You are on page 1of 10

Teori Pers Otoritarian

Pers Indonesia dalam Pemerintahan Soeharto

Oleh :
Nurul Maghfiroh El-Rashid
13040284054/B

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
PENDIDIKAN SEJARAH
2016

A. TEORI PERS OTORITARIAN (AUTHORITARIAN THEORY)


Hubungan antara media massa dengan Negara ditentukan
oleh beberapa asumsi filosof dasar tentang manusia dan Negara,
yaitu :

a.
b.
c.
d.

Hakekat
Hakekat
Hakekat
Hakekat

manusia
masyarakatdan Negara
hubungan manusia dengan Negara
pengetahuan dan kebenaran

Menurut teori otoriter hakekat manusia ialah bahwa manusia hanya


dapat mencapai potensi sepenuhnya jika ia menjadi anggota
masyarakat. Sebagai individu bidang kegiatannya sangat terbatas.
Hakekat masyarakat dan Negara dikemukakan bahwa Negara
adalah

ekspresi

tertinggi

dari

organisasi

kelompok

manusia

mengungguli perorangan. Tanpa Negara, individu tidak sanggup


mengembangkan atribut atau tujuan. Hakekat hubungan manusia
dengan Negara dijelaskan bahwa Negara merupakan hal terpenting
dalam pengembangan manusia seutuhnya. Mengenai hakekat
pengetahuan dan kebenaran dijelaskan bahwa pengetahuan dapat
ditemukan melalui upaya mental. Kemampuan manusia berbeda
dalam menggunakan mental, oleh karena itu manusia dibedakan
tempatnya dalam struktur social masyarakat.
Landasan filsafat Teori Otoriter
Landasan filsafat teori ini adalah kekuasaan monarki absolute,
kekuasaan

pemerintah

absolute

atau

kedua-duanya.

Kalau

disesuaikan dengan dua filsafat kedaulatan maka teori otoriter ini


berlandaskan filsafat kedaulatan raja/ketua/ulama/pendeta karena
kedaulatan Negara yang menganut aliran bahwa masyarakat yang
harus didahulukan memperoleh kebahagiaan, maka pemilik Negara
atau pemegang kekuasaan tertinggi di dalam Negara itu adalah
masyarakat yang hakekatnya seorang individu juga yang mengatas
namakan individu lain anggota masyarakat warga negara itu.
Hak dan Kewajiban
Penguasa punya hak untuk menentukan yang benar dan salah,
menentukan yang boleh diketahui dan dilarang untuk diketahui,
member izin terbit surat kabar dan mencabut surat izin terbit surat
kabar. Rakyat tidak punya hak, tetapi punya kewajiban untuk
mempercayai kebenaran yang ditetapkan penguasa tidak memuat

berita atau pendapat yang tidak sesuai dengan kehendak Negara


dan mematuhi kehendak yang ditetapkan oleh penguasa.
Kebebasan dan Keterbatasan
Penguasa punya kebebasan untuk menyampaikan isi pernyataan
melalui media apa saja secara terbuka atau terselubung kepada
siapa saja dan menghukum siapa saja yang menentang penguasa
dengan hukuman apa saja sesuai dengan cara yang dikehendaki
penguasa.

Rakyat

punya

keterbatasan

untuk

menyatakan

pendapatnya melalui media maupun cara lainnya dan membela diri


terhadap tuduhan yang dihadapkan kepadanya. Menurut teori ini
media

massa

mempunyai

tujuan

utama

mendukung

dan

mengembangkan kebijaksanaan pemerintah yang sedang berkuasa


dan untuk mengabdi kepada Negara. Tidak semua orang dapat
menggunakan media komunikasi kecuali mereka yang mendapat
izin dari kerajaan atau pemerintah.
Persetujuan dan Penolakan
Rakyat hanya boleh memberikan persetujuan terhadap keputusan
penguasa dan tidak boleh mengajukan penolakan, penolakan
diartikan penguasa sama dengan penentangan dan tidak boleh ada
perbedaan

pendapat

akan

tetapi

kesatuan

atau

kesamaan

pendapat.
Kekuasaan dan Tanggung jawab
Pemegang kekuasaan adalah penguasa. Rakyat bertanggung jawab
kepada penguasa dan penguasa tidak bertanggung jawab kepada
siapapun.
Kontrol Sosial
Terhadap pemegang kekuasaan tidak mungkin ada control, control
social justru dilakukan oleh penguasa, yang dikontrol adalah isi surat
kabar melalui pemberian dan pencabutan Surat Izin Terbit (SIT),
perkumpulan pekerja seperti wartawan dan pencetak, kalau perlu
melalui sensor dan pemberian paten atau khusus kepada orangorang yang dipercaya penguasa. Rakyat dikontrol melalui terror,
hasutan atau adu domba dan pemberian fasilitas atau subsidi.

Kepentingan Individu dan Kepentingan Umum


Kepentingan

individu

ditentukan

oleh

kepentingan

umum,

kepentingan umum ditetapkan oleh penguasa, kepentingan umum


sama dengan kepentingan penguasa dan kepentingan individu
ditentukan berdasarkan kepentingan umum yang identik dengan
kepentingan penguasa.
Hak komunikasi
Tujuan utama pers adalah untuk mendukung dan memajukan
kebijakan pemerintah yang berkuasa dan mengabdi pada Negara.
Yang berhak menggunakan media adalah siapa saja yang memiliki
paten (izin khusus) dari kerajaan. Yang dilarang adalah kritik
terhadap mekanisme politik dan para pejabat yang berkuasa.
Pemilik media adalah swasta perorangan atau umum.
Perbedaan dengan Teori Lain
Media massa dianggap sebagai alat untuk melakasanakan kebijakan
pemerintah, walaupun tidak harus dimiliki oleh pemerintah.
System media massa seperti ini berdasarkan teori otoriter yang
berasal dari falsafah absolute yang memiliki empat asumsi dasar,
yaitu :
a. Manusia tidak dapat berdiri sendiri dan harus hidup dalam
masyarakat. Manusia juga akan menjadi berarti kalau dia hidup
dalam kelompok.
b. Kelompok lebih penting dari individu. Masyarakat tercermin
dalam organisasi organisasi dan yang terpenting adalah Negara.
Negara merupakan tujuan akhir dari proses organisasi.
c. Negara adalah pusat segala kegiatan, individu tidak penting
d. Pengetahuan dan kebenaran dicapai melalui interaksi individu.
Interaksi itu harus dikontrol dan terarah sehingga kepentingan
akhir tidak diragukan (Rachmandi, 1990:
31-32).
Atas dasar keempat asumsi dasar tersebut, maka teori ini
cenderung membentuk suatu system control yang efektif dan
menggunakan media massa sebagai sarana yang efektif bagi
kebijakasanaan pemerintah meskipun tidak harus dimiliki oleh

pemerintah.

Sistem

otoriter

berkaitan

erat

dengan

system

pengawasan terhadap media massa yang daya pengaruhnya dinilai


amat kuat, sehingga pers dijuluki the fourth estate (kekuaasaan
keempat) dan radio siaran dijuluki the fifth estate (kekuasaan
kelima) setelah lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif. Teori ini
muncul di iklim otoritarian, akhir jaman Renaisans pada abad 16 dan
17, setelah ditemukannya mesin cetak.
Teori ini menganggap bahwa raja atau penguasa adalah
pemilik kebenaran karena mereka memiliki hubungan yang sangat
dekat dengan Tuhan. Kebenaran bukan berasal dari masyarakat,
melainkan

dari

orang-orang

bijak

yang

membimbing

dan

mengarahkan pengikutnya. Oleh karena itu, setiap orang yang


menentang atau pun meragukan ideologi dari penguasa dapat
dikenai hukuman. Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengontrol
pers ada tiga, yaitu menyensor materi yang akan dicetak atau
disiarkan,

menyuap

editor

agar

mau

mengikuti

kemauan

pemerintah, dan mengancam pers dengan hukuman penjara.


Pers di jaman ini pun menjadi sangat pasif. Mereka hanya
digunakan sebagai alat untuk menyampaikan informasi tentang
kebijakan pemerintah untuk mendukung posisi kepemimpinannya
sendiri. Sehingga pers kehilangan fungsinya sebagai pengawas
pemerintahan dan hanya mengabdi pada kepentingan penguasa.
Dan yang boleh memiliki pers hanyalah kelompok atau orang
tertentu yang mendapat ijin khusus dari penguasa itu sendiri.
B. PERS

INDONESIA

DALAM

PEMERINTAHAN

OTORITER

SOEHARTO
Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di
Indonesia

tidak

dapat

dipisahkan

dari

perkembangan

dan

pertumbuhan sistem politik di negara ini. Bahkan sistem pers di


Indonesia merupakan sub-sistem dari sistem politik yang ada. Di
negara dimana sistem persnya mengikuti sistem politik yang ada
maka

pers

cenderung

sebagai balancer (penyeimbang)

bersikap
antara

dan
kekuatan

bertindak
yang

ada.

Sebagaimana

yang

diketahui

bahwa

pers

merupakan

media

komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana


penyampaian

informasi

dari

pemerintah

kepada

masyarakat

maupun dari masyarakat kepada pemerintah secara dua arah.


Komunikasi ini diharapkan menimbulkan pengetahuan, pengertian,
persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga demokrasi
dapat terlaksana. Sebagai lembaga sosial, pers adalah sebuah
wadah bagi proses input dalam sistem politik. Diantara tugasnya
pers

berkewajiban

membentuk

kesamaan

kepentingan

antara

masyarakat dan negara sehingga wajar sekali apabila pers berfungsi


sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pemerintah
dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan pers untuk
secara baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap sasaran
yang manapun sejauh hal itu benar-benar berkaitan dengan proses
input.
Begitu

naik

ke

tampuk

kekuasaan

di

awal

pemberontakan 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto


dan Orde Baru yang ia proklamirkan sendiri langsung
membelenggu surat-surat kabar yang ada di negeri ini.
Dalam upaya pemberantasan yang tak ada tandingannya di
Negara

ini,

nyaris

sepertiga

dari

seluruh

surat

kabar

ditutup.
Begitulah kata David T. Hill dalam bukunya berjudul Pers di
Masa

Orde

Baru. Buku

yang

berasal

dari

terjemahan

judul

aslinya, The Press in New Order, merupakan hasil penelitian David T.


Hill terhadap pertumbuhan pers Indonesia 1991-1994 di puncak
kekuasaan Orde Baru. Di zaman orde baru sistem pers di Indonesia
mengalami pengekangan dari pemerintah, atau sering disebut
sistem pers otoritarian. Pada masa ini media yang tidak mampu
bekerja sama dengan pemerintahan Soeharto akan ditarik izin
penerbitannya atau dibredel. Peristiwa pengekangan ini diawali
dengan Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974, yang mengakibatkan
kerusuhan. Pemerintah beranggapan pers turut bertanggung jawab

atas peristiwa ini karena mereka jugalah yang memanaskan situasi


politik lewat pemberitaan mereka. Oleh karena peristiwa itu, 12
surat kabar dibredel, yaitu: Harian Nusantara, Harian KAMI, Harian
Indonesia Raya, Harian Abadi, Harian The Jakarta Times, Harian
Pedoman, Harian Suluh Berita, Minggua Wenang, Mingguan Pemuda
Indonesia, Majalah Ekspres, Mingguan Mahasiswa Indonesia dan
Mingguan Indonesia Pos. Sejak saat itulah, media sangat dikontrol
ketat oleh pemerintah.
Pengekangan ini bertentangan dengan fungsi dari pers, yang
juga disebut-sebut sebagai tonggak demokrasi. Pers yang menjadi
menjadi sarana komunikasi antara rakyat dan pemerintah, berubah
perannya menjadi corong bagi pemerintah. Contoh paling nyata
adalah TVRI yang menjadi saluran televisi pemerintah, yang mana
selalu menyiarkan kebaikan pemerintah tanpa mampu mengkritisi
kinerjanya. Selain pembredelan, pengekangan pers juga dilakukan
dengan diberlakukannya SIUPP ( Surat Izin Untuk Penerbitan Pers)
dan dibentuknya Mentri Penerangan yang diketuai oleh Harmoko.
Namun, pengekangan ini tak menyurutkan semangat pers
kala itu untu melakukan kontrol pada pemerintah. Adapun beberapa
media yang akhirnya dibredel karena dianggap telah melakukan
pembangkangan adalah Tempo, deTik dan Editor. Media tersebut
dibredel, karena telah melaporkan investigasi mereka tentang
berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat negara pada
saat itu. Peristiwa pembredelan tiga media tersebut seakan menjadi
peringatan bagi media massa lainnya untuk bersikap dalam
pemberitaannya. Pembredelan yang dilakukan pada 21 Juni 1994 ini,
menjadi penanda bahwa kuasa pemerintah atas pers sangatlah
besar. Namun setelah jatuhnya Orde Baru, kekuatan pers kembali
menguat, bahkan cenderung bebas. Hal tersebut terjadi karena
tidak ada lagi pengekangan media oleh pemerintah. Hal tersebut
tertuang pada Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999.

Sesungguhnya pada masa orde baru terdapat lembaga yang


menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers. Dewan Pers pertama
kali terbentuk pada tahun 1966 melalui Undang-undang No.11
Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Fungsi dari
Dewan Pers saat itu adalah sebagai pendamping Pemerintah serta
bersama-sama membina perkembangan juga pertumbuhan pers di
tingkat

nasional.

Saat

itu, Menteri

Penerangan secara ex-

officio menjabat sebagai Ketua Dewan Pers. Kemudian Pada era orde
baru, kedudukan dan fungsi Dewan Pers tidak berubah yaitu masih
menjadi

penasehat

Pemerintah,

terutama

untuk

Departemen

Penerangan. Hal ini didasari pada Undang-Undang No. 21 Tahun


1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Tetapi terjadi
perubahan perihal keterwakilan dalam unsur keanggotaan Dewan
Pers seperti yang dinyatakan pada Pasal 6 ayat (2) UU No. 21 Tahun
1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967 : Anggota
Dewan

Pers

terdiri

dari

wakil

organisasi

pers,

wakil

Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di


bidang pers serta ahli-ahli di bidang lain. Jadi, dewan pers
adalah lembaga independen yang seharusnya dibentuk

sebagai

bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan


meningkatkan kehidupan pers nasional bukan hanya menaungi
kepentingan pemerintah pada waktu itu. Hal ini sebagaimana
amanat UU, dewan pers memiliki 7 fungsi :
-

Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain,

bisa pemerintah dan juga masyarakat


Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik
Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian
pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan

pemberitaan pers
Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan
pemerintah.

Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di

bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan


Mendata persahaan pers
Namun sangat disayangkan bahwa dewan pers masa orde

baru tidak melaksanakan fungsinya dengan efektif. Ironisnya, dewan


pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis. Hal tersebut
terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak
anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut,
namun

dewan

pers

dipaksa

menyetujui

langkah

pemerintah

tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan pers selain


mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan
melawan

pemerintah.

Bisa

disimpulkan

keberadaan

dewan

pers masa orde baru hanya sebatas formalitas.


Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan
keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat
itu awalnya bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang
diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama.
Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala
aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan
psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit,
bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat
tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya
bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah
sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak
ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar
pemerintah.

Bila

ada

maka

media

massa

tersebut

akan

mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan


mengancam

penerbitannya.

Pada

masa

orde

baru,

segala

penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah


yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka
media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik
tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat
pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers

tidak

menjalankan

fungsi

yang

sesungguhnya

yaitu

sebagai

pendukung dan pembela masyarakat.


REFERENSI
Abar, Ahmad Zaini. 1994. Kekecewaan Masyarakat dan Kebebasan Pers.
Prisma. Jakarta: LP3ES.
David, Hills. Pers di Masa Orde Baru. Yayasan Obor. Yogyakarta
Effendy,

Onong

Uchjana.(

2003). Ilmu,

Teori

dan

Filsafat

Komunikasi, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.


Imawan, Riswandha. 1998. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Muis, A. 2000. Titian Jalan Demokrasi; Peranan Kebebasan Pers untuk
Budaya Komunikasi Politik. Jakarta: Penerbit Harian Kompas.

You might also like