You are on page 1of 39

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA ANAK DENGAN BRONKOPNEUMONIA

OLEH:
Gusti Ayu Putu Yuli Larantika, S.Kep
14.901.0857

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA PPNI BALI
2015

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
BRONCHOPNEUMONIA
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Pneumonia merupakan peradangan akut parenkim paru-paru
yang biasanya berasal dari suatu infeksi. Pneuimonia dapat dikatakan
juga dengan radang paru-paru dimana terjadi inflamasi pada paru-paru
yang mengenai kantung-kantung udara mikroskopik yang dikenal
sebagai alveolus. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh infeksi virus
atau bekteri (Price, 2002).
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru,
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru
dan menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat (Brunner dan
Suddarth, 2002).
Pneumonia adalah infeksi pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi
(Bennete, 2013) :
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia interstisial atau bronkiolitis
3. bronkopneumonia
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan
pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur
dalam satu atau lebih area terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke
parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. Pada bronkopneumonia
terjadi konsolidasi area berbercak (Smeltzer,2001).
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu
suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya
mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya.
Bronkopneumonia juga dapat diartikan sebagai suatu peradangan
pada parenkim paru yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang

berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution)


(Bennete, 2013).
Broncopneumonia adalah radang pada saluran nafas bagian
bawah yang ditandai dengan demam, batuk, sesak ( peningkatan
frekuensi pernapasan , nafas cuping hidung ,retraksi dinding dada dan
kadang kadang sianosis denganm terjadinya infiltrate atau
konsolidasi jaringan interstitial dan parenkim paru oleh sel sel
radang (Crowin, 2007).
Broncopneumonia adalah suatu peradangan pada alveoli dan
parenkim paru yang terjadi pada anak (Masjoer, 2001).
Jadi dapat disimpulkan, bronkopneumonia adalah salah satu
jenis pneumonia atau peradangan pada saluran napas bawah yaitu
pada parenkim paru yang terlokalisir pada bronkiolus atau alveolus
yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak.
2. Epidemiologi
Pneumonia dapat terjadi pada berbagai usia, meskipun lebih
banyak terjadi pada usia yang lebih muda. Masing-masing kelompok
umur dapat terinfeksi oleh pathogen yang berbeda, yang
mempengaruhi dalam penetapan diagnosa dan terapi.
Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum
berhubungan dengan infeksi saluran nafas yang terjadi dimasyarakat
(pneumonia komunitas / PK) atau didalam rumah sakit ( pneumonia
nosokomial/ PN). Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran
nafas bawah akut di parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20
%. Pneumonia nosokomial di ICU lebih sering daripada PN diruangan
umum yaitu 42%: 13% dan sebagian besar yaitu sejumlah 47% terjadi
pada pasien yang menggunakan alat bantu mekanik. Kelompok pasien
ini merupakan bagian terbesar dari pasien yang meninggal di ICU
akibat PN.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada
anak-anak di bawah umur 5 Tahun dengan resiko kematian
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi
pada anak di bawah umur 2 tahun (Bradley et.al, 2011).
3. Etiologi

Secara umum, pneumonia disebabkan oleh beberapa faktor


penyebabnya anatara lain :
a. Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organisme
gram posifif seperti : Steptococcus pneumonia, S. aerous, dan
streptococcus pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti Haemophilus
influenza, klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa.
b. Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi
droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab
utama pneumonia virus.
c. Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar
melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya
ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos.
d. Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC).
Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami immunosupresi
e. Aspirasi makanan atau benda asing
(Reeves, 2001)
Penyebab bronkopneumonia khususnya anatara lain adalah
(Bradleyet.al.,2011) :
1) Faktor Infeksi
a.

Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial


Virus (RSV).

b.

Pada bayi :

Virus: Virus parainfluensa, virus influenza,Adenovirus,

RSV, Cytomegalovirus.
Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, Bordetellapertusis.
c.

Pada anak-anak :

Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV


Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis

d. Pada anak besar dewasa muda :

Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C.

trachomatis
Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M.
tuberculosis

2.

Faktor Non Infeksi


Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
a.

Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau
sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan
bensin).

b.

Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak
secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang
mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian
makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian
makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis.
Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang
terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak
tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak
ikan.

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk


terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderitapenderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang
belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi
terjadinya penyakit ini.
4. Patofisiologi
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai
parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui
mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan
sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks

batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa


sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit,
komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas
yang diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas
terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius
masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora
komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen.
Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran
nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan
respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia
bakteri didahului dengan infeksi virus.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi
eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar,
atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi
akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar,
penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium
hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan
compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yang
melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran
fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian
menyebabkan terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen
menyebabkan peningkatan kerja jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin
dan disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada
kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana
eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan
dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke
kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema.
Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun
kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan
perlekatan (Bennete, 2013).
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley
et.al., 2011):

1.

Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini
ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di
tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediatormediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun
dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin
dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2.

Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh
sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu
(host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena
menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.

3.

Stadium III (3-8 hari berikutnya)


Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah
putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,

warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
4.

Stadium IV (7-11 hari berikutnya)


Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon
imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya
semula.

Pathway Bronchopneumonia :
Inhalasi/ aspirasi akibat bakteri, virus, jamur, protozoa,
aspirasi makanan atau benda asing
Penurunan Imunitas

Saluran napas atas


Menginfeksi saluran napas bawah

Mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun


BRONKOPNEUMONIA

hospitalisasi

Inflamasi parenkim paru khususnya


pada bronkus dan alveolus

Status kesehatan

Respon inflamasi

Pelepasan
mediator
peradangan dari
sel mast seperti
histamin dan
prostaglandin
Mengaktifkan
jalur komplemen
Melepaskan
otot polos
vaskuler paru

Alveoli terisi
sel darah
merah
Penumpukkan
leukosit,
eritrosit,
cairan
Lobus padat
dan menjadi
merah

Peningkatan
produksi eksudat
Adanya eksudat
dalam alveoli
Ketidak
efektifan
bersihan
jalan napas

Udara dalam alveoli


kurang/tidak
maksimal
Permeabilitas kapiler paru
Perubahan alveolar
Eksudat plasma ke dlm ruang interstisial
dan kapiler
Pertukaran O2 dan
Co2 terganggu

Situasi
lingkungan yg
mengganggu

Ansieta
s
Pelepasan
prostaglandin E2

Gangguan
rasa
nyaman

Peningkatan
produksi panas
tubuh

Peningkatan
laju
metabolisme
Distensi lambung

Hipertermi

Mual
Otot pernafasan
bekerja maksimal
Gangguan
pertukaran gas
Ketidak
seimbangan suplai
dan kebutuhan O2

Keletihan otot pernafasan


Ketidak efektifan
pola napas

Intoleransi
aktivitas

5. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang
memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan
etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia
berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang

lebih relevan (Bradley et.al., 2011).


a. Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris, sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus, misal: pada

aspirasi benda asing, atau proses keganasan.


Pneumonia interstitialis
Bronkopneumonia, ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan
paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan

orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus


b. Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired
pneumonia = CAP)
Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten

Gambar 2. Leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi didalam


alveoli

Gambar 3. SDM dan Lekosit PMN mengisi alveoli

Gambar 4. Foto rontgen thorak bronkopneumonia

6. Gejala Klinis
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh
infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik
secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena
demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan
dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung
dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan
mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa
batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).
Gejala atau manifestasi bronkopneumonia dapat di jabarkan
sebagai berikut (Price, 2002) :
a. Kesulitan dan sakit pada saat pernafasan
1) Nyeri pleuritik
2) Nafas dangkal dan mendengkur
3) Takipnea
b. Bunyi nafas di atas area yang menglami konsolidasi
1) Mengecil, kemudian menjadi hilang
2) Krekels, ronki, egofoni
c. Gerakan dada tidak simetris
d. Menggigil dan demam 38,8 C sampai 41,1C, delirium
e. Diafoesis
f. Anoreksia
g. Malaise
h. Batuk kental, produktif (sputum kuning kehijauan kemudian berubah
menjadi kemerahan atau berkarat)
i. Gelisah
j. Sianosis
1) Area sirkumoral
2) Dasar kuku kebiruan
k. Masalah-masalah psikososial : disorientasi, ansietas, takut mati

7. Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya
bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):

a. Pada inspeksi
terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik,
interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung. Tanda
objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah
retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan
cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang
berlawanan.
Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi
melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagianbagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan
ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal.
Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat
apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih
mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal
lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan
pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda
yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada
infant, kontraksi otot ini terjadi akibat head bobbing, yang dapat
diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga
tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres
pernapasan yang lain pada head bobbing, adanya kerusakan sistem
saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif
akan adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi
memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada).
Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan
menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu
dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan
negatif faring selama inspirasi.
b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang
simetris
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak
menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka,

namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis)


maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang
nyaring
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi
pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000
Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya
frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari
amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang
melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
8. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan
peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus
yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering
terlihat pada lobus bawah (Bennete, 2013).
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni
viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak
melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri
leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang
predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri
serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia
dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau
darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Bennete, 2013).
Pemeriksaan penunjang lainnya menurut Doenges (2000) antara
lain sebagai berikut :
a. Sinar x : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan
abses luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau

terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus).


Pneumonia mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
b. GDA : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang
terlibat dan penyakit paru yang ada.
c. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi
jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan
paru untuk mengatasi organisme penyebab.
d. JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi
pada infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya
pneumonia bakterial.
e. Pemeriksaan serologi : titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
f. LED : meningkat
g. Pemeriksaan fungsi paru
: volume ungkin menurun (kongesti dan
kolaps alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain
menurun, hipoksemia.
h. Elektrolit
: natrium dan klorida mungkin rendah
i. Bilirubin
: mungkin meningkat
j. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka
:menyatakan
intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik(CMV).

k. Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut
(Bradley et.al., 2011):
a. Sesak napas disertai dengan pernafasan
cuping hidung dan tarikan dinding dada
b. Panas badan
c. Ronkhi basah halus-sedang nyaring
(crackles)
d. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat
difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak
melebihi 20.000/mm3dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.00040.000/mm3neutrofil yang predominan)
l. Tindakan Penanganan

Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada


anak terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus
(Bradley et.al., 2011).

a. Penatalaksaan Umum
Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas
hilang atau PaO2 pada analisis gas darah 60 torr.
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
b. Penatalaksanaan Khusus
Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya
tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan

mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.


Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan

suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung


Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab
dan manifestasi klinis. Pneumonia ringan amoksisilin 10-25
mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin
tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :

Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
Berat ringan penyakit
Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak
harus dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak
ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama)
menurut kelompok usia.
1.

Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :


a.

ampicillin + aminoglikosid

b.

amoksisillin - asam klavulanat

c.

amoksisillin + aminoglikosid

d. sefalosporin generasi ke-3


2.

Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

a.

beta laktam amoksisillin

b.

amoksisillin - asam klavulanat

c.

golongan sefalosporin

d. kotrimoksazol
e.
3.

makrolid (eritromisin)

Anak usia sekolah (> 5 thn)


a.

amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

b.

tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)


Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial

and error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat,


minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit
bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam
24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan
kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada
tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan
seolah-olah antibiotik tidak efektif).
m. Komplikasi
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran
bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan
perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis,
artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari
penyebaran infeksi hematologi (Bradley et.al., 2011).

B. KONSEP DASAR HOSPITALISASI PADA ANAK


1. Pengertian hospitalisasi
Hospitalisasi adalah suatu proses yang karena suatu alasan
yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di
rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya
kembali ke rumah. Bagi anak usia prasekolah, sakit adalah sesuatu
yang menakutkan. Selain itu, perawatan di rumah sakit dapat
menimbulkan cemas karena anak merasa kehilangan lingkungan yang
dirasakannya aman, penuh kasih sayang dan menyenangkan. Anak
juga harus meninggalkan lingkungan rumah yang dikenalnya,
permainan, dan teman sepermainannya (Supartini, 2004).
Hospitalisasi pada anak adalah masuknya seorang anak untuk
dirawat di rumah sakit atau masa selama perawatan di rumah sakit.
Pengertian lain menyebutkan bahwa hospitalisasi adalah suatu kondisi
sakit dan harus dirawat di rumah sakit yang terjadi pada anak atau
keluarga sehingga menimbulkan keadaan krisis bagi anak maupun
keluarganya (Wong, 2009).
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi
pada anak merupakan masuknya seorang anak untuk dirawat di rumah
sakit, menjalani terapi hingga pemulangan kembali ke rumah. Selama
masa ini anak mengalami kecemasan karena tidak dapat beraktivitas
seperti biasanya, disamping itu juga karena mereka menganggap sakit
adalah sesuatu yang menakutkan sehingga menimbulkan perilaku yang
agresif dan kurang kooperatif.
2. Reaksi dan stressor terhadap hospitalisasi
Kondisi sakit dan perawatan di rumah sakit merupakan krisis
utama yang harus dihadapi anak, sedangkan reaksi perilaku yang
dinampakkan berhubungan dengan tingkat perkembangan anak. Hal
ini terjadi karena anak harus menghadapi lingkungan yang asing,
pemberi asuhan yang tidak dikenal dan adanya perubahan kondisi
kesehatan, kebiasaan sehari-hari, serta terbatasnya kemampuan
mekanisme koping untuk memecahkan masalah.
Sedangkan reaksi anak dalam mengatasi krisis tersebut
dipengaruhi oleh tingkat perkembangan usia, pengalaman sebelumnya
terhadap proses sakit dan dirawat, sistem dukungan (support system)

yang tersedia, serta keterampilan koping dalam mengatasi stress


(Nursalam, 2005).
Stressor utama yang mempengaruhi reaksi anak berupa : cemas
karena perpisahan baik dengan orang tua dan teman sebaya,
kehilangan kontrol serta cedera dan nyeri tubuh (Wong, 2009). Pada
anak usia prasekolah yang dirawat di rumah sakit biasanya terlihat
respon perilaku protes, putus asa dan regresi.
3. Dampak hospitalisasi
Menurut Wong (2009), reaksi anak terhadap stressor
hospitalisasi antara lain :
a. Reaksi cemas terhadap perpisahan
Anak prasekolah telah dapat menerima perpisahan dengan
orang tua dan anak juga membentuk rasa percaya pada orang lain.
Walaupun demikian anak tetap membutuhkan perlindungan dari
keluarganya. Akibat perpisahan akan menimbulkan reaksi seperti
menolak makan, menangis pelan-pelan, sering bertanya kapan
orang tuanya akan berkunjung, tidak kooperatif terhadap aktifitas
sehari-hari, dan membanting mainan
b. Reaksi terhadap kehilangan kontrol (pembatasan aktifitas)
Anak prasekolah dengan pembatasan aktifitas fisik pada
ekstrimitas, pengurangan rutinitas kegiatan anak akan
menimbulkan ketergantungan pada orang tuanya. Reaksi anak
prasekolah adalah merasa frustasi, marah, dan depresi karena
pembatasan aktifitas fisik.
c. Reaksi anak terhadap perlukaan tubuh dan nyeri
Anak prasekolah memberikan respon lebih baik terhadap
intervensi yang memerlukan persiapan seperti penjelasan dan
pengalihan perhatian dari pada anak-anak yang lebih muda. Reaksi
terhadap perlukaan tubuh dan nyeri adalah agresi fisik dan verbal
yang lebih spesifik dan langsung pada tujuan yakni mendorong
orang yang melukai mereka. Mereka mencoba menyendiri di
tempat yang aman, bahkan berpikir untuk mencoba melarikan diri,
menggunakan ekspresi verbal untuk memaki orang yang melukai,
bersikap cengeng ingin selalu digendong dan menolak kesendirian.
4. Usaha perawat untuk mengurangi reaksi hospitalisasi

Usaha perawat untuk mengurangi reaksi hospitalisasi menurut


Gollo adalah partisipasi orang tua atau dukungan keluarga, pengaturan
ruang perawatan seperti situasi di rumah, pengaturan peran perawat,
mengijinkan anak untuk membawa barang kesayangannya,
menjelaskan pada anak tindakan yang akan dilakukan kepadanya serta
memberi kesempatan anak untuk bersosialisasi dan bermain (Wong,
2009).
Intervensi keperawatan ditujukan pada masalah-masalah
keperawatan pasien anak yang dapat dikategorikan menjadi
penanganan masalah fisik, psikologis, sosial dan ketergantungan
(spiritual). Mark (dalam Nursalam, 2005) menyebutkan prinsip
pendekatan secara umum pada pasien anak dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Memahami konsep dan karakteristik tumbuh kembang sesuai umur anak.
b. Memahami sejauh mana hubungan anak dengan pengasuh.
c. Menerapkan prinsip rooming-in dengan melibatkan partisipasi keluarga dalam
memberikan asuhan.
d. Mengajarkan kepada anak mengenai rumah sakit : orientasi ruangan dan
peraturan rumah sakit, terutama saat pertama kali anak masuk ruangan guna
mencegah stress hospitalisasi.
e. Menciptakan lingkungan yang kondusif dengan cara menciptakan suasana
keakraban dan lingkungan yang penuh kehangatan, seperti adanya variasi
warna yang mencolok dalam mendesain ruangan, variasi baju perawat, adanya
tempat bermain tersendiri, dan ruangan untuk tindakan yang disendirikan guna
menghindari trauma psikis.
f. Menghindari dan meminimalkan trauma fisik dalam setiap melakukan
tindakan keperawatan.
g. Menerapkan prinsip kehati-hatian universal (universal precautions) dalam
setiap tindakan keperawatan.
h. Membantu segala keperluan fisik pasien: makan, minum, mandi, berpakaian
dan eliminasi, memfasilitasi serta membimbing anak untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Aktivitas / istirahat
Gejala

: kelemahan, kelelahan, insomnia

Tanda

: Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas


b. Sirkulasi

Gejala

: riwayat gagal jantung kronis

Tanda

: takikardi, penampilan keperanan atau pucat


c. Integritas Ego

Gejala

: banyak stressor, masalah finansial


d. Makanan / Cairan

Gejala

: kehilangan nafsu makan, mual / muntah, riwayat DM

Tanda

: distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering

dengan turgor buruk, penampilan malnutrusi


e. Neurosensori
Gejala

: sakit kepala dengan frontal

Tanda

: perubahan mental
f. Nyeri / Kenyamanan

Gejala

: sakit kepala nyeri dada meningkat dan batuk myalgia,

atralgia
g. Pernafasan
Gejala

: riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dispnea,

pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal


Tanda

: sputum ; merah muda, berkarat atau purulen

Perkusi ; pekak diatas area yang konsolidasi, gesekan friksi


pleural

Bunyi nafas : menurun atau tak ada di atas area yang terlibat atau
nafas Bronkial
Framitus : taktil dan vokal meningkat dengan konsolidasi
Warna : pucat atau sianosis bibir / kuku
h. Keamanan
Gejala
Tanda

: riwayat gangguan sistem imun, demam


: berkeringat, menggigil berulang, gemetar,

kemerahan, mungkin pada kasus rubeda / varisela


2. Diagnosa Yang Mungkin Muncul
1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
adanya eksudat dalam alveoli
2) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan keletihan otot
pernapasan
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan alveolar
dan kapiler paru
4) Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme
5) Mual berhubungan dengan distensi lambung
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen
7) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan situasi lingkungan
yang mengganggu, gejala terkait penyakit
8) Ansietas berhubungan dengan status kesehatan

3. Intervensi Keperawatan
NO
DX.
DX.1

TUJUAN DAN KH
Setelah diberikan
asuhan keperawatan

INTERVENSI

RASIONAL

a. Kaji frekuensi

a. Suara nafas

pernapasan,

ronchi

selama 324 jam

penggunaan otot

menandakan

diharapkan jalan

bantu pernapasan,

adanya sputum di

napas kembali efektif,

asukulatasi suara

dalam paru,

dengan kriteria hasil:


a. pasien dapat

nafas tambahan.

mengetahui

mendemontrasikan
batuk efektif
b. tidak terdengan
adanya suara napas
tambahan
c. Pernafasan klien
dalam batas normal
untuk anak di
bawah 3 tahun (2440 X/menit).

adanya sesak
b. Kaji warna,

pada pasien.

kekentalan dan
jumlah sputum.
b. Karakteristik
c. Berikan posisi
semifowler
d. Ajarkan cara
batuk efektif.

sputum dapat
menunjukan berat
ringannya
obstruksi
c. Meningkatkan
ekspansi dada
d. Batuk yang
terkontrol dan
efektif dapat
memudahkan

e. Bantu klien

pengeluaran

latihan napas

sekret yang

dalam dan beri

melekat di jalan

minuman hangat.

napas.
e. Ventilasi
maksimal
membuka lumen
jalan napas dan
meningkatkan
gerakan sekret ke
dalam jalan napas

besar untuk
f. Kolaborasi dalam

dikeluarkan dan

pemberian

dengan minuman

humidifikasi

hangat dapat

tambahan seperti

mengencerkan

nebulizer.

dahak.

g. Kolaborasi dalam

f. Dapat

pemberian

mengencerkan

fisioterapi dada

sputum.

g. Merontokkan
DX.2

Setelah diberikan asuhan

a. Kaji frekuensi,

sputum.
a. Menentuk

keperawatan selama 1x24

kedalaman,

an

jam diharapkan pola

ekspansi dada,

intervensi

nafas kembali efektif

penggunaan

selanjutny

dengan kriteria hasil :

otot bantu

a.

a. Klien tidak
mengeluh
sesak
b. Tidak ada
otot bantu

pernafasan.
b. Observasi dan
catat tandatanda vital.
b. Mengetah

pernafasan
c. Tanda-

ui setiap
perubahan

tanda vital
normal

c. Letakkan

untuk anak

posisi kepala

usia di

lebih tinggi

bawah 3

15-30 dan

tahun (nadi

dalam posisi

yang
terjadi
pada klien
secara dini
dan untuk

: 90-

anatomis

penetapan

150x/mnt,

(posisi semi

tindakan

suhu: 36,5-

fowler).

yang tepat

37,2C,
pernafasan

d. Dorong pasien

c. Meningka

24-

untuk

tkan

40x/mnt,

melakukan

asupan

tekanan

nafas dalam

oksigen

darah 80-

dan

100/ 58-

e. Kolaborasi

pengemba

71mmHg)

dalam

ngan paru.

pemberian
oksigen sesuai
indikasi .
d. Mencukup
i
kebutuhan
sumplai
oksigen

e. Memenuh
i
kebutuhan
oksigen
pasien.
DX.3

Setelah diberikan asuhan

a. Kaji dispnea,

a. Efek luas pd paru

keperawatan selama 3x24

takipnea, tak

dr bagian kecil

jam, diharapkan

normal/menurunn

bronkopenumonia

pertukaran gas kembali

ya bunyi napas,

sampai inflamasi

efektif dengan kriteria

peningkatan

difus luas,

hasil:

upaya

nekrosis, effusi

a. Menunjukkan

pernapasan,

pleural & fibrosis

perbaikan

terbatasnya

luas. Efek

ventilasi dan

ekspansi dinding

pernapasan dpt dr

oksigenasi

dada &

ringan sampai

kelemahan.

dispnea berat

jaringan adekuat.
b. Bebas dari gejala

sampai distres

distres
pernafasan.
c. GDA (Gas Darah
Arteri) dalam
rentang normal
(pH: 7,35-7,45 ;
PCO: 35-45
mmHg ; PO: 75100 mmHg ;
HCO: 24-48

pernapasan.
b. Kaji perubahan
pada tingkat
kesadaran. Catat
sianosis
&/perubahan
pada warna kulit,
termasuk

mEq/L).

sekret/pengaruh
jalan napas dpt
mengganggu
oksigenasi organ
vital & jaringan.

membran
mukosa & kuku.

mEq/L ; BE: +2
sampai -2

b. Akumulasi

c. Menurunkan
konsumsi oksigen

c. Tingkatkan tirah

/ kebutuhan

baring/batasi

selama periode

aktivitas & bantu

penurunan

aktivitas

pernapasan dpt

perawatan diri

menurunkan

sesuai keperluan.

beratnya gejala.
d. Penurunan

d. Kolaborasi
pengawasan seri
GDA/nadi
oksimetri.

kandungan
oksigen (PaO2)
&/saturasi/
peningkatan
PaCO2
menunjukkan
kebutuhan utk

intervensi/peruba
han program
terapi.
e. Kolaborasi dalam

e. Alat dlm

pemberian

memperbaiki

oksigen tambahan

hipoksemia yg

yg sesuai.

dpt terjadi
sekunder thd
penurunan
ventilasi/menurun
nya permukaan

DX.4

setelah diberikan
tindakan keperawata

a. kaji penyebab
hipertermi

alveolar paru.
a. hipertermi
merupakan salah

selama 3x24 jam

satu gejala atau

diharapkan badan anak

kompensasi tubuh

tidak panas lagi dengan

terhadap adanya

KH :
a. suhu tubuh dalam

infeksi baik
secara lokal

batas normal 36,5-

maupun secara

37,5 0C
b. keluhan demam hilang
c. tidak menggigil

sistemik. Hal ini


perlu diketahui
sebagai dasar
dalam rencana
intervensi.
b. proses
b. observasi suhu
badan

peningkatan suhu
menunjukkan
proses penyakit
infeksius akut.

c. beri kompres

c. Daerah axilla /

hangat pada

dahi merupakan

axilla/ dahi

jaringan tipis dan


terdapat
pembuluh darah
sehingga lebih
proses
vasodilatasi
pembuluh darah
lebih cepat
sehingga
pergerakan
molekul cepat.
d. Untuk mengatasi
cairan yang hilang

d. beri minum sering


tetapi sedikit

selama proses
evaporasi.
e. Pakaian yang tipis
dapat membantu

e. anjurkan ibu
untuk

mempercepat
proses evavorasi.

memakaikan
pakaian yang tipis
dan dapat
menyerap
keringat
f. kolaborasi dalam

f. Obat antipiretik
bekerja sebagai

pemberian obat

pengatur kembali

antipiretik

pusat pengaturan
panas.

DX.5

Setelah diberikan askep

a. Kaji

a. membantu

selama 3x 24 jam

penyebab

menentuk

diharapkan

mual

an

Mual pasien dapat

intervensi

teratasi dengan kriteria :

selanjutny

Intake nutrisi

adekuat
Mual muntah tidak
ada atau berkurang

a
b. Observasi
karakterist
ik
muntahan
bila
pasien
muntah
c. Bersihkan
muntahan
secepatny
a, berikan
perawatan
oral

b. Membant
u
membeda
kan
penyebab
disstres
gaster.
c. Memberik
an rasa
nyaman
kepada
pasien
sehingga
tidak
memperbe
rat mual

d. Pertahank
an
lingkunga
n yang
nyaman
dan
berventila
si baik

dan tidak
menurunk
an nafsu
makan.
d. Menguran
gi bau dari
muntahan
sehingga
dapat

memberik
an
e. Berikanm

kenyaman

akanan

an dan

cair sesuai

meningkat

kebutuhan

kan nafsu

nutrisi

makan

dalam

e. Dapat

jumlah

memacu

kecil

sindrom

tetapi

dumping

sering
f. Kolaboras
i dengan

f. Dapat

tim

memberik

kesehatan

an

lain dalam

informasi

tentang

Pemberian

keadekuat

sedative,

an

antasida,

masukan

cemitidin, vit.

diet /

B12 dan

penentuan

antibiotika kalau

kebutuhan

perlu

nutrisi.
Sedative untuk
mengurangi nyeri
dan membantu
pasien
beristirahat.
Antasida untuk

mempertahankan
pH gaster pada
4,5 atau lebih
serta menghambat
absorpsi gaster
terhadap
antagonis
histamin.
Simetidin adalah
penghambat
histamin H2
untuk
menurunkan
produksi asam
gaster,
meningkatkan pH
dan menurunkan
iritasi pada
mukosa gaster
untuk
penyembuhan dan
mencegah
pembentukan lesi.
Vit. B12 untuk
mencegah anemia
pernisiosa.
Antibiotika
digunakan untuk
infeksi oleh
Campylobacter
pylori atau H.
pylori

Menjamin
pemasukan nutrisi
yang adekuat

Mengatur diet

Pemberian nutrisi

yang sesuai

parenteral total

dengan keadaan

dan terapi

dan kebutuhan

intravenous

pasien.

sesuai indikasi

Pengaturan diet
( konsul gizi ).

DX.6

Setelah diberikan

a. Evaluasi

a. Mengetahui

asuhankeperawatan

respon

tingkat

selama 3x24 jam

klien

intoleran

diharapkan klien

terhadap

aktifitas

melaksanakan aktivitas

aktivitas

pasien

fisik sesuai dengan


kemampuannya dengan
kriteria hasil:
a. Melaporkan /

b. Batasi
b. Berikan
lingkunga
n terang

menunjukkan

dan batasi

peningkatan

pengunjun

toleransi terhadap

g.

aktivitas yang

memberikan
waktu istirahat
untuk pasien.

penting untuk

dengan tak adanya


berlebihan
b. TTV dalam rentang

untuk

c. Istirahat

dapat diukur
dispnea, kelemahan

pengunjung

c. Jelaskan

meningkatkan

pentingny

proses

a istirahat

penyembuhan

normal untuk anak

dalam

usia di bawah 3

rencana

tahun (nadi : 90-

pengobata

150x/mnt, suhu:

n dan

36,5-37,2C,

perlunya

pernafasan 24-

keseimban

40x/mnt, tekanan

gan

darah 80-100/ 58-

aktivitas

71mmHg)

dan
istirahat.

pasien.

d. Posisi yang
nyaman dapat
miningkatkan
istirahat tidur
pasien.

d. Bantu
pasien
memilih
posisi
yang

e. Meminimalka
n aktivitas
pasien.

nyaman
untuk
istirahat /
tidur

e. Bantu
aktivitas
perawatan
diri yang
DX.7

Setelah diberikan

diperlukan
a. Kaji penyebab
a. Membantu dalam

asuhan keperawatan

gangguan rasa

menentukan

selama 3x24 jam, di

nyaman pasien

intervensi

harapkan gangguan

selanjutnya

rasa nyaman dapat


teratasi dengan KH :

b. Lingkungan yang
b. Beri lingkungan

a. Klien tenang,

yang nyaman

tidak menangis

nyaman dapat
mengingkatkan

dan gelisah
b. Klien dapat

rasa nyaman
pasien.

beristirahat/ tidur
c. Klien dapat
berpartisipasi
dalam tindakan
keperawatan

c. Beri rasa

c. Posisi yang

nyaman dengan

nyaman dapat

mengatur posisi

meningkatkan

yang nyaman

rasa nyaman

untuk pasien

pasien.
d. Memberikan

d. Batasi

DX.8

Setelah diberikan

waktu untuk

pengunjung saat

pasien beristirahat

pasien

tanpa gangguan.

beristirahat
a. Identifikasi

a. Dengan

asuhan keperawatan

penyebeb

melibatkan

selama 3x24 jam,

ansietas, libatkan

pasien dan

diharapkan ansietas

klien dan

keluarga dalam

klien berkurang atau

keluarga dalam

proses

teratasi dengan

proses

pengobatan akan

Kriteria hasil:

pengobatan yang

dapat

dilakukan.

menurunkan

a. Pasien dan
keluarga akan

tingkat ansietas

melaporkan adanya

pasien dan

tingkat penurunan
kecemasan yang
dialaminya
b. Pasien dan
keluarga
menunjukkan
keadaan yang

b. Kembangkan
hubungan saling
percaya melalui
kontrak yang
terus menerus.
Tunjukan sikap
yang menerima

keluarga.
b. Meningkatkan
perasaan pasien
dan keluarga
sebagai manusia,
membantu

relaksasi
c. Pasien dan

keadaan pasien

perasaan curiga

keluarga dapat

dan rendah diri

mengidentifikasika

pasien dan

n kecemasan yang
dialaminya dan

menurunkan

keluarga terhadap
c. Informasikan

mampu mengontrol
diri dan situasi

pemberi

pada pasien dan

pelayanan

keluarga tentang

keperawatan.

kondisi dan
mengenai apa

c. Meningkatkan

yang akan

perasaan pasien

dilakukan oleh

dan keluarga

petugas dan

sebagai manusia,

manfaatnya bagi

membantu

kesembuhan

menurunkan

pasien.

perasaan curiga
dan rendah diri
pasien terhadap
pemberi
pelayanan
keperawatan.

4. Implementasi
Dilaksanakan sesuai dengan intervensi

5. Evaluasi
DX. 1 :
Pasien dapat mendemontrasikan batuk efektif
Tidak terdengan adanya suara napas tambahan
Pernafasan klien dalam batas normal untuk anak di bawah 3 tahun (24-40
X/menit).
DX. 2 :
Klien tidak mengeluh sesak
Tidak ada otot bantu pernafasan
Tanda-tanda vital normal untuk anak usia di bawah 3 tahun (nadi :

90-150x/mnt, suhu: 36,5-37,2C, pernafasan 24-40x/mnt, tekanan

darah 80-100/ 58-71mmHg)


DX. 3 :
Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat.
Bebas dari gejala distres pernafasan.
GDA (Gas Darah Arteri) dalam rentang normal (pH: 7,35-7,45 ; PCO: 3545 mmHg ; PO: 75-100 mmHg ; HCO: 24-48 mEq/L ; BE: +2 sampai -2

mEq/L).
DX. 4 :
Suhu tubuh dalam batas normal 36,5-37,5 0C
Keluhan demam hilang
Tidak menggigil
DX. 5 :
Intake nutrisi adekuat
Mual muntah tidak ada atau berkurang
DX. 6 :
Melaporkan / menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang

dapat diukur dengan tak adanya dispnea, kelemahan berlebihan


TTV dalam rentang normal untuk anak usia di bawah 3 tahun (nadi : 90-

150x/mnt, suhu: 36,5-37,2C, pernafasan 24-40x/mnt, tekanan darah 80100/ 58-71mmHg)

DX. 7 :
Klien tenang, tidak menangis dan gelisah
Klien dapat beristirahat/ tidur
Klien dapat berpartisipasi dalam tindakan keperawatan
DX. 8 :
Pasien dan keluarga akan melaporkan adanya tingkat penurunan

kecemasan yang dialaminya


Pasien dan keluarga menunjukkan keadaan yang relaksasi
Pasien dan keluarga dapat mengidentifikasikan kecemasan yang
dialaminya dan mampu mengontrol diri dan situasi

DAFTAR PUSTAKA

Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia


.http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview. (29 Januari 2016)
Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C.,
Kaplan S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D.,
Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011. The Management of CommunityAcquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age :
Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and
the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah Vol 2,
Jakarta: EGC
Crowin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : ECG
Henrdman, T Heather. 2012. Nanda Internasional Diagnosis Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Eusculapius
Price, Sylvia. 2002. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol:2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Reevers, Charlene J, et all (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta :
Salemba Medica
Smeltzer. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume I, Jakarta : EGC
Wong, dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

You might also like