You are on page 1of 5

Sikap Seorang Muslim Terhadap Kematian dan Jenazah (Menurut Tuntunan As

Sunnah Ash Shahihah) (Seri kedua)


6.

Memejamkan Matanya dan Mendoakan

Dari Ummu Salamah Radhiallahu Anha, dia berkata:










Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masuk ke kamar Abu Salamah, saat itu matanya
terbuka, maka Rasulullah memejamkan mata Abu Salamah. Kemudian bersabda: Sesungguhnya ruh itu
jika dicabut, maka mata akan mengikutinya. Maka gaduhlah keluarga Abu Salamah (karena kematiannya,
pen). Lalu Rasulullah bersabda: Janganlah kalian berdoa kecuali yang baik-baik saja, sesungguhnya
malaikat mengaminkan apa-apa yang kalian katakan. Lalu Rasulullah berdoa: Ya Allah, ampunkanlah
Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya bersama orang-orang yang mendapat petunjuk, dan jadikanlah
baginya pengganti dari keturunannya, ampunilah kami dan dia wahai Rabb Semesta Alam, dan
lapangkanlah alam kuburnya, dan berikanlah cahaya baginya di sana. (HR. Muslim, 4/480/1528. Abu
Daud, 8/379/2711. Ibnu Majah, 4/388/1444. Ahmad, 53/494/25332. Al Maktabah Asy Syamilah)
Derajat Hadits:
Hadits ini shahih, diriwayatkan Imam Muslim. Syaikh Al Albani menyatakan keshahihannya.
(Ahkamul Janaiz, Hal. 12, No. 17)
Syarah Hadits:
Ada dua pelajaran pokok dalam hadits, ini yakni dianjurkan memejamkan mata si mayit. Lalu,
mendoakan kebaikan baginya. Sebab, mata yang terbelalak akan membuat nampak seram, dan doa yang
baik sangat diperlukan bagi si mayit untuk meringankannya.
Imam An Nawawi Rahimahullan mengatakan, hadits ini merupakan dalil disunnahkannya
memejamkan mata si mayat sebab pandangan mata akan mengikuti ruh ketika dia pergi (dicabut), dan
memejamkan mata telah menjadi ijma (kesepakatan) kaum muslimin. Hikmahnya adalah jika dibiarkan
terbuka maka akan memperlihatkan pemandangan yang seram. Selain itu, hadits ini juga menunjukkan
disunahkannya berdoa bagi mayit ketika datang kematiannya, juga berdoa untuk keluarganya,
keturunannya, dengan doa kebaikan urusan dunia dan akhiratnya. (Syarh Shahih Muslim, 3/331/1528.
Subulus Salam, 3/65, kami kutip dengan diringkas)

Hendaknya yang memejamkan mata tersebut adalah mahramnya, seperti orang tua, mertua,
saudara kandung, saudara sesusuan, atau yang sejenis kelaminnya. Hanya, saja dimakruhkan bagi yang
sedang haid dan junub. (Kasysyaf Al Qina, 4/280).
Imam Ahmad juga memakruhkan bagi orang yang haid dan junub untuk mendekati mayit dan
memejamkan mata mayit. Al Qamah juga memakruhkannya, begitu pula diriwayatkan dari Imam Asy
Syafii. (Asy Syarh Al Kabir, 2/307-308)
Mungkin, pemakruhan ini lantaran kondisi hadats besar bisa menghalangi masuknya malaikat
rahmat masuk ke dalam rumah tersebut, ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bahwa lukisan (makhluk bernyawa), anjing, dan orang junub, akan menghalangi masuknya malaikat ke
rumah (HR. Abu Daud, 1/286/196, An Nasai, 1/143/261. Ahmad, 2/104/598. Hadits ini shahih
menurut Syaikh Al Albani, Shahih wa Dhaif Sunan An Nasai, 9/353/4281. Al Maktabah Asy
Syamilah)
Bukan hanya memejamkan mata, dianjurkan pula untuk mengikat kuat dagu dengan pembalut
yang lebar agar mulutnya rapat, sebab jika mata dan mulut terbuka, mayit akan nampak seram,
memungkinkan masuknya serangga dan air ketika dimandikan. (Asy Syarh Al Kabir, 2/307)
Pelajaran lain dari hadits ini adalah bahwa ruh adalah wujud halus yang ada pada tubuh manusia,
ketika dia pergi maka hilanglah kehidupan. Dia tidak memiliki materi dan darah sebagaimana klaim
sebagian manusia. Juga, di dalam hadits ini ada petunjuk bahwa mayit di dalam kuburnya akan
mendapatkan nikmat atau siksa. (Syarh Shahih Muslim, Ibid. Subulus Salam, Ibid)
Sementara, di luar pembahasan ini, pada hadits ini juga ada pendidikan sosial bagi kita, bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah seorang pendidik yang handal, bukan hanya
memerintahkan tapi juga mencontohkan. Ia datang langsung ke keluarga Abu Salamah (belakangan nanti
Ummu Salamah akan menikah dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam). Di sana telah terjadi
ikhtilath masyru (pembauran laki-perempuan) yang diperbolehkan oleh syariat, selama wanita dan lakilakinya menutup aurat secara sempurna, menjaga pandangan, tidak berhias seperti wanita jahiliyah, dan
pertemuan tersebut memang dibutuhkan. Banyak pula peristiwa lain yang diriwayatkan secara shahih,
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menjenguk Ummul Ala ketika sakit (Abu Daud,
8/338/2688. Silsilah As Shahihah no. 714), Ummu Darda menjenguk laki-laki ahli mesjid dari Anshar
ketika sakit (Bukhari,17/392), juga Aisyah dan ayahnya mengunjungi Bilal ketika sakit (Bukhari,
17/393), sehingga Imam Bukhari membuat Bab khusus tentang bolehnya seorang wanita menjenguk lakilaki yang sakit yakni Bab Iyadatin Nisa Ar Rijal. Walau riwayat Aisyah tersebut terjadi ketika belum
turun ayat wajibnya hijab, namun kunjungan tersebut tetap boleh selama aman dari fitnah (Fathul Bari,
16/148). Masih banyak lagi riwayat lain yang semisal ini. Wallahu Alam
7.

Menutupi Jenazah Dengan Kain Bermotif

Dari Aisyah Radhiallahu Anha, dia berkata:




Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika wafat ditutup dengan kain
bermotif (bercorak). (HR. Bukhari, 18/129/5367. Muslim, 5/28/1566. Abu Daud, 8/383/2713. Ahmad,
50/96/23440. Al Maktabah Asy Syamilah)
Derajat Hadits:

Hadits ini shahih, muttafaq alaih, terdapat dalam shahihain (dua kitab shahih, yakni dalam
Jami Shahih-nya Bukhari dan Jamius Shahih-nya Muslim).
Syarah Hadits:
Secara umum, Burdun Hibarah adalah kain bercorak atau bermotif dari tinta. Sejenis kain
bercorak batik jika di Indonesia. Kain seperti ini biasa dipakai oleh para ibu ketika menggendong anaknya.
Faktanya, memang kain seperti ini yang biasa dipakai masyarakat kita untuk menutupi mayit.
Menurut Imam An Nawawi maksud kain bercorak dalam hadits ini adalah kain bercorak dari
Yaman, dan disukai menutup mayat dengannya, yakni menutupi seluruh tubuhnya. (Syarh Shahih Muslim,
3/360. Aunul Mabud, 7/104. Nailul Authar, 6/118)
Imam Ash Shanani Rahimahullah mengatakan kain bercorak boleh dimotifkan dengan tinta,
dan jenis ini termasuk salah satu kain yang disukai oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan kain
ini berfungsi sebagai penutup sebelum dimandikan. An Nawawi mengatakan hal ini adalah ijma.
Hikmahnya adalah untuk melindungi mayit agar tidak tersingkap, dan menutup auratnya dari penglihatan
manusia lantaran adanya perubahan pada jasadnya. Mereka mengatakan bahwa penutupan ini dilakukan
setelah pakaian yang dikenakannya ketika wafat ditanggalkan, agar jasadnya tidak mengalami perubahan
karenanya. (Syarh Shahih Muslim, 3/360. Subulus Salam, 3/66. Aunul Mabud, 7/104. Nailul Authar,
6/118)
Penutupan mayit dilakukan atas seluruh tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Maka,
kebiasaan sebagian masyarakat yang membiarkan wajah mayit terbuka agar manusia bebas melihatnya
berlama-lama merupakan perbuatan yang menyelisihi sunah dan tidak etis. Tetapi, tidak mengapa membuka
dan melihatnya sebentar, sebagaimana yang dilakukan oleh Jabir bin Abdullah terhadap jasad ayahnya.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhuma, dia berkata:


Ketika ayahku terbunuh, aku buka kain penutup wajahnya lalu aku menangis dan mereka
mencegahku, tetapi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak melarangku. (HR. Bukhari,
4/465/1167)
Bahkan dibolehkan mencium wajahnya, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddiq
terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dari Ibnu Abbas Radhilallahu Anhuma, dia berkata:




Sesungguhnya Abu Bakar Radhiallahu Anhu mencium Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
setelah kematiannya. (HR. Bukhari, 13/363/4098). Masalah menangisi dan mencium mayit akan ada
pembahasannya nanti, Insya Allah.

Pemakaian kain bercorak untuk menutupi mayat tentu bukan kewajiban melainkan mustahab
(sunah) saja sebagaimana yang dikatakan Imam An Nawawi dan lainnya, hanya saja seperti itulah yang
digunakan kepada mayit Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mengikuti sunah adalah amal shalih

mulia yang harus dijaga dan dibiasakan oleh setiap muslim yang memiliki gairah terhadap agamanya.
Wallahu Alam.

8.

Mencium Mayit Karena Haru dan Penghormatan


Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, dia berkata:




Sesungguhnya Abu Bakar Radhiallahu Anhu mencium Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
setelah kematiannya. (HR. Bukhari, 13/363/4098. Ibnu Abi Syaibah, 3/295, dari jalur Aisyah. Al
Maktabah Asy Syamilah)
Derajat hadits:
Shahih, diriwaatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
Syarah Hadits:
Hadits ini dijadikan dalil bolehnya mencium mayit, dianjurkan setelah tubuhnya ditutup dan ini
merupakan perbuatan para sahabat setelah kematian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Namun,
dalam hadits ini tidak ada dalil mengenai berdiri mengelilingi mayit, walau hukum asalnya memang bolehboleh saja. (Subulus Salam, 3/67)
Bahkan Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa kebolehan mencium mayit adalah ijma
(kesepakatan) para sahabat, sebab mereka tidak ada yang mengingkarinya. Mencium yang dlakukan Abu
Bakar ini, dilakukan dalam rangka tazhim (penghormatan) dan tabarruk (mencari berkah). (Nailul Authar,
6/118)
Sebenarnya tak ada keterangan, apakah menciumnya itu dilakukan setelah atau sebelum
dimandikan. Oleh karena itu, Imam Abu Hasan bin Abdul hadi As Sindi mengatakan, bahwa mencium ini
bisa dilakukan sesudah atau sebelum dimandikan, dan ini juga menunjukkan bahwa mayit adalah suci dan
tidak najis. (Hasyiah As Sindi ala Ibni Majah, 3/242)
Ya, jika mayit najis, tentu Rasulullah dan para sahabat tidak akan mencontohkan mencium mayit.
Ada pun, bagian yang dicium adalah dahi/kening/jidat. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu
Umar Radhiallahu Anhu:


Lalu, Abu Bakar meletakkan mulutnya pada kening Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
beliau menciumnya dan menangis. (HR. Ibnu Abi Syaibah, 8/565. Imam Al Haitsami mengatakan
bahwa para periwayat hadits ini adalah periwayat hadits shahih, kecuali Ali bin Al Mundzir, tapi dia
tsiqah (bisa dipercaya), Majmauz Zawaid, 9/38)
Kebolehan ini semakin kuat, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri pernah
melakukannya terhadap mayit sahabatnya yang juga saudara sesusuannya, Utsman bin Mazhun
Radhiallahu Anhu.

Dari Aisyah Radhiallahu Anha, dia berkata:

Sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mencium Utsman bin Mazhun, ketika
Utsman wafat, dan Rasulullah menangis atau mengalir air matanya. (HR. At Tirmidzi, 4/101/910.
Katanya: hadits ini hasan shahih. Dishahihkan Syaikh Al Albani, Mukhtashar Asy Syamailul
Muhamamiyah no. 280. Al Maktabah Asy Syamilah)
Ibnu Majah juga meriwayatkan tentang Utsman bin Mazhun ini, dengan redaksi berbeda, Aisyah
berkata:





Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mencium Utsman bin Mazhun, ketika Utsman wafat,
dan seakan aku melihat air mata Rasulullah mengalir membelah pipinya. (HR. Ibnu Majah, 4/391/1446.
Ahmad, 52/187/24530. Dishahihkan Syaikh Al Albani, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah,
3/456/1456. Al Maktabah Asy Syamilah)
Pembolehan mencium ini, bukan hanya kekhususan para sahabat terhadap Rasulullah, atau
Rasulullah terhadap sahabat, melainkan untuk semua mayit umat Islam. Hadits ini menunjukkan bolehnya
mencium seorang muslim setelah kematiannya, dan menangis karenanya. (Tuhfah Al Ahwadzi, 3/45)
Bahkan, ada kemungkinan menetesnya air mata Rasulullah ke pipi Utsman. (Hasyiah As Sindi
ala Ibni Majah, 3/242)
Wallahu Alam
Bersambung

You might also like