Tidak semua investasi besar memberikan hasil yang besar. Tanpa didukung perencanaan dan implementasi yang memadai, organisasi terkait harus siap menanggung kerugian besar. Investasi besar itu selayaknya ditujukan untuk mencapai salah satu kekuatan yang dapat dinukil dari Porter’s Five Forces, yaitu menghadang pendatang baru, mengalahkan produk alternatif yang muncul, mengurangi daya tawar konsumen, mengurangi daya tawar pemasok, atau mengalahkan pesaing dalam industri. Seandainya satu dari 5 manfaat tersebut dapat dicapai, kemungkinan besar investasi TI skala besar tetap layak untuk dilakukan.
Tidak semua investasi besar memberikan hasil yang besar. Tanpa didukung perencanaan dan implementasi yang memadai, organisasi terkait harus siap menanggung kerugian besar. Investasi besar itu selayaknya ditujukan untuk mencapai salah satu kekuatan yang dapat dinukil dari Porter’s Five Forces, yaitu menghadang pendatang baru, mengalahkan produk alternatif yang muncul, mengurangi daya tawar konsumen, mengurangi daya tawar pemasok, atau mengalahkan pesaing dalam industri. Seandainya satu dari 5 manfaat tersebut dapat dicapai, kemungkinan besar investasi TI skala besar tetap layak untuk dilakukan.
Copyright:
Attribution (BY)
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online from Scribd
Tidak semua investasi besar memberikan hasil yang besar. Tanpa didukung perencanaan dan implementasi yang memadai, organisasi terkait harus siap menanggung kerugian besar. Investasi besar itu selayaknya ditujukan untuk mencapai salah satu kekuatan yang dapat dinukil dari Porter’s Five Forces, yaitu menghadang pendatang baru, mengalahkan produk alternatif yang muncul, mengurangi daya tawar konsumen, mengurangi daya tawar pemasok, atau mengalahkan pesaing dalam industri. Seandainya satu dari 5 manfaat tersebut dapat dicapai, kemungkinan besar investasi TI skala besar tetap layak untuk dilakukan.
Copyright:
Attribution (BY)
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online from Scribd
Amir Syafrudin Pranata Komputer Pertama, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Email: amir.syafrudin@pajak.go.id
Satelit yang diluncurkan Bank Rakyat Indonesia (BRI) masih menjadi
pembicaraan hangat. Satelit yang dikenal dengan sebutan BRIsat itu telah menjadikan BRI sebagai bank pertama di dunia yang memiliki dan mengoperasikan satelitnya sendiri. Hal tersebut tidak hanya memberikan kebanggaan tersendiri bagi rakyat Indonesia, tapi juga membuktikan bahwa BRI akan terus tumbuh menjadi bank dengan skala internasional. Berbagai situs berita menyebutkan bahwa biaya pembuatan dan peluncuran BRIsat tembus 3 triliun rupiah. Nilai sebesar itu seharusnya tidak menjadi masalah bagi BRI, tapi tetap tidak dapat dikatakan kecil. Investasi teknologi informasi (TI) besar-besaran itu diharapkan dapat memangkas biaya yang dikeluarkan BRI untuk komunikasi (termasuk sewa satelit) sebesar 40%. Bila biaya komunikasi tersebut diperkirakan mencapai 500 miliar rupiah per tahun, BRI akan menghemat 200 miliar rupiah per tahun. Bila BRIsat diperkirakan dapat bertahan hidup selama 15 tahun, kehadirannya akan memangkas biaya komunikasi BRI sebesar 3 triliun rupiah selama masa hidupnya. Itu saja? Tentu tidak. Perkiraan kasar di atas hanya menggambarkan manfaat berwujud investasi TI yang sangat mudah diidentifikasi, yaitu penghematan biaya. Di balik itu, ada manfaat-manfaat lainnya yang dapat meningkatkan keunggulan kompetitif BRI terhadap bank-bank lain seperti meningkatnya kualitas layanan online (daring) atau meluasnya jangkauan layanan yang disediakan BRI. Manfaat-manfaat tersebut justru memiliki nilai yang tinggi dan sudah selayaknya menjadi manfaat-manfaat utama yang seharusnya diperoleh dari BRIsat daripada sekedar penghematan biaya. Bayangkan bila layanan daring BRI menjadi begitu handal sehingga setiap bulannya transaksi Internet banking meningkat 1 transaksi untuk setiap nasabah. Seandainya biaya transaksi tersebut adalah 500 rupiah per transaksi, maka dengan 50 juta nasabah, BRI akan memperoleh pemasukan sebesar 25 miliar per bulan, 300 miliar per tahun, dan 4,5 triliun selama masa hidup BRIsat. Bayangkan bila BRIsat memungkinkan penambahan 10 juta nasabah BRI baru di berbagai daerah. Dengan biaya administrasi bulanan 5 ribu rupiah, BRI akan mengantongi tambahan pemasukan sebesar 50 miliar per bulan, 600 miliar per tahun, dan 9 triliun selama masa hidup BRIsat. Kalau kita ikut mempertimbangkan tambahan uang yang dikelola BRI melalui penambahan nasabah atau simpanan nasabah, kredit tambahan yang dapat diberikan dengan tambahan uang tersebut, atau berbagai manfaat lainnya, nilai rupiah yang diperoleh dari BRIsat jelas jauh lebih banyak dari penghematan biaya yang diperoleh. Pertanyaannya adalah haruskah bank-bank lain melakukan investasi sejenis atau dalam konteks yang lebih umum, haruskah sebuah organisasi melakukan jorjoran berinvestasi TI sesuai kapasitas masing-masing? Bukankah saat ini zaman menyewa, bukan memiliki? Bukankah saat ini zaman komputasi awan, bukan onpremise? Bukankah saat ini investasi TI perlu ditekan untuk mendapatkan hasil
yang maksimal? Jawabannya adalah ya atau tidak karena layak atau
tidaknya investasi TI perlu dilihat dari besarnya manfaat yang diberikan, baik berwujud maupun tidak berwujud. BRIsat, yang berpotensi menghasilkan pemasukan berkali-kali lipat dari biaya yang dibutuhkan, dapat meningkatkan keunggulan BRI dalam industri perbankan di Indonesia. Contoh lainnya adalah penyedia layanan komputasi awan seperti Amazon Web Services (AWS). AWS melakukan investasi besar untuk memperkuat infrastruktur TI yang dimilikinya dan memperkuat dominasinya di pasar komputasi awan. AWS pun terus memperluas pangsa pasarnya dengan melakukan akuisisi dan membentuk kerja sama dengan organisasi lain di luar industrinya. Sektor publik pun tidak mau ketinggalan dalam melakukan investasi TI. Berbagai kota terus melakukan investasi untuk mewujudkan Smart City. Kotakota pintar tersebut menunjukkan manfaat-manfaat seperti turunnya emisi karbon, naiknya kualitas transportasi dan layanan publik, atau mudahnya pembangunan sehingga kota-kota tersebut menjadi kota yang lebih layak huni, menarik lebih banyak wisatawan, atau bahkan menarik lebih banyak investor. Pada akhirnya, kota-kota pintar tersebut lebih unggul dalam persaingan lokal, regional, atau internasional dengan kota-kota lain. Di sisi lain, tidak semua investasi besar memberikan hasil yang besar. Akuisisi Tumblr, misalnya, masih belum memperlihatkan manfaat yang nyata bagi Yahoo. Sementara itu, proyek e-KTP menjadi contoh investasi besar-besaran pemerintah yang gagal mewujudkan manfaatnya secara maksimal. Kalaupun keduanya direncanakan dengan baik, kemungkinan implementasinya tidak berjalan sesuai rencana. Bahkan manfaat yang akan diberikan BRIsat akan jauh panggang dari api bila BRI tidak menggunakan satelit tersebut secara maksimal. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa jorjoran berinvestasi TI tidak selalu bijak. Tanpa didukung perencanaan dan implementasi yang memadai, organisasi terkait harus siap menanggung kerugian besar. Investasi besar itu selayaknya ditujukan untuk mencapai salah satu kekuatan yang dapat dinukil dari Porters Five Forces, yaitu menghadang pendatang baru, mengalahkan produk alternatif yang muncul, mengurangi daya tawar konsumen, mengurangi daya tawar pemasok, atau mengalahkan pesaing dalam industri. Seandainya satu dari 5 manfaat tersebut dapat dicapai, kemungkinan besar investasi TI skala besar tetap layak untuk dilakukan. Selain itu, manfaat-manfaat yang hendak dicapai pun sebaiknya diukur menggunakan nilai rupiah sehingga terlihat jelas besarnya pemasukan yang mungkin diperoleh walaupun masih bersifat tidak langsung. Dengan perencanaan dan implementasi yang baik, jorjoran investasi TI tentu saja akan menjadi menjadi sebuah keputusan yang bijak.