You are on page 1of 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ibn Rusyd,1 adalah seorang filosof Muslim yang mempunyai posisi
terhormat dalam sejarah filsafat. Di Dunia Barat ia dikenal sebagai
komentator paling otoritatif bagi filsafat Aristoteles2 sehingga ulasannya
menjadi rujukan standar bagi filosof yang akan mengkaji filsafat Aristoteles
sampai abad ke-16 M. Sedangkan di Timur (khususnya di kalangan Islam) ia
dikenal sebagai filosof yang dengan gigih membela filsafat dari serangan
filosof muslim lainnya al-Ghazl. Dua posisi Ibn Rusyd, baik di Timur
maupun di Barat, diperkuat dengan kapasitasnya sebagai ahli fikih ternama
1 Nama lengkapnya adalah Ab al-Wald MuhDammad Ibn AhDmad Ibn
MuhDammad Ibn AhDmad Ibn Rusyd, seorang filosof Muslim yang lahir di
Cordova, Ibu kota Andalusia (sekarang Spanyol), tahun 520 H/ 1126 M. dan wafat
tanggal 9 Safar 595 H. atau tanggal 11 Desember 1198 M. di kota Marakusy, ibu
kota Maroko wilayah barat Afrika Utara. Ibn Rusyd, Tahfut al-Tahfut, jil. I, ed.
Sulaimn Dunia, (Kairo: Dr al-Marif, 1968), 9; Ras Syril HDalw, Mawsah
Alm al-Falsafah al-Arab wa al-Ajnib, jil. I, (Beirt: Dr al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1992), 22-28. Ia memiliki beberapa nama sebutan lain seperti:
Averroes, Ibn Rosidin, Filius Rosadis, Ibn Rusid, Ben Raxid, Ibn Ruschod, Ben
Resched, Aben Rassed, Aben Rust, Avenrusd, Avenryz, Adveroys, Benroist,
Liveroys, Averroyth, Averroysta, Mumbucius, Muhuntius, Mautius, Mamus,
Abulgail, Aboolit, Alulidus, Ablult, Aboloys dan seterusnya, yang sesuai dengan
bahasa dan aksentuasi suku bangsa yang menyebutnya. H. Zainal Abidin Ahmad,
Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes; Filosuf Islam Terbesar di Barat), (Jakarta:
Bulan
Bintang,
1965),
26

2 Istilah komentator (commentator) atau pengulas Aristoteles adalah gelar yang diberikan
oleh Dante (1265-1321 M) bagi Ibn Rusyd dalam bukunya Divina Commedia. Di lain pihak,
disebutkan bahwa gelar tersebut diberikan oleh Thomas Aquinas. Barnes & Nobel, New American
Encyclopedia, jil. II, (New York: Grolier, 1991), 370.

dan

pernah

menjabat

sebagai

pemangku

hukum

syariat

(Qd).

Penguasaannya terhadap hukum-hukum fikih telah memudahkannya untuk


menjembatani pemahaman kaum Muslimin terhadap filsafat dan agama.
Inilah yang kemudian memudahkan Ibn Rusyd membangun masterpiece
pemikirannya dalam mempertemukan argumentasi-argumentasi filsafat dan
doktrin-doktrin agama, wahyu dan akal (the perfect harmony between religion
and philosophy), yang terhimpun dalam tiga magnum opus, yaitu Tahfut alTahfut, yang disusunnya sekitar tahun 1180 M, Fasl al-Maql f m bayna
al-Hikmah wa al-Syarah min al-Ittisl, Al-Kasyf an Manhij al-Adillah
(1179/1180). Ketiga buku di atas, merupakan corpus penting dalam
membedah pemikiran Ibn Rusyd, terutama dalam masalah hubungan antara
filsafat dan agama.
Dalam sejarah Islam pada masa klasik, telah terjadi lingkaran perdebatan
panjang antara para filosof dan ulama kalm konservatif Akar perdebatan
yang secara epistemologis merupakan perbedaan sudut pandang pemikiran.
Pada satu sisi, para filosof mendasari setiap argumen pemikiran berdasarkan
akal, sementara pada sisi yang lain, para ulama kalam konservatif bertolak
dari dasar wahyu. Ketika terjadi perbedaan kesimpulan terhadap masalah yang
sama, masing-masing pihak membenarkan argumen pemikirannya dan
berselisih paham dengan kelompok lainnya.
Pada situasi historis seperti inilah dimulai usaha - terutama dari
kelompok filosof Muslim - untuk mencari jalan penyelesaiannya, dimotivasi
oleh kecintaan mereka terhadap kajian filsafat. Beberapa konsep pemikiran
dalam berbagai varian kemudian muncul sebagai usaha mempertemukan
kebenaran filsafat dan agama sebagai kesatuan kebenaran, dan bahwa antara
filsafat dan agama masing-masing saling berhubungan.3

Rusyd,

3 MuhDammad Atf al-Irq, Al-Nuzah al-Aqliyyah f Falsafah Ibn


(Kairo:
Dr
al-Marif,
1967),
268

Ibn Rusyd bukanlah filosof pertama yang mendalami masalah


pendamaian antara filsafat dan agama. Sebelumnya, al-Kindi4 juga telah
berusaha mencari titik temu persesuaian antara filsafat dan agama dalam
rangka membela pengkajian filsafat Yunani, untuk menghadapi pendapat
ulama kalam konservatif yang menentang rasionalitas dan menganggap
filsafat adalah bidah. Al-Kind berada pada posisi tengah antara kalm dan
filsafat, dan mengatakan bahwa kesatuan kebenaran antara filsafat dan agama
adalah masalah yang sudah selesai. Filsafat dan syariat atau akal dan wahyu
memiliki tujuan dan sasaran yang sama. Namun secara tegas al-Kind
mengatakan, apabila terjadi pertentangan antara keduanya, maka wahyu tetap
didahulukan dari akal.5 Dalam terminologi al-Kind, keunggulan wahyu
merupakan salah satu fenomena kebijaksanaan Allah, dan posisi unik
tersebut ditempati para Nabi di antara manusia sebagai pembawa risalah
Tuhan yang mengatasi daya penalaran manusia.6

4 Ab Ysuf Yaqb Ibn Ishq al-Kind, lahir di Kuffah 184 H/801 M dan wafat tahun 250
H/ 865 M. Dalam filsafat ia lebih condong kepada pemikiran Aristoteles. Halwi, Maws ah, jil. II,
277-283.

Dr

5 M.A.H. Ab Ridah (ed.), Rislat al-Kind al-Falsafyyah, jil. I, (Kairo:


al-Fikr
al-Arab,
1950),
371-372

Ab

Ridah,

Rislah,

372.

Hal yang berbeda antara al-Frbi7 dan Ibn Sna8 ialah bahwa keduanya
beranggapan bahwa apabila terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, maka
akal memiliki posisi yang lebih tinggi untuk diambil sebagai kesimpulan
kebenaran. Kendati terdapat perbedaan kesimpulan mengenai hubungan dan
pertentangan antara akal dan wahyu, di antara para filosof tersebut terdapat
kesamaan tentang keharusan adanya takwil apabila terjadi ketidak sesuaian
antara keduanya.
Di belahan dunia Barat Islam muncul Ibn Tufayl 9 melalui tulisan
fenomenalnya Hay Ibn Yaqzn, secara konsisten ia tetap mencari solusi bagi
keterhubungan filsafat dan agama. Secara sungguh-sungguh dalam Hay Ibn
Yaqzn, Ibn Tufayl berusaha membuktikan bahwa rasionalitas filsafat tidaklah
bertentangan dengan wahyu dan syariat.10 Namun, novel filsafat ini tidak
memberi pengaruh yang besar bagi pengembalian supremasi filsafat, karena
bahasa dan metode pemaparannya tidak mampu dipahami oleh semua
kalangan.
7 Ab NaDsr al-Frb Lahir 870 M dan wafat 339 H/950 M. Filosof
Muslim
yang
diberi
gelar al-mu allim al-thn, yang mencoba menggabungkan filsafat Plato dan
filsafat
Aristoteles.
UHalwi,
Mawsah,
jil.
II,
126
8
Ab Al al-Husayn Ibn Abdillah Ibn Sn, lahir 370 H/980 M dan wafat di Hamzan
Iran 428 H/1037 M. diberi gelar syaykh al-ras. Halwi, Maws ah, jil. I, 29.

9
Ab Bakr MuhDammad Ibn Abd Mlik Ibn Tufayl al-Qays. Lahir di Qadis 393
H/1100 M dan wafat di Marakusy 580 H/1185 M. Membuat karya fenomenal di
bidang filsafat UHay Ibn YaqUzn. Novel filsafat ini penuh dengan pengembaraan
rasionalitas tentang proses penciptaan alam semesta. Halwi, Maws ah, 3 3.
10
Atif al-Irq, Al-Nuzah, 268-269.

Usaha yang telah dilakukan oleh beberapa pemikir-filosof Muslim


dalam menjembatani filsafat dan agama tidak berhasil menghilangkan
perselisihan antara filosof dan mutakallimn, bahkan selanjutnya selama
beberapa dekade, terjadi perang dialektika yang begitu tajam antara kelompok
filosof dan kelompok ulama kalm, yang dipungkasi oleh kemunculan alGhazli11 dengan Tahfut al-Falsifah-nya yang mengkritisi para filosof
sebagai telah menyimpang dari ajaran agama.
Pada situasi historis ini, Ibn Rusyd membangun argumentasi filsafat
yang teratur dan penuh rasa hormat kepada al-Ghazl melalui bukunya
Tahfut al-Tahfut,12 dan dengan bukunya Fasl al-Maql fi ma bayna alHikmah wa al-Syarah min al-ittiUsl, Rusyd berupaya mencari titik temu
persesuaian antara argumen akal dan argumen syariat (wahyu) tentang
berbagai hal dalam kerangka yang harmonis, dan dalam bahasa yang
mengakomodir pemahaman setiap lapisan tingkatan ummat Islam. Ibn Rusyd
membuat metode teologis-filosofis untuk menjembatani antara filsafat dan
agama sebagai suatu harmoni kesetaraan dan kesejajaran.

11
Ab Hmid MuDhammad bin MuDhammad bin bin ADhmad al-Ghazl lahir di
kota Thus daerah Khurasan 450 H/1059 M dan wafat 504 H/1111 M. Ia seorang
Muslim yang kompleks dengan berbagai karya fenomenal dan berpengaruh dalam
sejarah dunia Islam. Di antara karyanya yang berpengaruh adalah Tahfut alFalsifah (Filsafat dan Kalam), Ihy Ulm al-Dn (Tasawwuf). UHalwi,
Mawsah, jil. II, 94-105.
12
Ibn Rusyd dalam buku Tahfut al-Tahfut, selalu menyebut raUdiya Allah anhu
atau raUhimahu Allah setelah menyebut nama al-Ghazl setiap memulai kritik
terhadap argumen-argumen al-Ghazl, dengan tanpa mengurangi hasratnya untuk
menyalahkan al-Ghazl dalam buku Tahfut al-Falsifah. MuDhammad LuDtf
Jamah, Trkh Falsifat al-Islam f al-Masyriq wa al-Maghrib, (Beirut: Al-Kutub
al-Ilmiyyah, tt), 200-201

Usaha Ibn Rusyd ini adalah warisan yang berharga bagi dunia Islam
dalam menyatukan intelektualitas dan spiritualitas, walau tidak mendapat
respon yang cukup luas dalam dunia Islam. Bahkan, Averroesme13 telah
secara keliru memahami pemikirannya dengan mendistorsi aspek harmonis
antara agama dan filsafat. Dunia filsafat Barat mengambil penggalan karyanya
berupa otonomi akal, keharusan berfilsafat, keniscayaan hukum sebab-akibat,
sebagai

bangunan

epistemologis

ilmu

pengetahuan

mereka,

namun

meninggalkan aspek spiritualitasnya, sehingga dunia Barat mencapai


kemajuan di bidang intelektualitas berupa sains dan teknologi, akan tetapi
miskin spiritualitas. Sebaliknya dalam dunia Islam pemikiran monumental
Ibn Rusyd secara keseluruhan tenggelam dalam arus spiritualitas yang
diterjemahkan secara berlebihan, dan pada akhirnya memunculkan stagnasi
intelektual dalam dunia Islam.
Dalam tulisan ini penulis selanjutnya mencoba menganalisis variabel
konstruksi the body of knowledge Ibn Rusyd dan relealibitas argumentasiargumentasi filosofisnya secara holistic.14 yang secara sinergis membentuk
13
Averroesme adalah sebuah paham atau aliran pemikiran di Eropa abad
pertengahan yang dinisbahkan kepada Ibn Rusyd. Namun pemikirannya justru
mendistorsi pemikiran Ibn Rusyd yang utuh, karena hanya mengambil sebahagian
pemikiran saja, terutama tentang konsep otonomi akal yang menjadi embrio free
thinking (kebebasan berpikir). Aliran ini pada masanya sangat ditentang oleh
kaum Gereja karena menggunakan teori kebenaran ganda yang memungkinkan
perbenturan antara akal dan wahyu tanpa ada solusi antara keduanya seperti yang
dilakukan oleh Ibn Rusyd. Salah satu tokoh Averroesme adalah Siger Brabant
(1235-1282). W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia, cet. II, terj.
Hendro Prasetyo, (Jakarta: Gramedia, 1997), 102-103
14
Holistik merupakan kata sifat dari holistika. Dalam penelitian kefilsafatan, holistika sebagai
bagian metodologi penelitian adalah untuk memahami konsepsi-konsepsi filosofis tokoh, yang
diteliti dengan betul-betul. Seorang tokoh dilihat dalam kerangka keseluruhan visinya mengenai
manusia, dunia dan Tuhan. Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 64.

pemikiran tentang harmonisasi atau mempertemukan antara filsafat dan


agama.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pandangan Ibn Rusyd terhadap Agama dan Filsafat ?
2. Bagaimana Harmonisasi Antara Filsafat Dan Agama Dalam Islam ?
3. Pososi Strategis Agama dan Filsafat ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd


Ibnu Rusyd adalah seorang filosof Islam yang cukup
masyhur.

Ia

adalah

Abu

al-Walid

Muhammad

Ibnu

Muhammad Ibnu Rusyd, kelahiran Cordova tahun 520


H/1126 M.15 Ia lahir sekitar sekitar 15 tahun setelah
wafatnya al-Ghazali. Ia lebih popular dengan sebutan Ibnu
Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan nama Averrois.

15
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Sulaiman Dunya (Cairo: Dar el-Maarif,
1964), h. 9. Lihat juga Sudarsono, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta,
1997), h. 93

Keluarganya mempunyai kedudukan yang tinggi di


mata masyarakat Andalusia, bahkan umumnya terdiri dari
orang-orang

besar

yang

terkenal

di

dalam

dunia

pengetahuan.16 Kakek dan ayahnya adalah mantan hakim di


Andalusia dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat
pula

menjadi

hakim

di

Sevilla

dan

Cordova.

Karena

prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun


1173 ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung,
Qadhi al-Qudhat di Cordova.17
Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang
besar sekali perhatiannnya pada ilmu pengetahuan. Hal ini
merupakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan
baginya menjadi Ilmuan. Faktor lain bagi keberhasilannya
adalah ketajaman berfikir dan kejeniusan otaknya. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi
sepenuhnya

intelektualitas

keluarganya

dan

berhasil

menjadi seorang sarjana yang mampu menguasai berbagai


disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedoktran, astronomi,
sastra arab dan lainnya.

16
Zainal Abidin Ahmad, op. cit., h. 26.
17
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), h.
221. Lihat juga, Taufik Abdullah,(et al.). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam ( Jilid. I; Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Houve, 2002), h. 241.

Semenjak muda, Ibnu Rusyd tekun dan giat belajar


mendalami ilmu-ilmu pengetahuan dengan ayahnya. Setelah
menguasai dengan baik ilmu fiqih, ilmu kalam, sastra arab,
ia menekuni pula matematika, fisika, astronomi, kedokteran,
logika dan filsafat. Ia berhasil menjadi ulama atau filosof
yang sulit ditandingi.18
Setelah menyelesaikan pelajaran di rumah dibawah
bimbingan ayahnya, Ibnu Rusyd melanjutkan pendidikannya
ke Universitas Cordova. Dengan mengantongi ijazah dari
Universitas Cordova. Ia menjadi seorang sarjana yang
sungguh-sungguh

matang

pendidikan

agamanya,

juga

pelajaran ilmu-ilmu umumnya.


Ia dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol
pada

periode

perkembangan

filsafat

Islam

mencapai

puncaknya. Keunggulannya terletak pada kekuatan dan


ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang
besar

terhadap

perkembangan

pemikiran

di

Barat.

Filsafatnya merembes dari Andalusia ke seluruh negerinegeri Eropa, yang pada akhirnya menjadi pokok pangkal
kebangkitan bangsa-bangsa Barat. Tahafut adalah reaksi
atas buku al-Ghazali Tahaful al-Falasifah. Dalam bukunya itu,
Ibnu

Rusyd

membela

kembali

pendapat-pendapat

ahli

18
Usman Abdul Muthi Allam, Muhadarat Falsafiyyah (Kairo: Matbaah
Jamiah al-Azhar, 2000), h. 197.

filsafat Yunani dan Islam yang telah diserang habis-habisan


oleh al-Ghazali.19
Di dunia Islam, filsafat Ibnu Rusyd tidak berpengaruh
besar. Oleh sebab itu namanya tidak seharum nama alGhazali. Malah, karena isi filsafatnya yang diangap sangat
bertentangan dengan pelajaran agama Islam yang umum.
Ibnu Rusyd dianggap orang zindi}k. Kendati demikian,
sampai hari ini karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat
ditemukan adalah sebagai berikut:
1. Faslu al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syariah min
al-Ittishal (berisikan tentang kolerasi antar agama dan
filsafat).
2. Al-Kasyfan Manahij al-Adillat fi Aqaid al-Millat (ilmu
kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan
adanya persesuaian antara filsafat dengan syariat.
3. Tahafut al-Tahafut (berisikan kritikan terhadap karya alGhazali yang berjudul Tahaful al-Falasifah).
4. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (berisikan
perbandingan aliran-aliran dalam bidang fiqih).

Ibnu
pengulas

Rusyd
yang

adalah

dalam

seorang

terhadap

ulama
filsafat

besar

dan

Aristoteles.

Kegemarannya terhadap ilmu pengetahuan sukar dicari


19
Sudarsono, op. cit., h. 94.

10

bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai


tuanya tidak pernah terputus membaca dan menelaah kitab,
kecuali

pada

malam

ayahnya

meninggal

dan

dalam

perkawinan dirinya.20
Selanjutnya pada tahun 1182 ia bertugas sebagai
dokter

khalifah

di

istana

al-Muwahhidin

Maroko,

mengggantikan Ibnu Thufail. Sebagai filosof dan ahli dalam


hukum, ia mempunyai pengaruh besar di kalangan istana,
terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Yakub al-Mansur. Tetapi
sebagai seorang filosof, pengaruhnya di kalangan istana
tidak disenangi oleh kaum ulama dan fuqaha. Bahkan ia
dituduh membawa filsafat yang menyeleweng dari ajaranajaran

Islam,

diasingkan

ke

Sebagai
suatu

akibatnya,
tempat

ia

ditangkap

bernama

Lucena

dan
derah

Cordova.21
Tindakan kaum ulama dan fuqaha tidak hanya
sampai

disitu,

bahkan

membawa

pengaruh

yang

menyebabkan kaum filosof tidak lagi disenangi. Dan bukubukunya tentang filsafat dibakar. Pada saat itu Ibnu Rusyd di

20
Usman Abdul Muthi Allam, op. cit,. h. 197. Lihat juga Hasyimsyah Nasution,
Filsafat Islam (cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 113.
21
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam (Cet. II; Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), h. 47.

11

pindahkan ke Maraques Maroko, tetapi tidak lama setelah itu


ia wafat di kota tersebut dalam usia 72 pada bulan
Desember tahun 1198 M. Setelah tiga bulan berlalu
jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikebumikan
dipekuburan keluarganya.22 Kematian Ibnu Rusyd adalah
kehilangan yang sangat besar bagi kerajaan dan umat Islam
di Spanyol.
Dalam dunia Islam sendiri, Ibnu Rusyd lebih terkenal
sebagai

seorang

filosof

yang

menentang

al-Ghazali.

Bukunya yang khusus menentang filsafat al-Ghazali Tahafut


al-Tahaful adalah reaksi atas

buku al-Ghazali, Tahafut al-

Falasifah.

B. Pandangan Ibn Rusyd terhadap Agama dan Filsafat


Ibn

Rusyd

melandaskan pemikirannya

pada

sebuah

logika

bahwa mendamaikan dan mengharmonisasikan filsafat dan agama adalah


mungkin, apabila dapat dibuktikan kemustahilan adanya pertentangan orisinil
dan fundamental antara filsafat dan agama, dan bahwa syariat apabila
ditakwilkan secara benar akan sesuai dengan filsafat yang dipahami secara
benar pula, karena tujuan utama syariat agama adalah mengajarkan ilmu
yang benar dan amal yang benar pula.23
22
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 114.
23
Ibn Rusyd, FaUsl al-Maql f m bayna al-UHikmah wa al-Syarah al-IttiUsl,
ed. M. Imrah, (Kairo: Dr al-Marif, 1972), 54.

12

Ibn Rusyd memulai pemikirannya dengan tesis bahwa agama


mengharuskan belajar filsafat. Postulat-postulat yang terdapat dalam
preskripsi-preskripsi Qurni, yang tersurat pada banyak ayat dalam alQurn, di antaranya merekomendasikan keharusan naUzar (meneliti/analisa)
terhadap semua wujud dengan penalaran rasio, dan kemudian mengambil
pelajaran (itibr). Itibr menurutnya adalah menggali dan mengeluarkan
sesuatu yang majhl dari sesuatu yang malm, dan inilah qiys atau jalan
kepada qiys (analogi), maka wajib bagi manusia Muslim menjadikan proses
penalaran terhadap wujud-wujud yang ada melalui analogi rasional. 24 Pada
tingkat kesempurnaan analogi rasional, oleh Ibn Rusyd dikatakan sebagai
demonstrasi (burhn)25
Ada dua hal yang membantu Ibn Rusyd untuk mencari harmonisasi
antara filsafat dan agama: Pertama, pembedaan al-Qurn terhadap ayatayatnya yang telah diakui oleh para ahli tafsir (mufassirn) sejak zaman alTabr (w. 923) menjadi ayat-ayat mutasybiht dan ayat-ayat muUhkamt;
Kedua, tidak adanya otoritas pengajaran dalam Islam Sunni yang mempunyai
hak untuk menentukan doktrin iman. Hal pertama menunjukkan adanya
pengakuan bahwa sebahagian ayat-ayat al-Qurn yang diwahyukan tidak
mungkin dipahami secara literal, sementara hal kedua mengindikasikan

24
Ibn Rusyd, Fasl al-Maql, 23
25
Burhn dalam pengertian umum adalah setiap aktivitas rasional untuk
menentukan kebenaran suatu premis. Sedangkan dalam istilah mantiq (bersifat
logis), burhn adalah pendalaman atau kritik terhadap suatu proposisi, yakni,
usaha rasional untuk menentukan validitas premis dalam proses konklusi, dengan
terikat kepada premis-premis sebelumnya atau premis terdahulu yang sudah
diakui kebnarannya. bid al-Jbir, Bunyah al-Aql al-Arab, cet. III, (Beirt: alMarkaz al-Thaqf al-Arab, 1993), 383.

13

perlunya suatu otoritas yang dapat menjadi sandaran dalam penyelesaian


perselisihan mengenai doktrin agama.
Dalam kitab Fasl al-Maql yang secara kronologis lebih dahulu dari
kitab al-Kasyf -yang merinci metode-metode pembuktian relatif pada dogmadogma agama- milik Ibn Rusyd, ia mengatakan bahwa wahyu mempunyai sisi
yang jelas dan juga mempunyai sisi yang masih membutuhkan penafsiran
yang diperuntukkan pada setiap orang.26
Sementara tingkat kemampuan masing-masing orang dalam mencerna
wahyu berbeda berdasarkan tingkatan intelektualnya, maka untuk mengatasi
divergensi ummat, ia merumuskan formulasi kesetaraan dan keselarasan
filsafat dan agama dengan memunculkan tiga metode untuk memahami
agama sebagai pembenaran (tasdq), yang sesuai dengan tingkat kemampuan
intelektualitas manusia. Ketiga metode tersebut adalah metode demonstratif
(burhniyyah), dialektik (jadaliyyah) dan retorik (khattbiyyah)27 Sedangkan
dalam pembentukan konsep (tasawwur) untuk memahami agama atau syariat
Ibn Rusyd merumuskan dua metode yaitu melalui obyek itu sendiri dan obyek
lain yang semisal.28 Ketiga metode tasdq di atas, digunakan dalam memahami
al-Qurn dengan dasar asumsi bahwa al-Qurn yang diperuntukkan kepada
seluruh

umat

manusia

dalam

tiga

tingkatan

intelektualitas

harus

menggunakan tiga metode yang telah disebutkan (burhniyyah, jadaliyyah,


khattbiyyah). Setiap lapisan mencapai tingkatan pembenaran (tasdq) yang
26
Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah
Gusti, 2000), 128.

27
Ibn Rusyd, Fasl al-Maql, 55-59
28
Ibn Rusyd, Fasl al-Maql, 59

14

khusus bagi mereka, dan dianjurkan demi kebahagiaan anggota-anggota


masing-masing lapisan tersebut.29
Hal yang demikian, menurut Ibn Rusyd adalah pertanda kebijaksanaan
Allah yang berbicara kepada manusia melalui tingkat kemampuannya. Produk
takwil pada tingkat yang lebih tinggi tidak boleh disebarkan dalam lapisan
masyarakat yang tingkat kemampuan pemahamannya lebih rendah,30 karena
bisa menimbulkan fitnah dan menanam bibit perselisihan ummat. Sebagai
contoh, Ibn Rusyd menyatakan berulangkali bahwa orang-orang awam cukup
memahami ayat-ayat al-Qurn menurut makna lahirnya.
Ibn Rusyd mencoba mengharmonisasi semua pemahaman pada
lapisan-lapisan masyarakat Muslim bahwa sesungguhnya agama tidaklah
menentang adanya filsafat, karena masing-masing dalam aktualitasnya
saling mengisi dan secara fungsional berada dalam satu ikatan sinergis yang
bersifat kontributif Sejarah telah membuktikan bahwa sesungguhnya tidak
ada hal yang krusial dalam perbedaan agama dan filsafat, hal itu terjadi
justru karena kekeliruan dalam memahami agama dan filsafat itu sendiri,
yang menimbulkan penilaian yang tidak tepat terhadap keduanya.

C. Harmonisasi Antara Filsafat Dan Agama Dalam Islam


Sejarah perdebatan tentang hubungan antara iman (naql) dan
rasionalitas (aql) yang telah mewarnai filsafat Islam dan kalm, telah
menjadi objek kajian penting dalam rangka menganalisis dan menelusuri
partikel-partikel dari rancang-bangun pemikiran dalam Islam. Karena
29
Ibn Rusyd, Fasl al-Maql, 60-61
30
Ibn Rusyd, Fasl al-Maql, 61.

15

proses dan hasil perdebatan tersebut, telah melahirkan konsep-konsep


pemikiran yang didasarkan pada unsur rasionalitas dan wahyu (ayat alQurn) atau sinergi antara keduanya, yang dianggap oleh beberapa
peneliti sebagai puncak kejayaan pemikiran Islam klasik, karena telah
mewariskan banyak manuskrip dan tulisan yang menjadi referensi bagi
perkembangan pemikiran pada masa sesudahnya.
Dalam Islam, al-Qurn merupakan bentuk pewahyuan terakhir
sebagai diinginkan oleh Allah. Al-Qurn merupakan batang tubuh
(sumber) dari kebenaran, lantas bagaimana jika isi al-Qurn berbeda dari
pemikiran filosof? Sebagian besar teolog dan ahli fikih menolak argumen
filsafat. Hal itu, seperti telah beberapa kali disebutkan, berakibat terjadi
banyak penolakan terhadap filsafat di kalangan umat Islam. Padahal yang
dilakukan oleh para filosof adalah: Kita mempercayai Tuhan alam semesta
yang mengatasi alam yang tampak nyata. Untuk itulah dilahirkan argumenargumen sebagai usaha harmonisasi antara filsafat dan kepercayaan Islam.
Jika al-Qurn dalam pengertian literal, bertentangan dengan pemikiran
filsafat yang rasional, maka al-Qurn harus diinterpretasikan secara
alegoris.
Perdebatan tentang pola hubungan filsafat dan agama tidak hanya
terjadi dalam agama Islam. Thomas Aquinas misalnya, mengkritisi
beberapa teolog Kristen skolastik sebagai pengikut aliran Ibn Rusyd.
Mereka dikenal sebagai pengikut Rusyd Latin yang dinamakan
averroesme. Karakteristik pemikiran mereka dilatar-belakangi oleh doktrin
kebenaran ganda. Doktrin ini mempercayai adanya dua kebenaran yang
masing-masing berasal dari pemikiran para filosof yang dihasilkan melalui
penalaran demonstratif - tentu saja dengan metode deduksi - dan
kebenaran yang berasal dari wahyu. Dua kebenaran ini berbeda, namun
tidak akan terjadi pertentangan.
Ajaran semacam ini ditentang oleh Aquinas, karena dalam
pemikirannya, kebenaran itu haruslah satu. Jika tidak ada kesatuan
kebenaran, maka prinsip dasar logika sebagai aturan yang tidak
16

mempunyai kontradiksi, menjadi tidak berarti apa-apa. Di antara prinsip


dasar tersebut: Sebuah proposisi tidak bisa menjadi benar atau keliru
sekaligus. Contohnya, jika benar bahwa Tuhan menciptakan alam semesta
dari ketiadaan (dasar pemikiran teologi yang umum dalam Yahudi, Kristen,
Islam), maka argumen tentang eternalitas alam (pikiran Aristoteles)
niscaya keliru. Jadi menurut Aquinas, doktrin tentang kebenaran ganda
adalah doktrin yang mempunyai dasar logika yang absurd.31
Mengapa demikian, karena bagaimanapun juga, apakah Aquinas
sendiri yang memberi label bagi doktrin averroesme sebagai kebenaran
ganda, atau realitas kemudiannya. Sebahagian besar pemikir atau teolog
Kristen mensinyalir bahwa pemikiran Ibn Rusyd sebagai doktrin kebenaran
ganda, sebagai usaha mempertemukan iman dan akal, yang mengajarkan
bahwa pada akhirnya iman dan nalar tidak akan bertentangan. Pemikiran
ini sebenarnya tidaklah menjadi alasan untuk dikatakan adanya dua
kebenaran. Karena senyatanya, hanya ada satu kebenaran di balik dua
kebenaran tersebut. Maka jika ada pertentangan harus dijernihkan, dan
tugas

filosoflah

untuk

memperlihatkan

bagaimana

sesungguhnya

kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu menjadi sinergi yang harmonis.32
Dalam masyarakat Islam sendiri sejak awal, setelah filsafat Yunani
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan beredar secara bergelombang
dalam masyarakat Islam,33 muncul reaksi kontra produktif terhadap filsafat
yang dianggap sebagai ancaman bagi akidah Islam. Tantangan kuat datang
dari kelompok konservatif, khususnya dari kelompok ulama fikih yang
31
Gary E. Kessler, Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective, (Toronto:
Wadsworth Publishing Company, 1999), 431
32
Kessler, Philosophy of Religion, 431

17

sampai berkesimpulan bahwa filsafat, terutama dalam persoalan


metafisika yang menyentuh hakikat akidah yang diajarkan agama bisa
membawa kesesatan.34 Maka, terjadilah pro dan kontra dalam masyarakat
Islam tentang keabsahan dan kegunaan filsafat dalam konstalasi pemikiran
agama.
Sebenarnya, sebagaimana telah diulas terdahulu, usaha untuk
membangun argumen titik temu antara filsafat dan agama di dunia Timur
Islam, telah dimulai sejak al-Kind, sedangkan di bagian Barat Islam,
khususnya Andalus, baru ada setelahnya. Namun di Andalus para filosof
memulai usaha harmonisasi ini secara lebih serius dari apa yang di lakukan
di Timur Islam. Kendati di Timur telah lebih dahulu aktif dalam usaha
harmonisasi antara filsafat dan agama, namun tidak seorang pun di antara
mereka yang secara khusus menulis argumen kesetaraan dan harmonisasi
antara filsafat dan agama, baik berupa risalah maupun buku. Berbeda
dengan di Andalusia, para filosof Muslim mengkhususkan karya mereka
dalam membangun argumen harmonitas filsafat dan agama, di antaranya
ada yang berbentuk diktat, novel dan juga buku.
Pada masa terjadi penolakan terhadap filsafat di bagian Timur
Islam, terdapat toleransi yang cukup besar dalam berpikir. Kendati ada
penolakan terhadap filsafat, namun kehidupan dan aktivitas filsafat dan
para filosof tidak diusik. Sedangkan di bagian Barat, kondisi masyarakat
33
Penerjemahan secara besar-besaran karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab terjadi pada masa
Khalifah al-Mamn (813-833) dari Dinasti Abbsiyyah bersamaan dengan didirikannya bayt alhikmah. Penerjemah yang masyhur pada saat itu adalah seorang Arab Kristen yang ahli bahasa
Yunani, Hunain bin Ishq (809-873). W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam,
terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1979), 54.

34
Abd al-MaqsD Dd abd al-Ghan Abdul MaqsD Dd, Al-Tauq bayna al-Dn wa
al-Falsafah; Inda Falsifah al-Islm f al-Andalus, (Kairo: Maktabah al-Zuhar,
1993), 5.

18

masih berpola pikir tasub, pola pikir yang picik dan cenderung
primordial. Di samping itu, di Timur tidak ada represi politik dari penguasa
yang menentang filsafat, karena sebagaimana diketahui, khususnya pada
zaman Abbsiyyah, para Penguasa juga memahami filsafat. Sedangkan di
Barat Islam, doktrin keagamaan yang sempit masih menguasai pola pikir
kaum Muslim yang cenderung fundamental dan ekslusif Di bagian Timur
Islam, situasi yang kondusif tidak terlalu memaksa para pencinta filsafat
untuk mengkhususkan bahasan pada usaha harmonisasi secara khusus,
berbeda dengan yang terjadi di Barat Islam yang hidup di bawah
kekuasaan al-MurabitDn dan al-MuwahDhDidn yang masih berpikir
sempit dan menentang kebebasan berpikir.
Pola pikir yang sempit ini sampai pada titik nadir yang memaksa
para Penguasa mengikuti mereka untuk mendapatkan dukungan, dan
terpaksa meninggalkan para filosof yang sebelumnya dekat dengan
Penguasa, seperti yang dialami oleh Ibn Bajjah dan Ibn Rusyd.35 Dalam
situasi inilah para filosof terpaksa berupaya membangun pemikiran yang
mempertemukan antara Islam dan filsafat, yang bertujuan untuk
menyelamatkan posisi mereka sekaligus menerangkan kepada masyarakat
bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan agama.
Sebagian filosof ada yang membangun argumen berbentuk novel
filsafat seperti yang dihasilkan Ibn Tufayl (w. 581 H), dengan novel
filosofisnya Hai Ibn Yaqzn36, ia secara konsisten mencari solusi bagi
35
Abd al-Maqsd, Al-Taufq, 8
36
Hay Ibn Yaqzn telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-17; mengisahkan
seorang manusia bisa mencapai pengetahuan terhadap Allah walau dilahirkan sendirian di satu
pulau terpencil yang tidak dihuni oleh suatu masyarakat. Kisah ini bermula dari penerapan
rasionalitas dan berakhir dengan pandangan tentang olah jiwa melalui kasyf. Abbs Aqqd, Ibn
Rusyd, (Kairo: Dr al-Marif, tt), 15.

19

keterhubungan filsafat dan agama. Dengan sungguh-sungguh Ibn Tufayl


berusaha membuktikan bahwa rasionalitas filsafat tidaklah bertentangan
dengan spritualitas wahyu. Novel filsafat ini tidak memberi pengaruh yang
besar karena bahasa dan metode pemaparannya tidak mampu dipahami
oleh semua kalangan. Kendatipun demikian, Hay Ibn Yaqzn memberi dua
metode untuk sampai kepada pengetahuan: (1) metode rasional dan (2)
metode kasyf. Dalam novelnya tersebut, kedua metode ini dikombinasikan
oleh Ibn TDufayl dan dipraktikkan secara bersamaan: mengumpulkan
materialitas pengetahuan dengan panca indera, menyimpulkannya,
membuat kategorisasi universal dan partikular berdasarkan akal, dan
kemudian mencari esensi dan penjiwaan terhadap pengetahuan dengan
metode kasyf.37
Sedangkan Ibn Masarrah, dalam membangun argumen titik temu
filsafat dan agama, menyimpulkan bahwa wahyu dan akal adalah dua jalan
atau dua metode dalam mencapai pengetahuan yang hakiki (Tuhan).
Kedua metode ini dibedakan dalam tata kerja: (1) Wahyu dimulai dari
Allah yang turun sampai ke alam, sedangkan (2) akal sebaliknya bermula
dari bawah untuk sampai ke derajat hakikat pengetahuan yang tertinggi.
Di sinilah pertemuan keduanya dalam menangkap hakikat tertinggi yang
mesti diketahui oleh manusia: metode wahyu yang transform ke bawah
dan akal yang secara vertikal menuju ke atas. Ibn Masarrah mengatakan:
setiap sesuatu yang diciptakan merupakan objek pemikiran. Allah telah
membebaskan manusia untuk berpikir memperhatikan langit dan bumi
seperti dimaksudkan oleh wahyu yang dibawa kenabian; bahwa alam yang
teratur dan berpasang-pasangan ini tidak diciptakan secara sia-sia. Ibn
Masarrah kemudian sampai pada kesimpulan premisnya terhadap orangorang

yang

berpikir:

Mereka

mendapat

gambaran

berdasarkan

37
Muhammad Atf al-Irq, Qissah al-Niz bayna al-Dn wa al-Falsafah, (Kairo: Maktabah Misr,
tt.), 268-269.

20

pencermatan terhadap suatu objek pengetahuan dan memutuskan apakah


pengetahuan itu valid sesuai dengan proses tabr, kemudian diperkuat
secara demonstratif untuk mendatangkan keyakinan, maka hatipun
semakin kuat terhadap hakikat keimanan.38 Jadi, filsafat dan agama jika
dilihat dari tujuannya, tetap tidak bertentangan.
Usaha paling besar untuk mengharmonisasi filsafat dan agama
dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Ibn Rusyd, yang secara khusus
menulis satu buku berjudul Fasl al-Maql f m bayna al-Syarah wa alHikmah min al-Ittisl. Buku ini secara kuat merefleksikan kekuatan
argumen mengenai pertautan antara syara dan akal, sebagai pertautan
antara filsafat atau hikmah dengan syariat yang kemudian diteruskannya
secara terperinci dalam kitabnya Al-Kasyf an Manhij al-Adillah f
Aqid al-Millah. Tulisan khusus ini kemudian, tidak hanya digunakan
pencinta filsafat di Andalus, tetapi juga di Timur Islam, sehingga boleh
dikatakan tidak satupun filosof Muslim melakukan pembelaan filosofis
sekuat apa yang telah dilakukan Ibn Rusyd.

D. Posisi Filsafat Menurut Syariat


Sebelum sampai kepada analisis mengenai argumen-argumen Ibn
Rusyd tentang pembuktian eksistensi Tuhan melalui piranti rasio, maka
terlebih dahulu akan dipaparkan pandangan umum Ibn Rusyd tentang posisi
filsafat menurut syariat dalam pola hubungan antara filsafat dan Agama,
sebagaimana dikatakan
Madjid Fakhr, merupakan isu penting filsafat Islam sejak masa alKind, yang telah menghasut para teolog untuk menyerang para filosof dan

38
AtDf al-Irq, Al-Nuzah, 12-13.

21

telah menciptakan bayangan hitam di atas seluruh upaya pemilsafatan di


negara-negara Muslim.39
Salah satu aspek argumentatif yang menjadi starting point argumen
tentang harmonisasi antara agama dan filsafat, bahwa Ibn Rusyd
mempercayai apa yang disebut sebagai kesatuan seluruh kebenaran, yang
merupakan jalan paling valid di mana para filosof bisa menjustifikasi
aktivitas filsafat mereka dan meredakan amarah para teolog, dan memuaskan
kehendak pemikiran pada koherensi internal seorang filosof Muslim.40 Proses
tindak lanjut postulat tersebut, bahwa kebenaran filosofis yang dihasilkan
melalui penyelidikan rasional, pada dasarnya sama dengan kebenaran agama
yang didasarkan oleh wahyu.41
Dalam hal ini, Ibn Rusyd mulai dengan menyimpulkan dan
menganalisis tujuan utama dari syariat. Menurutnya, tujuan syariat adalah
mengajarkan ilmu yang benar dan amal yang benar pula. Ilmu yang benar
adalah pengetahuan tentang pengenalan kepada Allah yang Maha Suci dan
Maha Tinggi, pengenalan terhadap segala yang ada berdasarkan
realitasnya. Terutama wujud mulya di antara segala wujud itu, dan
pengenalan kepada pahala dan siksa ukhrawi. Adapun amal yang benar
menurut Ibn Rusyd, adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
membawa kepada kebahagiaan dan menjauhi semua aktivitas yang
39
Madjd Fakhr, A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press, 1983),
276-277.

40
Madjd Fakhr, A History, 177.

41
M. E. Marmura (ed.), Islamic Theology and Philosophy, (Albany: State University of New York
Press, 1984), 192.

22

mempunyai konsekuensi penderitaan. Sedangkan pengetahuan tentang


semua perbuatan ini disebut sebagai pengetahuan praktis (al-ilm
al-amal).42
Perbuatan-perbuatan ini dapat dibagi ke dalam dua bagian: Pertama,
perbuatan-perbuatan fisik yang sifatnya lahiriah. Ilmu pengetahuan
mengenai tingkah laku inilah yang dinamakan ilmu fikih (yurisprudensi);
Kedua, perbuatan-perbuatan yang sifatnya psikis-spritual, seperti rasa
syukur, sabar dan aktivitas tindak moral lainnya yang dianjurkan atau
dilarang oleh syariat. Pengetahuan mengenai perbuatan-perbuatan ini
dinamakan zuhd (asketisme) dan ilmu-ilmu akhirat. Ke arah ilmu
pengetahuan jenis inilah Abu DHmid al-Ghazl memfokuskan diri dalam
kitab Ihy Ulm al-Dn.43
Jika tujuan utama syariat adalah mengajarkan ilmu yang benar dan
amal yang benar pula, maka oleh para ulama kalm dan filosof,
pembelajaran tentang syariat terdiri dari dua bagian: (1) yang berkenaan
dengan pembentukan konsep (tasawwur) dan (2) yang berkenaan dengan
pembuktian kebenaran konsep tersebut (tasdq).
Dalam pembentukan konsep, metode-metode dibangun melalui dua
cara: Pertama, melaui objek itu sendiri, atau kedua, melalui objek lain yang
semisal. Sedangkan metode yang bisa dipergunakan manusia untuk
melakukan pembuktian ada tiga macam: (1) metode burhniyyah
(demonstrasi)

(2)

metode

jadaliyyah

(dialektik)

dan

(3)

metode

khattbiyyah (retorika).44

42
Ibn Rusyd, FaUsl al-Maql fm bayna al- Hikmah wa al-Syar`ah min al-Ittisl, ed. M. Imrah,
(Kairo: Dr al-Marif, 1972), 54.

43
Ibn Rusyd, FaUsl al-Maql, 55.

23

Tetapi harus disadari, tidak semua orang memiliki kapasitas untuk


menyerap argumen-argumen burhn. Terhadap argumen-argumen jadal
saja sudah ada batasan -artinya tidak semua orang mampu memahaminyaapalagi argumen-argumen demonstrasi atau burhniyyah. Bagi orang yang
berbakat sekalipun, terasa sulit dan memerlukan waktu panjang untuk
menguasainya. Oleh karena hal-hal di atas, dan mengingat syariat sendiri
mempunyai tujuan untuk mengajar semua orang tanpa istithn, maka sudah
seharusnya syariat mencakup semua metode pembuktian kebenaran
(tasdq) maupun metode pembuktian konsep (tasawwur).
Metode-metode pembuktian kebenaran tersebut ada yang secara
umum dikonsumsikan bagi kelompok besar manusia (orang awam) -sebagai
sarana untuk menerima kebenaran- yaitu metode retorik (khattbiyyah), dan
metode dialektik (jadaliyyah). Dalam hal ini, metode retorik lebih umum
jika dibandingkan dengan metode dialektik. Ada pula metode pembuktian
kebenaran yang secara spesifik dikonsumsikan bagi sekelompok kecil
manusia, yaitu metode demontrasi (burhniyyah).
Karena tujuan utama syariat memberikan porsi perhatian terbesar
kepada kelompok luas atau kelompok mayoritas umat - walau tidak dengan
melupakan perhatian khusus kepada orang-orang tertentu - maka sebahagian
besar metode yang paling sering diungkapkan dalam syariat adalah metodemetode yang secara umum menjadi milik atau diperuntukkan kepada
kelompok mayoritas manusia dalam pembentukan konsep dan pembuktian

44
Ibn Rusyd, FaUsl al-Maql, 55.

24

kebenaran mereka sendiri.45 Dalam konteks syariat, metode-metode ini


terbagi menjadi empat kategori:
Pertama, metode yang sekalipun bersifat umum, namun sekaligus
bersifat khusus juga dalam pembentukan konsep dan pembuktian
kebenarannya,

yakni,

metode

yang

kebenarannya)

dalam

pembentukan

bersifat
konsep

yaqn

(dipastikan

maupun

pembuktian

kebenarannya, meskipun dalam bentuk retorik atau dealiktik. Inilah jenis


sillogisme (al-maqyis) yang mencapai tingkat kepastian, sekalipun premispremis yang diketengahkannya bersifat masyhr (benar karena dukungan
pendapat umum) atau mazmm (benar karena dugaan atau opini umum).
Konklusi-konklusinya diambil dari dirinya sendiri secara langsung, bukan
dari perumpamaan-perumpamaannya. Argumen-argumen syariat semacam
ini tidak membutuhkan takwil lagi.
Kedua, metode-metode yang premis-premisnya, sekalipun bersifat
masyhr atau maUzmm, namun kebenarannya mencapai tingkat pasti
(yaqn). Metode ini konklusinya diambil dari perumpamaan-perumpamaan
bagi objek-objek yang menjadi tujuannya. Konklusi-konklusi ini terbuka
untuk ditafsirkan.
Ketiga, metode yang konklusinya berupa objek-objek yang hendak
disimpulkan itu sendiri, sedangkan premis-premisnya bersifat masyhr atau
maUzmm, tanpa membuka kemungkinan untuk mencapai tingkat yaqn,
kategori ini konklusinya tidak membutuhkan takwil, sekalipun seringkali
takwil terjadi pada premis-premisnya.
Keempat, metode yang premis-premisnya bersifat masyhr atau
maUzmm, tanpa membuka kemungkinan untuk mencapai tingkat yaqn,
dan konklusi-konklusinya berupa perumpamaan-perumpamaan bagi objekobjek yang dituju. Bagi orang- tertentu, metode ini harus ditakwilkan.
45
Ibn Rusyd, Tahfut al-Tahfut, jil. I, ed. Sulaiman Dunia, (Kairo: Dr al-Marif,
1968), 26

25

Sedangkan bagi kebanyakan orang, harus diartikan menurut makna


lahiriahnya saja.46
Secara global, semua kategori di atas mempunyai indikator
kemungkinan untuk penakwilan, namun penafsiran atau takwil tidak
mungkin dilakukan kecuali dengan metode demonstrasi (burhniyyah).
Dalam hal ini menurut Ibn Rusyd, menjadi kewajiban orang-orang tertentu
(al-khawws) untuk memberikan takwil terhadapnya, sedangkan bagi
kebanyakan orang (jumhr) berkewajiban untuk memahaminya sesuai
dengan makna lahiriahnya belaka, baik dalam pembentukan konsep
(tasawwur) maupun pembuktian kebenaran (tasdq), karena memang
kapasitas-kapabilitas mereka belum mencapai tingkat demonstratif.
Mereka yang mendalami syariat kadang-kadang terdorong untuk
melakukan takwil karena keunggulan salah satu metode umum atas metode
metode lainnya dalam kebenaran. Hal ini terjadi apabila pembuktian melalui
takwil lebih memuaskan dari pemahaman secara lahiriah. Berbagai contoh
takwil semacam ini bisa saja menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh
mereka yang mempunyai kemampuan penalaran retorik apabila telah
mencapai tingkat kemampuan dialektik. Dalam kategori inilah dapat
dimasukkan

takwil-takwil

yang

dilakukan

kaum

Asyariyyah

dan

Mutazilah, namun dalam banyak hal, argumen-argumen Mutazilah lebih


tepat dijadikan pegangan.
Adapun orang-orang kebanyakan (jumhr), yang memang kapasitas
kemampuan mereka tidak melebihi argumen retorik, hanya berkewajiban
memahami makna lahiriahnya. Mereka ini sama sekali tidak boleh mengenal
takwil apapun, karena kemampuan mereka tidak akan sampai kepada
pemahaman di atasnya, dan bisa berimplikasi negatif bagi heterogenitas
pemahaman yang ada, karena ketika orang awam menemukan argumen46
Ibn Rusyd, Fasl al-Maql, 56-57

26

argumen yang lebih tinggi dan tidak mampu menyelaminya, akan


menimbulkan fitnah dan praduga terhadap argumen itu sendiri.
Maka Ibn Rusyd menyesalkan apa yang dilakukan oleh al-Ghazl dan
para teolog yang menyebarkan hasil pemikiran dan penalaran mereka untuk
konsumsi umum.47 Jika dianalisis, terdapat keanehan, karena pada dasarnya,
al-Ghazl memahami keragaman tingkat intelektualitas umat, bahkan dalam
kitab Al-Qists al-Mustaqm al-Ghazl secara jelas membedakan tingkatan
pemahaman keagamaan sebagai Awwm, Khawws, Khawws alkhawws.48 Hal ini sekaligus menjadi indikator kelemahan metodologis alGhazl dalam pembelajaran syariat dan pemikiran keagamaan. Ia
mengetahui devergensi ummat Islam secara teoritis, namun pada tahap
praksis metodologis menolak klasifikasi teoritis yang ia bangun sendiri.
Secara normatif, syara telah mengisyaratkan kemestian penelitian
dengan akal terhadap keseluruhan mawjdt dengan membuat itibr, dan i
tibr itu pada tingkat dasar tidak lebih dari mengambil kesimpulan dari
sesuatu yang majhl dari suatu yang telah diketahui dan mengekspresikannya
sebagai qiys. Maka dengan qiys kita bisa menjadikan penelitian kita
terhadap mawjdt secara rasional, artinya, penelitian yang dianjurkan oleh
syara adalah untuk menyempurnakan rangkaian penelitian dengan
rangkaian qiys yang disebut sebagai proses burhn.49
47
Ibn Rusyd, Tahfut 28.
48
Ibn Rusyd, Tahfut, 29.
49
Mahmd Al Sabh (Ed.), Falsafah Ibn Rusyd; Fasl al-Maql wa al-Kasyf an Manhij alAdillah, cet. II, (Kairo: al-Matbaah al-Mahmdiyyah al-Tijriyyah, 1935), 10.

27

Secara konklusif, syara telah secara jelas mewajibkan untuk


mengetahui Allah dan segala ciptaannya dengan proses burhn, maka,
merupakan hal urgen bagi siapapun yang ingin mengetahui Allah dan
keseluruhan ciptaannya secara burhn, harus terlebih dahulu untuk
mengetahui jenis-jenis burhn dan syarat-syaratnya, yang akan membedakan
antara qiys burhn, qiys jadal dan qiys khattb serta qiys sofistik. Apa
yang bisa disebut qiys dan apa yang tidak. Hal ini tidak mungkin dicapai
tanpa mengetahui terlebih dahulu berbagai unsur dari susunan qiys, yakni:
premis-premis dan berbagai macamnya.
Seperti ahli fikih misalnya, dapat menyimpulkan -berdasarkan
perintah agama untuk tafaqquh atau mendalami pengetahuan dalam hukum
Islam- adanya kewajiban mengetahui sillogisme fikih (al-maqyis alfiqhiyyah) dalam berbagai bentuknya, mana yang benar-benar qiys dan
mana yang bukan. Demikian pula bagi seseorang yang ingin mengenal
Tuhan, harus menyimpulkan -perintah untuk meneliti segala yang wujudadanya kewajiban mengetahui analogi rasional dan berbagai bentuknya. Jika
seorang ahli fikih bisa melakukan takwil, seberapa besar ahli burhn
memiliki kapabilitas takwil?50 Ibn Rusyd menegaskan, seorang filosof lebih
berhak untuk membuat analogi, karena apabila seorang ahli fikih
menyimpulkan dari ayat al-Qurn maka berpikirlah hai orang-orang yang
berakal budi sebagai adanya kewajiban mengetahui qiys fikih, maka para
filosofpun seharusnya lebih berhak untuk mengambil kesimpulan adanya
kewajiban mengetahui analogi rasional dalam rangka mengetahui Allah.
Proses penalaran rasional semacam ini tidak dapat dikatakan sebagai bidah,
hanya karena tidak ditemui pada generasi Muslim pertama.
Al-Qurn sendiri memotivasi pengkajian terhadap sesuatu secara
rasional (Q.59:2; 7:184). Maka oleh Ibn Rusyd disimpulkan bahwa
50
Abbs al-Aqqd, Ibn Rusyd, 61

28

kebenaran tidak dapat menentang kebenaran, dan oleh karena itu, adalah
sah untuk menyatukan apa yang telah diterima oleh akal (maql) dan hal
hal yang ditunjukkan oleh wahyu (manql).51 Untuk melengkapi ini, Ibn
Rusyd mengambil perbedaan yang digambarkan oleh ahli mistik antara
makna jelas dan makna batin dengan penafsiran alegoris (takwil) sebagai
suatu akibat yang wajar. Sunguhpun, penafsiran itu sendiri masih dalam
kerangka rasionalitas, dan secara sederhana bertujuan menghindarkan
ketidak-salihan dan bidah yang lahir dari faham anthropomorphisme.
Proses penakwilan itu sendiri (1) hanya mungkin jika kata-kata dari teks
tersebut jika diletakkan dalam pengertian literalnya, tidak mempunyai
makna yang jelas. Kemudian, beberapa dogma yang dikemukakan ini tidak
menampilkan masalah linguistik, dengan demikian jauh di luar komentar
literalnya; (2) harus mengikuti dengan tepat aturan-aturan normal bahasa
Arab mengenai metafora, dan (3) penerapannya bergantung baik pada
tingkatan intelektualitas dari orang-orang yang terlibat maupun pada tipe
metafora yang dipersoalkan. Jika ide yang diungkapkan dengan citra yang
sulit dipahami, maka penafsiran hanya diperkenankan kepada pribadipribadi yang terdidik. Jika hal itu mudah untuk dipahami, setiap orang wajib
mempelajarinya.

E. Metode Takwil Sebagai Jalan Harmonisasi


Ayat-ayat yang mengandung tasybh (anthropomorphism) yang
banyak terdapat dalam al-Qurn, memang telah sejak awal menimbulkan
problem mengenai kesatuan kebenaran antara filsafat dan agama. Seperti
isyarat-isyarat

al-Qurn

tentang

persemayaman

Tuhan

di

atas

singgasana (Q.7:54; 20:5) dan dapatnya Tuhan dilihat pada hari kiamat
(Q.75:23), untuk menyebut dua contoh penting dari ayat-ayat yang
51
Ibn Rusyd, Fa Dsl, 33.

29

mengandung tasybh ini, telah mendorong para mutakallimn yang


cenderung menggunakan metode-metode rasional sejak zaman Wasl bin
Atta (w. 748) untuk melakukan penakwilan terhadap ayat-ayat ini dengan
tetap mempertahankan immaterialitas Tuhan tanpa mengorbankan
kandungan intelektualnya secara umum. Atas dasar itu para ulama kalm
dari

golongan

persemayaman

Mutazilah
(istiw)

dan

penerus-penerusnya

sebagai

simbol

dari

menakwilkan
kemenyendirian

(transendensi) Tuhan dalam memiliki kekuasaan, dan melihat wajah


Tuhan (beatific vision) sebagai per-lambangan kasyf Sufi, demikian
selanjutnya. Sedangkan ahli-ahli hadth dan tafsir dari golongan literalis,
seperti Imam Malik (w.790) dan Imam ADhmad (w. 855), tidak merasa
terganggu

oleh

adanya

ayat-ayat

yang

mengandung

tasybh

(anthropomorphism), dengan keimanan yang bersifat mutlak terhadap


kesucian nasD-nasD al-Qurn mereka puas menerima kebenaran ayat-ayat
tanpa reserve.52 Sikap kaum literalis ini tidak memuaskan bagi kalangan
ulama-ulama kalm yang menggunakan metode rasional, dan filosof. Ibn
Rusyd yang juga tidak diragukan keimanannya yakin betul terhadap
kesatuan kebenaran sebagai proposisi aksiomatis. Proposisi aksiomatis ini
tidak hanya mengandung keharusan penakwilan,53 tetapi juga mengandung
kesetaraan filsafat dan syariat atau aka dan wahyu sebagai sumber primer
kebenaran orisinil. Di antara persyaratan takwil adalah, bahwa al-Qurn
yang diperuntukkan kepada seluruh umat manusia dalam tiga tingkatan
intelektualitas harus menggunakan tiga metode yang telah disebutkan
52
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Khairus Salim, (Jakarta: LKIS, 1993), 34-35.

53
Makna takwil adalah makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz (kata) yang keluar dari
konotasinya yang hakiki (real/substansial) kepada makna majaz (metafora/essensial) dengan suatu
cara yang tidak melanggar tata bahasa Arab dalam membuat metafora. Ibn Rusyd, Fasl al-Maql,
33.

30

(burhniyyah-jadaliyyah-khattbiyyah), setiap lapisan mencapai tingkatan


pembenaran (tasdq) yang khusus bagi mereka dan dituntut demi
kebahagiaan anggota-anggota masing-masing lapisan tersebut. Hal ini
menurut Ibn Rusyd adalah pertanda kebijaksanaan Allah yang berbicara
kepada manusia melalui tingkat kemampuannya.54 Takwil pada tingkat
yang lebih tinggi tidak boleh disebarkan dalam lapisan masyarakat yang
tingkat kemampuan pemahamannya rendah, sebab bisa menimbulkan
fitnah dan menanam bibit perselisihan ummat. Ibn Rusyd menyatakan
berulangkali bahwa orang-orang awam cukup memahami ayat-ayat alQurn menurut makna lahirnya
Ibn Rusyd melihat bahwa takwil menjadi sesuatu yang mutlak
dibutuhkan bagi para ilmuan rasional, jauh lebih mendesak dibandingkan
para ahli hukum sendiri. Sebab menurutnya, para ilmuan rasional lebih
memiliki kapasitas dan lebih refresentatif untuk melakukan takwil, di
samping faktor-faktor yang mengharuskan mereka untuk menempuhnya,
yang tidak dapat dibandingkan dengan faktor yang mendorong para ahli
hukum dalam konteks ini.
Ibn Rusyd menyatakan bahwa metode takwil adalah satu-satunya
jalan keluar untuk menghilangkan segala bentuk konflik yang muncul
dalam pemahaman agama. Pertentangan antara makna-makna lahiriah
(tekstual) pada sebagian nasD agama dengan realitas objektif yang dicapai
melalui proses penalaran para ilmuan rasional dan mereka yang aktif dalam
berfilsafat. Maka, ia memastikan betapa refresentatifnya metode penalaran
atau takwil ini dipraktikkan pada setiap kasus yang memperlihatkan
fenomena pertentangan dengan konklusi-konklusi burhn.
Pengertian takwil yang didefinisikan oleh Ibn Rusyd adalah
mengeluarkan makna konotatif suatu lafaDz dari konotasi rielnya kepada
54
Ibn Rusyd, Fasl al-Maql, 9.

31

konotasi

metaforiknya tanpa melanggar tradisi

orang Arab

dalam

membuat metafora.55 Hal ini dilakukan, misalnya dengan menyebutkan


sesuatu yang lain yang menyerupainya, atau menjadi sebab atau akibatnya,
atau menjadi komperasinya. Adapun illah yang mengharuskan pemakaian
takwil atau penalaran bagi ilmuan rasional jauh lebih banyak dari alasan
yang mendorong para ahli fikih untuk melakukannya. Hal ini selaras
dengan perbedaan antara jenis qiys (analogi) yang ada pada masingmasing pihak. Kalau memang diperbolehkan seorang ahli fikih untuk
mempergunakan qiys Uzann dalam melakukan takwil, maka langkah
lebih

refresentatif

bagi

seorang

pemilik

metode

burhn

untuk

mempergunakannya, karena ia memiliki qiys yaqn.


Ibn Rusyd memastikan bahwa konklusi apapun yang dihasilkan
oleh metode burhn (demonstrasi) apabila bertentangan dengan makna
lahir teks syariat, maka makna lahir teks tersebut menjadi terbuka untuk
menerima penakwilan menurut tradisi penakwilan bahasa Arab yang ada.
Dan keyakinan akan kebenarannya semakin bertambah apabila seorang
menekuni dan menguji pernyataan ini, lalu menjadikannya sebagai sarana
pencapaian untuk mengintegrasikan hal-hal yang rasional dan wahyu.
Rusyd juga menyatakan, makna lahir apapun juga yang terdapat di dalam
teks syariat secara lahiriah bertentangan dengan suatu makna yang
disimpulkan oleh metode burhn, kemudian makna lahir syariat itu
diteliti dan ditelaah semua bagian dan partikelnya, maka pada teks-teks
syariat itu sendiri akan didapatkan kesimpulan-kesimpulan yang secara
lahiriah mendukung adanya proses penakwilan semacam ini, atau minimal
tidak ada penolakan terhadap takwil. Karena kenyataan inilah maka kaum
Muslimin berijmak atau bersepakat tanpa kecuali, bahwa pada dasarnya
tidak ada kewajiban untuk memahami makna lafaDz syariat kepada
55
Ibn Rusyd, Fasl al-Maql, 32.

32

makna lahiriah seluruhnya atau mencerabut semua lafaDz dari makna


tekstualnya. Mereka juga berselisih mengenai mana antara lafaDz-lafaDz
itu yang menerima takwil dan mana yang tidak.
Yang menyebabkan syariat itu sendiri mengandung makna lahir
(eksoteris) dan makna batin (esoteris), disebabkan adanya keanekaragaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakteristik mereka
dalam menerima atau membuktikan kebenaran. Dan mengapa syariat
sendiri membawa makna-makna tekstual yang kelihatannya saling
bertentangan?, oleh Ibn Rusyd, hal itu adalah untuk menarik perhatian
kaum intelektual yang mendalam ilmunya (al-rsikhn fi al-ilm) agar
melakukan penakwilan yang menggabungkan makna-makna tekstual yang
tampaknya bertentangan tersebut. Makna inilah yang diisyaratkan oleh
Allah sebagai: Ialah yang menurunkan kepadamu (MuDhammad) sebuah
kitab suci, di dalamnya ada ayat-ayat muhkamt, dan yang lainnya
mutasybiht 56
Jika seseorang mengatakan bahwa sesungguhnya dalam syariat
sendiri terdapat hal-hal yang oleh umat Islam telah disepakati untuk
diartikan secara tekstual, ada yang membutuhkan takwil, dan ada juga yang
masih diperselisihkan antara makna takwil dan makna tekstual. Lalu
bolehkah metode burhn diterapkan untuk menakwilkan hal-hal yang telah
disepakati untuk diartikan secara tekstual? atau mengartikan secara
tekstual hal-hal yang telah mereka sepakati untuk ditakwilkan?
Ibn Rusyd menjawab pertanyaan ini dengan menyatakan: Kalau
memang ijmak tersebut terjadi melalui proses yang pasti dan meyakinkan,
maka cara-cara di atas tidak boleh dilakukan. Tetapi kalau memang ijmak

56
Al-Qurn; Ali Imrn: 7

33

terjadi melalui proses yang tidak pasti dan meyakinkan, maka boleh saja
cara-cara di atas dilakukan.57
Sejarah sendiri mengungkapkan bahwa banyak ulama generasi
pertama yang berpendapat bahwa syariat memang mengandung makna
eksoteris dan makna esoteris. Dan bagi mereka yang berkemampuan
kurang memadai dalam memahami makna-makna itu, tidak diharuskan
mempelajarinya. Dalam hal ini, contohnya adalah berita yang diriwayatkan
oleh Bukhri dari sahabat Al bin Abi Tlib, bahwa Allah berkata:
Berbicaralah kepada manusia berdasarkan kapasitas pengetahuan mereka.
Apakah kalian ingin agar Allah dan Rasulnya didustakan orang?
Demikian pula riwayat lain yang disampaikan oleh sekelompok orangorang salaf.58
Karena itu, bagaimana mungkin dapat dibayangkan adanya ijmak
mengenai satu permasalahan teoritik yang benar-benar sampai ke masa
yang jauh sesudahnya. Padahal tidak ada dalam sejarah, di mana para
ulamanya, tidak seorang pun berpendapat bahwa dalam syariat itu sendiri
sebenarnya tidak perlu diketahui maknanya secara esensial. Sebaliknya
berbeda dengan yang terjadi di bidang amaliah (praktis-aplikatif). Semua
orang berpendapat tentang perlunya suatu kesepahaman umum untuk
menyebarluaskannya kepada semua kalangan secara sama. Untuk
meyakinkan telah terjadinya ijmak dalam hal ini, sudah cukup apabila
beredar luas, dan tidak ada informasi yang menyatakan terjadi perselisihan
dalam masalah tersebut. Cara seperti ini adalah memadai bagi terjadinya

57
Ibn Rusyd, FaUsl al-maql, 34
58
Ibn Rusyd, FaUsl al-Maql, 35

34

ijmak dalam hal-hal yang bersifat amaliah, tapi tidak demikian terhadap
hal-hal yang bersifat teoritik.
Kompetensi Ibn Rusyd dalam membicarakan takwil beserta
partikularisasinya berkaitan dengan upayanya untuk menerapkan kaedah
dan metode ini terhadap isu sentral yang menjadi ajang konflik antara para
filosof dan mutakallimn. Jadi ketika menyinggung bahwa kaum Asyar
dan Mutazil melakukan takwil sebagian teks syariat, juga ketika ia
menukilkan al-Ghazl yang dalam kitabnya Faisal al-Tafriqah bayna alIslm wa al-Zindqiyyah berbicara mengenai lima tingkatan wujud: dht
(esensi) hiss (inderawi) khayyl (imaginatif), aql (rasional) dan syabah
(metaforik), dengan semua ini seolah-olah Ibn Rusyd ingin mengatakan
bahwa yang urgen bukanlah sah atau tidaknya melakukakan takwil
ataukah bersifat wajib, juga bukan pada jumlah tingkatan wujud yang
menyebabkan kafir tidaknya seseorang, yang misalnya menerima
kebenaran berita-berita ukhrawi menurut satu tingkatan tertentu.
Proses penakwilan menurut Ibn Rusyd adalah memunculkan
pengertian suatu lafadz dari konotasi rielnya untuk mendapatkan konotasi
metaforiknya. Proses penakwilan juga dalam koridor tradisi gramatika dan
kultur filologi masyarakat Arab dalam membuat ungkapan-ungkapan yang
bersifat metaforik. Misalnya, menyebutkan sesuatu dengan sebutan
tertentu lainnya karena adanya faktor kemiripan atau menjadi sebab atau
akibatnya, atau sesuatu tersebut menjadi bandingannya,
faktor

lain

yang

diuraikan

secara

rinci

atau

faktor-

dalam pembahasan dan

berbagai ungkapan metaforik.59


Jika dilihat dari terminologi di atas, akan timbul suatu kesimpulan:
Apabila ahli fikih banyak mempraktikkan cara takwil seperti ini dalam
hukum-hukum syariat, dan mutakallimn melakukan takwil dalam
59
Ibn Rusyd, Fasl al-Maql, 32.

35

merasionalisasikan eksistensi Allah, maka sebenarnya jauh lebih patut bagi


ahli ilmu burhn untuk menempuh cara-cara takwil semacam itu.
Logikanya, seorang ahli fikih dan ahli kalam hanya memiliki qiys zann
(sifatnya perkiraan belaka), sedangkan seorang filosof yang rif memiliki
qiys yaqn.

F. Pososi Strategis Agama dan Filsafat


Setelah membangun konsep harmonisasi antara filsafat dan agama,
dengan membuat argumen-argumen yang bisa membenarkan filsafat dari
kacamata sudut syariat, yang melahirkan konklusi bahwa agama Islam
tidak menentang filsafat, bahkan secara metaforik justru mengharuskan
adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat filosofis dan argumentatif.
Berdasarkan

konklusi

tersebut,

maka

argumen-argumen

filosofis

berdasarkan objek-objek bahasannyapun tidak ditentang oleh agama


Islam. Untuk seterusnya akan dipaparkan pemikiran filosofis Ibn Rusyd
tentang persoalan fundamental dalam filsafat yang juga menjadi fokus
utama dalam agama dan pemikiran keagamaan, yaitu: Tuhan.
Ibn Rusyd tidak hanya menunjukkan bahwa filsafat dan agama itu
selaras, tetapi ia juga, seperti yang dikatakan Oliver Leaman: Mencoba
menetapkan posisi yang jauh lebih kuat, bahwa agama membutuhkan
filsafat.60 Jika fungsi filsafat tidak lain merupakan penyelidikan terhadap
mawjdt yang mengarah pada pembuktian eksistensi sang Pencipta (alSni), maka syariat menganjurkan penyelidikan seperti itu.61 Dengan
60
Oliver Leaman, An Introduction to Islamic Philosophy, (Cambridge: Cambridgety Press, 1985),
170.

61
Ibn Rusyd, Fasl al-Maql, 2.

36

kata lain, jika studi teleologis tentang dunia semesta adalah filsafat, dan
jika syariat memerintahkan studi seperti itu, maka syariat membutuhkan
filsafat.62 Premis-premis di atas bahkan secara substansial mengandung
pesan etis yang jauh kedepan, bahwa agama juga tidak bertentangan dengan
sains, sebagaimana kemudian hari John Hedley Brooke menyimpulkan
bahwa agama dan sains tidak akan bertentangan.63
Dengan kepercayaan yang konsisten bahwa filsafat tidak pernah
akan bertentangan dengan agama, bahkan agama membutuhkan filsafat,
Ibn Rusyd lalu membangun argumen rasional untuk membuktikan adanya
Tuhan, dengan menggunakan apa yang ia sebut sebagai metode rasional
yang sesuai dengan al-Qurn.
Sebagaimana terlihat, Ibn Tufayl di sejumlah tahap-tahap awal
pemikirannya, membuat kebingungan pembacanya dengan Hay Ibn Yazn
dengan mencangkok sebuah pandangan baru yang sama sekali asing -yaitu
pandangan illuminisme sebagai kombinasi rasionalisme. Sementara, Ibn
Rusyd mengambil pandangan rasionalisme dan menolak segala bentuk
pengakuan untuk mentransendenkannya,

memandang analisis

atas

pemikiran itu sebagai puncak tertingginya. Kendati sedikit banyak


dipengaruhi oleh Ibn Tumart yang mengajukan pembuktian tentang Tuhan
secara tradisional dan sederhana: Pernyataan tentang betapa pentingnya
keberadaan Sang Pencipta.64 Dalam analisisnya tentang gagasan
62
Leaman, An-Introduction, 170.

63
John Hedley Brooke, Science and Religion; Some Historical Perspectives, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1991), 18-19.

64
Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah

37

penciptaan, Ibn Rusyd seperti halnya Ibn Tumart, memulai dari


pengalaman tetapi menyaringnya sedemikian rupa analisis-analisis yang
berada di seputar lingkaran gagasan-gagasan itu sendiri: a) Pengalaman
tentang keberadaan makhluk-makhluk hidup yang memberikan kesaksian
adanya eksistensi Tuhan dan membenarkan pentingnya makhluk; b)
kesimpulan dari eksistensi sesuatu yang diciptakan menunjukkan adanya
Sang Pencipta.
Dari konklusi di atas, Ibn Rusyd, seperti dikatakan oleh Dominique
Urvoy, seakan-akan ingin memperkenalkan suatu perspektif ilmiah
dalam merasionalisasi eksistensi Tuhan, yakni, agar ada pengetahuan yang
pasti tentang eksistensi Tuhan dan substansi dari segala sesuatu. Pada
masalah ini, Ibn Rusyd berbeda dari apa yang telah dicapai oleh Descartes
maupun Spinoza yang memakai pendekatan rasional spekulatif. Ia
mengelaborasi pernyataan tentang keyakinannya pada tingkat rasional
dengan membedakan dua macam pengetahuan dari dua pembuktian yang
sama (melalui Tuhan dan ide tentang penciptaan).65

BAB III
KESIMPULAN
Kebenaran pada dasarnya dapat dipertemukan secara metodologisepistemologis, karena pada hakikatnya kebenaran adalah satu. Jika ada
pemahaman tentang wahyu agama yang berbeda dengan pandangan yang
dihasilkan oleh akal, maka pemahaman terhadap wahyu tersebut dapat
disesuaikan dengan pandangan yang dihasilkan oleh akal budi.

Gusti, 2000), 120.

65
Lihat Urvoy, Perjalanan Intelektual, 120

38

Secara sepintas terlihat Ibn Rusyd, kendati ingin menselaraskan


antara agama dan filsafat, ia tidak terlepas dari pretensi dan
kompetensinya sebagai pembela eksistensi filsafat yang pada waktu dan
spektrum yang bersamaan berada dalam tekanan kelompok yang anti
filsafat, yang menguasai sebahagian besar kebenaran dan pembenaran
agama. Indikator ini semakin jelas ketika Ibn Rusyd membuat klasifikasi
yang bersifat gradatif bagi kebenaran-kebenaran yang ada tentang agama.
Ibn Rusyd membuat tiga gradasi pembenaran dalam kebenaran agama
sekaligus membedakan tingkatan pemahaman keagamaan. ia meletakkan
kebenaran filsafat yang menggunakan logika pembuktian deduktif yang ia
sebut sebagai metode burhni (tingkatan burhniyyah) sebagai tingkatan
pembenaran tertinggi dalam agama di atas tingkatan-tingkatan lainnya
seperti khattbiyyah dan jadaliyyah.
Jika dilihat dari dimensi yang berbeda, analisis terhadap pemikiranpemikiran Ibn Rusyd tentang kesatuan kebenaran yang diwujudkannya
dalam penyatuan kebenaran, dengan membuat klasifikasi pembenaran
berdasarkan tingkatan kapasitas pemahaman keagamaan kaum Muslimn,
secara substansial akan menemukan titik simpul. Karena pada dasarnya,
pemahaman seseorang terhadap agama pada tingkatan tertentu tidak akan
terlepas dari fungsi akalnya terhadap sumber wahyu. Tanpa akal seseorang
tidak akan dapat menerima kebenaran agama, kendatipun dalam tingkatan
rasional yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan kebenaran
rasio dan agama tidak akan pernah bertentangan, yang bisa bertentangan
adalah pemahaman manusia terhadap isi kandungan yang di bawa oleh
wahyu. Hal demikian mengindikasikan, bahwa pada dasarnya yang
berbeda adalah proses dan hasil rasionalisasi tersebut. Untuk mengatasi hal
tersebut maka dibuat tolak ukur yang bisa mengatasi masing-masing
pembenaran tersebut yang disepakati sebagai ukuran tertinggi dalam
proses rasionalisasi.
Pada sisi lain, secara ontologis, masing-masing kebenaran tersebut
bersumber dari kebenaran yang satu, yaitu Allah. Tidak bisa dibenarkan
39

jika ada kebenaran yang saling bertentangan secara substansial, karena


sebenarnya masing-masing memiliki sumber yang sama. Yang menjadi
masalah adalah, bahwa kebenaran yang berasal dari sumber yang satu
tersebut ditangkap oleh banyak sumber dan piranti yang berbeda secara
kualitatif dan kuantitatif. Maka, hasilnyapun punya kemungkinan untuk
berbeda. Untuk menyelesaikan kemungkinan perbedaan tersebut dibuat
suatu tolak ukur yang paling tinggi yaitu takwil burhn. Artinya, Ibn
Rusyd pada akhirnya tetap menjadikan metode burhn yang menggunakan
aspek-aspek aql menjadi ukuran tertinggi pembenaran.

DAFTAR PUSTAKA
Ibn Rusyd, Tahfut al-Tahfut, jil. I, ed. Sulaimn Dunia, (Kairo: Dr al-Marif,
1968). 9; Ras Syril HDalw, Mawsah Alm al-Falsafah al-Arab wa
al-Ajnib, jil. I, (Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992).
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes; Filosuf Islam
Terbesar di Barat), (Jakarta: Bulan Bintang, 1965).
Barnes & Nobel, New American Encyclopedia, jil. II, (New York: Grolier,
1991).
Muhammad Atf al-Irq, Al-Nuzah al-Aqliyyah f Falsafah Ibn Rusyd, (Kairo:
Dr al-Marif, 1967).
Halwi, Mawsah, jil. II, 277-283.
M.A.H. Ab Ridah (ed.), Rislat al-Kind al-Falsafyyah, jil. I, (Kairo: Dr al-Fikr
al-Arab, 1950.
Muhammad Lutf Jamah, Trkh Falsifat al-Islam f al-Masyriq wa al-Maghrib,
(Beirut: Al-Kutub al-Ilmiyyah, tt). Ibn Rusyd, Fasl al-Maql f m bayna
al-Hikmah wa al-Syarah al-Ittisl, ed. M.
Imrah, (Kairo: Dr al-Marif, 1972). bid al-Jbir, Bunyah al-Aql alArab, cet. III, (Beirt: al-Markaz al-Thaqf
al-Arab, 1993). Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd,
terj. Achmad Syahid,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2000). W. Montgomery Watt, Islam dan
Peradaban Dunia, cet. II, terj. Hendro Prasetyo,

40

(Jakarta: Gramedia, 1997). Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair,


Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 1994). Gary E. Kessler, Philosophy of Religion:
Toward a Global Perspective, (Toronto:
Wadsworth Publishing Company, 1999). W. Montgomery Watt, Pemikiran
Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim,
(Jakarta: P3M, 1979). Abd al-Maqsd abd al-Ghan Abdul Maqsd, AlTauq bayna al-Dn wa al- Falsafah; Inda Falsifah al-Islm f al-Andalus,
(Kairo: Maktabah alZuhar, 1993). Abbs Aqqd, Ibn Rusyd, (Kairo: Dr al-Marif, tt).
Muhammad ADtf al-Irq, QiUsUsah al-Niz bayna al-Dn wa al-Falsafah,
(Kairo: Maktabah MisDr, tt.). Madjd Fakhr, A History of Islamic
Philosophy, (New York: Columbia University
Press, 1983). M. E. Marmura (ed.), Islamic Theology and Philosophy,
(Albany: State University
of New York Press, 1984). Ibn Rusyd, Fasl al-Maql fm bayna alHikmah wa al-Syar`ah min al-Ittisl,
ed. M. Imrah, (Kairo: Dr al-Marif, 1972). Ibn Rusyd, Tahfut alTahfut, jil. I, ed. Sulaiman Dunia, (Kairo: Dr al-Marif, 1968).
Mahmd Al Sabh (Ed.), Falsafah Ibn Rusyd; Fasl al-Maql wa alKasyf an Manhij al-Adillah, cet. II, (Kairo: al-Matbaah al-Mahmdiyyah alTijriyyah, 1935).
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Khairus Salim, (Jakarta:
LKIS,
1993). Oliver Leaman, An Introduction to Islamic Philosophy,
(Cambridge: Cambridge
University Press, 1985). John Hedley Brooke, Science and Religion;
Some Historical Perspectives,
(Cambridge: Cambridge University Press, 1991). Dominique Urvoy,
Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, terj. Achmad Syahid,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2000).

41

You might also like