Professional Documents
Culture Documents
KAJIAN PUSTAKA
2.1.3 Tibia
Tibia merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih medial dibanding
dengan fibula. Di bagian proksimal, tibia memiliki condyle medial dan lateral di
mana keduanya merupakan facies untuk artikulasi dengan condyle femur.
Terdapat juga facies untuk berartikulasi dengan kepala fibula di sisi lateral. Selain
itu, tibia memiliki tuberositas untuk perlekatan ligamen. Di daerah distal tibia
membentuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal dan malleolus medial.
2.1.4 Fibula
Fibula merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih lateral dibanding
dengan tibia. Di bagian proksimal, fibula berartikulasi dengan tibia. Sedangkan di
bagian distal, fibula membentuk malleolus lateral dan facies untuk artikulasi
dengan tulang-tulang tarsal.
2.1.5 Tarsal
Tarsal merupakan 7 tulang yang membentuk artikulasi dengan fibula dan di
proksimal dan dengan metatarsal di distal.Terdapat 7 tulang tarsal, yaitu calcaneus
(berperan sebagai tulang penyanggah berdiri), talus, cuboid, navicular, dan
cuneiform (1, 2, 3).
2.1.6 Metatarsal
Metatarsal merupakan 5 tulang yang berartikulasi dengan tarsal di proksimal
dan dengan tulang phalangs di distal. Khusus di tulang metatarsal 1 (ibu jari)
terdapat 2 tulang sesamoid.
2.1.7 Phalangs
Phalangs merupakan tulang jari-jari kaki.Terdapat 2 tulang phalangs di ibu
jari dan 3 phalangs di masing-masing jari sisanya. Karena tidak ada sendi pelana
di ibu jari kaki, menyebabkan jari tersebut tidak sefleksibel ibu jari tangan.
10
11
12
sistemic lupus
13
Gambar 2.3 C-Reactive Protein sebagai penanda reaksi inflamasi (Rhodes, 2011)
2.4 Leukosit
Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih.
Rata-rata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 5000-9000/mm3
(Effendi Z, 2003). Terdapat dua jenis leukosit, yaitu:
1.
2.
Agranuler:
-
14
prominen, terutamaa pada jaringan ikat dibawah epitel seperti saluran nafas.
Sel-sel sistem imun non spesifik seperti sel mast, basophil, limfosit,
eosinophil dan makrofag jaringan berperan dalam inflamasi, beberapa diantaranya
menimbulkan vasodilatasi dan edema serta meningkatkan adhesi neutrophil dan
monosit ke endotel. Vasodilatasi meningkatkan persediaan darah untuk
memberikan lebih banyak molekul dan sel yang diperlukan untuk memerangi anti
gen yang mencetuskan inflamasi. Kerusakan jaringan langsung disebabkan oleh
15
16
sebagai suatu adjuvant analgetik pada anestesi umum dan untuk analgesia
pascabedah pada prosedur-prosedur operasi ekstremitas bawah, pelvis, perineum,
abdomen bawah, dan mungkin saja dapat dikerjakan pada prosedur-prosedur
pembedahan thorak dan abdomen atas. Kelebihan anestesi epidural adalah
kemampuan untuk memelihara anestesi kontinu setelah penempatan kateter
epidural, jadi membuatnya pantas untuk digunakan dalam prosedur-prosedur
pembenahan yang berdurasi panjang. Anestesia epidural dihasilkan dengan
menyuntikkan obat anestesi lokal kedalam ruang epidural di daerah lumbal atau
thorakal.
Blokade epidural menghasilkan blokade sistim saraf simpatis, analgesia atau
anestesia sensorik dan blokade motorik yang tergantung pada dosis, kosentrasi
atau volume anestesi lokal setelah pemberian melalui jarum atau kateter ke plana
neuroaksila.
2.5.1 Anatomi ruang epidural
Ruang epidural diameternya kurang lebih 0,5 cm dan paling lebar didaerah
L2. Dibatasi oleh duramater disebelah dalam, dimana kantong duramater berakhir
di S2 kira-kira 1 cm dibawah dan medial dari level spina iliaka posterior superior
(SIPS), bagian posterior dibatasi oleh ligamentum flavum. Permukaan anterior
lamina dan processus artikularis. Bagian anterior dibatasi oleh ligamentum
longitudinal
posterior
yang
membungkus
tulang
vertebra
dan
discus
17
berhubungan dengan pembuluh vena intracranial, karena itu obat anestesi lokal
atau udara dapat langsung naik ke otak. Vena menjadi distensi pada keadaan
batuk, mengedan atau gravida aterm, sehingga ruangan ini mengecil pada keadaan
tersebut.
Pasien menolak
Koagulopathy
18
Kontraindikasi relatif
-
Sepsis
Gangguan neurologis
2.
3.
b.
4.
5.
19
a.
20
Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural dilakukan uji
dosis (test dose).
Pemasangan kateter :
Kateter dimasukkan sepanjang 2-5 cm kedalam ruang epidural. Pasien dapat
mengalami parastesia secara tiba-tiba yang bersifat sementara, bila keadaan
ini menetap maka kateter seharusnya dicabut dari jarum. Jika kateter harus
dicabut, kateter dan jarum harus dibuka bersama-sama. Jika kateter telah
dimasukkan,jarum dicabut perlahan-lahan, kateter ini ditarik sampai sekitar 25 cm didalam ruang epidural.
Tes Dosis
Karena analgesia epidural termasuk menginjeksikan sejumlah besar obat
anestesik lokal, pemasangan kateter mesti berada pada tempat yang benar.
Aspirasi dari spuit, jika ada darah atau CSS, kateter epidural ditarik kembali
dan ditempatkan ditempat yang lain. Walaupun tidak ada darah atau CSS
dalam kateter, pemberian obat intravaskuler dan intratekal tidak bisa diterima,
jadi tes dosis selalu diperlukan. Uji anestetik lokal untuk epidural dosis
tunggal dilakukan setelah ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural
21
dan untuk dosis berulang (kontinyu) melalui kateter. Hal ini terdiri dari 3
mlanestetik lokal dari konsentrasi yang sama untuk anestesi spinal dan
mengandung 15 g epinefrin (lidokain 1,5 % dan epinefrin 1 : 200.000 yang
sering digunakan). Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar
letak jarum atau kateter benar.
-
8.
Cara penyuntikan :
Setelah diyakini posisi jarum atau kateter benar, suntikkan anestetik lokal
secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml sampai tercapai dosis total.
Suntikan terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural mendadak
tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan intrakranial, nyeri kepala
dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.
22
b.
c.
2.5.4 Komplikasi
Komplikasi analgesia epidural hampir sama dengan analgesia spinal. Ada
beberapa resiko tambahan, yaitu :
1. Toksisitas anestetik lokal.
Dosis anestetik besar yang digunakan pada anestesi epidural menentukan
resiko terhadap cepat dan lambatnya toksisitas. Reaksi toksisitas segera
diakibatkan oleh pemberian secara langsung anestetik lokal secara
intravaskuler, dan reaksi toksisitas lambat mengikuti absorbsi dari
anestetik lokal. Pasien mungkin mengeluh rasa pahit pada lidah, sakit
kepala berat, mendenging, irritability, kejang-kejang, hipotensi dan
hilangnya kesadaran. Dengan penambahan epinefrin kedalam obat-obatan
akan mengurangi absorbsi obat pada ruang epidural.
2. Punksi duramater dengan jarum besar.
Resiko sakit kepala yang mengikuti punksi duramater yang tidak hati-hati
sangat besar, karena diameter jarum epidural yang digunakan lebih besar.
Jika duramater dipunksi dengan jarum epidural ada empat tindakan yang
dapat diambil :
-
23
total spinal bila disuntikkan lebih dari 7 ml obat analgesia lokal. Dosis
anestetik tunggal dapat diberikan untuk membuat analgesia spinal.
-
3. Trauma langsung batang spinal mungkin dapat terjadi jika injeksi epidural
diatas L2.
4. Perdarahan terbuka, perforasi pada satu vena epidural oleh jarum akan
mengakibatkan perdarahan tiba-tiba. Jarum seharusnya dibuka dan
direposisi pada interspace yang berbeda.
2.5.5 Mekanisme kerja
Anestesi lokal yang ditempatkan pada epidural lumbal atau ruang sacral
kaudal menyebabkan terjadinya anestesi epidural melalui mekanisme :
1. Anestesi lokal berdifusi melalui lapisan duramater memasuki cairan
cerebro spinalis untuk bekerja pada percabangan saraf dan medulla
spinalis sama halnya jika diinjeksikan langsung pada ruang subarachnoid
lumbal untuk memberikan anestesi spinal.
24
25
26
Anestetik lokal.
Pilihan obat anestetik lokal untuk analgesia epidural ditentukan oleh
lamanya prosedur operasi dan intensitas blok motorik yang
dikehendaki.
-
b.
Epinefrin
Penambahan epinefrin (5g/ml) kedalam anestetik lokal yang
diinjeksikan kedalam ruang epidural tidak hanya memperpanjang
efeknya dengan cara menekan absorsi sistemik, menurunkan
konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan
sistemik. Sejumlah kecil epinefrin diabsorbsi dari ruang epidural yang
27
Blokade neural
Penyuntikan anestetik lokal dalam ruang epidural bereaksi secara langsung
pada akar saraf yang berlokasi pada bagian lateral ruang epidural, akar saraf
ini ditutupi oleh lapisan duramater dan selanjutnya memasuki CSS setelah
menembus duramater. Onset blok lebih lambat dari anestesi spinal dan
intensitas blok sensorik dan motorik sangat kurang. analgesia menjalar secara
segmental dan blokade selektif dapat dicapai.
2.
Kardiovaskuler
Hipotensi akibat blokade simpatik adalah sama pada anestesi spinal. Hanya
efeknya lebih lambat dari analgesia spinal. Dosis yang besar dari anestesi
lokal yang digunakan dapat diabsorbsi secara sistemik, diikuti oleh terjadinya
depresi miokard. Epinefrin yang ditambahkan pada anestesi lokal dapat
diabsorbsi dan memberikan efek takikardia dan hipertensi.
3.
4.
Respirasi. Pada daerah yang lebih rendah tidak memberikan efek pada
ventilasi. Makin tinggi blok pada daerah thoraks, paralisis otot interkostal
28
6.
Hati. Aliran darah ke hati menurun dengan menurunnya tekanan darah arteri.
Namun demikian, karena hati mengambil oksigen dari aliran darah arteri yang
masuk ke hati, sehingga tidak terjadi iskemia. Enzim-enzim hati tidak
dipengaruhi.
7.
8.
29
2.6 Parecoxib
2.6.1 Farmakokinetik
Parecoxib adalah jenis obat dalam sediaan injeksi yang larut air. Beredar
dipasaran dengan merk dagang Dynastat dalam kemasan 20 mg dan 40 mg.
Obat ini merupakan prodrug dari valdecoxib, suatu generasi kedua dari COX-2
inhibitor selektif. Konversi secara cepat di hepar oleh enzim hidrolisis menjadi
bentuk aktif yaitu valdecoxib. Metabolitnya juga merupakan COX-2 inhibitor
selektif yang lemah, yang selanjutnya dimetabolisme oleh jalur non-cytochrome
P-450 menjadi metabolit glukoronide, dan di ekresi melalui ginjal (Cheer dkk.
2001).
Sebelumnya telah disebutkan bahwa COX bertanggung jawab terhadap
sintesa prostaglandin. Terbagi atas 2 bentuk isoform yaitu COX-1 dan COX-2.
COX-2 adalah bentuk isoform yang diinduksi oleh sitokin proinflamasi dan paling
berperan pada sintesa prostanoid yang merupakan mediator nyeri inflamasi dan
demam. Pada dosis terapeutik bekerja menghambat secara selektif COX-2 baik di
sentral maupun perifer. Pemberian dosis 40 mg iv akan memberikan efek
analgesia dalam waktu 7-13 menit namun efek analgesia klinis terlihat dalam
kurun waktu 23-29 menit dan mencapai puncak efek setelah 2 jam paska
30
pemberian. Memiliki waktu paruh 8 jam dan akan memanjang jika ada gangguan
fungsi hepar. Ikatan dengan protein sangat tinggi yaitu hingga 98% (Padi dkk.
2004).
Parecoxib adalah pro-drug tak aktif yang diberikan secara parenteral yang
mengalami hidrolisis amida cepat in-vivo menjadi penghambat COX-2 yang aktif
secara farmakologis (Ibrahim dkk. 2002). Valdecoxib dimetabolisme primer
menjadi 1-hidroksivaldecoxib oleh enzim sitokrom P450 hepar. Karena parecoxib
dan valdecoxib keduanya merupakan inhibitor P450, maka ada potensi bahwa
penghambat
COX-2
ini
menghambat
metabolisme
obat
lain.
Efek
A
Gambar 2.7 Struktur kimia parecoxib (Dikutip dari Ibrahim dkk., 2002. Effects of
parecoxib, a parenteral COX-2-spesific inhibitor, on the pharmacokinetics and the
pharmacodynamics of propofol. Anesthesiology 2002;96(1);88-95)
2.6.2 Farmakodinamik
Efektifitas penghambat COX-2 selektif (coxibs) secara umum ditujukan pada
penghambatan enzim siklooksigenase yang merubah asam arakidonat (sejenis
31
lipid yang merupakan turunan dari membrane fosfolipid) menjadi zat peradangan
prostaglandin. Enzim fosfolipase A2 membebaskan asam lemak bebas dari
membran fosfolipid dan mengatur alur ketersediaan dari asam arakhidonat untuk
pembentukan prostaglandin. Prostaglandin E2 (PGE2) secara bermakna
meningkatkan nyeri yang dihasilkan oleh mediator perangsang nyeri seperti
bradikinin atau histamin (Simmons dkk, 2004). PGE2 memberikan kontribusi
kepada sensitisasi perifer dan hiperalgesia dengan cara berikatan pada reseptor
protein-g berpasangan yang mana meningkatkan level dari cAMP pada nosiseptor.
Peradangan perifer dimediasi melalui IL1 saraf spinal, perangsangan COX-2,
peningkatan PGE2 saraf spinal.PGE2 berinteraksi dengan reseptor pada terminal
sentral dari nosiseptor dan menghasilkan sensitisasi sentral. Perangsangan PGE2
pada reseptor prostaglandin pada dorsal horn, meningkatkan pembukaan dari
saluran NMDA, penguatan efek eksitasi dari efek glutamat. Hal ini menjelaskan
bahwa penghambat COX memperkuat efek penghilang nyerinya dengan cara
memodulasi nosisepsi baik pada perifer maupun pada daerah sentral (Svennson
dan Yaksh, 2002). Juga terdapat bukti yang kuat untuk efek peran pronosiseptif
dari PGI2 pada nyeri inflamasi (Zeilhofer dan Brune, 2006). Produksi PGI2 yang
dikatalisasi oleh COX-1 kelihatannya ikut berperan pada nyeri peritoneal
(Simmons dkk. 2004). Juga COX-1 meningkat pada saraf spinal setelah trauma
perifer (Zhu dkk. 2005).
Obat anti inflamasi non steroid menghambat siklooksigenase pada perifer dan
sentral (Zhu dkk. 2005), begitu juga halnya terhadap COX-2 pada sistem saraf
pusat (SSP), dan secara perifer di jaringan yang terluka dan meradang. Obat-obat
32
golongan coxib akan secara selektif menghambat COX-2 di jaringan perifer dan di
SSP. Golongan coxib juga menghambat inducible nitric oxide synthase (iNOS),
nitric oxide (NO) yang bertugas sebagai mediator inflamasi dan juga molekul
sinyal intraselular yang terlibat dalam sensitisasi dari sel saraf (Fermor dkk,
2002). Inhibisi dari COX-2 menurunkan stimulasi PGE2 dari prostaglandin
reseptor di kornu posterior dan oleh sebab itu menurunkan pembukaan jalur
NMDA dan efek eksitasi dari glutamat (Svennson dan Yaksh, 2002).
Penghambat COX-2 berguna dalam manajemen pasien yang mengalami nyeri
yang disebabkan oleh osteoartritis, artritis reumatoid, gout akut, dan dismenore.
Efikasi penghambat COX-2 untuk nyeri dental sudah terbukti. Nyeri berasosiasi
dengan kondisi muskuloskeletal dapat diobati secara efektif oleh penghambat
COX-2 (White, 2002). Analgesia pascabedah yang dihasilkan oleh penghambat
COX-2 mirip dengan OAINS non selektif konvensional (Gilron dkk. 2003).
Keuntungan primer penghambat COX-2 bila dibandingkan dengan OAINS nonselektif adalah tidak adanya efek pada fungsi platelet dan perdarahan sehingga
memungkinkan untuk diberikan preoperatif dan paska operatif. Terlebih lagi,
penghambat COX-2 dapat digunakan (berdasarkan data pengobatn kronis pada
pasien artritis) untuk pasien dengan riwayat gastritis atau ulkus lambung yang
tidak dapat menerima OAINS konvensional. Penghambat COX-2 dapat menjadi
alternatif yang lebih aman dari OAINS non-selektif karena dapat ditoleransi oleh
pasien asma.Insidensi efek samping gastrointestinal (ulkus lambung dan
duodenum) menurun sekitar 50% pada pasien yang diterapi dengan penghambat
selektif COX-2 (Bombardier, 2002). Penghambat COX-2 tidak memiliki efek
33
karena
inhibitor
COX-2
selektif
menekan
prostaglandin
I2
34
Gambar 2.8 Produksi dan jalur prostaglandin dan tromboxan (diikutip dari:
Fitzgerald GA, Patrono C. The Coxibs, selective inhibitors of cyclooxygenase-2.
N Engl J Med 2001; 345(6): 433-40.)