You are on page 1of 39

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan postpartum adalah perdarahan 500 cc atau lebih setelah
kala III selesai (setelah plasenta lahir). Pengukuran darah yang keluar sukar
untuk dilakukan secara tepat. Jenis perdarahan dibagi dalam perdarahan
postpartum dini bila perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama dan perdarahan
postpartum lambat bila perdarahan terjadi setelah 24 jam pertama.
Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap
tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai
meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam
setelah melahirkan. Di Inggris (2000), separuh kematian ibu hamil akibat
perdarahan disebabkan oleh perdarahan post partum.
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit,
sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post
partum

terlambat

sampai

ke

rumah

sakit,

saat

datang

keadaan

umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi.


Menurut SDKI, kematian ibu di Indonesia (2015) adalah 102 ibu tiap 100.000
kelahiran hidup.
Bidan sebagai tenaga profesional yang diandalkan oleh masyarakat
diharapkan dapat mengenali sedini mungkin tanda-tanda perdarahan pasca
salin ini dan melakukan konsultasi dan rujukan segera dengan cepat dan tepat
ke fasilitas yang lebih lengkap. Dari data diatas maka penyusun tertarik
mengulas tentang peanganan perdarahan postpartum.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian perdarahan postpartum?
2. Bagaimana pengertian atonia uteri dan penanganannya?
3. Bagaimana pengertian retensio plasenta dan penanganannya?
4.
5.
6.
7.

Bagaimana pengertian inversio uteri dan penanganannya?


Bagaimana pengertian robekan jalan lahir dan penanganannya?
Bagaimana pengertian sisa plasenta dan penanganannya?
Bagaimana pengertian gangguan pembekuan darah dan penanganannya?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian perdarahan postpartum.
2. Mengetahui pengertian atonia uteri dan penanganannya.
3. Mengetahui pengertian retensio plasenta dan penanganannya.
4. Mengetahui pengertian inversio uteri dan penanganannya.
5. Mengetahui pengertian robekan jalan lahir dan penanganannya.
6. Mengetahui pengertian sisa plasenta dan penanganannya.
7. Mengetahui pengertian gangguan pembekuan darah dan penanganannya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perdarahan Postpartum
2.1.1 Definisi
Perdarahan pasca persalinan/pasca partum atau dikenal juga
sebagai hemoragi postpartum (HPP), yang merupakan perdarahan per
vaginam yang melebihi 500 ml setelah bersalin dan biasanya
menyebabkan kehilangan banyak darah adalah masalah kegawatdaruratan
yang serius di bidang kebidanan. Bidan sebagai tenaga profesional yang
diandalkan oleh masyarakat diharapkan dapat mengenali sedini mungkin
tanda-tanda perdarahan pasca salin ini dan melakukan konsultasi dan
rujukan segera dengan cepat dan tepat ke fasilitas yang lebih lengkap.
Sebelum pembahasan lebih lanjut tentang pardarahan pasca persalinan,
maka perlu dipahami beberapa pengertian/definisi dari perdarahan pasca
persalinan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam menentukan definisi ini, antara lain :
Perdarahan pascapartum, yang dahulu merupakan kehilangan darah 500
ml atau lebih setelah kelahiran per vaginam. Definisi perdarahan
pascapartum yang lebih bermakna adalah kehilangan berat badan 1%
atau lebih karena 1 ml darah beratnya 1 gram (Bobak, 1996)
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan lebih dari 500 ml yang
terjadi setelah lahirnya bayi (PB POGI, 1991)
Perdarahan post partum adalah perdarahan 500 cc atau lebih setelah
kala 3 selesai (setelah plasenta lahir). Pengukuran darah yang keluar
sukar untuk dilakukan secara tepat (RP. Prabowo, 2007).
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama
24 jam setelah anak lahir. Perdarahan postpartum adalah perdarahan
dalam kala 4 lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan
plasenta lahir (Prof. Dr. Rustam Mochtar MPH, 1998).
Haemorhagic postpartum (HPP) adalah hilangnya darah lebih dari 500
ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi (Wiliam, 1998).

HPP biasanya kehilangan darah lebih dari 500 ml selama atau setelah
kelahiran (Marylin Doengoes, 2001).
Sementara itu , Saifudin, dkk (2002), menyebutkan bahwa perdarahan
pervagina yang melebihi 500 ml setelah bersalin didefinisikan sebagai
perdarahan pasca persalinan.
Terdapat beberapa masalah mengenai definisi ini, antara lain :
Perkiraan kehilangan darah biasanya tidak sebanyak yang sebenarnya,
kadang-kadang hanya setengahnya. Darah bercampur dengan cairan
ketuban, urin, tersebar pada pembalut, handuk, kain, ember dan lantai.
Volume darah yang hilang bervariasi sesuai dengan kadar Hb ibu.
Definisi perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang melebihi
500 ml. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk
menentukan jumlah perdarahan yang terjadi karena tercampur dengan
air ketuban, serapan kain dan alat tempat tidur. Oleh karena itu,
ditentukan batasan operasional untuk periode pasca persalinan yaitu
setelah bayi lahir, bukan berdasarkan batasan kala persalinan yang
terdiri dari kala 1 sampai 4. Maka, menurut Saifudin dkk (2006) batasan
operasional perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan setelah bayi
lahir, jumlah perdarahan yang lebih dari normal, yang menyebabkan
perubahan tanda-tanda vital yaitu pasien mengeluh lemah, limbung,
keringat dingin, menggigil, hiperpnea, TD sistolik kurang dari 90
mmHg, nadi lebih dari 100 kali per menit, kadar Hb kurang dari 8 gram
%. Oleh karena itu walaupun terdapat masalah-masalah dalam
mendefinisikan perdarahan pasca partum, semua ibu bersalin/pasca
persalinan harus dipantau dengan ketat untuk mewaspadai adanya
perdarahan pasca persalinan.

2.1.2

Klasifikasi Perdarahan Postpartum


Perdarahan pasca persalinan atau perdarahan post-partum diklasifikasikan
menjadi 2, yaitu :

a. Perdarahan pasca persalinan dini (early postpartum haemorrhage),


yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama sesudah bayi lahir
(disebut juga perdarahan primer).
b. Perdarahan pasca persalinan lanjut (late postpartum haemorhage), yaitu
perdarahan yang terjadi pada masa nifas (puerperium), tidak termasuk
2.1.3

24 jam pertama setelah bayi lahir (disebut juga perdarahan sekunder)


Gejala Klinis
Gejala klinis umum yang biasa terjadi pada perdarahan pasca
persalinan adalah : kehilangan darah dalam jumlah yang banyak (lebih dari
500 ml), nadi lemah, pucat, ekstremitas dingin, lokia berwarna merah,
haus, pusing, gelisah, mual, tekanan darah rendah dan dapat terjadi syok

hipovolemik.
2.1.4 Diagnosis
Prinsip utama yang perlu diperlukan adalah :
a. Bila seorang ibu bersalin mengalami perdarahan setelah bayi lahir,
pertama-tama yang harus dipikirkan adalah perdarahan tersebut
b.

berasal dari retensio plasenta plasenta lahir tidak lengkap.


Bila plasenta telah lengkap dan kontraksi uterus baik, dapat dipastikan
bahwa perdarahan berasal dari perlukaan pada jalan lahir.

Untuk membuat diagnosis perdarahan pasca persalinan perlu diperhatikan :


a.

Adanya perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan anemia, dimana

b.

pasien dapat mengalami syok.


Perdarahan masif/deras atau merembes saja. Biasanya bila terdapat
perdarahan yang masif/deras akan cepat ditangani. Yang berbahaya
apabila perdarahannya merembes atau perdarahan lambat, sedikitsedikit

tetapi

terus

menerus

atau

berlangsung

lama

dapat

menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan


jumlah perdarahan, maka darah yang keluar setelah plasenta lahir
c.

harus ditampung dan dicatat.


Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina namun
menumpuk di vagina bahkan di dalam uterus. Adanya kenaikan dari
tingginya fundus uteri setelah plasenta lahir merupakan salah satu
tanda bahwa perdarahan tidak keluar dari vagina.

d.

Untuk menentukan penyebab dari perdarahan pasca persalinan


diperlukan pemeriksaan yang lengkap, yang meliputi :
Anamnesa : mengeluh nyeri, perdarahan, pusing, cemas, gelisah,
lemas terus menerus setelah bayi lahir.
Pemeriksaan umum: tampak pucat, mungkin ada tanda-tanda syok:
tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, serta
ekstremitas yang dingin, tampak darah keluar pervaginam terus
menerus, kesadaran menurun, tinggi fundus uteri meningkat, tonus
otot lemah, oligoria.
Pemeriksaan abdomen :
- Uterus teraba lembek, uterus membesar merupakan adanya
atonia uteri.
- Kontraksi uterus baik, kemungkinan terjadi perlukaan jalan
lahir.
Pemeriksaan dalam :
Dapat dilakukan setelah keadaan umum ibu diperbaiki dan dinilai
kontraksi uterus, luka jalan lahir, dan adanya sisa plasenta
(inspekulo).
Secara ringkas, diagnosis perdarahan pasca persalinan dapat
ditentukan sebagai berikut :
a. Berdasarkan gejala klinis :
Perdarahan yang langsung terjadi setelah bayi lahir, tetapi
plasenta belum lahir. Biasanya disebabkan oleh robekan

jalan lahir. Warna darah merah segar.


Perdarahan setelah plasenta lahir biasanya disebabkan oleh

atonia uteri.
b. Palpasi uterus : fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek,
kontraksi uterus tidak baik merupakan tanda-tanda atonia uteri.
c. Memeriksa plasenta dan ketuban, apakah lengkap atau tidak
kotiledon atau selaput ketubannya.
d. Eksplorasi kavum uteri apakah ada bekuan darah, sisa plasenta
dan selaput ketuban, robekan rahim atau plasenta suksenturiata
(anak plasenta).
e. Inspekulo : robekan pada serviks, vagina dan varises yang
pecah.

f. Laboratorium : Hb, Ht, COT, kadar fibrinogen, tes haemorhagik,


2.1.5

dan lain-lain.
Etiologi Perdarahan Postpartum
Penyebab umum perdarahan pasca partum, antara lain :
a. Atonia uteri
b. Retensio plasenta
c. Sisa plasenta dan selaput ketuban, misalnya :
Perlekatan yang abnormal (plasenta akereta dan perkereta)
Tidak ada kelainan perlekatan (plasenta seccenturia)
d. Trauma/perlukaan jalan lahir, antara lain :
Episiotomi yang lebar
Laserasi perineum, vagina, serviks, forniks dan uterus
Ruptur uteri
e. Penyakit darah
Kelainan pembekuan darah, misalnya afibrinogenemia

f.
g.
h.
i.

atau

hipofibrinogenia. Tanda yang sering dijumpai antara lain :


Perdarahan yang banyak
Solusio plasenta
Kematian janin yang lama dalam kandungan
Preeklampsia dan eklampsia
Infeksi, hepatitis dan syok septik
Hematoma
Inversio uteri
Subinvolusio uteri
Iatrogenik tindakan yang salah untuk mempercepat kala 3, seperti
penarikan tali pusat, penekanan uterus ke arah bawah untuk

2.1.6

mengeluarkan plasenta dengan cepat, dan sebagainya.


Faktor predisposisi
Terdapat hal-hal yang dicurigai dapat menimbulkan perdarahan
pasca persalinan, yaitu :
a. Riwayat persalinan yang kurang baik, misalnya :
Riwayat perdarahan pada persalinan yang terdahulu
Grande multiparitas (lebih dari 4 anak)
Jarak kehamilan yang dekat (kurang dari 2 tahun)
Bekas operasi seksio caesaria
Pernah abortus sebelumnya
b. Hasil pemeriksaan waktu bersalin, misalnya :
Persalinan kala 2 yang terlalu cepat, misalnya setelah persalinan
dengan bantuan forceps dan ekstraksi vakum (VE)

Uterus teregang, misalnya pada hidramnion, kehamilan kembar, anak

2.1.7

besar
Uterus yang kelelahan, persalinan lama
Uterus yang lembek akibat narkosa/anestesia yang dalam
Inversio uteri primer dan sekunder
Insiden Perdarahan Postpartum
Frekuensi perdarahan postpartum 4-15% dari seluruh persalinan,
berdasarkan pada penyebabnya, yaitu :
a. Atonia uteri (50-60%)
b. Retensio plasenta (16-17%)
c. Sisa plasenta (23-24%)
d. Laserasi jalan lahir (4-5%)
e. Kelainan darah (0,5-0,8%)
Menurut kepustakaan, angka kejadian perdarahan postpartum 0,4-10%

2.1.8

(Prabowo, 2007)
Patofisiologi
Dalam persalinan, pembuluh darah yang ada di uterus melebar
untuk meningkatkan sirkulasi ke uterus. Atonia uteri dan sub-involusio
uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darahpembuluh darah yang melebar tersebut tidak menutup sempurna sehingga
perdarahan terjadi terus-menerus. Trauma jalan lahir seperti episiotomi
yang lebar, laserasi perineum dan ruptur uteri juga menyebabkan
perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu;
misalnya afibrinogenemia dan hipofibrinogemia karena tidak ada atau
kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga
merupakan penyebab dari perdarahan pasca persalinan. Perdarahan yang

2.1.9

sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan syok haemorhagik.


Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada ibu
dengan kasus perdarahan pasca persalinan, antara lain :
a. Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan
peningkatan jumlah sel darah putih (SDP).
Nilai normalnya adalah :
Hb saat tidak hamil = 12-16 gram/dl
Hb saat hamil = 10-14 gram / dl
Ht saat tidak hamil = 37-47%
Ht saat hamil = 32-42%

Total SDP saat tidak hamil = 4500-10.000 per mm3.


Total SDP saat hamil = 5000-15.000 per mm3.
b. Golongan darah : untuk menentukan Rh, ABO dan percocokan silang.
c. Urinalisis : untuk memastikan kerusakan kandung kemih.
d. Kultur uterus dan vagina : untuk mengesampingkan infeksi pasca
persalinan.
e. Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk
split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen = masa
tromboplastin

partial

diaktivasi,

masa

tromboplastin

partial

(APT/PTT), masa protrombin memanjang.


f. Ultrasonografi : untuk menentukan adanya jaringan plasenta yang
tertahan.
2.1.10 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan untuk pasien dengan perdarahan pasca
persalinan, yaitu :
a. Yang terbaik adalah tindakan pencegahan :
Sejak masa antenatal, atasi anemia dengan nutrisi / gizi yang
adekuat, zat besi, vitamin dan mineral.
Pada ibu dengan riwayat perdarahan pasca persalinan sebelumny,
persalinan harus berlangsung di rumah sakit.
Tidak boleh memijat dan mendorong uterus ke bawah sebelum
plasenta lepas.
b. Penanganan : segera setelah diketahui perdarahan pasca persalinan,
harus ditentukan adanya syok atau tidak :
Bila dijumpai adanya syok, maka segera berikan infus cairan,
transfusi darah, kontrol perdarahan, dan pemberian oksigen.
Bila tidak ada syok atau syok sudah teratasi, segera lakukan
pemeriksaan untuk menemukan etiologinya.
2.2. Atonia Uteri
2.2.1 Definisi
Atonia uteri merupakan perdarahan pasca persalinan yang dapat terjadi
karena terlepasnya sebagian plasenta dari uterus dan sebagian lagi
belum terlepas.
Atonia uteri merupakan sebab terpenting perdarahan pasca partum.

Atonia uteri terjadi bila miometrium tidak berkontraksi. Uterus menjadi


lunak dan pembuluh darah pada bekas perlekatan plasenta terbuka lebar.
2.2.2 Faktor Risiko
a. Polihidramnion, kehamilan kembar, makrosomia (janin besar)
b. Persalinan lama
c. Persalinan terlalu cepat
d. Persalinan yang sering (multipara/paritas tinggi)
e. Anestesi yang dalam
f. Persalinan dengan induksin atau akselerasi oksitosin
g. Dapat juga terjadi bila ada usaha mengeluarkan plasenta dengan
memijat dan
h. Mendorong uterus ke bawah sementara plasenta belum lepas dari
2.2.3

uterus.
Kriteria Diagnosis
Perdarahan yang banyak dalam waktu singkat dapat diketahui.
Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari, pasien
(ibu) telah kehilangan banyak darah sebelum ibu tampak pucat dan gejala
lainnya. Perdarahan karena atonia uteri, uterus tampak membesar dan
lembek. Atonia uteri terjadi bila miometrium tidak berkontraksi. Uterus
menjadi lunak dan pembuluh darah pada daerah bekas perlekatan plasenta
terbuka lebar.
Atonia merupakan penyebab tersering perdarahan postpartum;
sekurang-kurangnya 2/3 dari semua perdarahan postpartum disebabkan
oleh atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan postpartum disebabkan
atonia uteri, harus dimulai dengan mengenal ibu yang memiliki kondisi
yang berisiko terjadinya atonia uteri. Kondisi ini mencakup:
1. Hal-hal yang menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi normal

2.
3.
4.
5.
6.

seperti pada:
a. Polihidramnion
b. Kehamilan kembar
c. Makrosomi
Persalinan lama
Persalinan terlalu cepat
Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin
Infeksi intrapartum
Paritas tinggi
Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang
berisiko ini, maka bagian penting bagi penolong persalinan untuk

10

mengatasi kemungkinan terjadinya atoni uteri postpartum. Meskipun


demikian, 20% atoni uteri postpartum dapat terjadi pada ibu tanpa
faktor-faktor risiko ini. Adalah penting bagi semua penolong persalinan
untuk mempersiapkan diri dalam melakukan penatalaksanaan awal
terhadap masalah yang mungkin terjadi selama proses persalinan.
Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah
melakukan penanganan kala tiga secara aktif, yaitu:
1. Menyuntikkan oksitosin
a. Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal
b. Menyuntikkan oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian
luar paha kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu
untuk memastikan bahwa ujung jarum tidak mengenai pembuluh
darah.
2. Penegangan tali pusat terkendali
a. Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari
vulva atau menggulung tali pusat
b. Meletakkan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian bawah
uterus, sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan
klem atau kain kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva
c. Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan
sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke arah
dorso-kranial
3. Mengeluarkan plasenta
a. Jika pada penegangan tali pusat terkendali tali pusat terlihat
bertambah
b. Panjang dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk
meneran sedikit sementara tangan kanan menarik tali pusat ke arah
bawah kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan lahir hingga
plasenta tampak pada vulva
c. Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir,
pindahkan kembali klem hingga berjarak 5-10 cm dari vulva
d. Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama
15 menit
e. Suntikan ulang 10 IU oksitosin i.m
f. Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh
g. Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta
manual
11

4. Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta


dengan hati-hati. Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan
selaput secara perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput
ketuban.
5. Masase uterus
Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus
uteri dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian
palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba
keras)
6. Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pascapersalinan
a. Kelengkapan plasenta dan ketuban
b. Kontraksi uterus
c. Perlukaan jalan lahir

2.2.4 Langkah-Langkah Rinci Penatalaksanaan Atonia Uteri


A. Pascapersalinan
No
1

Langkah
Keterangan
Lakukan masase fundus Masase merangsang kontraksi uterus. Sambil
uteri

segera

setelah melakukan masase sekaligus dapat dilakukan

plasenta dilahirkan
penilaian kontraksi uterus
Bersihkan kavum uteri Selaput ketuban atau gumpalan darah dalam
dan selaput ketuban dan kavum uteri akan dapat menghalangi kontraksi

gumpalan darah
uterus secara baik
Mulai lakukan kompresi Sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan
bimanual interna. Jika tindakan ini. Jika kompresi bimanual tidak
uterus

berkontraksi berhasil setelah 5 menit, diperlukan tindakan

keluarkan tangan setelah lain.


1-2 menit. Jika uterus
tetap tidak berkontraksi
teruskan

kompresi

bimanual interna hingga


4

5 menit
Minta keluarga
melakukan

untuk Bila penolong hanya seorang diri, keluarga dapat

kompresi meneruskan proses kompresi bimanual secara

12

bimanual eksterna
5

eksternal selama anda melakukan langkah-

langkah selanjutnya
Berikan metil ergometrin Metil ergometrin
0,2

yang

diberikan

secara

mg intramuskular akan mulai bekerja dalam 5-7

intramuscular/intravena

menit

dan menyebabkan

kontraksi uterus.

Pemberian intravena bila sudah terpasang infus


6

sebelumnya
cairan Anda telah memberikan oksitosin pada waktu

Berikan

infus

Ringer

Laktat

dan penatalaksanaan aktif kala tiga dan metil

Oksitosin 20 IU/500 cc

ergometrin intramuskular. Oksitosin intravena


akan bekerja segera untuk menyebabkan uterus
berkontraksi.
Ringer Laktat akan membantu memulihkan
volume cairan yang hilang selama atoni. Jika
uterus wanita belum berkontraksi selama 6
langkah pertama, sangat mungkin bahwa ia
mengalami

perdarahan

postpartum

dan

memerlukan penggantian darah yang hilang


7

Mulai

lagi

bimanual

secara cepat
kompresi Jika atoni tidak teratasi setelah 7 langkah

interna

pasang

tampon lainnya. Tampon uterovagina dapat dilakukan

uterovagina
8

Buat

atau pertama, mungkin ibu mengalami masalah serius


apabil penolong telah terlatih.

persiapan

merujuk segera

Rujuk segera ke rumah sakit


untuk Atoni bukan merupakan hal yang sederhana dan
memerlukan perawatan gawat darurat di fasilitas
dimana dapat dilaksanakan bedah dan transfusi

darah
Teruskan cairan intravena Berikan infus 500 cc cairan pertama dalam
hingga

ibu

tempat rujukan

mencapai waktu 10 menit. Kemudian ibu memerlukan


cairan tambahan, setidak-tidaknya 500 cc/4 jam
pada jam-jam berikutnya. Jika anda tidak

13

mempunyai cukup persediaan cairan intravena,


berikan cairan 500 cc yang ketiga tersebut secara
perlahan, hingga cukup untuk sampai di tempat
rujukan. Berikan ibu minum untuk tambahan
10

rehidrasi
laparotomi: Pertimbangan antara lain paritas, kondisi ibu,

Lakukan

pertimbangkan

antara jumlah perdarahan

tindakan
mempertahankan
dengan

ligasi

uterus
arteri

uterina/hipogastrika atau
histerektomi
B. Kompresi Bimanual Interna (KBI)
Letakkan satu tangan anda pada dinding perut dan usahakan untuk
menahan bagian belakang uterus sejauh mungkin. Letakkan tangan yang
lain pada korpus depan dari dalam vagina, kemudian tekan kedua tangan
untuk mengkompresi pembuluh darah di dinding uterus. Amati jumlah
darah yang keluar yang ditampung dalam pan. Jika perdarahan berkurang,
teruskan kompresi, pertahankan hingga uterus dapat berkontraksi atau
hingga pasien sampai di tempat rujukan. Jika tidak berhasil, cobalah
mengajarkan pada keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna
sambil penolong melakukan tahapan selanjutnya untuk penatalaksanaan
atonia uteri.
C. Kompresi Bimanual Eksterna (KBE)
Letakkan satu tangan anda pada dinding perut, dan usahakan
sedapat mungkin meraba bagian belakang uterus. Letakkan tangan yang
lain dalam keadaan terkepal pada bagian depan korpus uteri, kemudian
rapatkan kedua tangan untuk menekan pembuluh darah di dinding uterus
dengan jalan menjepit uterus di antara kedua tangan tersebut.
2.3 Retensio Plasenta
2.3.1 Definisi

14

Retensio plasenta adalah plasenta yang belum lepas etelah bayi lahir
melebihi waktu jam. Tata laksana penanganan retention plasenta
(Sumber : Manuaba, Ida Bagus. 2004. Kepaniteraan Klinik Obstetri
dan Gynekologi. Jakarta : EGC)
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum ahirnya plasena hingga
atau melebihi 30 menit setelah bayi lahir. (Sumber : Triana, Ani, dkk.
2015. Kegawatdaruratan Maternal Dan Noanatal. Yogyakarta :
Deepublish)
Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta yang belum
lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta
(rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga
rahim yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early
postpartum hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (late
postpartum hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca
persalinan.
Menurut Sarwono Prawirohardjo, retensio plasenta adalah tertahannya atau
belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi
lahir. Retensio plasenta :
- Usahakan melahirkan plasenta jika belum lahir, lakukan dengan tarikan
pada tali pusat (teknik brandt-andrews), lalu segera inspeksi keadaan
plasenta tersebut
- Bila plasenta tidak berhasil dilahirkan dengan dugaan adanya plasenta
akreta, maka perlu dilakukan laparotomy/histerektomia
- Bila hanya sisa plasenta (rest placenta), pengeluaran dilakukan secara
digital/manual ataupun dengan menggunakan kuret besar dan tajam
secara hati-hati.
2.3.2 Jenis Retensio Plasenta
1. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion
plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi
fisiologis.
2. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
memasuki sebagianlapisan miometrium.
3. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai/memasukimiometrium.

15

4. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang


menembus lapisan otothingga mencapai lapisan serosa dinding uterus .
5. Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan olehkonstruksi ostium uteri.
2.3.3

Sebab-Sebabnya Plasenta Belum Lahir Bisa Oleh Karena :


1. plasenta belum lepas dari dinding uterus; atau
2. plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan;
jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena:
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva);
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis
menembus desidua sampai miometrium- sampai di bawah peritoneum
(plasenta akreta-perkreta).
3. Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian
bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio

2.3.4

plasenta).
Gejala Klinis
a. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta
informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya,
paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat
pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau
timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
b. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam
kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam

2.3.5

uterus.
Etiologi
Etiologi dasar meliputi :
a. Faktor maternal
1) Gravida berusia lanjut
2) Multiparitas
b. Faktor uterus

16

1) Bekas sectio caesaria, sering plasenta tertanam pada jaringan


cicatrix uterus
2) Bekas pembedahan uterus
3) Anorrali dan uterus
4) Tidak efektif kontraksi uterus
5) Pembentukan kontraksi ringan
6) Bekas curetage uterus, yang terutama dilakukan setelah abortus
7) Bekas pengeluaran plasenta secara manual
8) Bekas endometritis
c. Faktor plasenta
1) Plasenta previa
2) Implantasi corneal
3) Plasenta akreta
4) Kelainan bentuk plasenta
2.3.6 Predisposisi Retensio Plasenta
Beberapa predisposisi terjadinya retention plasenta adalah :
1. Grandemultipara
2. Kehamilan ganda, sehingga memerlukan implantasi plasenta yang agak
luas
3. Kasus infertilitas, karena lapisan endometriumnya tipis.
4. Plasenta previa, karena dibagian isthmus uterus, pembuluh darah edikit,
sehingga perlu masuk jauh kedalam
5. Bekas operasi pada uterus
2.3.7 Tanda-tanda Retentio Plasenta
a. Tanda-tanda yang selalu ada :
- Plasenta belum lahir 30 menit setelah anak lahir
- Ada perdarahan
- Kontraksi uterus baik
- Pada eksploitasi jalan lahir tidak ada robekan
b. Tanda-tanda yang kadang menyertai :
- Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
- Inversion uteri akibat tarikan
- Perdarahan lanjutan
2.3.8 Anatomi
Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15
sampai 20 cm dan tebal lebih kurang 2.5 cm. beratnya rata-rata 500 gram.
Tali-pusat berhubungan dengan plasenta biasanya di tengah (insertio
sentralis).Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih
kurang 16 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum
uteri.Bila diteliti benar, maka plasenta sebenarnya berasal dari sebagian

17

besar dari bagian janin, yaitu vili koriales yang berasal dari korion, dan
sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari desidua basalis.
Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral
arteries yang berada di desidua basalis.Pada sistole darah disemprotkan
dengan tekanan 70-80 mmHg seperti air mancur ke dalam ruang interviller
sampai mencapai chorionic plate, pangkal dari kotiledon-kotiledon
janin.Darah tersebut membasahi semua vili koriales dan kembali perlahanlahan dengan tekanan 8 mmHg ke vena-vena di desidua.Plasenta
berfungsi: sebagai alat yang memberi makanan pada janin, mengeluarkan
sisa metabolisme janin, memberi zat asam dan mengeluarkan CO2,
2.3.9

membentuk hormon, serta penyalur berbagai antibodi ke janin.


Penyebab Retention Plasenta
1. Fungsional
a. His kurag kuat (penyebab terpenting)
b. Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba),
bentuknya (plasenta membransea, plasenta anularis) dan ukurannya
(plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena
penyeabab di atas disebut plasenta adhesive

2. Patologi-anatomi
a. Plasenta akreta
b. Plasenta inkreta
c. Plasenta perkreta
2.3.10 Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi.
Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir
persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi,
melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang
berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum
uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecian mendadak
uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika
jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat
berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus.
Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua
spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di

18

tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara seratserat otot miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot
ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh
darah terjepit serta perdarahan berhenti. Pengamatan terhadap persalinan
kala tiga dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis
telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan.
Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat
plasenta, namundinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat
plasenta melekat (dariketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya daridinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang
terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta
disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus
yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi
permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan
spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta
bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah
kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim.
Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta
lebihmerupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan
normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan
ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit
dari tempat implantasinya.Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada
pancaran

darah

yang

mendadak,

uterus

menjadi

globuler

dan

konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena


plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang
keluar lebih panjang.
Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan
yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke
arah bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang kadang, plasenta dapat

19

keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan interabdominal. Namun, wanita
yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan
plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk
menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan
adalah dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan
tarikan ringan pada tali pusat.
2.3.11 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta
1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik
dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
2. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta
previa; implantasi dicornu; dan adanya plasenta akreta.
3. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari
uterus yang tidakperlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta
menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang
tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi
dan

menahan

plasenta;

serta

pemberian

anestesi

terutama

yangmelemahkan kontraksi uterus.


2.3.12 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:
a. Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan.
b. Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan
penurunan perfusi organ.
c. Sepsis
d. Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki
anak selanjutnya
2.3.13 Prognosis
Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang,
keadaan sebelumnya serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan
yang tepat sangat penting.
2.3.14 Pemeriksaan Penunjang
1. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb)
dan hematokrit (Hct),melihat adanya trombositopenia, serta jumlah
leukosit. Pada keadaan yang disertaidengan infeksi, leukosit biasanya
meningkat.

20

2.

Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin


time (PT) danactivated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang
sederhana dengan Clotting Time(CT) atau Bleeding Time (BT). Ini
penting untuk menyingkirkan perdarahan yangdisebabkan oleh faktor
lain.

2.3.15 Diagnosa Banding


Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat
pada miometrium tanpa garis pembelahan fisiologis melalui garis spons
desidua.
2.3.16 Pencegahan
a. Pencegahan resiko plasenta adalah dengan cara mempercepat proses
separasi da melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika segera
setelah bayi lahir danmelakukan penegangan talipusat terkendali. Usaha
ini disebut juga penatalaksanaan aktifkala III
b. Mengamati dan melihat kontraksi uterus.
2.3.17 Penanganan
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
1. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan
kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid
(sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila
memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi
oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan
hasil pemeriksaan darah.
2. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer
laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil
lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta.
Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan
kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir,
setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi

21

ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali


pusat putus.
5. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat
dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa
plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan
kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati
karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada
abortus.
6. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk
pencegahan infeksi sekunder.
2.3.18 Terapi
Jika plasenta dalam jam etelah anak lahir belum memperlihatkan
gejala-gejala pelepasan, dilakukan pelepasan plasenta manual. Telah
dijelaskan bahwa jika ada perdarahan banyak, mungkin plasenta
dilepaskan secara manual lebih dulu. Akan tetapi , dalam hal ini atas
indikasi perdarahan, bukan atas indikasi retention plasenta.
2.4 Inversio Uteri
2.4.1 Definisi
Inversio uteri adalah terbalik dan melipatnya uterus demikian rupa
sehingga lapisan endometriumnya dapat tampak sampai di luar perineum
2.4.2

atau dunia luar.


Klasifikasi
Pembagian inversio uteri:
Tingkat Inversio Uteri
Pertama

Kedua

Keterangan
- Inversio

hanya

sampai

osteum uteri internum.


Teraba fundus uterinya hilang

atau terdapat lekukan


Seluruh endometrium terbalik,
tetapi

Ketiga

uteri

tidak

sampai

di

luar

perineum.
Fundus uteri hilang pada palpasi.
Seluruh endometrium terbalik

22

sampai tampak di luar perineum.


Fundus uteri sama sekali tidak

dapat diraba
Pada semua tingkat invesio uteri, dapat disertai palsenta masih
melekat, karena terjadi pada plasenta adhesiva, akreta atau perkreta. Makin
erat perlekatan plasenta jika salah tatalaksana pada persalinannya (Kala
III) makin besar kemungkinan untuk terjadi inversio uteri.
Pembagian inversio uteri menurut kejadiannya:
1. Terjadi mendadak (Akuta)
a. Segera setelah persalinan, oleh karena tekanan abdominal
mendadak meningkat:
- Batuk-batuk
- Bersin
2. Terjadi Menahun:
a. Lebih dari satu bulan postpartum
b. Umumnya terdapat submukosa mioma uteri.
2.4.3 Sebab-sebab Inversio Uteri
Sebab terjadinya inversio uteri:
1. Pada grandemultipara karena terjadi atonia uteri
2. Tali pusat terlalu pendek
3. Tarikan tali pusat terlalu keras, sedangkan kontraksi uterus belum siap
untuk melahirkan plasenta
4. Pelaksanaan perasat Crede, saat kontraksi uterus belum siap untuk
mendorong plasenta lahir.
5. Plasenta terlalu erat meelkat pada tempat implantasinya.
2.4.4 Gejala Klinis
Gejala klinis Inversio Uteri
1. Persarahan yang berasal dari bekas implantasi plasenta
2. Tarikan dari peritoneum peritalis, menyebabkan rasa nyeri sehingga
dapat dikatakan sebagai syok neurogik.
3. Tarikan peritoneum peritalis menyebabkan dinding abdomen tegang
sehingga sulit melakukan palpasi dengan baik untuk menegakkan
diagnosis inversio uteri.
4. Inversio uteri postpartum yang disertai syok dapat meningkatkan
2.4.5

mortalitas sekitar 30%.


Diagnosis Inversio Uteri
Kejadiannya sangat jarang, sekitar 1/20.000 persalinan. Kini akan
semakin bertambah jarang karena jarang dijumpai grandemultipara yang
merupakan predisposisi utama terjadi inversio uteri. Sebagian besar telah
23

menganut Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS)


sehingga jumlah anak terbatas. Rata-rata keluarga hanya mempunyai anak
dua saja.
Dasar diagnosa inversio uteri:
1. Terjadi peningkatan tekanan intraabdominal mendadak (misalnya,
batuk-batuk, bersin) pada postpartum sehingga menyebabkan terjadi
inversio uteri.
2. Inversio uteri yang terjadi menimbulkan:
a. Rasa nyeri abdomen bagian bawah
b. Dapat disertai kollap, sekalipun belum terdapat perdarahan sebagai
akibat syok neurogenik.
3. Pada palpasi abdomen fundus uteri
4. Pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai:
a. Tingkat inversio II/I
b. Inversio uteri tingkat III mudah didiagnosis karena seluruh
2.4.6

endometrium telah berada di luar.


Terapi Inversio Uteri
Inversio uteri yang terjadi secara mendadak, seharusnya dapat
dilakukan reposisi pada saat itu sehingga tidak akan menimbulkan
kesulitan dengan terjadinya kontraksi pada segmen bawah rahim atau
servikal sehingga menyulitkan reposisi.
Langkah terapi reposisi inversio uteri adalah:
1. Berikan relaksan padanya sehingga otot rahim menjadi lemas.
2. Relaksan yang dianjurkan adalah:
a. Anestesi umum
b. Berikan relaksan otot uterus
- MgSO4 1 gram/IV selama 4 menit
- Terbutaline 0,125-0,25 mg/IV
3. Teknik menurut johnson:
a. Seluruh telapak tangan dimasukkan ke dalam vagina untuk
mendorong inversio fundus uteri, masuk kembali.
b. Setelah berhasil, lakukan pijatan bimanual, antara tangan intrauteri
dan tangan lainnya di fundus uteri yang telah direposisi.
c. Masukkan bolus, uterotonik (oksitosin atau methergin) sehingga
timbul kontraksinya yang dapat mempertahankan fundus uetri di
tempatnya.
d. Jika dipandang perlu dapat dipertahankan dengan memasang tampon
uterovaginal.

24

e. Tampon dapat dipertahankan 24 jam atau lebih dan selanjutnya


ditarik sedikit sehingga tidak menimbulkan inversio uteri kembali.
f. Sementara menarik tampon dapat diberikan uterotonik secara drip.
g. Menurut teknis jones:
- Dipergunakan telunjuk, untuk melakukan reposisi fundus uteri
sehingga dapat mencapai posisi semula pada intrauteri.
- Lainya dapat diikuti seperti dipaparkan diatas.
h. Bila dalam upaya reposisi tersebut plasenta masih melekat, jangan
lakukan pelepasan plasenta, tetapi baru dilakukan setelah reposisi
berhasil dengan baik.
Bentuk-bentuk tindakan reposisi inversio adalah:
1. Transabdominal:
a. Teknik Hungtinton
b. Teknik Haulstain
2. Transvaginal:
a. Teknik Kustner
b. Teknik Spinelli
3. Histerektomi:
a. Tidak mungkin dilakukan reposisi
b. Jaringan nekrosis, akibat iskemi jaringan
c. Terdapat infeksi yang cukup membahayakn jiwa
(Sumber: Manuaba dkk. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC )
2.5 Robekan Jalan Lahir
1. Perlukaan jalan lahir disebut juga sebagai laserasi / robekan jalan lahir.
2. Perlukaan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan
pasca partum.
3. Perlukaan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.
(Maryunani, Anik, Yulianingsih. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam
Kebidanan. Jakarta: Trans Info Media.hal 112)
2.5.1 Rupture Perineum
A. Definisi
Umumnya terjadi pada persalinan dimana :
1. Kepala janin terlalu cepat lahir
2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut.
4. Pada persalinan dengan distosia bahu
(Hanifah,dkk. 2011. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo hal : 175).
B. Klasifikasi
25

Robekan perineum dibagi atas empat tingkat, yaitu:


- Tingkat I : perlukaan pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum
- Tingkat II : perlukaan pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum dan otot perineum
- Tingkat III : perlukaan pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, otot sfingter ani
3a < 50 % ketebalan sfingter ani
3b > 50 % ketebalan sfingter ani
3c hingga sfingter interna
- Tingkat IV : perlukaan pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, otot sfingter ani, dinding depan rektum
(Maryunani, Anik, Yulianingsih. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam
Kebidanan. Jakarta: Trans Info Media.hal 113)
C. Penatalaksanaan
- Tingkat I : Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan
hanya dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continous
suture) atau dengan cara angka delapan (figure of eight).
- Tingkat II : sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum
tingkat II jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi,
maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu.
Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih
dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru
dilakukan penjahitan luka robekan. Mula-mula otot dijahit dengan
catgut. Kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara
terputus-putus atau jelujur. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari
puncak robekan. Terakhir kulit perineum dijahit dengan benang sutera
secara terputus-putus.
- Tingkat III : segera di rujuk ke pelayanan kesehatan yang fasilitasnya
lebih memadai.
- Tingkat IV : segera di rujuk ke pelayanan kesehatan yang fasilitasnya
lebih memadai
(Hanifah,dkk. 2011. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo hal : 175-176).
2.5.2 Robekan Vagina
A. Definisi

26

Pada luka robek yang kecil dan superfisial, tidak diperlukan


penanganan kusus. Pada luka robek yang lebar dan dalam, perlu dilakukan
penjahitan secara terputus-putus atau jelujur. Biasanya robekan pada
vagina sering diiringi dengan robekan pada vulva maupun perineum. Jika
robekan mengenai puncak vagina, robekan ini dapat melebar ke arah
rongga panggul, sehingga kavum Douglass menjadi terbuka. Keadaan ini
disebut Colporeksis.
(Sarwono. 2010. Ilmu

Bedah

Kebidanan.

Jakarta:Yayasan

Bina

Pustaka.hlm 177-180)
Perlukan vagina sering terjadi sewaktu :
1. Melahirkan janin dengan cunam
2. Ekstraksi bokong
3. Ekstraksi vakum
4. Reposisi presentasi kepala janin, umpamanya pada letak oksipito
posterior.
5. Sebagai akibat lepasnya tulang simfisis pubis (simfisiofisis)
(Sarwono. 2010. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta:Yayasan

Bina

Pustaka.hlm 177-180)
B. Komplikasi
Komplikasi Robekan vagina
- Perdarahan.
Pada luka robek yang kecil dan superfisial tidak terjadi perdarahan yang
banyak tetapi jika luka robekan lebar dan dalam dan lebih-lebih
mengenai pembuluh darah dapat menimbvlkan perdarahan hebat.
- Robekan
Jika tidak di tangani dengan semestinya dapat terjadi infeksi, bahkan
dapat timbul septikemi.
(Sarwono. 2010. Ilmu Bedah

Kebidanan.

Jakarta:Yayasan

Bina

Pustaka.hlm 177-180).
2.5.3 Robekan Serviks
A. Definisi
Robekan serviks dapat terjadi pada:
1. Partus presipitatus
2. Trauma karena pemakaian alat-alat operasi (cunam, perforator, vakm
ekstraktor )
3. Elahirkan kepala janin pada letak sungsang secara paksa padahal
pembukaan serviks uteri belum lengkap
4. Partus lama
B. Penatalaksanaan
27

1. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada vagina dan serviks.


2. Pada umumnya tidak diperlukan anestesia. Jika robekan luas atau jauh
sampai ke atas, berikan petidin dan diazepam IV secara perlahan.
3. Minta asisten menahan fustu.
4. Jepit bibir serviks dengan klem ovum, lalu pindahkan bergantian searah
jarum jam sehingga semua bagian serviks dapat diperiksa. Pada bagian
yang terdapat robekan, tinggalkan 2 klem di antara robekan.
5. Jahitan robekan serviks dengan catgut kromik 0 secara jelujur, mulai
apeks.
6. Jika sulit dicapai dan diikat, apeks dapat dicoba dijepit dengan klem
ovum atau klem arteri dan dipertahankan 4 jam. Kemudian setelah 4
jam, klem dilepas sebagian saja, dan 4 jam berikutnya dilepas
seluruhnya
7. Jika robekan meluas sampai melewati puncak vagina, lakukan
laparotomi
(Suhadi,Agung,dkk. 2013. Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: USAID)
2.5.4 Rupture Uteri
A. Etiologi
1. Riwayat pembedahan terhadap fundus atau korpus uterus
2. Induksi dengan oksitosin yang sembarangan atau persalinan yang lama
3. Presentasi abnormal ( terutama terjadi penipisan pada segmen bawah
uterus ) ( Helen, 2001 )
4. Panggul sempit
5. Letak lintang
6. Hydrosephalus
7. Tumor yg menghalangi jalan lahir
8. Presentasi dahi atau muka
B. Faktor Predisposisi
28

1. Multiparitas/ grandemultipara
Ini disebabkan oleh karena dinding perut yang lembek dengan
kedudukan uterus dalam posisi antefleksi, sehingga terjadi kelainan
letak dan posisi janin, janin sering lebih besar, sehingga dapat
menimbulkan disproporsi sefalopelvik, terjadinya infiltrasi jaringan
fibrotic dalam otot rahim penderita, sehingga mudah terjadi rupture
uteri.
2. Pemakaian oksitosin untuk induksi/stimulasi persalinan yang tidak tepat
3. Kelainan letak dan implantasi plasenta umpamanya pada plasenta
akreta, plasenta inkreta atau plasenta perkreta
4. Kelainan bentuk uterus umpamanya uterus bikornis
5. Hidramnion
C. Tanda dan Gejala
1. Biasanya ruptur uteri di dahului oleh gejala-gejala ruptura uteri
membakat, yaitu His yang keluar dan terus menerus, rasa nyeri yang
hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah atau seperti
ketakutan, nadi dan pernapasan cepat, cincin van bandl meninggi.
2. Setelah terjadi ruptura uteri dijumpai gejala-gejala syok, perdarahan
bisa keluar melalui vagina ataupun kedalam rongga perut, pucat , nadi
cepat, dan halus, pernapasan cepat dan dangkal, tekanan darah turun.
Pada palpasi sering bagian-bagian janin dapat diraba langsung di bwah
dinding perut, ada nyeri tekan, dan di perut bagian bawah teraba uterus
kira-kira besar kepala bayi. Umumnya janin sudah meninggal.
(Hanifah,dkk. 2011. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta:PT Bina Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.hlm 186)
Gejala seperti ada terputus diikuti syok perdarahan intra abdominal.
(Manuaba. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC hal 816)
3. Jika kejadian ruptur uteri telah lama terjadi, akan timbul gejala-gejala
meteorismus dan defence musculare sehingga sulit untuk meraba bagian
janin.
(Hanifah,dkk. 2011. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta:PT Bina Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.hlm 186)
D. Klasifikasi
1.
Rupture uteri spontan
Rupture uteri spontan dapat terjadi pada keadaan dimana terdapat
rintangan pada waktu persalinan, yaitu pada kelainan letak dan

29

presentasi janin, disproporsi sefalopelvik, panggul sempit, kelainan


2.

panggul, tumor jalan lahir.


Rupture uteri traumatic
Dalam hal ini rupture uteri terjadi oleh karena ada rudapaksa pada
uterus umpamanya oleh karena dorongan pada fundus uteri, akibat
tindakan melahirkan

anak pervaginam

seperti versi ekstraksi,

penggunaan cunam, alat-alat untuk embriotomi, plasenta manual, dan


kecelakaan.
3.

Rupture uteri jaringan parut


Dalam hal ini rupture uteri terjadi oleh karena adanya locus minoris
pada dinding uterus sebagai akibat bekas operasi sebelumnya pada
uterus,

seperti

parut

bekas

seksio

sesarea,

enukleasi

mioma/miomektomi, histerektomi, histerorafi, dan lain-lain. Rupture


uteri pada jaringan parut ini dapat dijumpai dalam bentuk nyata/jelas
(overt) ataupun dalam bentuk tersembunyi (occult). Yang dimaksud
dengan nyata/ jelas adalah apabila jaringan parut terbuka seluruhnya
dan disertai pula dengan robeknya ketuban. Sedang pada bentuk
tersembunyi, hanya jaringan parut yang terbuka, sedang selaput ketuban
tetap utuh.
Secara anatomic dibagi menjadi:
1. Ruptura uteri komplit
Dalam hal ini selain dinding uterus robek, lapisan serosa (peritonium)
juga robek sehingga janin dapat berada dalam rongga parut
2. Ruptura uteri inkomplit
Dalam hal ini hanya dinding uterus yang robek, sedangkan lapisan
serosa tetap utuh.
E. Penatalaksanaan
1. Pertolongan yang tepat untuk ruptur uteri adalah laparotomi.
Sebelumnya penderita diberi transfusi darah atau sekurang-kurangnya
infus cairan garam fisiologi/Ringer Laktat untuk mencegah terjadinya
syok hipovolemik.
2. Umumnya histeroktomi dilakukan setelah janin yang berada dalam
rongga perut dikeluarkan. Penjahitan luka robekan hanya dilakukan
pada kasus-kasus khusus, dimana pinggir robekan masih segar dan rata,
serta tidak terlihat adanya tanda-tanda infeksi dan tidak dapat jaringan

30

yang rapuh dan nekrosis. Histerorafi pada ibu-ibu yang sudah


mempunyai cukup anak dianjurkan untuk dilakukan tubektomi pada
kedua tuba (pomeroy) sedang bagi ibu-ibu yang belum mempunyai
anak atau belum merasa lengkap keluarganya dianjurkan pada
persalinan berikutnya untuk dilakukan seksio sesaria
(Hanifah,dkk. 2011. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta:PT Bina Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.hlm 184-185)
2.6 Sisa Plasenta
2.6.1 Definisi
Sisa

Plasenta

adalah

plasenta

yang

belum

terlepas

dan

mengakibatkan perdarahan tidak terlihat. Definisi plasenta tertinggal


didasarkan pada lama waktu yang berlalu antara pelahira bayi dan
pelaahiran plasenta yang diharapkan. Beberapa klinisi melakukan
intervens setelah 5 menit. Beberapa bidan akan menunggu selama
setengah jam untuk pelahiran plasenta sebelum mengatakan bahwa
plasenta tertinggal.
(Varney,Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan . Jakarta : EGC)
Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga
rahim dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini atau perdarahan
postpartum lambat (biasanya terjadi dalam 6-10 hari pascapersalinan).
Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan
perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim
baik. Pada perdarahan postpartum lambat gejalanya sama dengan
subinvolusi rahim, yaitu perdarahan yang berulang atau berlangsung terus
dan berasal dari rongga rahim. Perdarahan akibat sisa plasenta jarang
menimbulkan syok.
Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta,
kecuali apabila penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta
setelah plasenta lahir. apabila kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain
atau terdapat keraguan akan sisa plasenta, maka untuk memastikan adanya
sisa plasenta ditentukan dengan eksploras dengan tangan, kuret atau alat
bantu diagnostik yaitu ultrasonografi. Pada umumnya perdarahan dari

31

rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi dan kontraksi rahim baik
diaggap sebagai akibat sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga rahim.
(Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergens Dasar (PONED) . Jakarta
:JNPK-KR. 2008).
2.6.2 Pengelolaan
1. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase.
Dalam kondisi tertentu apabila memungkinkan, sisa plasenta dapat
dikeluarkan secara manual.
Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena
dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
2. Setelah selesei tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntuikan atau per oral.
3. Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.
Ada pula langkah-langkah lain yang harus dilakukan :
1) Hubungi dokter
2) Beri keyakinan pada ibu dan pendampingnya
3) Rangsang kontraksi dengan memasase uterus jika masih dapat dipalpasi
4) Keluarkan adanya bekuan
5) Anjurkan ibu untuk berkemih
6) Berikan obat uterotonik, misalnya ergometrin maleat, melalui rute
intravena atau iintramuskular
7) Simpan semua pembalut dan linen yang basah oleh darah untuk
mengkaji volume darah yang hilang
8) Jika perdarahan menetap, diskusikan rentang pilihan pengobatan
dengan ibu dan jika perlu, siapkan ibu untuk operasi.
(Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergens Dasar (PONED) . Jakarta
:JNPK-KR. 2008).
2.6.3

Penatalaksanaan
1. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% Ringer
Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan
infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%Ringer Laktat
dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.

32

2. Lakukan eksporasi digital (bila serviks terbuka) dan keluarkan bekuan


darah dan jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen,
lakukan evakuasi sisa plasenta dengan aspirasi vakum manual atau
dilatasi dan kuretase.
3. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 g IV dan
metronidazole 500 mg)
4. Jika perdarahan berlanjut, tatalaksana seperti kasus atonia uteri.
(Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan
.Jakara: WHO. 2013).
2.6.4

Eksplorasi Rongga Rahim

A. Indikasi
Persangkaan tertinggalnya jaringan plasenta (plasenta lahir tidak
lengkap), setelah operas vaginal yang sulit seperti ekstraksi cunam yang
sulit, dekapitasi, versi dan ekstraksi, perforasi dan lain-lain, untuk
menentukan apakah ada rupture uteri. Eksplorasi juga dilakukan pada
pasien yang pernah mengalami seksio sesarea dan sekarang melahirkan
pervaginam.
B. Penatalaksanaan
Tangan masuk secara obstetrik seperti pada pelepasan plasenta
secara manual dan mencari sisa plasenta yang seterusnya dilepaskan atau
meraba apakah ada kerusakan dinding uterus. Untuk menentukan robekan
dinding rahim eksplorasi dapat dilakukan sebelum plasenta lahir dan
melepaskan plasenta secara manual.
(Saifudin, Abdul Bari . 2005. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo)
2.7 Gangguan Pembekuan Darah
2.7.1 Mekanisme pembekuan perdarah
Penghentian terjadi perdarahan postpartum sangat penting, oleh
karena selama kehamilan terjadi sirkulasi retroplasenta yang makin lama
makin meningkat, sehingga pada akhir kehamilan berjumlah sekitar 50033

600 cc/menit. Di dasar plasental bed terbukalah pembuluh darah arteri,


yang tegak lurus, sementara itu pembuluh darah vena seolah-olah sejajar
dengan dinding uterus.
Pada saat persalinan berakhir dengan lahirnya bayi, maka terjadi
retraksi otot uterus yang mengakibatkan:
1. Plasenta tidak mampu mengikuti pengecilan dari tempat implantasinya.
2. Plasenta melepaskan diri melalui lapisan jaringan ikatnya (nitabusch)
3. Pembuluh darah arteri atau vena akan terjadi, berlekuk-lekuk sehingga
lumennya tertutup dan perdarahan dari plasental bed berhenti.
4. Ujung-ujung pembuluh darah akan membentuk thrmbus, sehingga
perdarahan akan berhenti sama sekali.
5. Hari

berikutnya

sudah

mulai

pembentukan

epitelia,

menuju

kesembuhan luka bekas implantasi plasenta, yang berlangsung sampai


14-15 hari.
(Manuaba, dkk. 2007. Pengantar kuliah obstetri. Jakarta : EGC)
2.7.2

Gangguan Faal Pembekuan Darah


1. Sering kali perdarahan postpartum yang persisten adalah akibat dari
gangguan pembekuan darah. Biasanya untuk mengetahui adanya
gangguan ini dilakukan clott observation test adalah sebagai berikut:
5cc darah dimasukkan dalam tabung gelas, kemudian diobservasi dan
dicatat kapan terjadi pembekuan darah. Setelah terjadi pembekuan
masih dilakukan observasi untuk melihat apakah masih terjadi lisis
bekuan darah tersebut.
2. Perdarahan akibat gangguan pembekuan darah ini umumnya dapat
diatasi dengan pemberian darah segar. Dalam keadaan ini setiap
tindakan akan menambah perdarahan.
Gangguan koagulasi atau gangguan pembekuan darah baru
dicurigai bila penyebab lain telah disingkirkan dan gangguan koagulasi ini
jarang terjadi tetapi bisa memperburuk keadaan. Predisposisi gangguan
koagulasi antara lain :
a. Kasus trombofilia

34

Trombofilia merupakan kelainan pada darah yang memicu


pembentukan pembekuan darah (trombosis), kelainan ini terjadi
dikarenakan kelebihan faktor pembekuan darah (prokoagulan) atau
kekurangan faktor yang menghambat pembentukan darah atau
memecah bekuan darah (fibrinolisis).Trombofilia dapat terjadi karena
kelainan herediter (hereditary thrombophilia) atau kelainan yang
didapat (acquired thrombophilia).7
b. Sindroma HELLP
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low
Platelets) merupakan komplikasi kehamilan serius yang dipicu oleh
hipertensi dan sering dibahas bersama dengan kelainan preeklampsia
dan eklampsia. Trombositopenia merupakan kelainan yang paling dini
dan sering pada sindrom HELLP dan tampak pada semua ibu hamil
yang menderitanya.
c. Hipertensi (Preeklampsia atau Eklampsia)
Hipertensi dalam kehamilan merupakan slah satu dari tiga
penyebab tertinggi morbiditas dan mortalitas ibu bersalin yang
menyumbang 5 15% dalam penyulit kehamilan. Hipertensi adalah
tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg. Hipertensi dalam
kehamilan diklasifikasikan menjadi hipertensi kronik, pre-eklampsiaeklampsia, hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia dan
hipertensi gestasional.
d. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh
plasenta sebelum bayi lahir.7 Hal ini dapat menyebabkan perdarahan
pasca persalinan dikarenakan sebagian atau seluruh plasenta berada
dibagian bawah tempat lapisan otot yang lebih tipis mengandung sedikit
serat oblik: mengakibatkan kontrol perdarahan yang buruk.
e. Kematian janin dalam kandungan atau Intra Uterine Fetal Death
(IUFD)
Bila kematian janin dalam kandungan lebih dari 3-4 minggu
maka akan terjadi penurunan kadar fibrinogen dengan kecenderungan
terjadinya koagulopati dan hal ini juga dapat berhubungan dengan
penderita trombofilia.
35

f. Emboli air ketuban


Emboli cairan ketuban adalah suatu gangguan kompleks yang
secara klasik ditandai dengan hipotensi, hipoksia, dan koagulopati
komsumtif secara mendadak. Gambaran klasik tersebut adalah seorang
wanita yang berada pada tahap akhir persalinan dini mulai kehabisan
napas, kemudian dengan cepat mengalami kejang atau henti
kardiorespirasi disertai penyulit koagulasi intravaskular diseminata,
perdarahan masif, dan berakhir dengan kematian.
g. Sepsis
Sepsis atau infeksi dapat menyebabkan gangguan kuagulopati
sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan.
(http:\Users\User\Downloads\Documents\jtptunimus-gdl-dwiastutik-78663-babii.pdf diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 19.00 WIB).

36

37

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perdarahan pasca persalinan/pasca partum atau dikenal juga sebagai
hemoragi postpartum (HPP), yang merupakan perdarahan per vaginam
yang melebihi 500 ml setelah bersalin
Klasifikasi perdarahan postpartum yakni Perdarahan pasca persalinan dini
(early postpartum haemorrhage) dan Perdarahan pasca persalinan lanjut
(late postpartum haemorhage)
Penyebab umum perdarahan pasca partum, antara lain : atonia uteri,
retensio plasenta, inversio uteri, robekan jalan lahir, sisa plasenta dan
gangguan pembekuan darah
Prinsip penatalaksanaan untuk pasien dengan perdarahan pasca persalinan
yang terbaik adalah tindakan pencegahan dan penanganan segera setelah
diketahui perdarahan pasca persalinan harus ditentukan adanya syok atau
tidak.
3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini yang berjudul Penanganan Perdarahan
Postpartum diharapkan Bidan sebagai tenaga profesional yang diandalkan
oleh masyarakat dapat mengenali sedini mungkin tanda-tanda perdarahan
pasca salin dan bidan juga diharapkan mampu melakukan konsultasi dan
rujukan segera dengan cepat dan tepat ke fasilitas kesehatan yang lebih
lengkap.

38

DAFTAR PUSTAKA
Hanifah,dkk. 2011. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta:PT Bina Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
http:\Users\User\Downloads\Documents\jtptunimus-gdl-dwiastutik-7866-3babii.pdf diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 19.00 WIB
Manuaba, Ida Bagus. 2004. Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Gynekologi.
Jakarta: EGC
Maryunani, Anik, Yulianingsih. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam
Kebidanan. Jakarta: Trans Info Media
Triana, Ani, dkk. 2015. Kegawatdaruratan Maternal Dan Noanatal. Yogyakarta :
Deepublish
Varney,Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan . Jakarta : EGC
_____.2008. Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergens Dasar (PONED) .
Jakarta :JNPK-KR

39

You might also like