You are on page 1of 19

BAB III

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU


II.1. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dimana ovum yang telah dibuahi
berimplantasi diluar kavum uteri atau implantasi blastocyst pada tempat selain
permukaan endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik lebih tepat dan
mempunyai pengertian yang lebih luas dari kehamilan ekstra uterin, karena
kehamilan pars interstisialis tuba/kornual dan kehamilan pada servik uteri
termasuk kehamilan intrauterin tetapi jelas bersifat ektopik. Tenore...; Cunningham, 2005;Wibowo
B, 1999; Hammrd CB, 1994; Prawirohardjo S, 1989

II.2Etiologi

dan Faktor Resiko

Banyak faktor yang menyebabkan resiko timbulnya kehamilan ektopik.


Secara teori segala sesuatu yang mengganggu migrasi embrio ke rongga
endometrium dapat menyebabkan perkembangan gestasi yang ektopik pada
wanita. Berikut ini berbagai faktor yang menyebabkan kehamilan ektopik : Tenore...;
Cunningham,2005; Pisaska MD 1999; Wibowo B, 1999; Rock JA, 1997

I.

Faktor-faktor mekanis yang mencegah atau menghambat perjalanan


ovum yang telah dibuahi ke dalam kavum uteri ( faktor tuba ). Kerusakan pada
tuba fallopii bisa menaikan angka kehamilan ektopik setinggi 27%.
1.

Salpingitis

(30%),

menyebabkan

aglutinasi

penyempitan

lumen

lipatan

atau

khususnya
aboresen

pembentukan

endosalpingitis
mukosa

yang

tuba

dengan

kantong-kantong

buntu.

Berkurangnya siliasi mukosa tuba akibat infeksi dapat turut menyebabkan


implantasi zigot dalam tuba fallopii. Hasil pemeriksaan histologi
menunjukkan 50% menderita salpingitis kronik.
2.

Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus atau infeksi masa


nifas, appendisitis ataupun endometriosis yang menyebabkan tertekuknya
tuba dan penyempitan lumennya.

3.

Kelainan pertumbuhan tuba, khususnya divertiklum, ostium


assesorius dan hipoplasia, kelainan semacam ini sangat jarang terjadi.

4.

Kehamilan ektopik sebelumnya dan sesudah sekali mengalami


kehamilan ektopik, insiden kehamilan ektopik berikutnya akan menjadi 715%. Meningkatnya

resiko ini kemungkinan besar disebabkan oleh

salpingitis yang terjadi sebelumnya.


5.

Pembedahan sebelumnya pada tuba, entah dilakukan untuk


memperbaiki potensi tuba atau kadang-kadang dilakukan pada kegagalan
sterilisasi.

6.

Abortus induksi yang dilakukan lebih dari satu kali akan


memperbesar resiko terjadinya kehamilan ektopik. Resiko ini tidak
berubah setelah 1 kali mengalami abortus induksi, namun akan menjadi
dua kali lipat setalah menjalani abortus induksi sebanyak dua kali atau
lebih ; kenaikan resiko ini kemungkinan terjadi akibat peningkatan yang
kecil tapi bermakna pada angka insiden salpingitis.

7.

Tumor yang mengubah bentuk tuba, seperti mioma teri dan


adanya benjolan pada adneksa.

8.

kehamilan tuba tidak mengalami peningkatan akibat embrio


abnormal jadi keadaan ini bukan faktor etiologi yang signifikan.

9.

Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim yang digalakkan


akhir-akhir ini telah meningkatkan kehamilan ektopik .

10.

Kegagalan kontrasepsi. Resiko terjdi kehamilan ektopik bisa


mendekati 60% pada kehamilan yang terjadi setelah sterilisasi efektif.

11.

Efek hormonal Kehamilan ektopik naik 10 kali lipat pada


kegagalan morning after pill. Kenaikan lima kali lipat pada pemakai pil
yang mengandung hanya progestin 7% pada pasien IVF (In Vitro
Fertilization)

II.

Faktor-faktor fungsional yang memperlambat perjalanan ovum yant telah


dibuahi ke dalam kavum uteri.
1.

Migrasi eksternal ovum mungkin bukan faktor yang


penting kecuali pada kasus-kasus perkembangan duktus mulleri yang
abnormal, sehingga terjadi hemiuterus dengan kornu uterina rudimenter
yang tidak berhubungan.

2.

Refluks menstrual pernah dikemukakan sebagai


penyebab terjadinya kehamilan ektopik. Keterlambatan fertilisasi ovum
dengan perdarahan menstruasi pada waktu sebagaimana biasanya secara
teoritis dapat mencegah masuknya ovum tersebut berbalik kembali
kedalam tuba. Bukti yang mendukung fenomena ini tidak banyak.

3.

Berubahnya motilitas tuba dapat terjadi mengikuti


perubahan pada kadar esterogen adrehergik dalam otot polos uterus serta
tuba fallopii kemungkinan besar menjadi penyebabnya .

III.

Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang telah


dibuahi. Unsur-unsur ektopik endometrium dapat meningkatkan implantasi
dalam tuba. Meskipun para pengamat pernah melaporkan adanya fokus-fokus
endometriosis dalam tuba fallopii, namun hal ini merupakan keadaan yang
jarang dijumpai.
IV. Repruduksi yang dibantu, pada keadaan induksi ovulasi, Terjadinya
peningkatan insiden kehamilan ektopik pada induksi ovulasi, gamete
intrafallopian transfer ( GIFT ), in vitro fertilization ( IVF ) dan ovum
transfer.
V. Kegagalan kontrasepsi. Terdapat peningkatan insiden kehamilan ektopik
setelah sterilisasi tuba. Resikonya lebih tinggi pada jenis electrocoagulation dari
jenis sterilisasi tuba jenis lain. Kehamilan ektopik bahkan bisa terjadi setelah
histerektomi, karena terperangkapnya ovum yang telah dibuahi pada tuba yang
dipotong saat histerektomi.
II.3. Epidemiologi
Dari data Centers For Desease Control and Prevention menunjukan
peningkatan jumlah kehamilan ektopik yang bermakna selama 20 tahun terakhir
di Amerika Serikat. Kebanyakan kehamilan ektopik adalah kehamilan tuba (9596%). Penyebab peningkatan insiden ini adalah : Tenore...; Rock JA, 1997; Stovall TG, 1996
1.

Peningkatan prevalen infeksi tuba akibat penyakit kelamin yang


menyebabkan

kerusakan

penyumbatan lumen tuba.

mukosa

tuba

tetapi

tidak

sampai

2.

Pemakaian alat kontrasepsi terutama IUD dan progesterone dosis


rendah mencegah terjadinya kehamilan intra uteri.

3.

Operasi steril yang gagal

4.

Induksi abortus yang menyebabkan infeksi

5.

Obat-obat untuk induksi ovulasi

6.

Operasi di rongga pelvis sebelumnya termasuk salpingotomi dan


tuboplasti

II.4. Lokasi
Berdasarkan lokasi kehamilan, kehamilan ektopik dapat dibagi dalam
beberapa golongan : Prawiroharjo S, 1989
A. Tuba Fallopii (> 95%)
1. Pars interstitalis (2%)
2. Isthmus (25%)
3. Ampula (55%)
4. infundibulum fimbria (17%)
B. Uterus
1. Kanalis servikalis
2. Divertikulum
3. kornu
C. Ovarium
D. Intra Ligamenter
E. Abdomial
F. Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus (heterotopik)
Terjadi pada 1 dalam 14.000 15.000 kehamilan spontan dan lebih
dari 1% pasien yang menjalani fertilisasi invitro (bayi tabung)
G. Ektopik bilateral, kehamilan seperti ini kadang-kadang ditemukan

II.5. Diagnosis
A.

Anamnesis

Pisaska MD, 1999; Wibowo B,1999; Stovall TG, 1996; Prawiroharjo S, 1989

Pada kehamilan ektopik yang tidak terganggu terdapat gejala seperti


kehamilan normal seperti amenorea, mual, dan sedikit nyeri pada perut bagian
bawah yang tidak begitu dirasakan.
1. Nyeri
Merupakan gejala yang paling sering (100%) yaitu nyeri daerah perut dan
pelvis, dan amenoroe disertai perdarahan pervaginam (60-80%. Nyeri dapat
bersifat bilateral atau unilateral, pada perut bagian bawah atau seluruhnya atau
hanya perut bagian atas. Bila timbul hemoperitoneum dapat ditemukan nyeri
sering dirasakan sangat hebat pada ruptura kehamilan ektopik, ini disebabkan
oleh darah yang mengalir ke kavum peritonei.
2. Amenore
Tidak ada terlambat haid, tidak menyingkirkan kehamilan tuba. Riwayat
amenore tidak didapatkan pada seperempat kasus. Sebabnya adalah wanita
tersebut menyangka bahwa perdarahan uterus yang sering terjadi pada
kehamilan tuba sebagai haid.
3. Perdarahan Pervaginam atau Spotting
Selama fungsi endoktrin dari plasenta masih ada, perdarahan uterus baisanya
tidak ada, tetapi bila horman yang mempertahankan endometrium menjadi
tidak adekuat terjadi perdarahan dari mukosa uterus. Perdarahan biasanya
sedikit, coklat kehitaman dan dapat intermitten atau terus menerus.
Tabel 1. Gejala Klinis Kehamilan Ektopik
Gejala

Nyeri Abdominal

90-100

Amenorea

75-95

Perdarahan pervaginam

50-80

Pusing, pingsan

20-35

Keinginan buang air besar

5-15

Gejala kehamilan

10-25

B. Pemeriksaan Fisik Cunningham, 2005; Pisaska MD, 1999; Stovall TG, 1996; El.Mowavi DM, 2002
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup pengukuran tanda vital,
pemeriksaan abdomen dan pelvik. Pada kehamilan ektopik yang tidak terganggu
tanda-tanda yang ditemukan menyerupai kehamilan normal. Bila sudah terjadi
ruptur dapat timbul gejala syok dengan nadi cepat, akral dingin, pucat dan
hipotensi.
Respon awal dari perdarahan tidak merubah tekanan darah atau nadi. Bila
perdarahan berlanjut dan terjadi hipovolemia, tekanan darah dapat turun dan
frekuensi nadi meningkat. Pada keadaan lanjut dapat terjadi syok hemorhagik. 2
cara untuk mendeteksi hipovolemia sebelum terjadi syok hemorhagik adalah :
1. Tekanan darah dan frekuensi nadi dibandingkan antara saat duduk dan
berbaring
2. Jumlah urin
Setelah perdarahan akut temperatur tubuh dapat normal dan menurun.
Temperatur yang mencapai 380 C dapat terjadi dan mungkin berhubungan dengan
hemoperitoneum. Tetapi temperatur yang lebih tinggi jarang terjadi bila tidak ada
infeksi. Temperatur merupakan hal yang penting oleh karena dapat membedakan
rupture tuba akibat kehamilan ektopik dari salpingitis akut.
Ditemukan nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi abdomen karena
rangsangan peritonium dan shifting dullness pada perkusi yang menandakan
terdapatnya pendarahan intraperitoneal. Pada pendarahan lanjut dapat ditemukan
Cullens sign, yaitu warna kebiruan disekitar umbilikus karena penyerapan darah
dalam rongga peritoneum oleh sistem limfatik.
Terjadi perubahan-perubahan Pada Uterus. Akibat kerja hormon-hormon
plasenta uterus akan membesar selama 3 bulan pertama kehamilan tuba sampai
ukurannya hampir sama dengan kehamilan intra uterin. Konsistensinya sama
dengan kehamilan intra uterin selama janin masih hidup. Uterus dapat terdorong
ke salah satu sisi oleh masa kehamilan ektopik.
Masa Pelvik dapat diraba pada 20% pasien. Masa tersebut bervariasi dalam
ukuran, konsistensi dan posisi. Diameter massa berkisar antara 5 15 cm dan
sering teraba lunak dan elastis. Massa sulit dilakukan pada palpasi oleh karena

nyeri. Akan terbentuk hematocel retrouterine , yaitu terkumpulnya darah tersebut


kemudian diliputi oleh kapsul. Pada awalnya kapsul tersebut terisi dari fibrin,
yang kemudian digantikan oleh jaringan ikat muda. Omentum, kolon sigmoid dan
mesosigmoid dapat melengket pada kapsul ini, sehingga memperkuat dinding
kapsul. Pada keadaan ini terbentuk ruangan dalam kapsul tersebut, yang
sebahagian diisi oleh darah yang membeku.

Tabel 2. Tanda Kehamilan Ektopik


Tanda

Nyeri tekan abdomen

80-95

Nyeri tekan adneksa

75-90

Massa adneksa

50

Pembesaran uterus

20-30

Demam

5-10

C. Pemeriksaan Penunjang Cunningham, 2005; Pisaska MD, 1999; Prawiroharjo S, 1989; Graczykowski JW,.....;
Gunawan A, 1999; Davis S, 1998; Tabbakh ME,.........Scott J,..........

Pengukuran laboratorium darah hemoglobin, hematokrit dan hitung


leukosit disamping test kehamilan sangat membantu pada kasus-kasus tertentu
jika keterbatasan dipahami.
C.1. Hemoglobin dan Hematokrit
Setelah terjadi perdarahan, volume darah yang berkurang akan pulih
kembali melalui peristiwa hemodilusi dalam waktu 1 2 hari. Karena itu kendati
sesudah suatu perdarahan berat, kadar hemoglobin atau hasil pemeriksaan
hematokrit mungkin pada mulanya hanya memperlihatkan sedikit penurunan.
Selama beberapa jam pertama setelah perdarahan akut, penurunan kadar
hemoglobin atau hematokrit selama pasien dalam masa observasi merupakan
petunjuk yang lebih berguna untuk menentukan hilangnya darah daripada hasil
pemeriksaan pendahuluan. Kejadian tersebut akan kita temukan, kecuali bila hasil
pendahuluan menunjukan kadar yang rendah dan anemia yang tampak merupakan
anemia normositik sehingga menjadi ciri khas untuk kehilangan darah yang baru

saja terjadi. Jika perdarahannya berhenti dan eritrosit terdapat bebas dalam kavum
peritei, penyerapannya dapat membantu memperbaiki keadaan anemia setelah
beberapa hari. Hiperbilirubinemia baisanya tidak terjadi.
C.2. Hitung Leukosit
Hitung leukosit sangat bervariasi hasilnya pada ruptur kehamilan ektopik.
Pada sekitar separuh pasien, jumlah leukosit tampak normal, akan tetapi pada
separuh lainnya bisa dijumpai leukositosis dengan derajat yang bervariasi sampai
30.000 per mL.
C.4. Test Kehamilan
Kehamilan ektopik tidak dapat didiagnosa berdasarkan test kehamilan yang
positif saja. Namun demikian ketika menghadapi kemungkinan kehamilan
ektopik, masalah yang menjadi kunci apakah wanita tersebut hamil. Pada
hakekatnya dalam semua kasus kehamilan ektopik, hormon korionik gonadotropin
akan ditemukan dalam serum namun konsentrasinya lebih rendah bila
dibandingkan pada kehamilan normal. Permasalahan yang timbul kemudian
adalah bagaimana mendeteksi penanda kehamilan ini dengan cara klinik yang
paling efektif.
Karena kesulitan dalam menegakan diagnosa ruptur kehamilan tuba, dipakai
sejumlah alat bantu diagnostik yang bukan pemeriksaan untuk mengukur kadar
korionik gonadotropi. Alat-alat bantu diagnostik ini adalah ultrasonografi (USG),
kombinasi USG dengan penukuran serum HCG, kuldosintesis, kuretase,
laparaskopi dan laparatomi.
C.5. Pengukuran hormon hCG secara serial dan kuantitatif
Tiga kemajuan penting telah memungkinkan diagnosis dini kehamilan
ektopik, yaitu tersedianya pemeriksaan kuantitatif HCG, yang cepat, sensitive
dan akurat, ultrasonografi untuk menilai uterus atau adneksa serta laparaskopi
sebagai alat diagnostik.
Pengukuran hCG secara kuantitative merupakan dasar diagnostik untuk
kehamilan ektopik. Enzim immunoassay hCG dengan sensitifikasi 25 mIU/ml
merupakan test skrining yang akurat untuk mendeteksi kehamilan ektopik.
Peningkatan kadar hCG sebanyak 66% dalam 48 jam merupakan batas normal
terendah untuk kehamilan intra uterin dengan janin yang masih hidupo. Sekitar

15% pasien dengan kehamilan intra uterin yang janin yang masih hidup akan
mengalami peningkatan kadar hCG 66% dalam 48 jam, dan 15% pasien dengan
kehamilan ektopik akan mengalami penuruan kadar hCG 66% dalam 48 jam.
C.6. Ultrasonografi (USG)
Mengenai peranan USG di dalam diagnosis kehamilan ektopik dikatakan
sangat penting. Bila dengan pemeriksaan USG didapatkan adanya gestasional sac
intra uterin maka diagnosis kehamilan ektopik dapat disingkirkan.
Ditegaskan juga bahwa tidak nampaknya gestasional sac intra uterin dengan
pemeriksaan USG pada kadar hCG dibawah 6000 mIU/ml tidak dapat
memastikan adanya kehamilan ektopik. Oleh karena itu pada kasus yang terakhir
ini masih memerlukan pemeriksaan pendukung yaitu pemeriksaan homone hCG
secara serial. Bila pada pemeriksaan serial hormon hCG ke tidak normal maka
kemungkinan besar adalah kehamilan ektopik dan selanjutnya boleh diteruskan
dengan laparaskopi.
Beberapa peneliti membandingkan kemampuan USG transabdomial untuk
melihat adanya masa adneksa pada kehamilan ektopik. Terbukti bahwa trasvaginal
USG lebih mampu dari transabdominal USG dalam mengidentifikasi adanya mass
adneksa pada kehamilan ektopik.
C.7. Dilatasi dan Kuretase
Dilatasi dan Kuretase dilakukan bila janin sudah mati dan lokasi dari
kehamilan tidak ditentukan dengan USG. Keputusan untuk melakukan kuretase
pada test kehamilan yang positif harus dibuat dengan hati-hati untuk menghindari
terkuretnya kehamilan intra uterin yang masih hidup.
C.8. Kuldosintesis
Meskipun hampir 70-90% kehamilan ektopik menunjukan adanya
hemoperitoneum hanya 50% pasien yang mengalami ruptur tuba. Sensifitasnya
dalam mendeteksi hemoperitoneum dilaporkan 85-90%. Pasien dengan sedikit
atau tidak ada perdarahan intra abdominal, kuldositesis negatif, belum
menyingkirkan kehamilan ketopik.
C.9. Laparaskopi
Tujuan diagnostik laparaskopi meliputi :
1. Diagnostik diferensiasi patologi genitalia interna (misalnya KET)

2. Infertilitas primer dan sekunder


3. Mencari dan mengangkat translokasi AKDR
Tindakan laparaskopi yang dilakukan pada kehamilan ektopik :
1. Evakuasi hemoperitoneum
2. Salpingektomi
3. Ablasi produk kehamilan
4. Evakuasi pada fimbria
II.6. Diferensial Diagnosis

Tenore JL, ....; Cunningham, 2005; Pisaska MD, 1999; Rock JA, 1997; Graczykowski

JW, ......

Menegakan dengan segera diagnosis ruptur kehamilan tuba merupakan


tindakan penyelamatan, dan makin cepat diagnosis kehamilan tuba ynag belum
terganggu ditegakan kemungkinan keberhasilan selanjutnya makin besar.
Keadaan yang dapat dikelirukan dengan diagnosis kehamilan tuba adalah :
1. Salpingitis
Pada salpingitis perdarahan abnormal tidak sesering spotting pada kehamilan
tuba. Nyeri dan biasanya bilateral pada salpingitis. Massa di pelvis, bila
teraba, unilateral pada kehamilan tuba sedangkan pada salpingitis kedua fornik
tegak dan lunak. Masa unilateral dengan salpingitis sebaiknya cepat dipikirkan
suatu kehamilan ektopik terinfeksi. Suhu pada salpingitis akut biasanya lebih
dari 380C. bila ada kecurigaan pada kehamilan ektopik pada pemeriksaan hCG
harus segera dilaksanakan.
2. Abortus Pada Kehamilan Intra Uterin
Pada abortus insipiens atau inkomplit perdarah uterus biasanya hebat dan syok
hipovolemik yang terjadi sesuai dengan perdarahan pervaginam yang timbul.
Pada kehamilan tuba, syok hipovolemik lebih berat dibandingkan jumlah
perdarahan pervaginam yang dilihat. Nyeri pada abortus intra uterin kurang
berat, ritmik dengan lokasi digaris abdomen bagian bawah, bila kehamilan
tuba nyeri unilateral atau menyeluruh. Bila embrio atau plasenta ditemukan di
vagina atau bagian luar serviks, abortus, intra uterin menjadi jelas.
3. Ruptur Korpus Luteum atau Kista Folikuler

Kista korpus luteum atau kita folikel merupakan kista ovarium yang paling
sering dan lebih mudah pecah dibanding neoplasma lain. Sejumlah kecil darah
dikeluarkan ke dalam rongga pritoneum. Perdarahan intra peritoneal dari kista
ovari sulit dibedakan dari ruptur kehamilan tuba. Walaupun pemeriksaan hCG
kadang-kadang dapat membantu diagnosis pre-operatif, diagnosis baru dapt
dibuat saat dilakukan laparotomi eksplorasi untuk hemoperitoneum.
4. Kista Terpuntir atau Apendisitis
Pada torsi kista ovarii dan apendisitis, gejala dan tanda kehamilan dan
perdarahan abnormal jarang ditemukan. Bentuk masa pada kista ovari
terpuntir mempunyai bentuk tersendiri, sedangkan kehamilan tuba tidak
mempunyai gambaran khas. Pada apendisitis jarang ditemukan adanya masa
pada pemeriksaan pervaginam, nyeri pada pergerakan serviks kurang
dibandingkan ruptur kehamilan tuba. Lagi pula nyeri pada kehamilan
apendisitis letaknya lebih diatas. Bila diagnosis ketiganya meleset tidaklah
merugikan penderita karena ketiganya memerlukan tindakan operasi segera.
5. Gangguan Gastrointestinal
Beberapa wanita dengan rupture kehamilan ektopik, gejalalah yang menyolok
adalah diare, mual muntah dan nyeri abdomen.
6. IUD
Diagnosis kehamilan ektopik lebih sulit pada wanita yang menggugurkan
IUD. IUD tidak mencegah terjadinya kehamilan ektopik. Nyeri pelvis dan
perdarahan uterus dapat terjadi keduanya. Pemakai IUD merupakan
predisposisi untuk terjadinya infeksi adneksa, biasanya terjadi unilateral.
7. Sterilisasi Tuba Sebelumnya
Tatum dan Schemidt 1977 melaporkan kira-kira 16% kehamilan akibat
kegagalan sterilisasi tuiba adalah kematian ektopik sedangkan pemeriksaan
selanjutnya dengan laparascopi, 50% merupakan kehamilan ektopik.
II.6. Penatalaksanaan
Bila kehamilan ektopik telah ditegakkan, pasien harus dievaluasi ulang
kembali secara klinis. Penatalaksanaan ekspektan atau medis mungkin dapat
diusahakan jika pasien dalam kondisi stabil. Jika kondisi pasien tidak baik,

merupakan indikasi penanganan bedah. Saat ini terdapat 3 cara penatalaksanaan


kehamilan ektopik, yaitu :
1. Ekspektan ( Observasi ) Rock JA, 1997; Gunawan A, 1999
Penatalaksanaan ekspektan didasarkan bahwa pasien dengan kehamilan
ektopik

dapat

direabsorpsi

sempurna

atau

terjadinya

abortus

spontan.

Penatalaksanaan ekspektan sering dilakukan pada pasien dengan kadar -hCG <
1000 mIU/ml, hemoperitoneum < 50 ml dengan hematosalfing < 2 cm. Sebanyak
67% dari kehamilan ektopik yang belum terganggu dengan diameter < 30 mm dan
tidak ada pendarahan aktif dapat direabsorpsi sempurna. Patensi tuba terjadi
sebanyak 85% dan angka kehamilan sebanyak 52%.
Garcia et al (1987) menyatakan bahwa tindakan ekspektan hanya
dilakukan dibawah kontrol ketat dan pada pasien asimptomatis dengan kadar hCG yang terus turun. Keuntungan cara ini tidak perlu pembedahan, biaya sedikit
dan fertilitas tidak terganggu.
2. Medikamentosa Pisaska MD, 1999; Gunawan A, 1999; Scott J,.......; Buster J.E, 1999
Terapi medikamentosa yang sering dipakai adalah Methotrexate (MTX).
MTX adalah suatu antagonis asam folat yang dimetabolisme di hepar dan
diekskresikan melalui ginjal. MTX menghambat sintesa purin dan pirimidin
sehingga mengganggu sintesis DNA dan multiplikasi sel. Sel-sel yang sedang
tumbuh seperti jaringan tropoblas sangat rentan dengan MTX, sehingga dapat
menghentikan perkembangan kehamilan ektopik yang akhirnya mati dan
diabsorbsi.
MTX dapat diberikan secara sistematik, lokal atau oral, sehingga
pembedahan dapat dihindari dengan demikian perlengketan pada tuba, morbiditas
paska pembedahan berkurang dan waktu pemulihan diperpendek, serta kesuburan
dapat dipertahankan pada masa yang akan datang.
Syarat penggunaan MTX pada kehamilan ektopik adalah:

Absolut:

Hemodinamik stabil.

USG mendukung suatu kehamilan ektopik.

Kesanggupan pasien mengikuti follow up.

Tidak ada kontraindikasi terhadap MTX.

Relatif:

Kehamilan ektopik tidak terganggu dengan diameter < 3,5 cm.

Tidak ada gerakan jantung janin.

Kadar -hCG < 5000 mIU/ml.

o Indikasi penggunaan MTX :

Patensi tuba ingin dipertahankan.

Pasien yang menolak operasi.

Pembedahan yang beresiko ( kehamilan servik, kornu dan ovarium).

Kontraindikasi penggunaan MTX :

Penyakit hati dan penyakit ginjal.

Ruptur tuba.

Pemberian MTX secara sistemik dapat dilakukan dengan dosis ganda atau
dosis tunggal. Dosis ganda dengan pemberian MTX 1,0 mg/kg BB IM hari ke
1,3,5 dan 7, dengan citrovorum 0,1 mg/kg BB IM hari ke 2,4,6 dan 8. Pengobatan
dilanjutkan sampai kadar -hCG turun > 15% dalam 48 jam atau 4 dosis
pemberian MTX. Pemberian MTX dosis tunggal dengan dosis 50 mg/m2 IM
dengan evaluasi titer -hCG pada hari ke 4 dan ke 7.
3. Pembedahan
Sekarang penanganan kehamilan ektopik telah berobah dari salfingektomi
yang dulunya merupakan standar emas penatalaksanaan kehamilan ektopik
menjadi prosedur untuk mempertahankan fungsi tuba. Laparotomi hanya
dilakukan bila peralatan laparoskopi tidak tersedia atau pasien dalam keadaan
hemodinamik tidak stabil karena perdarahan intra abdominal. Beberapa teknik
bedah yang sering dikerjakan untuk penatalaksanaan kehamilan ektopik :
Salfingostomi
Teknik ini dilakukan untuk mengangkat kehamilan tuba yang kecil dari 2 cm
dan terletak di sepertiga distal tuba. Dengan laparoskopi dilakukan insisi linear
sepanjang 2 cm pada batas antimesenterika tepat diatas kehamilan ektopik,
sehingga konsepsi dapat keluar sendiri atau sedikit ditekan dari arah yang
berlawanan dan diangkat dengan forsep gigi secara hati-hati. Perdarahan dikontrol
dengan elektrokauter atau laser dan luka insisi dibiarkan terbuka tanpa penjahitan

sampai sembuh sendiri. Sherman et al (1982) melaporkan bahwa salfingostomi


memberikan tingkat kehamilan yang lebih tinggi dari salfingektomi.
Salfingotomi
Perbedaan antara salfingostomi dengan salfingotomi adalah insisi pada
salfingotomi dibuat logitudinal dan bekas insisi dijahit dengan vicryl no. 7.0
secara hati-hati. Lapisan yang dijahit hanya otot dan serosa tanpa mengenai
lapisan mukosa, karena dapat menimbulkan reaksi peradangan yang dapat
menimbulkan obstruksi. Salfingotomi merupakan teknik pilihan jika diameter
kehamilan ektopik lebih besar dari 2 cm.
Salfingektomi
Salfingektomi merupakan pengangkatan tuba dengan membuat eksisi
berbentuk baji yang tidak lebih dari 1/3 luar past interstisial tuba. Ini bertujuan
untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik berikutnya dalam
puntung tuba. Teknik ini tetap menjadi pilihan utama pada ruptur tuba dengan
perdarahan intraperitoneal masif.
Reseksi segmental dan anastomosis
Teknik ini dilakukan untuk kehamilan ektopik di isthmus tuba. Setelah segmen
tuba terlihat dengan jelas, mesosalfing dibawah tuba di insisi dan tuba yang berisi
kehamilan ektopik direseksi. Mesosalfing kemudian dijahit kembali dan kedua
ujung tuba di reanastomosis dengan vikryl 7.0 dengan jahitan satu-satu.

BAB IV
DISKUSI
Telah dibicaraan suatu kasus dengan diagnosis masuk Suspek kehamilan
ektopik. Kemudian dilakukan USG Abdominal didapatkan kesan kehamilan
ektopik dan diputuskan untuk melakukan laparotomi.
Permasalahan: Apakah diagnosa dan penatalaksanaan kehamilan ektopik
sudah sesuai dengan merujuk kepada kepustakaan ?
Waktu pasien masuk didiagnosis dengan Suspek kehamilan ektopik. Dalam
mendiagnosa pasien yang dicuriga kehamilan ektopik seharusnya lebih cermat
lagi. Karena gejala kehamilan ektopik klasik berupa nyeri, amenorea dan
perdarahan pervaginam tidak selalu muncul bersamaan, hanya ditemukan pada
50% kasus. Seluruh faktor predisposisi yang memungkinkan terjadinya kehamilan
ektopik harus ditanyakan, terutama riwayat pelvik inflammatory disease, karena
ini merupakan penyebab terbanyak kehamilan ektopik.Tenore

JL,........

30-50%

kehamilan ektopik ditemukan pada penderita dengan riwayat salfingitis,Tenore JL, ...
bahkan dapat mencapai 75% pada pasien dengan infeksi berulang 3 kali atau
lebih.Pisaska MD, 1999 Dari anamnesa faktor predisposisi yang mungkin pada pasien ini
adalah

pemakaian

kontrasepsi.

Menurut

kepustakaan

kontrasepsi

yang

mengandung progesteron dapat menurunkan mortalitas tuba, sehingga akan


mempengaruhi perjalanan zygot.Cunningham,2005; Rock JA, 1997; Hammrd CB, 1994
Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien ini tidak khas untuk suatu
kehamilan ektopik terganggu, baik dari tanda vital maupun dari pemeriksaan
obstetriknya, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan hemoglobin.
Seharunya dilakukan permeriksaan hemoglobin serial untuk menilai perdarahan
yang terjadi.
Karena keterbatasan fasilitas RSUD. Idealnya dilakukan pemeriksaan kadar hCG

serial untuk membedakan suatu kehamilan ektopik dengan kehamilan

intrauterin berdasarkan waktu penggandaan ( doubling time ). Bila dalan 48 jam

kadar -hCG meningkat kurang dari 66%, itu lebih mengarah kepada kehamilan
ektopik, sedangkan pada kehamilan normal peningkatan kadar -hCG dalam 48
jam lebih dari 66%. Bila kadar -hCG lebih dari 10.000 mIU/ml, tidak dianjurkan
terapi ekspektan tetapi sebaiknya dengan pembedahan.

Cunningham, 2005; Hammrd CB, 1994;

Gunawan A, 1999

Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan pada pasien ini waktu masuk
adalah pemeriksaan kadar USG. USG dapat mendeteksi dini kehamilan ektopik.
Dengan USG abdominal dapat mendeteksi adanya kantong gestasi intra uterin 5-6
minggu setelah haid terakhir, jadi bila tidak ditemukan kantong gestasi dengan
USG pada pasien ini perlu kita curigai suatu kehamilan ektopik, karena usia
kehamilannya sudah 8-10 minggu. Bila pemeriksaan kadar -hCG digabungkan
dengan pemeriksaan USG akurasi diagnostik untuk kehamilan ektopik mendekati
100%.Gunawan A, 1999

BAB V
KESIMPULAN
1. Perlunya pemeriksaan kadar -hCG dan USG pada pasien yang
dicurigai suatu kehamilan ektopik.
2. Sebelum dilakukan terapi pembedahan, sebaiknya dipastikan dulu
bahwa terapi ekspektan dan medikamentosa tidak memenuhi syarat
pada pasien ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tenore JL. Ektopic Pregnancy. Northwstern University Medical


School, Chicago, Illinois. http://www.aafp.org/af/2000215/180.html.
2. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. Ektopic Pregnancy. In:
Williams Obstetries. 21th ed. The Mc Graw-Hill Companies. New
York: 2001; 884-905.
3. Palmieri A, Moore JG. Kehamilan Ektopik. Dalam Essensial Obstetri
dan Ginekologi. Edisi 2 cetakan I. Hipokrates; Jakarta:2001;463-474.
4. Pisaska MD, Carson SA. Incidence and Risk Factors For Ectopic
Pregnancy. In: Clinical Obstetrics and Gynecology. Lippincott
Williams & Wilkins, Inc. Volume 42. Number I. 1999;2-8.
5. Wibowo B, Rachimhadhi. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu
Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Edisi 3
cetakan 5. Jakarta: 1999;323-338.
6. Rock JA, Damario MA. Ectopik Pregneny. In Rock JA, Thompson JD
(Eds): Te Lindes Operative Gynecology, 8th edition, Lippincott
Ravel Publisher, Philadelphia, 1997; 501-527.
7. Stovall TG, McCord ML. Ectopik Pregneny.In Berek JS, Adashi EY,
Hilard PA (Eds): Novaks Gynecology, 12th edetion, Williams &
Wilkins, Baltimore, Maryland, 1996; 490-523.
8. Hammrd CB, Bachus KE. Ectopik Pregneny. In Danfoths Obstetrics
and Gynecology. 7th edition, JB Lippincott Company,
Philadelphia.1994; 187-200
9. Prawiroharjo S. Gangguan bersangkutan dengan konsepsi . Dalam
Ilmu Kandungan Ediasi Pertama cetakan keempat, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo , Jakarta, 1989 ; 196 204.
10. El.Mowavi DM. Ectopic Pregnancy. In Obstetri Simplifed Online,
retrieved on December 2002.

11. Graczykowski JW et al. Diagnostic of Acute and Persistence Ectopic


Pregnancy. In Clinical Obstetric and Gynecology. Lippincott Williams
& Wilkins, Inc. Vol.42. No.I. 199 ; 9-22
12. Gunawan A. Penangana Kehamilan Ektopik yang Belum Terganggu
dengan Methotrexate. Jurnal Medisina Nusantara, Volume 20 No.3.
1999 ; 155-161.
13. Davis S dkk. Kehamilan Ektopik. Dalam Seri Skema Diagnostik dan
Penatalaksanaan Obstetri. Edisi 2. Bina Rupa Aksara. Jakarta. 1998 ;
54-55.
14. Tabbakh M.E, Sayes. MS Tubal ectopic Pregnancy : Laparascopy vs
Laparatomy. Departement of Obstetric & Gynecology, Faculty of
Medicine, Al Azhar University, Cairo, Egypt. www. Obgyn.net/pb/pb
asp
15. Scott J, Roseff M.D, Ectopic Pregnancy: Modern Diagnosis and
Treatment.www.coolnurse.healthology.com/focus-article.asp
16. Buster J.E, Pisarska M.D Medical Menegement of Ectopic
Pregnancy.In : Clinical Obstetrics and Gynecology . Lippincott
Williams & Wilkins, Inc Volume 42. Number I. 1999;23-30

You might also like