You are on page 1of 2

STOP PENGGUSURAN WARGA PARANGKUSUMO

Rabu, 31 Agustus 2016, warga pesisir Dusun Parangkusumo, Parangtritis, Bantul,


Yogyakarta, mendapatkan sebuah surat atas nama Bupati Bantul, Nomor: 523/03700
tentang Pemberitahuan Penertiban yang meliputi: penutupan tambak, pembongkaran
bangunan dan penebangan pohon.
Dalam isi surat ini dijelaskan bahwa warga setempat dianggap telah menempati kawasan
konservasi Gumuk Pasir, yang harus dilindungi. Dengan demikian, mereka harus
meninggalkan lahan dan rumah yang selama ini didiaminya, selambat-lambatnya pada 1
September 2016.
Surat ini diterbitkan dengan mendasarkan pada keputusan surat Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta, Nomor: 180/3557, tertanggal 12 April 2016 perihal Penanganan
Gumuk Pasir di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul dan surat K.H.P Wahono
Sartokriyo Kraton Ngayogyakarta Nomor: 120/W dan K/VII/2016 tertanggal 27 Juli
2016, perihal Penertiban Zona Gumuk Pasir.
Surat ini selanjutnya ditembuskan kepada Komandan Kodim 0729 Bantul, Kapolres
Bantul, Kepala Kejaksaan Negeri Bantul, Sekretaris Daerah Kabupaten Bantul, Asisten
Pemerintahan Setda Bantul, Kepala Kesatuan Pol PP Bantul, Ka. Bagian Hukum, Camat
Kretek, Danramil Kretek, Kapolsek Kretek, dan Lurah Parangtritis.
Dari mana pangkal persoalan ini bermula? Persoalan ini bermula, pasca diresmikannya
Parangtritis Geomaritime Science Park (PGSP) oleh Sri Sultan HB X pada 12 September
2015 yang berlokasi di Dusun Parang Kusumo, Desa Parangtritis, Bantul, Yogyakarta.
Pasca peresmian PGSP tersebut, lokasi di mana warga yang bermukim ditempat yang
disebutkan tersebut dianggap masuk ke dalam kawasan konservasi gumuk pasir.
Sebelumnya, kawasan PGSP ini dikenal dengan nama Laboratoium Geospasial
Parangtritis, yang didirikan pada tahun 2006 oleh Badan Informasi Geospasial (BIG),
bekerjasama dengan Fakultas Geografi UGM, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan Pemerintah Kabupaten Bantul.
Dalam pelaksanaannya, kawasan PGSP dibagi menjadi tiga zona. Zona pertama adalah
kawasan inti, seluas 141 hektar, zona kedua adalah kawasan terbatas dengan luas 95
hektar, dan zona ketiga adalah kawasan penyangga seluas 111 hektar. Dalam acara
peresmian tersebut, Sultan HB X menegaskan bahwa penetapan batas zona inti akan
diikuti oleh pembersihan pemukiman dan pepohonan serta aktivitas lain yang dianggap
dapat mengganggu pelestarian zona inti gumuk pasir. Dari sinilah cerita penggusuran
terhadap Ibu Kawit dkk mulai semakin menguat. Dan dari sini juga manipulasi sejarah
agraria di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) direproduksi ulang.
Alasannya, yakni: Pertama, karena dari sejak awal, pendirian PGSP tidak dilengkapi
dengan sosialisasi kepada penduduk. Kedua, terjadinya penggiringan opini bahwa lahan
PGSP adalah tanah Sultanaat Ground (SG), sehingga dalam praktiknya pendirian PGSP
secara langsung meminta ijin kepada Sultan, bukan kepada warga.
Jauh sebelum datangnya isu penggusuran terkait hadirnya PGSP, warga Parangtritis juga
sudah beberapa kali menerima ancaman penggusuran serupa dari Pemerintah Kabupaten
Bantul. Mereka dianggap menempati lahan SG.
Kini warga Parangtritis diancam oleh Pemerintah DIY dan Kraton Ngayogyakarta dengan
menggunakan regulasi berupa: UU Nomor 5 tahun 1990, Perda Nomor 4 Tahun 2015,

Pergub Nomor 115 Tahun 2015, yang dianggap akan mengganggu kawasan ekosistem
gumur pasir.
Oleh karena itu, demi terbebasnya provinsi DIY dari pembohongan publik, dan kekerasan
agraria, Ibu Kawit dkk beserta warga Parangkusumo menyatakan:
1 Mendesak pemerintah Provinsi DIY untuk menghentikan penggusuran terhadap
warga pesisir Parangkusumo, yang telah dianggap menempati kawasan PGSP.
2 Menolak legitimasi adanya SG dan PAG, karena SG dan PAG sudah dihapuskan
sesuai dengan UUPA Diktum IV, Keppres Nomor 33 tahun 1984, dan Perda DIY
Nomor 3 Tahun 1984.
3 Menolak intervensi lembaga swasta (Keraton) dalam wilayah agraria di provinsi
DIY.

You might also like