You are on page 1of 2

Jorjoran Investasi TI, Bijak?

Amir Syafrudin
Pranata Komputer Pertama, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan
Email: amir.syafrudin@pajak.go.id

Satelit yang diluncurkan Bank Rakyat Indonesia (BRI) masih menjadi


pembicaraan hangat. Satelit yang dikenal dengan sebutan BRIsat itu telah
menjadikan BRI sebagai bank pertama di dunia yang memiliki dan
mengoperasikan satelitnya sendiri. Hal tersebut tidak hanya memberikan
kebanggaan tersendiri bagi rakyat Indonesia, tapi juga membuktikan bahwa BRI
akan terus tumbuh menjadi bank dengan skala internasional.
Berbagai situs berita menyebutkan bahwa biaya pembuatan dan peluncuran
BRIsat tembus 3 triliun rupiah. Nilai sebesar itu seharusnya tidak menjadi
masalah bagi BRI, tapi tetap tidak dapat dikatakan kecil. Investasi teknologi
informasi (TI) besar-besaran itu diharapkan dapat memangkas biaya yang
dikeluarkan BRI untuk komunikasi (termasuk sewa satelit) sebesar 40%. Bila
biaya komunikasi tersebut diperkirakan mencapai 500 miliar rupiah per tahun,
BRI akan menghemat 200 miliar rupiah per tahun. Bila BRIsat diperkirakan dapat
bertahan hidup selama 15 tahun, kehadirannya akan memangkas biaya
komunikasi BRI sebesar 3 triliun rupiah selama masa hidupnya.
Itu saja? Tentu tidak. Perkiraan kasar di atas hanya menggambarkan manfaat
berwujud investasi TI yang sangat mudah diidentifikasi, yaitu penghematan
biaya. Di balik itu, ada manfaat-manfaat lainnya yang dapat meningkatkan
keunggulan kompetitif BRI terhadap bank-bank lain seperti meningkatnya
kualitas layanan online (daring) atau meluasnya jangkauan layanan yang
disediakan BRI. Manfaat-manfaat tersebut justru memiliki nilai yang tinggi dan
sudah selayaknya menjadi manfaat-manfaat utama yang seharusnya diperoleh
dari BRIsat daripada sekedar penghematan biaya.
Bayangkan bila layanan daring BRI menjadi begitu handal sehingga setiap
bulannya transaksi Internet banking meningkat 1 transaksi untuk setiap
nasabah. Seandainya biaya transaksi tersebut adalah 500 rupiah per transaksi,
maka dengan 50 juta nasabah, BRI akan memperoleh pemasukan sebesar 25
miliar per bulan, 300 miliar per tahun, dan 4,5 triliun selama masa hidup BRIsat.
Bayangkan bila BRIsat memungkinkan penambahan 10 juta nasabah BRI baru di
berbagai daerah. Dengan biaya administrasi bulanan 5 ribu rupiah, BRI akan
mengantongi tambahan pemasukan sebesar 50 miliar per bulan, 600 miliar per
tahun, dan 9 triliun selama masa hidup BRIsat. Kalau kita ikut
mempertimbangkan tambahan uang yang dikelola BRI melalui penambahan
nasabah atau simpanan nasabah, kredit tambahan yang dapat diberikan dengan
tambahan uang tersebut, atau berbagai manfaat lainnya, nilai rupiah yang
diperoleh dari BRIsat jelas jauh lebih banyak dari penghematan biaya yang
diperoleh.
Pertanyaannya adalah haruskah bank-bank lain melakukan investasi sejenis atau
dalam konteks yang lebih umum, haruskah sebuah organisasi melakukan jorjoran
berinvestasi TI sesuai kapasitas masing-masing? Bukankah saat ini zaman
menyewa, bukan memiliki? Bukankah saat ini zaman komputasi awan, bukan onpremise? Bukankah saat ini investasi TI perlu ditekan untuk mendapatkan hasil

yang maksimal? Jawabannya adalah ya atau tidak karena layak atau


tidaknya investasi TI perlu dilihat dari besarnya manfaat yang diberikan, baik
berwujud maupun tidak berwujud.
BRIsat, yang berpotensi menghasilkan pemasukan berkali-kali lipat dari biaya
yang dibutuhkan, dapat meningkatkan keunggulan BRI dalam industri perbankan
di Indonesia. Contoh lainnya adalah penyedia layanan komputasi awan seperti
Amazon Web Services (AWS). AWS melakukan investasi besar untuk memperkuat
infrastruktur TI yang dimilikinya dan memperkuat dominasinya di pasar
komputasi awan. AWS pun terus memperluas pangsa pasarnya dengan
melakukan akuisisi dan membentuk kerja sama dengan organisasi lain di luar
industrinya. Sektor publik pun tidak mau ketinggalan dalam melakukan investasi
TI. Berbagai kota terus melakukan investasi untuk mewujudkan Smart City. Kotakota pintar tersebut menunjukkan manfaat-manfaat seperti turunnya emisi
karbon, naiknya kualitas transportasi dan layanan publik, atau mudahnya
pembangunan sehingga kota-kota tersebut menjadi kota yang lebih layak huni,
menarik lebih banyak wisatawan, atau bahkan menarik lebih banyak investor.
Pada akhirnya, kota-kota pintar tersebut lebih unggul dalam persaingan lokal,
regional, atau internasional dengan kota-kota lain.
Di sisi lain, tidak semua investasi besar memberikan hasil yang besar. Akuisisi
Tumblr, misalnya, masih belum memperlihatkan manfaat yang nyata bagi Yahoo.
Sementara itu, proyek e-KTP menjadi contoh investasi besar-besaran pemerintah
yang gagal mewujudkan manfaatnya secara maksimal. Kalaupun keduanya
direncanakan dengan baik, kemungkinan implementasinya tidak berjalan sesuai
rencana. Bahkan manfaat yang akan diberikan BRIsat akan jauh panggang dari
api bila BRI tidak menggunakan satelit tersebut secara maksimal.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa jorjoran berinvestasi TI tidak selalu
bijak. Tanpa didukung perencanaan dan implementasi yang memadai, organisasi
terkait harus siap menanggung kerugian besar. Investasi besar itu selayaknya
ditujukan untuk mencapai salah satu kekuatan yang dapat dinukil dari Porters
Five Forces, yaitu menghadang pendatang baru, mengalahkan produk alternatif
yang muncul, mengurangi daya tawar konsumen, mengurangi daya tawar
pemasok, atau mengalahkan pesaing dalam industri. Seandainya satu dari 5
manfaat tersebut dapat dicapai, kemungkinan besar investasi TI skala besar
tetap layak untuk dilakukan. Selain itu, manfaat-manfaat yang hendak dicapai
pun sebaiknya diukur menggunakan nilai rupiah sehingga terlihat jelas besarnya
pemasukan yang mungkin diperoleh walaupun masih bersifat tidak langsung.
Dengan perencanaan dan implementasi yang baik, jorjoran investasi TI tentu
saja akan menjadi menjadi sebuah keputusan yang bijak.

You might also like