You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN
Bakterial vaginosis adalah sindrom klinik akibat pergantian Lactobacillus
Spp penghasil hidrogen peroksida (H2O2) yang merupakan flora normal vagina
dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi (contoh: Bacteroides Spp,
Mobilincus Spp), Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma hominis. Jadi, bakterial
vaginosis bukan suatu infeksi yang disebabkan oleh suatu organisme, tetapi timbul
akibat perubahan kimiawi dan pertumbuhan berlebih dari bakteri yang
berkolonisasi di vagina. Awalnya infeksi pada vagina hanya disebut dengan istilah
vaginitis, di dalamnya termasuk vaginitis akibat Trichomonas vaginalis dan akibat
bakteri anaerob lain berupa Streptococcus dan Bacteroides sehingga disebut
vaginitis nonspesifik. Setelah Gardner menemukan adanya spesies baru yang
akhirnya disebut Gardnerella vaginalis, istilah vaginitis nonspesifik pun mulai
ditinggalkan. Berbagai penelitian dilakukan dan hasilnya disimpulkan bahwa
Gardnerella melakukan simbiosis dengan berbagai bakteri anaerob, sehingga
menyebabkan manifestasi klinis vaginitis, diantaranya termasuk dari golongan
Mobilincus, Bacteriodes, Fusobacterium, Veilonella, dan golongan Eubacterium,
misalnya Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum dan Streptococcus
viridans.1
Aktivitas seksual diduga mempunyai peranan dalam hal timbulnya bakterial
vaginosis, bagaimanapun melakukan hubungan seksual bebas dan berganti-ganti
pasangan akan meningkatkan resiko wanita itu mendapat bakterial vaginosis.1
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap wanita dengan bakteriologis vagina
normal dan wanita dengan bakterial vaginosis, ditemukan bakteri aerob dan
bakteri anaerob pada semua perempuan. Lactobacillus adalah organisme dominan
pada wanita dengan sekret vagina normal dan tanpa vaginitis. Lactobacillus
biasanya ditemukan 80-95 % pada wanita dengan sekret vagina normal.
Sebaliknya, Lactobacillus ditemukan 25-65 % pada bakterial vaginosis.
Jika

dibiarkan

berlarut-larut

infeksi

vaginitis

bakterialis

tersebut

bisa

membahayakan kehamilannya. Tak hanya dapat menyebabkan persalinan

prematur (prematuritas), vaginitis bakterialis pada kehamilan juga dapat


menyebabkan ketuban pecah sebelum waktunya serta kelahiran bayi dengan berat
lahir rendah (kurang dari 2500 gram). Itu sebabnya, sangat diajurkan pada ibu
hamil agar segera melakukan pemeriksaan kehamilan tatkala mendapatkan dirinya
mengalami keputihan. Apalagi jika keputihan tersebut mulai timbul gejala gatal
yang sangat hingga cairan berbau.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Vaginosis bakterial adalah keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang
disebabkan

bertambahnya

pertumbuhan

flora

vagina

bakteri

anaerob

menggantikan Lactobacillus yang mempunyai konsentrasi tinggi sebagai flora


normal vagina. Awalnya infeksi pada vagina hanya disebut dengan istilah
vaginitis, di dalamnya termasuk vaginitis akibat Trichomonas vaginalis dan akibat
bakteri anaerob lain berupa Peptococcus dan Bacteroides, sehingga disebut
vaginitis nonspesifik. Setelah Gardner menemukan adanya spesies baru yang
akhirnya disebut Gardnerella vaginalis, istilah vaginitis nonspesifik pun mulai
ditinggalkan. Berbagai penelitian dilakukan dan hasilnya disimpulkan bahwa
Gardnerella melakukan simbiosis dengan berbagai bakteri anaerob sehingga
menyebabkan manifestasi klinis vaginitis, diantaranya termasuk dari golongan
Mobiluncus, Bacteroides, Fusobacterium, Veilonella, dan golongan Eubacterium,
2

misalnya Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, dan Streptococcus


viridans. Gardnerella vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob batang
gram variable yang mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan flora normal
vagina dari yang tadinya bersifat asam menjadi bersifat basa. Perubahan ini terjadi
akibat berkurangnya jumlah Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen
peroksida. Lactobacillus sendiri merupakan bakteri anaerob batang besar yang
membantu menjaga keasaman vagina dan menghambat mikroorganisme anaerob
lain untuk tumbuh di vagina.1,3,4
Vaginosis Bakterial (VB) tidak dikategorikan sebagai penyakit menular
seksual, meskipun penularannya berkaitan dengan kebiasaan hubungan seksual.
Hasil ini diperoleh dari tiga fakta:1,4,5
(1) insiden VB meningkat seiring dengan makin seringnya berhubungan seksual,
(2) pasangan seksual baru dapat berhubungan dengan VB, dan
(3) pasangan pria yang tidak ada gejala apa-apa ternyata banyak ditemukan
Gardnerella.
Pada intinya terdapat hubungan antara infeksi G.vaginalis dengan ras,
promiskuitas, stabilitas marital, dan kehamilan sebelumnya. Pada penggunaan
Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) dapat ditemukan serta diikuti infeksi
G.vaginalis dan kuman anaerob negatif-gram. Hampir 100% wanita menikah
yang mengalami tanda dan gejala VB di USA memelihara G.vaginalis yang juga
ditemukan pada hampir 70% pria pasangan seksualnya.4
2.2. EPIDEMIOLOGI
Penyakit bakterial vaginosis lebih sering ditemukan pada wanita yang
memeriksakan kesehatannya dari pada vaginitis jenis lainnya. Frekuensi
bergantung pada tingkatan sosial ekonomi penduduk pernah disebutkan bahwa 50
% wanita aktif seksual terkena infeksi G. vaginalis, tetapi hanya sedikit yang
menyebabkan gejala sekitar 50 % ditemukan pada pemakai AKDR dan 86 %
bersama-sama dengan infeksi Trichomonas.4
Pada wanita hamil, penelitian telah didokumentasikan mempunyai
prevalensi yang hampir sama dengan populasi yang tidak hamil, berkisar antara

6%-32%.31 Kira-kira 10-30% dari wanita hamil akan mendapatkan Vaginosis


bacterialis selama masa kehamilan mereka.4
Gardnerella vaginalis dapat diisolasi dari 15 % anak wanita prapubertas
yang masih perawan, sehingga organisme ini tidak mutlak ditularkan lewat kontak
seksual. Meskipun kasus bakterial vaginosis dilaporkan lebih tinggi pada klinik
PMS, tetapi peranan penularan secara seksual tidak jelas.1,2,4
Sebuah studi metaanalisis meneliti hubungan vaginosis bakterialis dengan
resiko persalinan preterm, dan didapatkan peningkatan resiko persalinan preterm
ibu hamil sebanyak 60%. Bakterial vaginosis yang rekuren dapat meningkat pada
wanita yang mulai aktivitas seksualnya sejak umur muda, lebih sering juga terjadi
pada wanita berkulit hitam yang menggunakan kontrasepsi dan merokok.
Bakterial vaginosis yang rekuren prevalensinya juga tinggi pada pasanganpasangan lesbi, yang mungkin berkembang karena wanita tersebut berganti-ganti
pasangan seksualnya ataupun yang sering melakukan penyemprotan pada vagina.4
Hampir 90 % laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi
Gardnerella vaginosis, mengandung G.vaginalis dengan biotipe yang sama dalam
uretra, tetapi tidak menyebabkan uretritis.3,5
2.3. ETIOLOGI
Meskipun penyebab dari vaginosis bacterialis belum diketahui dengan
pasti namun telah diketahui berhubungan dengan kondisi keseimbangan bakteri
normal dalam vagina yang berubah. Ekosistem vagina normal adalah sangat
kompleks. Lactobacillus merupakan spesies bakteri yang dominan (flora normal)
pada vagina wanita usia subur, tetapi ada juga bakteri lainnya yaitu bakteri aerob
dan anaerob. Pada saat bakterial vaginosis muncul, terdapat pertumbuhan
berlebihan dari beberapa spesies bakteri yang ditemukan, dimana dalam keadaan
normal ada dalam konsentrasi rendah.2,5
Penyebab bakterial vaginosis bukan organisme tunggal. Pada suatu analisis
dari data flora vagina memperlihatkan bahwa ada 3 kategori dari bakteri vagina
yang berhubungan dengan bakterial vaginosis, yaitu :4,5
1. Gardnerella vaginalis

Berbagai kepustakaan selama 30 tahun terakhir membenarkan observasi


Gardner dan Dukes bahwa Gardnerella vaginalis sangat erat hubungannya
dengan bakterial vaginosis.6 Organisme ini mula-mula dikenal sebagai
H.vaginalis kemudian diubah menjadi genus Gardnerella atas dasar penyelidikan
mengenai fenetopik dan asam dioksi-ribonukleat. Tidak mempunyai kapsul, tidak
bergerak dan berbentuk batang gram negatif atau variabel gram. Tes katalase,
oksidase, reduksi nitrat, indole, dan urease semuanya negatif.7

Gambar 1: Gardnerella vaginalis yang mengelilingi sel epitel vagina

Kuman ini bersifat fakultatif, dengan produksi akhir utama pada


fermentasi berupa asam asetat, banyak galur yang juga menghasilkan asam laktat
dan asam format. Ditemukan juga galur anaerob obligat. Dan untuk
pertumbuhannya dibutuhkan tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, biotin, purin,
dan pirimidin.7

Berbagai literatur dalam 30 tahun terakhir membuktikan bahwa G.


vaginalis berhubungan dengan bacterial vaginalis. Bagaimanapun dengan media
kultur yang lebih sensitive G. Vaginalis dapat diisolasi dalam konsentrasi yang
tinggi pada wanita tanpa tanda-tanda infeksi vagina. Saat ini dipercaya bahwa G.
vaginalis berinteraksi dengan bakteri anaerob dan hominis menyebabkan bakterial
vaginosis.7
2. Mycoplasma hominis
Pertumbuhan Mycoplasma hominis mungkin distimulasi oleh putrescine,
satu dari amin yang konsentrasinya meningkat pada bakterial vaginosis.
Konsentrasi normal bakteri dalam vagina biasanya 105 organisme/ml cairan
vagina dan meningkat menjadi 108-9 organisme/ml pada bakterial vaginosis.
Terjadi peningkatan konsentrasi Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob
termasuk Bacteroides, Leptostreptococcus, dan Mobilincus Spp sebesar 100-1000
kali lipat.4,7

Gambar 2 Mycoplasma hominis

3. Bakteri anaerob : Mobilincus Spp dan Bacteriodes Spp


Spiegel menyimpulkan bahwa bakteri anaerob berinteraksi dengan G.
Vaginalis untuk menimbulkan vaginosis. Peneliti lain memperkuat adanya
hubungan antara bakteri anaerob dengan bakterial vaginosis. Menurut
pengalaman, Bacteroides Spp paling sering dihubungkan dengan bakterial
vaginosis. Mikroorganisme anaerob yang lain yaitu Mobilincus Spp, merupakan
batang anaerob lengkung yang juga ditemukan pada vagina bersama-sama dengan
organisme lain yang dihubungkan dengan bakterial vaginosis. Mobilincus Spp
hampir tidak pernah ditemukan pada wanita normal, 85 % wanita dengan bakterial
vaginosis mengandung organisme ini. 3,4,7

Gambar 3 Bacteroides

2.4. PATOGENESIS
Ekosistem vagina adalah biokomuniti yang dinamik dan kompleks yang
terdiri dari unsur-unsur yang berbeda yang saling mempengaruhi. Salah satu
komponen lengkap dari ekosistem vagina adalah mikroflora vagina endogen, yang
terdiri dari gram positif dan gram negatif aerobik, bakteri fakultatif dan obligat

anaerobik. Aksi sinergetik dan antagonistik antara mikroflora vagina endogen


bersama dengan komponen lain, mengakibatkan tetap stabilnya sistem ekologi
yang mengarah pada kesehatan ekosistem vagina. Beberapa faktor/kondisi yang
menghasilkan perubahan keseimbangan menyebabkan ketidakseimbangan dalam
ekosistem

vagina

dan

perubahan

pada

mikroflora

vagina.

Dalam

keseimbangannya, ekosistem vagina didominasi oleh bakteri Lactobacillus yang


menghasilkan asam organik seperti asam laktat, hidrogen peroksida (H2O2), dan
bakteriosin.1,4
Asam laktat

seperti organic acid lanilla

yang

dihasilkan oleh

Lactobacillus, memegang peranan yang penting dalam memelihara pH tetap di


bawah 4,5 (antara 3,8 - 4,2), dimana merupakan tempat yang tidak sesuai bagi
pertumbuhan bakteri khususnya mikroorganisme yang patogen bagi vagina.
Kemampuan memproduksi H2O2 adalah mekanisme lain yang menyebabkan
Lactobacillus hidup dominan daripada bakteri obligat anaerob yang kekurangan
enzim katalase. Hidrogen peroksida dominan terdapat pada ekosistem vagina
normal tetapi tidak pada bakterial vaginosis. Mekanisme ketiga pertahanan yang
diproduksi oleh Lactobacillus adalah bakteriosin yang merupakan suatu protein
dengan berat molekul rendah yang menghambat pertumbuhan banyak bakteri
khususnya Gardnerella vaginalis.3
G. vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob batang variabel gram
yang mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan flora normal vagina dari
yang tadinya bersifat asam menjadi bersifat basa. Perubahan ini terjadi akibat
berkurangnya jumlah Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen peroksida.
Lactobacillus sendiri merupakan bakteri anaerob batang besar yang membantu
menjaga keasaman vagina dan menghambat mikroorganisme anaerob lain untuk
tumbuh di vagina.3
Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia
produktif. Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan
jernih yang keluar, bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan
sekresi dari kelenjar Bartolini. Pada wanita, sekret vagina ini merupakan suatu hal
yang alami dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai pelicin, dan pertahanan

dari berbagai infeksi. Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih,
putih keruh, atau berwarna kekuningan ketika mengering di pakaian, memiliki pH
kurang dari 5,0 terdiri dari sel-sel epitel yang matur, sejumlah normal leukosit,
tanpa jamur, Trichomonas, tanpa clue cell.1
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai
pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam
vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret
vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G. vaginalis. Beberapa
amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan
menyebabkan sekret tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari vagina.2,3,6
Basil-basil anaerob yang menyertai bakterial vaginosis diantaranya
Bacteroides bivins, B. Capilosus dan B. disiens yang dapat diisolasikan dari
infeksi

genitalia.

G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambahkan


deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding
vagina. Organisme ini tidak invasive dan respon inflamasi lokal yang terbatas
dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina dan
dengan

pemeriksaan

hubungannya

dengan

histopatologis.
aktivitas

Timbulnya

seksual

atau

bakterial
pernah

vaginosis

menderita

ada

infeksi

Trichomonas.2
Bakterial vaginosis yang sering rekurens bisa disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan tentang faktor penyebab berulangnya atau etiologi penyakit ini.
Walaupun alasan sering rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4
kemungkinan yang dapat menjelaskan yaitu : 2,4
1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab
bakterial vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi G.
vaginalis mengandung G. vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra
tetapi tidak menyebabkan uretritis pada laki-laki (asimptomatik) sehingga
wanita yang telah mengalami pengobatan bakterial vaginosis cenderung untuk
kambuh lagi akibat kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.

2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang hanya


dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai
flora normal yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.
4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor hostnya
pada penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.
2.5. GAMBARAN KLINIS
Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling
sering pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal
(terutama setelah melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang
khas yaitu bau amis/bau ikan (fishy odor).1
Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan
vagina menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan
terlepasnya amin dari perlekatannya pada protein dan amin yang menguap
menimbulkan bau yang khas. Walaupun beberapa wanita mempunyai gejala yang
khas, namun pada sebagian besar wanita dapat asimptomatik. Iritasi daerah vagina
atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar), kalau ditemukan lebih ringan daripada
yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau C.albicans. Sepertiga penderita
mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan seperlima timbul kemerahan dan edema
pada vulva. Nyeri abdomen, dispareuria, atau nyeri waktu kencing jarang terjadi,
dan kalau ada karena penyakit lain.4

10

Gambar 4: Vaginal discharge dari Vaginosis bacterialis

Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan


sering berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan
jarang berbusa. Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai
lapisan tipis atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada.
Sebaliknya sekret vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel
vagina yang memberikan gambaran bergerombol.1
Pada penderita dengan bakterial vaginosis tidak ditemukan inflamasi pada
vagina dan vulva. Bakterial vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus genital
bawah seperti trikomoniasis dan servisitis sehingga menimbulkan gejala genital
yang tidak spesifik.3

2.6 FAKTOR RESIKO


Faktor resiko yang mungkin menjadi predisposisi pasien terhadap
vaginosis bakterialis, mencakup :

Pemakaian antibiotik terlalu sering

Penurunan produksi estrogen.

Pemakaian AKDR

Sering membersihkan vagina.

Aktifitas melakukan hubungan seksual.7

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


11

1. Pemeriksaan preparat basah


Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada
sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan
dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400
kali) untuk melihat clue cells, yang merupakan sel epitel vagina yang
diselubungi

dengan

bakteri

(terutama

Gardnerella

vaginalis).6,13

Pemeriksaan preparat basah mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas


98% untuk mendeteksi bakterial vaginosis. Clue cells adalah penanda
bakterial vaginosis.1

Gambar 5 Clue cell

2. Whiff test
Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi
dengan penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau
muncul sebagai akibat pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi
bakteri anaerob. Whiff test positif menunjukkan bakterial vaginosis.1,4
3. Tes lakmus untuk pH
Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas
dibandingkan dengan warna standar. pH vagina normal 3,8 - 4,2. Pada 8090% bakterial vaginosis ditemukan pH > 4,5.5,6,12 1,4
4. Pewarnaan gram sekret vagina
Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak ditemukan
Lactobacillus

sebaliknya

ditemukan

pertumbuhan

berlebihan

dari

12

Gardnerella vaginalis dan atau Mobilincus Spp dan bakteri anaerob


lainnya.1,4
5. Kultur vagina
Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bakterial
vaginosis. Kultur vagina positif untuk G. vaginalis pada bakterial
vaginosis tanpa grjala klinis tidak perlu mendapat pengobatan.1,4
2.8 DIAGNOSIS
Diagnosis bakterial vaginosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan riwayat sekresi
vagina terus-menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang penderita mengeluh
iritasi pada vagina disertai disuria/dispareunia, atau nyeri abdomen.2,3,4
Pada pemeriksaan fisis relatif tidak banyak ditemukan apa-apa, kecuali
hanya sedikit inflamasi dapat juga ditemukan sekret vagina yang berwarna putih
atau abu-abu yang melekat pada dinding vagina. Gardner dan Dukes (1980)
menyatakan bahwa setiap wanita dengan aktivitas ovum normal mengeluarkan
cairan vagina berwarna abu-abu, homogen, berbau dengan pH 5 - 5,5 dan tidak
ditemukan T.vaginalis, kemungkinan besar menderita bakterial vaginosis.4
WHO (1980) menjelaskan bahwa diagnosis dibuat atas

dasar

ditemukannya clue cells, pH vagina lebih besar dari 4,5, tes amin positif dan
adanya G. vaginalis sebagai flora vagina utama menggantikan Lactobacillus.
Balckwell (1982) menegakkan diagnosis berdasarkan adanya cairan vagina yang
berbau amis dan ditemukannya clue cells tanpa T. vaginalis. Tes amin yang positif
serta pH vagina yang tinggi akan memperkuat diagnosis.1
Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu
diagnosis, oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis yang
sering disebut sebagai kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa terdapat
tiga dari empat gejala, yaitu :1,4
1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding
vagina dan abnormal
2. pH vagina > 4,5
3. Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis sebelum
atau setelah penambahan KOH 10% (Whiff test).
4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)
Gejala diatas sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Kriteria diagnosis
yang digunakan untuk wanita hamil adalah sama.
13

Bukti yang ada saat ini tidak mendukung perlunya skreening bakterial
vaginosis pada perempuan hamil pada populasi umum. Namun, skreening pada
kunjungan pertama prenatal direkomendasikan untuk pasien yang berisiko tinggi
untuk kelahiran prematur (misalnya pasien dengan riwayat prematur atau ruptur
membran yang prematur).4
2.7.1. Marker infeksi
Infeksi intrauterine seringnya terjadi kronik dan biasanya asimptomatik
hingga persalinan dimulai atau pecah ketubah. Bahkan selama persalinan,
kebanyakan wanita yang menunjukkan korioamnionitis kemudian (dengan temuan
histologis dan kultur) tidak memiliki gejala selain dari persalinan prematur tidak
demam, nyeri perut atau leukositosis darah tepi dan biasanya tidak terdapat
takikardi janin. Oleh karena itu, pengidentifikasian wanita dengan infeksi
intrauterine merupakan tantangan yang besar.4
Tempat infeksi yang sangat baik diteliti adalah cairan amnion. Seperti
halnya bakteri yang terkandung, cairan amnion dari wanita dengan infeksi
intrauterine memiliki kadar glukosa yang rendah, jumlah sel darah putih yang
tinggi dan tingginya konsentrasi komplemen C3 dan berbagai sitokin
dibandingkan cairan dari wanita yang tidak terinfeksi. Namun, pendeteksian
bakteri atau pengukuran sitokin dan analit lainnya dalam cairan amnion
memerlukan amniosintesis, dan tidak jelas bahwa amniosintesis meningkatkan
keluaran kehamilan, bahkan pada wanita dengan gejala persalinan prematur. Saat
datang, tidak cocok untuk mengambil cairan amnion secara rutin untuk menguji
infeksi intrauterine pada wanita yang sedang tidak dalam persalinan.4
Hasil yang positif pada sekret vagina untuk vaginosis bakterialis, apakah
yang dilakukan dengan pewarnaan Gram atau dengan menggunakan kriteria
Amsel (sekret vagina homogen, sel putih yang dilingkupi bakteri atau bau amina
ketika cairan vagina dicampurkan dengan kalium hidroksida dan pH di atas 4,5)
berhubungan dengan infeksi intrauterine dan memprediksikan persalinan
prematur. Pada wanita dengan persalinan prematur dan wanita asimptomatik, hasil
positif terhadap test sekret vagina atau serviks untuk fibronektin, suatu protein
membran plasenta, tidak hanya merupakan prediktor terbaik untuk persalinan

14

prematur spontan, tetapi juga sangat berhubungan dengan kelahiran prematur


selanjutya dan sepsis neonatorum. Diyakini bahwa infeksi intrauterine
mengganggu membran basement koriodesidua ekstraseluler, yang menyebabkan
kebocoran protein ini ke dalam serviks dan vagina.4
Pada wanita dengan gejala persalinan prematur, tingginya konsentrasi
banyak sitokin di dalam sekret vagina, termasuk tumor necrosis factor,
interleukin-1, interleukin-6, dan interleukin-8, berhubungan dengan persalinan
prematur. Pada wanita yang melakukan ANC rutin, tingginya kadar interleukin-6
serviks juga memprediksi persalinan prematur yang akan terjadi dan
menambahkan nilai ukuran prediktif untuk fibronektin. Namun, pemeriksaan lain
selain untuk vaginosis bakterialis, tidak ada pemeriksaan vagina atau serviks yang
sering digunakan untuk memprediksi infeksi intrauterine.4
Serviks yang pendek, yang ditentukan dengan USG, berhubungan dengan
beberapa marker infeksi dan korioamnionitis. Walaupun serviks yang pendek
mungkin memfasilitasi kenaikan bakteri ke uterus, ia juga seringnya pada
beberapa wanita, serviks memendek sebagai respon terhadap infeksi genital atas
yang sedang terjadi. Namun, karena persalinan prematur dini akibat infeksi susah
dibedakan dengan yang diakibatkan oleh struktur serviks yang inadekuat, masih
tidak jelas apakah panjang serviks memendek sebelum atau setelah infeksi
intrauterine silent.4
Wanita dengan gejala dan tanda persalinan prematur yang selanjutnya
mengalami persalinan prematur memiliki kadar interleukin-6, interleukin-8, dan
tumor necrosis factor serum yang tinggi. Pada wanita tanpa gejala persalinan
prematur yang diskrening secara rutin, granulocyte colony-stimulating factor
merupakan satu-satunya sitokin yang bersirkulasi dalam serum ditemukan
menjadi tinggi sebelum onset persalinan prematur. Marker infeksi nonsitokin
meliputi serum C-reactive protein yang tinggi dan kadar ferritin yang tinggi. Pada
wanita yang menjalani asuhan prenatal rutin, konsentrasi feritin serum yang
rendah mengindikasikan cadangan besi yang rendah, tetapi tingginya kadar feritin
serum tampaknya merupakan reaksi fase akut dan memprediksikan persalinan
prematur. Kadar Feritin serum juga berlipat ganda dalam minggu pertama setelah
pecah ketubah, yang mungkin mengindikasikan infeksi intrauterine yang

15

progresif. Tingginya kadar feritin serviks juga memprediksi persalinan prematur


spontan selanjutnya.4,5
Pada marker infeksi intrauterine, vaginosis bakterialis dan riwayat
persalinan prematur dini bisa ditentukan sebelum hamil. Sebelum usia kehamilan
20 minggu, vaginosis bakterialis, kadar fibronektin yang tinggi dalam cairan
vagina dan serviks yang pendek seluruhnya berkaitan dengan infeksi kronik.
Segera setelah pertengahan hamil, pada wanita yang tidak dalam masa persalinan,
tingginya kadar fibronektin serviks dan vagina, serviks yang pendek dan
konsentrasi beberapa sitokin dalam vagina atau cairan serviks yang tinggi, dan
tingginya granulocyte colony-stimulating factor serum dan kadar ferritin yang
tinggi telah dihubungkan dengan meningkatnya resiko persalinan prematur
spontan. Akhirnya, persalinan prematur antara 20 dan 28 minggu hamil sendirinya
berkaitan erat dengan infeksi intrauterine, dan kaitan ini bahkan lebih kuat ada
wanita dengan serviks yang pendek, kadar fibronektin vagina atau serviks yang
tinggi atau tingginya kadar berbagai sitokin dalam cairan amnion, serviks, atau
vagina atau dalam serum.2,4
Walaupun ada hubungan ini, tidak satupun marker ditemukan berguna
dalam pengembangan strategi untuk mengurangi prematuritas atau keterlambatan
persalinan pada wanita dengan atau tanpa gejala persalinan, kecuali wanita resiko
tinggi yang memiliki vaginosis bakterialis mungkin diuntungkan dari terapi
antibiotik. Untuk alasan ini, pengukuran marker lain dalam usaha untuk
mengurangi frekuensi kelahiran preterm tidak diindikasikan.3

2.9 DIAGNOSIS BANDING


Ada beberapa penyakit yang menggambarkan keadaan klinik yang mirip
dengan bakterial vaginosis, antara lain :1
1. Trikomoniasis

16

Trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh


Trichomonas vaginalis. Biasanya penyakit ini tidak bergejala tapi pada
beberapa keadaan trikomoniasis akan menunjukkan gejala. Terdapat duh tubuh
vagina berwarna kuning kehijauan, berbusa dan berbau. Eritem dan edem pada
vulva, juga vagina dan serviks pada beberapa perempuan. Serta pruritos,
disuria, dan dispareunia.1
Pemeriksaan apusan vagina Trikomoniasis sering sangat menyerupai
penampakan pemeriksaan apusan bakterial vaginosis. Tapi Mobilincus dan
clue cell tidak pernah ditemukan pada Trikomoniasis. Pemeriksaan
mikroskopoik tampak peningkatan sel polimorfonuklear dan dengan
pemeriksaan preparat basah ditemukan protozoa untuk diagnosis. Whiff test
dapat positif pada trikomoniasis dan pH vagina 5 pada trikomoniasis.1,5
2. Kandidiasis
Kandidiasis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh Candida
albicans atau kadang Candida yang lain. Gejala yang awalnya muncul pada
kandidiasis adalah pruritus akut dan keputihan. Keputihan seringkali tidak ada
dan hanya sedikit. Kadang dijumpai gambaran khas berupa vaginal thrush
yaitu bercak putih yang terdiri dari gumpalan jamur, jaringan nekrosis epitel
yang menempel pada vagina. Dapat juga disertai rasa sakit pada vagina iritasi,
rasa panas dan sakit saat berkemih. 1,5
Pada pemeriksaan mikroskopik, sekret vagina ditambah KOH 10%
berguna untuk mendeteksi hifa dan spora Candida. Keluhan yang paling sering
pada kandidiasis adalah gatal dan iritasi vagina. Sekret vagina biasanya putih
dan tebal, tanpa bau dan pH normal. Perbedaan ketiga penyakit ini dapat
dilihat dari table berikut :5
KANDIDIASIS

TRIKOMONIASIS

VAGINOSIS
BAKTERIALIS

Gejala

Gatal,iritasi

Nyeri,iritasi

Berbau

Warna

Putih kental

Kuning/hijau

Abu-abu

Konsistensi

Tebal

Berbusa

Cair

Bau

Jamur

Amis/bau busuk

Amis

17

pH

<4,5

>5,0

>4,5

Mikroskopis

Leukosit80%

Leukosit trikomonas

Leukosit,Clue cell

Kultur

Perlu

Bermanfaat

Tidak

2.10 PENATALAKSANAAN
Penyakit baktrerial vaginosis merupakan penyakit yang cukup banyak
ditemukan dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi. Sekitar 1 dari 4
wanita akan sembuh dengan sendirinya, hal ini diakibatkan karena organisme
Lactobacillus vagina kembali meningkat ke level normal, dan bakteri lain
mengalami penurunan jumlah. Namun pada beberapa wanita, bila bakterial
vaginosis tidak diberi pengobatan, akan menimbulkan keadaan yang lebih parah.
Oleh karena itu perlu mendapatkan pengobatan, dimana jenis obat yang digunakan
hendaknya tidak membahayakan dan sedikit efek sampingnya.1,4
Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan
pengobatan, termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara bakterial
vaginosis dengan wanita hamil dengan prematuritas atau endometritis pasca
partus, maka penting untuk mencari obat-obat yang efektif yang bisa digunakan
pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya menggunakan antibiotik seperti
metronidazol dan klindamisin untuk mengobati bakterial vaginosis. 1,4
a. Terapi sistemik
Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan yang
memberikan keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan dosis 2 x
400 mg atau 500 mg setiap hari selama 7 hari. Jika pengobatan ini gagal,
maka diberikan ampisilin oral (atau amoksisilin) yang merupakan pilihan
kedua dari pengobatan keberhasilan penyembuhan sekitar 66%).
Mempunyai aktivitas sedang terhadap G.vaginalis, tetapi sangat aktif

18

terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan inhibisi

anaerob. Metronidazol dapat menyebabkan mual dan urin menjadi gelap.


Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan
metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka
kesembuhan 94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil
klindamisin

dapat

menembus

ASI,

oleh

karena

itu

sebaiknya

menggunakan pengobatan intravagina untuk perempuan menyusui.


Amoksilav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari
selama 7 hari. Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap

metronidazol.
Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari.
Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari.
Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.

2. Terapi Topikal
Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.
Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.
Triple sulfonamide cream.3,6 (Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7%
dan Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini

dilaporkan angka penyembuhannya hanya 15 45 %.


Pengobatan bakterial vaginosis pada masa kehamilan. Terapi secara rutin
pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat muncul masalah.
Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama kehamilan karena
mempunyai efek samping terhadap fetus. Salah satu efek samping
penggunaan Metronidazole ialah teratogenik pada trimester pertama. Dosis
yang lebih rendah dianjurkan selama kehamilan untuk mengurangi efek
samping (Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari selama 7 hari untuk wanita
hamil). Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi ampisilin dan
amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol pada wanita
tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut memberi angka kesembuhan
yang rendah. Metronidazole

dapat

melewati

sawar

placenta

dan

memasuki sirkulasi ketuban dengan pesat. Studi reproduksi telah

19

dilakukan pada tikus di dosis sampai lima kali dosis manusia dan
dinyatakan tidak ada bukti perburukan kesuburan atau efek bahaya ke
janin karena Metronidazole. Tidak ada efek fetotoxicity selama penelitian
pemberian Metronidazole secara oral untuk tikus yang hamil pada 20 mg /

kg / hari, dosis manusia (750 mg / hari) berdasarkan mg / kg berat badan.


Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena
klindamisin tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester
II dan III dapat digunakan metronidazol oral walaupun mungkin lebih

disukai gel metronidazol vaginal atau klindamisin krim.


Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual. Terapi juga
diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan tidak berhubungan

selama masih dalam pengobatan.


Pengobatan secara oral atau lokal dapat digunakan untuk pengobatan pada
wanita hamil dengan gejala VB yang resiko rendah terhadap komplikasi
obstertri. Wanita tanpa gejala dan wanita tanpa faktor resiko persalinan
preterm tidak perlu menjalani skrening rutin untuk pemngobatan bacterial
vaginosis. Wanita dengan resiko tinggi persalinan preterm dapat mengikuti
skrining rutin dan pengobatan bacterial vaginosis. Jika pengobatan untuk
pencegahan terhadap komplikasi kehamilan dijalani, maka diharuskan
menggunakan metronidazole oral 2 kali sehari selama 7 hari. Topical (pada
vagina) tidak direkomendasikan untuk indikasi ini. Test skrining harus
diulangi 1 bulan setelah pengobatan untuk memastikan kesembuhan.

2.11KOMPLIKASI
Pada

kebanyakan

kasus,

bakterial

vaginosis

tidak

menimbulkan

komplikasi setelah pengobatan. Namun pada keadaan tertentu, dapat terjadi


komplikasi yang berat. Bakterial vaginosis sering dikaitkan dengan penyakit
radang panggul (Pelvic Inflamatory Disease/PID), dimana angka kejadian
bakterial vaginosis tinggi pada penderita PID. 4
Pada penderita bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat menimbulkan
komplikasi antara lain : kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat lahir
rendah, dan endometritis post partum. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan
20

agar semua wanita hamil yang sebelumnya melahirkan bayi prematur agar
memeriksakan diri untuk screening vaginosis bakterial, walaupun tidak
menunjukkan gejala sama sekali. 4
Mekanisme vaginosis bakterialis menyebabkan BBLR belum diketahui,
tetapi terdapat bukti dengan adanya infeksi traktus genitalia bagian atas dapat
membuat kelahiran prematur, melalui proses inflamasi.1
Endometritis adalah radang pada dinding uterus yang umumnya
disebabkan oleh partus. Dengan kata lain endometritis didefinisikan sebagai
inflamasi dari endometrium Derajat efeknya terhadap fertilitas bervariasi dalam
hal keparahan radang, waktu yang diperlukan intuk penyembuhan lesi
endometrium, dan tingkat perubahan permanen yang merusak fungsi dari glandula
endometrium dan/atau merubah lingkungan uterus dan/atau oviduk. Organisme
nonspesifik primer yang dikaitkan dengan patologi endometrial adalah
Corynebacterium pyogenes dan gram negatif anaerob.2
Bakterial vaginosis disertai peningkatan resiko infeksi traktus urinarius.
Prinsip bahwa konsentrasi tinggi bakteri pada suatu tempat meningkatkan
frekuensi di tempat yang berdekatan. Terjadi peningkatan infeksi traktus genitalis
atas berhubungan dengan bakterial vaginosis.4
2.12 PROGNOSIS
Prognosis bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita
walaupun tidak menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang
sama dapat dipakai. Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya
dapat disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3
kasus. Dengan pengobatan metronidazol dan klindamisin memberi angka
kesembuhan yang tinggi (84-96%).1,4

21

BAB III
KESIMPULAN
Bakterial vaginosis adalah suatu keadaan yang abnormal pada vagina yang
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi
(Bacteroides Spp, Mobilincus Spp, Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis)
menggantikan flora normal vagina (Lactobacillus Spp) yang menghasilkan
hidrogen peroksida sehingga vagina yang tadinya bersifat asam (pH normal
vagina 3,8 4,2) berubah menjadi bersifat basa.
Menurut Amsel, untuk menegakkan diagnosa dengan ditemukannya tiga
dari empat gejala, yakni : sekret vagina yang homogen, tipis, putih dan melekat,
pH vagina > 4,5, tes amin yang positif; adanya clue cells pada sediaan basah
(sedikitnya 20% dari seluruh epitel) yang merupakan penanda bakterial vaginosis.
Pengobatan bakterial vaginosis biasanya menggunakan antibiotik seperti
metronidazol dan klindamisin. Untuk keputihan yang ditularkan melalui
22

hubungan seksual terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan
tidak berhubungan selama masih dalam pengobatan.
Pada penderita bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat menimbulkan
komplikasi antara lain : kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat lahir
rendah, dan endometritis post partum. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan
agar semua wanita hamil yang sebelumnya melahirkan bayi prematur agar
memeriksakan diri untuk screening vaginosis bakterial, walaupun tidak
menunjukkan gejala sama sekali.

DAFTAR PUSTAKA
1. Judanarso J. Vaginosis bakterial. In: Adhi djuanda, editor. Ilmu penyakit kulit
dan kelamin 4th edition . Jakarta: Balai penerbit FKUI ; 2006. P.384-89
2. Sylvia YM. Bakteri anaerob: yang erat kaitannya dengan problem di klinik.
Jakarta : EGC ; 2007.
3. Sweet RL. Gibbs RS. Infectious diseases of the female genital tract.
Baltimore: Williams and Wilkins. 1990.
4. Dewi AW. Studi prevalensi dan keberhasilan terapi vaginosis bakterialis pada
ibu hamil (dissertation). Semarang: Universitas Diponegoro; 2003
5. Davey Patrick. Duh tubuh vagina dan uretritis. In : At a Glance Medicine.
Jakarta: Erlangga ; 2005. P.74-75.
6. Hiller SL. Holmes KK. Bacterial vaginosis. In : Holmes KK. Mardh PA.
Sparling PF et al eds. Sexually transmitted diseases. New York. Mc Graw hill
information services co. 1998 : 547-59.

23

7. Girerd, H. Philippe MD Associate Professor, Departement of Obstretrics and


Gynecology, Virginia Commonwealth University, Medical College of Virginia.
Bacterialis Vaginosis. Medscape Reference drugs, diseases, and procedures.
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/254342-overview (2016)

24

You might also like