You are on page 1of 18

RESUME PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Kebutuhan Hidup

Disusun Oleh :
Kelompok 7
Dani Abdillah

(140210204009)

Nabila Cahya Bulan

(140210204111)

Defi Riski Awalin

(140210204112)

Wulan Puji Lestari

(150810201044)

Debra Natasya Ulfha

(151710101063)

Luluk

UNIVERSITAS JEMBER
2015

KEBUTUHAN HIDUP
A. KEWAJIBAN BERUSAHA DALAM ISLAM BERDASARKAN AYAT
AL-QURAN
Perintah bekerja telah Allah wajibkan semenjak nabi yang pertama,
Adam Alaihi Salam sampai nabi yang terakhir, Muhammmad SAW . Perintah
ini tetap berlaku kepada semua orang tanpa membeda-bedakan pangkat,
status dan jabatan seseorang.
Dalil dari Al-Quran:

Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan kehidupan
(bekerja). (QS. An Naba : 11)



Kami telah menjadikan untukmu semua didalam bumi itu sebagai lapangan
mengusahakan kehidupan (bekerja) ; Tetapi sedikit sekali diantaramu yang
bersyukur. (QS. Al Araf : 10)

....
Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu. (Qs. At Taubah :
105)
Allah memang telah berjanji akan memberikan rizki kepada semua
makhluk-Nya. Akan tetapi janji ini tidak dengan cek kosong, seseorang
akan mendapatkan rizki kalau ia mau berusaha, berjalan dan bertebaran di
penjuru-penjuru bumi. Karena Allah menciptakan bumi dan seisinya untuk
kemakmuran manusia. Siapa yang mau berusaha dan bekerja ialah yang akan
mendapat rizki dan rahmat dari Allah.

B. AJARAN

ISLAM

TENTANG

BAGAIMANA

MEMENUHI

KEBUTUHAN HIDUP BERDASARKAN AYAT AL-QURAN


Etika Muslim dalam Menggapai Kebutuhan Hidup
Kata yang paling dekat dengan etika adalah moral atau yang lazim
disebut dengan akhlak. Dalam ajaran Islam, akhlak memiliki peran yang
sangat strategis. Bahkan akhlak dapat dikatakan sebagai ajaran Islam yang
paling esensial. Akhlak inilah yang diharapkan dapat lebih diutamakan oleh
seorang muslim dalam menggapai segala kebutuhan hidupnya.
Dalam konteks menggapai kebutuhan hidup, ada beberapa etika yang
harus kita pelihara. Antara lain adalah sebagai berikut:
1. Semua kegiatan dan aktivitas didasari oleh motivasi ibadah. Dalam Al
Quran surat Az Zariyat ayat 56 dijelaskan bahwa jin dan manusia
diciptakan untuk menyembah kepada Allah. Hal itu menunjukkan bahwa
setiap muslim harus menyadari bahwa segala aktivitas yang dilakukannya
dalam hidupnya merupakan pengabdian kepada Allah SWT. Kesadaran
seorang muslim akan tugas hidupnya adalah untuk beribadah kepada Allah
merupakan induk akhlak religius.
2. Bekerja adalah wajib dan mulia. Ayat-ayat Al Quran menyebutkan agar
iman diikuti dengan amal saleh. Amal tidak lain adalah kerja nyata yang
merupakan manifestasi dari iman. Bekerja mencari nafkah adalah
kewajiban setiap manusia, maka menjadi kewajiban jugalah bagi para
penguasa untuk menciptakan lapangan kerja. Bagi penguasa yang mampu
menciptakan lapangan kerja, luar biasa pahalanya dan sangat mulia di sisi
Allah SWT.
Surat An-Nahl: 97 yang artinya, Barangsiapa yang mengerjakan amal
soleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Surat Al-Qashas ayat 26 : Sesungguhnya orang yang paling baik yang


kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.
3. Kasih sayang kepada sesama manusia. Dalam memenuhi kebutuhan
hidup, seorang muslim harus menanamkan rasa kasih sayangnya kepada
orang lain. Jangan gara-gara kebutuhan perut sejengkal, hak orang lainpun
diabaikan bahkan dikorbankan. Kasih sayang merupakan syarat mutlak
untuk melestarikan nilai-nilai kekeluargaan di kalangan manusia. Dalam Al
Quran, Allah swt memerintahkan para pemimpin untuk mengambil zakat
dari orang-orang kaya (QS At-Taubah: 103). Zakat itu kemudian
didistribusikan kepada orang-orang fakir dan miskin (QS.At-Taubah: 60).
4. Mewujudkan maslahat dan menghindari mudharat. Karena tujuan
utama ajaran Islam adalah terwujudnya kebaikan (maslahat) dalam hidup
manusia, baik secara perorangan maupun sosial, jasmani maupun rohani,
dunia maupun akhirat. Mampu memberikan manfaat pada orang lain dan
menghindari hal-hal yang mudharat (merugikan orang lain). QS. At
Taubah:105 sebagai berikut: Bekerjalah kamu demi karena Allah semata
dengan aneka amal yang sholeh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu
maupun untuk masyarakat umum, Allah akan melihat yakni menilai dan
memberi ganjaran amal kamu itu.
5. Mencari yang halal dan menghindari yang haram. Islam menganjurkan
agar nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup diperoleh dengan cara-cara
yang halal dan menghindari cara-cara yang diharamkan. Karena dapat
dipastikan bahwa yang haram akan merugikan kehidupan manusia. Di
antara yang haram dan yang halal ada juga perkara syubhat (samar-samar).
.... ....
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba(Al
Baqarah: 275).

6. Menegakkan keadilan. Islam mengajarkan agar dalam menggapai


kebutuhan hidup diperhatikan juga nilai-nilai keadilan dan ihsan. Dalam
hal ini, adil dapat diberikan pengertiannya secara umum dengan
memberikan

kesempatan

kepada

orang

lain

untuk

memperoleh

kebutuhannya sesuai dengan haknya. Lebih lugas Islam menegaskan agar


seorang muslim tidak merampas hak orang lain secara semena-mena demi
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Terdapat pada QS. An Nissa Ayat :
58, Surah Al-Hadid ayat 25.
7. Menyadari bahwa apa yang dimiliki dan diusahakan adalah amanah
Allah. Allah adalah pemilik yang sesungguhnya (mutlak) segala sesuatu
yang ada di alam ini. Menyadari bahwa harta yang diperoleh manusia
merupakan rejeki dari Allah. Terdapat dalam QS. Al Anfal ayat 27.
Sesuai dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa makna etika
muslim dalam menggapai kebutuhan hidup adalah menyangkut cara bagaimana
kebutuhan-kebutuhan hidup materill manusia dapat dipenuhi dengan landasan
etika. Alam dan seluruh isinya disediakan Allah untuk kebutuhan hidup
manusia. Dengan bekerja, manusia mengelola alam beserta isinya untuk
kebutuhan hidupnya. Namun Islam mengajarkan etika yang benar dalam
mengelola alam ini. Etika tersebutlah yang harus dipatuhi manusia, jika
manusia ingin hidupnya maslahat.
C. KONSEP BEKERJA SEBAGAI IBADAH
Ciri-Ciri Kerja Dianggap Ibadah
1. Niat kerana Allah.
2. Berteraskan iman dan taqwa.
3. Tidak meninggalkan yang wajib.
4. Mendapat ganjaran di dunia dan di akhirat.

a. SIAPAKAH YANG BEKERJA DALAM KELUARGA, SUAMI


ATAUKAH ISTRI
Di dalam al-quran sudah dijelaskan kewajiban suami/ayah untuk
menafkahi dirinya, anaknya, serta istrinya.
Allah berfirman: Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara maruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. (Al-Baqarah: 233)
Allah berfirman: Hendaklah orang yang mampu, memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya, hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah
berikan kepadanya [Ath Thalaq / 65:7]
Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi
rahimahullah berkata:
Ini sesuai dengan hikmah dan rahmat Allah Taala. Dia menjadikan
(kewajiban) setiap orang sesuai dengan keadaannya, dan Dia meringankan
dari orang yang kesusahan, sehingga, dalam masalah nafkah dan lainnya,
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar)
kemampuannya.
Allah berfirman: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisaa: 34)
Abu Umamah berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika kamu mensedekahkan kelebihan
hartamu, itu lebih baik bagimu daripada kamu simpan, karena hal itu akan
lebih berbahaya bagimu. Dan kamu tidak akan dicela jika menyimpan
sekedar untuk keperluan. Dahulukanlah Memberi Nafkah Kepada Orang

Yang Menjadi Tanggunganmu. Tangan yang di atas adalah lebih baik,


daripada tangan yang di bawah. (HR. Muslim)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Apa yang engkau berikan
untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu,
dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu
adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi
makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang
engkau berikan untuk memberi makan isterimu, maka itu adalah sedekah
bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu,
maka itu adalah sedekah bagimu.
b. BAGAIMANAKAH
PEREMPUAN

YANG

PANDANGAN
BEKERJA

ISLAM
DI

TERHADAP

SEKTOR

PUBLIK/

PEREMPUAN KARIR
Menurut Al-Quran dan Hadits tentang Posisi Perempuan
Al-Quran menegaskan bahwa antara laki-laki dengan perempuan
terdapat kesetaraan. Tidak ada perbedaan antara keduanya dalam
perbuatan. Siapa saja melakukan amal (perbuatan) akan mendapat
ganjaran yang setimpal dengan apa yang mereka perbuat. Inilah yang
ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Quran surat Al-Ahzab (33) ayat 35:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki
dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Jelas sekali terpahami dalam ayat di atas, Islam tidak membedakan
antara laki-laki dan perempuan. Siapa saja mendapat ganjaran dari amal

perbuatan yang dilakukannya. Tidak ada penempatan yang lebih ataupun


penempatan yang kurang dalam posisi itu. keduanya harus saling
mendukung.
Hadis juga menjelaskan bahwa terdapat kondisi dimana seorang
wanita juga harus mempunyai aktivitas di luar rumah. Hadits Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, ia berkata: Bibiku
ditolak suaminya. Ia bermaksud menanam kormanya di waktu iddah,
maka ia dilarang oleh seorang laki-laki keluar dari rumah. Ia datang
kepada Nabi Muhammad. Beliau bersabda: Betul, petiklah kormamu
sebab barangkali kamu dapat bersedekah dengannya atau berbuat
kebaikan .
Diriwayatkan oleh Al Rabi binti Muaawwidz, ia berkata: Kami
ikut berperang bersama Rasulullah SAW. Kami menyediakan minuman
bagi para prajurit yang terbunuh dan yang terluka ke Madinah. Juga
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Ummu Athiyyah AlAnshory berkata: Saya ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak
tujuh kali, saya berada di belakang mereka, emgobati yang terluka dan
merawat yang sakit.
Hadits-hadits tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas,
betapa kaum perempuan semenjak Nabi telah memegang peran publik
mereka di tengah masyarakat. Posisi yang setara dan seimbang antara lakilaki dan perempuan dipelihara dan dibangun secara terus menerus oleh
Rasulullah SAW. Hal ini bukan hanya dalam doktrin dan ajaran, tetapi juga
dalam praktek pelaksanaan di tengah kehidupan sehari-hari.
Dan manakala kita mencermati kondisi dalam kehidupannya selama
ini, maka akan kita jumpai sebagian suami mereka ternyata tidak
berkemampuan menanggung biaya hidup keluarga, bahkan kebanyakan
orang tua/wali tidak sanggup menanggung beban hidup seorang anak
wanita beserta anak-anaknya ketiak ia diceraikan suaminya atau menjadi
janda karena ditinggal mati oleh suaminya.

Dalam kondisi seperti ini seorang wanita dapat dikatakan wajib


terjun ke dunia profesi (karier) untuk menanggung biaya hidupnya beserta
keluarganya karena sipenanggung jawab sudah tiada/tidak berdaya.
Sementara dalam kesempatan lain seorang wanita disunahkan melakukan
kegiatan profesi. Manakala kegiatan profesi (karier) dilakukan sejalan
dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan-tujuan
yang luhurnya membantu suami, ayah, atau saudaranya yang miskin,
mewujudkan kepentingan masyarakat banyak, berkorban pada jalan yang
baik dan sebagainya.
Setelah mencermati berbagai motif berkarier bagi wanita maka
penelusuran selanjutnya diarahkan pada pandangan Islam terhadap karier
wanita. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, bahwa wanita mempunyai
hak, kewajiban yang sama dengan pria, wanita juga mempunyai peluang
berkarier sebagaimana pria. Cukup banyak ayat Al-Quran maupun hadis
Nabi yang memberikan pemahaman esensial: bahwa Islam mendorong
wanita maupun pria untuk berkarier.
Dalam surat an-Nisa : 32, Allah SWT berfirman : Dan janganlah
kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang lakilaki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para
wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dalam beribadah maupun
berkarya, wanita memperoleh imbalan dan pahala yang tidak berbeda
dengan pria. Islam tidak membedakan pengakuan dan apresiasi terhadap
kinerja atasa dasar jenis kelamin. Bahkan ditegaskan bahwa prestasi akan
dicapai jika usaha dilakukan secara maksimal disertai doa. Dengan
demikian, jelaslah kiranya bahwa wanita bisa berkarier dan dapat

mencapai prestasi sama dengan pria atau bahkan melebihinya; bergantung


pada usaha dan doanya.
Penegasan Allah SWT bahwa wanita dan pria diberi hak dan peluang
yang sama baik dalam hal beramal, bekerja maupun berprestasi dapat
disimak pula dalam Q.S. An-Nisa : 124 berikut ini: Barangsiapa yang
mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia
orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka
tidak dianiaya walau sedikitpun.
Beberapa ayat Al-Quran tersebut cukup menjadi bukti bahwa ajaran
Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita. Islam memberikan motivasi yang
kuat agar para musliamah mampu berkarier di segala bidang sesuai dengan
kodrat martabatnya. Islam membebaskan wanita dari belenggu kebodohan,
ketertinggalan dan perbudakan. Dengan demikian, Islam memang agama
pembebasan dari perbudakan antar manusia maupun hawa nafsunya.
Konsep ini selaras dengan prinsip kebebasan yang dianut barat. Hanya
saja, melalui Islam manusia dituntun hidup bebas sesuai dengan tuntunan
Tuhan.
D. FENOMENA AKTUAL
Masalah yang timbul kini berkaitan dengan keterlibatan wanita dalam
dalam dunia profesi (karier) yang ruang geraknya disektor publik, sedangkan
di sisi lain wanita sebagai raiyah fi baiti zaujiha (penanggungjawab dalam
masalah-masalah intern rumah tangga), cukup menimbulkan pendapat yang
kontroversial di kalangan cendekiawan muslim.
Abbas Mahmud al-Aqqad misalnya, tidak memperbolehkan wanita
(istri) bekerja di luar rumah. Alasannya karena pria telah diberi kelebihan
kemampuan dalam menghadapi hidup daripada wanita. Karena itu kerajaan
wanita terletak di rumah tangga, meskipun ia memiliki kesanggupan
intelektual maupun fisik yang sama dengan pria, namun dalam kondisi
tertentu wanita harus mundur dari perjuangan hidup selama hamil,

melahirkan, dan menyusui anak. Kecuali bila wanita terpaksa harus mencari
nafkah sendiri, maka al-Aqqad membolehkan wanita bekerja. Mustafa alSibai sependapat dengan al-Aqqad, yakni membolehkan wanita bekerja
manakala tidak ada seseorang yang menjamin nafkah padanya. Itupun hanya
pekerjaan-pekerjaan tertentu yang relatif mudah wajar dan tidak mengandung
resiko. Baiknya wanita lebih terhormat untuk tinggal di rumah terutama bila
yang bersangkutan mempunyai anak.
Dalam kegiatan sosial maupun politik, meskipun tidak ada larangan
secara eksplisit, namun pada masa Rasul SAW, dan masa Sahabat tidak ada
wanita yang berprofesi sebagai politikus. Keterlibatan mereka di medan
perang untuk menjadi perawat dan juru masak sekedar partisipasi dan bukan
pemegang posisi strategis. Ia beranggapan bahwa wanita yang bekerja di luar
rumah, lebih banyak mudaratnya dibandingkan manfaat yang diraihnya, yaitu
mendatangkan fitnah yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan rumah
tangganya.
Abdurahman Taj berpendapat bahwa apabila seorang istri bekerja sehari
penuh atau sebagian waktu siang, kemudian pada malam hari berada di
rumah (suaminya) atau bekerja di malam hari dan menggunakan sisa waktu
malamnya bersama suami; maka apabila hak suami rela dengan keadaan
tersebut, gugurlah haknya dalam menahan istri agar tinggal di rumah dan ia
wajib memberinya (istri) nafkah, sebaliknya manakala ia (suami) tidak rela
maka ia tidak (wajib) memberinya (istri) nafkah. Bahkan apabila suami pada
mulanya rela istri bekerja lantas berubah pikiran untuk mencegahnya dan
manakala istrinya menolak untuk berhenti bekerja, maka gugurlah kewajiban
suami memberi nafkah.
Bila dicermati dengan seksama maka pendapat-pendapat tersebut dapat
digolongkan

kepada

paham

fungsionalistik,

yang

mengutamakan

keseimbangan, keharmonisan dan kestabilan, karena itu agar tidak terjadi


konflik dalam keluarga akibat persaingan karier (suami-istri) maka harus ada
pembagian tugas yang sedemikian rupa yang menempatkan suami dalam
fungsi instrumental dan istri dalam fungsi ekspresif.

Sedangkan dipihak lain antara lain al-Hatimi menyatakan bahwa wanita


boleh bekerja, bahkan dibolehkan menduduki jabatan strategis/peranan
penting di masyarakat dengan catatan tetap tunduk pada ajaran syariat yang
menghidupi kesuciannya serta tidak menelantarkan peran utamanya sebagai
ibu rumah tangga. Pendapatnya bertolak dari historis tentang partisifasi para
wanita

di

zaman

Nabi

SAW,

dalam

peperangan,

misalnya:

mengangkat/menyediakan air minum para prajurit, memasak/menyediakan


makanan, menjaga/merawat prajurit yang sakit, menjaga dan memelihara
kenadaraan, memata-matai musuh, menjahit pakaian dan sebagainya.
Seorang wanita yang bernama Ummu Atiyah ikut berperang bersama
Rasulullah SAW, sebanyak 7 kali sebagaimana pengakuannya yang termaktub
dalam Hadis berikut: Dari Ummu Atiyah al-Anshariyyah berkata, Saya
berperang bersama Rasulullah SAW, sebanyak 7 kali; aku membantu mereka
(pasukan) dalam barak mereka dengan menyiapkan makanan mereka,
mengobati yang terluka, dan menjaga yang sakit (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dan masih banyak lagi wanita yang ikut terjun ke medan perang,
misalnya Safiyah binti Abdul Muthalib seorang wanita pemberani dan sangat
perkasa, sehingga dengan pukulannya yang kuat ia bisa membunuh matamata dari umat Yahudi.
Dengan fakta-fakta historis tersebut maka tidak perlu ada lagi alasanalasan yang mengahalangi/melarang seorang wanita terjun dalam profesi
apapun, manakala tidak keluar dari koridor kewajaran menurut syariat Islam
dan tidak meninggalkan/ mengabaikan tugas utama mereka sebagai ibu rumah
tangga.
Dalam keluarga Rasulullah SAW, empat orang dari istri-istri beliau juga
profesional dalam menjalankan tugasnya. Mereka itu adalah:

Aisyah r.a. Guru ilmu kedokteran yang mahir di bidang pengobatan,


ahli sejarah dan juga sastra, ahli ilmu-ilmu agama, ahli ilmu politik
bahkan pernah menjadi Panglima dalam Perang Jamal. Setelah Nabi

SAW, wafat beliau mengajar di kediamannya. Dengan demikian


Aisyah dapat dikategorikan sebagai cendekiawan, ulama dan
budayawan. Aisyah adalah tokoh msyarakat di zamannya yang tidak
kalah dengan sahabat-sahabat Nabi lainnya.

Hafsah. Guru al-Quran dan pengetahuan umum. Beliau terkenal


cerdas dan pernah terlibat dalam kegiatan politik. Bersama Aisyah
pernah memberikan teguran kepada Khalifah Utsman r.a. Hanya
karena dihalangi adiknya (Abdullah bin Umar r.a), beliau tidak ikut
terjun dalam Perang Jamal. Bagaimana kelebihannya di mata umat
terlihat dari kepercayaan mereka kepada Hafsah untuk menyimpan
naskah al-Quran yang ditulis di zaman Abu Bakar r.a.

Ummu Salamah. Guru ilmu politik dan hubungan antar bangsa ketika
Nabi menghadapi situasi kritis menghadapi umat Islam yang kecewa
dengan Perjanjian Hudaibiyah dan tidak mau ber-tahallul. Ummu
Salamah lah yang tampil untuk memberi saran kepada Nabi untuk
bersikap tegas memulai tahallul yang kemudian semua sahabat
mengikuti tahallul.

Zainab binti Zahsy. Adalah guru keterampilan terutama kerajinan


tangan. Sedangkan istri-istri yang lain

yaitu Saudah, Safiyah,

Juwairiyah, Ummu Habibah, dan Maimunah berperan menjadi ibu


rumah tangga murni.
Tokoh lain yang membolehkan wanita bekerja di luar rumah adalah
al-Sakhawi yang mengatakan bahwa wanita-wanita yang mempunyai
keahlian atau kepandaian tertentu, seharusnya diabdikan kepada
masyarakat agar manfaatnya menyebar kepada orang banyak. Jamal alDin Muhammad Mahmud sependapat dengan al-Sakhawi bahwa wanita
berhak mendapatkan kesempatan untuk bekerja (di sektor publik) apabila
yang bersangkutan membutuhkan pekerjaan itu, atau pekerjaan tersebut
membutuhkan orang-orang seperti dia (dalam keahlian tertentu) bahkan

seharusnya dibuat undang-undang yang sesuai dengan hukum Islam untuk


melindungi dan menjamin kesejahteraan pekerja-pekerja wanita itu.
Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
wanita dalam meniti karier di luar rumah. Antara lain:
Pergaulan Wanita
Berkaitan dengan pola pergaulan muslimah, al-Quran dan hadits
telah memaparkan dengan jelas ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi
oleh setiap muslimah. Dalil-dalil ini juga telah dikutip oleh para ulama
sebagaimana tertuang buku-buku fikih. Dari berbagai ayat dan sabda Nabi,
dapat disimpulkan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan pola
pergaulan muslimah dalam hubungan ini, hal-hal berikut ini perlu
direnungkan.
Salah satu ayat al-Quran (Surat Al-Ahzab/33 : 33) menyatakan
wanita diperintahkan untuk tinggal dirumah dan tidak diperkenankan
keluar rumah dengan tabarruj seperti orang-orang jahiliyah, dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu
Namun dilihat dari asbab al nujulnya, ayat ini turun dalam konteks
istri-istri Nabi. Istri-istri Nabi SAW diperintahkan untuk tetap berada di
rumahnya kecuali ada keperluan yang bersifat darurat, dan ini juga berlaku
pula bagi wanita muslimah lainnya jika tidak ada dalil lain yang
menyatakan berbeda. Ayat ini diturunkan untuk melindungi dan
memuliakan wanita.
Untuk kehidupan masa kini, meninggalkan rumah bagi sebagian
wanita muslimah tidak hanya darurat tetapi merupakan kebutuhan. Bahkan
meninggalkan rumah untuk berkarier, sama sekali tidak menjadikan wanita
terancam; bahkan bisa mulia menurut persepsi masyarakat. Dengan kata
lain wanita yang berkarier dan sukses justru dinilai positif dan direspek

tentu saja selama wanita itu memegang teguh nilai-nilai Islam, baik dalam
pergaulan, pakaian maupun dalam bekerja.
Dalam berinteraksi dengan kaum pria, wanita diperintahkan untuk
merendahkan suaranya, dan dilarang mengekspresikan suara yang
menimbulkan rangsangan bagi pria selain muhrimnya. Firman Allah: Hai
isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika
kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk [1213] dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya [1214] dan
ucapkanlah perkataan yang baik, (Q.S. Al-Ahzab/33:32)
Masih

terkait

dengan

interaksi

wanita-pria,

wanita

tidak

diperkenankan berduaan dengan pria bukan muhrimnya, demikian pula


sebaliknya. Dalam sebuah hadits disebutkan: Dari Uqbah bin Amir dari
Nabi SAW mengatakan, Tidaklah seorang pria berkhalwat (berduaan)
dengan seorang wanita, kecuali setan yang ketiga diantara mereka. (HR.
Bukhari, Ahmad dan At-Turmudzi).
Ketika berjalan, wanita harus menunjukkan sikap tawadu, penuh
rasa malu namun sopan dan tidak menampakkan kelemahan yang bisa
mendorong pria untuk menggodanya. Tidak boleh memakai sesuatu yang
menimbulkan suara ketika berjalan, sehingga menarik perhatian orang
yang mendengarnya, seperti memakai gelang kaki, sepatu yang bisa
menimbulkan suara dan sebagainya. Dalam al-Quran dinyatakan:Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. An-Nur : 31)
Wanita hendaknya tidak berdesakan dengan pria di jalan. Ketika
berjalan berbaur dengan orang banyak, dimana sebagian mereka adalah
pria, maka hendaknya wanita di bagian belakang. Wanita juga tidak boleh
memakai wewangian dan aneka macam alat kecantikan yang bisa menarik
perhatian lawan jenis. Busana yang dikenakan sehari-hari di ruang publik

bagi wanita karier khususnya dan wanita pada umumnya, hendaknya


memenuhi kriteria sebagai berikut:
Busana yang menutup seluruh aurat yang wajib ditutup.
Busana yang tidak menyolok mata dan menjadi kebanggaan
pemakainya di depan orang lain.
Busana yang tidak tipis, agar warna kulit pemakainya tidak nampak
dari luar.
Busana

yang

agak

longgar/tidak

terlalu

ketat

agar

tidak

menampakkan bentuk tubuhnya.


Busana yang tidak menyerupai/sama dengan busana untuk pria.
Busana yang bukan merupakan perhiasan bagi kecantikan yang
menjadi alat kesombongan/tabarruj.
Bagi wanita karier atau muslimah yang beraktivitas di sektor
publik, busana muslimah mempunyai urgensi yang signifikan. Busana
yang menutup aurat dapat menciptakan rasa aman kepada pemakainya
di satu sisi, dan menyelamatkan orang lain dari zina mata di sisi
lainnya. Dengan penampilan yang Islami, seorang wanita akan
dihormati orang lain karena disamping penuh wibawa juga
menumbuhkan rasa segan, sehingga menciptakan jarak yang wajar
untuk berinteraksi antara pria dan wanita. Dengan demikian gosip dan
fitnah serta godaan dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA
http://pengusahamuslim.com/kewajiban-bekerja/
http://www.al-intima.com/nasehat/seorang-muslim-wajib-bekerja-danberpenghasilan
https://ratni213.wordpress.com/2010/04/11/etika-muslim-dalam-menggapaikebutuhan-hidup/
http://www.mdarulquran.net.my/1.5/index.php?
option=com_content&view=article&id=164:kerja-sebagai-ibadah
http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0;%5D
https://abuzuhriy.wordpress.com/2011/02/07/kewajiban-seorang-suamiayahmemberi-nafkah-kepada-isteri-dan-anak-anaknya-dan-keutamaannya/

You might also like