You are on page 1of 2

Aroma Pra Paskah

Setiap hari, dalam perjalanan pulang dari kantor, aku mempunyai ritual yang sangat
menyenangkan. Perjalanan yang macet membuatku harus melewati jalan tikus yang sempit.
Tapi di jalan itulah aku justru menemukan kesenangan baru yang selalu membuat aku dan
suamiku tersenyum. Di pertigaan yang sempit, di teras sebuah rumah, ada seorang penjual
sate ayam yang rupanya cukup laris karena kulihat pembelinya cukup banyak setiap sorenya.
Nah..ketika melewati penjual sate di pertigaan tersebut, mobil kami harus berbelok perlahan.
Saat itulah kubuka kaca jendelaku dan langsung berhamburan masuk aroma sate ayam yang
sangat harum ke dalam mobilku. Makin lama kaca jendelaku kubuka, maka makin banyak pula
aroma harum yang masuk. Aroma sate ayam kesukaanku, yang bisa membuat perutku menagih
untuk diisi. Suamiku selalu tersenyum melihat aku yang sangat menikmati aroma itu, karena
dia sendiri sebetulnya tidak suka sate ayam. Saat itu hanya aromanya saja yang bisa
kunikmati, karena mobil kami tidak mungkin berhenti untuk parkir hanya untuk membeli
makanan kesukaanku itu. Tak apalah, pikirku. Toh nanti aku dapat membelinya di tukang sate
langgananku yang dekat dengan rumahku.
Hingga pada suatu sore, kulihat seorang anak lelaki kecil penjual koran yang berbaju lusuh,
berdiri tak jauh dari tukang sate tersebut. Badannya begitu kurus dan dekil. Sesekali
matanya menatap penjual sate dan para pembelinya, tapi dia tak beranjak dari tempatnya
berdiri. Aku yakin dia pasti juga sedang menikmati aroma sate itu, sama seperti aku. Tapi
kami berbeda dalam banyak hal. Aku bisa membeli sate itu setelah pulang, atau mungkin
membeli makanan lain yang kusuka juga. Uang di dompetku cukup untuk membeli sate bagi
diriku sendiri, anak-anakku di rumah dan juga bagi anak kecil penjual koran tersebut. Tapi
anak itu, pasti di otaknya masih sibuk berpikir. Kalau aku membeli sate, untung yang kudapat
dari hasil menjual koran pasti berkurang. Berarti uang yang harus kuberikan kepada ibuku
juga berkurang. Berarti ibuku juga harus mengurangi jatah belanjaannnya untuk membeli
makanan buatku dan saudara-saudaraku. Tegakah aku? Hanya demi seporsi sate yang
kuinginkan? Betapa dia harus menahan keinginannya sedemikian rupa. Itu yang ada di
pikiranku ketika melihat dia, anak lelaki kecil penjual koran, yang berdiri di dekat tukang
sate.
Aku tetap membuka kaca jendela dan membiarkan aroma itu masuk seperti biasanya. Tapi kini
kuhirup dengan rasa pedih. Aku bisa menikmati sate itu, tidak hanya aromanya, tanpa rasa
khawatir. Tapi anak lelaki kecil itu, mungkin dia hanya bisa menikmati aromanya saja.
Malam harinya, kulihat sebuah acara yang menarik di televisi. Tentang hipnotis. Seorang
penghipnotis yang bisa membuat banyak orang berpikir dan bertindak sesuai dengan
keinginan sang penghipnotis itu, hanya dengan mendengar kata-kata yang diucapkan olehnya.
Sungguh hebat! Tapi sungguh mengerikan, mengingat banyak kejahatan juga yang sudah
terjadi karena hipnotis. Kemudian aku berpikir, maukah sang penghipnotis itu melakukan
keahliannya dengan tujuan yang lebih baik. Misalnya dia menghipnotis aku, supaya aku
berpikir dan bertindak seperti anak lelaki kecil penjual koran yang tadi kulihat. Mungkin aku
bisa lebih memahami penderitaannya, kesedihannya, kemiskinannya, keterbatasannya.

Mungkin dengan begitu aku lebih mampu berempati. Tapi kupikir itu semua juga akan sia-sia.
Karena setelah aku sadar dari pengaruh hipnotis itu, maka aku akan segera lupa apa yang
sudah terjadi selama aku dihipnotis. Dan itu artinya, aku juga akan lupa bahwa tadi aku
sempat menghayati penderitaan sesamaku, meski cuma sebentar.
Jadi, perlukah aku dihipnotis? Hanya sekedar untuk melihat bahwa masih banyak kemiskinan
dan penderitaan di sekitarku? Apakah dalam keadaan sadar, aku tak bisa melihat dengan
mata kepalaku sendiri? Ataukah mata hatiku telah tumpul? Bahkan di masa pra paskah ini,
dimana aku harus berpantang dan berpuasa, aku masih harus berpikir-pikir kesenangan
macam apa yang akan menjadi pantanganku. Kadang-kadang kusiasati juga supaya aku tak
terlalu menderita di masa pra paskah ini. Padahal masa ini begitu singkatnya, hanya
seperberapa dalam satu tahun.
Hati nuraniku rupanya harus lebih kuasah lagi. Hati nurani yang kadang tumpul melihat
banyaknya anak-anak terlantar di jalan, anak-anak yang sudah harus berjuang dalam hidup ini.
Bahkan hati nurani ini kadang hanya bisa menangis melihat penderitaan kaum miskin yang
kebingungan mencari hutangan untuk mengobati sanak keluarganya yang terserang demam
berdarah, wabah yang sedang melanda negeriku tercinta ini. Dan kematian pun menjemput
karena tak ada sepeserpun uang untuk berobat ke dokter. Hati nurani yang hanya bisa
menjerit ketika darah pun diperjualbelikan di atas penderitaan sesama. Selalu ada celah
untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. Hati nurani telah mati.
Aku ada di sini, di depan komputer dan mengetikkan sesuatu yang sangat menyedihkan.
Penderitaan. Kemiskinan. Pengendalian diri. Keterbatasan. Kematian. Hati nurani. Tumpul.
Sungguhkah hati nuraniku sudah tumpul? Bahkan di masa pra paskah ini? Mengerikan.
Bagaimana jadinya di masa-masa bukan pra paskah?

4 Maret 2004
Dotty
Email: EndahD@ing.co.id

You might also like