Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan postpartum adalah perdarahan 500 cc atau lebih setelah
kala III selesai (setelah plasenta lahir). Pengukuran darah yang keluar sukar
untuk dilakukan secara tepat. Jenis perdarahan dibagi dalam perdarahan
postpartum dini bila perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama dan perdarahan
postpartum lambat bila perdarahan terjadi setelah 24 jam pertama.
Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap
tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai
meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam
setelah melahirkan. Di Inggris (2000), separuh kematian ibu hamil akibat
perdarahan disebabkan oleh perdarahan post partum.
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit,
sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post
partum
terlambat
sampai
ke
rumah
sakit,
saat
datang
keadaan
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian perdarahan postpartum.
2. Mengetahui pengertian atonia uteri dan penanganannya.
3. Mengetahui pengertian retensio plasenta dan penanganannya.
4. Mengetahui pengertian inversio uteri dan penanganannya.
5. Mengetahui pengertian robekan jalan lahir dan penanganannya.
6. Mengetahui pengertian sisa plasenta dan penanganannya.
7. Mengetahui pengertian gangguan pembekuan darah dan penanganannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perdarahan Postpartum
2.1.1 Definisi
Perdarahan pasca persalinan/pasca partum atau dikenal juga
sebagai hemoragi postpartum (HPP), yang merupakan perdarahan per
vaginam yang melebihi 500 ml setelah bersalin dan biasanya
menyebabkan kehilangan banyak darah adalah masalah kegawatdaruratan
yang serius di bidang kebidanan. Bidan sebagai tenaga profesional yang
diandalkan oleh masyarakat diharapkan dapat mengenali sedini mungkin
tanda-tanda perdarahan pasca salin ini dan melakukan konsultasi dan
rujukan segera dengan cepat dan tepat ke fasilitas yang lebih lengkap.
Sebelum pembahasan lebih lanjut tentang pardarahan pasca persalinan,
maka perlu dipahami beberapa pengertian/definisi dari perdarahan pasca
persalinan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam menentukan definisi ini, antara lain :
Perdarahan pascapartum, yang dahulu merupakan kehilangan darah 500
ml atau lebih setelah kelahiran per vaginam. Definisi perdarahan
pascapartum yang lebih bermakna adalah kehilangan berat badan 1%
atau lebih karena 1 ml darah beratnya 1 gram (Bobak, 1996)
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan lebih dari 500 ml yang
terjadi setelah lahirnya bayi (PB POGI, 1991)
Perdarahan post partum adalah perdarahan 500 cc atau lebih setelah
kala 3 selesai (setelah plasenta lahir). Pengukuran darah yang keluar
sukar untuk dilakukan secara tepat (RP. Prabowo, 2007).
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama
24 jam setelah anak lahir. Perdarahan postpartum adalah perdarahan
dalam kala 4 lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan
plasenta lahir (Prof. Dr. Rustam Mochtar MPH, 1998).
Haemorhagic postpartum (HPP) adalah hilangnya darah lebih dari 500
ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi (Wiliam, 1998).
HPP biasanya kehilangan darah lebih dari 500 ml selama atau setelah
kelahiran (Marylin Doengoes, 2001).
Sementara itu , Saifudin, dkk (2002), menyebutkan bahwa perdarahan
pervagina yang melebihi 500 ml setelah bersalin didefinisikan sebagai
perdarahan pasca persalinan.
Terdapat beberapa masalah mengenai definisi ini, antara lain :
Perkiraan kehilangan darah biasanya tidak sebanyak yang sebenarnya,
kadang-kadang hanya setengahnya. Darah bercampur dengan cairan
ketuban, urin, tersebar pada pembalut, handuk, kain, ember dan lantai.
Volume darah yang hilang bervariasi sesuai dengan kadar Hb ibu.
Definisi perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang melebihi
500 ml. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk
menentukan jumlah perdarahan yang terjadi karena tercampur dengan
air ketuban, serapan kain dan alat tempat tidur. Oleh karena itu,
ditentukan batasan operasional untuk periode pasca persalinan yaitu
setelah bayi lahir, bukan berdasarkan batasan kala persalinan yang
terdiri dari kala 1 sampai 4. Maka, menurut Saifudin dkk (2006) batasan
operasional perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan setelah bayi
lahir, jumlah perdarahan yang lebih dari normal, yang menyebabkan
perubahan tanda-tanda vital yaitu pasien mengeluh lemah, limbung,
keringat dingin, menggigil, hiperpnea, TD sistolik kurang dari 90
mmHg, nadi lebih dari 100 kali per menit, kadar Hb kurang dari 8 gram
%. Oleh karena itu walaupun terdapat masalah-masalah dalam
mendefinisikan perdarahan pasca partum, semua ibu bersalin/pasca
persalinan harus dipantau dengan ketat untuk mewaspadai adanya
perdarahan pasca persalinan.
2.1.2
hipovolemik.
2.1.4 Diagnosis
Prinsip utama yang perlu diperlukan adalah :
a. Bila seorang ibu bersalin mengalami perdarahan setelah bayi lahir,
pertama-tama yang harus dipikirkan adalah perdarahan tersebut
b.
b.
tetapi
terus
menerus
atau
berlangsung
lama
dapat
d.
atonia uteri.
b. Palpasi uterus : fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek,
kontraksi uterus tidak baik merupakan tanda-tanda atonia uteri.
c. Memeriksa plasenta dan ketuban, apakah lengkap atau tidak
kotiledon atau selaput ketubannya.
d. Eksplorasi kavum uteri apakah ada bekuan darah, sisa plasenta
dan selaput ketuban, robekan rahim atau plasenta suksenturiata
(anak plasenta).
e. Inspekulo : robekan pada serviks, vagina dan varises yang
pecah.
dan lain-lain.
Etiologi Perdarahan Postpartum
Penyebab umum perdarahan pasca partum, antara lain :
a. Atonia uteri
b. Retensio plasenta
c. Sisa plasenta dan selaput ketuban, misalnya :
Perlekatan yang abnormal (plasenta akereta dan perkereta)
Tidak ada kelainan perlekatan (plasenta seccenturia)
d. Trauma/perlukaan jalan lahir, antara lain :
Episiotomi yang lebar
Laserasi perineum, vagina, serviks, forniks dan uterus
Ruptur uteri
e. Penyakit darah
Kelainan pembekuan darah, misalnya afibrinogenemia
f.
g.
h.
i.
atau
2.1.6
2.1.7
besar
Uterus yang kelelahan, persalinan lama
Uterus yang lembek akibat narkosa/anestesia yang dalam
Inversio uteri primer dan sekunder
Insiden Perdarahan Postpartum
Frekuensi perdarahan postpartum 4-15% dari seluruh persalinan,
berdasarkan pada penyebabnya, yaitu :
a. Atonia uteri (50-60%)
b. Retensio plasenta (16-17%)
c. Sisa plasenta (23-24%)
d. Laserasi jalan lahir (4-5%)
e. Kelainan darah (0,5-0,8%)
Menurut kepustakaan, angka kejadian perdarahan postpartum 0,4-10%
2.1.8
(Prabowo, 2007)
Patofisiologi
Dalam persalinan, pembuluh darah yang ada di uterus melebar
untuk meningkatkan sirkulasi ke uterus. Atonia uteri dan sub-involusio
uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darahpembuluh darah yang melebar tersebut tidak menutup sempurna sehingga
perdarahan terjadi terus-menerus. Trauma jalan lahir seperti episiotomi
yang lebar, laserasi perineum dan ruptur uteri juga menyebabkan
perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu;
misalnya afibrinogenemia dan hipofibrinogemia karena tidak ada atau
kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga
merupakan penyebab dari perdarahan pasca persalinan. Perdarahan yang
2.1.9
partial
diaktivasi,
masa
tromboplastin
partial
uterus.
Kriteria Diagnosis
Perdarahan yang banyak dalam waktu singkat dapat diketahui.
Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari, pasien
(ibu) telah kehilangan banyak darah sebelum ibu tampak pucat dan gejala
lainnya. Perdarahan karena atonia uteri, uterus tampak membesar dan
lembek. Atonia uteri terjadi bila miometrium tidak berkontraksi. Uterus
menjadi lunak dan pembuluh darah pada daerah bekas perlekatan plasenta
terbuka lebar.
Atonia merupakan penyebab tersering perdarahan postpartum;
sekurang-kurangnya 2/3 dari semua perdarahan postpartum disebabkan
oleh atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan postpartum disebabkan
atonia uteri, harus dimulai dengan mengenal ibu yang memiliki kondisi
yang berisiko terjadinya atonia uteri. Kondisi ini mencakup:
1. Hal-hal yang menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi normal
2.
3.
4.
5.
6.
seperti pada:
a. Polihidramnion
b. Kehamilan kembar
c. Makrosomi
Persalinan lama
Persalinan terlalu cepat
Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin
Infeksi intrapartum
Paritas tinggi
Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang
berisiko ini, maka bagian penting bagi penolong persalinan untuk
10
Langkah
Keterangan
Lakukan masase fundus Masase merangsang kontraksi uterus. Sambil
uteri
segera
plasenta dilahirkan
penilaian kontraksi uterus
Bersihkan kavum uteri Selaput ketuban atau gumpalan darah dalam
dan selaput ketuban dan kavum uteri akan dapat menghalangi kontraksi
gumpalan darah
uterus secara baik
Mulai lakukan kompresi Sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan
bimanual interna. Jika tindakan ini. Jika kompresi bimanual tidak
uterus
kompresi
5 menit
Minta keluarga
melakukan
12
bimanual eksterna
5
langkah selanjutnya
Berikan metil ergometrin Metil ergometrin
0,2
yang
diberikan
secara
intramuscular/intravena
menit
dan menyebabkan
kontraksi uterus.
sebelumnya
cairan Anda telah memberikan oksitosin pada waktu
Berikan
infus
Ringer
Laktat
Oksitosin 20 IU/500 cc
perdarahan
postpartum
dan
Mulai
lagi
bimanual
secara cepat
kompresi Jika atoni tidak teratasi setelah 7 langkah
interna
pasang
uterovagina
8
Buat
persiapan
merujuk segera
darah
Teruskan cairan intravena Berikan infus 500 cc cairan pertama dalam
hingga
ibu
tempat rujukan
13
rehidrasi
laparotomi: Pertimbangan antara lain paritas, kondisi ibu,
Lakukan
pertimbangkan
tindakan
mempertahankan
dengan
ligasi
uterus
arteri
uterina/hipogastrika atau
histerektomi
B. Kompresi Bimanual Interna (KBI)
Letakkan satu tangan anda pada dinding perut dan usahakan untuk
menahan bagian belakang uterus sejauh mungkin. Letakkan tangan yang
lain pada korpus depan dari dalam vagina, kemudian tekan kedua tangan
untuk mengkompresi pembuluh darah di dinding uterus. Amati jumlah
darah yang keluar yang ditampung dalam pan. Jika perdarahan berkurang,
teruskan kompresi, pertahankan hingga uterus dapat berkontraksi atau
hingga pasien sampai di tempat rujukan. Jika tidak berhasil, cobalah
mengajarkan pada keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna
sambil penolong melakukan tahapan selanjutnya untuk penatalaksanaan
atonia uteri.
C. Kompresi Bimanual Eksterna (KBE)
Letakkan satu tangan anda pada dinding perut, dan usahakan
sedapat mungkin meraba bagian belakang uterus. Letakkan tangan yang
lain dalam keadaan terkepal pada bagian depan korpus uteri, kemudian
rapatkan kedua tangan untuk menekan pembuluh darah di dinding uterus
dengan jalan menjepit uterus di antara kedua tangan tersebut.
2.3 Retensio Plasenta
2.3.1 Definisi
14
Retensio plasenta adalah plasenta yang belum lepas etelah bayi lahir
melebihi waktu jam. Tata laksana penanganan retention plasenta
(Sumber : Manuaba, Ida Bagus. 2004. Kepaniteraan Klinik Obstetri
dan Gynekologi. Jakarta : EGC)
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum ahirnya plasena hingga
atau melebihi 30 menit setelah bayi lahir. (Sumber : Triana, Ani, dkk.
2015. Kegawatdaruratan Maternal Dan Noanatal. Yogyakarta :
Deepublish)
Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta yang belum
lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta
(rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga
rahim yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early
postpartum hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (late
postpartum hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca
persalinan.
Menurut Sarwono Prawirohardjo, retensio plasenta adalah tertahannya atau
belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi
lahir. Retensio plasenta :
- Usahakan melahirkan plasenta jika belum lahir, lakukan dengan tarikan
pada tali pusat (teknik brandt-andrews), lalu segera inspeksi keadaan
plasenta tersebut
- Bila plasenta tidak berhasil dilahirkan dengan dugaan adanya plasenta
akreta, maka perlu dilakukan laparotomy/histerektomia
- Bila hanya sisa plasenta (rest placenta), pengeluaran dilakukan secara
digital/manual ataupun dengan menggunakan kuret besar dan tajam
secara hati-hati.
2.3.2 Jenis Retensio Plasenta
1. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion
plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi
fisiologis.
2. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
memasuki sebagianlapisan miometrium.
3. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai/memasukimiometrium.
15
2.3.4
plasenta).
Gejala Klinis
a. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta
informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya,
paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat
pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau
timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
b. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam
kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam
2.3.5
uterus.
Etiologi
Etiologi dasar meliputi :
a. Faktor maternal
1) Gravida berusia lanjut
2) Multiparitas
b. Faktor uterus
16
17
besar dari bagian janin, yaitu vili koriales yang berasal dari korion, dan
sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari desidua basalis.
Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral
arteries yang berada di desidua basalis.Pada sistole darah disemprotkan
dengan tekanan 70-80 mmHg seperti air mancur ke dalam ruang interviller
sampai mencapai chorionic plate, pangkal dari kotiledon-kotiledon
janin.Darah tersebut membasahi semua vili koriales dan kembali perlahanlahan dengan tekanan 8 mmHg ke vena-vena di desidua.Plasenta
berfungsi: sebagai alat yang memberi makanan pada janin, mengeluarkan
sisa metabolisme janin, memberi zat asam dan mengeluarkan CO2,
2.3.9
2. Patologi-anatomi
a. Plasenta akreta
b. Plasenta inkreta
c. Plasenta perkreta
2.3.10 Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi.
Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir
persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi,
melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang
berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum
uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecian mendadak
uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika
jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat
berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus.
Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua
spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di
18
tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara seratserat otot miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot
ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh
darah terjepit serta perdarahan berhenti. Pengamatan terhadap persalinan
kala tiga dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis
telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan.
Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat
plasenta, namundinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat
plasenta melekat (dariketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya daridinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang
terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta
disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus
yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi
permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan
spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta
bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah
kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim.
Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta
lebihmerupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan
normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan
ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit
dari tempat implantasinya.Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada
pancaran
darah
yang
mendadak,
uterus
menjadi
globuler
dan
19
keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan interabdominal. Namun, wanita
yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan
plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk
menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan
adalah dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan
tarikan ringan pada tali pusat.
2.3.11 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta
1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik
dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
2. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta
previa; implantasi dicornu; dan adanya plasenta akreta.
3. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari
uterus yang tidakperlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta
menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang
tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi
dan
menahan
plasenta;
serta
pemberian
anestesi
terutama
20
2.
21
Kedua
Keterangan
- Inversio
hanya
sampai
Ketiga
uteri
tidak
sampai
di
luar
perineum.
Fundus uteri hilang pada palpasi.
Seluruh endometrium terbalik
22
dapat diraba
Pada semua tingkat invesio uteri, dapat disertai palsenta masih
melekat, karena terjadi pada plasenta adhesiva, akreta atau perkreta. Makin
erat perlekatan plasenta jika salah tatalaksana pada persalinannya (Kala
III) makin besar kemungkinan untuk terjadi inversio uteri.
Pembagian inversio uteri menurut kejadiannya:
1. Terjadi mendadak (Akuta)
a. Segera setelah persalinan, oleh karena tekanan abdominal
mendadak meningkat:
- Batuk-batuk
- Bersin
2. Terjadi Menahun:
a. Lebih dari satu bulan postpartum
b. Umumnya terdapat submukosa mioma uteri.
2.4.3 Sebab-sebab Inversio Uteri
Sebab terjadinya inversio uteri:
1. Pada grandemultipara karena terjadi atonia uteri
2. Tali pusat terlalu pendek
3. Tarikan tali pusat terlalu keras, sedangkan kontraksi uterus belum siap
untuk melahirkan plasenta
4. Pelaksanaan perasat Crede, saat kontraksi uterus belum siap untuk
mendorong plasenta lahir.
5. Plasenta terlalu erat meelkat pada tempat implantasinya.
2.4.4 Gejala Klinis
Gejala klinis Inversio Uteri
1. Persarahan yang berasal dari bekas implantasi plasenta
2. Tarikan dari peritoneum peritalis, menyebabkan rasa nyeri sehingga
dapat dikatakan sebagai syok neurogik.
3. Tarikan peritoneum peritalis menyebabkan dinding abdomen tegang
sehingga sulit melakukan palpasi dengan baik untuk menegakkan
diagnosis inversio uteri.
4. Inversio uteri postpartum yang disertai syok dapat meningkatkan
2.4.5
24
26
Bedah
Kebidanan.
Jakarta:Yayasan
Bina
Pustaka.hlm 177-180)
Perlukan vagina sering terjadi sewaktu :
1. Melahirkan janin dengan cunam
2. Ekstraksi bokong
3. Ekstraksi vakum
4. Reposisi presentasi kepala janin, umpamanya pada letak oksipito
posterior.
5. Sebagai akibat lepasnya tulang simfisis pubis (simfisiofisis)
(Sarwono. 2010. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta:Yayasan
Bina
Pustaka.hlm 177-180)
B. Komplikasi
Komplikasi Robekan vagina
- Perdarahan.
Pada luka robek yang kecil dan superfisial tidak terjadi perdarahan yang
banyak tetapi jika luka robekan lebar dan dalam dan lebih-lebih
mengenai pembuluh darah dapat menimbvlkan perdarahan hebat.
- Robekan
Jika tidak di tangani dengan semestinya dapat terjadi infeksi, bahkan
dapat timbul septikemi.
(Sarwono. 2010. Ilmu Bedah
Kebidanan.
Jakarta:Yayasan
Bina
Pustaka.hlm 177-180).
2.5.3 Robekan Serviks
A. Definisi
Robekan serviks dapat terjadi pada:
1. Partus presipitatus
2. Trauma karena pemakaian alat-alat operasi (cunam, perforator, vakm
ekstraktor )
3. Elahirkan kepala janin pada letak sungsang secara paksa padahal
pembukaan serviks uteri belum lengkap
4. Partus lama
B. Penatalaksanaan
27
1. Multiparitas/ grandemultipara
Ini disebabkan oleh karena dinding perut yang lembek dengan
kedudukan uterus dalam posisi antefleksi, sehingga terjadi kelainan
letak dan posisi janin, janin sering lebih besar, sehingga dapat
menimbulkan disproporsi sefalopelvik, terjadinya infiltrasi jaringan
fibrotic dalam otot rahim penderita, sehingga mudah terjadi rupture
uteri.
2. Pemakaian oksitosin untuk induksi/stimulasi persalinan yang tidak tepat
3. Kelainan letak dan implantasi plasenta umpamanya pada plasenta
akreta, plasenta inkreta atau plasenta perkreta
4. Kelainan bentuk uterus umpamanya uterus bikornis
5. Hidramnion
C. Tanda dan Gejala
1. Biasanya ruptur uteri di dahului oleh gejala-gejala ruptura uteri
membakat, yaitu His yang keluar dan terus menerus, rasa nyeri yang
hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah atau seperti
ketakutan, nadi dan pernapasan cepat, cincin van bandl meninggi.
2. Setelah terjadi ruptura uteri dijumpai gejala-gejala syok, perdarahan
bisa keluar melalui vagina ataupun kedalam rongga perut, pucat , nadi
cepat, dan halus, pernapasan cepat dan dangkal, tekanan darah turun.
Pada palpasi sering bagian-bagian janin dapat diraba langsung di bwah
dinding perut, ada nyeri tekan, dan di perut bagian bawah teraba uterus
kira-kira besar kepala bayi. Umumnya janin sudah meninggal.
(Hanifah,dkk. 2011. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta:PT Bina Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.hlm 186)
Gejala seperti ada terputus diikuti syok perdarahan intra abdominal.
(Manuaba. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC hal 816)
3. Jika kejadian ruptur uteri telah lama terjadi, akan timbul gejala-gejala
meteorismus dan defence musculare sehingga sulit untuk meraba bagian
janin.
(Hanifah,dkk. 2011. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta:PT Bina Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.hlm 186)
D. Klasifikasi
1.
Rupture uteri spontan
Rupture uteri spontan dapat terjadi pada keadaan dimana terdapat
rintangan pada waktu persalinan, yaitu pada kelainan letak dan
29
anak pervaginam
seperti
parut
bekas
seksio
sesarea,
enukleasi
30
Plasenta
adalah
plasenta
yang
belum
terlepas
dan
31
rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi dan kontraksi rahim baik
diaggap sebagai akibat sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga rahim.
(Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergens Dasar (PONED) . Jakarta
:JNPK-KR. 2008).
2.6.2 Pengelolaan
1. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase.
Dalam kondisi tertentu apabila memungkinkan, sisa plasenta dapat
dikeluarkan secara manual.
Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena
dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
2. Setelah selesei tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntuikan atau per oral.
3. Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.
Ada pula langkah-langkah lain yang harus dilakukan :
1) Hubungi dokter
2) Beri keyakinan pada ibu dan pendampingnya
3) Rangsang kontraksi dengan memasase uterus jika masih dapat dipalpasi
4) Keluarkan adanya bekuan
5) Anjurkan ibu untuk berkemih
6) Berikan obat uterotonik, misalnya ergometrin maleat, melalui rute
intravena atau iintramuskular
7) Simpan semua pembalut dan linen yang basah oleh darah untuk
mengkaji volume darah yang hilang
8) Jika perdarahan menetap, diskusikan rentang pilihan pengobatan
dengan ibu dan jika perlu, siapkan ibu untuk operasi.
(Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergens Dasar (PONED) . Jakarta
:JNPK-KR. 2008).
2.6.3
Penatalaksanaan
1. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% Ringer
Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan
infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%Ringer Laktat
dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.
32
A. Indikasi
Persangkaan tertinggalnya jaringan plasenta (plasenta lahir tidak
lengkap), setelah operas vaginal yang sulit seperti ekstraksi cunam yang
sulit, dekapitasi, versi dan ekstraksi, perforasi dan lain-lain, untuk
menentukan apakah ada rupture uteri. Eksplorasi juga dilakukan pada
pasien yang pernah mengalami seksio sesarea dan sekarang melahirkan
pervaginam.
B. Penatalaksanaan
Tangan masuk secara obstetrik seperti pada pelepasan plasenta
secara manual dan mencari sisa plasenta yang seterusnya dilepaskan atau
meraba apakah ada kerusakan dinding uterus. Untuk menentukan robekan
dinding rahim eksplorasi dapat dilakukan sebelum plasenta lahir dan
melepaskan plasenta secara manual.
(Saifudin, Abdul Bari . 2005. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo)
2.7 Gangguan Pembekuan Darah
2.7.1 Mekanisme pembekuan perdarah
Penghentian terjadi perdarahan postpartum sangat penting, oleh
karena selama kehamilan terjadi sirkulasi retroplasenta yang makin lama
makin meningkat, sehingga pada akhir kehamilan berjumlah sekitar 50033
berikutnya
sudah
mulai
pembentukan
epitelia,
menuju
34
36
37
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perdarahan pasca persalinan/pasca partum atau dikenal juga sebagai
hemoragi postpartum (HPP), yang merupakan perdarahan per vaginam
yang melebihi 500 ml setelah bersalin
Klasifikasi perdarahan postpartum yakni Perdarahan pasca persalinan dini
(early postpartum haemorrhage) dan Perdarahan pasca persalinan lanjut
(late postpartum haemorhage)
Penyebab umum perdarahan pasca partum, antara lain : atonia uteri,
retensio plasenta, inversio uteri, robekan jalan lahir, sisa plasenta dan
gangguan pembekuan darah
Prinsip penatalaksanaan untuk pasien dengan perdarahan pasca persalinan
yang terbaik adalah tindakan pencegahan dan penanganan segera setelah
diketahui perdarahan pasca persalinan harus ditentukan adanya syok atau
tidak.
3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini yang berjudul Penanganan Perdarahan
Postpartum diharapkan Bidan sebagai tenaga profesional yang diandalkan
oleh masyarakat dapat mengenali sedini mungkin tanda-tanda perdarahan
pasca salin dan bidan juga diharapkan mampu melakukan konsultasi dan
rujukan segera dengan cepat dan tepat ke fasilitas kesehatan yang lebih
lengkap.
38
DAFTAR PUSTAKA
Hanifah,dkk. 2011. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta:PT Bina Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
http:\Users\User\Downloads\Documents\jtptunimus-gdl-dwiastutik-7866-3babii.pdf diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 19.00 WIB
Manuaba, Ida Bagus. 2004. Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Gynekologi.
Jakarta: EGC
Maryunani, Anik, Yulianingsih. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam
Kebidanan. Jakarta: Trans Info Media
Triana, Ani, dkk. 2015. Kegawatdaruratan Maternal Dan Noanatal. Yogyakarta :
Deepublish
Varney,Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan . Jakarta : EGC
_____.2008. Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergens Dasar (PONED) .
Jakarta :JNPK-KR
39