Professional Documents
Culture Documents
Obstruksi saluran pernapasan bagian atas (atresia esofagus, atresia koana bilateral)
Kelainan parenkim paru (penyakit membran hialin, perdarahan paru-paru)
Kelainan di luar paru (pneumotoraks, hernia diafragmatika)
Terjadinya RDS (Respiratory Distress Syndrome) dapat disebabkan pula akibat adanya
cedera secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indircect). Secara langsung, cedera yang
terjadi langsung mengenai area paru-paru. Sedangkan secara tidak langsung, cedera terjadi di
tempat lain di tubuh dan mediator kimia yang dikeluarkan selama cedera masuk melalui aliran
darah ke paru-paru. Secara indirect sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi,
mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap parenkim
paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian RDS, insiden sepsis menyebabkan RDS
berkisar antara 30-50%. Secara direct, aspirasi dapat menyebabkan teradinya RDS. Aspirasi
cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai faktor risiko RDS (30%). Aspirasi cairan
lambung dengan pH yang tinggi dapat menyerang langsung epitel pada paru .
Direct Injury
Aspirasi
Sepsis
Pneumonia
kali/menit
Retraksi interkostal, epigastrium atau suprasternal pada inspirasi
Sianosis yang tidak membaik dengan pemberian oksigen
Grunting (terdengar seperti suara rintihan) pada saat ekspirasi
tegangan
permukaan
dan
mencegah
kolaps
paru
sehingga
membantu
mempertahankan stabilitas alveolar. Kadar surfaktan matur muncul sesudah umur kehamilan 34
minggu. Surfaktan menyebabkan ekspansi yang merata dan menjaga ekspansi paru pada tekanan
intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan
ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi.
Bila surfaktan tidak ada, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena
itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas
(ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan intratoraks yang lebih
besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali bernapas menjadi
sukar seperti saat pertama kali bernapas (saat kelahiran). Sebagai akibat, janin lebih banyak
menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada yang ia terima dan ini
menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan, bayi akan semakin sedikit
membuka alveolinya. Ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat
menyebabkan atelaktasis sehingga menyebabkan peningkatan gagal napas.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vascular resistance
(PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi
jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan
PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi darah janin dengan arah aliran dari kanan
ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.
Kolaps baru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan ventilasi pulmonal yang
menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah konstriksi vaskularisasi pulmonal yang
menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolisme
anareobik.
RDS atau sindrom gangguan pernapasan adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan
mengikuti masa deteriorasi (kurang lebih 48 jam) dan jika tidak ada komplikasi paru akan
membaik dalam 72 jam. Proses perbaikan ini, terutama dikaitkan dengan meningkatkan produksi
dan ketersediaan materi surfaktan.
Perjalanan dari ALI & ARDS dijelaskan dalam 3 fase, yaitu :
Exsudative Phase
Fase ini terjadi dalam 72 jam pertama setelah gangguan awal. Mediator kimia
akibat injury dilepaskan kedalam kapiler paru yang hasilnya akan meningkatkan
permeabilitas membran kapiler, yang mengakibatkan terjadinya shift cairan ke interstitial.
Kerusakan kapiler paru juga menyebabkan perkembangan mikrotrombi dan peningkatan
tekanan arteri pulmonalis. Cairan yang terus masuk ke dalam interstitial mengakibatkan
limfatik tidak mampu untuk memindahkan cairan tersebut yang akibatnya akan semakin
meningkatnya edema interstitial. Selanjutnya edema akan menyebabkan penekanan pada
alveolus yang cairan akan masuk pula kedalam alveolus, dan terjadilah edema pada
alveolus.
Edema alveolus menyebabkan pembengkakan pada sel epitel alveolus dan
semakin terjadi peningkatan cairan di alveolus. Selanjutnya sel epitel akan mengalami
kerusakan dan kemudian akan mengganggu produksi surfaktan. Kerusakan sel epitel dan
penurunan produksi surfaktan selanjutnya akan mengakibatkan alveolus kolaps dan
terjadi hipoksemia. Peningkatan kerja pernapasan terjadi karena adanya peningkatan
resistensi jalan napas, menurunnya FRC (Functional Residual Capacity) dan menurunnya
compliance paru akibat atelektasis dan penekanan pada jalan napas yang selanjutnya
membuat pasien kelelahan. Hipertensi pulmonalis dapat terjadi karena kerusakan pada
kapiler pulmonalis dan terbentuknya mikrotrombi yang semakin meningkatkan dead
space pada alveolus yang semakin memperburuk kondisi hipoksemia serta
meningkatkan afterload pada ventrikel kanan yang dapat menurunkan cardiac output
(CO)
Fibropoliferative Phase
Fase ini dimulai sebagai gangguan penyembuhan di paru-paru. Pada alveolus
akan terbentuk jaringan fibrosa. Alveolus akan membesar dan mempunyai bentuk yang
tidak teratur karena terbentuknya jaringan parut yang selanjutkan akan menjadi kaku
sehinggasemakin meningkatkan hipertensi pulmonalis dan memperparah hipoksemia.
Resolution Phase
Fase akhir ALI ini merupakan fase pemulihan yang terjadi selama beberapa
minggu. Pada fase ini terjadi perbaikan baik struktur maupun pembuluh darah dalam
membentuk kembali fungsi membran kapiler dan alveolus. Struktur fibrotik yang kaku
dapat dilihat pada pemeriksaan X-Ray seperti sarang madu (temuan klasik). Struktur ini
merupakan bukti bahwa tubuh berusaha melakukan kompensasi. Kondisi patologis ini
masih dapat kembali jika kondisi pasien membaik dan penyebabnya teratasi.Pasien pada
kondisi ini membutuhkan support ventilasi jangka panjang sampai kerusakan paru
teratasi. Pada fase ini baru ditemukan adanya peningkatan PCO 2 yang memperlihatkan
kondisi asidosis (Laycock & Rajah, 2010; Urden et al., 2010; Urden et al., 2014).
permeabilitas
membran kapiler
Alveolus dipenuhi
cairan
Kerusakan sel epitel
alveolus
Gangguan dalam
produksi surfaktan
Alveolus kolaps
perubahan pada
diameter saluran nafas kecil
resistensi
jalan napas
compliance
paru
kerja pernapasan
- hipoventilasi alveolus
- abnormalitas V/Q
(ventilasi : perfusi)
- intrapulmonary shunting
Hipoksemia
*(Laycock & Rajah, 2010; Urden et al., 2010; Urden et al., 2014)
Vasokontriksi
di paru
cedera pembuluh
darah di paru
pembentukan
mikroemboli
Hipertensi pulmonalis
penurunan curah
jantung
Pengkajian terhadap riwayat kehamilan dapat memberikan informasi yang jelas terhadap
penyebab timbulnya gangguan.
2. Pemeriksaan fisik
Peningkatan HR & RR serta fase lanjut ditemukan adanya hipotensi dan penurunan
CO.
Pasien menangis lemah.
Adanya dyspnea, takipnea, penggunaaan otot tambahan pernapasan yang semakin
napas.
Pada kondisi paling parah dapat terjadi penurunan kesadaran dan multiple organ
dysfunction syndrome (MODS) termasuk penurunan keluaran urin (output),
melemahnya motilitas lambung, dan gangguan koagulasi.
3. Pemeriksaan diagnostik
Hasil pemeriksaan yang menunjukan kriteria diagnosa RDS yaitu (Urden et al., 2006):
1. Serangan akut,
2. Pada ALI (Acute Lung Injury) rasio antara tekanan parsial oksigen (PaO2) dengan
fraksi inspirasi oksigen (
Fi O2
Distress Syndome) rasio antara tekanan parsial oksigen (PaO2) dengan fraksi
inspirasi oksigen (
Fi O2
3. Pada pemeriksaan rontgen dada atau radiografi terlihat adanya infiltrat bilateral
4. Pulmonary artery wedge pressure (PAWP) < 18 mmHg atau tidak adanya indikasi
hipertensi atrium kiri
AGD Tanda awal (early) : adanya hiperventilasi namun pada fase awal menunjukkan
kondisi alkalosis, hal tersebut karena
CO2
ditemukan kondisi asidosis. Analisis gas darah merupakan indikator definitif dari
pertukaran gas untuk menilai gagal nafas akut. Meskipun manifestasi klinis yang ada
memerlukan tindakan intubasi segera dan penggunaan ventilasi mekanis, pengambilan
sampel darah arterial diperlukan untuk menganalisis tekanan gas darah (PaO2, PaCO2, dan
pH) sambil melakukan monitoring dengan pulse oxymetri. Hipoksemia berat ditandai
dengan PaO2 < 50-60 mmHg dengan FiO2 60% atau PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 >
40% pada bayi < 1250 g, Hiperkapnik berat dengan PaCO2 > 55-60 mmHg dengan pH
<7,2-7,25.
X-ray hasil pemeriksaan X-Ray paru pada fase awal masih terlihat normal, hal ini
disebabkan karena perubahan pada paru belum terjadi dalam 24 jam pertama dan pada fase
lanjut pada hasil X-Ray ditemukan bilateral infiltrate yang menutupi lapang paru.
Pemeriksaan laboratorium hasilnya tergantung dari faktor penyebabnya. Pada RDS
disertai infeksi dapat ditemukan peningkatan sel darah putih. Trombositopenia dapat
ditemukan pada pasien sepsis dengan adanya koagulasi intravaskular diseminata (DIC).
Hemoglobin (Hb) harus selalu dipantau sebab jika terjadi anemia kandungan oksigen
dalam darah menurun sebagai akibat efek pemberian intervensi ventilasi mekanik dan
alveolar, atau pneumonia pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral.
Pemeriksaan kultur sputum
Intrapulmonary shunt measurement : intrapulmonary shunt 15 % menandakan
hipoksemia berat dan mengancam kehidupan. Pemeriksaan ini dilihat dari rasio Pa
/Fi
O2
o 300 = normal
o 200 = intrapulmonary shunt (15 20 %)
o < 200 = intrapulmonary shunt > 20 %
Echocardiography (untuk menapis penyebab edema dari edema pulmonal)
O2
Keterangan :
1. FiO2 dan PaO2. FiO2 adalah fraksi atau konsentrasi oksigen dalam udara yang
diberikan kepada pasien. Sedangkan PaO2 adalah tekanan parsial oksigen yaitu
perbedaan konsentrasi antara oksigen di alveolus dan membran.
2. I:E Ratio Perbandingan antara waktu inspirasi dan ekspirasi. Nilai normal 1:2.
3. Volume Tidal. Jumlah udara yang keluar masuk paru dalam satu kali nafas, atau
sama dengan jumlah udara yang diberikan ventilator dalam satu kali nafas. Nilai
normal 10 15 ml per kgBB untuk dewasa dan 6-8 ml per kgBB untuk anak.
4. Minute Volume. Jumlah udara yang keluar masuk dalam satu menit, atau jumlah
udara yang diberikan ventilator dalam satu menit. Nilainya = volume tidal x RR.
5. PEEP dan CPAP. Positive end expiratory pressure (PEEP) atau tekanan positif akhir
ekspirasi digunakan untuk mepertahankan tekanan paru positif pada akhir ekspirasi
untuk mencegah terjadiya kolaps paru dan meningkatkan pertukaran gas dalam
alveoli.
6. Pressure atau Volume Limit. Batas atas tekanan atau volume yang diberikan pada
pasien. Volume limit yang terlalu tinggi dapat berakibat trauma paru.
*( Bakowitz et al., 2012; Urden et al., 2010; Urden et al., 2014; Tabrani, 1996)
bahwa paru-paru bayi belum matang dan persalinan tidak dapat ditunda, maka diberikan
kortikosteroid kepada ibu minimal 24 jam sebelum waktu perkiraan persalinan.
Kortikosteroid akan melewati plasenta dan merangsang pembentukan surfaktan oleh
paru-paru janin.
mengambil tindakan yang tepat diantaranya melakukan rujukan medik sehingga keselamatan
bayi dapat ditingkatkan. Penatalaksanaan RDS atau Sindrom gangguan napas adalah sebagai
berikut :
Bersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap lendir dan kasa steril
Pertahankan suhu tubuh bayi dengan membungkus bayi dengan kaki hangat
Atur posisi bayi dengan kepala ekstensi agar bayi dapat bernafas dengan optimal
Apabila terjadi apneu lakukan nafas buatan dari mulut ke mulut (menggunakan mouth
barrier)
Beri penjelasan pada keluarga bahwa bayi harus dirujuk ke rumah sakit
Penatalaksanaan medik maka tindakan yang perlu dilakukan adalah sebagsai berikut :
Pemberian oksigen, tidak lebih dari 40% sampai gejala sianosis menghilang
Pemberian cairan dan elektrolit (glukosa 5% atau 10%) disesuaikan dengan berat badan
Pemberian surfaktan sintetik, diberikan melalui sisi pada tube endotracheal dalam 2x
suntikan bolus, contoh: Exosurf, Infasurf, Alveofact.
Obat penenang (sedatives) diberikan karena pasien akan memerlukan bantuan ventilasi
mekanik dalam jangka waktu yang lama.
Pemberian
obat
golongan
diuretik
untuk
mengurangi
edema,
namun
perlu
Ventilasi mekanis
Tujuan pemberian terapi ini adalah memberikan dukungan ventilasi sampai integritas
membran alveolokapiler kembali baik serta memelihara ventilasi adekuat dan oksigenasi
selama periode kritis hipoksemia berat. Untuk membantu mengembalikan atau mencegah
atelektasis, volume tidal yang dianjurkan adala 10-15 ml/kg diberikan dengan hari-hati
sehingga tidak mengganggu sirkulasi secara keseluruhan.
Terapi oksigen
Setelah dilakukan intubasi pasien diberikan 100% oksigen sampai keadaannya menjadi
stabil dan kemudian kadar oksigen diturunkan untuk mencegah teerjadinya intoksikasi
oksigen.
jantung karena PEEP, penambahan dan penurunan jumlah harus diatasi pada kenaikan
dan penurunan 3 sampai 5 cm
H2O
Nutrisi
o Katabolisme protein penurunan albumin memperburuk sirkulasi dan imunitas.
o Protein, karbohidrat, dan lemak diberikan sesuai dengan kebutuhan metabolik.
o Pasien dengan ALI & ARDS biasanya membutuhkan 35 45 kcal/kgBB/hari.
o Cairan tinggi karbohidrat sebaiknya dihindari untuk mencegah peningkatan jumlah
C
O2
o Intervensi :
-
Berikan nutrisi enteral, pertimbangkan pemasangan small bowel feeding tube (untuk
mengatasi gangguan motilitas)
Encephalopathy
Disritmia jantung
Tromboemboli vena
Perdarahan gastrointestinal
Atelectrauma
Volutrauma
Barotrauma
Oxygen toxicity
*(Bakowitz et al., 2012; Laycock & Rajah, 2010; Martin, 2011; Susanto& Sari; 2012; Urden
et al., 2010; Urden et al., 2014).
H. Cara Mencegah Terjadinya Sindrom Gangguan Pernapasan
Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini adalah pertumbuhan paru yang belum
sempurna. Karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah
kelahiran bayi yang maturitas parunya belu sempurna. Maturasi paru dapat dikatakan sempurna
bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik (Gluck, 1971) memperkenalkan suatu
cara untuk mengetahui maturitas paru dengan menghitung perbandingan antara lesitin dan
sfigomielin dalam cairan amnion.
Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari dua, bayi yang akan lahir tidak
akan menderita penyakit membrane hialin, sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari tiga
berati paru-paru bayi belum matang dan akan mengalami penyakit membrane hialin. Pemberian
kortikosteroid dianggap dapat merangsang terbentuknya surfaktan pada janin. Cara yang paling
efektif untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah prematuritas.
Untuk mencegah sindrom gangguan pernapasan juga dapat dilakukan dengan segera
melakukan resusitasi pada bayi baru lahir, apabila bayi :
I. Diagnosa Keperawatan
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kekauan alveolus ditandai dengan adanya
jaringan fibrosis pada pemeriksaan X-ray, dyspnea, takipnea, dan crackles pada saat
auskultasi.
Gangguan koping keluarga berhubungan dengan penyakit kritis pada anggota keluarga.
*(Urden et al., 2010; Urden et al., 2014)
J. Intervensi Keperawatan:
a. Optimalisasi oksigenasi dan ventilasi : posisikan pasien (prone positioning), mencegah
desaturasi, dan tingkatkan batuk efektif
b. Managemen kolaborasi
Intubasi pasien
Pemberian obat
bronkodilator
obat penenang
analgesik
preload
afterload
kontraktilitas
Encephalopathy
Disritmia jantung
Tromboemboli vena
Perdarahan gastrointestinal
Atelektrauma
Oxygen toxicity
DAFTAR PUSTAKA
Bakowitz, M., Bruns, B., McCunn. 2012. Acute lung injury and the acute respiratory
distress syndrome in the injured patient. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation
and Emergency Medicine.
Crofton, S.J.,and Douglas, A. Respiratory Diseases, 3rd ed, P.G. Publishing Pte Ltd,
1983, 403-405.
Deslidel, dkk. 2011. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Flaschen, J.H. Acute Respiratory Distress Syndrom (ARDS), in Fishman, A.P. (ed),
Pulmonary Disease and Disorders, 2nd ed, Companion Handbook, MeGraw-Hill, New
York, 1993, 419-430.
Kosim Soleh, dkk. 2005. Panduan Manejemen Bayi Baru Lahir Untuk Dokter, Perawat,
Bidan di Rumah Sakit dan Rujukan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Laycock, H., Rajah, A. 2010. Acute Lung Injury And Acute Respiratory Distress
Syndrome: A Review Article. British Journal of Medical Practitioners.
Martin, GS. 2011. Fluid management in acute lung injury and ARDS. Netherlands
Journal of Critical Care.
Nelson Waldoe. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume I. Jakarta: EGC.
Petty, T.L. The Adult Respiratory Distress Syndrome, in Fenley, D.C., and Lane, D.J.
(ed), Medicine, Respiratory Disorders, Published by Medical Education, Ltd, 1980, 738740.
Surasmi Astrining, dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Susanto, Y. S., Sari, F. R. 2012. Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif Pada Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Rumah Sakit Moewardi,
Surakarta.
Urden, L. D., Stacy, K. M., Lough, M.E. 2010. Critical Care Nursing: Diagnosis and
Management. Elsevier.
Urden, L. D., Stacy, K. M., Lough, M.E. 2014. Critical Care Nursing: Diagnosis and
Management. Elsevier.
Wahyuni Sari. 2011. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.