Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Bakterial vaginosis adalah sindrom klinik akibat pergantian Lactobacillus
Spp penghasil hidrogen peroksida (H2O2) yang merupakan flora normal vagina
dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi (contoh: Bacteroides Spp,
Mobilincus Spp), Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma hominis. Jadi, bakterial
vaginosis bukan suatu infeksi yang disebabkan oleh suatu organisme, tetapi timbul
akibat perubahan kimiawi dan pertumbuhan berlebih dari bakteri yang
berkolonisasi di vagina. Awalnya infeksi pada vagina hanya disebut dengan istilah
vaginitis, di dalamnya termasuk vaginitis akibat Trichomonas vaginalis dan akibat
bakteri anaerob lain berupa Streptococcus dan Bacteroides sehingga disebut
vaginitis nonspesifik. Setelah Gardner menemukan adanya spesies baru yang
akhirnya disebut Gardnerella vaginalis, istilah vaginitis nonspesifik pun mulai
ditinggalkan. Berbagai penelitian dilakukan dan hasilnya disimpulkan bahwa
Gardnerella melakukan simbiosis dengan berbagai bakteri anaerob, sehingga
menyebabkan manifestasi klinis vaginitis, diantaranya termasuk dari golongan
Mobilincus, Bacteriodes, Fusobacterium, Veilonella, dan golongan Eubacterium,
misalnya Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum dan Streptococcus
viridans.1
Aktivitas seksual diduga mempunyai peranan dalam hal timbulnya bakterial
vaginosis, bagaimanapun melakukan hubungan seksual bebas dan berganti-ganti
pasangan akan meningkatkan resiko wanita itu mendapat bakterial vaginosis.1
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap wanita dengan bakteriologis vagina
normal dan wanita dengan bakterial vaginosis, ditemukan bakteri aerob dan
bakteri anaerob pada semua perempuan. Lactobacillus adalah organisme dominan
pada wanita dengan sekret vagina normal dan tanpa vaginitis. Lactobacillus
biasanya ditemukan 80-95 % pada wanita dengan sekret vagina normal.
Sebaliknya, Lactobacillus ditemukan 25-65 % pada bakterial vaginosis.
Jika
dibiarkan
berlarut-larut
infeksi
vaginitis
bakterialis
tersebut
bisa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Vaginosis bakterial adalah keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang
disebabkan
bertambahnya
pertumbuhan
flora
vagina
bakteri
anaerob
Gambar 3 Bacteroides
2.4. PATOGENESIS
Ekosistem vagina adalah biokomuniti yang dinamik dan kompleks yang
terdiri dari unsur-unsur yang berbeda yang saling mempengaruhi. Salah satu
komponen lengkap dari ekosistem vagina adalah mikroflora vagina endogen, yang
terdiri dari gram positif dan gram negatif aerobik, bakteri fakultatif dan obligat
vagina
dan
perubahan
pada
mikroflora
vagina.
Dalam
yang
dihasilkan oleh
dari berbagai infeksi. Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih,
putih keruh, atau berwarna kekuningan ketika mengering di pakaian, memiliki pH
kurang dari 5,0 terdiri dari sel-sel epitel yang matur, sejumlah normal leukosit,
tanpa jamur, Trichomonas, tanpa clue cell.1
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai
pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam
vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret
vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G. vaginalis. Beberapa
amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan
menyebabkan sekret tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari vagina.2,3,6
Basil-basil anaerob yang menyertai bakterial vaginosis diantaranya
Bacteroides bivins, B. Capilosus dan B. disiens yang dapat diisolasikan dari
infeksi
genitalia.
pemeriksaan
hubungannya
dengan
histopatologis.
aktivitas
Timbulnya
seksual
atau
bakterial
pernah
vaginosis
menderita
ada
infeksi
Trichomonas.2
Bakterial vaginosis yang sering rekurens bisa disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan tentang faktor penyebab berulangnya atau etiologi penyakit ini.
Walaupun alasan sering rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4
kemungkinan yang dapat menjelaskan yaitu : 2,4
1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab
bakterial vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi G.
vaginalis mengandung G. vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra
tetapi tidak menyebabkan uretritis pada laki-laki (asimptomatik) sehingga
wanita yang telah mengalami pengobatan bakterial vaginosis cenderung untuk
kambuh lagi akibat kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.
10
Pemakaian AKDR
dengan
bakteri
(terutama
Gardnerella
vaginalis).6,13
2. Whiff test
Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi
dengan penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau
muncul sebagai akibat pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi
bakteri anaerob. Whiff test positif menunjukkan bakterial vaginosis.1,4
3. Tes lakmus untuk pH
Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas
dibandingkan dengan warna standar. pH vagina normal 3,8 - 4,2. Pada 8090% bakterial vaginosis ditemukan pH > 4,5.5,6,12 1,4
4. Pewarnaan gram sekret vagina
Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak ditemukan
Lactobacillus
sebaliknya
ditemukan
pertumbuhan
berlebihan
dari
12
dasar
ditemukannya clue cells, pH vagina lebih besar dari 4,5, tes amin positif dan
adanya G. vaginalis sebagai flora vagina utama menggantikan Lactobacillus.
Balckwell (1982) menegakkan diagnosis berdasarkan adanya cairan vagina yang
berbau amis dan ditemukannya clue cells tanpa T. vaginalis. Tes amin yang positif
serta pH vagina yang tinggi akan memperkuat diagnosis.1
Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu
diagnosis, oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis yang
sering disebut sebagai kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa terdapat
tiga dari empat gejala, yaitu :1,4
1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding
vagina dan abnormal
2. pH vagina > 4,5
3. Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis sebelum
atau setelah penambahan KOH 10% (Whiff test).
4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)
Gejala diatas sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Kriteria diagnosis
yang digunakan untuk wanita hamil adalah sama.
13
Bukti yang ada saat ini tidak mendukung perlunya skreening bakterial
vaginosis pada perempuan hamil pada populasi umum. Namun, skreening pada
kunjungan pertama prenatal direkomendasikan untuk pasien yang berisiko tinggi
untuk kelahiran prematur (misalnya pasien dengan riwayat prematur atau ruptur
membran yang prematur).4
2.7.1. Marker infeksi
Infeksi intrauterine seringnya terjadi kronik dan biasanya asimptomatik
hingga persalinan dimulai atau pecah ketubah. Bahkan selama persalinan,
kebanyakan wanita yang menunjukkan korioamnionitis kemudian (dengan temuan
histologis dan kultur) tidak memiliki gejala selain dari persalinan prematur tidak
demam, nyeri perut atau leukositosis darah tepi dan biasanya tidak terdapat
takikardi janin. Oleh karena itu, pengidentifikasian wanita dengan infeksi
intrauterine merupakan tantangan yang besar.4
Tempat infeksi yang sangat baik diteliti adalah cairan amnion. Seperti
halnya bakteri yang terkandung, cairan amnion dari wanita dengan infeksi
intrauterine memiliki kadar glukosa yang rendah, jumlah sel darah putih yang
tinggi dan tingginya konsentrasi komplemen C3 dan berbagai sitokin
dibandingkan cairan dari wanita yang tidak terinfeksi. Namun, pendeteksian
bakteri atau pengukuran sitokin dan analit lainnya dalam cairan amnion
memerlukan amniosintesis, dan tidak jelas bahwa amniosintesis meningkatkan
keluaran kehamilan, bahkan pada wanita dengan gejala persalinan prematur. Saat
datang, tidak cocok untuk mengambil cairan amnion secara rutin untuk menguji
infeksi intrauterine pada wanita yang sedang tidak dalam persalinan.4
Hasil yang positif pada sekret vagina untuk vaginosis bakterialis, apakah
yang dilakukan dengan pewarnaan Gram atau dengan menggunakan kriteria
Amsel (sekret vagina homogen, sel putih yang dilingkupi bakteri atau bau amina
ketika cairan vagina dicampurkan dengan kalium hidroksida dan pH di atas 4,5)
berhubungan dengan infeksi intrauterine dan memprediksikan persalinan
prematur. Pada wanita dengan persalinan prematur dan wanita asimptomatik, hasil
positif terhadap test sekret vagina atau serviks untuk fibronektin, suatu protein
membran plasenta, tidak hanya merupakan prediktor terbaik untuk persalinan
14
15
16
TRIKOMONIASIS
VAGINOSIS
BAKTERIALIS
Gejala
Gatal,iritasi
Nyeri,iritasi
Berbau
Warna
Putih kental
Kuning/hijau
Abu-abu
Konsistensi
Tebal
Berbusa
Cair
Bau
Jamur
Amis/bau busuk
Amis
17
pH
<4,5
>5,0
>4,5
Mikroskopis
Leukosit80%
Leukosit trikomonas
Leukosit,Clue cell
Kultur
Perlu
Bermanfaat
Tidak
2.10 PENATALAKSANAAN
Penyakit baktrerial vaginosis merupakan penyakit yang cukup banyak
ditemukan dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi. Sekitar 1 dari 4
wanita akan sembuh dengan sendirinya, hal ini diakibatkan karena organisme
Lactobacillus vagina kembali meningkat ke level normal, dan bakteri lain
mengalami penurunan jumlah. Namun pada beberapa wanita, bila bakterial
vaginosis tidak diberi pengobatan, akan menimbulkan keadaan yang lebih parah.
Oleh karena itu perlu mendapatkan pengobatan, dimana jenis obat yang digunakan
hendaknya tidak membahayakan dan sedikit efek sampingnya.1,4
Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan
pengobatan, termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara bakterial
vaginosis dengan wanita hamil dengan prematuritas atau endometritis pasca
partus, maka penting untuk mencari obat-obat yang efektif yang bisa digunakan
pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya menggunakan antibiotik seperti
metronidazol dan klindamisin untuk mengobati bakterial vaginosis. 1,4
a. Terapi sistemik
Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan yang
memberikan keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan dosis 2 x
400 mg atau 500 mg setiap hari selama 7 hari. Jika pengobatan ini gagal,
maka diberikan ampisilin oral (atau amoksisilin) yang merupakan pilihan
kedua dari pengobatan keberhasilan penyembuhan sekitar 66%).
Mempunyai aktivitas sedang terhadap G.vaginalis, tetapi sangat aktif
18
dapat
menembus
ASI,
oleh
karena
itu
sebaiknya
metronidazol.
Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari.
Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari.
Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
2. Terapi Topikal
Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.
Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.
Triple sulfonamide cream.3,6 (Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7%
dan Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini
dapat
melewati
sawar
placenta
dan
19
dilakukan pada tikus di dosis sampai lima kali dosis manusia dan
dinyatakan tidak ada bukti perburukan kesuburan atau efek bahaya ke
janin karena Metronidazole. Tidak ada efek fetotoxicity selama penelitian
pemberian Metronidazole secara oral untuk tikus yang hamil pada 20 mg /
2.11KOMPLIKASI
Pada
kebanyakan
kasus,
bakterial
vaginosis
tidak
menimbulkan
agar semua wanita hamil yang sebelumnya melahirkan bayi prematur agar
memeriksakan diri untuk screening vaginosis bakterial, walaupun tidak
menunjukkan gejala sama sekali. 4
Mekanisme vaginosis bakterialis menyebabkan BBLR belum diketahui,
tetapi terdapat bukti dengan adanya infeksi traktus genitalia bagian atas dapat
membuat kelahiran prematur, melalui proses inflamasi.1
Endometritis adalah radang pada dinding uterus yang umumnya
disebabkan oleh partus. Dengan kata lain endometritis didefinisikan sebagai
inflamasi dari endometrium Derajat efeknya terhadap fertilitas bervariasi dalam
hal keparahan radang, waktu yang diperlukan intuk penyembuhan lesi
endometrium, dan tingkat perubahan permanen yang merusak fungsi dari glandula
endometrium dan/atau merubah lingkungan uterus dan/atau oviduk. Organisme
nonspesifik primer yang dikaitkan dengan patologi endometrial adalah
Corynebacterium pyogenes dan gram negatif anaerob.2
Bakterial vaginosis disertai peningkatan resiko infeksi traktus urinarius.
Prinsip bahwa konsentrasi tinggi bakteri pada suatu tempat meningkatkan
frekuensi di tempat yang berdekatan. Terjadi peningkatan infeksi traktus genitalis
atas berhubungan dengan bakterial vaginosis.4
2.12 PROGNOSIS
Prognosis bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita
walaupun tidak menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang
sama dapat dipakai. Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya
dapat disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3
kasus. Dengan pengobatan metronidazol dan klindamisin memberi angka
kesembuhan yang tinggi (84-96%).1,4
21
BAB III
KESIMPULAN
Bakterial vaginosis adalah suatu keadaan yang abnormal pada vagina yang
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi
(Bacteroides Spp, Mobilincus Spp, Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis)
menggantikan flora normal vagina (Lactobacillus Spp) yang menghasilkan
hidrogen peroksida sehingga vagina yang tadinya bersifat asam (pH normal
vagina 3,8 4,2) berubah menjadi bersifat basa.
Menurut Amsel, untuk menegakkan diagnosa dengan ditemukannya tiga
dari empat gejala, yakni : sekret vagina yang homogen, tipis, putih dan melekat,
pH vagina > 4,5, tes amin yang positif; adanya clue cells pada sediaan basah
(sedikitnya 20% dari seluruh epitel) yang merupakan penanda bakterial vaginosis.
Pengobatan bakterial vaginosis biasanya menggunakan antibiotik seperti
metronidazol dan klindamisin. Untuk keputihan yang ditularkan melalui
22
hubungan seksual terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan
tidak berhubungan selama masih dalam pengobatan.
Pada penderita bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat menimbulkan
komplikasi antara lain : kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat lahir
rendah, dan endometritis post partum. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan
agar semua wanita hamil yang sebelumnya melahirkan bayi prematur agar
memeriksakan diri untuk screening vaginosis bakterial, walaupun tidak
menunjukkan gejala sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
1. Judanarso J. Vaginosis bakterial. In: Adhi djuanda, editor. Ilmu penyakit kulit
dan kelamin 4th edition . Jakarta: Balai penerbit FKUI ; 2006. P.384-89
2. Sylvia YM. Bakteri anaerob: yang erat kaitannya dengan problem di klinik.
Jakarta : EGC ; 2007.
3. Sweet RL. Gibbs RS. Infectious diseases of the female genital tract.
Baltimore: Williams and Wilkins. 1990.
4. Dewi AW. Studi prevalensi dan keberhasilan terapi vaginosis bakterialis pada
ibu hamil (dissertation). Semarang: Universitas Diponegoro; 2003
5. Davey Patrick. Duh tubuh vagina dan uretritis. In : At a Glance Medicine.
Jakarta: Erlangga ; 2005. P.74-75.
6. Hiller SL. Holmes KK. Bacterial vaginosis. In : Holmes KK. Mardh PA.
Sparling PF et al eds. Sexually transmitted diseases. New York. Mc Graw hill
information services co. 1998 : 547-59.
23
24