You are on page 1of 16

MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARIATKAN

1. Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umrah


Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan
keutamaannya, antara lain : sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji
yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga.
2. Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut, Atau Pada Sebagiannya, Terutama Pada Hari Arafah.
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih
Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi :

Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah
meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda :

Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan
dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. [Hadits Muttafaqun
Alaih].
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah rahimahullah bahwa Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda :
.
Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun
sebelum dan sesudahnya.
3. Takbir Dan Dzikir Pada Hari-Hari Tersebut.
Sebagaimana firman Allah Taala.

. dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan . [alHajj/22 : 28].

Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para
ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari
Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma.

Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid. [Hadits Riwayat Ahmad].
Imam Bukhari rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu
anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orangorangpun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha, tabiin
bahwa pada hari-hari ini mengucapkan :

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil
Hamdu
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah.
Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan,
masjid dan lain-lainnya. Sebagaimana firman Allah.

Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu .
[al-Baqarah/2 : 185].
Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu
majlis dan mengucapkannya dengan satu suara (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para
Salaf. Yang menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini berlaku
pada semua dzikir dan doa, kecuali karena tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan
mengikuti orang lain.
Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti : takbir, tasbih dan doa-doa
lainnya yang disyariatkan.
4. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat Dan Dosa.
Sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan
terusirnya hamba dari Allah, dan ketaatan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah
kepadanya.
Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda.


Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba
melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya [Hadits Muttafaqun Alaihi].
5. Banyak Beramal Shalih.
Berupa ibadah sunat seperti : shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Quran, amar maruf nahi
munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat gandakan
pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih
utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal
ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad
orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.
6. Disyariatkan Pada Hari-Hari Itu Takbir Muthlaq
Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir
muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan
berjamaah ; bagi selain jamaah haji dimulai dari sejak Fajar Hari Arafah dan bagi Jamaah Haji
dimulai sejak Dzhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada hari
Tasyriq.
7. Berkurban Pada Hari Raya Qurban Dan Hari-Hari Tasyriq.
Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim Alaihissalam, yakni ketika Allah Taala menebus putranya
dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau
sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki
beliau di sisi tubuh domba itu. [Muttafaqun Alaihi].
8. Dilarang Mencabut Atau Memotong Rambut Dan Kuku Bagi Orang Yang Hendak Berkurban.
Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu anha bahwa Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.


Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban,
maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.
Dalam riwayat lain :

Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban.

Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan
kurbannya. Firman Allah.

.. dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat
penyembelihan. [al-Baqarah/2 : 196].
Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak
termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan
diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya
yang rontok.
9. Melaksanakan Shalat Iedul Adha Dan Mendengarkan Khutbahnya.
Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari
bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan
kesombongan ; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam
kemungkaran seperti ; nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana
akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh hari.
10. Selain Hal-Hal Yang Telah Disebutkan Diatas.
Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir
dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan ;
memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridhaNya.
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan
shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para
sahabatnya.
.
1409 /11 /1 5 /1218

:

Sumber: https://almanhaj.or.id/2888-keutamaan-10-hari-pertama-bulan-dzulhijjah-dan-amalanyang-disyariatkan.html

1. Dzulhijah termasuk Asyhurul Hurum


.[1]
Allah Taala berfirman:


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah , dan jangan
melanggar kehormatan bulan-bulan haram (QS. Al Maidah (5): 2)
Ayat mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan-bulan haram, yang tidak dimiliki
oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul hurum (bulan-bulan haram)
adalahDzulqadah, Dzulhijjah, Rajab, dan Muharam. (Sunan At Tirmidzi No. 1512)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
:
.
Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga bulan berurutan yaitu adalah
Dzulqadah, Dzulhijjah, dan Muharam, dan (satu bulan sendiri yaitu) Rajab Mudhar yang
berada di antara bulan Jumadil (akhir) dan Syaban. (HR. Bukhari No. 3025 dan Muslim no.
3179)
Dalam syarah (penjelasan) kitab Shahih Bukhari dan Muslim, yakni Fathul Bari karya Ibnu
Hajar dan Al Minhaj karya Imam An Nawawi, diterangkan, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
menyandarkan bulan Rajab kepada kabilah Mudhar di dalam banyak hadits adalah untuk
memperjelas. Para ulama mengatakan, dahulu kala kabilah Mudhar dan kabilah Rabiah berbeda
dalam menyebut bulan Rajab. Menurut kabilah Mudhar, bulan Rajab adalah bulan yang terletak
di antara Jumadil akhir dan Syaban, sementara menurut kabilah Rabiah, bulan Rajab itu disebut
dengan bulan Ramadhan.
2. Anjuran Banyak Ibadah Pada Sepuluh Hari Pertama (Tanggal 1-10 Dzulhijjah)
Sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah memiliki keutamaan yang besar. Disebutkan dalam
Al Quran:
(2) ( 1)
Maka, amal-amal shalih apa pun bisa kita lakukan antara tanggal satu hingga sepuluh Dzulhijjah;
sedekah, shalat sunnah, shaum kecuali pada tanggal sepuluh Dzulhijjah- , silaturrahim, dakwah,
jihad, dan lainnya. Amal-amal ini pada hari-hari itu dinilai lebih afdhal dibanding jihad, apalagi
berjihad pada hari-hari itu, tentu memiliki keutamaan lebih dibanding jihad pada selain hari-hari
itu.

Untuk berpuasa pada sepuluh hari ini, ada dalil khusus sebagaimana diriwayatkan oleh
Hafshah Radhiallahu Anha, katanya:


Ada empat hal yang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam belum pernah meninggalkannya: puasa
Asyura, Al Asyr (puasa 10 hari Dzulhijjah), puasa tiga hari tiap bulan, dan dua rakaat sebelum
subuh. (HR. An Nasai, dalam As Sunan Al Kubra No. 2724, Abu Yala dalam Musnadnya
No. 7048, Ahmad No. 26456)
Hanya saja para ulama mendhaifkan hadits ini. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: Hadits
ini dhaif, kecuali sabdanya: dua rakaat sebelum subuh, yang ini shahih. (Taliq Musnad
Ahmad No. 26456)
Didhaifkan pula oleh Syaikh Al Albani. (Irwaul Ghalil, No. 954)
3. Shaum Arafah (Pada 9 Dzulhijjah)
Dari Qatadah Al Anshari Radhiallahu Anhu, katanya:

Nabi ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab: Menghapuskan dosa tahun lalu dan
tahun kemudian. (HR. Muslim No. 1162, At Tirmidzi No. 749, An Nasai dalam As Sunan Al
Kubra No. 2805, Ath Thabari dalam Tahdzibul Atsar No. 763, Ahmad No. 22535, 22650.
Ibnu Khuzaimah No. 2117, dan ini adalah lafaz Imam Muslim)
Hadits ini menunjukkan sunahnya puasa Arafah.
Apakah Yang Sedang Wuquf Dilarang Berpuasa Arafah?
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:

Para ulama telah menganjurkan berpuasa pada hari Arafah, kecuali bagi yang sedang di
Arafah. (Sunan At Tirmidzi, komentar hadits No. 749)
Apa dasarnya bagi yang sedang wuquf di Arafah dilarang berpuasa?
Abu Hurairah Radhiallahu Anhu berkata:



Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada hari Arafah bagi yang sedang
di Arafah. (HR. Abu Daud No. 2440, Ibnu Majah No. 1732, Ahmad No. 8031, An Nasai No.

2830, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 2731, Ibnu Khuzaimah No. 2101, Al Hakim
dalam Al Mustadrak No. 1587)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim, katanya: Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim
tapi keduanya tidak meriwayatkannya. (Al Mustadrak No. 1587) Imam Adz Dzahabi
menyepakati penshahihannya.
Dishahihkan pula oleh Imam Ibnu Khuzaimah, ketika beliau memasukkannya dalam
kitab Shahihnya. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar:
:
Aku berkata: Ibnu khuzaimah telah menshahihkannya, dan Mahdi telah ditsiqahkan oleh Ibnu
Hibban. (At Talkhish, 2/461-462)
Namun ulama lain menyatakan bahwa hadits ini dhaif.[5]
Mereka menyanggah tashhih (penshahihan) tersebut, karena perawi hadits ini yakni Syahr bin
Hausyab dan Mahdi Al Muharibi bukan perawi Bukhari dan Muslim sebagaimana yang
diklaim Imam Al Hakim.
Imam Al Munawi mengatakan:
: : :

Berkata Al Hakim: Sesuai syarat Bukhari, mereka (para ulama) telah menyanggahnya karena
terjadi ketidakjelasan pada Mahdi, dia bukan termasuk perawinya Bukhari, bahkan Ibnu Main
mengatakan: majhul. Al Uqaili mengatakan: Dia tidak bisa diikuti karena
kelemahannya. (Faidhul Qadir, 6/431)
Lalu, Mahdi Al Muharibi dia adalah Ibnu Harb Al Hijri, dinyatakan majhul (tidak
diketahui) keadaannya oleh para muhadditsin.
Syaikh Al Albani berkata:
:
Aku berkata: isnadnya dhaif, semua sanadnya berputar pada Mahdi Al Hijri, dan
dia majhul. (Tamamul Minnah Hal. 410)
Syaikh Syuaib Al Arnauth berkata:
. - -

Isnadnya dhaif, karena ke-majhul-an Mahdi Al Muharibi, dia adalah Ibnu Harbi Al Hijri, dan
Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats Tsiqaat (orang-orang terpercaya), dia (Ibnu
Hibban) memang yang menggampangkannya (untuk ditsiqahkan, pen). (Taliq Musnad
Ahmad No. 8041)
Telah masyhur bagi para ulama hadits, bahwa Imam Ibnu Hibban adalah imam hadits yang
dinilai terlalu mudah men-tsiqah-kan perawi yang majhul.
Majhulnya Mahdi Al Muharibi juga di sebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. (At Talkhish Al
Habir, 2/461), Imam Al Uqaili mengatakan dalam Adh Dhuafa: Dia tidak bisa diikuti. (Ibid)
Imam Yahya bin Main dan Imam Abu Hatim mengatakan: Laa Arifuhu saya tidak
mengenalnya. (Imam Ibnu Mulqin, Al Badrul Munir, 5/749)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan:

Dalam isnadnya ada yang perlu dipertimbangkan, karena Mahdi bin Harb Al Abdi bukan orang
yang dikenal. (Zaadul Maad, 1/61), begitu pula dikatakan majhul oleh Imam Asy
Syaukani. (Nailul Authar, 4/239)
Maka, pandangan yang lebih kuat adalah tidak ada yang shahih larangan berpuasa pada hari
Arafah bagi yang sedang di Arafah. Oleh karenanya Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan:


Tidak ada yang shahih bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah melarang berpuasa pada
hari ini ( 9 Dzhulhijjah). (Taliq Musnad Ahmad, No. 8031)
Tetapi, di sisi lain juga tidak ada yang shahih bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah
berpuasa ketika wuquf di Arafah.
Diriwayatkan secara shahih:

Dari Ummu Al Fadhl, bahwa mereka ragu tentang berpuasanya Nabi Shalllallahu Alaihi wa
Sallam pada hari Arafah, lalu dikirimkan kepadanya segelas susu, lalu dia meminumnya. (HR.
Bukhari No. 5636)
Oleh karenanya Imam Al Uqaili mengatakan:

Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan sanad-sanad yang baik,
bahwa Beliau belum pernah berpuasa pada hari Arafah ketika berada di sana, dan tidak ada yang
shahih darinya tentang larangan berpuasa pada hari itu. (Adh Dhuafa, No. 372)
Para sahabat yang utama pun juga tidak pernah berpuasa ketika mereka di Arafah.
Disebutkan oleh Nafi pelayan Ibnu Umar, sebagai berikut:

Dari Nafi, dia berkata: Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa hari Arafah ketika di Arafah, dia
menjawab: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak berpuasa, begitu pula Abu Bakar,
Umar, dan Utsman. (HR. An Nasai, As Sunan Al Kubra No. 2825)
Maka, larangan berpuasa pada hari Arafah bagi yang di Arafah tidaklah pasti, di sisi lain, Nabi
pun tidak pernah berpuasa ketika sedang di Arafah, begitu pula para sahabat setelahnya. Oleh
karena itu, kemakruhan berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah bagi yang sedang wuquf telah
diperselisihkan para imam kaum muslimin. Sebagian memakruhkan dan pula ada yang
membolehkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau tidak pernah melakukannya, tetapi juga tidak melarang
puasa Arafah bagi yang wuquf di Arafah.


Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa pada hari Arafah, beliau menjawab: Saya haji bersama
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Beliau tidak berpuasa, saya haji bersama Abu Bakar, juga
tidak berpuasa, saya haji bersama Umar, juga tidak berpuasa, saya haji bersama Utsman dia juga
tidak berpuasa, dan saya tidak berpuasa juga, saya tidak memerintahkan dan tidak
melarangnya. (Sunan Ad Darimi No. 1765. Syaikh Husein Salim Asad berkata: isnaduhu
shahih.)
Kalangan Hanafiyah mengatakan, boleh saja berpuasa Arafah bagi jamaah haji yang sedang
wuquf jika itu tidak membuatnya lemah. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa
Adillatuhu, 3/25)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan bahwa tidak dianjurkan mereka berpuasa, walaupun
kuat fisiknya, tujuannya agar mereka kuat berdoa:

Ada pun para haji, tidaklah disunahkan berpuasa pada hari Arafah, tetapi disunahkan untuk
berbuka walau pun dia orang yang kuat, agar dia kuat untuk banyak berdoa, dan untuk mengikuti

sunah.(Ibid, 3/24) Jadi, menurutnya tidak disunahkan, dan tidak disunahkan bukan bermakna
tidak boleh.
Namun mayoritas madzhab memakruhkannya, berikut ini rinciannya:

Hanafiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa Arafah jika membuat lemah, begitu juga
puasa tarwiyah (8 Dzulhijjah).

Malikiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa Arafah, begitu pula puasa tarwiyah.

Syafiiyah: jika jamaah haji mukim di Mekkah, lalu pergi ke Arafah siang hari maka
puasanya itu menyelisihi hal yang lebih utama, jika pergi ke Arafah malam hari maka
boleh berpuasa. Jika jamaah haji adalah musafir, maka secara mutlak disunahkan untuk
berbuka.

Hanabilah: Disunahkan bagi para jamaah haji berpuasa pada hari Arafah jika wuqufnya
malam, bukan wuquf pada siang hari, jika wuqufnya siang maka makruh
berpuasa. (Lihat rinciannya dalam Al Fiqhu Alal Madzahib Al Arbaah, 1/887, karya
Syaikh Abdurrahman Al Jazairi)

4. Shalat Idul Adha dan Menyembelih Hewan Qurban


Dalam hal ini Allah Taala berfirman;

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. (QS. Al Kautsar: 2)
Shalat Idul Adha (juga Idhul Fitri) adalah sunah muakadah. Berkata Syaikh Sayyid
Sabiq Rahimahullah:

.
Disyariatkannya shalat Idain (dua hari raya) pada tahun pertama dari hijrah, dia adalah sunah
muakadah yang selalu dilakukan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Beliau
memerintahkan kaum laki-laki dan wanita untuk keluar meramaikannya. (Fiqhus Sunnah,
1/317)
Ada pun kalangan Hanafiyah berpendapat wajib, tetapi wajib dalam pengertian madzhab Hanafi
adalah kedudukan di antara sunah dan fardhu.
Disebutkan dalam Al Mausuah:

Shalat Idain adalah wajib menurut pendapat yang shahih yang difatwakan oleh kalangan
Hanafiyah maksud wajib menurut madzhab Hanafi adalah kedudukan yang setara antara fardhu
dan sunah. Dalilnya adalah begitu bersemangatnya Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam melakukannya, Beliau tidak pernah meninggalkannya sekali pun. (Al Mausuah Al
Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/240)
Sedangkan Syafiiyah dan Malikiyah menyatakan sebagai sunah muakadah, dalilnya adalah
karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh orang Arab Badui tentang shalat
fardhu, Nabi menyebutkan shalat yang lima. Lalu Arab Badui itu bertanya:

Apakah ada yang selain itu? Nabi menjawab: Tidak ada, kecuali yang sunah. (HR. Bukhari
No. 46)
Bukti lain bahwa shalat Idain itu sunah adalah shalat tersebut tidak menggunakan adzan dan
iqamah sebagaimana shalat wajib lainnya. Shalat tersebut sama halnya dengan shalat sunah
lainnya tanpa adzan dan iqamah, seperti dhuha, tahajud, dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa
shalat Idain adalah sunah.
Sedangkan Hanabilah mengatakan fardhu kifayah, alasannya adalah karena firman Allah Taala
menyebutkan shalat tersebut dengan kalimat perintah: Maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu; dan berkorbanlah. (QS. Al Kautsar: 2). Juga karena Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam selalu merutinkannya. (Ibid, 27/240)
Insya Allah, secara khusus pada kesempatan lain akan kami bahas pula adab-adab pada hari raya.
Selanjutnya berqurban, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, ada yang mengatakan wajib bagi yang
memiliki kelapangan rezeki, ada pula yang mengatakan sunah muakadah, dan inilah pendapat
mayoritas sahabat, tabiin, dan para ulama.
Ulama yang mewajibkan berdalil dengan hadits berikut, dari Abu Hurairah Radhiallhu
Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan dia tidak berkurban, maka jangan dekati
tempat shalat kami. (HR. Ibnu Majah No. 3123, Al Hakim No. 7565, Ahmad No. 8273, Ad
Daruquthni No. 53, Al Baihaqi dalam Syuabul Iman No. 7334)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya No. 7565, katanya:Shahih
sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya. Imam Adz Dzahabi
menyepakati hal ini.

Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami No. 6490, namun hanya menghasankan
dalam kitab lainnya seperti At Taliq Ar Raghib, 2/103, dan Takhrij Musykilat Al Faqr,No. 102.
Sementara Syaikh Syuaib Al Arnauth mendhaifkan hadits ini, dan beliau mengkritik Imam Al
Hakim dan Imam Adz Dzahabi dengan sebutan: wa huwa wahm minhuma ini adalah wahm
(samar/tidak jelas/ragu) dari keduanya. Beliau juga menyebut penghasanan yang dilakukan
Syaikh Al Albani dengan sebutan: fa akhthaa keliru/salah. (Lihat Taliq Musnad
Ahmad No. 8273)
Mengomentari hadits ini, berkata Imam Amir Ash Shanani Rahimahullah:

} { }

{
Hadits ini dijadikan dalil wajibnya berkurban bagi yang memiliki kelapangan rezeki, hal ini
jelas ketika Rasulullah melarang mendekati tempat shalat, larangan itu menunjukkan bahwa hal
itu merupakan meninggalkan kewajiban, seakan Beliau mengatakan shalatnya tidak bermanfaat
jika meninggalkan kewajiban ini. Juga karena firmanNya: maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu dan berkurbanlah. Dalam hadits Mikhnaf bin Sulaim secara marfu (sampai kepada
Rasulullah) berbunyi: (wajib) atas penduduk setiap rumah pada tiap tahunnya untuk
berkurban. Lafaz hadits ini menunjukkan wajibnya. Pendapat yang menyatakan wajib adalah
dari Imam Abu Hanifah.[6]
Sementara yang tidak mewajibkan, menyatakan bahwa dua hadits di atas tidak bisa dijadikan
hujjah (dalil), sebab yang pertama mauquf (hanya sampai sahabat nabi, bukan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam), hadits kedua dhaif. Sedangkan ayat Fashalli li
Rabbika wanhar, tidak bermakna wajib kurban melainkan menunjukkan urutan aktifitas, yakni
menyembelih kurban dilakukan setelah shalat Id.
Berikut keterangan dari Imam Ash Shanani:
:

) } { (

{
.

Dikatakan: Tidak wajib, karena hadits pertama adalah mauquf dan tidak bisa dijadikan hujjah
(dalil). Hadits kedua (dari Mikhnaf bin Sulaim) dhaif karena dalam sanadnya ada Abu Ramlah.
Berkata Imam Al Khathabi: Dia itu majhul (tidak dikenal). Sedangkan firmanNya:
berkurbanlah.adalah tentang penentuan waktu penyembelihan setelah shalat. Telah
diriwayatkan oleh Abu Hatim, Ibnu Syahin di dalam sunan-nya, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi
dari Ibnu Abbas dan didalamnya terdapat beberapa riwayat dari sahabat yang seperti ini, yang
menunjukkan bahwa menyembelih kurban itu dilakukan setelah shalat (Ied). Maka ayat itu

secara khusus menjelaskan tentang waktu penyembelihnnya, bukan menunjukkan kewajibannya.


Seolah berfirman: Jika engkau menyembelih maka (lakukan) setelah shalat Ied. Ibnu Jarir telah
meriwayatkan dari Anas: Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah
menyembelih sebelum shalat Id, lalu Beliau diperintahkan untuk shalat dulu baru kemudian
menyembelih. Maka nyatalah kelemahan alasan mereka yang mewajibkannya. Sedangkan,
madzhab jumhur (mayoritas) dari sahabat, tabiin, dan ahli fiqih, bahwa menyembelih qurban
adalah sunah muakkadah, bahkan Imam Ibnu Hazm mengatakan tidak ada yang shahih satu pun
dari kalangan sahabat yang menunjukkan kewajibannya.[7]
Seandainya hadits-hadits di atas shahih, itu pun tidak menunjukkan kewajibannya. Sebab dalam
riwayat lain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Jika kalian memasuki tanggal 10 (Dzulhijjah) dan hendak berkurban maka janganlah dia
menyentuh sedikit pun dari rambutnya dan kulitnya. (HR. Muslim No. 1977)[8]
Hadits tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa berkurban itu terkait dengan kehendak,
manusianya oleh karena itu Imam Asy Syafii menjadikan hadits ini sebagai dalil tidak wajibnya
berkurban alias sunah.
Berikut ini keterangannya:

Berkata Asy Syafii: Sesungguhnya sabdanya lalu kalian berkehendakmenunjukkan ketidak
wajibannya.[9]
Insya Allah tentang Fiqih Qurban akan kami bahas pada hari-hari yang akan datang.
5. Tidak Berpuasa pada Hari Raya (10 Dzulhijah) dan hari Tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah)
Dari Uqbah bin Amir Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda:

Hari Arafah, hari penyembelihan qurban, hari-hari tasyriq, adalah hari raya kita para pemeluk
islam, itu adalah hari-hari makan dan minum. (HR. At Tirmidzi No. 773, katanya: hasan
shahih, Ad Darimi No. 1764)[10]
Dari Nubaisyah Al Hudzalli, katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum. (HR. Muslim No. 1141)

Inilah di antara dalil agar kita tidak berpuasa pada hari raya dan hari-hari tasyriq, karena itu
adalah hari untuk makan dan minum. Sedangkan untuk puasa pada hari Arafah sudah dibahas
pada bagian sebelumnya.
Imam At Tirmidzi berkata:




Para ulama mengamalkan hadits ini, bahwa mereka memakruhkan berpuasa pada hari-hari
tasyriq, kecuali sekelompok kaum dari sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamdan selain
mereka, yang memberikan keringanan untuk berpuasa pada hari-hari tasyriq bagi orang yang
berhaji tamattu jika belum mendapatkan hewan untuk berqurban dan dia belum berpuasa pada
hari yang sepuluh (pada bulan Dzulhijjah, pen). Inilah pendapat Malik bin Anas, Asy Syafii,
Ahmad, dan Ishaq. (Sunan At Tirmidzi, lihat komentar hadits No. 773)
Pada saat itu dibolehkan mengadakan acara (haflah) makan dan minum, karena memang kaum
muslimin sedang berbahagia. Hal itu sama sekali bukan perbuatan yang dibenci.
Al Hafizh Ibnu Hajar memberikan penjelasan terhadap hadits ini, katanya:

Sesungguhnya makan dan minum pada berbagai acara adalah mubah dan tidak ada kemakruhan
di dalamnya.[11]
6. Berdzikir Kepada Allah Taala pada hari-hari Tasyriq
Dalam riwayat Imam Muslim, dari Nubaisyah Al Hudzalli, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda:

Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum. (HR. Muslim No. 1141), dan dalam
riwayat Abu Al Malih ada tambahan: dan hari berdzikir kepada Allah. (HR. Muslim No.
1141)
Pada hari-hari tasyriq kita dianjurkan banyak berdzikir, karena Nabi juga mengatakan hari
tasyriq adalah hari berdzikir kepada Allah Taala. Agar kebahagian dan pesta kaum muslimin
tetap dalam bingkai kebaikan, dan tidak berlebihan.
Imam Ibnu Habib menjelaskan tentang berdzikir pada hari-hari tasyriq:

Hendaknya bagi penduduk Mina dan selain mereka untuk bertakbir pada awal siang (maksudnya
pagi, pen), lalu ketika matahari meninggi, lalu ketika matahari tergelincir, kemudian pada saat
malam, demikian juga yang dilakukan. Ada pun penduduk seluruh ufuk dan selain mereka, pada
setiap keluarnya mereka ke tempat shalat dan setelah shalat hendaknya mereka bertakbir pada
saat itu, dan tidak dikeraskan.[12]
Maka, boleh saja bertakbir saat hari-hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah) sebagaimana yang kita
lihat pada sebagian masjid dan surau, yang mereka lakukan setelah shalat. Hal ini berbeda
dengan Idul Fithri yang bertakbirnya hanya sampai naiknya khatib ke mimbar ketika shalat Idul
Fithri, yaitu takbir dalam artian takbiran-nya hari raya. Ada pun sekedar mengucapkan takbir
(Allahu Akbar) tentunya boleh kapan pun juga.
Demikian. Semoga bermanfaat .
Wallahu Alam
__________________________________

[1] Sebagian imam ahli tafsir menyebutkan bahwa, hukum berperang pada bulan-bulan haram
adalah dibolehkan, sebab ayat ini telah mansukh (direvisi) secara hukum oleh ayat: Perangilah
orang-orang musyrik di mana saja kalian menjumpainya .. Sementara, ahli tafsir lainnya
mengatakan, bahwa ayat ini tidak mansukh, sehingga larangan berperang pada bulan itu tetap
berlaku kecuali darurat. Dan, Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan
bahwa ayat ini mansukh (direvisi) hukumnya. (Jami Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub Al
Ilmiyah) Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan haram adalah
pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelarangan hanya terjadi pada awal-awal Islam. (Lathaif Al
Maarif Hal. 116. Mawqi Ruh Al Islam)
[2] Tafsir Al Quran Al Azhim, 8/390. Dar Ath Thayyibah
[3] Ibid
[4] Tafsir Al Quran Al Azhim, 8/390. Lihat Syaikh Sayyid Ath Thanthawi, Al Wasith, 1/4497.
Mawqi At Tafasir
[5] Syaikh Syuaib Al Arnauth, Taliq Musnad Ahmad No. 8031, Syaikh Al Albani dalam
berbagai kitabnya seperti Tamamul Minnah Hal. 410, At Taliq Ar Raghib, 2/77, Dhaif Abi
Daud No. 461, dan lainnya
[6] Subulus Salam, 4/91
[7] Ibid
[8] Berkata Imam An Nawawi tentang maksud hadits ini:


:
: : :
:
. :
Ulama berbeda pendapat tentang orang yang memasuki 10 hari bulan Zulhijjah dan orang yang
hendak berquban. Said bin Al Musayyib, Rabiah, Ahmad, Ishaq, Daud, dan sebagian pengikut
Asy SyafiI mengatakan: sesungguhnya haram baginya memotong rambut dan kukunya sampai
dia berqurban pada waktu berqurban. Asy Syafii dan pengikutnya mengatakan: hal itu makruh,
yakni makruh tanzih (makruh mendekati boleh), tidak haram. Abu Hanifah mengatakan: tidak
makruh. Malik mengatakan: tidak makruh. Pada riwayat lain dari Malik; makruh. Pada riwayat
lain: diharamkan pada haji yang sunah, bukan yang wajib. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
6/472)
[9] Subulus Salam, 4/91
[10] Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: isnaduhu shahih. Al Hakim dalam Al
Mustadrak No. 1586, katanya: Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tetapi mereka tidak
meriwayatkannya.
[11] Fathul Bari, 4/238
[12] Imam Abul Walid Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa, 2/463

You might also like