You are on page 1of 24

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN

HIPOSPADIA

Disusun Oleh :
Dinar Agustin Kusumawardani
P 10220206053
II B

DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2008

BAB I
KONSEP DASAR
HIPOSPADIA

A.

PENGERTIAN
1. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan congenital dimana
meatus uretra externa terletak di permukaan ventral penis dan
lebih ke proksimal dari tempatnya yang normal (ujung glans
penis). (Arif Mansjoer, 2000 : 374).
2. Hipospadia adalah suatu keadaan dimana terjadi hambatan
penutupan uretra penis pada kehamilan miggu ke 10 sampai ke 14
yang mengakibatkan orifisium uretra tertinggal disuatu tempat
dibagian ventral penis antara skrotum dan glans penis. (A.H
Markum, 1991 : 257).
3. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra
yang terletak di bagian bawah dekat pangkal penis. (Ngastiyah,
2005 : 288).
4. Hipospadia adalah keadaan dimana uretra bermuara pada suatu
tempat lain pada bagian belakang batang penis atau bahkan pada
perineum ( daerah antara kemaluan dan anus ). (Davis Hull, 1994 )
5. Hipospadia adalah salah satu kelainan bawaan pada anak-anak
yang sering ditemukan dan mudah untuk mendiagnosanya, hanya
pengelolaannya harus dilakukan oleh mereka yang betul-betul ahli
supaya

mendapatkan

hasil

yang

memuaskan.

(http://photos1.blogger.com/blogger/4603/1833/1600/op.jpg).

B. ETIOLOGI
1. Embriologi.
2. Maskulinisasi inkomplit dari genetalia karena involusi yang prematur
dari sel intersitisial testis.
C. KLASIFIKASI
Hipospadia dibagi menjadi beberapa tipe menurut letak orifisium uretra
eksternum yaitu :
1. Tipe sederhana adalah tipe grandular, disini meatus terletak pada
pangkal glands penis. Pada kelainan ini secara klinis umumnya
bersifat asimtomatik.
2. Tipe penil, meatus terletak antara glands penis dan skortum.
3. Tipe penoskrotal dan tipe perineal, kelainan cukup besar, umumnya
pertumbuhan penis akan terganggu.
D.

MANIFESTASI KLINIS

1. Pancaran air kencing pada saat BAK tidak lurus, biasanya kebawah,
menyebar, mengalir melalui batang penis, sehingga anak akan jongkok
pada saat BAK.
2.

Pada Hipospadia grandular/ koronal anak dapat BAK dengan berdiri


dengan mengangkat penis keatas.

3.

Pada Hipospadia peniscrotal/ perineal anak berkemih dengan


jongkok.

4.

Penis akan melengkung kebawah pada saat ereksi.

E. PATOFISIOLOGI
Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga
meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat
kelainan letak meatus ini, dari yang ringan yaitu sedikit pergeseran pada
glans, kemudian disepanjang batang penis, hingga akhirnya di perineum.
Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang

menutup sisi dorsal dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal
sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan)
ventral dari penis.
F. PATHWAY
Maskulinasi inkomplit

Embriologi

dari genetalia

Fusi digaris tengah uretra tidak lengkap


Meatus uretra terbuka

Lubang Keluar di bagian

Operasi

Managemen
regimen terapeutik
tidak efektif
Perubahan
eliminasi
urin (Retensi
urin)

Perubahan
eliminasi urin
Nyeri

Kesiapan dalam
penigkatan
manajemen regien
terapeutik

( Sumber : Price Sylvia Anderson; 1995, NANDA; 2005-2006 )

Cemas

Resiko
tinggi infeksi

G. DERAJAT KEPARAHAN
1.

Ditentukan oleh satu posisi meatus uretra : glands, korona, batang


penis sambungan dari batang penis dan skrotum dan perineum.

2.

Lokasinya.

3.

Derajat chordee.

H. KOMPLIKASI
1. Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat
kelamin dalam 1 jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual
tertentu )
2. Psikis ( malu ) karena perubahan posisi BAK.
3. Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat
dewasa.
Komplikasi paska operasi yang terjadi :
1. Edema / pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya
dapat bervariasi, juga terbentuknya hematom / kumpulan darah
dibawah kulit, yang biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2
sampai 3 hari paska operasi.
2. Striktur, pada proksimal anastomosis yang kemungkinan disebabkan
oleh angulasi dari anastomosis.
3. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran
kencing berulang atau pembentukan batu saat pubertas.
4. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan
sebagai parameter untuyk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur
satu tahap saat ini angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10 %.
5. Residual chordee/rekuren chordee, akibat dari rilis korde yang tidak
sempurna, dimana tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau
pembentukan skar yang berlebihan di ventral penis walaupun sangat
jarang.
6. Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu lebar,
atau adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen
2. USG sistem kemih kelamin.
3. BNO-IVP
Karena biasanya pada hipospadia juga disertai dengan kelainan
kongenital ginjal.
J. PENATALAKSANAAN
1. Tujuan utama dari penatalaksanaan bedah hipospadia adalah
merekomendasikan penis menjadi lurus dengan meatus uretra
ditempat yang normal atau dekat normal sehingga aliran kencing
arahnya ke depan dan dapat melakukan coitus dengan normal.
2. Operasi harus dilakukan sejak dini, dan sebelum operasi dilakukan
bayi atau anak tidak boleh disirkumsisi karena kulit depan penis
digunakan untuk pembedahan nanti.
3. Dikenal banyak teknik operasi hipospadia yang umumnya terdiri dari
beberapa tahap yaitu :
a. Operasi

Hipospadia

satu

tahap

ONE

STAGE

URETHROPLASTY )
Adalah tekhnik operasi sederhana yang sering digunakan,
terutama untuk hipospadia tipe distal. Tipe distal ini meatusnya
letak anterior atau yang middle. Meskipun sering hasilnya kurang
begitu bagus untuk kelainan yang berat. Sehingga banyak dokter
lebih memilih untuk melakukan 2 tahap. Untuk tipe hipospadia
proksimal yang disertai dengan kelainan yang jauh lebih berat,
maka one stage urethroplasty nyaris dapat dilakukan. Tipe
hipospadia proksimal seringkali di ikuti dengan kelainan-kelainan
yang berat seperti korda yang berat, globuler glans yan bengkok
kearah ventral ( bawah ) dengan dorsal; skin hood dan propenil
bifid scrotum. Intinya tipe hipospadia yang letak lubang air
seninya lebih kearah proksimal ( jauh dari tempat semestinya )

biasanya diikuti dengan penis yang bengkok dan kelainan lain di


scrotum atau sisa kulit yang sulit di tarik pada saat dilakukan
operasi pembuatan uretra ( saluran kencing ). Kelainan yang
seperti ini biasanya harus dilakukan 2 tahap.

b. Operasi Hipospadia 2 tahap


Tahap pertama operasi pelepasan chordee dan tunelling dilakukan
untuk meluruskan penis supaya posisi meatus ( lubang tempat
keluar kencing ) nantinya letaknya lebih proksimal ( lebih
mendekati letak yang normal ), memobilisasi kulit dan preputium
untuk menutup bagian ventral/bawah penis. Tahap selanjutnya
( tahap kedua ) dilakukan uretroplasty ( pembuatan saluran
kencing buatan/uretra ) sesudah 6 bulan. Dokter akan menentukan
tekhnik operasi yang terbaik. Satu tahap maupun dua tahap dapat
dilakukan sesuai dengan kelainan yang dialami oleh pasien.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
HIPOSPADIA
A.

PENGKAJIAN
1. Kaji biodata pasien
2. Kaji riwayat masa lalu: Antenatal, natal,
3. Kaji riwayat pengobatan ibu waktu hamil
4. Kaji keluhan utama
5. Kaji skala nyeri (post operasi)

B.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Inspeksi kelainan letak meatus uretra
2. Palpasi adanya distensi kandung kemih.

C.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pasien pre operasi
1. Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pola
perawatan keluarga.
2. Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksi mekanik
3. Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik
keluarga dan klien.
Pasien post operasi
1. Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik berhubungan
dengan petunjuk aktivitas adekuat.
2. Nyeri berhubungan dengan post prosedur operasi
3. Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter
4. Perubahan eliminasi urine berhibingan dengan trauma operasi

D.

INTERVENSI
Diagnosa pre operasi
1. Diagnosa : Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan
dengan pola perawatan keluarga.
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan manajemen regimen terapeutik kembali efektif.

NOC : Family health status


Indikator

a.

Status imunisasi anggota kelurga

b.

Kesehatan fisik anggota keluarga

c.

Asupan makanan yang adekuat

d.

Tidak adanya kekerasan anggota kelurga

e.

Penggunaan perawatan kesehatan

Keterangan skala :
1 = Tidak pernah dilakukan
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan
NIC

: Family mobilization

Intervensi
a.

:
Jadilah pendengar yang baik untuk anggota

keluarga
b.

Diskusikan kekuatan kelurga sebagai pendukung

c.

Kaji pengaruh budaya keluarga

d.

Monitor situasi kelurga

e.

Ajarkan perawatan di rumah tentang terapi pasien

f.

Kaji efek kebiasaan pasien untuk keluarga

g.

Dukung

kelurga

dalam

merencanakan

dan

melakukan terapi pasien dan perubahan gaya hidup


h.

Identifikasi perlindungan yang dapat digunakan


kelurga dalam menjaga status kesehatan.

2. Diagnosa : Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan


obstruksi mekanik
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan retensi urin berkurang.

NOC : Pengawasan urin


Indikator

a.

Mengatakan keinginan untuk BAK

b.

Menentukan pola BAK

c.

Mengatakan dapat BAK dengan teratur

d.

Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan


mengeluarkan BAK ke toilet

e.

Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK

f.

Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK

g.

Mengesankan kandung kemih secara komplet

Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC

: Perawatan retensi urin

Intervensi
a.

:
Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan

urin berfokus kepada inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK


yang paten, fungsi kognitif dan masalah urin)

b.

Menjaga privasi untuk eliminasi

c.

Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK


di toilet

d.

Menyediakan

waktu

yang

cukup

untuk

mengosongkan blader (10 menit)


e.

Menyediakan perlak di kasur

f.

Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan

g.

Menganjurkan untuk mencegah konstipasi

h.

Monitor intake dan output

i.

Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi


dan perkusi

j.

Berikan waktu berkemih dengan interval reguler,


jika diperlukan.

3. Diagnosa : Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan


operasi baik keluarga dan klien.
Tujuan

: Setelah dilakukan tindkan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan kecemasan pasien berkurang.

NOC : Kontrol ansietas


Indikator

a.

Tingkat kecemasan di batas normal

b.

Mengetahui penyebab cemas

c.

Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas

d.

Informasi untuk mengurangi kecemasan

e.

Strategi koping untuk situasi penuh stress

f.

Hubungan sosial

g.

Tidur adekuat

h.

Respon cemas

Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan

10

2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan

NIC

: Pengurangan cemas

Intervensi

a.

Ciptakan suasana yang tenang

b.

Sediakan

informasi

dengan

memperhatikan

diagnosa, tindakan dan prognosa, dampingi pasien untuk meciptakan


suasana aman dan mengurangi ketakutan
c.

Dengarkan dengan penuh perhatian

d.

Kuatkan kebiasaan yang mendukung

e.

Ciptakan hubungan saling percaya

f.

Identifikasi perubahan tingkatan kecemasan

g.

Bantu

pasien

mengidentifikasi

situasi

yang

menimbulkan kecemasan.
Diagnosa post operasi
1. Diagnosa : Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik
berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan kesiapan peningkatan regimen terapeutik baik.

NOC : Family participation in profesioal care


Indikator

a.

Ikut serta dalam perencanaan perawatan

b.

Ikut serta dalam menyediakan perawatan

c.

Menyediakan informasi yang relefan

d.

Kolaborasi dalam melakukan latihan

11

e.

Evaluasi keefektifan perawatan

Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC

: Family process maintenance

Intervensi

a.

Anjurkan kunjungan anggota keluarga jika perlu

b.

Bantu

keluarga

dalam

melakukan

strategi

menormalkan situasi
c.

Bantu keluarga menemukan perawatan anak yang


tepat

d.

Identifikasi kebutuhan perawatan pasien di rumah


dan bagaimana pengaruh pada keluarga

e.

Buat jadwal aktivitas perawatan pasien di rumah


sesuai kondisi

f.

Ajarkan keluarga untuk menjaga dan selalu


menngawsi perkembangan status kesehatan keluarga.

2. Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan post prosedur operasi


Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan nyeri berkurang.

NOC 1: Level nyeri


Indikator

a.

Melaporkan nyeri (frekuensi & lama)

b.

Perubahan vital sign dalam batas normal

c.

Memposisikan tubuh untuk melindungi nyeri

12

NOC 2: Tingkat kenyamanan


Indikator

a.

Melaporkan kondisi fisik yang nyeman

b.

Menunjukan ekspresi puas terhadap manajemen


nyeri

NOC 3: Kontrol nyeri


Indikator

a.

Mengungkap faktor pencetus nyeri

b.

Menggunakan tetapi non farmakologi

c.

Dapat

menggunakan

berbagai

sumber

untuk

mengontrol nyeri
d.

Melaporkan nyeri terkontrol

Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC 1 : Manajemen nyeri
Intervensi
a.

:
Kaji

secara

komperhensif

mengenai

lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, dan faktor pencetus


nyeri
b.

Observasi keluhan nonverbal dari ketidaknyamanan

c.

Ajarkan teknik nonfarmakologi (ralaksasi)

d.

Bantu pasien & keluarga untuk mengontrol nyeri

13

e.

Beri informasi tentang nyeri (penyebab, durasi,


prosedur antisipasi nyeri)

NIC 2 : Monitor tanda vital


Intervensi

a.

Monitor TD, RR, nadi, suhu pasien

b.

Monitor keabnormalan pola napas pasien

c.

Identifikasi kemungkinan perubahan TTV

d.

Monitor toleransi aktivitas pasien

e.

Anjurkan untuk menurunkan stress dan banyak


istirahat

NIC 3 : Manajemen lingkungan


Intervensi

a.

Cegah tindakan yang tidak dibutuhkan

b.

Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman

3. Diagnosa : Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter


Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan tidak terjadi infeksi.

NOC 1: Deteksi resiko


Indikator
a.

:
Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan

resiko
b.

Menjelaskan

kembali

tanda

&

gejala

yang

mengidentifikasi faktor resiko


c.

Menggunakan sumber & pelayanan kesehatan untuk


mendapat sumber informasi

14

NOC 2: Kontrol resiko


Indikator

a.

Membenarkan faktor resiko

b.

Memonitor faktor resiko dari lingkungan

c.

Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan


faktor resiko

d.

Memonitor & mengungkapkan status kesehatan

NOC 3: Status imun


Indikator

a.

Tidak menunjukan infeksi berulang

b.

Suhu tubuh dalam batas normal

c.

Sel darah putih tidak meningkat

Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC 1 : Kontrol infeksi
Intervensi
a.

:
Ajarkan pasien & kelurga cara mencucitangan yang

benar
b.

Ajarkan pada pasien & keluarga tanda gejala infeksi


& kapan harus melaporkan kepada petugas

c.

Batasi pengunjung

15

d.

Bersihkan

lingkungan

dengan

benar

setelah

digunakan pasien
NIC 2 : Perawatan luka
Intervensi

a.

Catat karakteristik luka, drainase

b.

Bersihkan luka dan ganti balutan dengan teknik


steril

c.

Cuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah


tindakan

d.

Ajarkan pada pasien dan kelurga cara prosedur


perawatan luka

NIC 3 : Perlindungan infeksi


Intervensi

a.

Monitor peningkatan granulossi, sel darah putih

b.

Kaji faktor yang dapat meningkatkan infeksi.

4. Diagnosa : Perubahan eliminasi urine (retensi urin) berhubungan dengan


trauma operasi
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan retensi urin berkurang.

NOC : Pengawasan urin


Indikator

a.

Mengatakan keinginan untuk BAK

b.

Menentukan pola BAK

c.

Mengatakan dapat BAK dengan teratur

d.

Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan


mengeluarkan BAK ke toilet

e.

Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK

16

f.

Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK

g.

Mengosongkan kandung kemih secara komplet

Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC

: Perawatan retensi urin

Intervensi

a.

Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan


urin berfokus kepada inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK
yang paten, fungsi kognitif dan masalah urin)

b.

Menjaga privasi untuk eliminasi

c.

Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK


di toilet

d.

Menyediakan

waktu

yang

cukup

untuk

mengosongkan blader (10 menit)


e.

Menyediakan perlak di kasur

f.

Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan

g.

Menganjurkan untuk mencegah konstipasi

h.

Monitor intake dan output

i.

Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi


dan perkusi

j.

Berikan waktu berkemih dengan interval reguler,


jika diperlukan.

E.

EVALUASI
Pre operasi

17

1. Diagnosa : Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan


dengan pola perawatan keluarga.
Indikator :
a. Status imunisasi anggota kelurga
b. Kesehatan fisik anggota keluarga
c. Asupan makanan yang adekuat
d. Tidak adanya kekerasan anggota kelurga
e. Penggunaan perawatan kesehatan
2. Diagnosa : Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan
obstruksi mekanik
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK
b. Menentukan pola BAK
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK
ke toilet

e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK


f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK
g. Mengesankan kandung kemih secara komplet
3. Diagnosa : Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan
operasi baik keluarga dan klien.
Indikator :
a. Tingkat kecemasan di batas normal
b. Mengetahui penyebab cemas
c. Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas
d. Informasi untuk mengurangi kecemasan
e. Strategi koping untuk situasi penuh stress
f. Hubungan sosial 4
g. Tidur adekuat

18

h. Respon cemas

Post operasi
1. Diagnosa : Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik
berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.
Indikator :
a. Ikut serta dalam perencanaan perawatan
b. Ikut serta dalam menyediakan perawatan
c. Menyediakan informasi yang relefan
d. Kolaborasi dalam melakukan latihan
e. Evaluasi keefektifan perawatan
2. Diagnosa : Nyeri berhubungan dengan post prosedur operasi
Indikator :
a. Melaporkan nyeri (frekuensi & lama)
b. Perubahan vital sign dalam batas normal
(TD 120/80 mmHg; RR 22 x/mt; N 75x/mt; S 36,8C)
c. Memposisikan tubuh untuk melindungi nyeri
d. Melaporkan kondisi fisik yang nyeman
e. Menunjukan ekspresi puas terhadap manajemen nyeri
f. Mengungkap faktor pencetus nyeri
g. Menggunakan tetapi non farmakologi
h. Dapat menggunakan berbagai sumber untuk mengontrol nyeri
i. Melaporkan nyeri terkontrol
3. Diagnosa : Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter
Indikator :
a. Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko
b. Menjelaskan kembali tanda & gejala yang mengidentifikasi faktor
resiko

19

c. Menggunakan sumber & pelayanan kesehatan untuk mendapat sumber


informasi

d. Membenarkan faktor resiko


e. Memonitor faktor resiko dari lingkungan
f. Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan faktor resiko
g. Memonitor & mengungkapkan status kesehatan
h. Tidak menunjukan infeksi berulang
i. Suhu tubuh dalam batas normal
j. Sel darah putih tidak meningkat
4. Diagnosa : Perubahan eliminasi urine berhibingan dengan trauma operasi
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK
b. Menentukan pola BAK
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK
ke toilet

e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK


f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK
g. Mengosongkan kandung kemih secara komplet

BAB IV
PENUTUP
Hipospadia adalah suatu keadaan dimana lubang uretra terdapat di penis
bagian bawah, bukan di ujung penis.

20

Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000


bayi baru lahir.
Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak di dekat
ujung penis, yaitu pada glans penis.
Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat di
tengah batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada skrotum
(kantung zakar) atau di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan
dengan kordi, yaitu suatu jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan
penis melengkung ke bawah pada saat ereksi.
Gejalanya adalah:
1. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada
di bawah atau di dasar penis
2. Penis melengkung ke bawah
3. Penis tampak seperti berkerudung karena adanya kelainan pada kulit
depan penis
4. Jika berkemih, anak harus duduk.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik.
Jika hipospadia terdapat di pangkal penis, mungkin perlu dilakukan
pemeriksaan radiologis untuk memeriksa kelainan bawaan lainnya.
Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya tidak disunat. Kulit depan penis
dibiarkan untuk digunakan pada pembedahan nanti.
Rangkaian pembedahan biasanya telah selesai dilakukan sebelum anak mulai
sekolah. Pada saat ini, perbaikan hipospadia dianjurkan dilakukan sebelum
anak berumur 18 bulan.
Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan buang air

21

pada anak dan pada saat dewasa nanti, mungkin akan terjadi gangguan dalam
melakukan hubungan seksual.

DAFTAR PUSTAKA
http://photos1.blogger.com/blogger/4603/1833/1600/op.jpg
http://www.medicastore.com

22

Johnson, Marion dkk. (2000). Nursing outcomes classification (NOC).


Mosby
Suriadi SKp, dkk. (2001). Asuhan keperawatan pada anak. Jakarta : Fajar
Interpratama
Mansjoer, Arif, dkk. (2000).Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2, Jakarta :
Media Aesculapius.
McCloskey, Joanne C. (1996). Nursing interventions classification (NIC).
Mosby
Price, Sylvia Anderson. (1995). Pathofisiologi. Jakarta: EGC
Purnomo, B Basuki. (2000). Dasar dasar urologi. Jakarta : Infomedika
Santosa, Budi. (2005-2006). NANDA. Prima Medika

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (1985). Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta :EGC.

23

You might also like