You are on page 1of 3

Abu Musa Asyari (wafat 44 H)

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Qais. Beliau sempat ikut hijrah ke Abessina, kemudian datang ke
Madinah setelah perang Khaibar. Khalifah Usman bin Affan mengangkatnya sebagai penguasa di Koufah.Beliau
ini termasuk arbitrator dalam peristiwa arbitrasi Shiffin.
Salah seorang sahabat Rasulullah yang telah beliau doakan dengan permohonan kepada Allah ampunan dan
agar dihari kiamat dimasukkan kedalam tempat yang mulia adalah Abu Musa Al-Asyariy, sebagaimana doa
Rasulullah : Allahumaghfir li-Abdillah bin Qais zanbahu, wa adkhilhu yauma al-qiyamati madkhalan
kariimaa.

Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Qais bin Sulaim bin Hadhar bin Harb bin bin Aamir, dan terus sampai
nasabnya pada Asyari bin Adad. Nabi memanggilnya dengan Abdullah bin Qais seperti dalam hadist yang
diriwayatkan dari Abi Musa Ra, bahwa Rasulullah mengatakan kepadanya: ya Abdullah bin Qais, inginkah
kamu aku ajarkan satu kalimat dari perbendaharaan surga? yaitu (la hawla wala quwwata illa billah). Dan juga
pada hadist doa Rasulullah yang telah disebutkan diatas tadi. Sedangkan julukan Abu Musa diambil dari
nama salah salah satu anaknya.
Awal Masuk Islam Dan Kehidupannya Bersama Rasulullah.
Sebelum bertemu dengan Rasulullah di Mekkah ada kebimbangan pada dirinya untuk mencari rezeki dan
bekerja dipasar-pasar dan musim-musim yang ada di Mekkah, tetapi dengan kebimbangan inilah salah satu
sebab masuknya ia ke dalam Islam, yaitu tatkala ia meninggalkan tanah leluhurnya Yaman, menuju Mekkah dan
mendengar bahwa di negeri ini ada seorang Rasul yang mengajak dan menghimbau kepada tauhid dan kepada
Allah dengan sesuatu yang bisa diterima akal serta dengan akhlak yang mulia.
Maka ia berkenalan dengan Nabi Muhammad dan lalu masuk Islam dengan aktif mengikuti pelajaran- pelajaran
dari beliau menambah hidayah dan keyakinan. Ia masuk Islam diawal masa kenabian dan termasuk dalam
golongan Assabiquuna ila-l-Islam, dengan dalil hijrahnya ia bersama-sama para muhajirin ke Habasyah
setelah adanya tekanan dan kekerasan serta siksaan yang yang dilakukan orang orang musyrik terhadap
mereka. Kemudian selang beberapa waktu ia kembali ke negeri asalnya menyampaikan kalimat Allah , sehingga
banyak dari kaumnya yang masuk Islam.
Dan pada waktu ia mendengar bahwa Rasulullah hijrah ke Madinah menemui Rasulullah untuk bergabung
bersama membangun suatu masyarakat baru yang Islami dan daulah Islamiyah. Rasulullah menyebut kaum yang
dipimpin Abu Musa ini dengan nama Al-Asyariyiin. Mulai dari hari itu ia terus berpartisipasi dan
berkecimpung bersama para mumin dan muslimin menjadi sahabat dan murid Nabi dalam mengemban risalah
Tuhan hingga akhir hayatnya.
Abu Musa dalam masa hidup setelah Islamnya memiliki sifat-sifat mulia. Ia adalah seorang pejuang yang gagah
berani dan pemanah yang tangguh bila dihadapkan pada hal-hal yang darurat. Dan ia juga seorang faqih
bijaksana yang memiliki otak briliant yang mampu dalam memecahkan beberapa macam problema serta
memberikan cahaya penerang dalam masalah fatwa-fatwa dan pengadilan, sehingga ia disebut sebagai salah satu
dari empat hakim ummat, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As-Syabiy, Qodhotu hazihi al-ummah
arbaatun : Umar, Ali, Zaid bin Tsabit wa Abu Musa.
Dalam medan jihad, Abullah bin Qais memiliki rasa tanggung jawab yang besar dengan berlomba-lomba dalam
kemulian ia berani menaruhkan nyawanya, sehingga ia digelari oleh Rasulullah sebagai pemimpin prajuritprajurit berkuda sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ibnu Saad dari Naim bin Yahya At-Tamimiy, bahwa
Rasulullah pernah bersabda, Saidu al-fawarisi, Abu Musa.
Beliau pun telah mengikuti beberapa peperangan bersama Rasulullah dalam menghadapi orang-orang musyrik,
diantaranya perang Tabuk. Dan setelah perang ini Nabi mengutusnya ke Yaman sebagai dai dan muallim serta
wali, juga diutus untuk mengajarkan Al-Quran bersama Muaz bin Jabal pada daerah yang berbeda, namun
jaraknya tidak jauh sehingga antara keduanya tetap terjalin hubungan komunikasi.

Hal ini dilakukan Rasulullah ketika datang kepadanya utusan raja Hamir dari Yaman (Sepertinya Himyar;
Aman). lalu beliau memilih dari sahabat-sahabatnya yang dapat dipercaya dan memiliki pengetahuan agama
yang matang, maka diutuslah mereka berdua, Malik bin Ubadah dan beberapa sahabat lainnya. Ini merupakan
suatu perhatian yang besar dari Rasulullah terhadap ahli Yaman.
Ibnu Hajar Al-Asqolany mengatakan bahwa diutusnya Abu Musa ke Yaman dikarenakan kepintaran dan
pemahamannya yang dalam terhadap Islam. Pada tahun ke 10 hijriyah, Abu Musa kembali dari Yaman menemui
Nabi Muhammad untuk melaksanakan haji, yang disebut dengan haji wada (haji perpisahan). Rasulullah telah
memberikan wewenang kepadanya untuk memberikan fatwa hingga wafatnya beliau bahkan hingga masa
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiallahu an huma. Ini semua ini menunjukkan akan
kedalaman ilmu pengetahuannya dan ketaatannya kepada khalifah.
Ketika Rasulullah meninggal, yaitu bertepatan setelah tiga hari dibunuhnya Al-Kazzaab Abhalah ibnu Kaab
Al-Anasiy, seorang dukun yang mengaku sebagai nabi di Yaman. Hal ini merupakan cobaan yang besar bagi
Abu Musa yang ketika itu berada di sana, setelah pulangnya dari haji wada.
Kehidupan Abu Musa Setelah Wafatnya Nabi.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ra ia ditetapkan untuk menjadi wali di Yaman. Dan pada masa kekhalifahan
Umar bin Khattab Ra, Abu Musa telah berhasil mengatur administrasi wilayah Bashrah, juga berhasil didalam
memimpi pasukan militernya. Merupakan suatu rahmat yang besar dari Allah terhadapnya dengan pertolonganpertolongan-Nya kepada tangannya, sehingga ia mampu menaklukkan beberapa kota dan negeri, dan telah
dimenangkan Allah dalam memerangi pemimpin-pemimpin daulah Al-Farisiyah dengan kecerdikkan dan
ketajaman pemikirannya.
Pada akhir tahun 23 hijrah Amirul muminin Umar bin Khattab Ra meninggal terbunuh sebagai syahid, dan Abu
Musa ketiak itu sedang berada di Bashrah mengajar dan berjuang menyampaikan dakwah kepada Allah , namun
walaupun demikian beliau telah mengetahuinya melalui ruyah yang merupakan karamah yang telah Allah
berikan kepadanya, sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh Ibnu Saad di Tabaqoot dengan sanadnya dari Abu
musa (lih. Hayatu As- Shohabah juz; 3 hal; 666).
Setelah dibaiatnya khalifah Utsman Ra, beliau menbetapkan Abi Musa sebagai wali di Bashrah selama enam
tahun, setelah lepas dari amanat ini banyak sekali cobaan-cobaan fitnah dan tantangan yang ia hadapi dalam
menyampaikan syariat dan risalah Ilahi hingga masa kekhalifahan Ali Ra dan berakhir pada akhir hayatnya yaitu
pada masa pemerintahan Muawiyah.
Budi Pekerti Dan Sifat-Sifatnya Yang Mulia
Beberapa kelebihan budi pekerti dan sipat-sipatnya yang mulia yang ada pada diri Abu Musa sudah diakui oleh
Rasulullah sendiri hingga beliau mendoakannya dan mengajarkan kepadanya perbendaharaan surga. Ini semua
jelas karena budi pekerti dan sifat-sifatnya yang mulia, mulai masa hidupnya bersama , dengan para khulafa arrasyidiin hingga wafatnya.
Beliau amat terkenal dengan kedalamannya terhadap ilmu agama, seorang ahli ibadah yang wara, memiliki sipat
pemalu, ahli zuhud di dunia, kuat dalam pendirian dan sifat-sifat mulia yang lain yang disandangnya. AzZahabiy mengatakan, Abu Musa adalah seorang qori yang memiliki sura yang indah dan seorang terkemuka di
Bashrah didalam membaca dan memahami Al-Quran.
Disamping sebagai seorang yang memiliki izzah yang besar dalam menuntut ilmu, baik dari Rasulullah
maupun dari sahabat-sahabat, beliau juga mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya itu kepada orang lain,
mengamalkan sabda Rasulullah , Khairukum man taallama Al-Qurana wa allamahu (H.R. Bukhari).
Dengan segala kemampuannya beliau mengajarkan Al-Quran dan memberikan penjelasan kepada ummat di
setiap daerah yang didatanginya, dibantu dengan bacaan dan suaranya yang indah ketika membaca Al-Quran,
dapat menarik perhatian masyarakat sekitarnya hingga berkumpul mengelilinginya. Dikarenakan banyaknya
penuntut ilmu yang hadir, maka ia membagi mereka menjadi beberapa kelompok halaqah pengajian ilmu
pengetahuan agama, seperti yang pernah ia lakukan di mesjid Bashrah. Abu Musa juga memiliki perhatian yang

besar dalam pengajian sunnah dan riwayat-riwayatnya, serta sangat berpegang teguh terhadap sunnah Nabi ,
sebagaimana ia telah sampaikan nasehat kepada anak-anak dan keluarganya ketika ajal mendatanginya.
Wafatnya
Para ulama berbeda pendapat terhadap tahun wafatnya Abu musa Ra. Kebanyakan dari perkataan mereka, tidak
lebih dari tahun empat puluhan dari tahun hijrah, diantaranya pendapat Ibnu Al-Atsir mengatakan, Abu Musa
meninggal di Kufah, dan dikatakan di Mekkah pada tahun 42 hijrah, dan dikatakan pada tahun 44 hijrah, pada
waktu itu beliau berumur 63 tahun. Sebagaimana Az-Zahaby juga membenarkan bahwa beliau wafat pada
bulan zulhijjah tahun 44 hijrah, Allahu Alam.
Sebelum wafatnya beliau masih sempat memberikan peringatan dan nasehat buat anak-anak dan keluarganya
agar selalu beriltizam terhadap sunnah Nabi . Dan merupakan suatu kemuliaan dari Allah terhadap keluarganya
dengan menjadikan banyak dari anak-anak, cucu-cucu sampai pada keturunan-keturunannya menjadi ulama,
qodhi dan perawi hadist, yang merupakan berkah dari doa Rasulullah yang diterimanya dan berkah
keikhlasannya.
Demikianlah perjalanan dari kehidupan seorang sahabat Rasulullah yang ahli ibadat, wara, mujahid dan faqih,
semoga kita semua dapat mengambil ibrah dari semua itu dan semoga Allah memberi hidayah kepada kita
dalam melangkah tuk mencapai ridho-Nya serta mewafatkan kita dalam keadaan Iman dan Islam. Amin.
Rabbana-ghfir lana wa li-ikhwanina allaziina sabaquuna bil-iimaan wala tajal fi- quluubina ghillan lil-laziina
a-manu Rabbana innaka Raufu-r- Rahiim.
Referensi:
1. Rijaalu hawla ar-Rasul; oleh Khalid Muhammad Khalid.
2. Hilyatu al-Awliya; oleh Al-hafidz Abu Naim.
3. Abu Musa Al-Asyariy (shohabah al-alim, al-mujahid); oleh Abdul Hamid Mahmud Thohaziy.

You might also like