortex. Yang akan
menyebabkan respon tubuh yaitu menggaruk.4,5

7) Patomekanisme terjadinya makula erimatosa dan skuama


Kulitadalah organ limfoid primer dengan system pengawasan imunologi yang
efektif dilengkapi dengan antigen presenting sel, sitokin sintesis keratinosit, sel T
epidermotropic, sel endotel kulit kapiler, pengeringan kelenjar, sel mast, makrofag
jaringan, granulosit, broblasts, dansel-sel non-Langerhans. Kulit juga memiliki
kelenjar getah bening dan sirkulasi limfosit T. Bersama-sama sel-sel ini
berkomunikasi dengan cara sekresi sitokin dan merespon ssesuai melalui rangsangan
oleh bakteri, kimia, ultraviolet (UV) cahaya, dan factor mengiritasi lainnya.Sitokin
utama yang dirilis dalam menanggapi presentasi antigen adalah Tumor Necrosis
Factor-alpha (TNF-).6
Aktivasi sel T, TNF-, dan sel dendritik merupakan factor pathogen
dirangsang dalam menanggapi factor pemicu, seperti cedera fisik, peradangan,
bakteri, virus, atau penarikan obat kortikosteroid. Awalnya, sel dendritik belum
matang dalam epidermis merangsang T-sel dari kelenjar getah bening dalam
menanggapi rangsangan antigen yang belum teridentifikasi. Sel limfositik yang
menyusup di psoriasis didominasisel T CD4 dan CD8.Setelah sel T menerima
rangsangan primer dan aktivasi, sintesis dihasilkan dari mRNA untuk interleukin-2
(IL-2) terjadi, mengakibatkan peningkatan berikutnya dalam IL-2 reseptor. Psoriasis
dianggap penyakit Th1 dominan karena peningkatan sitokin dari jalur Th1 - interferon
gamma (IFN-), IL-2, dan interleukin 12 (IL-12) yang ditemukan pada plak psoriasis.
Peningkatan IL-2 dari sel T diaktifkan dan IL-12 dari sel-sel Langerhans
akhirnya mengatur gen yang mengkode untuk transkripsi sitokin seperti IFN-, TNF, dan IL-2, yang bertanggung jawab untuk diferensiasi, pematangan, dan proliferasi
sel T menjadi sel memori efektor. Pada akhirnya, sel T bermigrasi ke kulit, di mana
mereka menumpuk di sekitar pembuluh darah dermal.Ini adalah yang pertama dalam
serangkaian perubahan imunologi yang menghasilkan pembentukan lesi psoriatic
akut.6,7
Karena respon imun yang diuraikan di atas merupakan respon agak normal
terhadap stimulasi antigen, masih belum jelas mengapa aktivasi T-sel yang terjadi,
diikuti oleh migrasi berikutnya leukosit ke dalam epidermis dan dermis, menciptakan
proliferasi sel dipercepat. Regulasi gen bias menjadi factor penyebab kausatif. Faktor

pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) dan interleukin-8 dibebaskan dari keratinosit


dapat memberikan kontribusi pada vaskularisasi yang terlihat pada psoriasis.6,7
Sel dendritik tampaknya terlibat dalam patogenesis psoriasis. Salah satu jenis
sel dendritik yang terlibat adalah sel Langerhans, yang penjaga terluar dari sistem
kekebalan tubuh yang mengakui dan menangkap antigen, bermigrasi ke kelenjargetah
bening lokal, dan menyajikan mereka untuk sel T. Aktivasi T limfositrilis pro-sitokin
inflamasi seperti TNF- yang menyebabkan proliferasi keratinosit merupakan respon
hiperproliferatif menurun epidermal waktu transit (perkiraan waktu yang dibutuhkan
untuk pematangan normal sel-selkulit) dari 28 hari menjadi 2-4 hari dan
menghasilkan plak bersisik eritematosa khas psoriasis merupakan pemahaman tentang
mekanisme pathogen telah menyebabkan pembangunan dan penggunaan terapi TNF-
blocking agen.6
IL-23 sebuah heterodimer yang tersusun dari subunit p40 dan p19 diproduksi
oleh sel dendritic dan makrofag.Menyebabkan teraktivasinya Th-17 untuk
memproduksi IL-17 dan IL-22.Th-17 adalah efektor dari CD4 jelas berasal dari
keturunan Th1 dan Th2 yang bertanggung jawabbaik innate maupun adaptive imun
terhadap pathogen. IL-17 merupakan bagian dari grup sitokin yang dikenal sebagai
keluar IL-17 mencakup enam ligand (A-F) danlima member receptor. Sitokin IL-17A
mungkin merupakan pathogenesis penting dari psoriasis.IL-17A dan IL-17F adalah
sitokin predominan yang dikeluarkan oleh Th-17, tapi juga di produksi oleh sel T,
sedangkan IL-17C di produksi oleh keratinosit.6,7

8) Hubungan stress pada gatal :


Dalam respon terhadap stres, peningkatan regulasi mediator neuropeptida di
otak, organ endokrin, dan sistem saraf perifer langsung mempengaruhi sel-sel
kekebalan tubuh dan populasi di kulit. Lesi dan nonlesional kulit pasien dengan
dermatitis atopik menunjukkan peningkatan sel mast dan mast cellnerve kontak serat.
Dalam pengaturan stres, saraf sensorik melepaskan neuromediators yang mengatur
inflamasi dan respon imun, serta fungsi penghalang.8
Meskipun mekanisme yang mendasari asosiasi penyakit kulit pada stres
psikologis belum dijelaskan sepenuhnya, bidang psikoneuroimunologi telah
memberikan banyak wawasan baru untuk memahami peran stres dalam AD
(dermatitis atopik). Baru-baru ini telah dibuktikan lebih jauh melalui klinis dan
fisiologis bahwa stres psikologis adalah kontributor yang signifikan untuk perjalanan
penyakit AD melalui efek langsung dan tidak langsung pada respon imun, ekspresi
neuropeptida kulit, dan fungsi sawar kulit.8
Hasil ini yang didapatkan dalam percobaan tikus, dikaitkan sintesis epidermal
lipid yang terganggu pada tikus dengan keratinosit manusia. Tikus mengalami 72 jam
stres psikologis mengalami infeksi kulit yang lebih parah berikut kelompok subkutan
A Streptococcus pyogenes (GAS) inokulasi dibandingkan dengan kontrol tanpa
tekanan. Ada peningkatan produksi GCs endogen, yang menghambat sintesis
epidermal lipid dan penurunan sekresi tubuh lamelar. Singkatnya, temuan ini
menunjukkan hubungan pada stres psikologis, hormon stres dan disfungsi barier kulit,
dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi kulit.8,9
Diaktifkan oleh beberapa mediator hormon stres, sel-sel mast kulit
mengekspresikan

berbagai isoform neuropeptide atau neurohormon reseptor,

termasuk CRH, dan dengan demikian itu sendiri merupakan sumber yang kaya CRH.
Selain itu, sel mast mensintesis dan mengeluarkan lebih dari 50 molekul biologis
aktif, termasuk sitokin, SP, serotonin, TNF-, NGF, tryptases dan chymases, yang
semua mediator inflamasi neurogenik. potensiasi kemungkinan peradangan
neurogenik terjadi mungkin melalui mekanisme umpan-maju, sebagai mediator ini

membangkitkan dan merangsang di sekitar neuropeptide- yang berisi C-serabut,


dengan sitokin dan chemokin proinflamasi dilepaskan dari sel mast.8,9

9) Apa yang menyebabkan nyeri sendi pada pasien


Infiltrasi leukosit dan produk sitokin ini lebih baik di kulit daripada di sendi
yang meradang, meskipun mereka mungkin mirip pada kedua hal tersebut. Faktor
genetik yang berpotensi mengubah aksi protein yang akan ditampilkan. Di kulit,
varian gen yang mempengaruhi pasien untuk psoriasis pengaruh jalur proinflamasi,
terutama TH1 dan jalur TH17. Peran IL4 / IL13 tidak jelas, tetapi variasi genetik
dapat mengakibatkan disregulasi dari jalur TH1 dan TH17. HBD diregulasi dalam
keratinosit sebagai akibat stimulasi oleh IL-17, TNF dan IFNgamma.
Leukosit dan sitokin yang berasal di kulit mungkin memiliki peran langsung
atau tidak langsung dalam pengembangan arthritis melalui peningkatan tingkat sitokin
sistemik dan peningkatan aktivasi leukosit yang beredar. Atau, leukosit ini dan sitokin
bisa berasal sinovium dalam cara yang mirip dengan bagaimana mereka berkembang
di kulit. 10
Jadi dapat disimpulkan bahwa penyebab nyeri sendi pada pasien adalah autoimun

10)

Langkah langkah diagnosis


Untuk menentukan dan menegakkan suatu diagnosis kita pada pasien di

skenario , maka ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Adapun langkah
langkah tersebut dimulai dari anamnesis langsung dari paasien (Autoanamnesis)
maupun secara tidak langsung. Setelah melakukan anamnesis, langkah selanjutnya
yaitu melakukan pemeriksaan fisis (Tanda vital pasien maupun eflorsensi lesi pasien).
Jika anamnesis dan pemfis yang kita lakukan masih belum memberikan kepastian
akan suatu diagnosis spesifik dari pasien maka kita dapat melakukan pemeriksaan
penunjang yang meliputi Uji klinis, uji diagnosis dengan alat, uji laboratorium, dan
pemeriksaan histopatologi.11
Berikut adalah ringkasan mengenai tata cara mendiagnosis pasien pada
skenario berdasarkan langkah langkah yang telah ditentukan diatas :
ANAMNESIS

Anamnesis umum :
Tanyakanlah data pribadi pasien : nama,umur, alamat, dan pekerjaan
Tanyakanlah apa yang menyebabkan pasien dating ke dokter (keluhan utama).
Untuk heteroanamnesi tanyakan hubungan pasien dengan pengantar.
Anamnesis terpimpin :
Tanyakanlah kapan kelainan kulit tersebut mulai muncul.
Galilah tentang onset, durasi kelainan tersebut, apakah hilang timbul atau
menetap, bagaimana gambaran lesi awalnya, dimana lokasi awalnya,
bagaimana perkembangan lesinya serta distribusi lesi selanjutnya.
Tanyakanlah apakah disertai rasa panas pada lesi atau tidak, adakah demam
atau tidak
Tanyakanlah apakah disertai gatal atau tidak.
Tanyakan apakah kelainan kulit ini ada hubungannya dengan :
Penggunaan pakaian baru,

Membersihkan tanaman atau rumah,

Gigitan serangga atau luka (trauma), dan lain-lain.

Tanyakanlah apakah ada keluhan lain yang dirasakan oleh pasien.


Jika ada tanyakanlah:

Kapan mulai terjadi hal tersebut, apakah terjadi mendadak atau tidak.

Apakah muncul bersamaan atau sesudahnya.

Tanyakanlah apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada masa
lalu.
Tanyakanlah riwayat penyakit yang sama dalam lingkup keluarga atau
lingkungan sekitar tempat tinggal.
Tanyakanlah ada riwayat kontak dengan penderita penyakit dengan gejala
yang sama, riwayat kontak dengan serangga atau tanaman.
Tanyakanlah riwayat pengobatan yang pernah diterima dari dokter dan obat
yang dibeli sendiri oleh pasien tanpa resep dokter.

PEMERIKSAAN FISIS

Tanda Vital (Tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, suhu).

Inspeksi :

Dimana letak/lokasi kelainan kulit tersebut

Perhatikan jenis efloresensi yang tampak : eritema, hipopigmentasi,


hiperpigmentasi, nodul, vesikel, dulla, makula, papula, skuama,
urtikari, ulkus, kerusta.

Bila seluruh permukaan lesi rata, perhatikan gambaran permukaan


kulit kering yang terlihat : kering atau basah

Perhatikanlah bentuk dan gambaran kelainan kulit yang tampak pada


pasien

Bagaimana ukuran dan distribusi kelainan kulit yang terlihat pada


pasien

Perhatikanlah secara keseluruhan kulit disekitar kelainan yang ada


apakah terdapat tanda-tanda kekeringan kulit atau kulit tampak pecahpecah

Palpasi
Pada palpasi perhatikan masing-masing jenis lesi, apakah permukaan rata,
tidak rata (berbenjol-benjol), licin, kasr atau halus, dan konsistensi lesi,
misalnya padat, kenyal, lunak, dan nyeri pada penekanan. Perhatikan pula
adanya tanda-tanda radang akut atau tidak, yaitu tumor, colour, dolor, kalor,
fungsioleisa. Bila ada tanda radang akut sebaiknya diperiksa kelenjar getah
bening.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji klinis : tanda nikolsky, fenomena tetesan lilin, dermografisme, uji fungsi
saraf motoric

Uji diagnosis dengan alat : dermoskopi, fenomena auspitz, tzanck smear,


lampuwood, uji tempel.

Laboratorium : pengambilan Duh tubuh, pengambilan Pus.

Histopatologi : biopsi kulit, preparat apus.11,24

Diagnosis dan diagnosis banding dari skenario

PSORIASIS
a. Definisi
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering rekuren, dengan
gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang
ditutupi oleh skuama tebal berwarna keperakan. Melibatkan beberapa faktor misalnya:
genetik, sistem imunitas, lingkungan serta hormonal. Lesi paling sering terdapat pada
daerah kulit kepala, siku, lutut, tangan, kaki, badan dan kuku.17
b. Epidemiologi
Psoriasis dapat terjadi secara universal. Prevalensi psoriasis bervariasi disetiap
negara. Terdapatnya variasi prevalensi psoriasis berdasarkan wilayah geografis dan
etnis menunjukkan adanya peranan lingkungan fisik (dikatakan psoriasis lebih sering
ditemukan pada daerah beriklim dingin), faktor genetik dan pola tingkah laku atau
paparan lainnya terhadap perkembangan psoriasis.18
Laki laki dan perempuan memiliki kemungkinan terkena yang sama
besar.Beberapa pengamatan terakhir menunjukkan bahwa psoriasis sedikit lebih
sering terjadi pada laki laki dibanding perempuan. Psoriasis dapat mengenai semua
usia dan telah dilaporkan terjadi saat lahir dan pada orang yang berusia lanjut.
Penelitian mengenai onset usia psoriasis mengalami banyak kesulitan dalam hal
keakuratan data karena biasanya ditentukan berdasarkan ingatan pasien tentang onset
terjadinya dan rekam medis yang dibuat dokter saat kunjungan awal. Beberapa
penelitian berskala besar telah menunjukkan bahwa usia rata rata penderita psoriasis
periode pertama yaitu berkisar 15 20 tahun dan usia tertinggi kedua pada 55 56
tahun.Pada sebuah penelitian yang meneliti pengaruh jenis kelamin dan usia pada
prevalensi psoriasis, ditemukan bahwa pasien yang berusia lebih muda (< 20 tahun)
prevalensi psoriasis ditemukan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki

laki.19
c. Etiopatogenesis
Etiopatogenesis psoriasis belum diketahui secara pasti, namun ada banyak
faktor yang diduga berperan dalam terjadinya psoriasis, meliputi faktor genetik,
stress, infeksi, trauma, hormon, obat obatan, pajanan sinar ultraviolet (UV),
obesitas, merokok, dan konsumsi alkohol.Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai
suatu penyakit akibat gangguan keratinosit, tetapi saat ini psoriasis dikenal sebagai
suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis melibatkan interaksi
kompleks diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel
dendritikdermal, sel T, neutrofil dan keratinosit. Psoriasis dianggap sebagai suatu
penyakit yang diperantarai oleh sistem imun yang ditandai dengan adanya sel T
helper(Th) 1 yang predominan pada lesi kulit dengan peningkatan kadar interferon-
(IFN-), tumor necrosingfactor- (TNF-), interleukin(IL-2) dan IL-18. Baru-baru ini
jalur Th17 telah dibuktikan memiliki peranan penting dalam mengatur proses
inflamasi kronik. Sebagai pusat jalur ini terdapat sel T CD4+, yang pengaturannya
diatur oleh IL-23 yang disekresikan oleh sel penyaji antigen (sel dendritikdermal). Sel
Th17 CD4+ mensekresikan IL-17 dan IL-22 yang berperan pada peningkatan dan
pengaturan proses inflamasi dan proliferasi epidermal. 19,20
d. Gambaran Klinis
Psoriasis merupakan penyakit peradangan kronik yang ditandai oleh
hiperproliferasi dan inflamasi epidermis dengan gambaran morfologi, distribusi, serta
derajat keparahan penyakit yang bervariasi. Lesi klasik psoriasis biasanya berupa plak
berwarna kemerahan yang berbatas tegas dengan skuama tebal berlapis yang
berwarna keputihan pada permukaan lesi. Ukurannya bervariasi mulai dari papul yang
berukuran kecil sampai dengan plak yang menutupi area tubuh yang luas. Lesi kulit
pada psoriasis biasanya simetris dan dapat disertai gejala subjektif seperti gatal dan
rasa terbakar.Suatu tanda yang berguna bila terdapat keraguan mengenai diagnosis
adalah dengan menggores lesi secara kuat dan mengangkat seluruh keratin yang
ikatannya longgar. Kemudian akan muncul suatu permukaan yang berkilat dengan
bintik bintik darah kapiler (tanda Auspitz).17
Fenomena Koebner(juga dikenal sebagai responisomorfik) adalah induksi
traumatik pada psoriasis pada kulit yang tidak terdapat lesi, yang terjadi lebih sering

selama

berkembangnya

penyakit

dan

merupakan

suatu

all-or-none

phenomenon(misalnya bila psoriasis terjadi pada salah satu sisi luka, maka akan
terjadi pada semua sisi dari luka). Reaksi Koebnerbiasanya terjadi 7 sampai 14 hari
setelah trauma, dan sekitar 25% pasien kemungkinan memiliki riwayat trauma yang
berhubungan dengan fenomena Koebnerpada beberapa waktu dalam hidupnya.
Fenomena Koebnertidak spesifik untuk psoriasis tetapi dapat menolong dalam
membuat diagnosis ketika terjadi.17
Selain dari presentasi klasik yang disebutkan diatas terdapat beberapa tipe
klinis psoriasis: 17,18
a) Psoriasis vulgaris
Bentuk ini paling sering dijumpai, mencapai 90% kasus, disebut juga psoriasis
plak kronis. Gambaran klinis berupa plak eritematosa, berskuama putih seperti
mika, berlapis, mudah lepas dalam bentuk lembaran, tetapi dapat melekat erat dan
terlepas setelah digaruk seperti ketombe. Umumnya mengenai bagian ekstensor
ekstremitas, khususnya siku dan lutut, skalp, lumbosakral bagian bawah, bokong
dan genital. Predileksi pada daerah lain termasuk umbilikus dan intergluteal.
b) Psoriasis gutata
Psoriasis yang ditandai dengan bentuk papul berdiameter 0,5 sampai 1,5 cm
pada tubuh bagian atas dan bagian proksimal ekstremitas yang khas pada anak dan
dewasa muda. Lebih dari 30% pasien psoriasis mendapat episode pertamanya
sebelum usia 20 tahun. Infeksi streptokokus pada tenggorokan dapat mengawali 1
sampai 2 minggu atau bersamaan dengan onset berkembangnya lesi.
c) Psoriasis inversa
Lesi psoriasis berupa plak eritematosa, berbatas tegas dan mengkilat yang
terdapat di daerah lipatan, seperti aksila, lipatan payudara, lipatan paha, bokong,
telinga, leher dan glans penis. Skuama biasanya sedikit atau tidak ada. Pada pasien
obesitas atau diabetes dapat mengenai lipatan sempit seperti interdigitalis dan
subaurikuler, berupa lesi satelit dan maserasi. Infeksi, friksi dan panas dapat
menginduksi psoriasis tipe ini
d) Psoriasis eritroderma
Eritroderma menunjukkan bentuk generalisata dari penyakit yang mengenai
wajah, tangan, kaki, kuku, badan dan ekstremitas. Eritroderma yang parah

berbentuk skuama dan eritema difus yang biasanya disertai demam, menggigil dan
malese. Dapat muncul sebagai manifestasi awal dari psoriasis namun biasanya
terjadi pada pasien yang sebelumnya mengalami penyakit kronis. Faktor presipitasi
termasuk penggunaan kortikosteroidsistemik, pemakaian kortikosteroidtopikal
yang berlebihan, terapi topikal yang mengiritasi, komplikasi fototerapi, tekanan
emosional yang berat, penyakit terdahulu seperti infeksi.
e) Psoriasis pustulosa
Ditandai dengan pustul putih kekuningan, terasa nyeri, dengan dasar
eritematosa. Dapat lokalisata atau generalisata. Beberapa varian klinis psoriasis
pustulosa yaitu psoriasis pustulosageneralisata (tipe VonZumbusch), psoriasis
pustulosaanulare, impetigoherpetiformis, psoriasis pustulosapalmoplantar dan
akrodermatitiskontinua.
f) Psoriasis atritis
Psoriasis ini bermanifiestasi pada sendi sebanyak 30% kasus. Psoriasis tidak
selalu dijumpai pada pemeriksaan kulit, tetapi seringkali pasien datang pertama
kali untuk keluhan sendi. Keluhan pasien yang sering dijumpai adalah artritis
perifer, entesitis, tenosinovitis, nyeri tulang belakang, dan atralgia non spesifik,
dengan gejala kekakuan sendi pagi hari, nyeri sendi persisten atau nyeri sendi
fluktuatif bila psoriasis kambuh.
g) Diagnosis
Diagnosis psoriasis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran
klinis. Pada beberapa kasus dimana riwayat dan pemeriksaan klinis tidak menunjang
untuk diagnosis, dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti biopsi histopatologi dan
pemeriksaan laboratorium darah.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk mengkonfirmasi
suatu psoriasis ialah biopsi kulit dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin.
Pada umumnya tampak penebalan epidermis atau akantolisis serta elongasi reteridges.
Dapat terjadi diferensiasi keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum
granulosum. Stratum korneum juga mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel
pada lapisan ini yang disebut dengan parakeratosis. Tampak neutrofil dan limfosit
yang

bermigrasi

dari

dermis.

Sekumpulan

neutrofil

dapat

membentuk

mikroabsesMunro. Pada dermis akan tampak tanda-tanda inflamasi seperti

hipervaskularitas dan dilatasi serta edema papila dermis. Infiltrat dermis terdiri dari
neutrofil, makrofag, limfosit dan sel mast.
Selain biopsi kulit, abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium biasanya
tidak spesifik dan tidak dapat ditemukan pada semua pasien. Pada psoriasis vulgaris
yang berat, psoriasis pustulosageneralisata dan eritroderma dapat di deteksi penurunan
serum albumin yang merupakan indikator keseimbangan nitrogen negatif dengan
inflamasi kronis dan hilangnya protein pada kulit. Pada pasien psoriasis terlihat
perubahan profil lipid (peningkatan highdensity lipoprotein, rasio kolesterol
trigliserida serta plasma apolipoprotein - A1). Peningkatan marker inflamasi sistemik
seperti C-reactive protein, -2 makroglobulin, dan erythrocytesedimentationratedapat
terlihat pada kasus-kasus yang berat. 17,20
h) Penatalaksanaan
Oleh penyebab pasti belum jelas, maka diberikan pengobatan simtomatis
sambil berusaha mencari/mengeliminasi faktor pencetus.
1) Sistemik : 17,18

Kortikosteroid : hanya pada psosiariseritrodermia, arthritispsosiaris, dan


psosiarispustulosa tipe Zumbusch. Dimulai dengan prednison dosis rendah 30-60
mg, atau steroid lain dengan dosis ekivalen. Jika gejala klinis berkurang,
dilakukan taperingoff.
Metotreksat (MTX) : diberikan pada psosiaris yang resisten dengan obat lain.
Dosis

2,5-5 mg/hari selama 14 hari dengan istirahat yang cukup. Dapat dicoba

dengan dosis tunggal 25 mg/minggu dan 50 mg tiap minggu berikutnya. Dapat


pula diberikan intramuskular 25 mg/minggu, dan 50 mg pada tiap minggu
berikutnya.
DDS : dipakai pada psoriasis pustulosa tipe barber dengan dosis 2x100 gr/hari.
Efek sampingnya ialah : anemia hemolitik, methemoglobinemia, dan
agrunulossitosis.
Levodopa : diberikan pada penderita Parkinson yang sekaligus juga menderita
psoriasis. Dosisnya antara lain : 2 x 250 mg 3 x 500 mg, efek sampingnya
berupa : mual, muntah, anoreksia, hipotensi, dan gangguangpsikik, dan pada
jantung.
Etretinat (tagison, tigason) dan asitresin (neotigason). Etretinat merupakan

retinoidaromatic, digunakan bagi psoriasis yang sukar disembuhkan dengan obatobat lain mengingat efek sampingnya. Pada psoriasis obat tersebut mengurangi
proliferasi sel epidermal pada lesi psoriasis dan kulit normal. Dosisnya bervariasi :
pada bulan pertama diberikan 1 mg/kgBB, jika belum terjadi perbaikan dosis
dapat dinaikkan menjadi 1,5 mg/kg BB. Asitresin merupakan metabolit aktif
etretinat yang utama. Waktu paruh eleminasinya hanya 2 hari, dibandingkan
dengan etretinat yang lebih dari 100 hari.
Siklosporin : efeknya imunosupresan. Dosisnya 6 mg/kgBB sehari, bersifat
nefrotoksik dan hepatotoksik. Hasil pengobatan untuk psoriasis baik, hanya
setelah obat dihentikan dapat terjadi kekambuhan.
Terapi biologik : obat biologic merupakan obat yang baru, efeknya memblok
langkah molekuler spesifik penting pada pathogenesis ialah infiksimal, alefasep,
etanersep, efalizumab dan adalimumab.
Topikal: 17,18
Preparat ter (ter kayu, fosil atau batu bara) dengan konsentrasi 2-5%. Untuk
mempercepat, ter dapat dikombinasikan dengan asam salisilat 2-10% dan sulfur
presipitatum 3-5%.
Antralin 0,2-0,8% dalam pasta atau salep, kesembuhan tampak sesudah 3 minggu,
dan dapat beberapa bulan.
Kortikosteroid,

biasanya

kortikosteroidfluorinasi
triansinolonasetonida

dikombinasikan

mempunyai
1%,

daya

dengan
kerja

betametasonvalerat

asam
lebih

0,1%,

salisilat
baik,

3%,

misalnya

fluosinolonasetonida

0,025% atau betametason benzoat 0,025%.


PUVA yaitu kombinasi psoralen dan sinar ultraviolet 0,6 mg/kg berat badan.
Diberikan oral 2 jam sebelum disinar dengan sinar ultraviolet. Pengobatan
dilakukan

2 x seminggu; kesembuhan terjadi setelah 2-4 kali pengobatan.

Selanjutnya dilakukan pengobatan rumatan (maintenance) tiap 2 bulan.


Pengobatan cara Goeckerman : pengobatan kombinasi ter berasal dari batu bara
dan sinar ultraviolet. Lama pengobatan 4 5 minggu, penyembuhan setelah 3
minggu.
Fototerapi :

Fototerapi yang dikenal ultraviolet A (UVA) dan ultraviolet B (UVB).


Fototerapi memiliki kemampuan menginduksi apoptosis, imunosupresan, mengubah
profil sitokin dan mekanisme lainnya. Diketahui efek biologik UVB terbesar kisaran
311-313nm oleh karena itu sekarang tersedia lampu UVB (TL-01) yang dapat
memancarkan sinar monokromatik dan disebut spektrum sempit (narrowband). Dalam
berbagai uji coba penyinaran 3-5 kali seminggu dengan dosis eritemogenik memiliki
hasil yang efektif. Bila dibansingkan dengan UVB spektrum luas, UVB spektrun
sempit dosis suberitemogeniknampaknya lebih efektif. Psoriasis sedang sampai berat
dapat diobati dengan UVB, kombinasi dengan ter meningkatkan efektivitas terapi.
Efek samping cepat berupa sunburn, eritema, vesikulasi dan kulit kering. Efek jangka
panjang berupa penuaan kulit dan keganasan kulit yang masih sulit dibuktikan. Bila
dilakukan di klinik, kombinasi UVB sebgan ter sdanatralin, memiliki masa remisi
berlangaung lama 55% pasien.
Pemakaian UVB spektrum sempit lebih banyak dipilih karena lebih aman
dibandingkan denga PUVA (psoralen dan UVA) yang dihubungkana dengan
karainoma sel skuamosa, karainoma sel basal dan melanomamaligna pada kulit.
Peningkatan keganasan kulit karena UVB spektrum sempit sampai saat ini belum bisa
ditetapkan dan masih dalam penyelidikan.17
Komplikasi
Pasien dengan psoriasis memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang
meningkat terhadap gangguan kardiovaskuler terutama pada pasien psoriasis berat
dan lama. Resiko infark miokard terutama sekali terjadi pada pasien psoriasis usia
muda yang diderita dalam jangka waktu panjang. Pasien psoriasis juga mempunyai
peningkatan risiko limfoma malignum. Gangguan emosional yang diikuti masalah
depresi sehubungan denganm anifestasiklinis berdampak terhadap menurunnya harga
diri, penolakan social, merasa malu, masalah seksual, dangan gagguan kemampuan
profesional. Semuanya diperberat dengan perasaan gatal dan nyeri, dan keadaan ini
menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien. Komplikasi yang dapat terjadi pada
pasien eritroderma adalah hipotermia dan hipoalbuminemia sekunder terhadap
pengelupasan kulit yang berlebihan juga dapat terjadi gagalj Antung dan pneumonia.
Sebanyak 10-17% pasien dengan psoriasis pustule sageneralisata (PPG) menderita
atralgia, myalgia, dan lesi mukosa.17

Prognonsis
Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, tetapi bersifat kronis dan
residitif.18

DERMATITIS SEBOROIK
a. Definisi
Dermatitis seboroik adalah penyakit papuloskuamosa kronis yang menyerang
bayi dan orang dewasa sering ditemukan pada bagian tubuh dengan konsentrasi
folikel sebaseus yang tinggi dan aktif termasuk wajah, kulit kepala, telinga, badan
bagian atas dan fleksura (inguinal, inframma dan aksila).12
b.

Epidemiologi
Dermatitis seboroik adalah penyakit inflamasi kronis yang umum menyerang

sekitar 1-3% populasi umum di Amerika Serikat, di mana 3-5% pasien terdiri dari
orang dewasa muda. Data di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2000 sampai
2002 menunjukkan insidensi rata rata dermatitis seboroik sebesar 8,3% dari jumlah
kunjungan dan rasio pria dibandingkan wanita 1,5 : 1.
Kejadian penyakit menunjukkan dua puncak, satu pada bayi baru lahir hingga
usia tiga bulan, dan yang lainnya pada orang dewasa berusia sekitar 30-60 tahun. 11-14
Pria lebih sering terserang daripada wanita pada semua kelompok umur dan dapat
mengenai semua ras.
Taksiran prevalensi dermatitis seborik dibatasi oleh ketiadaan kriteria
diagnostik yang sah dan juga skala penentuan grade keparahan. Dermatitis seboroik
merupakan salah satu penyakit kulit paling umum, kondisi ini mempengaruhi sekitar
11,6% populasi umum dan sampai 70% bayi pada tiga bulan pertama kehidupan.
Prevalensi dermatitis seboroik yang lebih tinggi juga ditemukan dalamm kasus
kraniosinostosi, pada polineuropati amiloidotik familial, pada cedera otak traumatik,
cedera spinal cord traumatik, cerebrovascular accidents (CVA), epilepsi dan pada

paralisis saraf wajah. Pada tahun 1996, Ercis et al. melaporkan bahwa 30,9% pasien
penderita sindrom Down mengalami dermatitis seboroik, akan tetapi, Daneshpazhooh
et al. melaporkan prevalensinya hanya 3%.
Penyakit sistemik lainnya di mana kejadian dermatitis seboroik lebih tinggi
meliputi infark otot jantung akut, pankreatitis alkoholik dan kecanduan alkohol.12

c. Etiologi dan Patogenesis


Patogenesis yang pasti dari dermatitis seboroik belum dimengerti sepenuhnya,
tetapi dermatitis ini umumnya terkait dengan jamur Malassezia, kelainan immunologi,
aktivitas sebaseus yang meningkat dan kerentanan pasien. Spesies Malassezia dan
Propionibacterium acne juga memiliki aktivitas lipase yang menghasilkan
transformasi trigliserida ke dalam asam lemak bebas. Ketujuh spesies Malassezia
adalah lipofilik kecuali spesies zoofilik,
Malassezia pachydermatis, asam lemak bebas dan radikal oksigen reaktif yang
dihasilkan memiliki aktivitas antibakteri yang merubah flora kulit normal. Sebagian
penulis meyakini bahwa gangguan dalam flora, aktivitas lipase dan radikal oksigen
bebas akan berhubungan erat dengan dermatitis seboroik dibandingkan dengan
perubahan respon kekebalan.
Hormon dan lipid kulit, pasien dengan dermatitis seboroik memeperlihatkan
kadar lipid permukaan kulit yang tinggi trigliserida dan kolesterol, tetapi level yang
rendah dari asam lemak bebas dan squalene. Penderita dermatitis seboroik biasanya
mempunyai kulit kaya sebum dan berminyak. Seperti yang telah disebutkan di atas,
lipid sebum penting untuk proliferasi Malassezia dan sintesa faktor-faktor
proinflamasi sehingga menciptakan kondisi yang sesuai untuk perkembangan
dermatitis seboroik. Lesi dermatitis seboroik sering dijumpai pada bagian-bagian kulit
yang kaya kelenjar sebum.
Dermatitis seboroik paling umum terjadi pada masa pubertas dan remaja,
selama periode ini produksi sebum paling tinggi, hal ini berhubungan dengan
hormonal yang meningkat pada masa pubertas, oleh karena itu dermatitis seboroik
lebih umum pada laki-laki daripada perempuan, yang menunjukkan pengaruh
androgen pada unit pilosebum. Dermatitis seboroik merupakan kondisi inflamasi,
yang sebagian besar disertai dengan keberadaan jamur Malassezia dan diduga bahwa
reaksi kekebalan yang tidak tepat bisa memberi kontribusi kepada patogenesis

dermatitis seboroik. Walaupun mekanisme imunopatogenik yang terlibat dalam


perkembangan dermatitis seboroik belum diketahui dengan jelas. Studi yang
dilaksanakan Bergbrant et al. menunjukkan secara langsung gangguan fungsi sel-sel T
dan peningkatan sel-sel NK (natural killer) dalam darah perifer pasien dermatitis
seboroik dibandingkan dengan kelompok kontrol. Studi yang sama menunjukkan
peningkatan konsentrasi total antibodi IgA dan IgG serum pada pasien penderita
dermatitis seboroik, yang juga ditegaskan oleh beberapa studi lainnya, peningkatan
produksi imunoglobulin terjadi sebagai reaksi terhadap toksin jamur dan aktivitas
lipase.
Faergemann et al. menemukan infiltrasi sel-sel NK (natural killer) dan
makrofag pada bagian-bagian kulit yang terpengaruh , dengan aktivasi lokal yang
bersamaan dari komplemen dan pemicuan sitokin proinflamasi, yang semuanya bisa
menyebabkan kerusakan pada epidermal.
Berdasarkan hasil penelitian Gupta AK pada tahun 2004 menunjukkan adanya
imunodefisiensi sebagai faktor penyebab prevalensi dermatitis seboroik lebih tinggi
secara signifikan (34%-83%) .10 Valia RG menyatakan pasien positip-HIV, dermatitis
seboroik yang terjadi gambaran klinisnya lebih berat (bahkan sering mempengaruhi
anggota gerak). Faktor-faktor neurogenik, kejadian dermatitis seboroik pada pasien
penderita penyakit parkinson sudah lama diamati secara klinik, terutama pada pasien
penderita dermatitis seboroik yang sudah lama dan berat, menciptakan kondisi yang
sesuai terhadap proliferasi Malassezia.
Dermatitis seboroik dapat terjadi pada pasien dengan parkinson, tampak
perubahan dalam konsentrasi sebum yang dipicu secara endokrinologik bukan secara
neurologik. Hal ini didukung oleh temuan-temuan tentang peningkatan konsentrasi
hormon Melanocyte Stimulating Hormon (-MSH) plasma pada pasien penderita
penyakit parkinson, mungkin disebabkan ketiadaan faktor penghambat-MSH sebagai
akibat dari aktivitas neuronal dopaminergik yang tidak cukup. Berdasarkan penelitian
Mokos ZB dkk pada tahun 2012 dijumpai pengobatan dengan L-dopa berhasil
memulihkan sintesa faktor penghambat-MSH dan mengurangi sekresi sebum pada
pasien penderita penyakit parkinson.12 Efek sebostatik dari L-dopa ini terbatas hanya
pada pasien penderita penyakit parkinson, sementara pada kondisi seborea lainnya
seperti jerawat, L-dopa tidak mempunyai efek pada produksi sebum. 12 Lebih jauh lagi,
immobilitas wajah pasien penderita penyakit parkinson (wajah seperti-masker) bisa
secara sekunder menyebabkan peningkatan akumulasi sebum, yang dengan demikian

memberi kontribusi tambahan kepada kecenderungan perkembangan dermatitis


seboroik.

Beberapa laporan menyatakan faktor fisik seperti perawatan PUVA

(Psoralen Ultraviolet A) pada wajah juga dapat memicu dermatitis seboroik. Efek
mikrobial, patogenesis dermatitis seboroik masih kontroversial sejak dahulu,
kehadiran atau ketidakseimbangan flora berperan dalam penyakit ini, meskipun
beberapa

pasien

memiliki

kultur

yang

menunjukkan

Candida

albicans,

Staphylococcus aureus, Propionobacterium acnes dan bakteri aerob lainnya, tetapi


tidak berhubungan dengan patogenesis dermatitis seboroik.
Beberapa obat yang dikenal dapat memicu dermatitis seboroik dari laporan
beberapa penelitian seperti laporan dari Picardo M dan Cameli N pada tahun 2008
seperti griseofulvin, simetidin, lithium, metildopa, arsenik, emas, auranofin,
aurothioglukose, buspiron, klorpromazin, etionamid, baklofen, interferon fenotiasin,
stanozolol, thiothixene, psoralen, methoxsalen, dan trioxsalen. Gangguan proliferasi
epidermis, pasien dengan dermatitis seboroik menunjukkan hiperproliferasi epidermis
atau diskeratinisasi yang terkait dengan peningkatan aktivitas kalmodulin, yang juga
terlihat pada psoriasis. Ini menjelaskan mengapa pasien dengan dermatitis seboroik
yang diterapi dengan sejumlah obat sitostatik menunjukkan perbaikan.
Faktor genetik, riwayat keluarga dari dermatitis seboroik seringkali telah
dilaporkan, tetapi hanya beberapa tahun terakhir yang memiliki mutasi (ZNF750)
yang menguraikan protein finger zinc (C2H2) yang telah dijelaskan dan
mengakibatkan terjadinya dermatosis menyerupai dermatitis seboroik. Beberapa
laporan juga menyatakan stres oksidatif yang muncul sebagai akibat dari over
produksi oksigen radikal atau mekanisme pertahanan antioksidan tidak memadai
dapat memicu dermatitis seboroik.12,13
d. Gambaran Klinis
Lesi dermatitis seboroik tipikal adalah bercak-bercak eritema, dengan sisiksisik yang berminyak. Penyakit ini suka muncul di bagian-bagian yang kaya kelenjar
sebum, seperti kulit kepala, garis batas rambut, alis mata, glabela, lipatan nasolabial,
telinga, dada atas, punggung, ketiak, pusar dan sela paha.
Pasien sering mengeluhkan rasa gatal, terutama pada kulit kepala dan pada
liang telinga. Lesi pada kulit kepala dapat menyebar ke kulit dahi dan membentuk
batas eritema bersisik yang disebut corona seborrheica. Dua bentuk dermatitis
seboroik bisa terjadi pada dada, tipe petaloid dan tipe pitiriasiform. Tipe petaloid

diawali dengan papul-papul folikuler dan perifolikuler merah hingga coklat, yang
berkembang menjadi bercak-bercak yang mirip bentuk mahkota bunga.
Tipe pitiriasiform mungkin merupakan bentuk berat dari dermatitis seboroik
petaloid. Tipe ini mempunyai bercak-bercak yang mengikuti garis-garis kulit yang
mirip pityriasis rosea. Dermatitis seboroik juga dapat mengenai liang telinga yang
gambarannya seperti dermatitis kronis.
Gejala yang umum lainnya dari dermatitis seboroik adalah blefaritis dengan
kerak-kerak berwarna kekuningan sepanjang pinggir kelopak mata. Bila hanya
manifestasi ini yang ada, maka diagnosis tidaklah sulit. Varian serius dari penyakit
kulit ini adalah exfoliative erythroderma (seborrheic erythroderma. Komplikasi yang
utama pada lesi adalah infeksi sekunder, tampak eritema, eksudat, gangguan
kenyamanan dan limfadenopati pada daerah yang terkena.12,14
e. Diagnosis
Dermatitis seboroik mempunyai ciri-ciri unik tergantung pada kelompok usia
yang terpengaruh, bentuk anak sifatnya dapat sembuh sendiri, sementara pada orang
dewasa penyakit ini sifatnya kronis. Lesi terdiri dari plak eritema, bersisik dengan
tingkat keparahan dan intensitas yang bervariasi.
Pada masa bayi, dermatitis seboroik sering dijumpai dalam tiga bulan pertama
kehidupan berupa sisik pada kulit kepala. Gambaran khas yang berupa sisik-sisik
kekuningan yang muncul segera setelah lahir. Kondisi ini juga bisa berkembang pada
wajah dan pada lipatan-lipatan tubuh seperti pada daerah retroaurikular, leher, ketiak
dan daerah paha.
Pada orang dewasa, dermatitis seboroik adalah dermatosis kronis berulang
yang dimulai dari eritema ringan sampai moderat hingga lesi papular, eksudatif dan
bersisik, semakin memburuk jika disertai stres atau kurang tidur. Dengan tingkat
puritus bervariasi. Lesi terutama berkembang pada daerah yang produksi sebumnya
tinggi seperti kulit kepala, wajah, telinga eksternal, daerah retroaurikular dan daerah
pra-sternal, kelopak mata dan lipatan-lipatan tubuh. Lesi pada kulit kepala dimulai
dari pengelupasan ringan hingga kerak-kerak berwarna kekuningan yang melekat
pada kulit kepala dan rambut, yang bisa memicu atau tidak terjadinya daerah alopesia
(pseudo tinea amiantacea). Pada wajah, keterlibatan daerah glabela dan malar, lipatan
nasolabial dan alis mata merupakan ciri khas. Keterlibatan kelopak mata
menyebabkan blefaritis, pada pria daerah kumis juga bisa terpengaruh dengan lesi

dermatitis seboroik. Dalam lipatan-lipatan kulit (ketiak, pusar, inguinal, daerah


anogenital), bentuk lesi berupa maserasi, lembab dengan dasar eritema pada sekitar
lesi.12,13

f. Diagnosis Banding
Dijumpai sejumlah penyakit yang serupa dengan dermatitis seboroik. Psoriasis
pada kulit kepala (scalp psoriasis) muncul sebagai plak bersisik pada kulit kepala
dengan batas yang tegas mungkin sulit dibedakan dari dermatitis seboroik. Dermatitis
seboroik pada kepala juga bisa mirip dengan tinea kapitis untuk membedakannya
dilakukan pemeriksaan kerokan KOH 20% dan kultur jamur. Rosasea dan sistemik
lupus eritematosus bisa menimbulkan eritema pada wajah yang mirip dengan
dermatitis seboroik.\ Dermatitis seboroik pada lipatan nasolabial mirip dengan
dermatitis perioral, dermatitis seboroik pada daerah dada dan punggung yang mirip
dengan ptiriasis rosea dan ptiriasis versikolor, dermatitis seboroik pada daerah paha
bisa mirip dengan dermatofitosis, psoriasis inversa, kandidiasis dan kadang-kadang
histiositosis sel langerhans.12
g. Histopatologi
Gambaran histopatologi bervariasi menurut stadium penyakit: akut, subakut,
atau kronik. Pada dermatitis seboroik akut dan subakut, infiltrat perivaskuler
superfisial dari limfosit dan histiosit jarang, spongiosis ringan sampai sedang,
hiperplasia psoriasifrom ringan, sumbatan folikuler oleh ortokeratosis dan
parakeratosis, skuama atau krusta mengandung netrofil pada ujung ostia folikuler.
Pada dermatitis seboroik kronis dijumpai kapiler dan vena kecil yang berdilatasi pada
pleksus superfisial.
Lesi dermatitis seboroik kronik secara klinis dan histopatologis berupa bentuk
psoriasiform sehingga sering sulit dibedakan dengan psoriasis. Bentuk psoriasis
memberikan banyak gambaran yang sama dengan dermatitis seboroik. Lesi yang
menyerupai psoriasis dapat berlangsung bertahun-tahun sebelum akhirnya berubah
menjadi psoriasis yang jelas. 12
h. Pengobatan

a) Pertimbangan umum
Pada umumnya, terapi ditujukan untuk melunakkan dan menghilangkan
skuama dan krusta, menghambat kolonisasi jamur, mengontrol infeksi sekunder,
dan mengurangi eritema dan gatal. Pasien DS dewasa harus diberi penjelasan
mengenai sifat kronik penyakit dan memahami bahwa terapi bekerja dengan cara
mengontrol penyakit dan bukan mengobati. Prognosis DS infantil bagus karena
penyakit bersifat jinak dan self-limited.
b) Terapi DS pada bayi
Skalp : Terapi terdiri atas: menghilangkan krusta dengan asam salisilat 3%
dalam oleum olivarium atau water-soluble base; kompres hangat oleum
olivarium; steroid topikal potensi rendah (hidrokortison 1%) dalam krim
atau lotio untuk beberapahari; anti jamur topikal (imidazole dalam
shampo); sampo bayi ringan; perawatan kulit dengan emolien, krim, dan
pasta lunak.
Daerah intertriginosa : Drying lotion, seperti klioquinol 0.2-0.5% dalam
lotio zink atau zink minyak. Dalam kasus kandidiasis, lotio atau krim
nistatin atau amfoterisin B dilanjutkan dengan pasta lunak. Pada keadaan
dermatitis eksudatif, diberikan gentian violet 0.1%-0.25%. Ketokonazole
2% dalam pasta lunak, krim, atau lotio dapat pula membantu. Diet. Tidak
efektif (diet rendah lemak, biotin, vit B komplek, asam lemak esensial).
Terapi DS pada dewasa
DS pada dewasa berlangsung lama dan tidak dapat diprediksi, disarankan
regimen terapi yang ringan dan hati-hati. Agen anti radang dan, bila ada indikasi,
diberikan antimikrobial dan anti fungal.
Skalp : Sampo diberikan sering dengan sampo mengandung selenium
sulfid 1-2.5%, ketokonazole 2%, zink pirition, benzoil peroksid, asam
salisilat, coal /juniper tar, atau detergen. Krusta atau skuama dapat
dihilangkan dengan pemberian steroid atau asam salisilat dalam watersoluble base, yang diberikan sepanjang malam. Tingtur, alcoholic solution,
hair tonic, biasanya akan merangsang stadium inflamasi sehingga harus
dihindari. Pada pityriasis amiantasea, skuama harus dihilangkan dengan

salap oleum cadini atau salap tar/salicylic. Setelah 4-6 jam, salap dibuang
dengan sampo yang sesuai (sampo tar/imidazol). Pada beberapa kasus,
dapat diberikan krim/larutan steroid topikal poten. Bila terapi topikal
gagal, diberikan prednisolon oral 0.5 mg/kg/hari selama kisaran 7 hari,
dikombinasikan dengan steroid topikal (mula-mula dengan oklusi
kemudian tanpa oklusi). Pemberian antimikrobial (makrolid, sulfonamid)
hanya untuk kasus yang bandel, terutama bila koinfeksi bakteri pada skalp
terbukti atau dicurigai.
Wajah dan badan. : Pemakaian salap yang berlemak/greasy dan sabun
harus dihindari, demikian pula, larutan beralkohol atau lotion untuk cukur
jenggot. Hidrokortison 1% cukup menolong. Pemakaian jangka lama tidak
terkontrol dapat menimbulkan efek samping steroid dermatitis, steroid
rebound phenomenon, steroid rosacea, dan dermatitis perioral.
Seborrheic otitis externa : Terbaik diobati dengan krim/salap steroid
potensi rendah. Preparat telinga yang mengandung neomisin, antibiotik,
atau kombinasi, merupakan sensitizer kuat sehingga harus dihindari. Bila
otitis teratasi, steroid harus dihentikan dan larutan mengandung aluminum
asetat diberikan 1 atau 2 x/hari untuk mempertahankan kondisi yang sudah
dicapai (bekerja sebagai drying agent dan mengurangi flora mikrobial).
Salap dasar atau plain petroleum jelly, dioles dalam liang telinga (tanpa
cotton tips), sering menolong mempertahankan kepuasan pasien.
Pimekrolimus topikal juga efektif.
Seborrheic blepharitis. : Direkomendasikan pemberian kompres hangat dan
debridemen secara lembut dengan cotton-tipped applicator dan baby shampoo, 1 atau
2 x/hari. Kasus yang bandel, memerlukan antibiotik topikal (sodium sulfacetamide
ophthalmic ointment). Bila terdapat Demodex folliculorum dalam jumlah besar,
dapat dicoba pemberian krotamiton, permetrin, atau benzoil peroksid.
Anti jamur
Anti jamur topikal yang berhasil adalah golongan imidazol (itrakonazol, mikonazol,
flukonazol, ekonazol, bifonazol, climbazole, siklopirox, dan siklopiroxolamin). Response rate yang
dicapai antara 63% sampai 90% setelah 4 minggu. Golongan imidazol yang paling banyak
digunakan adalah ketokonazol. Dalam beberapa penelitian, krim ketokonazol 2%

diketahui sama efektif dengan krim steroid, kadang dengan remisi lebih lama. Dalam
penelitian terbatas, krim butenafine 1%, derivat benzylamine menunjukkan efektivitas
sebagai terapi topikal pada DS.
Ketokonazol, itrakonazol, dan terbinafine oral efektif pula, tetapi karena efek
samping potensial dan pertimbangan ekonomi, harus dibatasi pada kasus berat atau
parah. Agen anti jamur memiliki spektrum yang luas, termasuk sifat anti radang dan
hambatan pada sintesis lipid dinding sel. Efek tersebut bukan bukti dari causal
relationship antara M. furfur dan DS.
Metronidazol : Metronidazol topikal adalah alternatif berharga dalam
pengobatan DS. Obat telah digunakan dengan sukses pada rosasea. Formulasi
(1-2% dalam dasar krim) atau produk komersial (0.75% gel, krim atau lotion;
krim 1%) dipakai 1-2 x/hari.
Lithium : Lithium succinate dan lithium gluconate merupakan agen lain yang
efektif dalam pengobatan DS.
Inhibitor calcineurin : Takrolimus dan pimekrolimus topikal merupakan
alternatif superior steroid, karena mempunyai efek anti radang dan tidak
mempunyai efek samping jangka panjang. Takrolimus menunjukkan pula efek
anti jamur.
Analog vit D3 : Krim/lotion calcipotriol, salap calcitriol, atau salap tacalcitol
direkomendasikan pula dan berguna pada pasein tertentu, karena mempunyai
efek anti radang dan anti jamur.
Isotretinoin : Isotretinoin oral (13-cis-retinoic acid) juga berguna, walaupun
belum disetujui. Dosis rendah (0.05-0.1 mg/kg/hari) untuk beberapa bulan,
menyembuhkan DS bandel. Pemberian pada wanita masa subur, semua
persyaratan pemberian harus dipenuhi.
Fototerapi
Fototerapi narrow-band UVB tampaknya efektif dan aman untuk pasien
dengan DS berat dan refrakter, dan PUVA telah digunakan dengan sukses pada DS
stadium eritrodermik.25

Prognosis
Dapat sembuh dengan sendirinya disertai prognosis yang baik pada bayi
dibandingkan dengan kondisi kronis dan relaps pada orang dewasa. Tidak ada bukti
yang menyatakan bayi dengan dermatitis seboroik juga akan mengalami penyakit ini
pada saat dewasa. Pasien dermatitis seboroik dewasa dengan bentuk berat
kemungkinan dapat persisten.12
NEURODERMATITIS SIRKUMSKRIPTA (LIKEN SIMPLEKS KRONIKUS)
a. Defenisi
Neurodermatitis Sirkumskripta atau juga dikenal sebagai Liken Simpleks
Kronikus adalah peradangan kulit kronis, gatal, sirkumskrip, dan khas ditandai
dengan likenifikasi menyerupai kulit batang kayu, akibat garukan atau gosokan yang
berulang-ulang karena berbagai rangsangan pruritogenik.15
b. Patogenesis
Stimulus untuk perkembangan neurodermatitis sirkumskripta adalah pruritus.
Pruritus sebagai dasar dari gangguan kesehatan dapat berhubungan dengan gangguan
kulit,proliferasi dari nervus, dan tekanan emosional.Pruritus yang memegang peranan
penting dapat dibagi dalam dua kategori besar, yaitu pruritus tanpa lesi dan pruritus
dengan lesi. Pasien dengan neurodermatitis mempunyai gangguan metabolik atau
gangguan hematologik.Pruritus tanpa kelainan kulit dapat ditemukan pada penyakit
sistemik, misalnya gagal ginjal kronik, obstruksi kelenjar biliaris, Hodgkins
lymphoma , polisitemia rubra vera, hipertiroidisme, gluten-sensitive enteropathy, dan
infeksi imunodefisiensi. Pruritus yang disebabkan oleh kelainan kulit yang terpenting
adalah dermatitis atopik, dermatitis kontak alergi, dermatitis statis, dan gigitan
serangga.
Beberapa jenis kulit lebih rentan mengalami likenefikasi, contohnya kulit yang
cenderung ekzematosa seperti dermatitis atopi dan diathesis atopi.Terdapat hubungan
antara jaringan saraf perifer dan sentra dengan sel-sel inflamasi dan produknya dalam

persepsi gatal dan perubahan yang terjadi pada liken simpleks kronis. Hubungan ini
terutama dalam hal lesi primer, faktorfisik, dan intensitas gatal.15,16

c. Etiologi
1) Faktor eksterna15
Lingkungan
Faktor lingkungan seperti panas dan udara yang kering dapat berimplikasi
dalam menyebabkan iritasi yang dapat menginduksi gatal .Suhu yang tinggi
memudahkan seseorang berkeringat sehingga dapat mencetuskan gatal, hal ini
biasanya menyebabkan neurodermatits sirkumskripta pada daerah anogenital.
Gigitan Serangga
Gigitan serangga dapat meyebabkan reaksi radang dalam tubuh yang
mengakibatkan rasa gatal.
Faktor Interna
Dermatitis Atopik
Asosiasi antara neurodermatitis sirkumskripta dangan gguan atopik telah
banyak dilaporkan, sekitar 26% sampai 75% pasien dengan dermatitis atopic
terkena neurodermatits sirkumskripta. 2,3
Psikologis
Anxietas telah dilaporkan memiliki prevalensi tertinggi yang mengakibatkan
neurodermatitis sirkumsripta. Anxietas sebagai bagian dari proses patologis
dari lesi yang berkembang. 15
Gejala klinis
Penderita mengeluhkan rasa gatal yang hebat, bila timbul malam hari dapat
menggangu tidur.Rasa gatal memang tidak terus menerus, biasanya pada waktu
tidak sibuk, bila muncul sulit di tahan untuk di garuk.Penderita merasa enak bila
digauk, setelah luka baru hilang rasa gatal nya untuksementara.
Lesi biasanya tunggal, pada awalnya berupa plak eritematoa, sedikit
edematosa, lambat laun edema dan eritema menghilang, bagian tengah
berskuama dan menebal, likenfikasi dan ekskoriasi sekitarnya hiperpigmentasi,
batas dengan kulit normal tidak jelas.Wanita lebih sering mengenai bandingkan

pria.Letak lesi dapat timbul di mana saja, tetapi yang biasa ditemukan ialah scalp
tengkuk, samping leher, lengan bagianektensor, pubis,vulva, krotum,perianal,
bagian medial paha, lutut, tungkai bawah lateral, pergelangan kaki bagian depan,
dan punggung kaki. 15,16

Pemeriksaan penunjang
Pasien dengan neurodermatitis sirkumskripta positif terhadap patch test.
Pada dermatitis atopik dan mikosis fungiodes bisa terjadi likenefikasi
generalisata oleh sebab itu merupakan indikasi untuk melakukan patch
test.Pada pasien dengan pruritus generalisata yang kronik yang diduga
disebabkan oleh gangguan metabolik dan gangguan hematologi, maka
pemeriksaan hitung darah harus dilakukan, juga dilakukan tes fungsi ginjal
dan hati, tes fungsi tiroid, elechtroporesis serum, tes zat besi serum, tes
kemampuan pengikatan zat besi (iron binding capacity), dan foto dada. Kadar
immunoglobulin E dapat meningkat pada neurodermatitis yang atopik, tetapi
normal pada neurodermatitis nonatopik. 15
Pengobataan
Sedapat-dapatnya

mencari

penyebab

atau

factor

yang

memprovokasi.Bila kulit kering, diberi pelembab atau emolien.Secara topical


lesi dapat diobati dengan obat anti inflamasi, misalnya preparat ter,
glukokortikoid, takrolimus, atau pimekrolimus.Bila lesi masih eksudatif,
sebaiknya dikompres dahulu dengan larutan permanganas kalikus 1:10.000.
kalo ditemukaan infeksi bilateral, diberikan antibiotic secara sistematik.
Kortikosteroid sistemik hanya diberikan pada kasus yang berat dan refrakter,
dalam jangka pendek.Pruritus dapat diobati dengan antihistamin golongan h1,
hidroksin hcl.15,16
LUPUS ERITEMATOSUS KUTAN
a. Defenisi
Lupus eritematosus kutan merupakan penyakit

yang melibatkan jaringan

konektif dan pembuluh darah. Penyakit lupus ini merupakan penyakit autoimun yaitu

penyakit yang terjadi akibat system imun tubuh yang seharusnya berfungsi melawan
kuman dan benda asing, mengalami kelaianan hiperaktif sehingga justru menyerang
sel,jaringan dan organ tubuh yang sehat.Penyakit ini dapat menyerang semua usia
termasuk bayi dan lebih sering ditemukan pada perempuan berusia 15-45 tahun.21
b. Etiopatogenesis
Sepenuhnya penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti namun
berhubungan erat dengan etiopatogenesis dari LES. Factor pejamu dan factor
lingkungan menyebabkan hilangnya self-tolerance dan menginduksi proses autoimun.
Hal ini diikuti aktivasi dan ekspansi system imun sehingga mencetuskan
penyimpangan imunologik yang berdampak pada beberapa organ dan tampilan klinis
penyakit.Beberapa penelitian baru memfokuskan pada peran sinyal interferon- (IFN) dalam pathogenesis LE.
Selain predisposisi genetic, pajanan factor lingkungan, misalnya radiasi
ultraviolet (UV), infeksi virus, obat, dan rokok mempunyai peran besar dalam
perkembangan penyakit LE. Radiasi UV mempunyai peran paling penting dalam fase
induksi penyakit LE Kutan. UVB menyebabkan apoptosis keratinosit dan autoantigen
Ro/SS-A, La/SS-B, serta calreticulin, berpindah dari lokasi normal di dalam
keratinosit ke permukaan sel. UVB juga diketahui menginduksi dan meningkatkan
ekspresi beberapa kemokin sehingga mengaktifkan sel T autoreaktif dan INF-, sel
dendrit yang mempunyai peran utama dalam pathogenesis LE.21,22
c. Klasifikasi
1) Lupus eritematosus kutan akut
LE Kutan akut lokalisata biasanya ditemukan diwajah berupa lesi
malar atau butterfly rash dan dilaporkan terjadi pada 20-60% pasien LES.
Gambar khas berupa lesi eritematosa yang simetris dan konfluens,serta edema
pada area malar dan melintasi hidung. Biasanya dimulai dengan macula kecil
atau papul pada wajah kemudian konfluens dan hiperkeratotik. Terkadang
dapat meluas sampai ked ahi,dagu dan leher area V. Jarang ditemukan
mengenai lipatan nasolabial.
LE Kutan Akut generalisata merupakan perluasan lesi maculopapular
atau erupsi eksantematosa yang biasanya mengenai ekstremitas atas dan

tangan sisi ekstensor dan jarang melibatkan sendi.Lesi maculopapular


ditemukan pada 35-60% LES.
2) Lupus eritematosus kutan subakut
Gambaran klinis berupa makula atau papul

eritematosa yg

berkembang menjadi lesi papulo-skuamosa atau plak anular hiperkeratotik.


Lesi sangat fotosensitif & ditemukan pada area yg mudah terpajan UV, yi :
punggung atas, bahu, lengan sisi ekstensor, area leher V & jarang sekali di
wajah. Bila mengenai wajah, biasanya pada sisi lateral.
Lesi biasanya menetap lebih lama dibandingkan lesi pada LE Kutan
Akut

& meninggalkan makula pigmentasi dalam waktu cukup lama. Lesi

LE Kutan Subakut mengalami resolusi tanpa meninggalkan jaringan


parut/skar.
3) Lupus eritematosus kutan kronik
Lesi diskoid klasik (DLE) merupakan bentuk yg paling sering
ditemukan, dimulai makula merah keunguan, papul atau plak kecil yg secara
cepat berkembang menjadi permukaan yg hiperkeratotik.
Lesi diskoid awal berupa plak eritematosa dgn bentuk menyerupai uang logam
yg berbatas tegas, ditutupi skuama yg lekat & menutupi folikel rambut.
Bentuk khas lesi diskoid adalahplak eritema yg meluas dgn area
hiperpigmentasi di bagian perifer, meninggalkan skar atrofik pada bgn sentral ,
teleangiektasis & hipopigmentasi.
Area rambut menyebabkan alopesia dgn skar, shg menyebabkan deformitas &
sering memengaruhi kualitas hidup pasien.
Keterlibatan folikel berupa

keratotic plug

merupakan gambaran yg

dominan.
LE Kutan kronik mempunyai predileksi pada wajah, skalp,telinga, area
leher V & sisi ekstensor ekstremitas.
Bila lesi diskoid meluas sampai kebawah bgn leher, maka digolongkan
dalam

LE Kutan kronik

generalisata & dihubungkan dgn LES serta

rekalsitran terhadap pengobatan.21,22


4) Gambaran klinis

1) Demam
2) Cepat lemas dan capek
3) Nyeri sendi, otot dan edema
4) Bercak merah (malar rash) di pipi atau discoid rash di kulit setelah terkena
sinar matahari
5) Rambut rontok
6) Sariawan.21
7) Komplikasi
1) Ginjal Nefritis lupus dengan akibat gagal ginjal
2) Jantung pericarditis dan jantung iskemik
3) Paru pleuritic dan pneumonia
4) Mata katarak
5) Ibu hamil keguguran, lahir premature, lupus neonatal
6) Kelainan system darah anemia, leukopenia dan trombositopenia.22
7) Pemeriksaan penunjang
Beberapa autoantibodi mempunyai hubungan erat dengan LE, sehingga pada
LE kutan akut sering ditemukan titer tinggi ANA, anti-dsDNA, anti Smith dan
hipokomplementemia. Penanda pada LE kutan subakut adalah autoantibodi anti
Ro/SS-A (70-90%) dan anti-La/SS-B (30-50%).ANA dapat ditemukan [ada 60-80%
dan factor rheumatoid pada segetiga pasien LE Kutan subakut. Pada LE Kutan kronik
dapat ditemukan titer ANA yang rendah ( 30-40%). Hanya 5% pasien LED ditemukan
titer ANA tinggi.
Pada pemeriksaan histopatologi LE kutan spesifik dapat ditemukan
hiperkeratotik, atrofi epidermal degenerasi mencair sel basal, penebalan membrane
DEJ, edema dan dermis, deposit musin, serta infiltrate sel mononuclear yang dominan
tersebar di perivaskuler dan sekitar adneksa kulit.
Pada pemeriksaan imunofluoresensi langsung pada kulit yang tampak normal
pasien LES dapat dilihat pita terdiri atas deposit granular immunoglobulin G, M atau
A dan komplemen C3 pada taut epidermal-dermal yang disebut lupus band. Hal ini
dapat dilihat pada 90-100% pasien LES.22

8) Penatalaksanaan
1) Pencegahan
Adapun tujuan dari terapi LED adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien, mengontrol lesi yang telah ada, mengurangi bekas lesi, dan untuk
mencegah perkembangan lesi lebih lanjut. Pengobatan dimulai dengan
menghindari faktor pencetus misalnya panas, obat-obatan dan tentunya sinar
matahari dan semua sumber yang menyebabkan paparan radiasi sinar UV. Adapun
cara yang digunakan untuk melindungi kulit adalah memakai pakaian yang
tertutup, topi yang lebar. Selain itu pasien disarankan untuk menghindari
penggunaan obat obatan fotosensitif seperti Hidroclorothiazid, tetrasklin,
griseofulvin, dan piroxicam.21

2) Pengobatan topikal
Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya spektrum luas-kedap
air [SPF 15 dengan agen penghambat UVA seperti parsol dan mikronized
titanium dioksida.
Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari preparat ini
seperti triamcinolon acetonide 0,1% pada area sensitif wajah, obat topikal
superpoten kelas satu seperti clobetasol proprionat atau betametason diproprionat
memberikan hasil yang memuaskan pada kulit. Penggunan 2 kali sehari selama 2
minggu diikuti dengan 2 minggu periode istirahat dapat meminimalkan
komplikasi seperti atropi dan telengiektasis. Salep lebih efektif daripada krim pada
lesi hiperkeratosis
Glukokortikoid intralesi. Penggunaan intalesi glukokortikoid seperti suspensi
triamsinolon asetonida 2,5 sampai 5 mg/ml pada wajah dengan konsentrasi tinggi
dibolehkan pada kulit yang kurang sensitif. Hal ini diindikasikan pada lesi
hiperkeratosis atau pada lesi yang tidak merespon pada penggunaan kortikosteroid
lokal, namun pasien dengan lesi yang terlalu banyak perlu berhati-hati dengan
penggunaan terapi ini.21
3) Pengobatan Sistemik

Anti malaria adalah obat pilihan yang efektif untuk LED. Klorokuin
[CQ] Hidroklorokuin [HCQ], dan kuinakrin adalah tiga obat yang sering
digunakan. Adapun mekanisme dari obat ini adalah
4) Menginterfensi proses antigen dalam makrofage dan sel presenting antigen
lainnya
5) Mengurangi formasi dari peptida Major Histocompatibility Complex
[MHC] kompleks protein sehingga menurunkan stimulasi dari autoreaktif
CD4+ sel T dan menurunkan pelepasan sitokin.
6) Memperkenalkan apoptosis pada limfosit, dan
7) Menurunkan kadar IL-6, IL-1, dan TNF-..
Pada beberapa pasien, hidoklorokuin dimulai dengan dosis 200 mg per
hari untuk menilai toleransi saluran cerna terhadap dosis obat yang diberikan.
Apabila pasien tidak mengalami diare atau gangguan saluran cerna dosis
ditingkatkan dua kali lipat menjadi dua kali 200 mg per hari. Dosis maksimal
hidroklorokui kurang dari 6,5 mg/kgBB/hari. Pemberian hidroklorokuin selama 34minggu pertama kemudian dosis dikurangi perlahan-lahan selama 3-4 minggu
kemudian dengan pemberian 1 kali sehari. Sedangkan Kuinakrin dapat diberikan
jika tidak ada respon terhadap klorokuin dan hidroklorokuin. Efek samping dari
klorokuin adalah retinopati pada mata, sakit kepala mengantuk dan gangguan
sistem saluran cerna.
Kategori

Obat:

Obat

Anti

Malaria

mungkin

memiliki

bagian

imunomodulator. Hidroksikloroquin merupakan obat pilihan utama [drug of


choice] bila obat sistemik dibutuhkan untuk LED. Kloroquin adalah obat pilihan
kedua.22

Nama Obat

Hidroksikloroquin [Plaquenil] Untuk pengobatan LED dan


LES. Menghambat kemotaksis eosinofil, gerakan netrofil, dan
merusak
reaksi
komplemen
antigen
antibodi.
Hidroksikloroquin sulfat 200 mg sama dengan 155 mg
hidroksikloroquin basa dan
250 mg kloroquin fosfat.
200-400 mg/hr PO; tidak melebihi 6.5 mg/kgBB/hr; 310 mg

Dosis Dewasa

PO 4x/hr atau 2x/hr selama beberapa minggu tergantung

Dosis Anak

respon; 155-310 mg/hr untuk terapi jangka panjang.


6.5 mg/kgBB/hr PO; 3-5 mg basa/kgBB/hr PO 4x/hr atau

Kontraindika
si
Interaksi
Obat
Kehamilan

2x/hr; tidak melebihi 7 mg/kg/hr.


Hipersensitifitas; psoriasis; gangguan retina dan lapangan
pandang akibat 4-aminoquinolon.
Jumlah penisillamin dapat meningkat; level serum meningkat
bersama simetidin; magnesium trisilikat dapat menurunkan
absorbsi.
Keamanan penggunaan selama kehamilan tidak dijelaskan.
Melewati plasenta dan dapat menyebabkan toksisitas pada
ocular, SSP, dan ototoksik pada fetus; jangan gunakan selama
menyusui; batasi penggunaan pada anak pada dosis yang aman

Perhatian

untuk mencegah kemungkinan yang fatal; toksisitas ocular


dapat disebabkan oleh hidroksikloroquin dan kloroquin tapi
tidak oleh quinakrin; lakukan pemeriksaan oftalmologi yang
teratur selama terapi.
Kloroquin [Aralen] Menghambat kemotaksis eosinofil,

Nama Obat

gerakan netrofil, dan merusak reaksi komplemen antigen

Dosis Dewasa

antibodi.
250-500 mg PO 4x/hr
10 mg/kgBB PO 1 jam pertama, kemudian 5 mg/kgBB 6 jam

Dosis Anak

berikutnya, diikuti dengan 5 mg/kgBB pada hari kedua dan

Kontraindika

ketiga.
Hipersensitifitas; psoriasis; gangguan retina dan lapangan

si
Interaksi
Obat
Kehamilan

Perhatian

pandang akibat 4-aminoquinolon.


Simetidin dapat meningkatkan level serum dari kloroquin
[kemungkinan 4-aminoquinolon yang lain]; magnesium
trisilikat dapat menurunkan absorbsi dari 4-aminoquinolon.
Keamanan penggunaan selama kehamilan tidak dijelaskan.
Perhatian pada penyakit hati, defisiensi G-6-PD, psoriasis,
porfiria; tidak dianjurkan terapi jangka panjang pada anakanak; lakukan pemeriksaan oftalmologi yang teratur; lakukan
tes untuk kelemahan otot.

Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus dengan lesi yang
sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya pada kasus berat dan simtomatik
metilprednisolon intravena dapat digunakan. Imunosupresif lain seperti azatioprin
[imuran] 1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai glukokortikoid-sparing kasus

berat lupus eritematosus kulit. Mikofenolat mofetil [25-45 mg/kg/hari oral]


maerupakan analog purin yang serupa dengan azatioprin. Metotreksat [7,5-25mg/kg
oral sekali seminggu] efektif untuk kasus berat yang refrakter.22

8) Prognosis
LE Kutan akut sangat erat hubungannya dengan LES,sehingga prognosis
sangat bergantung pada aktivitas dan derajat keparahan LES. Pada pasien dengan LE
kutan subakut 15% berkembang menjadi LES,termasuk nefritis lupus. Dibutuhkan
pemantauan jangka panjang pada pasien LE Kutan subakut untuk penemuan dini
resiko progresivitas keterlibatan sistemik.
Kebanyakan pasien dengan lesi diskoid yang diterapi dapat berkembang
menjadi skar yang secara progresif melebar dan alopesia skar. Hal ini sangat
mengganggu secara psikososial dan menurunkan kualitas hidup pasien. Jarang sekali
lesi dapat resolusi spontan. Pada penghentian terapi, lesi non-aktif dapat mengalami
eksaserbasi.21

9) JAWABAN LEARNING OBJECTIVE


1. Anatomi dan fisiologi kulit
Kulit merupakan organ yang istimewa pada manusia. Kulit adalah organ
terbesar pada tubuh manusia, dengan berat sekitar 5 kg dan luas 2 m pada seseorang

dengan berat badan 70 kg. Kulit dan adneksa menjalankan berbagai tugas dalam
memelihara kesehatan manusia secara utuh yang meliputi fungsi, yaitu :
2. Perlindungan fisik
3. Perlindungan imunologik
4. Ekskresi
5. Pengindra
6. Pengaturan suhu tubuh
7. Pembentukan vitamin D
8. Kosmetis

Fungsi-fungsi tersebut lebih mudah dipahami dengan meninjau struktur


anatomis kulit yang terbagi menjadi 3 lapisan :

1) Epidermis
Lapisan epidermis adalah lapisan terluar, tidak ada pembuluh darah , tidak ada
jaringan saraf. Lapisan dermis senatiasa bergenerasi, berespons terhadap
rangsangan diluar maupun didalam tubuh. Epidermis memiliki struktur berlapislapis yang dimulai dari stratum basal hingga stratum korneum, lapisan ini

menggambarkan proses diferensiasi (keratinisasi) yang dinamis, yang tidak lain


berfungsi menyediakan sawar kulit pelindung tubuh.

Stratum korneum
Tersusun atas sel gepeng tidak mempunyai inti. Pada stratum korneum
protoplasma berubah menjadi keratin yang disebut desquamatio insensible.
Korneosit lebih berperan dalam memberi penguatan terhadap trauma
mekanis, produksi sitokin yang memulai proses peradangan serta
perlindungan terhadap sinar ultraviolet.
Stratum lucidium
Tersusun atas 2-3 sel gepeng, tidak berinti. Perubahan protoplasma menjadi
protein eleidin serta jelas pada telapak tangan dan kaki.
Stratum granulosum
Keratinosit dtratum granulosum mengandung keratohyakine granules (KG).
KG mengandung profilagrin dan loricri yang penting dalam pembuntukan
comified cell envelope (CCE). Profilagrin akan dipecah menjadi filagin yang
akan bergabung dengan KIF menjadi makrofilamen. Bebrapa molekul filagin

kelak akan di pecah menjadi melekul asam urokanat yang memberikan


kelmbaban stratum korneum dan menyaring sinar ultraviolet.
Stratum spinosum

Keratinosit stratum spinosum berbentuk poligonal. Pada permukaan


keratinosit sebenarnya merupakan penyambung antar keratinosit yang
disebut desmosom. Desmosom memiliki terdiri dari berbagai protein
struktural, misalnya desmoglein dan desmokolin. Struktur ini memberi
kekuatan pada epidermis untuk menahan trauma fisis dipermukaan kulit.
Stratum basal
Tersusun atas sel kubus berjajar diatas lapisan strutural yang disebut basal
membrane zone (BMZ). Stratum basal terdiri atas sel kolumnair dan sel
melanosit yang menentukan jenis warna pigmen kulit.
Lapisan dermis
Dermis merupakan jaringan dibawah epidermis yang juga memberi
ketahanan pada kulit, termoregulasi, perlindungan imunologik, dan eskresi.
Lapisan dermis merupakan lapisan yang elastis dan fibrosa yang terdiri atas
pars papillare (yang menonjol ke epidermis) dan pars retikulare (menonjol ke
subkutis).
Fibroblast, sel mast, dan makrofag rutin ditemukan pada dermis.
Makrofag merupakan salah satu elemen pertahanan imunologik pada kulit
yang mampu bertindak sebagai fagosit, sel penyaji antigen, maupun
mikrobisidal dan tumorisidal.
Lapisan subkutis
Subkutis yang terdiri atas jaringan lemak mampu mempertahankan
suhu tubuh, dan merupakan cadangan energi, juga menyediakan bantalan yang
meredam trauma melalui permukaan kulit.
Lapisan subkutis terdapat juga kelenjar kulit yang terdiri atas glandula
sudorifera (kelenjar keringat) dan glandula sebasea, rambut serta kuku.23

Somatosensoris kulit
Somatosensorik kulit adalah suatu sistem indra yang menimbulkan
pengalaman sentuhan atau disebut sebagai indra peraba.

Pada kulit ada yang peka terhadap tekanan yaitu veter pacini, peka terhadap
sentuhan badan meisner, peka rasa panas badan rufini, peka rasa dingin badan
krause serta peka terhadap rasa sakit pada ujung saraf bebas. 23

REFERENSI
1. Jurnal dosen akademi analisis kesehatan bangsa bengkulu, Raples, hubungan
personal hygiene dengan penyakit kulit
2. Jurnal kedokteran FK UKI, dameria sinaga, Pengaaruh stress psikologis terhadap

pasien psoriasis
3. Djuanda A. Hamzah M. Alsah S. (editor). Buku ajar ilmu penyakit kulit dan
kelamin: edisi kelima. Jakarta: penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal 321-329
4. Burton G. Phatophysiology of pruritus. Australian Collage of Veterinary Scientists
Dermathology Chapter Science Week Proceeding.2010;34(6):18-25
5. Syarifuddin wahid, imunologi lebih mudah dipahami, brilian international
6. Michael Traub, ND, and Keri Marshall MS, ND. 2007. Psoriasis
Pathophysiology, Conventional, and Alternative Approaches to Treatment.
Alternative Medicine Review Volume 12, Number 4.
7. Rahul Mahajan, SanjeevHanda. 2013. Supplement-psoriasis. Vol 17
8. Stress.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3690364/pdf/nihms468460
.pdf
9. [Hong Liang Tey, MDa, Joanna Wallengren, MDb, and Gil Yosipovitch, MDa.
2013. Psychosomatic factors in pruritus. Acta Derm Venereol.; PMC]
10.

New insights into the pathogenesis and genetics of psoriatic arthritis Kristine

E Nograles, Richard D Brasington and Anne M Bowcock Nature Clinical Practice


Rheumatology (2009) 5, 83-91
11.

Sri linuwih sw, Ilmu penyakit kulit dan kelamin Ed-7. Badan penerbir FK UI.

Hal 57
12.

Collins CD, Hivnor C. Seborrheic dermatitis. Dalam : Goldsmith LA, Katz SI,

Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K. Editor. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-8. New York. McGraw.Hill Companies;2012.h153175
13.

DjuandaA.Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam : Djuanda A, Hamzah M,Aisah S.

dkk, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5t. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 25, hal 189 203
14.

Kurniati DD. Dermatitis seboroik: gambaran klinis dalam tjata A,sularsito SA,

Kurniati DD, Rihatmaja R, Editor metode diagnostik dan penatalaksanaan


psoriasis dan dermatitis seboroik.jakarta. balai penerbir FK Ui. 2003 .
15.

Djuanda,

Adhi,

2013

ilmupenyakitkulitdankelaamin,

edisikeenam.

Balaipenerbit FKUI. Jakarta


16.

Wolff k, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, LeffellDj,editor.

2008. Fitzpatrick dermatology in general medicine, edisi ke-7


17.

DjuandaA.Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam : Djuanda A, Hamzah M,Aisah S.

dkk, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keempat. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 25, hal 189 195.
18.

William d. James, At All. Andrews diseaseoftheskin : clinicaldermatology. .

canada :Tenthedition. 2006.p. 197-198


19.

Neimann A, Porter S, Gelfand J. The epidemiologyof psoriasis. ExpertRev.

Dermatol. 2006;1(1), 63-75.


20.

Blauvelt A. New concept in thepathogenesisandtreatmentof psoriasis:

keyrolesfor IL-23, IL-17A and TGF-1.Expert Rev. Dermatol. 2007;2(1), 69-78.


21.

Keumala Budianti Windy. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia Ed.VII. Hal 300-302.


22.

Lupus Erytematosus.Respiratory.usu.ac.id. [diakses tanggal 03 Oktober 2016]

23.

SW menaldi sri linuwih.2015.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. FK

UI. Ed 7. Hal 3-6


24.

Modul CSL kulit dan kelamin keterampilan klinis dan laboratorium indra

khusus. FK UNHAS. 2015. Hal 7-9


25.

Del Rosso JQ. Adult Seborrheic Dermatitis. A Status Report on Practical

Topical Management. J Clin Aesthet Dermatol. 2011 May; 4(5): 3238.

You might also like