You are on page 1of 21

PERSONAL SPACE DAN TERRITORY

Syurawasti Muhiddin, Sitti Shaqylla S., Hardyanti, Sukma Khasanah


Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

1. Pendahuluan
Psikologi lingkungan merupakan ilmu perilaku yang mengkaji hubungan
antara

lingkungan fisik dan perilaku manusia. Interrelasi yang terjadi antara

manusia dengan lingkungan berawal dari persepsi (psikis), rangsangan (fisikorganis) dan dampak (lingkungan). Ketiga komponen ini menjadi masukan dan
menyatu, baik pada manusia, maupun pada berbagai sistem yang ada di
lingkungan. Salah satu topik kajian dalam bidang psikologi lingkungan adalah
perilaku lingkungan.
Ketika kita mengaitkan perilaku manusia terhadap lingkungannya, kita akan
melihat pola perilaku yang menunjukkan bahwa manusia sama sekali berlainan
dengan jenis spesies makhluk lain yang menghuni lingkungan yang sama.
Manusia mampu memberikan makna terhadap lingkungan tersebut. Manusia juga
memiliki kemampuan menciptakan lingkungannya sendiri yang terdapat dalam
benaknya. Dengan kemampuan kognitifnya, yang tidak dimiliki spesies lain,
manusia memberikan struktur terhadap lingkungannya. Manusia selalu berusaha
untuk memperoleh keselarasan dengan lingkungannya.
Struktur lingkungan yang terdapat pada manusia lebih banyak berupa
mental-representation dari lingkungan tersebut. Dengan demikian, struktur
lingkungan lebih bersifat subjektif. Apabila subjektivitas tersebut menyangkut
banyak orang maka dikatakan bahwa ada pemaknaan budaya mengenai
lingkungan hidup.
Interaksi yang terjadi antara manusia dengan lingkungan dapat disejajarkan
dengan orientasi sosial yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial dalam setting
lingkungan. Perilaku tersebut dapat berwujud dalam bentuk agosentris, dimana
manusia hanya bergantung pada sumber-sumber yang ada di sekitar lingkungan.
Perilaku tersebut dapat pula berwujud holosentris dimana perilaku ini mengacu

kepada konsep resiprokal. Dalam orientasi sosial, terdapat pemaknaan terhadap


ruang / spasial yang terdiri atas empat unsur (Altman, 1975), yaitu private space,
personal space, territorial space dan crowding. Pada paper ini akan dibahas
mengenai personal space dan territorial space. Secara lebih spesifik paper ini
terdiri dari beberapa sub pembahasan, yaitu konsep dan teori tentang personal
space dan territory, hasil temuan dalam jurnal, serta hasil analisis wawancara
terkait personal space dan territorry
2. Konsep dan Teori tentang Personal space dan Territory
2.1. Definisi Personal space
Personal space mengatur seberapa dekat kita berinteraksi dengan orang
lain, berpindah, bergerak bersama kita dan meluas serta menyempit sesuai dengan
situasi dimana kita berada. Individu tersebut selalu menjadi pusat dari personal
spacenya. Personal space adalah teritori yang ditandai secara fisikal, teritorialitas
merupakan suatu proses berdasarkan kelompok, sedangkan personal space lebih
kepada proses individual.
Robert Sommer (Halim, 2005) mengemukakan bawha Personal space itu
seperti gelembung atau bulatan yang tak terlihat, mengelilingi dan dibawa-bawa
oleh suatu organisme dan ada di antara dirinya dan orang lain, yaitu bufer zone
atau jarak individu dengan yang lain yang tidak terbagi. Personal space individu
bersifat dinamis dan dimensi dapat berubah, apabila ruang tersebut dimasuki oleh
orang lain maka akan menimbulkan stress dan kegelisahan.
Karakteristik individu seperti kepribadian, suasana hati (mood), jenis
kelamin, dan usia bersama dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya
yang bertautan dengan konteks lingkungan fisik yang berbeda, sangat
mempengaruhi personal space yang dimiliki seseorang. Misalnya personal space
laki-laki menjadi besar ketika ia bergaul dengan laki-laki dibandingkan ketika
bergaul dengan perempuan.
personal space seseorang biasanya bertambah sejalan dengan usia, namun
akan berkurang kembali pada umur-umur tertentu. Pada sekolah-sekolah dasar di
Amerika personal space anak-anak dengan sesama etnisnya akan lebih besar
dibandingkan dengan anak-anak dari etnis lain.
2.2. Teori Personal space
Istilah personal space pertama kali dikemukakan oleh Katz (1937), konsep
mengenai personal space tidak hanya ada di psikologi namun juga dijelaskan di

ilmu biologi, antropologi dan arsitektur. Kita mempertahankan personal space


antara diri kita dengan orang lain untuk menghindari stimulasi yang berlebihan
menurut subjektifitas masing-masing. Scott (Halim, 2005) menyatakan bahwa
terlalu dekat jarak kita dengan orang lain akan menyebabkan kita terlalu banyak
dihujani oleh stimulan sosial ataupun fisikal. Kita mempertahankan personal
space untuk menghindari berbagai macam penyebab stres yang diasosiasikan
dengan jarak yang terlalu dekat. Teori behavior-constraint menyarankan personal
space seseorang harus dijaga untuk mencegah kebebasan perilaku seseorang yang
terlalu dekat dengan kita.
Seorang antropolog Edward T. Hall (Halim, 2005) mengkonsepkan
personal space sebagai bentuk dari komunikasi nonverbal. Menurutnya jarak
antarindividu menentukan kualitas dan kuantittas stimulasi yang dipertukarkan.
Jarak tersebut juga menentukan jenis hubungan antar individu dan jenis aktivasi
yang dilakukan.
Altman (Halim, 2005) mengemukakan bahwa melihat personal space
sebagai mekanisme pengaturan batasan untuk mencapai tingkat privasi pribadi
yang diinginkan, privasi ialah proses batasan interpersonal dimana orang
mengatur interaksi dengan orang lain. Dengan variasi luas ruang personalnya,
Individu memastikan tingkat privasi yang mereka inginkan, agar menjadi
konsisten, Jika gagal mengatur pembatasan tersebut efek negatif dapat muncul.
Jika semua konsep tersebut digabungkan personal space dapat dianggap
sebagai mekanisme pengaturan batasan interpersonal yang mempunyai dua fungsi
utama. pertama, fungsi protektif sebagai penahan terhadap ancaman emosi dan
fisik yang potensial dan kedua menyangkut komunikasi. Jarak yang kita
pertahankan dengan orang lain menentukan saluran sensor komunikasi mana yang
paling penting dan akan dipakai dalam interaksi kita.
2.3. Penelitian Ruang Personal
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa hasil penelitian, yang dimulai dari
penelitian yang melihat hubungan antara kondisi situasional dengan ruang
personal, selanjutnya adalah hasil penelitian tentang pengaruh variabel perbedaan
individual terhadap perilaku spasial dan yang terakhir mengenai bagaimana faktor
fisikan mempengaruhi karakter interpersonal.
a. Faktor Situasional
Penelitian
eksperimental
mengenai
mengeksplorasi

pengaruh

ketertarikan

variabel

antarindividu

situasional
dengan

telah

karakteristik

interpersonal yang sama pada beragam dimensi (seperti usia, ras dan jenis
kelamin) dalam konteks interaksi perilaku spasial antarindividu. Penelitianpenelitian tersebut telah mengidentifikasikan beberapa hal yang konsisten sebagai
berikut.
Ketertarikan (Attraction). Salah satu topik yang cukup menarik untuk
diteliti adalah, bagaimana ketertarikan di antara orang yang berinteraksi
mempengaruhi ukuran dan jarak interpersonal? Lagu-lagu cinta seringkali berisi
tema tentang kekasih yang menginginkan kedekatan fisik dengan orang yang
berada jauh dari sisinya. Semakin kuat ketertarikan antarindividu semakin mereka
ingin dekat secara fisik dengan orang tersebut., tetapi hubungan antara afeksi dan
ruang personal lebih kompleks dan tergantung juga pada jenis kelamin orang yang
berinteraksi
Hasil penelitian membuktikan bahwa ketika laki-laki dan perempuan
berinteraksi, ketertarikan yang meningkat diasosiasikan dengan kedekatan fisik.
Penelitian Byrne, dkk memanipulasi ketertarikan dengan memasangkan laki-laki
dan perempuan yang sama dan tidak sama kepribadiannya dalam kencan singkat.
Dari penelitian psikologi sosial, diketahui bahwa individu yang mempunyai
kesamaan kepribadian cenderung lebih tertarik satu sama lain dibandingkan
sebaliknya. Ketika pasangan-pasangan tersebut dikembalikan dari kencan, peneliti
mengukur derajat ketertarikan mutual mereka, begitu juga dengan jarak antar
mereka saat mereka berdiri di depan meja mereka. Pasangan yang sama
kepribadiannya berdiri lebih dekat daripada pasangan yang tidak sama. Penelitian
tambahan melihat apakah hubungan ketertarikan, kedekatan untuk lawan jenis
terjadi karena laki-laki yang mendekat pada perempuan, atau sebaliknya.
Penelitian ini menemukan bahwa jarak yang semakin kecil di antara teman dekat
yang berlainan jenis terjadi karena perempuanlah yang mendekat kepada laki-laki
yang disukainya, perempuan merespon ketertarikan lebih secara spasial
dibandingkan laki-laki.
Penelitian juga menunjukkan dalam beberapa kasus bahwa hubungan dyad
(dua orang) dalam interaksi akan meningkat pada jarak yang lebih dekat seiring
dengan meningkatnya persahabatan. Bell dkk mengemukakan bahwa ruang
personal yang semakin mengecil atau jarak yang mendekat merupakan hasil dari
ketertarikan yang meningkat.

Kesamaan (Similarity). Berdasarkan pada penelitian sebelumnya telah


terbukti bahwa jarak yang lebih dekat akan dipertahankan pada individu yang
lebih sama usia, ras, subbudaya, agama, orientasi seksual dan statusnya,
dibandingkan yang tidak sama. salah satu setting yang dapat membuktikan adalah
dalam militer ketika berinteraksi dengan atasan akan berbeda dengan teman yang
memiliki pangkat yang sama, semakin besar kesamaan yang ada maka semakin
kecil jarak interpersonal.
Alasan mengapa kesamaan dan ketertarikan mengarah pada jarak
interpersonal yang semakin dekat, hal tersebut karena salah satu fungsi ruang
personal adalah proteksi terhadap ancaman, maka orang lebih mau berinteraksi
pada jarak yang lebih dekat dengan orang lain berkarakter sama dengannya
dibandingkan yang tidak berkarakter sama, karena orang tersebut berasumsi
bahwa ia lebih mampu mengenal kondisi individu yang sama dengan dirinya.
Jenis Interaksi. Hal ini berkaitan dengan kualitas hubungan interpersonal
yang mana topik didalamnya menyenangkan ataukah tidak menyenangkan, orangorang yang mendapatkan umpan balik negatif akan penampilannya dalam sebuah
kelompok akan membuat individu tersebut berada jauh dari kelompok
dibandingkan sebaliknya, hal tersebut dapat disimpulkan bahwa situasi yang
negatif akan membuat orang mengarah pada jarak yang lebih jauh
b. Faktor Perbedaan Individual
Pada kondisi situasional, perbedaan antar individu yang mencerminkan
pengalaman belajar juga menentukan ruang personal, misalnya budaya, norma dan
nilai seseorang akan mempengaruhi apakan individu menganggap penting
berkomunikasi dengan melakukan kontak indera, pada fungsi protektif akan
mempengaruhi individual dalam nilai-nilai yang dianut berkaitan dengan besar
ruang yang diperlukan untuk melindungi diri dari ancaman.
Faktor Budaya dan Ras. Individu yang dibesarkan dalam budaya yang
berbeda akan memiliki pengalaman belajar yang berbeda, perbedaan antar budaya
dalam jarak interpersonal termasuk didalamnya ketidaksamaan yang ada di antara
kelompok sub budaya dalam sebuah budaya besar, kelompok budaya cenderung
untuk berinteraksi pada jarak yang lebih ekat dengan anggota dari sub budaya
mereka sendiri daripada yang bukan anggota.
Perbedaan Jenis Kelamin. Laki-laki dan perempuan menunjukkan
perilaku spasial yang berbeda terhadap orang yang disukai dan tidak disukainya,

perempuan berinetraksi pada jarak yang lebih dekat dengan orang yang
disukainya, sedangkan laki-laki tidak membedakan spasial sebagai fungsi dari
ketertarikan. Dalam hal jarak interpersonal dengan orang lain yang berjenis
kelamin sama, pasangan perempuan dengan perempuan mempertahankan jarak
yang lebih dekat daripada pasangan laki-laki dengan laki-laki. Penemuan ini
merefleksikan sosialisasi perempuan lebih afiliatif dan lebih berpengalaman
dengan intimasi nonverbal.
Faktor Kepribadian. Duke dan Nowicki memperlihatkan perbedaan ruang
personal berdasarkan konsep internal dan eksternal, dan mengatakan bahwa
perilaku spasial dapat merefleksikan pengalaman belajar. Pada penelitian
dibandingkan seseorang yang mengalami schizophrenia dengan normal, bahwa
orang yang menglami schizophrenia membutuhkan ruang yang lebih luas, juga
ditemukan bahwa individu yang cemas mempertahankan ruang personalnya
daripada yang tidak cemas.
c. Faktor Fisikal Ruangan
Penelitian menunjukkan beberapa faktor fisik untuk penentuan ruang antar
personal, pertama, bebrapa fitur arsitektur mempengaruhi ruang personal, Savinar
menemukan bahwa laki-laki lebih banyak membutuhkan ruang bila tinggi plafon
ruangan rendah daripada palfon yang tinggi. White (Halim, 2005) mengemukakan
bahwa ruang personal meningkat seiring dengan berkurangnya ukuran ruang.
Gergen dan Bartong (Halim, 2005) mengemukakan bahwa kita cenderung
menyentuh orang lain, yang membuat kita merasa tidak nyaman ketika gelap
daripada dalam kondisi pencahayaan yang lebih terang.
Selain fitur arsitektur, posisi orang dalam ruangan apakah duduk atau
berdiri, apakah merasa ada didalam ataupun di luar ruangan, juga mempengaruhi
ruang personal, mengenai posisi dalam rauangan, beberapa penelitian menemukan
bahwa berdasarkan berbagai macam populasi subjek, orang memperlihatkan ruang
personal yang lebih besar bila berada di pojok ruangan daripada bila berada di
tengah ruangan. selain itu ternyata kita menjaga jarak yang lebih dekat ketika
berdiri daripada ketika kita duduk. Ketika seseorang tahu dirinya dapat
menghindari, biasanya orang tersebut cukup puas dengan ruang personal yang
kecil saja.
2.4. Zona Personal Space
Zona

Hubungan yang Sesuai

Kualitas Sensori

Intimate

dan Aktivitas
Distance: Kontak
yang
intim Kesadaran

yang

intens

berjarak antara 0 -1,5 (seperti seseorang yang terhadap masukan sensoris


kaki/ 8 inci

saling

mencintai

merasa

nyaman), dari

olahraga

fisik

distance: Kontak

berjarak antara 1,5- 4 dekat,


kaki

seseorang;

sebagai

model

dasar

komunikasi
teman Kesadaran terhadap masukan

antara
serta

sentuhan

(seperti yang mendahuluan vokalisasi

gulat).
Personal

dan (seperti bau dan suhu tubuh)

interaksi sensori

sehari-hari

lebih

kurang

dengan dibandingkan pada intimate

kenalan.

distance; pandangan visual


normal

dan

menghasilkan

umpan balik yang detail;


akses saluran verbal untuk
komunikasi
Social

sentuhan
distance: Kontak impersonal (tidak Masukan

berjarak antara 4-12 pribadi)


kaki

atau

bisnis

kontak minimal;
disediakan

dibandingkan
sensori

yang

informasi

yang

oleh

saluran

visual kurang detail darpada


personal distance; level suara
yang normal dipertahankan
(terdengar pada jarak 20
kaki), tidak memungkinkan
Public

Distance: Kontak

formal

ada sentuhan.
antar Tidak ada masukan sensori;

berjarak lebih dari 12 individu (seperti aktor tidak ada masukan visual
kaki

dan

politikus)

publik.

dengan yang detail; tingkah laku


nonverbal

yang

dilebih-

lebihkan untuk melengkapi


komunikasi verbal; bayangan
suatu makna dapat hilang

pada jarak ini.


2.5. Zone Ruang yang Memudahkan Tujuan
Jarak seperti apa yang memberikan hasil terbaik pada hubungan dyad?
posisi duduk seperti apa yang lebih menunjang interaksi guru dan murid di dalam
kelas? bagaimana posisi konselor yang mampu meghasilkan kedekatan pribadi
dengan klien? dan lainnya, beberapa penelitian mengenai topik ini dapat dipakai
sebagai referensi awal penelitian selanjutnya.
a. Jarak Optimal dalam Lingkungan Belajar
Secara umum interaksi antara guru dan siswa dalam situasi belajar dyadic
akan mempengaruhi efektifitas belajar siswa, dalam penelitian skeen (1976)
subjek diberi tugas pada jarak 15 cm dan 45 cm dari gurunya, dan murid tersebut
mengerjakan tugas lebih baik pada jarak intim 15 cm dibandingkan jarak personal
yang 45 cm, semakin kecil jarak antar siswa semakin baik pembelajaran yang
dihasilkan.
Tetapi untuk kelas tipikal yang banyak siswa di dalamnya, manakah posisi
tempat duduk paling baik untuk mendapatkan nilai terbaik? Kinarthy (1975)
menyarankan untuk duduk di bagian tengah baris depan yang menimbulkan
tingkat komunikasi tinggi, mendorong verbalisasi dan menfasilitasi atensi,
biasanya siswa yang duduk di tengah depan memiliki self esteem tinggi dan
mendapatkan nilai baik di kelas.
b. Jarak Optimal dalam Interaksi Profesional
Brokeman dan Moller (1975) mengemukakan bahwa jarak menengah
adalah yang paling baik untuk konseling, pasien para ahli jiwa lebih suka
menceritakan masalah-masalah personal pada jarak-jarak menengah, pola ini juga
ditemukan pada eksperimen yang dilakukan Stone dan Morden yang
mengemukakan bahwa untuk para mahasiswa, dimana mereka lebih suka
mendiskusikan topik pribadi dengan konselornya pada jarak 1,5 m ketimbang
pada jarak 0,3 m atau 2,7 m. Karena jarak ini secara kultural sesuai dengan
komunikasi jenis itu, maka hal ini mendukung prediksi Hall, yang menyatakan
bahwa penyimpangan pada jarak yang seusai akan menimbulkan pengaruh
negatif.
c. Jarak Optimal Interaksi Kelompok.
Jarak-jarak ruang dapat dimanipulasi untuk mempenagruhi proses
kelompok, jika psikolog lingkungan ingin menciptakan interaksi kelompok, maka
ruangan perlu dirancang dalam konfigurasi sociopetal yaitu penataan perabot yang

membuat orang ingin berkumpul misalnya menaruh sofa set ruang keluarga.
Sommer dan rose (Halim, 2005) juga mengemukkaan bahwa dekorasi yang terlalu
bagus di rumah sakit dapat menumbuhkan depresi dan efek isolasi pasien, posisi
duduk yang berhadapan dan melingkar lebib menimbulkan interaksi dibandingkan
yang saling berdampingan menghadap tembok.
Pada kelompok kecil, orang lebih suka berbicara pada orang yang posisinya
berhadapan dengannya atau yang paling dekat dengan pandangannya, dan orang
yang berada pada posisi di pusat kelompok biasanya orang yang paling banyak
memulai komunikasi, oleh sebab itu orang yang memilih untuk duduk di pojok
tengah meja segi empat atau meja lonjong biasanya menjadi pemimpin kelompok
dan mendominasi inetraksi dalam kelompok.
2.6. Ukuran Ruang Personal
Persepsi ruang personal yang optimal atau tidak optimal pada jarak tertentu
tergantung pada kondisi situasional dan perbedaan individual. Jika persepsi
terhadap ruang personal adalah optimal maka keseimbangan akan terjaga.
Sebaliknya jika persepsi terhadap ruang personal tidak optimal akan muncul
bermacam respon yang terjadi. Oleh sebab itu perlu diprediksi jarak yang tidak
sesuai, apa konsekuensinya, serta bagaimana resiprokasi (pendekatan) bisa terjadi.
Memprediksi Efek Jarak yang Tidak Sesuai dan Konsekuensinya
a. Pada jarak yang tidak sesuai bisa memicu terjadinya penurunan kinerja
b. Muncul respon-respon tertentu yang bertujuan untuk mengubah jarak menjadi
lebih optimal
c. Dalam hubungannya dengan stress bisa terjadi reaksi emosional, perilaku, dan
fisiologis
d. Konsep arousal berasumsi bahwa jarak yang terlalu dekat akan menyebabkan
over-arousal yang menimbulkan atribusi-atribusi tertentu
e. Model Equilibrium dan Comfort berasumsi bahwa jarak terlalu dekat atau
terlalu jauh akan memunculkan reaksi kompensasi seperti perubahan orientasi
tubuh dan pandangan mata
f. Model Pengaturan Privasi dari Altman berasumsi bahwa ruang personal yang
tidak mencukupi akan menopang mekanisme kontrol yang memastikan
terciptanya privasi
g. Pendekatan Behavior-Constraint menyatakan bahwa ketidakcukupan ruang
personal akan menghasilkan perasaan menentang yang menuntut kebebasan
ruang

h. Model Properti Komunikasi oleh Hall menyatakan bahwa ketika ruang


personal dirasa tidak cukup akan timbul komunikasi dan kesimpulan yang
negatif
i. Model Etologi Evan dan Howard menyatakan bahwa ketidakcukupan ruang
personal menimbulkan perasaan takut, terancam, dan agresi.
Jika penanggulangan terhadap ketidaksesuaian jarak personal berhasil, maka
akan terjadi adaptasi, habituasi, dan pengaturan perubahan tingkat privasi, yang
akhirnya meningkatkan ketertarikan sebagai efek kumulatif, dan pada akhirnya
akan menimbulkan kelelahan. Sebaliknya jika penanggulangan tidak berhasil
maka akan menimbulkan stress, aurosal yang berkelanjutan, yang pada akhirnya
menyebabkan kinerja menurun.
Secara umum, jarak yang tidak sesuai (baik jarak yang dekat ataupun jauh)
akan menimbulkan konsekuensi berupa ketidaknyamanan sehingga muncul
berbagai macam respon atas ketidaknyamanan tersebut.
Resiprokasi
Jarak interpersonal yang tidak sesuai cenderung berakibat negatif, ternyata
bisa sebaliknya. Misalnya pada orang yang saling menyukai, respon resiprok akan
terjadi di mana jarak interpersonal akan semakin kecil. Tetapi hal ini sangat
bergantung pula pada situasi, perbedaan individual, dan efek yang ditimbulkan.
2.7. Efek dari Menginvasi (Mendekati) Ruang Personal Orang Lain
a. Bisa muncul perilaku menghindari pada orang yang terinvasi
b. Sebagai respon, arousal fisiologis bisa menyebabkan stress pada orang yang
terinvasi
c. Menurunkan kemampuan memproses informasi pada orang terinvasi,
contohnya saat sedang membaca buku di perpustakaan lalu ada seseorang yang
mendekat, seringkali orang terinvasi akan terganggu dalam memproses
informasi dari buku yang sedang dibaca
d. Dapat menurunkan kinerja pada orang yang terinvasi. Tetapi hal ini juga
bergantung pada kompleksitas pekerjaan. Jika pekerjaan tidak terlampau sulit,
kinerja tidak terlalu terlihat negatif, namun jika pekerjaan adalah pekerjaan
sulit invasi menjadi sangat menurunkan kinerja
e. Jika penginvasi adalah anak usia dini, hal itu bisa direspon positif oleh orang
dewasa. Bebeda jika penginvasi adalah anak usia 10 tahun ke atas, hal itu bisa
respon negatif oleh orang dewasa. Namun hal ini tidak selalu sama pada setiap
orang karena perbedaan individual

f. Sebuah hasil penelitian menunjukkan, ada efek perbedaan jenis kelamin, di


mana wanita berespon lebih negatif pada posisi bersebelahan sementara pria
berespon lebih negatif pada posisi berhadapan. Dalam proses sosialisasi, pria
bersifat lebih kompetitif dibandingkan wanita
g. Bagi orang yang menginvasi, invasi terhadap ruang personal orang lain juga
dapat dirasakan sebagai situasi yang mengancam bagi ruang personalnya
sendiri dan ingin dihindari sebisa mungkin.
h. Wanita lebih mudah menginvasi orang yang tersenyum dibandingkan orang
dengan wajah masam. Laki-laki lebih mudah menginvasi orang yang
membelakangi dirinya.
i. Invasi akan menurun pada orang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi
misalnya birokrat, pengusaha, pemuka agama, dll.
Ternyata selain jarak personal pada individu, kelompok juga memiliki jarak
personal tertentu dengan kelompok lainnya. Kelompok juga akan menghasilkan
respon kompensasi berupa menghindar ketika ruang mereka terganggu. Bahkan
mereka bisa saja berpindah secara bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa
kelompok akan mempertahankan ruang personal walau dihadapkan pada kondisi
invasi.

2.8. Territoriality
Sebelum menjelaskan mengenai bagian ini, ada baiknya kita pahami dahulu
perbedaan istilah dari territory dan territoriality. Istilah territory atau
wilayah menurut KBBI adalah (n) daerah (kekuasaan, pemerintahan,
pengawasan, dsb); lingkungan daerah (provinsi, kabupaten, kecamatan).
Sedangkan menurut Storey (van Efferink, 2015), istilah territory dapat dilihat
sebagai ruang geografis terbatas yang diklaim atau diduduki oleh seseorang,
sekelompok orang, atau institusi. Sedangkan istilah territoriality atau
territorial menurut KBBI adalah (a) mengenai bagian wilayah (daerah hukum)
suatu negara. Menurut Storey (van Efferink, 2015), istilah territoriality merujuk
pada pengklaiman sebuah ruang oleh individu atau kelompoklebih kepada
hubungan sosial dan wilayah, bagaimana cara mereka diproduksi, hasil dari
praktek-praktek sosial dan proses-prosesnya, muncul dalam kondisi tertentu, dan
melayani tujuan-tujuan tertentu.

Teritorial adalah sesuatu hal yang cukup mirip dengan personal space,
sama-sama adalah suatu mekanisme regulasi batasan interpersonal dengan
karakteristik tertentu yang berbeda-beda pada setiap individu. Bedanya, personal
space adalah batasan yang tidak terlihat, dapat dipindahkan (ikut berpindah
dengan individunya), person centered, dan meregulasikan seberapa dekat individu
akan berinteraksi, sedangkan wilayah (territory, kami akan menggunakan istilah
territory untuk paper ini) adalah batasan yang dapat dilihat secara nyata, relatif
tidak bergerak, tampak dibatasi, biasanya home centered, serta meregulasi siapa
yang akan berinteraksi (Sommer dalam Bell, et al., 1996). Territory dapat dilihat
sebagai sebuah tempat yang dimiliki atau dikontrol oleh seorang indivdiu atau
lebih. Selain itu, territory juga berperan dalam mengorganisir interaksi antar
individu dan kelompok, sebagai kendaraan untuk memperlihatkan identitas
seseorang, dan dapat diasosiasikan dengan perasaan, value, atau rasa attachment
pada suatu ruang.
Kata teritorial sendiri sulit untuk didefinisikan dan mengalami banyak
kontroversi di antara para peneliti. Menurut Bell, dkk (1996)yang
mendefinisikan

teritorial

berdasarkan

pandangan

mainstreamhuman

territoriality dapat dilihat sebagai sebuah set perilaku dan kognisi seseorang atau
sebuah kelompok perlihatkan, berdasarkan dari rasa kepemilikan dari ruang fisik.
Rasa kepemilikan di sini dapat mengacu pada sesuatu yang benar-benar dimiliki
(seperti rumah), atau sebuah kontrol pada suatu ruang (seperti kantor, dapat
dikontrol tapi tidak dimiliki). Gifford, dkk (2010) juga mendefinisikan teritorial
pada manusia adalah sebuah pola perilaku dan pengalaman yang berhubungan
dengan sebuah kontrol yang biasanya nonviolent (tanpa kekerasan) pada ruang
fisik, objek, dan ide. Lalu Holahan (dalam Latifadila, et al., 2014) menyatakan
bahwa teritorial adalah suatu tingkah laku diasosiasikan sebagai kepemilikan atau
tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan
pertahanan dari serangan orang lain.
Perilaku teritorial bermanfaat pada motif dan kebutuhan yang penting untuk
organisme, termasuk juga pada saat menempati sebuah area, mendapatkan kontrol
terhadap area tersebut, mempersonalisasikannya, pemikiran, kepercayaan, atau
perasaan mengenai area tersebut, serta melindungi area tersebut. Konsep dari

territory dan territoriality mengilustrasikan sifat interdependent dari transaksi


manusia-lingkungan. Tidak akan ada teritorial tanpa wilayah, dan begitu juga
sebaliknya (Carpenter dalam Bell, et al., 1996).
Ada tiga tipe dari territory yang digunakan oleh manusia menurut Altman
dan koleganya (1975), yaitu:
1. Primary Territory
Territory yang paling penting. Rasa kepemilikan seseorang atau sebuah
kelompok tinggi, biasanya dimiliki secara permanen. Pemiliknya juga memiliki
kontrol secara penuh pada area tersebut, dan gangguan (intrusi) adalah hal yang
serius. Contoh: rumah, kantor
2. Secondary Territory
Tidak dimiliki oleh seseorang atau sebuah kelompok, tetapi digunakan secara
reguler oleh individu atau sebuah kelompok serta berbagi area tersebut dengan
orang lain. Rasa kepemilikan akan tempat yang termasuk secondary territory
termasuk sedang. Penghuni area tersebut dilihat sebagai salah satu dari
sejumlah pengguna yang berkualitas untuk menghuni tempat tersebut. Dapat
dipersonalisasi sampai batas tertentu selama periode waktu yang sah untuk
penghuni tersebut. Contoh: ruang kelas, kantin, perpustakaan (di mana
dia/mereka sering menempati tempat tersebut).
Khusus untuk secondary territory, Goffman membaginya ke dalam tiga bentuk,
yaitu:
- Stalls: territory objek yang ditentukan oleh jadwal tertentu seperti hotel,
-

penginapan dan ruang kuliah.


Turns: territory yang menekankan intensitas giliran (antrian) lebih cepat

seperti telepon umum, karcis bioskop.


Use-Space: territory yang digunakan bersama (kelompok tertentu) seperti

museum, lapangan tembak, dan pacuan kuda.


3. Public Territory
Tidak dimiliki oleh seseorang atau sebuah kelompok. Rasa kepemilikan akan
area tersebut rendah. Sangat susah untuk memegang kendali atas area tersebut.
Area yang termasuk public territory juga digunakan dan dihuni oleh individu
dalam jumlah yang sangat banyak dan sebanyak mungkin. Beragi atas ruang
dan semua orang memiliki hak yang sama pada area atau ruang tersebut.
Contohnya adalah pantai, mall, taman, ruang tunggu, dan lain-lain.
2.9. The Origin of Territorial Functioning

Ada yang mengatakan bahwa human territoriality bersifat instictive, ada


juga yang mengatakan bahwa hal itu adalah hasil belajar, dan ada juga yang
berpendapat bahwa hal tersebut adalah sebuah interaksi antar keduanya. Menurut
pandangan instictive, manusia dan hewan sama-sama memiliki dorongan untuk
mengklaim dan mempertahankan territory-nya. Sedangkan pandangan bahwa
teritorial adalah hasil belajar menyatakan bahwa hal tersebut adalah hasil dari
pengalaman masa lalu dan dari budaya manusia. Lalu dari perspektif yang lain,
dimana berpendapat bahwa teritorial adalah hasil dari interaksi antara insting dan
hasil belajar, melihat bahwa kedua proses tersebut berkontribusi terhadap tindakan
teritorial. Adalah hal yang mungkin jika territoral behavior manusia cenderung
menuju arah instictive, tetapi dari proses belajarlah yang menentukan intensitas
dan bentuk dari perilaku kita.
2.10.

Fungsi dari Territoriality


Ada banyak fungsi dari teritorial. Dibandingkan dengan hewan, manusia

memiliki fungsi teritorial yang lebih fleksibel. Fungsi-fungsi tersebut adalah:


1. Sebagai organizers dalam berbagai dimensi, contohnya adalah membuat
map mengenai tipe-tipe perilaku, dapat mengantisipasi beberapa tempat,
siapa yang akan kita temui, apa status seseorang, dan lain-lain.
2. Membantu untuk merencanakan dan mengatur kehidupan sehari-hari kita
3. berkontribusi dalam mengatur, berhubungan dengan peran sosial.
Intinya, bagaimana territories berfungsi dalam mengorganisasikan
sesuatu bergantung pada ruang tertentu. Contohnya adalah saat seseorang berada
pada ruang tidur, maka ruang tersebut diatur agar dapat menyediakan sebuah
tempat yang cocok untuk sendirian, memperbolehkan keintiman, dan dapat
mengekspresikan identitas personal. Contoh lain adalah tempat umum seperti
perpustakaan, maka teritori mengatur ruang sedemikan rupa untuk menyediakan
sebuah tempat yang memiliki mekanisme jarak interpersonal.
Perlu diketahui juga bahwa territories dapat membuat seseorang merasakan
perasaan istimewa, khas, privasi, dan sense of personal identity. Seseorang juga
dapat mengalami self-concept yang lebih tinggi dikarenakan territory yang
mereka miliki, dan dengan cara mereka mempersonalisasikannya. Maka ada orang
yang dengan bangga mengatakan atau menyebutkan diri mereka sebagai
seseorang yang tinggal di rumah hijau di daerah Tanjung misalnya.

2.11. Territory and Aggression


Salah satu hal menarik dalam mempelajari territoriality adalah ada
hubungan antara territory dan agresi. Sering tidak disadari, tetapi territory dapat
menjadi sebuah pemicu agresi atau menjadi stabilisator untuk mencegah agresi,
tergantung dari situasinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi mengenai
hubungan teritorial dan agresi adalah status dari territory tertentu, apakah tidak
tetap/jelas, terjadi sengketa, atau tetap/jelas. Agresi menjadi lebih sering
ditemukan pada territory yang terjadi sengketa atau ketidakjelasan/ketidaktetapan
(territory menjadi pemicu). Kebalikannya, territory yang sudah tetap atau jelas
beserta batasan-batasannya biasanya stabil dan kurangnya ditemukan rasa
permusuhan di area tersebut (territory menjadi stabilisator).
3. Temuan dalam Jurnal
Salah satu hasil penelitian menunjukkan kaitan aspek biologis dengan
personal space. Peneliti menemukan bahwa amygdala diaktivasi secara berebda
oleh kedekatan dengan orang lain. Kerusakan bilateral lengkap untuk struktur ini
pada subjek SM mengakibatkan tidak adanya batas ruang pribadi yang terdeteksi
dan preferensi jarak interpersonal yang kecil secara abnormal.
Temuan kami menunjukkan bahwa amigdala dapat memediasi gaya tolak
yang membantu untuk menjaga jarak minimal antara orang-orang. Selanjutnya,
temuan kami konsisten pada monyet dengan lesi amigdala bilateral, yang tinggal
dalam jarak dekat dengan monyet atau orang lainnya, suatu efek kami sarankan
muncul dari tidak adanya respon emosional yang kuat untuk pelanggaran ruang
pribadi (Kennedy, Glscher, Tyszka & Adolphs, 2009).
Penelitian selanjutnya melihat personal space dalam collaborative virtual
environments (CVEs). Manusia saat ini mulai menghabiskan lebih banyak waktu
dalam lingkungan virtual kolaboratif (CVEs) sehingga menjadi penting untuk
mempelajari interaksi mereka dalam lingkungan tersebut. Salah satu aspek dari
interaksi tersebut adalah personal space. Peneliti telah melakukan penyelidikan
empiris dalam suatu lingkungan virtual. Peneliti melakukan percobaan untuk
mengetahui pengaruh ruang pribadi pada gender avatar, dan penelitian
observasional untuk lebih mengeksplorasi keberadaan ruang pribadi. Hasil
penelitian memberikan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa gender avatar

memiliki pengaruh terhadap ruang pribadi meskipun peserta tidak memiliki


kecemasan invasi personal space yang tinggi. Hal ini bertentangan dengan
kecemasan invasi personal space yang tinggi yang biasa dirasakan dari invasi
personal space di dunia fisik. Meskipun demikian, keberadaan avatar dengan
gender yang tidak ditentukan memiliki kemungkinan lain. Hal itu dapat menjadi
faktor yang mungkin mempengaruhi ruang pribadi di CVE tersebut, termasuk
dapat menyebabkan tidak adanya kecemasan dalam invasi personal space.
Studi observasional menunjukkan bahwa ruang pribadi tidak ada dalam
CVEs, sebagaimana pengguna cenderung untuk mempertahankan jarak ketika
mereka berinteraksi satu sama lain dengan cara yang serupa pada dunia fisik,
Studi kami memberikan pemahaman lebih baik dari ruang pribadi di CVEs dan
hasilnya dapat digunakan untuk lebih meningkatkan kegunaan dari lingkungan
tersebut (Nassiri N., Powell N., & Moore D., 2010)
Penelitian selanjutnya menyelidiki keteraturan dan prediktabilitas mobilitas
manusia di ruang pribadi. Hukum dasar yang mengatur mobilitas manusia
memiliki banyak aplikasi penting seperti peramalan dan pengendalian epidemi
atau mengoptimalkan sistem transportasi. Pola mobilitas tersebut, dipelajari dalam
konteks di luar kegiatan rumah selama perjalanan atau interaksi sosial dengan
pengamatan yang direkam dari penggunaan ponsel atau difusi uang. Hal ini
menunjukkan bahwa pada manusia, ruang ekstra-personal mengikuti suatu tingkat
tinggi dari keteraturan temporal dan spasial - paling sering dalam bentuk hukum
waktu-independen yang memiliki skala universal ((Austin, Daniel; Cross, Robin
M; Hayes, Tamara; Kaye, Jeffrey, 2014).
Di sini ditunjukkan bahwa pola mobilitas orang yang lebih tua di rumah
mereka juga menunjukkan tingkat tinggi prediktabilitas dan keteraturan, meskipun
dengan cara yang berbeda dari yang telah dilaporkan untuk mobilitas luar rumah.
Pada penelitian ini dipelajari satu set data dari hampir 15 juta pengamatan
terhadap 19 orang dewasa yang meliputi pengamatan longitudinal pada aktivitas
rumah hingga 5 tahun. Peneliti menemukan bahwa mobilitas di rumah tidak
diwakili hukum skala universal, tetapi struktur yang signifikan (prediktabilitas dan
keteraturan) terungkap ketika secara perhitungan yang eksplisit

untuk data

kontekstual dalam model mobilitas di rumah. Hasil ini menunjukkan bahwa


mobilitas manusia dalam ruang pribadi sangat stereotip, dan diskontinuitas

monitoring dalam pola mobilitas tingkat ruangan yang rutin dapat memberikan
kesempatan untuk memprediksi kesehatan individu manusia dan status fungsional
atau mendeteksi efek samping dan tren (Austin, Daniel; Cross, Robin M; Hayes,
Tamara; Kaye, Jeffrey, 2014).
Penelitian-penelitian mengenai personal space diprakarsai di negara-negara
Barat. Kebanyakan penelitian personal space berasal dari sana. Suatu peneltian di
UI yang dilakukan oleh Prihatin Ningrum terhadap sekelompok mahasiswa di
Kantin Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi interaksi antar invidu yang yang menitik beratkan pada adanya
hubungan antara norma dan jenis kelamin terhadap pengambilan jarak interaksi.
Lebih jauh penelitian tersebut juga ingin melihat ada atau tidaknya hubungan
antara jenis kelamin, hubungan, topik dan agama terhadap pengambilan jarak
interaksi.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa teori Personal Space khususnya
mengenai besar jarak interaksi intim, personal, dan sosial dari Edward T. Hall
tidak sepenuhnya berlaku di Indonesia. Pada jarak intim subyek ditemukan jarak
yang lebih jauh dibandingkan yang diutarakan Hall (lebih dari 45,7cm).
Sedangkan jarak sosial subyek lebih kecil daripada jarak yang dikemukakan Hall
(jaraknya kurang dari 1,2 m - 3,7 m). Ada kemungkinan pengambilan jarak saat
berinteraksi dengan orang lain dipengaruhi juga oleh jenis kelamin, agama, jenis
hubungan dengan lawan bicara dan topik yang dibicarakan.
Fenomena terakhir yang cukup banyak akhir-akhir ini adalah pembangunan
perumahan-perumahan real estate di kota-kota, termasuk di Makassar.
Perumahan-perumahan mewah tersebut menjadi suatu fenomena permukiman
yang

individualis

di

kawasan

urban.

Berangkat

dari

konsep-konsep

pengembangan dalam pembangunan kawasan permukiman dengan tema-tema


yang menarik bagi konsumen yang umumnya berasal dari golongan ekonomi
menegah ke atas. Namun konsep yang ditawarkan cenderung memisahkan diri
dengan lingkungan permukiman disekitarnya dengan alasan keamanan dan
kenyaman (Setiawan, 2010). Pembangunan perumahan mewah seringkali
dilakukan di daerah yang awalnya merupakan kampung yang dihuni oleh
masyarakat menengah ke bawah. Dengan adanya pembangunan perumahan yang
disertai dengan pembatas menunjukkan bahwa kawasan tersebut adalah territori

bagi kalangan borjuis yang tertutup bagi masyarakat yang tidak segolongan
dengan mereka. Hal ini semakin mengundang kesenjangan sosial.
Perancangan permukiman yang mengakomodasi interaksi sosial merupakan
suatu salah satu konsep dalam melibatkan masyarakat dalam pembangunan
kawasan permukiman. Konsep juga ternyata mampu meningkatkan pengawasan
bersama terhadap lingkungan. Membangun pagar tinggi di halaman rumah dan
membentengi kawasan permukiman bukan solusi yang tepat. Justru efek yang
ditimbulkan akan semakin memperlebar kesenjangan sosial antara masyarakat
permukiman baru dan masyarakat di sekitar permukiman (kampung) yang pada
akhirnya akan meningkat vandalisme (Setiawan, 2010).
4. Pembahasan Hasil Wawancara dan Observasi
Dalam rangka memahami lebih lanjut mengenai personal space dan
territory, tim kami yang melakukan wawancara dan observasi di kawasan
Kecamatan Wajo, di sekitar jalan Andalas Makassar. Obervasi kami lakukan di
dua wilayah, yaitu suatu gang yang padat penduduk dan suatu gang yang dihuni
sebagian besar oleh etnis China dengan rumah-rumah batu yang lebih tinggi dari
rumah pribumi, dan biasa digunakan sebagai ruko.
Di gang padat penduduk kami mewawancarai dua orang penduduk. Ada Pak
A dan Bu M. Pak A sudah menetap di sana selama 20 tahun sedangkan bu B sudah
hampir 42 tahun. Pak A tinggal bersama 2 orang keluarganya. Bu M tinggal
bersama keluarga dalam satu bangunan rumah dua lantai. Total 8 orang. Bu M
tinggal bersama suami dan 3 orang anak di rumah berukuran sekitar 3x7 m (lantai
pertama) dan keluarga sepupu bu M tinggal bersama suami dan 1 orang anak di
lantai 2 pada bangunan yang sama.
Di sepanjang gang ada sebanyak 12 keluarga lain yang juga tinggal di sana.
Panjang gang tersebut sekitar 15-30 m dengan lebar 0,5-1 m. Kebanyakan orang
yang tinggal bekerja sebagai buruh atau pelayan toko.
Menurut subjek (Bu M) terjadi beberapa perubahan dengan lingkungan di
sekitarnya karena perkembangan zaman, seperti banyaknya orang dari etnis cina
yang membeli bangunan di sekitar rumah subjek sehingga pembangunan terjadi
terus-menerus, tetapi khusus untuk lingkungan gang tempat tinggal subjek,
perubahan hanya terjadi pada perbaikan rumah masing-masing tetangga.
Berhubungan dengan territory, menurut bu M tempat tinggalnya adalah
tempat yang aman karena dia sering tidak mengunci pintu sampai pagi dan tidak

terjadi apapun seperti pencurian. Hal ini sejalan dengan pandangan Pak A. Pak A
mengakui lingkungan tersebut aman-aman saja karena ditinggali oleh orang-orang
yang saling kenal-mengenal. Kecuali jika orang-orang tersebut membawa
keluarga dari luar Makassar. Pak A juga mengungkapkan bahwa setiap malam di
gang tersebut biasanya ada sekelompok orang yang meminum-minuman keras
tetapi tidak membahayakan orang lain dan tidak bahaya bagi pak A sendiri.
Selanjutnya Bu M mengungkapkan bahwa pembangunan rumah yang
dilakukan oleh tetangga di sebelah kiri rumahnya telah mengambil beberapa cm
luas rumahnya karena tembok rumah yang agak bergeser dan menghimpit ke arah
rumahnya.
Hubungan bu Mi dengan tetangga terbilang baik-baik saja. Hanya saja
tiada hari tanpa konflik dan gosip antar tetangga. Meskipun demikian, mereka
sering mengadakan acara makan-makan bersama di salah satu rumah dan
mengundang semua orang di gang. Termasuk orang yang mungkin sedang
dimusuhi. Konflik yang terjadi biasanya karena cerita-cerita yang beredar di
antara tetangga yang tidak diterima oleh orang yang bersangkutan. Tidak ada hal
khusus yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut, sebab selama ini
konflik-konflik seperti itu akan selesai dengan sendirinya.
Bu M berpendapat, selama orang lain tidak mencoba mencari masalah
dengannya maka akan aman-aman saja. Bu M memilih untuk tidak terlalu
memikirkan permasalahan yang lumrah terjadi di antara tetangga yang rumahnya
berdekatan.
Di sisi lain di mana keluarga etnis Cina mendominasi, kami mewawancarai
Bu I yang juga sudah tinggal di sana sekitar 32 tahun. Bu I merupakan keturunan
asli Jawa dan mengikuti suaminya tinggal di Makassar.
Bu I menginformasikan bahwa di daerah tersebut sangat jarang terjadi
konflik antar tetangga. Hal ini dikarenakan sangat jarang warga yang tinggal di
rumah pada siang hari, mereka kebanyakan bekerja dan baru kembali di sore hari.
Jadi tidak ada waktu untuk mengurusi pertengkaran tetangga.
Pada perayaan hari-hari besar warga pribumi, warga etnis Cina datang
memberikan ucapan selamat, begitupula sebaliknya. Apabila ada tetangga yang
sakit, tetangga lain pergi menjenguk. Warga-warga yang hidup di sana juga
mengutamakan budaya sapa ketika bertemu. Di daerah tersebut juga diadakan

kerja bakti secara rutin. Ada ketua RT yang biasa mengakomodir kegiatan itu. Di
daerah itu juga ada Posyandu.
Di kawasan Bu I yang mana didominasi oleh etnis Cina juga jarang terjadi
pencurian. Kalaupun ada pencurian, itu dilakukan oleh warga luar. Pencurian yang
terjadi di keluarga Bu I sudah sekitar 10 tahun lalu.
Ketiga subjek yag diwawancarai mengaku sudah nyaman berada di
lingkungan tersebut. Mereka telah menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut.
Namun, dalam kondiri tertentu terkadang tetap ada ketidaksenangan.
Dari hasil wawancaram kami menyimpulkan hal-hal berikut:
- Personal space bersifat individual, sedangkan territori umumnya diklaim
secara kelompok, Misalnya di gang Bu M. Namun juga diklaim secara
individual. Misalnya seperti yang dirasakan Bu M saat ada yang membangun
rumah di samping rumahnya.
- Personal Space tidak berkaitan dengan tidak berkaitan dengan territory, dalam
artian, jarak-jarak rumah yang berdekatan dalam suatu daerah tidak menjamin
personal space di jarak yang dekat pula.
- Kehidupan bertatangga tidak menjamim perubahan personal space.
- Ada upaya untuk membangun hubungan personal ketika berada pada wilayah
yang sama. Hal ini dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan di
daerah subjek, misalnya makan-makan.
- Ada ritual tertentu untuk mengubah personal space dari wilayah sosial menjadi
wilayah intim, contohnya di Papua, makan sirih
- Ketika sudah lama tinggal di suatu daerah maka akan diklaim menjadi territory
sehingga akan terganggu ketika orang lain masuk.
5. Referensi
Austin, Daniel; Cross, Robin M; Hayes, Tamara; Kaye, Jeffrey. (2014). Regularity
and Predictability of Human Mobility in Personal Space. Scholarly Journals.
9(2).
Bell, P.A., Greene, T.C., Fisher, J.D., & Baum, A. (1996). Environmental
Psychology 4ed. USA: Harcourt College Publishers.
Gifford, R., Steg, L., Reser, J.P. (2010). Handbook of Applied Psychology. IAAP.
Halim, D. (2005). Psikologi Arsitektur. Pengantar Kajian Lintas Disiplin. Jakarta:
PT Grasindo.
Kennedy, Glscher , Tyszka & Adolphs. (2009). Personal space regulation by the
human amygdala. Nature Neuroscience. 12 (10), 1226-1227.

Latifadila, Z.S., Dzuharyadi, A., Rakasiwi, J., Aisyah, N. (2014). Theories of


Social Psychology, Chapter 6 dan Chapter 12. Paper tidak dipublikasikan
Nassiri, Powell & Moore. (2010). Human interactions and personal space in
collaborative virtual environments. Springer. 14, 229 240.
Setiawan, A. (2005). Fenomena Kawasan Permukiman yang Individualis.
SMARtek. 3 (2), 113 124.
Van Efferink, L. (2015). David Storey: Territories, Landscapes, Spaces, Places,
States, Borderless World. Retrieved from exploringgeopolitics.org/

You might also like