You are on page 1of 19

INFEKSI SALURAN KEMIH DALAM KEHAMILAN

I.

PENDAHULUAN
Kehamilan adalah suatu fenomena fisiologis yang dimulai dengan pembuahan

dan diakhiri dengan proses persalinan. Selama masa kehamilan, ibu dan janin adalah
unit fungsi yang tak terpisahkan. Pada masa kehamilan terjadi perubahan anatomi
maupun fisiologi dan saluran kemih yang menjadi faktor timbulnya berbagai masalah
pada kehamilan, salah satunya adalah infeksi saluran kemih.1,2
Infeksi saluran kemih (ISK) dapat simptomatik maupun asimptomatik.
Bakteriuria simptomatik meliputi sistitis, uretritis dan yang menimbulkan gejala
sistemik yaitu pielonefritis akut dan kronik. Pada sebuah studi yang melibatkan 4290
sampel kultur urin positif dilaporkan bahwa bakteri patogen tersering pada ISK
adalah Escherichia coli, diikuti dengan Klebsiella pneumoniae. Pada penelitian ini
juga dilaporkan bahwa bakteri gram positif yang paling sering ditemukan pada ISK
adalah stafilokokus koagulase negatif.3
ISK telah diketahui berhubungan dengan akhir kehamilan yang buruk, seperti
persalinan preterm, pertumbuhan janin terhambat, bahkan janin lahir mati.
Komplikasi ini bukan hanya akibat ISK bergejala, tetapi bakteriuria asimtomatik juga
dapat menyebabkan komplikasi tersebut. Oleh sebab itu, sangat penting bagi seorang
dokter dapat melakukan upaya skrining, diagnosis, serta pemberian terapi yang sesuai
pada ibu hamil dengan ISK.3
II.

DEFINISI
Infeksi saluran kemih adalah keadaan klinis akibat berkembang biaknya

mikroorganisme yang menyebabkan inflamasi pada saluran kemih. Organisme


tersebut berasal dari flora normal perineum yang masuk ke saluran kemih melalui
uretra, menyebar secara hematogen, limfogen, dan paling sering melalui infeksi
secara asending.4

Dikatakan ISK bila pada pemeriksaan urin ditemukan bakteri yang jumlahnya
lebih dari 10.000/ml, atau terdapatnya pertumbuhan 100.000 koloni bakteri atau lebih
per milimeter jumlah urin midstream dengan teknik clean-catch. Beberapa peneliti
berpendapat bahwa jumlah bakteri 20.000-50.000 telah menunjukkan infeksi aktif.1,4
Masuknya kuman tersebut dapat tanpa gejala dan disebut bakteriuria
asimptomatik maupun menimbulkan gejala yang disebut bakteriuria simptomatik.
Bakteriuria simptomatik meliputi sistitis, uretritis dan yang menimbulkan gejala
sistemik yaitu pielonefritis akut dan kronik.4
III.

EPIDEMIOLOGI
Secara umum, infeksi saluran kemih 14 kali lebih sering pada wanita

dibanding pria. Perbedaan ini dikarenakan oleh panjang uretra wanita yang lebih
pendek dibanding pria, sepertiga bagian terbawah uretra wanita secara terus-menerus
terkontaminasi dengan patogen dari vagina dan rektum, wanita cenderung tidak
benar-benar mengosongkan kandung kemihnya seperti yang dilakukan pria, sistem
urogenital wanita terpapar dengan bakteri saat melakukan hubungan seksual. Sekitar
50-60% wanita pernah mengalami ISK selama hidupnya.4,5,6
Infeksi saluran kemih dalam kehamilan merupakan infeksi yang terbanyak
terjadi selama kehamilan (4-10%). Frekuensi bakteriuria pada wanita hamil (2-7%)
tidak jauh berbeda dengan wanita tidak hamil. Perbedaan antara wanita hamil dan
tidak hamil adalah prevalensi bakteriuria asimptomatik pada wanita hamil adalah 2,511%, dan 3-8% pada wanita tidak hamil. Pada 40% kasus, bakteriuria asimptomatik
dapat berkembang menjadi infeksi saluran kemih bagian atas simptomatik atau
pielonefritis; nilai ini secara signifikan lebih tinggi pada wanita hamil dibanding yang
tidak hamil. Prevalensi ISK selama kehamilan meningkat seiring dengan usia
kehamilan.1,3

Sebuah analisis retrospektif dari 24.000 kelahiran menemukan prevalensi ISK


selama kehamilan 28,7% pada orang kulit putih dan Asia, 30,1% pada orang kulit
hitam, dan 41,1% pada orang Hispanik. Namun, ketika status sosial-ekonomi
dikendalikan, tidak ada perbedaan antar-ras yang signifikan.4,5
IV.

ETIOLOGI
Agen penyebab bakteriuria pada wanita hamil dan tidak hamil didapatkan

mirip. Uretra wanita yang relatif pendek sering menjadi tempat kolonisasi organisme
dari traktus gastrointestinal. Escherichia coli merupakan bakteri tersering yang
dikaitkan dengan bakteriuria simptomatik maupun asimptomatik, mencakup 80-90%
dari semua kasus. Patogen lain termasuk: Klebsiella pneumoniae (5%), Proteus
mirabilis (5%), Enterobacter spesies (3%), Staphylococcus saprophyticus (2%),
Streptococcus beta-hemolitikus grup B (GBS; 1%), Proteus spesies (2%).4,6,7
Organisme gram positif, terutama Enterococcus faecalis dan GBS (Grup Beta
Streptococus), merupakan patogen yang penting secara klinis. Infeksi oleh
Streptococcus saprophyticus dapat menyebabkan penyakit traktus urinarius atas, dan
infeksi ini lebih sering menjadi persisten atau rekuren.2,4
Bakteri yang mengurai urea, termasuk Proteus, Klebsiella, Pseudomonas, dan
Staphylococcus koagulase negatif membasakan urin dan dikaitkan dengan batu
sturvit. Infeksi Chlamidia dikaitkan dengan piuria yang steril dan mencakup lebih
dari 30% patogen atipikal.4
Kolonisasi GBS memiliki implikasi yang penting selama kehamilan. Infeksi
GBS dikaitkan dengan ketuban pecah dini dan kelahiran prematur. Transmisi
intrapartum juga dapat menyebabkan infeksi GBS neonatus dapat menyebabkan
pneumonia, meningitis, sepsis, dan kematian. Pedoman saat ini merekomendasikan
skrining vagina dan rektum universal pada semua wanita hamil pada umur kehamilan
35-37 minggu daripada pengobatan berdsarkan faktor resiko.4
Organisme anaerobik dan mikroorganisme fastidious (mikroorganisme yang
hanya tumbuh pada medium yang memenuhi nutrien spesifik mereka) dapat
diidentifikasi dalam urin dengan presentasi yang besar pada wanita hamil tetapi

signifikansi dari organisme ini yang diisolasi dari urin dan hasil perinatal tidak
diketahui. Saat ini, tidak ada bukti untuk secara rutin memeriksa urin untuk
organisme-organisme ini.8
V.
PATOFISIOLOGI
Urin normalnya dianggap steril dari bakteri, virus, dan jamur namun
mengandung cairan, garam, dan produk sisa. Pertahanan utama terhadap ISK adalah
seluruh proses pengosongan kandung kemih saat buang air kecil. Mekanisme
tambahan untuk menjaga sterilitas saluran kemih termasuk keasaman urin, katup
vesikouretral, dan berbagai pertahanan imunologik dan mukosa. Infeksi terjadi saat
organisme, yang paling sering bakteri dari vagina, perineum dan flora feses melekat
pada pembukaan uretra dan mulai berkembang biak.1,4,9
Kehamilan menyebabkan banyak perubahan dalam tubuh wanita. Faktorfaktor seperti perubahan struktural dan hormonal meningkatkan resiko ISK pada
kehamilan. Faktor-faktor anatomi seperti hidro-ureter, hidronefrosis dan refluks
vesikouretra dapat meningkatkan kejadian ISK pada kehamilan. 5
Hidroureter pada kehamilan telah dicirikan dengan peningkatan diameter
lumen ureter, hipotonisitas dan hipomotilitas dari otot ureter. Tortuositas anatomi
telah diketahui terjadi pada trimester kedua dan ketiga, ureter kanan lebih sering
berdilatasi dibanding ureter kiri. Pelebaran yang tidak simetris ini mungkin
disebabkan oleh perubahan uterus yang membesar dan mengalami dekstrorotasi,
relaksasi otot polos akibat peningkatan kadar progesteron, atau karena terjadinya
penekanan fisiologik karena pembesaran vena ovarium kanan yang terletak di atas
ureter, sedangkan pada yang sebelah kiri tidak terdapat karena adanya sigmoid
sebagai bantalan. Dilatasi ureter ini memungkinkan timbulnya refluks air kemih dari
kandung kemih ke dalam ureter. Peningkatan berat dari uterus yang membesar dapat
menyebabkan retensi urin dan relaksasi otot polos uretra yang diinduksi oleh
progesteron dapat menyebabkan stasis urin. Ekspansi volume darah disertai dengan
peningkatan laju filtrasi glomerulus dan output urin. Peningkatan volume output urin
bersama dengan hilangnya tonus ureter dapat menyebabkan stasis urin, yang dapat
menyebabkan dilatasi ureter, pelvis ginjal, dan kaliks. Stasis urin dan adanya refluks

vesikouretra bertanggung jawab terhadap ISK dan pielonefritis akut dalam


kebanyakan kasus.4,5

Gambar 1. Pielogram pada kehamilan


(Dikutip dari Textbook Obstetrics Illustrated, karangan Hanretty KP, 2010 , hal 146)

Peningkatan eksresi zat-zat seperti glukosa, B kompleks, vitamin-vitamin, dan


lain-lain membentuk media kultur untuk pertumbuhan bakteri secara tidak langsung.
Pada kehamilan, pH urin naik sampai kisaran yang sesuai untuk bertumbuhnya
Escherichia coli. Glikosuria terjadi karena gangguan resorbsi oleh tubulus pengumpul
dan lengkung Henle. Sekitar 5% dari glukosa yang difiltrasi berhasil lolos dari
resorpsi tubulus konvultus proksimal.5
Secara

umum,

pasien

hamil

diangggap

sebagai

host

ISK

yang

immunocompromised karena perubahan-perubahan fisiologis yang berhubungan


dengan kehamilan. Selain itu, selama kehamilan, ada peningkatan besar kelembapan
yang cenderung meningkatkan pertumbuhan bakteri. Perubahan-perubahan ini,
bersamaan dengan uretra yang pendek (sekitar 3-4 cm pada wanita) dan kesulitan
dengan masalah kebersihan karena perut hamil yang besar, meningkatkan frekuensi
infeksi saluran kemih pada wanita hamil.4,5
VI.

MANIFESTASI KLINIS
Bakteriuria Asimptomatik

Bakteriuria asimptomatik umumnya didefinisikan sebagai keberadaan lebih


dari 100.000 organisme/ml pada 2 sampel urin berturut-turut tanpa adanya gejala.
Frekuensi bakteriuria asimptomatik kira-kira 2 10 %, dan dipengaruhi oleh paritas,
ras, sosioekonomi perempuan hamil tersebut. Jika tidak ditangani dengan baik,
bakteriuria asimptomatik dapat menyebabkan sistitis akut (40%), pielonefritis (2550%). Beberapa peneliti juga mendapatkan adanya hubungan kejadian bakteriuria
dengan peningkatan angka kejadian anemia dalam kehamilan, persalinan prematur,
preeklampsia, korioamnionitis, dan endometritis postpartum. Resiko pada fetus
termasuk gangguan pertumbuhan janin, lahir mati, mortalitas perinatal, retardasi
mental, dan gangguan perkembangan.1,2
Bakteriuria biasanya sudah ada pada saat kunjungan prenatal pertama.
Spesimen porsi tengah yang mengandung lebih dari 100.000 organisme per ml
dianggap bukti adanya infeksi. Walaupun jumlah bakteri yang lebih sedikit mungkin
menunjukkan kontaminasi, kadang-kadang hitung koloni yang rendah merupakan
infeksi aktif, terutama apabila ada gejala klinis. Oleh karena itu, konsentrasi yang
rendah perlu diobati karena pielonefritis dapat terjadi walaupun jumlah kuman hanya
20.000 sampai 50.000/ml dari satu jenis uropatogen.1,8
The American Academy of Pediatrics and the American College of
Obstetricians and Gynecologists (2012), juga U.S. Preventive Services Task Force
(2008) merekomendasikan skrining bakteriuria pada kunjungan prenatal pertama.
Pada pervalensi yang rendah, pengunaan kultur urin standar kurang efektif dari segi
biaya namun, ketika prevalensinya kurang dari atau sama dengan 2 persen maka tes
skrining seperti dipstick nitrat esterase leukosit dipilih karena lebih murah. Penentuan
penyebab tidak diperlukan karena pengobatan awal didasarkan secara empiris.2
Pada sebagian besar wanita ini, bakteriuria menetap setelah melahirkan, dan
pada sebagian juga menunjukkan bukti-bukti radiografik adanya infeksi kronik, lesi
obstruktif, atau kelainan kongenital saluran kemih. Infeksi simptomatik berulang
sering terjadi.4

Sistitis
6

Sistitis adalah peradangan yang melibatkan saluran kemih bagian bawah, hal
ini ditandai dengan peradangan kandung kemih tanpa disertai radang bagian atas
saluran kemih. Sistitis ini cukup sering dijumpai dalam kehamilan dan nifas. Kuman
penyebab utama adalah E. coli, di samping dapat pula oleh kuman-kuman lain. Faktor
predisposisi adalah uretra perempuan yang pendek, sistokel, adanya sisa air kemih
yang tertinggal, di samping penggunaan kateter yang sering diapkai dalam usaha
mengeluarkan air kemih dalam pemeriksaan ginekologi atau persalinan. Penggunaan
kateter ini akan mendorong kuman-kuman yang ada di uretra distal untuk masuk ke
dalam kandung kemih. Dianjurkan untuk tidak menggunakan kateter, bila tidak
benar-benar diperlukan.1
Gejala-gejala sistitis khas sekali, yaitu disuria terutama pada akhir berkemih,
meningkatnya frekuensi berkemih dan kadang-kadang disertai nyeri di bagian atas
simfisis, perasaan ingin berkemih, perasaan ingin berkemih yang tidak dapat ditahan,
air kemih kadang terasa panas, suhu badan mungkin normal atau meningkat, dan
nyeri di daerah suprasimfisis. Pada pemeriksaan laboratorium, biasanya ditemukan
banyak leukosit dan eritrosit dan kadang-kadang juga ada bakteri. Kadang dijumpai
hematuria, sedangkan proteinuria biasanya tidak ada.1
Walaupun infeksi asimptomatik menyebabkan bakteriuria ginjal pada separuh
kasus, lebih dari 90% kasus sistitis terbatas di kandung kemih. Walaupun sistitis
biasanya tidak berpenyulit, saluran kemih bagian atas dapat terkena akibat infeksi
asendens. Kurang lebih 40% wanita hamil dengan pielonefritis akut sebelumnya
mengalami gejala-gejala infeksi saluran kemih bawah.6
Diagnosis banding uretritis gonokokus dan uretritis non-gonokokus harus
dipertimbangkan. Sindrom uretra akut ini muncul dengan disuria, frekuensi berkemih,
piuria, dan kadang hematuria tanpa bakteriuria yang signifikan pada kultur. Satusatunya gejala klinis yang membedakannya adalah adanya duh tubuh. Uretritis nongonokokus dapat disebabkan oleh Chlamydia, Mycoplasma dan, lebih jarang, bakteri
gram negatif.2

Pielonefritis Akut
7

Pielonefritis merupakan tipe infeksi saluran kemih yang paling serius, dengan
insiden hampir mencapai 2 %. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh Escherichia
coli, dan dapat pula oleh kuman-kuman lain seperti Staphylococcus aureus, Bacillus
proteus, dan Pseudomonas aeruginosa. Kuman dapat menyebar secara hematogen
atau limfogen, akan tetapi terbanyak berasal dari kandung kemih. Predisposisinya
antara lain yaitu penggunaan kateter untuk mengeluarkan air kemih sewaktu
persalinan atau kehamilan, air kemih yang tertahan karena rasa sakit waktu berkemih
akibat trauma persalinan, atau luka pada jalan lahir. Dianjurkan tidak menggunakan
kateter untuk mengeluarkan air kemih, bila tidak benar-benar diperlukan. Penderita
yang menderita pielonefritis kronik atau glomerulonefritis kronik yang sudah ada
sebelum kehamilan, sangat mendorong terjadinya pielonefritis akut ini.1,4
Gejala penyakit biasanya timbul mendadak. Perempuan yang sebelumnya
merasa sakit pada kandung kemih, malaise, menggigil, badan panas, dan rasa nyeri di
angulus kostovertebralis, terutama daerah lumbal atas. Nafsu makan berkurang, mual,
muntah, dan kadang diare, dan dapat pula ditemukan banyak sel leukosit dan sering
bergumpal, silinder sel darah, dan kadang ditemukan bakteri seperti Escherichia coli
pada 77% kasus, Klebsiella pneumonia pada 11%, dan Enterobacter atau Proteus
masing-masing 4%. Kebanyakan pasien menunjukkan tanda-tanda gangguan fungsi
ginjal, seperti peningkatan BUN serum dan kreatinin serta kreatinin klirens yang
rendah pada kehamilan. Kultur urin menunjukan hasil positif. Walaupun diagnosis
biasanya mudah, pielonefritis dapatdi di-differential diagnosis dengan proses
persalinan, korioamnionitis, apendisitis akut, solutio plasenta, atau infark mioma, dan
pada masa nifas di-differential diagnosis sebagai endometritis dengan selulitis
panggul.1,2
Pielonefritis akut selama kehamilan dapat menimbulkan konsekuensi yang
serius. Beberapa di antaranya dapat menyebarkan endotoksin, yang dapat
menyebabkan syok sepsis atau trauma pulmo. Hemolisis akibat endotoksin juga
sering terjadi, dan sekitar sepertiga dari para wanita ini mengalami anemia akut.
Bukti terakhir menunjukkan bahwa pielonefritis akut tidak mempengaruhi produksi

eritropoetin baik secara akut maupun dalam beberapa hari setelah infeksi. Ada
kejadian pada literatur yang mengindikasikan bahwa perempuan hamil mendapat
endotoksin yang lebih besar daripada perempuan tidak hamil.1,2
Standar baku emas untuk diagnosis pielonefritis adalah biposi ginjal namun
hal ini tidak praktis dalam praktek klinis. Kombinasi gejala, hitung darah lengkap,
marker inflamasi, tes fungsi ginjal, kultur darah, kultur urin dan tes sensitivitas
digunakan untuk mendiagnosis pielonefritis akut.9

II.

DIAGNOSIS
Pemeriksaan yang paling ideal untuk deteksi adanya ISK adalah kultur urin.

Untuk menegakkan diagnosis ISK bergejala (sistitis akut dan pielonefritis), nilai
ambang batas yang digunakan adalah 103 Colony Forming Units/ml (cfu/mL). Untuk
ISK tak bergejala (bakteriuria asimtomatik), nilai ambang batas yang digunakan
adalah 105 cfu/mL. Dalam diagnosis bakteriuria asimtomatik pada perempuan,
termasuk ibu hamil, harus digunakan sampel yang berasal dari urin pancar tengah
yang diambil secara bersih (mid-stream, clean-catch urine sample).Masalah yang ada
di negara yang sedang berkembang umumnya adalah layanan kesehatan dengan
fasilitas yang terbatas. Pada layanan tersebut, umumnya fasilitas untuk kultur urin
tidak ada. Masalah lain dalam penggunaan kultur urin sebagai teknik skrining
bakteriuria asimtomatik adalah biaya yang cukup tinggi dan waktu yang cukup lama
untuk mendapatkan hasil.3
Diagnosis ISK dapat ditegakkan dengan metode tidak langsung untuk deteksi
bakteri atau hasil reaksi inflamasi. Metode yang sering dipakai adalah tes celup urin,
yang dapat digunakan untuk deteksi nitrit, esterase leukosit, protein, dan darah di
dalam urin. 3
Telah dilakukan berbagai penelitian terhadap nilai diagnostik uji nitrit dengan
tes celup urin dalam deteksi bakteriuria asimtomatik. Hasil penelitian tersebut sangat
beragam, dengan didapatkannya sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan

nilai prediksi negatif uji nitrit secara berturut-turut berkisar antara 15-57%, 78-99%,
50-94%, dan 23-97%. Hasil telaah sistematik terhadap beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa tes celup urin tidak cukup sensitif untuk deteksi bakteriuria
asimtomatik pada ibu hamil. Studi lain menemukan bahwa kombinasi uji esterase
leukosit dan uji nitrit memiliki akurasi yang lebih rendah dibandingkan kultur urin
dan pemeriksaan tersebut memang sebaiknya hanya dilakukan pada pelayanan
kesehatan yang tidak memiliki fasilitas kultur urin. Idealnya, semua Uji Nitrit
memberikan hasil positif untuk diagnosis ISK pada kehamilan harus dilanjutkan
dengan pemeriksaan kultur urin pancar tengah yang diambil secara bersih. Mengingat
komplikasi akibat ISK pada kehamilan, maka pada pelayanan kesehatan yang
sarananya terbatas untuk dapat melakukan kultur urin, hasil uji nitrit sudah dapat
dijadikan dasar diagnosis dan terapi ISK pada kehamilan.3
Untuk pemeriksaan kultur urin dan tes celup urin, sampel urin harus diambil
dengan teknik pancar tengah yang diambil secara bersih untuk menghindari
kontaminasi. Khusus untuk pemeriksaan uji nitrit dengan tes celup urin, sampel urin
yang digunakan harus berasal dari urin pertama pada pagi hari segera sesudah pasien
bangun tidur. Kalau pemeriksaan bukan pagi hari, ibu diminta untuk menahan buang
air kecil minimal 2 jam sebelum urin diambil untuk diperiksa. Ini penting diingat
karena diperlukan waktu yang cukup untuk berubahnya nitrat menjadi nitrit di dalam
kandung kemih. Tahapan pengambilan sampel urin pancar tengah yang diambil
secara bersih adalah sebagai berikut. 3
Cuci labia dan perineum dengan air dan sabun.
Duduk atau jongkok di toilet dengan posisi kaki mengangkang, buka

labia dengan dua jari.


Gunakan kapas, kasa, atau tisu yang sudah dibasahi dengan air steril
atau desinfeksi tingkat tinggi (DTT, air yang sudah dimasak selama
minimal 30 menit) untuk membersihkan daerah sekitar orifisium uretra
dan bagian dalam labia. Kasa/kapas/tisu diusapkan satu kali saja dari
arah orifisium uretra ke arah vagina. Bila diperlukan, harus digunakan
kasa/kapas/tisu yang baru dengan arah pengusapan yang sama.
10

Keluarkan sedikit kemih tanpa ditampung, lalu tahan sesaat sebelum


melanjutkan berkemih ke dalam wadah urin yang diletakkan sedekat
mungkin

dengan

muara

uretra

tanpa

menyentuh

daerah

genitalia.Pastikan wadah urin minimal terisi separuhnya.


Setelah wadah urin terisi, sisihkan wadah tersebut dan selesaikan
berkemih.

Gambar 2. Pengambilan sampel urin pancar tengah yang diambil secara bersih.
(a) Pasien membersihkan vulva dengan kapas/kasa/tisu steril/DTT dari arah orifisium uretra ke vagina. (b) Pasien
membuka labia dengan dua jari sebelum mengeluarkan sedikit urin tanpa ditampung. (c) Menampung urin pada
wadah yang diletakkan sedekat mungkin dengan muara uretra tanpa menyentuh daerah genitalia.
(Dikutip dari Jurnal Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi Saluran Kemih pada Kehamilan, Vol: 62, No: 12, Karangan Ocviyanti
D, Fernando D, 2012, hal 484)

III.

PENATALAKSANAAN
Karena bahaya komplikasi ibu dan janin, perawatan akut harus fokus pada

mengidentifikasi dan mengobati bakteriuria asimptomatik dan simptomatik.


Penatalaksanaan ISK pada wanita hamil pada umumnya berupa pemberian antibiotik
yang tepat, pemberian cairan jika pasien mengalami dehidrasi, rawat inap jika ada
indikasi ISK dengan komplikasi, dan perawatan pendukung terhadap gejala-gejala
penyerta. Hampir semua antimikroba melewati plasenta, dan beberapa memiliki efek

11

teratogenik. Penting untuk mengetahui apakah obat-obat yang digunakan pada ibu
hamil aman untuk ibu dan janin.4,7

Tabel 1. Kategori antimikroba dalam kehamilan oleh US Food and Drug


Administration (FDA)

(Dikutip dari Jurnal Urinary tract infections in pregnancy: old and new unresolved diagnostic and therapeuetic
problems, Karangan Matuszkiewicz-Rowinska J, Matyszko J, Wieliczko M, 2015, hal 69)

Selain pengobatan secara medis, juga penting pengobatan dengan metode


perilaku yang dapat digunakan untuk memastikan kebersihan yang baik dan
mengurangi kontaminasi bakteri dari meatus uretra, sehingga mencegah pengobatan
yang tidak adekuat dan infeksi berulang. Metode perilaku meliputi:4
Membersihkan satu arah dari arah depan ke belakang setelah buang air

kecil atau buang air besar


Cuci tangan sebelum menggunakan toilet
Menggunakan kain bersih untuk membersihkan perineum
Menggunakan sabun cair untuk mencegah kolonisasi dari sabun batang
Bersihkan meatus uretra pertama ketika mandi

12

Bakteriuria Asimptomatik
Wanita dengan bakteriuria asimptomatik dapat diberi pengobatan dengan
salah satu dari beberapa regimen antimikroba. Pemilihan dapat didasarkan pada
sensitivitas in vitro, tetapi umumnya dilakukan secara empiris. Terapi selama 10 hari
dengan makrokristal nitrofurantoin, 100 mg per hari, terbukti efektif untuk sebagian
besar wanita. Regimen lain adalah ampisilin, amoksisilin, sefalosporin, atau
sulfonamid yang diberikan empat kali sehari selama 3 hari. Sulfonamid dapat
diberikan pada trimester pertama dan kedua, tetapi pada trimester ketiga penggunaan
sulfonamide dapat menimbulkan risiko terjadinya kern icterus terutama pada bayi
prematur. Terapi antimikroba dosis tunggal untuk bakteriuria juga pernah dilaporkan
berhasil. Fosfomycin merupakan antibiotik yang digunakan dalam dosis tunggal.
Hasil terapi seharusnya dikonfirmasi dengan pengulangan kultur urin dan terapi
seharusnya diteruskan sampai bakteriuria berkurang. Tes kultur urin harus negatif 1
2 minggu setelah terapi.1,2
Angka kekambuhan untuk semua regimen ini adalah sekitar 30%. Kegagalan
regimen dosis tunggal mungkin merupakan petunjuk adanya infeksi saluran bagian
atas dan perlunya terapi yang lebih lama, misalnya nitrofurantoin 100 mg sebelum
tidur selama 21 hari. Bagi wanita dengan bakteriuria yang menetap atau sering
kambuh, mungkin diindikasikan terapi supresif sepanjang sisa kehamilannya. Salah
satu regimen yang telah terbukti berhasil adalah nitrofurantoin 100 mg sebelum tidur.
Antibiotik lain seperti floroquinolon dan tetrasiklin adalah kontraindikasi karena akan
menimbulkan efek toksik pada janin. Terapi harian yang terus-menerus juga penting
pada pasien yang mengalami reinfeksi oleh spesies bakteri yang berbeda.2

Tabel 2. Obat Antimikroba yang digunakan untuk wanita hamil dengan bakteriuria asimptomatik.2

Dosis Tunggal
Amoksisilin, 3 g

13

Ampisilin, 2 g
Sefalosporin, 2 g
Nitrofurantoin, 200 mg
Sulfonamid, 2 g
Trimetoprim-sulfametoksazol, 320/1600 mg
Pemberian tiga hari
Amoksisilin, 500 mg tiga kali sehari
Ampisilin, 250 mg empat kali sehari
Sefalosporin, 250 mg empat kali sehari
Nitrofurantoin, 50 100 mg empat kali sehari; 100 mg dua kali sehari
Sulfonamid, 500 mg empat kali sehari
Lain-lain
Nitrofurantoin, 100 mg empat kali sehari selama 10 hari
Nitrofurantoin, 100 mg sebelum tidur selama 10 hari
Kegagalan Pengobatan
Nitrofurantoin, 100 mg empat kali sehari selama 21 hari
Supresi terhadap persistensi atau kekambuhan bakteriuria
Nitrofurantoin, 100 mg sebelum tidur selama sisa masa kehamilan
(Dikutip dari Textbook William Obstetrics Edisi 24, Karangan Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong
CY, Dashe JS, Hoffman BL, et.al, 2014, hal 1053)

Sistitis
Wanita dengan sistitis cepat berespons dengan salah satu dari beberapa
regimen, antara lain sulfonamid, ampisilin, eritromisin. Dilaporkan angka
kesembuhan 97% pada regimen ampisilin 10 hari. Sulfonamid, nitrofurantoin, atau
sefalosporin juga efektif apabila diberikan selama 10 hari. Baru-baru ini, seperti pada
bakteriuria asimptomatik, timbul kecenderungan pemberian terapi selama 3 hari.
Regimen-regimen pada tabel di atas umumnya terbukti memuaskan untuk sistitis.
Terapi dosis tunggal yang digunakan untuk bakteriuria asimptomatik terbukti efektif
untuk wanita hamil maupun tidak hamil, tetapi sebelumnya harus dipastikan tidak ada
pielonefritis. Perlu diperhatikan obat-obat lain yang baik digunakan untuk pengobatan

14

infeksi saluran kemih yang mempunyai efek yang merugikan bagi ibu maupun
janin.1,2
Penggunaan analgesia sederhana dapat digunakan untuk mengurangi gejala
rasa tidak nyaman suprapubik dan disuria namun harus dipastikan bahwa terapi yang
digunakan tidak memiliki efek teratogenik, memiliki efek samping yang minimal dan
tidak memakai melebihi dosis maksimal. Hanya sedikit bukti yang mendukung
penggunaan anestesia lokal topikal untuk mengurangi gejala disuria.9
Penggunaan agen pengalkali urin juga telah populer sebagai pengobatan
wanita dengan gejala-gejala saluran kemih, namun manfaat dari pengobatan tersebut
belum ditetapkan dan ada kekhawatiran tertentu sehubungan dengan hiponatremia
dan penggunaan natrium sitram dalam kehamilan. Saran umum yang ada adalah
untuk menghindari sediaan ini.9
Frekuensi, urgensi, disuria, dan piuria yang disertai oleh biakan urin yang
steril mungkin merupakan konsekuensi uretritis yang disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis, suatu patogen umum di saluran kemih. Biasanya juga terdapat servisitis
mukopurulen dan efektif dengan terapi eritromisin.4,5

Pielonefritis Akut
Satu skema penatalaksanaan wanita hamil dengan pielonefritis akut
diperlihatkan pada tabel di bawah. Walaupun biasanya secara rutin melakukan biakan
dari sampel urin dan darah, baru-baru ini diperlihatkan dalam uji-uji klinis prospektif
bahwa biakan kurang bermanfaat secara klinis. Hidrasi intravena agar produksi urin
memadai merupakan hal yang esensial. Karena sering terjadi bakteriemia dan
endotoksinemia, para wanita ini harus diawasi secara ketat untuk mendeteksi syok
endotoksin atau sekuelenya. Keluaran urin, tekanan darah, dan suhu dipantau secara
ketat minimal setiap 4 jam. Demam tinggi harus diatasi, biasanya dengan selimut
pendingin. Pasien juga membutuhkan pengawasan yang berkelanjutan dengan
tekanan oksimetri. Desaturasi seharusnya diikuti dengan pemeriksaan foto thoraks
untuk mengetahui kemungkinan acute respiratory distress syndrome (ARDS).

15

Persalinan prematur sering terjadi dan pasien membutuhkan observasi kontraksi


uterus dan janin yang berkelanjutan.1,2
Infeksi saluran kemih yang serius ini biasanya cepat berespon terhadap hidrasi
intravena dan terapi antimikroba. Pemilihan obat bersifat empiris; ampisilin,
ditambah gentamisin, sefazolin, atau seftriakson terbukti 95% efektif dalam uji-uji
klinis acak. Resistensi E. coli terhadap ampisilin semakin sering terjadi dan hanya
separuh dari strain yang ada masih sensitif in vitro terhadap ampisilin, tetapi sebagian
besar masih sensitif terhadap sefazolin. Karena itu, banyak dokter cenderung
memberikan gentamisin atau aminoglikosida lain bersama dengan ampisilin. Apabila
pasien mendapat obat-obat nefrotoksik, perlu dilakukan pengukuran kreatinin serum
secara serial. Akhirnya, sebagian penulis cenderung menggunakan sefalosporin atau
penisilin dengan spektrum luas yang terbukti efektif pada 95% wanita yang
terinfeksi.2
Gejala klinis umumnya reda dalam 2 hari setelah terapi; tetapi walaupun
gejala cepat menghilang, banyak penulis menganjurkan agar terapi dilanjutkan hingga
7 sampai 10 hari. Biakan urin biasanya menjadi steril dalam 24 jam pertama. Karena
perubahan-perubahan pada saluran kemih yang dipicu oleh kehamilan masih ada,
dapat terjadi reinfeksi. Apabila biakan urin selanjutnya memberi hasil positif,
diberikan nitrofurantoin 100 mg sebelum tidur selama sisa kehamilan.4,8
Banyak pasien yang mengalami nyeri di daerah ginjal yang berat dan
membutuhkan analgesia. Analgesia sederhana biasanya sudah cukup namun opioid
mungkin dibutuhkan pada beberapa kasus, atau pada kolik ginjal yang bersamaan.
Anti inflamasi non steroid harus dihindari, karena dikaitkan dengan resiko janin
oligohidramnion dan penutupan duktus arteriosus yang prematur dan resiko maternal
ulserasi mukosa gaster dan penurunan perfusi ginjal. Demam harus diterapi dengan
antipiretik dan mual dan muntah dengan antiemetik.9
Tromboprofilaksis harus diberikan pada wanita yang mobilitasnya berkurang
atau selama periode tirah baring. Penggunaan kaos kaki kompresi dan heparin berat
molekul rendah dianjurkan.9

16

Resiko persalinan preterm meningkat secara signifikan selama episode akut


pielonefritis. Tokolitik kadang dibutuhkan pada beberapa kasus. Steroid antenatal
untuk pematangan paru janin harus dipertimbangkan jika ada bukti ancaman
persalinan preterm.9
Terminasi kehamilan segera biasanya tidak diperlukan, kecuali apabila
pengobatan tidak berhasil atau fungsi ginjal makin memburuk. Prognosis bagi ibu
umumnya cukup baik bila pengobatan cepat dan tepat diberikan, sedangkan pada
hasil konsepsi seringkali menimbulkan keguguran atau persalinan prematur.4
Demam persisten atau kurangnya perbaikan klinis dalam 48 sampai 72 jam
setelah terapi, harus dipertimbangkan adanya obstruksi saluran kemih atau
komplikasi lain atau keduanya. Sonografi ginjal disarankan untuk mencari
manifestasi obstruksi yaitu dilatasi pielokalises atau ureter yang abnormal. Meskipun
sonografi ginjal dapat mendeteksi hidronefrosis, batu tidak selalu dapat ditemukan.
Pemeriksaan radiografi abdomen polos dapat mengidentifikasi batu hampir 90%.
Apabila hasilnya negatif, dianjurkan pielografi intravena, yang dimodifikasi untuk
membatasi jumlah foto yang diambil setelah penyuntikan kontras. Pielogram satu
kali foto (One-Shot Pyelogram), yakni satu kali pemotretan pada 30 menit setelah
injeksi kontras, biasanya sudah menghasilkan citra yang memadai tentang sistem
duktus koligentes sehingga batu atau kelainan struktur dapat terlihat. Bahkan tanpa
obstruksi saluran kemih, infeksi yang persisten dapat disebabkan oleh abses intrarenal
atau perinefrik atau plegmon. Pelepasan obstruksi penting, dan salah satu metode
yang digunakan adalah dengan sistoskopi dan memasang double-J ureteral stent.
Stent biasanya dipasang sampai setelah melahirkan. Beberapa kasus memerlukan
operasi untuk mengeluarkan batu.2
Dilaporkan satu uji klinis teracak yang membandingkan terapi antimikroba
oral dengan intravena pada 92 wanita hamil dengan pielonefritis antepartum yang
diseleksi secara ketat. Mereka melaporkan tidak ada perbedaan bermakna dalam
respon klinis atau hasil kehamilan antara pasien rawat inap dan rawat jalan.
Penatalaksanaan rawat jalan untuk wanita hamil dengan pielonefritis akut hanya

17

dapat diterapkan pada segelintir pasien dan dalam hal ini diperlukan evaluasi ketat
sebelum dan setelah pemulangan dari rumah sakit.2
Tabel 3. Penatalaksanaan Wanita Hamil dengan Pielonefritis Akut 2
1. Rawat inap
2. Biakan urin dan darah
3. Hemogram, kreatinin serum, dan elektrolit
4. Monitor tanda-tanda vital secara sering, termasuk keluaran urin (bila perlu
pasang kateter tetap)
5. Kristaloid intravena agar keluaran urin paling sedikit 30 ml/jam
6. Terapi antimikroba intravena
7. Foto toraks apabila terjadi dispneu atau takipneu
8. Ulangi hematologi dan pemeriksaan kimiawi dalam 48 jam
9. Ganti dengan antimikroba oral apabila demam reda
10. Pulangkan setelah afebris 24 jam; pertimbangkan terapi antimikroba selama 710 hari
11. Biakan urin 1-2 minggu setelah penghentian terapi antimikroba
(Dikutip dari Textbook William Obstetrics Edisi 24, Karangan Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong
CY, Dashe JS, Hoffman BL, et.al, 2014, hal 1055)

IV.

PENCEGAHAN
Sekitar 15% ibu hamil akan mengalami ISK berulang sehingga dibutuhkan

pengobatan ulang dan upaya pencegahan. Beberapa negara sudah mengeluarkan


panduan untuk pencegahan ISK berulang dengan antimikroba, baik secara terusmenerus maupun pasca-sanggama, dan dengan terapi non-antimikroba seperti
konsumsi jus cranberry.3
Pemberikan antibiotik profilaksis secara terus-menerus hanya dianjurkan pada
wanita yang sebelum hamil memiliki riwayat ISK berulang, atau ibu hamil dengan
satu episode ISK yang disertai dengan salah satu faktor risiko berikut ini: Riwayat
18

ISK sebelumnya, diabetes, sedang menggunakan obat steroid, dalam kondisi


penurunan imunitas tubuh, penyakit ginjal polikistik, nefropati refluks, kelainan
saluran kemih kongenital, gangguan kandung kemih neuropatik, atau adanya batu
pada saluran kemih.3
Antibiotik profilaksis pasca-sanggama diberikan pada ibu hamil dengan
riwayat ISK terkait hubungan seksual. Pada kondisi ini, ibu hamil hanya minum
antibiotik setelah melakukan berhubungan seksual, sehingga efek samping obat yang
ditimbulkan akan lebih sedikit bila dibandingkan dengan antibiotik profilaksis yang
digunakan secara terus menerus.3
Antibiotik profilaksis yang dapat digunakan secara terus menerus sepanjang
kehamilan adalah sefaleksin per oral satu kali sehari 250 mg atau amoksisilin per oral
satu kali sehari 250 mg. Antibiotik yang sama dapat digunakan sebagai profilaksis
pasca-sanggama dengan dosis yang sama sebagai dosis tunggal.3
Beberapa penelitian menunjukkan manfaat jus cranberry dalam menurunkan
kejadian ISK. Jus cranberry diperkirakan dapat mencegah adhesi bakteri patogen,
terutama Escherichia coli, pada sel-sel epitel saluran kemih. Jus cranberry dapat
dikonsumsi dengan aman pada kehamilan, tetapi pada beberapa pasien mungkin dapat
muncul efek samping gastrointestinal seperti mual dan muntah karena jus ini bersifat
asam.3
V.
PROGNOSIS
Pada kebanyakan kasus bakteriuria dan infeksi saluran kemih pada kehamilan,
prognosisnya baik. Mayoritas gejala sisa jangka panjang adalah karena komplikasi
yang terkait dengan syok septik, gagal nafas, dan hipoksia hipotensi.4
ISK pada ibu yang memiliki beberapa gejala sisa pada janin karena infeksi
aliran darah janin jarang terjadi; namun, hipoperfusi uterus karena dehidrasi ibu,
anemia pada ibu, dan kerusakan akibat endotoksin bakteri pada vaskularisasi plasenta
dapat menyebabkan hipoperfusi serebral janin.4
ISK khususnya bagian atas yang tidak diobati dikaitkan dengan berat badan
lahir rendah, prematur, persalinan prematur, hipertensi, preeklampsia, anemia pada
ibu, dan amnionitis. Sebuah studi kohort prospektif pada pasien hamil juga
menunjukkan hubungan antara ISK ibu dan asma pada anak.4

19

You might also like