You are on page 1of 6

NAMA : NETY WIRA KHRISTIANI HAREFA

NIM : 150706001
UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI SUMATERA UTARA
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta
melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah
dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung selalu memerlukan tanah.
Masuknya perusahaan perkebunan (onderneming) di wilayah Sumatera Utara, persoalan
tanah telah menjadi pokok permasalahan utama mengingat perusahaan perkebunan memerlukan
lahan bagi pengembangan usahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh
penduduk secara perorangan. Dengan kebutuhan tersebut, dan ditopang dengan pandangan
tentang hak penguasaan tanah di Eropa, pengusaha perkebunan ini mendekati para raja yang
dianggap sebagai penguasa seluruh tanah di Sumatera Utara agar menyediakan tanah milik
rakyat melalui jalur kontrak sewa (conssesie). Proses masuknya para pengusaha perkebunan
Barat ke Sumatera Utara ini tidak terlepas dari munculnya sistim dan situasi kolonial pada akhir
abad XIX di tanah-tanah koloni Eropa. Dalam sistem dan situasi kolonial ini muncul hubungan
kolonial (ketundukan) antara penguasa kolonial dan penduduk jajahannya. Di samping itu juga
terdapat hubungan serupa antara tanah jajahan di Asia dengan negara induknya di Eropa yang
bertumpu pada prinsip dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan yang
dipaksakan. Bentuk penjajahan yang diterapkan oleh penguasa Eropa pada akhir abad XIX ini
mengalami pergeseran dari sistem lama. Dalam gaya penguasaan lama negara induk dianggap
sebagai lahan eksploitasi yang wajib menyetorkan hasil-hasilnya demi kejayaan negara
penjajahnya di Eropa, sementara itu dalam bentuk penjajahan baru tanah koloni dianggap juga
sebagai tempat proses produksi berlangsung, tempat pencarian tenaga kerja dan sekaligus
sebagai lahan penjualan barang-barang hasil produksi di Eropa .
Dengan dimulainya eksploitasi dan investasi modal pengusaha perkebunan swasta ini,
maka sejak itu persoalan sengketa hak penguasaan atas tanah selalu terjadi secara periodik dalam
kehidupan di Sumatera Utara. Sengketa ini berkisar tentang siapa yang berhak menyewakan,
menggarap, mengolah dan menentukan perpanjangan sewa dengan pihak perkebunan. Di satu
sisi terdapat rakyat yang memegang teguh prinsip adat dengan hak ulayatnya, di sisi lain

NAMA : NETY WIRA KHRISTIANI HAREFA


NIM : 150706001
pengusaha perkebunan merasa berhak menguasai tanah karena mereka telah membuat kontrak
sewa dan menerima konsesi dari sultan yang dianggap sebagai pemilik tanah yang sah.
Pemerintah kolonial Belanda sebagai pihak fasilitator dan penjaga hukum serta ketertiban
segera terlibat dalam persoalan sengketa tanah ini. Ada dua kepentingan utama yang mendorong
keterlibatan pemerintah Belanda : menegakkan keamanan dan ketertiban mengingat para Sultan
Melayu dianggap tidak mampu melaksanakannya, dan yang kedua sebagai peluang untuk
memperluas pengaruh politiknya di tanah Melayu yang dianggapnya mengandung potensi luas
bagi sumber produksi, sehingga akan menambah pemasukan bagi devisa negara.Hal ini
dimungkinkan bagi Belanda karena para raja Melayu saat itu berada dalam posisi yang terpecahpecah dan saling bersaing, sehingga para raja yang secara ekonomi dan militer sangat lemah
bergantung pada bantuan dan sekutu mereka. Untuk menghadapi ancaman dari musuh-musuhnya
termasuk kaum pendatang Batak Toba yang mulai banyak memasuki wilayah Melayu, para
sultan ini memerlukan sekutu baru yang bisa melindungi struktur dan keberadaan Kesultanannya.
Tanpa menggunakan kekuatan militer yang tinggi, Belanda berhasil lewat jalur diplomasi
menyatukan para sultan bersama para kepala adat Melayu, Batak Toba dan Batak Karo tunduk
pada sistem baru yang dibentuk oleh pemerintah colonial.
Keterlibatan pemerintah Belanda dalam aktivitas yang dilakukan oleh para pengusaha
perkebunan swasta memaksa kalangan petinggi Belanda baik di Den Haag maupun Batavia
untuk memikirkan suatu hukum khusus yang mengatur persoalan agraria dan diberlakukan di
seluruh Hindia Belanda. Setelah melalui perdebatan dan penelitian yang panjang, maka pada
tahun 1870 dikeluarkannya UU Agraria atau Agrarische Wet 1870. Dengan bertumpu pada dasar
hukum ini, pemerintah Belanda mempermudah penerapan kebijakan dalam kaitannya dengan
hak penguasaan atas tanah penduduk pribumi (domein).
Hukum dasar ini tetap dipergunakan dan dipertahankan oleh pemerintah jajahan Belanda
sampai akhir masa kekuasaannya, dan masih digunakan oleh pemerintah Republik Indonesia
pada masa awal kemerdekaan tanpa mengalami banyak perubahan yang berarti. Sebagai
akibatnya, berbagai bentuk sengketa tanah yang muncul di Sumatera Utara menunjukkan pola
yang hampir sama meskipun dengan pelaku peran (occupant role) yang berbeda.Bila di masa
kolonial, sengketa muncul diantara pengusaha onderneming dengan rakyat saja, maka pada masa
kekuasaan Republik Indonesia di awal kemerdekaannya persoalan ini diperparah lagi dengan
munculnya partai-partai politik yang memiliki kepentingan berbeda. Partai-partai ini

NAMA : NETY WIRA KHRISTIANI HAREFA


NIM : 150706001
memanfaatkan konflik sengketa tanah di Sumatra Utara tersebut untuk mendapatkan dukungan
dan pengaruh dari rakyat serta menggunakannya sebagai sarana untuk mencapai tujuan nasional
mereka.
Pemerintah Indonesia segera memberikan perhatian serius pada persoalan sengketa tanah
yang selalu kembali muncul ini. Dengan mengadakan penelitian lewat sebuah tim yang khusus
dibentuk untuk itu, pemerintah mulai menyusun bentuk perundangan baru yang diharapkan bisa
menggantikan Agrarische Wet lama produk hukum kolonial. Dengan perundangan baru ini,
negara mengambil alih semua hak penguasaan atas tanah dan menegaskan berbagai macam
bentuk kepemilikan tanah secara jelas melalui diterbitkannya sertifikat oleh lembaga hukum
yang berwenang.
Disamping itu juga, penguasaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas hak yang sah dan
dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian pemerintah
dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak
perkebunan yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak
memilik bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini terutama terjadi pada
tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat
pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka
menganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara
turun-temurun. Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah dalam
hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan usaha yang telah
direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya sulit bagi pihak yang membutuhkan
tanah untuk menentukan tentang keabsahan pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh
rakyat.
Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat dengan pihak
perkebunan yang membutuhkan tanah, karena kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait di
bidang pertanahan. Misalnya, tidak adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor
lainnya. Banyak sekali peraturan-peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling bertabrakan
dengan peraturan lain.
Namun keberadaan dari semua peraturan tersebut di atas, ternyata tidak dapat meredam
terjadinya kasus pertanahan yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Dalam realita
banyak terjadi konflik antara pemerintah dan rakyat atau antara rakyat dengan pihak badan usaha

NAMA : NETY WIRA KHRISTIANI HAREFA


NIM : 150706001
perkebunan yang masing-masing pihak membutuhkan tanah. Sengketa pertanahan ini kita jumpai
hampir pada setiap daerah perkebunan yang ada di Indonesia.
Kecenderungan pemerintah mengabaikan faktor-faktor juridis dalam pembebasan atau
pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat, disebabkan instansi pemerintah tersebut lebih
mementingkan target pemasukan produksi ekonomi sesuai dengan tahap-tahapnya. Oleh karena
kuota produksi yang lebih diutamakan, maka pemerintah cenderung tidak teliti dalam memeriksa
dokumen-dokumen kepemilikan dan hak-hak rakyat yang memiliki tanah, misalnya bukti
kepemilikan. Disamping itu selalu terjadi pemaksaan kehendak, sehingga musyawarah tidak
berjalan dan bentuk penyelesaian sengketa hanya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah
dengan pendekatan politik dan kekuasaan.
Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang telah
dikemukakan di atas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal yaitu : di satu pihak
peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah untuk membuat larangan pemakaian
tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di lain pihak ia merupakan suatu jaminan hukum bagi
rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa. Tetapi ternyata
keberadaan peraturan itu tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi rakyat dari tindakan
sewenang-wenang
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

oleh

pihak

pemerintah.

Adapun

faktor-faktor

Penyebab

Sengketa

Pertanahan:
Peraturan yang belum lengkap;
Ketidaksesuaian peraturan;
Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia;
Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
Data tanah yang keliru;
Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
Transaksi tanah yang keliru;
Ulah pemohon hak atau
Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.

Strategi dan Konsep Penyelesaian Sengketa Tanah


Dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan, maka diperlukan strategi
yang komprehensif guna mengantisipasi dan mengurangi angka sengeketa dibidang pertanahan,
maka untuk itu perlu dilaksanakan beberapa upaya strategi sebagai berikut:

NAMA : NETY WIRA KHRISTIANI HAREFA


NIM : 150706001
a.

Strategis

administrative

Negara,

yang

sangat

membutuhkan

professional

yang

komprehenship/holistic (multidisiplin) yang tidak bisa diserahkan kepada professional


berorientasi produk, perubahan struktur organisasi sektoral bukan berdasar produk (komoditas)
tetapi struktur organisasi atas dasar proses. Hal ini meminimalisasi kepentingan-kepentingan
sektoral atas dasar produk yang berdampak kebijakan yang dibuat menteri sebenarnya hanya
hasil salah satu deputy yang tupoksinya produk bukan proses yang membutuhkan professional
multidisiplin). Sekarang tidak bedanya format yang terjadi di Perguruan Tinggi dengan
pembagian fakultasnya, apa seperti ini format Administrasi untuk semua Kementerian di
b.

Indonesia? Reformasi administrative. Khusus bidang pertanahan harus Bagaimana?


Yudikatif, menyelesaikan timpang tindih perundangan dan rekomendasi perumusan payung
regulasi pertanahan Negara dapat dibentuk KPN Komisi Pertanahan Negara yang merupakan
bentuk implementasi regulasi kekuasaan Negara terhadap tanah Negara, yang sekarang diemban

c.

oleh kekuasaan pemerintah dan hanya sektoral.


Strategi legislative (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban mengatur semua kebijakan
terkait kekuasaan Negara, RAPBN (anggaran pendapatan dan belanja Negara sudah benar,
RPTPN (Rencana Penyediaan Tanah Pembangunan Negara saat belum bekerja legislative,
executive pun menyerahkan kepada sektoral yang menguasai (administrativeBPN, penguasaan
tanah dominan Kehutanan). Pertanyaannya apakah kehutanan bukan sektoral komoditas?
Mengapa menguasai tanah Negara dan semua sektor mengacu kalau tidak mau dikatakan
berbenturan dengan penguasaan oleh kehutanan yang sebenarnya penguasaannya oleh kekuasaan
Negara. Sehingga perlu pertanyaan besar dimana letak demokrasinya untuk rakyat tanpa
kekuasaan Negara yang bekerja (executive bersama legislative terkait dengan tanah, Mengapa
anggaran bisa).
Sedangkan yang menjadi konseptual dalam penyelesaian sengketa pertanahan dapat
dibagi menjadi 3 bagian yang saling berhubungan antar satu dengan yang lainnya, ketiga define
konsep tersebut yaitu:

a.

Konsep Negara Kesejahteraan Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di


Indonesia
Di awal pembentukan negara Indonesia, telah ada kesadaran kebangsaan bahwa
kesejahteraan rakyat hanya dapat terwujud lewat campur tangan Pemerintah. Pembukaan dan
pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945 menunjukkan bahwa cara mewujudkan kesejahteraan

NAMA : NETY WIRA KHRISTIANI HAREFA


NIM : 150706001
bagi bangsa Indonesia adalah dengan menjadikan peran negara melalui penyelenggaranya
sebagai pemberi arahan, pembuat kebijakan dan aturan berdasarkan Pancasila sebagai ideologi
b.

dan falsafah Negara.


Konsep Sociological Jurisprudence Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Pemerintah Di
Indonesia
Konsep ini mengacu kepada pemikiran bahwa law is a tool of social engineering,dimana
yang dimaksud dengan hukum sebagai alat rekayasa sosial adalah putusan pengadilan. Agar
hukum dapat lebih memenuhi kebutuhan masyarakat, kondisikondisi social yang paling mutakhir
perlu diperhatikan. Singkatnya, dengan mengakomodasi perkembangan terakhir dari fakta-fakta
social dalam arti kebutuhan, kepentingan dan aspirasi masyarakat, fungsi hukum sebagai social

c.

engineering akan lebih transformatif.


Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Dan Pembangunan Masyarakat
Apabila konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat
dikaitkan dengan praktik pengadilan yang menangani sengketa tanah di Indonesia dewasa ini,
dapat dikatakan bahwa badan peradilan, melalui keputusannya seharusnya merupakan media
untuk menciptakan ketertiban dibidang pertanahan.Oleh karena itu, penegakan prinsip keadilan
dan demokrasi ekonomi perlu disertai kepedulian terhadap kaum lemah, penggalian potensi
bangsa, baik sebagai konsumen, pengusaha maupun sebagai tenaga kerja tanpa membedakan
suku, agama dan gender untuk memperoleh kesempatan, perlindungan dan hak untuk
meningkatkan taraf hidupnya maupun untuk turut berperan aktif dalam berbagai kegiatan
ekonomi, termasuk dalam memanfaatkan serta memelihara tanah sebagai salah satu kekayaan
alam Indonesia.
Dalam rangka memanfaatkan dan menggunakan tanah sebagai salah satu sumber daya
agraria secara adil, transparan dan produktif, keberadaan hak ulayat dan masyarakat adatnya
perlu diperhatikan.

You might also like