You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketika membahas tentang sejarah munculnya filsafat Islam, maka harus
diakui bahwa pemikiran filsafat masuk ke dalam dunia Islam melalui filsafat
Yunani. Pemikiran filsafat tersebut dijumpai oleh pemikir-pemikir Islam di
Suria, Mesopotamia (Irak), Persia dan Mesir.
Kota Iskandariyah di Mesir sampai abad VII adalah pusat studi filsafat,
teologi dan sains yang sangat penting. Filsosof yang terkenal di kota ini
antara lain Philo (30 SM-50 M). Dan ketika pada abad VII Masehi, umat
Islam mengadakan perluasan wilayah ke daerah-daerah tersebut, maka berarti
dimulainya kontak antara filsafat Islam dan filsafat Yunani.
Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun dan Daulah Umayyah, filsafat
Yunani tersebut belum dikembangkan. Karena pada masa itu, perhatian umat
Islam terfokus pada penaklukan wilayah dan lebih menonjolkan kebudayaan
Arab. Barulah pada zaman Daulah Abbasiyah yang berpusat di Bagdad, mulai
diperhatikan secara serius filsafat Yunani ini, terutama pada masa al-Mamun
(813-833 M.), putera Harun al-Rasyid, yang dikenal dengan zaman
penterjemahan.
Di antara bekas pengaruh

kebudayaan Yunani di daerah tersebut,

adalah bahasa administrasi yang digunakan adalah bahasa Yunani. Bahkan di


Mesir dan Suria, bahasa ini tetap dipergunakan sesudah masuknya Islam ke
daerah tersebut.
Baru pada abad VII oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705)
diganti dengan bahasa Arab.
Di antara yang tertarik pada filsafat Yunani dari kalangan filosof
Muslim adalah al-Farabi. Menurut Massignon (ahli ketimuran berkebangsaan
Perancis), sebagaimana yang dikutip Ahmad Hanafi, bahwa Al-Farabi adalah
seorang filosof Muslim yang pertama. Dia juga mengakui bahwa sebelumnya
al-Kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam, akan tetapi ia
tidak menciptakan sistem filsafat tertentu. Demikian pula persoalan-persoalan

yang dibicarakannya masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang


memuaskan.
Sebaliknya Al-Farabi telah dapat menciptakan suatu sistem filsafat yang
lengkap dan telah memainkan peranan yang penting dalam dunia Islam
seperti yang dimiliki oleh Plotinus di dunia Barat. Al-Farabi juga menjadi
guru bagi Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusyd (Avirosm), dan filosof Islam
lainnya yang datang sesudahnya. Olehnya itu, ia mendapat gelar al-Muallim
al-Tsani (guru kedua) sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang mendapat gelar
al-Muallim al-Awwal (guru pertama).
Pembicaraan tentang Al-Farabi sudah cukup banyak, meskipun belum
mencakup seluruh aspek pemikirannya. Ia adalah pembangun filsafat dalam
arti yang sebenarnya dan ia telah meninggalkan suatu bangunan filsafat yang
teratur rapi bagian-bagiannya, dan oleh karenanya maka ibnu Khillikan
menamakannya filosof Islam yang paling besar.
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat
Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan
corak aliran Syiah Imamiah. Misalnya dalam soal mantik dan filsafat fisika
ia mengikuti Aristoteles, dalam soal etika dan politik ia mengikuti Plotinus.
Selain itu Al-Farabi adalah seorang filosof sinkretisme (pemaduan) yng
percaya akan kesatuan (ketunggalan) filsafat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi (riwayat hidup) Al-Farabi ?
2. Apa hasil karya-karya Al-Farabi?
3. Bagaiman deskripsi kontribusi pemikiran filsafat Al-farabi?
4. Refleksi
a. Komentar terhadap sang tokoh
b. Relevansi pemikiran sang tokoh terhadap perkembangan islam saat
ini
c. Keteladanan yang bisa diimplementasikan sebagai pelajar
C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan potret riwayat hidup Al-Farabi
2. Untuk mengetahui hasil karya-karya Al-Farabi
3. Untuk mendeskripsikan pemikiran filsafat Al-Farabi
4. Refleksi
a. Dapat menambah wawasan
b. Membedakan pemikiran antar tokoh mengenai perkembangan islam
2

c. Dapat menciptakan suatu sistem filsafat yang

BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi (Riwayat Hidup Al-Farabi)
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn
Tarkhan ibn Auzalaqh. Di kalangan orang-orang Latin Abad tengah, Al-Farabi
lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunaser). Ia lahir di suatu kota kecil
bernama Wasij, wilayah Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar),
Turkisatan pada tahun 257 H (870 M). dan wafat di Damaskus pada 339 H
(950 M). Sebutan Al-Farabi diambil dari kota kelahiran beliau, Farab yang
juga disebut kampung Urtar, dahulu masuk daerah Iran, akan tetapi sekarang
menjadi bagian dari Republik Uzbekistan. Ayahnya seorang jenderal
berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Karena itu Al-Farabi
terkadang dikatakan sebagai keturunan Persia dan terkadang sebagai
keturunan Turki.
His parents were originally of Persian descent, but his ancestors had
migrated to Turkistan. Known as al-Phararabius in Europe.

Maksudnya, bahwa orang tuanya awalnya berasal dari keturunan Persia,


tetapi leluhurnya telah bermigrasi ke Turkistan. Ia dikenal sebagai al
Pharabius di Eropa.
Sejak kecil Al-Farabi suka belajar, dan ia mempunyai kecukupan luar
biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain, bahasa Iran,
Turkistan dan Kardistan. Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di
Kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafiiah inilah Al-Farabi menerima
pendidikan dasarnya. Dia digambarkan sejak dini memiliki kecerdasan
istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subjek yang
dipelajari. Setelah menyelesaikan studi dasarnya, Al-Farabi pindah ke
Bukhara, pada saat itu Bukhara merupakan ibukota dan pusat intelektual. Di
sanalah Al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Sebelum dia tenggelam
dalam karir Filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang Qadhi. Setelah
melepaskan jabatan Qadhinya, Al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk
mendalami logika Aristotelian dan Filsafat. Guru utama Al-Farabi adalah
Yuhanna ibn Hailan. Pada masa kekhalifahan Al-Mutadid (892-902 M), baik
Yuhanna ibnu Hailan maupun Al-Farabi pergi ke Baghdad. Segera saja AlFarabi unggul dalam ilmu logika.
Pada masa kekhalifahan Al-Muktafi (902-908 M), atau pada tahuntahun awal kekhalifahan Al-Muqtadir (908-932 M), Al-Farabi dan ibnu
Hailan meninggalkan Baghdad, (semula menurut Ibn Khallikan) menuju
Harran. Dari Baghdad tampaknya Al-Farabi pergi ke Konstantinopel. Di
Konstantinopel ini, menurut suatu sumber, dia tinggal selama delapan tahun,
mempelajari seluruh silabus filsafat.
Dalam sebuah sumber dijelaskan bahwa :
Al-Farabi (also called al-Pharabius in Europe) was one of the most famed of
Moslem philosophers. Of Turkish origin he was educated in Farab and
Bukhara but spent time in Baghdad and at the court of Prince Sayf alDawlah in Aleppo, Syria.
Bahwa Al-Farabi yang dikenal di Eropa dengan al-Pharabius, adalah
salah seorang filosof Muslim yang terkenal. Sebagai orang Turkistan, ia
belajar di Farab dan Bukhara, tetapi ia banyak menghabiskan waktunya di
Bagdad dan membantu pemerintahan Saif al-Daulah di Aleppo, Syria.
4

Antara 910 dan 920 M, Al-Farabi kembali ke Baghdad untuk mengajar


dan menulis. Reputasinya sedemikian rupa sehingga ia mendapat sebutan
guru kedua (Aristoeles mendapat sebutan guru pertama). Pada zamannya,
Al-Farabi dikenal sebagai ahli logika. Menurut berita, Al-Farabi juga
membaca (barangkali mengajar) Physics-nya Aristoteles empat puluh kali,
dan Rhetoric-nya Aristoteles dua ratus kali. Pada 942 M, situasi di ibukota
dengan cepat semakin memburuk karena adanya pemberontakan yang
dipimpin oleh Al-Baridi. Al-Farabi sendiri merasa akan lebih baik pergi ke
Suriah. Menurut Ibnu Abi Usaibiah, di Damaskus Al-Farabi bekerja di siang
hari sebagai tukang kebun, dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat
dengan memakai lampu jaga.
Pada masa inilah Al-Farabi melakukan satu perjalanan ke Mesir, (Ibnu
Usaibiah menyebutkan tanggalnya, yaitu 338 H, setahun sebelum Al-Farabi
wafat). Menurut Ibn Khallikan, di Mesir inilah Al-Farabi menyelesaikan
Siyasah Al-Madanniyah yang mulai ditulisnya di Baghdad. Setelah
meninggalkan Mesir, Al-Farabi bergabung dengan lingkungan cemerlang
filosof, penyair, dan sebagainya, yang berada di sekitar Sultan dinasti
Hamdan di Aleppo

yang bernama Saif Al-Daulah. Dalam pejumpaan

pertamanya, Saif Al-Daulah sangat terkesan dengan Al-Farabi karena


kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaanya
atas berbagai bahasa. Kendati Sultan mau menganugrahinya uang yang
berlimpah, Al-Farabi sudah merasa cukup mengambil empat dirham saja
setiap hari, karena ia lebih memilih hidup zahid atau sederhana.
Dr. T. J. de Boer menggambarkan tentang kematiannya : he died at
Damascus, while on a journey, in December, 950; and it is reported that his
prince, attired as a Sufi, pronounced over him his funeral oration.
Jadi, Al-Farabi meninggal pada bulan Desember 950 M, di Damaskus
pada usia delapan puluh tahun.
Dalam sebuah literatur dijelaskan sebagai berikut :
Farabi contributed considerably to science, philosophy, logic,
sociology, medicine, mathematics and of course, stands out as an
Encyclopedist. As a philosopher, he may classed as Neoplatonist who tried to
synthesize Platonism and Aristotelism with theology and he wrote such rich
5

commentaries on Aristotles physics, meteorology and logic in addition to a


large number of books on several other subjects embodying his original
contribution.
Maksudnya, bahwa Al-Farabi memberikan kontribusi yang cukup bagi
ilmu pengetahuan, filsafat, logika, sosiologi dan tentu saja sebagai
Ensiklopedis. Sebagai seorang filosof, dia bisa digolongkan sebagai
Neoplatonis yang mencoba mensintesis Platonisme dan Aristotelisme dengan
teologi dan menulis karya yang mengomentari karya Aristoteles tentang
fisika, meteorologi dan logika serta sejumlah buku yang merupakan
kontribusi nyata al-Farabi.
Oleh karena itu, Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Muslim
terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang
filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna,
sehingga filosof yang datang sesudahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd
banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Pandangan yang
demikian mengenai filsafat terbukti dengan usahanya mengakhiri kontradiksi
antara pemikiran Plato dan Aristoteles.
Dengan demikian maka beliau dianggap sebagai yang paling terpelajar
dan tajam dari para komentator karya Aristoteles. Ibnu Sina pernah
mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles empat kali, tetap belum
juga mengerti maksudnya. Setelah ia membaca karangan Al-Farabi yang
berjudul Aghradl kitabi ma Bada at-Thabiah (Intisari Buku Metafisika), baru
ia mengerti apa yang selama ini dirasakan sukar
B. Karya-Karya Al-Farabi
Karya al Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang
dikenal dunia pada abad pertengahan, dengan pengecualian khusus pada ilmu
kedokteran.
Karya Al-Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu
Sina masih kalah jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek
berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku
besar dan mendalam dalam pembicaraannya
Sebagian karangan Al-Farabi masih

diketemukan

dibeberapa

perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabadikan


6

namanya. Ciri khas tertentu yang ada pada karangannya adalah bukan saja
mengarang kitab besar atau makalah-makalah namun juga memberi ulasanulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy dan
Plotinus.
Selama di Baghdad waktunya dihabiskan untuk mengajar dan menulis.
Hasil karyanya diantara buku tentang ilmu logika, ilmu fisika, ilmu jiwa,,
metafisika, kimia, ilmu politik, musik dll. Tapi kebanyakan karya-karyanya
yang ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran, karya-karya yang
lebih banyak berbentuk naskah tersebut sebagiannya hanya ditemukan dalam
terjermahan tulisan Ibrani atau Latin dan baru sedikit yang disunting dan
diterbitkan. Sehingga sulit untuk memberikan catatan komprehensif tentang
berbagai segi dari karya dan pemikiran al-Farabi. Sekarang yang masih tersisa
diperkirakan hanya sekitar 30 buah.
Karya-karya nyata dari al Farabi adalah :
1. Al Jamiu Baina Rayai Al Hakimain Al Falatoni Al Hahiy wa Aristhotails
(pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles)
2. Tahsilu as Saadah (mencari kebahagiaan)
3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan)
4. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran)
5. Arroou Ahli Al MAdinah Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama
pemerintahan)
6. As Syiyasyah (ilmu politik)
7. Fi Maani Al Aqli
8. Ihshou Al Ulum (kumpulan-kumpulan ilmu/statistik ilmu)
9. At Tangibu ala As Saadah
10. Ishbatu Al Mufaraqaat
11. Al Taliqat
12. Agrad al Kitab ma Bada Tabiah (intisari buku Metafisika)
13. Uyun al Masail (pokok-pokok persoalan)
Ilmu tersebut yang mendapat perhatian besar oleh al Farabi adalah ilmu
fiqih dan ilmu kalam. Sedangkan ilmu mantiq membahas delapan bagian
yaitu :

1. Al Maqulaati Al Asyr (kategori)


2. Al Ibarat (ibarat)
3. Al Qiyas (analogi)
7

4. Al Burhan (argumentasi)
5. Al Mawadi Al Jadaliyah (the topics)
6. Al Hikmatu Mumawahan (sofistika)
7. Al Hithobah (ilmu pidato)
8. Al Syiir (Puisi)
Dari kitab-kitab di atas dengan berbagai macam objek kajian yang
ditulis Al-Farabi, terlihat jelas bahwa ia seorang sosok filsuf, ilmuwan dan
cendekiawan Islam yang hebat. Sebelum dia, Al-Kindi telah membuka pintu
filsafat. Akan tetapi banyak persoalan yang dibicarakan belum memperoleh
pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya al-Farabi telah menciptakan suatu
sistem filsafat yang jauh lebih lengkap seperti peranan yang dimiliki Plotinus
bagi dunia Barat.
C. Pemikiran Filsafat Al-Farabi
1.
Filsafat Metafisika dan Teori Emanasi
Secara bahasa Metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta
physika (sesudah fisika). Istilah ini merupakan judul yang diberikan
Andronikos terhadap empat belas buku karya Aristoteles yang
ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku. Aristoteles
sendiri tidak menggunakan istilah metafisika, melainkan filsafat pertama
(Proote Philosophy). Dalam bahasa Arab istilah metafisika dikenal
dengan ungkapan ma bad al-thabiah atau segala sesuatu dibalik realitas
yang tampak.
Saat ini kata metafisika memiliki beragam arti. Bisa berarti upaya
untuk

mengkarakterisasi

eksistensi

atau

realitas

sebagai

suatu

keseluruhan dan bisa pula bemakna upaya untuk menyelidiki alam yang
berada di luar pengalaman, atau menyelidiki apa yang berada di balik
realitas. Akan tetapi secara umum metafisika dapat dikatakan sebagai
suatu pembahasan filsafat yang komprehensif mengenai seluruh realitas
atau tentang segala sesuatu yang ada.
Dalam kajian-kajian kuno, filsafat metafisika lebih banyak
bertumpu pada soal eksistensi (wujud) Tuhan dan kuasa-Nya serta soal
penciptaan alam. Dalam konteks inilah pembicaraan tentang teori

emanasi menjadi populer. Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu


wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat
yang mesti adanya: Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama
teori urut-urutan wujud. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang
bukan berupa benda.
Konsep ini erat kaitannya dengan teori wujud (eksistensi) yang
oleh alFarabi dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Wujud yang mungkin ada karena lainnya (mumkin al-Wujub).
Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalau sekiranya tidak ada
matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa
pula tidak. Karena matahari telah wujud, maka cahaya itu menjadi
wujud disebabkan wujudnya matahari.
b. Wujud yang ada dengan sendirinya ( wajib al-Wujud). Wujud ini
adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya.
Kalau ia tidak ada, maka yang lain pun tidak akan ada sama sekali, ia
adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang
wajib ada inilah Tuhan
Berdasarkan konsep ini, al-Farabi berpendirian bahwa seluruh yang
ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin
wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena ada sebab, sedangkan yang
wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia memiliki zat yang
agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta dalam
keseluruhan sejak azali. Sesuai dengan firman Allah dalam Surat Yasin
ayat 82.


Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu
hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin
ayat 82).
Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diriNya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan
wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul
wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia
disebut akal pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi.
9

Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari


pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua
(al aklu tsani).
2.

Filsafat kenabian
Filsafat kenabian dalam pemikiran Al-Farabi erat hubungannya
dengan agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit).
Dalam agama Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan
tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat
yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam,
seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan.
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang
sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang
berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari
nafsunya sendiri. Allah berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 :
* *
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang
sangat kuat.
Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi
yang mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta
mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal faal. Sebab
lahirnya filsafat ke-Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap
eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq AlRuwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya
tentang keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad
SAW. Di antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah:
1. Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah
mengaruniakan manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat
mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula
mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan
larangan-Nya.

10

2. Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada


bedanya Thawaf di Kabah, dan sai di bukit Safa dan Marwa dengan
tempat-tempat lainnya.
3. Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya
menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu bisa
bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah
membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam
perang Uhud tidak.
4. Al-Quran bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa.
Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah al-Quran,
karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan
Muhammad adalah Khalifah yang paling fasahah dikalangan orang
Arab.Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada
membaca kitab suci, lebih berguna membaca buku 12 filsafat
Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, logika dan obatobatan menurutnya.
Pendapat yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat
bertentangan dengan al-Quran Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam
ajaran Islam, al-Quran adalah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber
inspirasi yang benar, dapat diterima akal, dipercaya melalui keyakinan,
dan sumber pedoman hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu
berarti ia telah menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan
ini dipandang sebuah pelanggaran dalam kehidupan. Dalam al-Quran
ada dijelaskan:

*

Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami
anugerahkan kepada mereka. (Q.S. al-Baqarah: 2-3)
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu
Ilahi, maka dari itu ciri khas seorang Nabi menurut Al-Farabi ialah
mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan

11

Akal Faal dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk


Wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Faal
(akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi adalah Jibril. Sementara
itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan
yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup
menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh.
Pendapat Al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan
Nabiada

kesamaan.

Oleh

karenanya,

kebenaran

Wahyu

tidak

bertentangan dengan pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya


mempelajari filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu (al-Quran) ia
akan tersesat, karena antara keduanya sama-sama mendapatkan dari
sumber yang sama, yakni Akal Faal (Jibril). Begitu pula mengenai
mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat
merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber hukum
alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad.

3.

Filsafat Politik
Selain sebagai seorang filosof yang berkecimpung dalam dalam
kancah ilmiyah, Al-Farabi juga mencurahkan pemikirannya untuk ikut
berpartisipasi dalam mengurus politik dan ketata-negaraan.
Dalam konteks ini filsafat Al-Farabi lebih mengarah kepada pemikiran
Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi, bahwa manusia adalah makhluk
sosial,

makhluk

yang

mempunyai

kecenderungan

alami

untuk

bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi


segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak
lain.
Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan
kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia akan sebuah
kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia
yang fana ini, tetapi juga diakhirat nanti. Pendapatnya ini menyangkut
tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.

12

Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan


masyarakat, yakni:
a. Masyarakat Sempurna (al-Mujtami al-Kamilah). Masyarakat
sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di
antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah unsur-unsur masyarakat
itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam
diri manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh
pusatanya.
b. Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami laisa Kamilah).
Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang
kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di
tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini,
yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan
adalah keluarga.
Negara yang baik dapat diibaratkan sebagai orang yang sehat
karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur
dengan unsur lainnya, sedangkan Negara yang buruk adalah ibarat orang
yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang
teratur di negara itu. Negara yang buruk tersebut dapat dibedakan dalam
lima kategori :
1. Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang penduduknya
memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum,
pakaian, dan tempat tinggal.
2. Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu Negara yang penduduknya
mementingkan kekayaan harta dan benda.
3. Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya
mementingkan kehormatan saja.
4. Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu Negara yang
penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya.
5. Negeri Anarkis (jamiiah), yaitu Negara yang setiap penduduknya
ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing.
4.

Filsafat Pendidikan

13

Dalam sebuah risalah dibidang politik setelah menjelaskan tentang


murid dan kewajiban memerhatikan potensi-potensi mereka dalam proses
pendidikan dan pengajaran, Al-Farabi memberi arahan :
a. Bagi anak yang memiliki tabiat jelek, dan terlihat memiliki motivasi
belajar untuk tujuan yang tidak baik, hendaklah terlebih dahulu
dibimbing dan dididik melalui pendidikan budi pekerti, sebelum
mengajarkan suatu ilmu.
b. Bagi anak yang memiliki

keterbatasan

kecerdasan

dan

kepandaiannnya tidak bisa diharapkan lagi, maka proses bimbingan


dan

pendidikannya

dilakukan

melalui

pendekatan-pendekatan

pembiasaan dan latihan-latihan sederhana yang kontiniu.


c. Kepada anak yang telah memiliki budi pekerti dan karakter yang
baik, hendaknya pendidik tidak mengotakk-atik pengetahuan yang
telah mereka kuasai meski sedikit walaupun hanya sekedar basabasi. Justru mereka harus diarahkan agar memiliki keinginan untuk
mengembangkan dan berbagi ilmu pengetahuan tersebut sesuai
dengan tingkatan kemampuannnya.
Al-Farabi dalam sebuah risalahnya menyebutkan bahwa yang
pertama dilakukan dalam pendidikan dan pengajaran adalah dimulai
dengan memperbaiki akhlak. Hal ini dikarenakan orang yang tidak
memiliki kepribadian yang baik tidak mungkin belajar ilmu baik. Alasan
yang dikemukan Al-Farabi ini berdasarkan pendapat filsuf Plato
Sesungguhnya orang yang tidak bersih dan suci tidak dekat dengan orang
yang bersih dan suci
Menurut Al-Farabi, memperbaiki akhlak tidak cukup hanya
dengan menggunakan perkataan. Akan tetapi hal yang lebih penting
adalah dengan contoh dan perbuatan para pendidik (pendekatan akhlak
praktis), barulah kemudian guru dapat memperbaiki akhlak dan wawasan
peserta didiknya.
5.

Jiwa ( an-Nafs )

14

Manusia adalah makhluk terakhir dan termulia yang lahir di atas


bumi ini. Ia terdiri dari dua unsur: jasad dan jiwa. Jasad berasal dari alam
ciptaan dan jiwa berasal dari alam perintah (alamu l amar). Berdasarkan
perbedaan asal antara jiwa dan badan, maka jelaslah bahwa jiwa
merupakan unsur yang lebih penting dan lebih berperan dari pada jasad,
sehingga Al-Farabi, seperti halnya para filosof Yunani, lebih banyak
perhatiannya dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan jiwa yang
dianggap sebagai hakikat manusia.
Menurut Al-Farabi, kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan
kesatuan accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang
berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa
manusia disebut al-nafs al-nathiqah ( ) yang berasal dari alam
Ilahi, sedangkan jasad dari alam khalq, berbentuk, berupa dan berkadar.
Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya. Jiwa manusia
mempunyai daya-daya sebagai berikut :
a. Daya gerak ( , montion ), yakni :
1) Makan ( , nutrition )
2) Memelihara ( , preservation )
3) Berkembang ( , reproduction )
b. Daya mengetahui ( , cognition ), yakni :
1) Merasa ( , sensation )
2) Imajinasi ( , imagination )
c. Daya berpikir ( , intellection )
1) Akal praktis ( , practical intellect )
2) Alam teoritis ( , theoretical intellect )
Pada umumnya pemikiran Al-Farabi tentang jiwa sangat diwarnai
oleh pemikian para filosof Yunani, terutama Aristoteles dan Plato.
Defenisi jiwa dari Aristoteles diterima oleh Al-Farabi. Ia mengatakan,
jiwa adalah kesempurnaan pertama bagi jisim alami yang organis yang
memiliki kehidupan dalam bentuk potensial. Namun, kendatipun ia
menerima konsep Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa adalah forma
bagi jasad, tapi ia menafsirkan forma dalam arti jauhar (substansi)
yang berdiri sendiri dan yang berasal dari akal kesepuluh (aql fa-al).
Dengan demikian, hubungan jiwa dengan jasad tidak esensial tapi

15

aksidental, sehingga jiwa tidak akan fana dengan sebab kematian jasad.
Dalam hal ini, Al-Farabi lebih menyukai konsep Plato yang menganut
paham keabadian jiwa di samping kesesuaiannya dengan ajaran Islam.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa
khalidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah adalah fadilah, yaitu jiwa yang
mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari
ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah jiwa yang telah berada pada tingkat
akal mustafad. Sedangkan jiwa fana adalah jiwa jahilah, tidak mencapai
kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi, ia
akan hancur dengan hancurnya badan.
6.

Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah)


Sebelum membahas persoalan politik, Al-Farabi membahas
masalah psikologi manusia. Menurutnya, setiap manusia mempunyai
fitrah sosial, fitrah untuk berhubungan dan hidup bersama orang lain.
Dari fitrah ini kemudian lahir apa yang disebut masyarakat dan negara.
Dalam kaitannya dengan kemampuan mengatur dan menggapai
keutamaan, Al-Farabi membagi masyarakat ke dalam dua bagian, yaitu
masyarakat sempurna ( ) dan masyarakat kurang sempurna (
) . Masyarakat yang sempurna adalah masyarakat yang
mampu mengatur dan membawa dirinya pada keutamaan tertinggi,
sedangkan masyarakat kurang sempurna adalah masyarakat yang tidak
bisa mengatur dan membawa dirinya pada keutamaan tertinggi. Kebaikan
dan keutamaan tertinggi adalah kebahagiaan. Kebahagiaan yang
dimaksud adalah tercapainya kemampuan untuk aktualisasi potensi jiwa
dan pikiran.
Konsep negara berasal dari Plato yang mempersamakan negara
dengan tubuh manusia. Negara utama, kata Al-Farabi, serupa dengan
badan yang sempurna sehatnya. Seluruh anggotanya saling bekerja sama
untuk membantu dan menyempurnakan serta memelihara hidupnya.
Anggota badan itu berlebih kurang tingkat dan dayanya, dimana hati

16

merupakan anggota pengendali. Demikian pula halnya negara dimana


bagian-bagiannya berlebih kurang tingkatnya, dan padanya terdapat
seorang kepala sebagai pemimpin. Anggota badan saling melayani,
begitu pula dalam negara terdapat warga negara yang saling membantu.
Badan itu membentuk suatu kesatuan, demikian pula halnya Negara
utama yang setiap bagiannya saling berkaitan dan diatur menurut tingkat
kadar kepentingan.
Selanjutnya, Al-Farabi membagi negara dalam tiga bagian yaitu :
a. Negara besar, adalah negara yang berdaulat dan bebas dan
membawahi negara-negara bagian;
b. Negara sedang, adalah negara bagian;
c. Negara kecil, adalah pemerintah daerah atau daerah otonom.
Menurut Al-Farabi, di antara tiga macam negara di atas: besar,
sedang dan , kecil, hanya negara yang diatur dengan sistem pemerintahan
utama (fadilah) yang mampu mengantarkan masyarakatnya pada
kesejahteraan dan kebahagian. Sistem pemerintahan utama ini, dalam
mengantarkan masyarakatnya mencapai kebahagiaan adalah sama seperti
kerjasama anggota tubuh dalam menjaga kesehatan dan keselamatan
dirinya.
Al-Farabi juga membedakan negara menjadi lima macam :
a. Negara utama, yaitu negara yang penduduknya berada dalam
kebahagiaan. Menurut al-Farabi, negara utama adalah negara yang
dipimpin oleh rasul dan kemudian oleh filosof.
b. Negara orang-orang bodoh, yaitu negara yang penduduknya tidak
mengenal kebahagiaan.
c. Negara orang-orang fasik, yaitu negara yang mengenal kebahagiaan,
Tuhan dan akal faal seperti penduduk utama, akan tetapi tingkah laku
mereka sama dengan penduduk negeri yang bodoh.
d. Negara yang berubah-ubah, ialah negara yang penduduknya semula
mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negara utama,
tetapi kemudian mengalami kerusakan.
e. Negara sesat, yaitu negara yang penduduknya yang mempunyai
konsepsi yang salah tentang Tuhan dan akal faal, tetapi kepala
negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan
kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.
17

Karena itu, negara utama (madinah al-fadilah) tidak bisa dipimpin


sembarang orang melainkan oleh mereka yang benar-benar memenuhi
persyaratan tertentu (dustur). Pemimpin utama (al-rais al-awwal) harus
memenuhi persyaratan yang bersifat fitrah (bawaan) dan pengayaan
(muktasab).
Menurut Al-Farabi, dengan demikian ada tiga kelompok orang,
dari segi kapasitas untuk memimpin, yaitu untuk memandu dan
menasehati: penguasa tertinggi atau penguasa sepenuhnya (unqualified
ruler) atau penguasa tanpa kualifikasi, Penguasa subordinat (tingkat
kedua) yang berkuasa dan sekaligus dikuasai, dan yang dikuasai
sepenuhnya.
Negara utama adalah negara yang diperintah oleh penguasa
tertinggi yang benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis
pengetahuan Ia mampu memahami dengan baik segala yang harus
dilakukannya. Ia mampu membimbing dengan baik sehingga orang
melakukan apa yang diperintahkannya. Ia mampu menentukan,
mendefenisikan, dan mengarahkan tindakan-tindakan ini ke arah
kebahagiaan. Hal ini hanya terdapat pada orang yang memiliki
kecenderungan alami yang besar lagi unggul, bila jiwanya bersatu
dengan akal aktif.
Penguasa tertinggi, dengan demikian, adalah nabi atau imam yang
merupakan pemberi hukum. Mereka menggariskan pendapat dan
tindakan untuk komunitasnya melalui wahyu dari Tuhan. Ringkas kata,
mereka adalah orang yang-selain sempurna fisik, mental dan jiwanyamemiliki keahlian yang sempurna dalam kearifan teoretis dan praktis
yakni keahlian memerintah atau politik.
Jadi, Nabi dan filosof adalah dua tokoh yang sangat layak menjadi
kepala negara utama karena keduanya telah mampu berhubungan dengan
akal aktif yang merupakan sumber hukumdan aturan yang diperlukan
bagi kehidupan masyarakat. Kalaulah ada perbedaan, maka itu terletak
hanya pada cara berhubungan dengan akal aktif yang oleh nabi melalui
daya khayal, sedangkan oleh filosof dengan pemikiran akal.

18

Mengenai cara kerja kota utama, Al-Farabi menyatakan bahwa


pertama-tama

penduduknya

dibagi

menjadi

kelompok-kelompok

berdasarkan kelebihan-kelebihan (merits) mereka-yaitu berdasarkan


kecenderungan-kecenderungan

alamiah

mereka

dan

berdasarkan

kebiasaan-kebiasaan karakter yang telah mereka bentuk. Yakni masingmasing diberi kedudukan sebagai yang diperintah atau yang memerintah.
yang dimulai dengan peringkat penguasa yang tertinggi. Kemudian
secara berangsur-angsur turun, sampai ke peringkat yang diperintah, yang
tidak memiliki elemen memerintah, dan di bawah peringkat ini tidak ada
lagi peringkat.
Alhasil, Negara utama atau setidaknya pemerintahan terbaik adalah
rezim dimana orang-orang saleh dan profesional merupakan yang paling
banyak mengambil peranan atau penentu kebijakan. Dengan sistem
seperti itu, diharapkan mereka akan mampu mendidik dan membawa
masyarakat pada tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan tertinggi.
7.

Logika
Al-Farabi

adalah

tokoh

Logika

muslim

pertama

yang

mengembangkan logika non-Aristoteles. Dia mendiskusikan topik-topik


seperti kontingensi masa depan, angka-angka, hubungan antar klasifikasi,
hubungan antara logika dengan tata bahasa, bentuk definisi (inference)
non-Aristoteles.

Dia

juga

dianggap

sebagai

yang

mencetuskan

pembagian Logika menjadi 2 bagian yang berbeda yaitu ide dan bukti.
Karena Logika merupakan cabang ilmu yang berkaitan erat dengan
induknya.
8.

Musik dan Sosiologi


Al-Farabi menulis buku-buku mengenai sosiologi di masa-masa
awal Islam dan sebuah buku mengenai musik yang berjudul Kitab alMusiqa. Dia mahir memainkan alat musik dan menciptakan beragam
instrumen musik dan sistem nada Arab yang diciptakannya hingga kini
masih tetap digunakan musik Arab. Risalah Al-Farabi yang berjudul
Meanings of the Intellect membahas mengenai efek terapi musik
terhadap jiwa.
19

9.

Filsafat
Sebagai seorang filosof, Al-Farabi adalah pendiri sekolah Filsafat
Islam awal yang dikenal dengan nama Farabism atau Alfarabism,
walaupun akhirnya aliran itu tertutupi oleh kebesaran aliran Avicennism.
Sekolah filsafat Al-Farabi menentang filsafat Plato dan Aristoteles dan
tidak lagi membahas mengenai metafisika akan tetapi lebih banyak
membahas mengenai metodologi yang merupakan modernisasi ilmu
Filsafat. Ia menggabungkan teori dengan praktek dalam filsafat, akan
tetapi memisahkan praktek dengan teori dalam politik. Teologi
neoplatonisnya, lebih dari sekedar metafisika sebagai retorika. Dalam
usahanya untuk menemukan kebenaran mengenai Sumber Pertama, ia
menemukan batasan atas pengetahuan manusia.
Al-Farabi mempunyai pengaruh besar di bidang ilmu sains dan
filsafat selama beberapa abad, dan diberi julukan sebagai yang kedua
terbaik dalam pengetahuan setelah Aristoteles pada masanya. Hasil
karyanya mengenai filsafat dan sufisme, membuka jalan bagi karya Ibnu
Sina.
Al-Farabi juga menulis sebuah komentar panjang mengenai karya
Aristoteles, dan di salah satu karya terbaiknya Al-Madina al-Fadila, ia
mencetuskan teori mengenai negara yang ideal seperti yang ada di dalam
karya Plato berjudul The Republic. Al-Farabi menampilkan agama
sebagai sumber simbolis bagi kebenaran, dan seperti halnya Plato,
menganggap bahwa tugas para filosof adalah menyediakan bimbingan
terhadap negara. Dengan pengaruh dari karya-karya Aristoteles yang
dipelajarinya dalam The Ideas of the Citizens of the Virtuous City dan
buku-buku lainnya, Al-Farabi mengembangkan pandangan bahwa filsafat
dan revelation adalah dua model berbeda yang menuju kebenaran yang
sama.

10.

Fisika
Al-Farabi juga dikenal sebagai ilmuwan Islam pertama yang
meneliti keberadaan ruang hampa dalam Fisika islam. Dalam

20

termodinamika, tampaknya ia telah melakukan percobaan awal mengenai


keberadaan ruang hampa dengan meneliti ruang di dalam genggaman
tangan ketika dimasukkan ke dalam air. Ia menarik kesimpulan bahwa
volume udara dapat mengembang untuk memenuhi ruang hampa yang
tersedia, dan ia menyatakan bahwa konsep keberadaan ruang hampa total
adalah tidak mungkin.
11.

Psikologi
Dalam psikologi,

istilah-istilah

psikologi

sosial

dan

kota

percontohan karya Al-Farabi adalah termasuk karya-karya awal yang


membahas mengenai psikologi sosial. Ia menyatakan bahwa individu
yang berdiri sendiri tidak dapat mencapai seluruh kesempurnaan tanpa
bantuan individu lainnya. Ia juga menulis bahwa naluri seorang
manusia untuk bergabung dengan manusia lainnya dalam suatu hal harus
dikerjakan. Ia menyimpulkan bahwa untuk mencapai tingkat sedekat
mungkin dengan kesempurnaan, setiap manusia membutuhkan suatu
lingkungan masyarakat yang berhubungan dengan mereka. Salah satu
bab dalam bukunya yang berjudul Penyebab Mimpi, adalah suatu
istilah mengenai mimpi, dimana ia merupakan ilmuwan pertama yang
membedakan antara interpretasi mimpi dengan penyebab alami mimpi.

D. Refleksi
a. Komentar terhadap sang tokoh
Menurut saya Al- Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali
membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggaktonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam
yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya
dalam membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk itu.
Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim
belakangan seperti al-Ghazali.terutama dalam metafisika emanasi, figur alFarabi masih menarik untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang

21

fisika, metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk
menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosoffilosof Islam.
b. Relevansi pemikiran sang tokoh terhadap perkembangan islam saat ini
1) Al Farabi juga telah membuka jalan terhadap filsuf-filsuf barat dalam
memahami ajaran-ajarannya.
2) Al Farabi berpikiran logika yang artinya manusia dapat membenarkan
pemikiran orang lain atau pemikiran manusia itu sendiri sehingga
tidak ada kerancuan dan saling salah menyalahkan dalam pemikiran
itu sendiri.
3) Menurut Al Farabi seluruh orang yang ada di dalamnya (negara)
dipimpin oleh seorang pemimpin yang bijaksana, adil, cakap dan
mengerti segala sesuatu hal tentang kehidupan agar dapat mengayomi
rakyatnya secara baik dan benar sehingga menjadikan rakyatnya
menjadi makmur, aman dan sejahtera.
c. Keteladanan yang bisa diimplementasikan sebagai pelajar
1) Menggabungkan antara kemampuan teoretis dari belajar yang
diaplikasikan dan tindakan praktis.
2) Memiliki sifat qanaah seperti beliau menjadi seorang yang amat
sederhana, tidakgilakan harta dan cintakan dunia.
3) Tidak setengah- setengah dalam mempelajari suatu ilmu.
4) Lebih bersifat adil kepada siapapun.
5) Mengayomi seluruh anggota masyarakatnya dengan mendahulukan
prinsip kebersamaan dan keutamaan secara utuh.

22

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian makalah tentang Al-Farabi, maka penulis dapat menarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Takhan Ibn Auzalagha tau yang
lebih dikenal dengan sebutan al-Farabi dilahirkan pada tahun 257 H atau
870 M dan meninggal pada tahun 950 M atau pada tahun 258 H-339 H.
Sebagai suatu sistem pembangunan filsafat, Al-Farabi telah membaktikan
hidup dan pemikirannya pada masyarakat dunia Islam dan tidak terkecuali
bagi kaum nasrani dan yahudi. Al-Farabi merupakan seorang filusuf
muslim yang menjauhi dunia politik, keramaian dan gaungan serta
kericuhan masyarakat. Ia telah membuahkan karya dan pemikirannya
yang sampai sekarang banyak dianut oleh masyarakat barat dan timur.
2. Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Islam terbesar, memiliki keahlian
dalam banyak bidang keilmuwan dan memandang filsafat secara utuh dan
menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna.
3. Al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana
filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat
Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar
Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam
membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk itu.

23

Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim


belakangan seperti al-Ghazali.terutama dalam metafisika emanasi, figur
al-Farabi masih menarik untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam
bidang fisika, metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak
untuk menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara
filosof-filosof Islam
4. Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam
makhluk) dari dzat yang wajibul wujud (dzat yang mesti adanya Tuhan).
5. Dalam paham Al-Farabi, akal kesepuluh ini dapat disamakan dengan
malaikat, kesanggupan berkomunikasi dengan akal sepuluh inilah yang
memungkinkan para nabi dan rasul dapat menerima wahyu.
B. Saran
1. Setelah membaca makalah Al- farabi ini para siswa lebih mengerti atau
dapat menambah wawasanya tentang filsuf islam salah satunya al- farabi
2. Diharapkan dengan membaca makalah ini masyarakat dapat menerapkan
dan megamalkan perilaku terpuji dari Al- farabi dalam kehidupan seharihari.

DAFTAR PUSTAKA
http://farisah-amanda.blogspot.co.id/2010/03/blog-post.html
24

https://www.academia.edu/9436330/Pemikiran_Filsafat_Al-Farabi
https://www.scribd.com/doc/208681537/Biografi-Karya-karya-Dan-Filsafat-AlFarabi
https://www.facebook.com/permalink.php?
id=428219220586726&story_fbid=428635367211778
file:///E:/Ica's%20personal%20blog_%20Tokoh%20Ilmu%20Mantiq_%20AlFarabi.html
file:///E:/FILSAFAT%20ALFARABI%20_%20Kumpulan%20Makalah%20&
%20Skripsi.html
http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/filsafat-islam-ar-farabi-dan-pemikiran.html
http://dokumen.tips/documents/tokoh-tokoh-islam-561abe1c045df.html

25

You might also like