You are on page 1of 18

BAB I

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Prevalensi tertinggi di dunia terjadi di Afrika Barat dan Tengah ( 43,37%). Area
area lainya Amerika Selatan (4,25%). Eropa Timur (3,96%), Asia Timur (3,39%),
Asia Pasifik (3,75%), dan Eropa Tengah (3,64%) (Monasta, et al, 2012). Di Asia
Tenggara, Indonesia Termasuk keempat negara dengan prevalensi gangguan
telinga tertinggi (4,6%). Tiga negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%). Myanmar
(8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan tertinggi tetapi pravalensi 4,6%
merupakan angka yang cukup tinggi untuk menimbulkan masalah sosial di tengah
masyarakt, misal dalam borkomunikasi. Dari hasil survei yang dilaksanakan di
tujuh provinsi di indonesia menunjukan bahwa otitis media merupakan penyebab
utama morbiditas pada telinga tengah (supari, 2006). Dari data yang telah
ditemukan

kelompok

tertarik

untun

membahas

asuhan

keperawatan

kegawatdaruratan khusunya otitis media aku.


B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan kegawatdaruratan khususnya pada otitis media
akut? .
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dari makalah ini tujuananya yaitu untuk mengetahuia asuhan
keperawatan kegawatdaruratan khususnya pada otitis media akut .
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui Definisi tentang otitis media akut .
b. Untuk mengetahui Etiologi otitis media akut .
c. Untuk mengetahui Patofisiologi otitis media akut .
d. Untuk mengetahui Klasifikasi otitis media akut .
e. Untuk mengetahui Tanda gejala otitis media akut .
f. Untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostic tentang otitis media akut.
g. Untuk mengatahui Penatalaksanaan tentang otitis media akut .
h. Untuk mengetahui asuhan keperawatan kegawatdaruratan khususnya
tentang otitis media akut .

Bab II
Pembahasan
A. Defenisi
Otitis media adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah (Djaafar ZA et al. 2007). Otitis media akut didefinisikan bila proses
peradangan pada telinga tengah yang terjadi secara cepat dan singkat (dalam
waktu kurang dari 3 minggu) yang disertai dengan gejala lokal dan sistemik
(Healy & Rosbe, 2003).
Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang
berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Otitis media akut adalah
peradangan sebagian atu seluruh mukosa telinga tengah, yang terjadi secara tepat
dan singkat yang berlangsung kurang dari tiga minggu ( Djaafar ZA et al. 2007;
Healy & Rosbe, 2003; Donaldson, 2010 )
.
B. Etiologi
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang paling
sering ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh Haemophilus
influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan Staphylococcus
aureus.

Beberapa

mikroorganisme

lain

yang

jarang

ditemukan

adalah

Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan Clamydia tracomatis.


Virus terdeteksi pada sekret pernafasan pada 40-90% anak dengan OMA, dan
terdeteksi pada 20-48% cairan telinga tengah anak dengan OMA. Virus yang
sering sebagai penyebab OMA adalah respiratory syncytial virus. Selain itu bisa
disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan 3), influenza A dan B, rinovirus,
adenovirus, enterovirus, dan koronavirus. Penyebab yang jarang yaitu
sitomegalovirus dan herpes simpleks. Infeksi bisa disebabkan oleh virus sendiri
atau kombinasi dengan bakteri lain (Pichichero ME. 2004). Penyebab lainnya
yaitu Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasienatopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatumediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergiadalah kelainan pada

hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat


setelahmukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
C. Patofisiologis
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh.
Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya
penyakit ini. Dengan terganggunya fungsi tuba Eustachius, terganggu pula
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah sehingga kuman masuk dan
terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba Eustachius ini menyebabkan terjadinya
tekanan negatif di telingah tengah, yang menyebabkan transudasi cairan hingga
supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
Makin sering anak-anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya
OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA dipermudah karena:
1. morfologi tuba eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal;
2. sistem kekebalan tubuh masih dalam perkembangan;
3. adenoid pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa dan sering
terinfeksi sehingga infeksi dapat menyebar ke telinga tengah.

(Parker, 200; Hendley 2002 dan Smeltzer, 2001)

D. Klasifikasi
Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga tengah,
yaitu: (Djaafar ZA et al. 2007)
1.

Stadium Oklusi Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran


timpani akibat tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang

2.

tampak normal atau berwarna suram.


Stadium Hiperemis Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar
di sebagian atau seluruh membran timpani, membran timpani tampak

3.

hiperemis disertai edem.


Stadium Supurasi Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah
disertai hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen
di kavum timpani sehingga membran timpani tampak menonjol (bulging) ke

4.

arah liang telinga luar.


Stadium Perforasi Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani

5.

sehingga nanah keluar dari telinga tengah ke liang telinga.


Stadium Resolusi Pada stadium ini membran timpani berangsur normal,
perforasi membran timpani kembali menutup dan sekret purulen tidak ada
lagi. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi

dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan.


E. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis otitis media menurut (Wong et al 2008) :
1. Terjadi setelah infeksi pernafasan atas: Otitis media sering diawali dengan
infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang
menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui
saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut
sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran,
dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah
putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri.
Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu
pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir
yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang
telinga

2.

Otalgia (sakit telinga): Mekanisme terjadinya Inflamasi dapat dibagi


a.

menjadi 2 fase yaitu:


Perubahan vaskular :
Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu yang
mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi perubahan
aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah. Perubahan aliran darah
karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga terjadi pertambahan
aliran darah (hypermia) yang disusul dengan perlambatan aliran darah.
Akibatnya bagian tersebut menjadi merah dan panas. Sel darah putih
akan berkumpul di sepanjang dinding pembuluh darah dengan cara
menempel. Dinding pembuluh menjadi longgar susunannya sehingga
memungkinkan sel darah putih keluar melalui dinding pembuluh. Sel
darah putih bertindak sebagai sistem pertahanan untuk menghadapi

b.

serangan benda-benda asing.


Pembentukan cairan inflamasi:
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai. dengan keluarnya sel
darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut eksudasi.
Cairan inilah

yang

menjadi

dasar

terjadinya

pembengkakan.

Pembengkakan menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada sel


3.

syaraf sehingga menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999).


Demam: Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih
(monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,
mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan
mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6,
TNF-, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang
endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello &
Gelfand, 2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan
patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan
menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru
sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas
antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti
memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan

penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu


4.

tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001).


Rabas purulen (otorea): Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka
dapat

menyebabkan

infeksi

di

saluran

tersebut

sehingga

terjadi

pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya selsel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh
bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya
terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan
sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di
telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga.Jika lendir dan nanah
bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga
dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ

1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
3.
4.
5.

pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas


Manifestasi klinis pada bayi atau anak yang masih kecil :
Menangis: bayi mengekspresikan nyerinya dengan menangis
Rewel, gelisah, sensitif: ketidaknyamanan bayi karena nyeri
Kecenderungan menggosok, memegang, atau menarik telinga yang sakit
Menggeleng-gelengkan kepala
Sulit untuk memberi kenyamanan pada anak
Kehilangan nafsu makan
Manifestasi klinis pada anak yang lebih besar :
Menangis dan/atau mengungkapkan perasaan tidak nyaman
Iritabilitas
Letargi :
Kehilangan nafsu makan
Pada pemeriksaan otoskopi menunjukkan membran utuh yang tampak
merah terang dan menonjol, tanpa terlihat tonjolan tulang dan refleks ringan

( Wong et al 2008) .
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Otoskop : Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang
menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau
agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga

2.

oOoskop

Pneumatik

Jika

konfirmasi

diperlukan, umumnya dilakukan

dengan

otoskopi

gendang

pneumatik.

Gerakan

telinga yang berkurang atau tidak

ada

sama

sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan


sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat
ditegakkan dengan otoskop biasa.

3.

Timpanometri: Timpanometri dapat memeriksa secara objektif mobilitas


membran

timpani

dan

rantai

tulang

pendengaran.1

Timpanometri

merupakan konfirmasi penting terdapatnya cairan di telinga tengah.


Timpanometri juga dapat mengukur tekanan telinga tengah dan dengan
mudah menilai patensi tabung miringotomi dengan mengukur peningkatan
volume liang telinga luar. Timpanometri punya sensitivitas dan spesifisitas
70-90% untuk deteksi cairan telinga tengah, tetapi tergantung kerjasama
pasien.

4.

Timpanosintesis: Timpanosintesis diikuti aspirasi dan kultur cairan dari


telinga tengah, bermanfaat pada anak yang gagal diterapi dengan berbagai
antibiotika, atau pada imunodefisiensi. Timpanosintesis merupakan standar
emas untuk menunjukkan adanya cairan di telinga tengah dan untuk

mengidentifikasi patogen yang spesifik.


G. Penatalaksanaan
Terapi OMA tergantung pada stadiumnya. Pengobatan pada stadium awal
ditujukan untuk mengobati infeksi saluran nafas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik.
1) Pada stadium oklusi, tujuan terapi dikhususkan untuk membuka kembali
tuba eustachius. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam
larutan fisiologik untuk anak <12 thn dan HCl efedrin 1% dalam larutan
10

fisiologik untuk anak yang berumur >12 thn atau dewasa.. selain itu, sumber
infeksi juga harus diobati dengan memberikan antibiotik.
2) Pada stadium presupurasi, diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan
analgesik. Bila membran timpani sudah hiperemi difus, sebaiknya dilakukan
miringotomi. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin atau eritromisin. Jika
terdapat resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavunalat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin IM agar konsentrasinya
adekuat di dalam darah. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Pada
anak

diberikan

ampisilin

4x50-100

mg/KgBB,

amoksisilin

4x40

mg/KgBB/hari, atau eritromisin 4x40 mg/kgBB/hari.


3) Pengobatan stadium supurasi selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
dilakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh. Selain itu,
analgesik juga perlu diberikan agar nyeri dapat berkurang.
4) Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5
hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan
hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.
5) Stadium resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir keluar. Pada
keadaan ini dapat dilanjutkan antibiotik sampai 3 minggu, namun bila masih
keluar sekret diduga telah terjadi mastoiditis.
Adapun tindak keperawatannya khusus pada anak :
1.
2.

Berikan pengobatan rawat jalan kepada anak:


Berhubung penyebab tersering adalah Streptococus pneumonia, Hemophilus
influenzae dan Moraxella catharrhalis, diberikan Amoksisilin (15 mg/
kgBB/kali 3 kali sehari) atau Kotrimoksazol oral (24 mg/kgBB/kali dua kali

3.

sehari) selama 710 hari.


Jika ada nanah mengalir dari dalam telinga, tunjukkan pada ibu cara
mengeringkannya dengan wicking (membuat sumbu dari kain atau tisyu
kering yang dipluntir lancip). Nasihati ibu untuk membersihkan telinga 3

4.

kali sehari hingga tidak ada lagi nanah yang keluar.


Nasihati ibu untuk tidak memasukkan apa pun ke dalam telinga anak,
kecuali jika terjadi penggumpalan cairan di liang telinga, yang dapat
dilunakkan dengan meneteskan larutan garam normal. Larang anak untuk
berenang atau memasukkan air ke dalam telinga.

11

5.

Jika anak mengalami nyeri telinga atau demam tinggi ( 38,5C) yang
menyebabkan anak gelisah, berikan parasetamol. Antihistamin tidak
diperlukan untuk pengobatan OMA, kecuali jika terdapat juga rinosinusitis
alergi.
Tindakan lanjut :

1. Minta ibu untuk kunjungan ulang setelah 5 hari


a. Jika keadaan anak memburuk yaitu MT menonjol keluar karena tekanan
pus, mastoiditis akut, sebaiknya anak dirujuk ke spesialis THT.
b. Jika masih terdapat nyeri telinga atau nanah, lanjutkan pengobatan
dengan antibiotik yang sama sampai seluruhnya 10 hari dan teruskan
membersihkan telinga anak.
2. Kunjungan ulang setelah 5 hari.
Setelah kunjungan ulang (5 hari lagi):
a.
Bila masih tampak tanda infeksi, berikan antibiotik lini kedua:
Eritromisin dan Sulfa, atau Amoksiklav (dosis disesuaikan dengan
b.

komponen amoksisilinnya).
Infeksi mungkin karena kuman penghasil betalaktamase (misalnya H.
influenzae) atau karena terdapat penyakit sistemik, misalnya alergi,
rinosinusitis, hipogamaglobulinemia. Bila dengan antibiotik lini kedua
juga gagal, dapat dirujuk untuk kemungkinan tindakan miringotomi
dengan atau tanpa pemasangan grommet.

OMA sembuh bila tidak ada lagi cairan di kavum timpani dan fungsi tuba
Eustakius sudah normal (cek dengan timpanometer). Kesembuhan yang tidak
sempurna, dapat menyebabkan berulangnya penyakit atau meninggalkan otitis
media efusi kronis dengan ketulian ringan sampai berat.
H. Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Khususnya Otitis Media Akut
Kasus : Klien bernama anak x umur 4 tahun datang di rumah sakit
soedarso ia meringis kesakitan ibunya datang dengan sedih tampak telinga
mengeluarkan cairan berwarna putih di telinga kanan, suhunya 39 0C, nadi 110
x /menit, RR 25x/menit, ibunya mengatakan memiliki riwayat penyakit ispa 2
bulan yang lalu ia menangis karena telinganya sakit sudah 2 minggu yang lalu,
dan tidak diobati

12

Penangana awal :
1. Bersihkan cairan yang keluar dari dalam telinga untuk mecegah terjadinya
infeksi dan untuk mempermudah pengkajian
2. Berikan informasi tentang keadaan klien agar keluarga klien dapat tenang
3. Komunikasi dengan klien dengan tenang agar klien tidak cemas
1. Pengkajian :
a. Riwayat terdahulu: keluarga klien mengatakan memiliki penyakit ispa
b. Keluhan sekang : klien tampak menangis sambil memegang telinganya ,
tampak keluar cairan di telinga
c. Pemeriksaan fisik pada telinga:
1) Inspeksi : tampak ada cairan otorea di telinga bewarna putih, tampak
menangis, telinga tampak merah, tampak bengkak di sekitar telinga.
2) Palpasi : saat ditekan teraba benjolan dan saat di tekan terdapat nyeri
tekan
d. pemeriksaan Diagnostik: Lakukan pemeriksaan ostoskop

Analisa data
Data
Ds : klien tampak
menangis dan
memegang telinga

Etiologi

Masalah
Nyeri akut

(inflamasi) pada jaringan


tengah

Do :
- ttv : nadi
110x/menit
- tampak merah di
telingah
- tampak bengkak
di telinga
Ds : ibu klien

(proses peradangan

mengatakn

(inflamasi)

anaknya telah
demam 2 hari yang

13

Hipertermi

lalu
Do : s 39x/ menit
Mukosa bibir
tampak merah
Ds: klien mengatan

Pengobatan yang tak

Resiko tinggi

keluar nanah susah

tuntas

infeksi

2 minggu
Do : tampak
bengkaktampar
keluar cairan di
telingah

2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut b.d inflamasi pada jaringan telinga tengah
b. Hipertermi b.d proses inflamasi
c. Resiko tinggi infeksi b.d obat yang tidak tuntas
3. Intervensi

Diagnosa

Rencana tindakan
Tujuan

o
1

keperawatan
Nyeri akut

Setelah diberi

berhubunga

asuhan

dengan tim medis

nyeri dan mencegah

n dengan

keperawatan

dalam pemberian

proses

selama 1x 2 jam

analgetik, antibiotik,

infeksi lebih lanjut .


2. untuk mengurangi rasa

inflamasi

nyeri berkurang

antiradang .
beri posisi nyaman

atau hilang
K.h : klien
tampak tenang
dan tidak
menangis lagi
Tak tampak

1.

2.
3.
4.

Intervensi
kolaborasikan

Rasional
1. untuk mengurangi rasa

nyeri.
3. untuk memantau nyeri

yang diderita klien.


pada klien.
4. agar keluarga klien dapat
kompres dingin pada
mengetahui kondisi
telinga.
kaji kembali nyeri
klien.
yang dirasa oleh

14

kemerahan pada

klien setelah 30

telinga
N 100x/menit

menit pemberian
5.

analgetik.
beri informasi
kepada klien dan
keluarga tentang
penyebab nyeri yang
dirasa

Hipertermi

Setelah

1. kaji tanda tanda

b.d proses

dilakukan

inflamasi

asuhan

vital klien.
2. kolaborasi
dalam

keperawata

pemberian obat

n 1x/2 jam
suhu tubuh

penurun panas.
3. beri kompres

klien

1. untuk memantau
tanda tanda vital
klien.
2. untuk menurun
panas tubuh klien.
3. untuk menurunkan
panas tubuh klien

hangat

menurun
atau hilang
Kh:
Klien
tampak
tenang
Do: s:36 c
Resiko

Setelah

1. Jaga kebersihan

tinggi

diberikan

infeksi b.d

asuhan

telinga
2. Kaji tanda tanda

tertundanya

keperawata

pengobatan

n 1x2 jam

perluasan
infeksi

tanda tanda
inflamasi
tidak ada

15

1. Untuk mencegah
infeksi yang kronik
pada klien
2. Untuk mendeteksi
terjadinya infeksi

Implementasi

No

Diagnosa

1.

keperawatan
Nyeri akut b/d

Implementasi
1. berkolaborasi dengan tim medis dalam

proses inflamasi

pemberian analgetik, antibiotik,


antiradang
2. Memberikan posisi nyaman pada klien
3. mengkompres dingin pada telinga klien
4. mengkaji kembali nyeri yang dirasa oleh
klien setelah 30 menit pemberian
analgetik
5. memberi informasi kepada klien dan
keluarga tentang penyebab nyeri yang
dirasa untuk menghilkan cemas keluarga
klien

2.

Hipertermi b.d
proses inflamasi

1. mengkaji tanda tanda vital klien


2. berkolaborasi dalam pemberian
obat penurun panas
3. memberi kompres hangat

Resiko tinggi

1. Jaga kebersihan telinga


2. Kaji tanda tanda perluasan infeksi

infeksi b.d
tertundanya
pengobatan
Viii. Evaluasi

Dx
Dx
1

Dx

Evaluasi
S: klien masih menangis, telinga kanan keluar cairan
O: klien tampak meringis
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi lanjutkan pemerikaan secara bersekala dan berikan
antibiotik, antiradang dan analgetik secara kontinyue dan sesuai aturan.
S: klien tampak tenang,
O: s: 37 c

16

2
Dx
3

A: masalah teratasi sebagian


P: lanjutkan intervensi kompres hangat lagi dan kaji ttv
S:
O:
A:

17

Daftar Pustaka
Darrow DH, Dash N, Derkay CS. 2003. Otitis media: concepts and controversies.
Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg.
Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. 2007. Kelainan telinga tengah. Dalam: Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi keenam.
Jakarta: FKUI.
Donaldson, JD. Acute Otitis Media. Updated Oct 28, 2011. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com. Akses February 6, 2012.
Ghanie A. 2010. Penatalaksanaan otitis media akut pada anak. Palembang:
Departemen THT-KL FK Unsri/RSUP M.Hoesin.
Healy GB, Rosbe KW. 2003. Otitis media and middle ear effusions. In: Snow JB,
Ballenger JJ,eds. Ballengers otorhinolaryngology head and neck surgery.
16th edition. New York: BC Decker.
Pichichero ME. 2004. First line treatment of acute otitis media. In: Alper CM,
Bluestone CD, Caselbrant ML, Dohar JE, Mandel EM, editors. Advanced
therapy of otitis media. Hamilton:BC Decker Inc.
Wong, DL et al. 2008. Buku ajar keperawatan pediatrik. EGC: Jakarta.

18

You might also like