You are on page 1of 51

BAB I

PENDAHULUAN

Permasalahan kesehatan yang ada di Indonesia sampai saat ini masih


cukup kompleks, karena upaya kesehatan belum dapat menjangkau seluruh
lapisan masyarakat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013 diketahui bahwa penyebab kematian di Indonesia untuk semua umur, telah
terjadi pergeseran dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Salah satu
penyakit tidak menular yang menjadi pusat perhatian dalam riskesdas adalah
diabetes melitus (DM). Selain itu, diantara penyakit degeneratif, DM juga di duga
sebagai salah satu penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di
masa yang akan datang.1,2
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus
(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronis yang terjadi pada diabetes berhubungan
dengan

kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ

tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung, dan pembuluh darah. Sedangkan
menurut WHO tahun 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu
yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara
umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomi dan kimiawi
yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.2-4
Secara umum, diabetes melitus (DM) terbagi atas DM tipe 1 dimana tubuh
kekurangan hormon insulin atau sering disebut Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM), DM tipe 2 dimana hormon insulin dalam tubuh tidak dapat
berfungsi dengan semestinya atau istilahnya Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM), serta DM tipe lain yang banyak ditemukan di daerah tropis
dan negara berkembang.2,3,5
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan
prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7 % dan daerah rural sebesar 7,2%,
1

maka jumlah penyandang DM tahun 2003 sekitar 8,2 juta di daerah urban dan 5,5
juta di daerah rural.3 Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara
berkembang,terjadi akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan.6
Di Indonesia sendiri prevalensi DM tipe 1 secara pasti belum diketahui,
tetapi diakui memang sangat jarang. Lain halnya dengan DM tipe 2 yang meliputi
lebih dari 90% dari semua populasi diabetes, dimana faktor lingkungan sangat
berperan.7
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukan adanya kecenderungan
peningkatan angka insiden dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia.
WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup
besar untuk tahun-tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi
kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
tahun 2030.3
Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur
hidup. Dalam pengelolaan penyakit tersebut selain dokter, perawat, ahli gizi serta
tenaga kesehatan lain, peran pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Edukasi
kepada pasien dan keluargnya guna memahami lebih jauh tentang perjalanan
penyakit DM, pencegahan, penyulit DM, dan penatalaksanaannya akan sangat
membantu meningkatkan keikutsertaan mereka dalam pengobatan.3
Modalitas yang ada dalam penatalaksanaan DM terdiri dari; pertama terapi
non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan
pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan
aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit
diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis, yang
meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis
ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologis yang telah
dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana
diharapkan. Namun dengan tidak meninggalkan terapi non farmakologis yang
sebelumnya telah diberikan.8
Mengingat meningkatnya jumlah penderita diabetes melitus, dan tingginya
angka perawatan yang sebagian besar disebabkan oleh adanya komplikasi, maka
upaya yang paling baik selain pengobatan adalah pencegahan. Menurut WHO
2

tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes dapat dilakukan melalui 3 jenis atau
tahap, yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier. 6
Dalam menjalankan upaya pencegahan tersebut, tentunya diperlukan suatu
strategi yang efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dua
macam

strategi

yang

dapat

dijalankan

yaitu

strategi

populasi/masyarakat dan strategi pendekatan individu beresiko tinggi.6

pendekatan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Pankreas
2.1.1

Anatomi Pankreas
Secara anatomis, pankreas terdiri dari caput, corpus, cauda, dan proc.

Uncinatus. Untuk vaskularisasinya sendiri pankreas diperdarahi oleh A. coeliaca,


A. mesenterica superior dan cabang - cabang a. pancreaticoduodenalis yang
memberi darah untuk caput, A. pancreatico dorsal memberi darah untuk coli dan
corpus pancreas, serta A. pancreatico caudalis memberi darah untuk cauda.9

Gambar 1. Anatomi pankreas

2.1.2 Fisiologi Pankreas10


Selain memiliki fungsi pencernaan, pankreas juga menyekresikan dua
hormon penting yaitu insulin dan glukagon yang sangat penting untuk pengaturan

metabolisme glukosa, lipid dan protein secara normal. Selain itu, pankreas juga
menyekresi hormon-hormon lain seperti amilin, somatostatin dan polipeptida.
Pankreas terdiri atas dua jenis jaringan utama, yaitu :
a. Asini
Mensekresikan enzim pencernaan ke dalam duodenum. Enzim enzim
tersebut berfungsi untuk mencerna 3 jenis makanan utama yaitu karbohidrat,
protein, dan lemak. Enzim-enzim tersebut adalah:
Enzim proteolitik (tripsin, kimotripsin, dan karboksipolipeptidase.
Tripsin dan kimotripsin fungsinya untuk memisahkan protein yang
dicerna menjadi peptida, tapi tidak menyebabkan pelepasan asam asam
amino tunggal. Karboksipolipeptidase untuk memecah beberapa peptida

menadi asam asam amino bentuk tunggal.


Enzim pankreas untuk mencerna karbohidrat.
Enzim amilase pankreas untuk menghidrolisis serat, glikogen, dan
sebagian besar karbohidrat (kecuali selulosa) untuk membentuk

trisakarida dan disakarida.


Enzim pencerna lemak, yaitu lipase pankreas untuk

menghidrolisis

lemak netral menjadi asam lemak dan monogliserida. Kolesterol esterase


untuk hidrolisis ester kolesterol. Fosfolipase untuk memecah asam lemak
dan fosfolipid.
Tiga rangsangan dasar yang menyebabkan sekresi pankreatik:
1. Asetikolin : disekresikan ujung nervus vagus parasimpatis dan saraf-saraf
kolinergenik.
2. Kolesistokinin : disekresikan mukosa duodenum dan jejunum rangsangan
asam.
3. Sekretin : disekresikan mukosa duodenum dan jejunum rangsangan asam.

b. Endokrin
Fungsi endokrin kelenjar pankreas diperankan sel , sel , sel , dan sel F
(polopeptida pancreas) terdiri atas 4 sel oleh pulau langerhans.
Sekresi sel sel ini berupa hormon yang akan langsung diangkut melalui
pembuluh darah.
Alpha Sel 25% Glukagon
Beta Sel 60% Insulin dan Amylin
Delta Sel 10% Somatostatin
PP Sel Pancreatic Polipeptide
5

Sekresi Hormon Insulin5

Gambar 2. Sekresi Insulin


Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,
dihasilkan oleh sel beta kelenjar pancreas. Dalam keadaan normal, bila ada
rangsangan dari sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam
darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormone
insulin) pada reticulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase,
preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang
kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel
tersebut. Disini, dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi
insulin dan peptida C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan
secara bersamaan melalui membrane sel. Mekanisme fisiologis ini diperulakan
bagi berlangsungnya proses metabolism glukosa, sehubungan dengan fungsi
insulin dalam proses utilisasi glukosa dalam tubuh.10
6

Sekresi insulin terdiri dari beberapa fase, yaitu:10


1. Fase 1 (acute insulin secretion response=AIR) adalah sekresi insulin yang
terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan
berakhir cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relative
tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk mengatisipasi kadar glukosa
darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR yang
baik amat penting dalam metabolisme glukosa karena akan sangat menentukan
bagi terjadinya peningkatan kadar glukosa darah pascaprandial. Dengan
demikian,

kehadiran

AIR

yang

cepat

serta

adekuat

perlu

untuk

mempertahankan berlangsungnya proses metabolism glukosa secara normal.


AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya
hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) atau lonjakan glukosa darah
pascaprandial (postprandial spike).
2. Fase 2 (sustained phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali
meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lama. Setelah
berakhir fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh
sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif lebih lama,
puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar
glukosa darah di akhir fase 1. Jadi, terjadi semacam mekanisme penyesuaian
dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila sekresi fase 1
tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan
sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada
hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah
(pascaprandial) tetap dalam batas normal. Dalam prosfektif perjalanan
penyakit, fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1.
Efek Insulin
Insulin merupakan hormon perantara yang mengontrol metabolisme, serta
mempunyai pengaruh pada hati, otot, dan lemak.
a. Efek Insulin Terhadap Metabolisme Karbohidrat
Insulin memengaruhi metabolisme glukosa pada semua jaringan, terutama
hati dengan cara menghambat glikogenolisis dan glukoneogenesis dan

merangsang sintesis glikogen. Insulin juga meningkatkan pemakaian glukosa


(glikolisis). Semua efek ini meningkatkan simpanan glikogen hati.
Pada otot, tidak seperti pada hati, ambilan glukosa lambat dan laju langkah
metabolisme karbohidrat terbatas. Efek utama insulin adalah meningkatkan
fasilitas transportasi glukosa melalui transporter Glut-4, dan merangsang
sintesis glikogen dan glikolisis.
Insulin meningkatkan ambilan glukosa melalui Glut-4 di dalam jaringan
adiposa sama seperti di otot, dengan meningkatkan metabolisme glukosa. Salah
satu hasil produk akhir metabolisme glukosa pada jaringan adiposa adalah
gliserol, yang diesterifikasi dengan asam lemak membentuk trigliserida
sehingga memengaruhi juga metabolisme lemak.
b. Efek Insulin Terhadap Metabolisme Lemak
Insulin meningkatkan sintesis asam lemak dan pembentukan trigliserida
dalam jaringan adiposa, dan menghambat lipolisis, sebagian melalui
defosforilasi (inaktivasi) lipase. Juga menghambat kerja lipolitik adrenalin,
GH, dan glukagon dengan menghambat efeknya pada adenilat siklase. Insulin
juga menyebabkan lipogenesis di hati.
c. Efek Insulin Terhadap Metabolisme Protein
Insulin merangsang ambilan asam amino ke dalam otot dan meningkatkan
sintesis protein. Juga menurunkan katabolisme protein dan menghambat
oksidasi asam amino di hati.
d. Efek Metabolik Insulin yang Lain
Efek metabolik insulin yang lain adalah transpor K+, Ca2+, nukleosida, dan
fosfat anorganik ke dalam se1.
Tabel 2.1 Pengaruh insulin terhadap metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
Metabolisme
Karbohidrat

Sel hati
glukoneogenesis
glikogenolisis
glikolisis
glikogenesis

Lemak

lipogenesisi
lipolisis

Protein

Sel lemak
ambilan glukosa
sintesis gliserol

sintesis triglaserida
sintesis asam lemak
lipolisis
pemecahan protein -

Otot
ambilan glukosa
glikolisis
glikogenesis
ambilan as.Amino
sintesis protein

2.2 Definisi Diabetes Melitus


Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
Sedangkan menurut WHO tahun 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas
dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema
anatomic dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana
didapat defisiensi insulin absolut atau relative dan gangguan fungsi insulin.2-4
2.3 Etiologi
a. Etiologi Diabetes Melitus tipe 1
DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes Juvenile onset atau Insulin
dependent atau Ketosis prone, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian
dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah juvenile onset sendiri
diberikan karena onset DM tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan
memuncak pada usia 11-13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada akhir usia 30
atau menjelang 40.2,4
DM tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai penyakit autoimun.
Pemeriksaan histopatologi pankreas menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dan
destruksi sel Langerhans. Pada 85% pasien ditemukan antibodi sirkulasi yang
menyerang glutamic-acid decarboxylase (GAD) di sel beta pankreas tersebut.
Selain akibat autoimun, sebagaian kecil DM tipe 1 terjadi akibat proses yang
idiopatik. Tidak ditemukan antibodi sel beta atau aktivitas HLA. DM tipe 1 yang
bersifat idiopatik ini, sering terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada ras
tertentu Afrika dan Asia.2,4

b. Etiologi Diabetes Melitus tipe 2

Tidak seperti pada DM tipe 1, DM tipe 2 tidak memiliki hubungan dengan


aktivitas HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai sel beta
yang masih berfungsi, sering memerlukan insulin tetapi tidak bergantung pada
insulin seumur hidup. DM tipe 2 ini bervariasi mulai dari yang predominan
resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang predominan
gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. Pada DM tipe 2 resistensi
insulin terjadi pada otot, lemak dan hati serta terdapat respons yang inadekuat
pada sel beta pankreas. Terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas di plasma,
penurunan transpor glukosa di otot, peningkatan produksi glukosa hati dan
peningkatan lipolisis.4
Kegagalan fungsi sel beta yang terjadi pada DM tipe 2 bisa disebabkan oleh
gaya hidup yang diabetogenik (asupan kalori yang berlebihan, aktivitas fisik
yang rendah, obesitas) ditambah kecenderungan secara genetik, adanya faktor
inkretin, glukotoksisitaas, lipotoksisitas, deposit amiloid, dan resistensi insulin itu
sendiri.4
Beberapa faktor resiko terjadinya DM, yaitu :4,5
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Usia > 45 tahun


Berat badan lebih, IMT > 23 kg/m2
Hipertensi (TD > 140/90 mmHg)
Riwayat DM dalam keluarga
Riwayat melahirkan bayi > 4 kg
Riwayat DM pada kehamilan
Riwayat TGT atau GDPT
Penderita PJK, TBC, Hipertiroidisme
Kadar lemak abnormal (HDL < 35 mg/dl, kolesterol total > 250 mg/dL

2.4 Patogenesis
Patogenesis diabetes melitus tipe 1
Tidak adanya insulin pada DM tipe 1 dikarenakan jenis DM ini merupakan
suatu reaksi autoimun. Pada individu yang rentan (susceptible) terhadap DM tipe
1, terdapat adanya ICA ( Islet Cell Antibody) yang meningkat kadarnya apabila
terdapat faktor pencetus seperti infeksi virus, diantaranya virus cocksakie, rubella,
CMV, herpes, dan lain-lain hingga timbul peradangan pada sel beta (insulitis)

10

yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta. Yang diserang pada
insulitis ini biasanya hanya sel beta, sedangkan sel alfa dan delta relatif utuh.4

Gambar 3. Proses terjadinya DM tipe 1


Tipe autoantibodi yang terkait dengan DM tipe 1:2,4
a. ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies)
ICCA merupakan autoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM
tipe 1. Hampir 90% penderita DM tipe 1 memiliki ICCA di dalam
darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%.
Keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM tipe
1. ICCA tidak spesifik untuk sel Langerhans saja, tetapi juga dapat
dikenali oleh sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. Pada pulau
Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel , sel
dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel memproduksi glukagon,
dan sel-sel memproduksi hormon somatostatin. Namun, serangan
autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel . Titer ICCA akan
menurun sejalan dengan berjalannya penyakit.
b. ICSA (Islet Cell Surface Antibodies)
Autoantibodi terhadap antigen permukaan sel ini ditemukan pada sekitar
80% penderita DM tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin
menurun sejalan dengan lamanya waktu. Tidak hanya pada DM tipe 1,
beberapa penderita DM tipe 2 juga ditemukan positif ICSA.
c. Anti-GAD (Glutamic Acid Decarboxylase)
Autoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase ditemukan pada
hampir 80% pasien yang baru terdiagnosis positif menderita DM tipe 1.
Titer antibodi anti-GAD juga akan menurun sejalan dengan perjalanan
11

penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk


DM tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi.
d. AIA (Anti-Insulin Antibody)
AIA merupakan autoantibodi lain yang sudah diidentifikasi, ditemukan
pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM tipe 1. AiA bahkan sudah
dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin.
Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita
DM tipe 1 juga menjadi tidak normal, yaitu ditemukannya sekresi glukagon yang
berlebihan oleh sel-sel pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan
menurunkan sekresi glukagon. Pada penderita DM tipe 1, hal ini tidak terjadi.
Sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia yang
memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini
adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk
menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar
gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM tipe
1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon
terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang
dapat berakibat fatal pada penderita DM tipe 1 yang sedang mendapat terapi
insulin.
Defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM tipe 1, namun
pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan
kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada
beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu
diantaranya adalah defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak
bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan
adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di
jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan
perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi
insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel
sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati

12

dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian
besar jaringan tubuh) di jaringan adipose.
Patogenesis diabetes melitus tipe 2
Patogenesis DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer,
gangguan hepatic glucose production, dan penurunan fungsi sel beta yang
akhirnya menuju kerusakan total sel beta.4
DM tipe 2 adalah hasil dari gabungan resistensi insulin dan sekresi insulin
yang tidak adekuat, hal tersebut menyebabkan predominan resistensi insulin
sampai dengan predominan kerusakan sel . Kerusakan sel yang ada bukan
suatu autoimun mediated. Pada resistensi insulin, konsentrasi insulin yang beredar
mungkin tinggi tetapi pada keadaan gangguan fungsi sel yang berat
konsentrasinya dapat rendah.
Beberapa etiologi kegagalan fungsi sel beta yang terjadi pada DM tipe 2,
yaitu:4
a.

b.

Glukotoksisitas
Kadar gula darah yang berlangsung lama menyebabkan peningkatan stress
oksidatif, IL-1 dan NF-kB mengakibatkan apoptosis sel beta.
Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adipose dalam
proses lipolysis akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi

c.

ceramide yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis.


Penumpukan amyloid
pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat hingga kadar glukosa
darah

akan

meningkat,

karena

itu

sel

beta

akan

berusaha

mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin, hingga terjadi


hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi
amylin dari sel beta yang akan ditumpuk di sekitar sel beta hingga menjadi
jaringan amyloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri hingga kahirnya
d.

jumlah sel beta dalam pulau Langerhans jadi berkurang (50-60%).


Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara
meningkatkan ploriferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin, dan
mengurangi apoptosis sel beta.

13

Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel


tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi
pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus
membran sel. Pada pasien DM tipe 2, terdapat kelainan pada pengikatan reseptor
dengan insulin. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah empat
reptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat
ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan
abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa.
Ketidaknormalan postreseptor dapat megganggu kerja insulin. Pada akhirnya,
timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan
tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia.
DM tipe 2 ini seringkali dikaitkan dengan faktor obesitas. Berdasarkan
penelitian, pada orang yang obesitas dengan jaringan lemak yang bayak dan luas
memiliki jumlah reseptor insulin yang lebih sedikit dari orang yang tidak obesitas.
Hal ini menyebabkan terhambatnya efek insulin di perifer meskipun sekresi
insulin sudah cukup. Akibatnya, transpor glukosa ke dalam sel menurun
sementara kadar glukosa dalam darah akan meningkat di atas kadar glukosa
normal.
2.5 Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut WHO, ada empat klasifikasi klinis untuk gangguan toleransi
glukosa, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain, dan diabetes gestasional.4,6
1) Diabetes Melitus Tipe 1
DM tipe 1 (insulin-dependent diabetes mellitus-IDDM-atau juvenile onset
diabetes). DM tipe 1 merupakan defisiensi insulin absolut sebagai akibat

destruksi sel-

autoimmun dan kalau tidak diberikan terapi insulin penderita

akan meninggal karena ketoasidosis. penderita biasanya muda (anak-anak


atau dewasa muda) dan tidak gemuk. Diabetes tipe ini bersifat menurun. DM
tipe 1 berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4, serta didapatkan islet cell
antibody (ICA).
2) Diabetes Melitus Tipe 2
14

DM tipe 2 (non-insulin-dependent diabetes mellitus-NIDDM-atau maturity


onset diabetes). DM tipe 2 disebabkan karena resistensi insulin dan gangguan
pengaturan sekresi insulin, penderitanya biasanya gemuk dan biasanya timbul
setelah dewasa, insidennya meningkat secara progesif sesuai umur karena

fungsi sel- menurun. Pengobatan dimulai dengan diet, obat hipoglikemik


oral atau insulin. Pada tipe ini relatif tidak mudah terjadi ketoasidosis.
3) DM Tipe Lain
Ada beberapa tipe diabetes yang lain seperti defek genetik fungsi sel beta,
defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena
obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang dan sindroma
genetik lain yang berkaitan dengan DM.
4) Diabetes Gestasional
DM Gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Jenis ini
sangat penting diketahui karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak
ditangani dengan benar.
Pada DM dengan kehamilan, ada 2 kemungkinan yang dialami oleh Ibu yaitu
Ibu tersebut memang telah menderita DM sejak sebelum hamil atau Si ibu
mengalami/menderita DM saat hamil.
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala Khas Diabetes Melitus biasa disebut dengan 3 P, yakni :2,5,11
1. Haus yang berlebihan (polidipsia) : kadar gula darah yang tinggi
menyebabkan tubuh mengirimkan sinyal ke otak dan menimbulkan
rangsangan haus. Tubuh mendorong konsumsi lebih banyak air untuk
mengencerkan gula darah agar kembali ke tingkat normal.
2. Buang air kecil yang berlebihan (poliuria) : Cara lain tubuh mencoba
untuk menyingkirkan tambahan gula dalam darah adalah dengan
mengeluarkannya dalam urin.
3. Makan berlebihan (polyphagia) : Jika tubuh mampu, maka akan
mengeluarkan lebih banyak insulin dalam rangka untuk mencoba
menurunkan kadar gula darah yang berlebihan. Selain itu, tubuh resisten
terhadap tindakan insulin pada diabetes tipe 2. Salah satu fungsi insulin

15

adalah untuk merangsang rasa lapar. Oleh karena itu, kadar insulin yang
lebih tinggi mengakibatkan peningkatan rasa lapar dan makan.
4. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Gejala tidak khas lain yang mungkin dikemukakan oleh pasien, yaitu:2,4,11
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

Cepat lelah
Kesemutan
Gatal
Penglihatan kabur
Mudah mengantuk
Luka sulit sembuh
Disfungsi ereksi pada pria
Pruritus vulva pada wanita

2.7 Diagnosis
Alur penegakkan diagnosis DM
Keluhan klinis
diabetes

Keluhan khas (-)

Keluhan khas (+)

GDP

>126

<126

GDP

>126

110-125

GDS

>200

<200

GDS

>200

110-199

< 100

Ulang GDS/ GDP

GDP

>126

<126

GDS

>200

<200

TTGO
GD 2 jam

>200

16

140-199

<140

Diabetes Melitus
- Evaluasi status gizi
- Evaluasi penyulit DM
-Evaluasi dan Perencanaan Makan
sesuai Kebutuhan

TGT

GDPT

Normal

Nasihat umum
Perencanaan Makan
Latihan Jasmani
Berat ideal
- Belum
perlu
obat
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa
darah.
penurun
glukosa
Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang
diambil dan cara pemeriksaan yang di pakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah
seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpecaya (yang melakukan
program pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai
dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh(whole blood), vena
ataupun kalpiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostic yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat
diperiksa glukosa darah kapiler.2,4
Ada perbedaan antara uji diagnostic DM dan pemeriksaan penyaringan.
Uji diagnostic DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaringan bertujuan untuk mengidentifikasi mereka
yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. serangkaian uji diagnostic akan
dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringannya positif,
untuk memastikan diagnosis defenitif.2,4
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya
negatif, pemeriksaan penyaring ulang dilakukan tiap tiga tahun. Sedangkan bagi
mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan setiap 3 tahun.2
17

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi


glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga
dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan
GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudian
1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM. adanya TGT sering berkaitan
dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis
lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan
penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola
kesehatansangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin
dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.2,4
Pemeriksaan penyaringan dapat dilakukan melalui pemariksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).2,4
Tabel 2.2 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai
patokan penyaringan dan diagnosis DM
Bukan DM
Kadar glukosa darah sewaaktu
(mg/dl)
<110
plasma vena
<90
darah kapiler
kadar glukosa darah puasa (mg/dl)
plasma vena
<110
darah kapiler
<90

Belum pasti DM

DM

110-199
90-199

200
200`

110-125
90-109

126
110

Diagnosis klinis DM umumnya akan diperkirakan bila ada keluhan khas


DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat di jelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin akan dikemukakan pasien
adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan difungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk
patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat
18

untuk menegakkan diagnosis. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat


sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar
glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes
toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan
200 mg/dl.2,4
Cara penatalaksanaan TTGO
1

Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup).


Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan

Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air
putih diperbolehkan

Diperiksa kadar glukosa darah puasa

Diberikan 75 gram (orang dewasa) atau1,75 gram/kgBB (anak-anak),dilarutkan


dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.

Diperiksa kadar gula darah 2 jam sesudah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.2,-4

Indeks diagnostik lainnya


Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indeks tambahan yang dapat dibagi atas
2 bagian :

Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta. Hal ini dapat dinilai dengan
pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin, dan sekresi peptide penghubung (cpeptida). Nilai-nilai glycosilated hemoglobin, nilai derajat glikosilasi dari
protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa juga bermanfaat untuk

penilaian kerusakan ini.


Indeks proses diabetogenik. Untuk penilaian proses diabetogenik pada saat ini
telah dapat dilakukan penentuan tipe dan sub-tipe HLA ; adanya tipe dan titer
antibody dalam sirkulasi yang ditujukan pada pulau-pulau langerhans (islet cell
antibodies), anti GAD (Glutamic Acid Dexarboxylase) dan sel endokrin lainnya
adanya cell-mediated immunity terhadap pancreas; ditemukannya susunan DNA
spesifik pada genoma manusia dan ditemukannya penyakit lain pada pancreas
dan penyakit endokrin lainnya.2,,3

19

2.8 Tatalaksana
Dalam mengelola diabetes melitus untuk jangka pendek tujuannya adalah
menghilangkan gejala dari Dm tersebut dan mempertahankan rasa nyaman dan
sehat. Sedangkan untuk jangka panjang, tujuannya yaitu mencegah penyulit, baik
makroangiopati,

mikroangipati

maupun

neuropati,

dengan

tujuan

akhir

menurunkan morbiditas dan mortalitas DM.4


Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan berbagai usaha memperbaiki
kelainan metabolik pada pasien DM, seperti kadar glukosa darah, tekanan darah,
berat badan dan profil lipid.3,4
Modalitas penatalaksanaan diabetes melitus sendiri terdiri atas terapi nonfarmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan pengaturan pola makan
yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan
edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes secara terus
menerus. Selain itu juga ada terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat
antidiabetik oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya
diberikan jika penerapan terapi non-farmakologis yang diberikan tidak dapat
mengendalikan kadar gula darah sebagaimana yang diharapkan.3,11
Adapun pilar dalam penatalaksanaan DM yang mencakup terapi nonfarmakologis dan farmakologis tersebut, adalah :
a. Edukasi
Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah
terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes
secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku
yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan
perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai
perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill),
dan motivasi yang berkenaan dengan:3,4

makan makanan sehat;


kegiatan jasmani secara teratur;
menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktu-waktu yang spesifik;
melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai informasi yang
melakukan perawatan kaki secara berkala;
mengelola diabetes dengan tepat;
20

mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan;


dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan

penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil.


Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan
penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi.3,4
b. Terapi gizi medis
Terapi gizi medis pada pasien diabetes pada prinsipnya adalah melakukan
pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan
modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Hal ini dimaksudkan untuk
mengatur jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi pasien tiap harinya.3,11
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain
menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik,
menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, dan meningkatkan
reseptor insulin, serta memperbaiki sistem koagulasi darah.11
Sedangkan tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan :11
1. kadar glukosa darah mendekati normal
Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl
Kadar Alc < 7 %
2. Tekanan darah < 130/80 mmHg
3. Profil Lipid
Kolesterol LDL < 100 mg/dl
Kolesterol HDL > 40 mg/dl
Trigliserida < 150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan
pola makan diabetisi antara lain tinggi badan, berat badan, status gizi,
status kesehatan, aktivitas fisik, dan faktor usia. Selain itu juga terdapat
beberapa faktor fisiologi seperti kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan
pencernaan pada usia tua dan lain-lain. Pada keadaan infeksi berat dimana
terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian
nutrisi khusus. Masalah lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah
masalah status ekonomi, lingkungan, kebiasaan atau tradisi di dalam
21

lingkungan yang bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang


ada.
Tabel 2.3 Komposisi makanan yang dianjurkan pada penderita diabetes
melitus
Karbohidrat
Energi = 4 Kilokalori
Maks 55 65 % dari total kebutuhan energi sehari
Maks 70 % jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak

jenuh rantai tunggal.


Jumlah serat 25-50 gram per hari
Jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun

jangan sampai lebih dari total kalori per hari


Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori, seperti sakarin,

aspartame, acesulfam, dan sukralosa.


Penggunaan alkohol tidak boleh lebih dari 10 gram/hari
Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari
Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi
Protein
Kebutuhan yang diperlukan 10-15 % dari total kalori per hari
Energi = 4 kilokalori/gram
Pasien dengan kelainan ginjal asupan protein dibatasi 40

gram/hari
Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol asupan

protein tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.


Pada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol, pemberian

protein sekitar 0.8-1.0 mg/kg berat badan/hari


Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan
sampai o.85 gram/kg berat badan/hari dan tidak kurang dari 40

gram.
Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein
nabati lebih dianjurkan dari protein hewani

Lemak
Energi = 9 kilokalori per gramnya
Batasi konsumsi asam lemak jenuh maks 10 % dari kebutuhan

kalori per hari


Jika LDL > 100 mg/dl asupan lemak jenuh diturunkan maks 7 %

22

dari kebutuhan kalori per hari


Konsumsi kolesterol 300 mg/ hari, LDL > 100 mg/dl, kolesterol

maks 200 mg perhari


Batasi asupan lemak bentuk trans
Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali
Asupan lemak tak jenuh rantai panjang maks 10 % dari
kebutuhan kalori per hari

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut,
dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.
Untuk penentuan status gizi dapat dipakai Indeks Massa Tubuh (IMT) atau rumus
brocca.3,11
IMT = BB (kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT yaitu :

BB kurang : IMT < 18,5


BB normal : 18,5-22,9
BB lebih : > 23,0
Dengan resiko
: 23-24,9
Obes I
: 25-29,9
Obes II
: > 30
Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori,

penentuan status gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman
(BBI) = (TB-100) - 10%
Status gizi:

BB kurang bila BB < 90% BBI

BB normal bila BB 90-110% BBI

BB lebih bila BB 110-120% BBI

Gemuk bila BB >120% BB


Faktor yang mempengaruhi atau menentukan kebutuhan kalori seorang

penderita DM, yaitu :3


1. Jenis kelamin

23

Kebutuhan kalori wanita lebih kecil daripada kebutuhan kalori pria.


Kebutuhan kalori wanita yaitu sebesar 25kal/kgBB, sedangkan pria yaitu
30 kal/kgBB.
2. Umur
Pasien usia > 40 tahun, kebutuhan kalorinya dikurangi 5% pada usia 4059 tahun, dikurangi 10%, usia 60-69 tahun dan dikurangi 20% diatas 70
tahun.
3. Aktivitas fisik atau pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan 10% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada keadaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas berat.
4. Berat badan
Bila kegemukan dikurangi 20-30% tergantung tingkat kegemukan. Bila
kurus ditambah 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan
BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan
paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal
untuk pria perhari.
Makanan sejumlah kalori tersebut terhitung dengan komposisi diatas dan
dibagi dalam 3 porsi besar, untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%)
serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) diantaranya.3
c. Latihan jasmani
Diabetes merupakan penyakit sehari-hari. Penyakit yang akan berlangsung
seumur hidup. Tanggung jawab terhadap pengelolaan diabetes sehari-hari
merupakan milik masing-masing diabetisi. Latihan jasmani selain dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, juga akan
memperbaiki kendali gula darah. Dianjurkan olahraga teratur, 3-4 kali tiap minggu
selama setengah jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance training). Latihan dilakukan terus-menerus tanpa
berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur, selang seling antara
gerak cepat dan lambat, berangsur-angsur dari sedikit ke latihan yang lebih berat
secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu. Latihan yang dianjurkan

24

adalah yang bersifat aerobic, misalnya berjalan kaki, sepeda santai, jogging, dan
berenang.3,4,11
d. Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis pada pasien DM dapat berupa OHO (obat hipoglikemik
oral) maupun insulin. Diabetes tipe 1 hanya bisa diobati dengan insulin tetapi tipe
2 dapat diobati dengan obat oral. Jika pengendalian berat badan dan berolahraga
tidak berhasil maka dokter kemudian memberikan obat yang dapat diminum (oral)
atau menggunakan insulin. Berikut ini pembagian terapi farmakologi untuk
diabetes, yaitu :
OHO (obat hipoglikemik oral)3,4,12
1. Golongan sekretagogik insulin (pemicu sekresi insulin)
a) Sulfonilurea
Obat golongan ini memiliki efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih.
Golongan sulfonilurea seringkali dapat menurunkan kadar gula darah
secara adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada
diabetes tipe 1. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan
klorpropamid. Obat ini menurunkan kadar gula darah dengan cara
merangsang pelepasan insulin oleh pancreas dan meningkatkan
efektivitasnya.
Untuk menghindari hipoglikemi berkepanjangan pada berbagai keadaan
seperti orang tua, gangguan fungsi faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea
kerja panjang.
b) Glinid
25

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,


dengan meningkatkan sekresi insulin pada fase pertama. Golongan ini
terdiri dari dua macam obat yaitu repaglinid (derivat asam benzoat) dan
nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan di ekskresi secara cepat melalui hati.
2. Golongan insulin sensitizing (penambang sensitivitas insulin)
Tiazolidindion
Obat ini berikatan pada Peroisome Proliferator Activated receptor Gamma
yang merupakan suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
memiliki fungsi menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
perifer. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klasIV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga gangguan faal
hati. Pada pasien yang mengunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantaun hati secara berkala.
3. Penghambat Glukoneogenesis
Metformin
Obat ini memiliki efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama di pakai pada penyandang kencing manis.
Metformin di kontra indikasikan pad pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin > 1,5mg/dl) dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia. Metformin dapat memberikan efek samping
mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat makan
dan sesudah makan.

26

4. Penghambat glukosidase alfa (acarbose)


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi gula di usus halus, sehingga
memiliki efek menurunkan kadar gula darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan adalah kembung dan flatulens. Acarbose ini dapat diberikan
bersama makan saat suapan pertama.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian OHO adalah :12,13


-

Dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai


respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir
maksimal.

Harus diketahui betul lama kerja dan efek samping obat tersebut.

Bila diberikan bersama obat lain, fikirkan adanya interaksi obat.

Pada kegagalan sekunder terhadap OHO, usahakan menggunakan obat


oral golongan lain, bila gagal, baru beralih ke insulin.

Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

27

Obat hipoglikemik oral (OHO)

28

INSULIN
Secara keseluruhan 20-25% pasien dengan DM tipe 2 akan memerlukan
insulin di kemudian hari untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk
pasien yang sudah tidak bisa dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan
kombinasi OHO maka langkah berikutnya adalah pengobatan dengan insulin.4,12

29

Indikasi terapi dengan insulin, yaitu:3,13


-

Semua orang dengan DM tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena


produksi insulin oleh sel beta tidak ada atau hampir tidak ada.

Pada DM tipe 2 akan membutuhkan insulin apabila terapi jenis lain tidak
dapat mencapai target pengendalian glukosa darah, keadaan stress berat
seperti infeksi berat, tindakan bedah, IMA ataupun stroke.

DM gestasional yang tak terkendali dengan perencanaan makan.

Ketoasidosis diabetik

Pengobatan sindrom hiperglikemi hiperosmolar non-ketotik.

DM yang mendapatkan nutrisi parenteral atau yang memerlukan


suplemen tinggi kalori, untuk memenuhi kebutuhan energi yang
meningkat, secara bertahap akan memerlukan insulin eksogen untuk
mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama periode
resistensi insulin atau saat terjadi peningkatan kebutuhan insulin.

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.

Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO.

Jenis sediaan insulin dan profil kerjanya, yaitu :3,4,12,13


a. Insulin kerja cepat (rapid acting)
insulin lispro, aspart, dan glulisin tidak membentuk agregat dimer maupun
heksamer, sehingga dapat di gunakan sebagai insulin kerja cepat.
Lama kerja relative 3-5 jam dengan awitan kerja yang cepat 5-15 menit dan
puncak kerja 30-90 menit.
b. Insulin kerja pendek (short acting)
Biasanya dipergunakan untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis,
penderita baru dan tindakan bedah. Insulin jenis ini kadang-kadang juga
30

digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit) sebelum makan. Lama


kerja relative 5-8 jam dengan awitan kerja 30-60 menit daan puncak kerja
2-4 jam.
c. Insulin kerja menengah (intermediate acting)
Sediaan insulin kerja menengah yang saat ini tersedia:
- Isophane atau insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn)
- insulin Crystalline zinc-acetate (insulin lente)
NPH mengandung protamin dan sejumlah zink, yang keduanya kadangkadang memiliki pengaruh sebagai penyebab reaksi imunologi, seperti
urtikaria pada lokasi suntikan. Lama kerja relative 12-24 jam, awitan kerja
2-4 jam dan puncak kerja 4-12 jam.
d. Insulin kerja panjang (long acting)
Mempunyai masa kerja lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan dalam
regimen basal-bolus. Insulin basal seperti glargline dan detemir dapat
memenuhi kebutuhan basal insulin lebih dari 24 jam tanpa adanya efek
puncak. Insulin ini memiliki kadar zink yang tinggi untuk memperpanjang
waktu kerjanya.
e. Insulin kerja campuran
Terdiri dari kombinasi insulin kerja cepat dan menengah atau kerja pendek
dan menengah. Sediaan yang ada di indonesisia adalah kombinasi yang
terdiri dari 30% insulin kerja cepat atau pendek, dan 70% insulin kerja
menengah.
Secara fisiologis, insulin akan berpengaruh pada :4
a. Insulin adalah suatu hormone yang di produksi oleh sel beta dari pulau
langerjans kelenjar pancreas.
b. Insulin mempunyai beberapa pengaruh terhadap jaringan tubuh. Insulin
menstimulasi pemasukan asam amino kedalam sel dan kemudian
meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak
dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energy.
c. Insulin endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pancreas, sedangkan
insulin eksogen adalah insulin yang disuntikkan dan merupakan suatu
produk farmasi.
Teknik penyuntikan Insulin4,13

Sebelum menyuntikan insulin, kedua tangan dan daerah yang akan disuntik

haruslah bersih.
Tutup vial insulin harus diusap dengan isopropil alcohol 70%.
31

Untuk semua macam insulin kecuali kerja cepat, hatus digulung-gulung


secara pelahan-lahan dengan kedua telapak tangan (jangan dikocok)untuk

melarutkan kembali suspensi.


Ambilah udara sejumlah insulin yang akan diberikan dan suntikanlah

kedalam vial untuk mencegah terjadi ruang vakum dalam vial.


Setelah insulin masuk kealat suntik , periksalah apa mengandung
gelembung udara. Satu atau dua ketukab pada alat suntik dalam posisi tegak
akan

dapat

mengurangi

gelembung

tersebut.

Gelembung

tersebut

sebenarnya tidaklah terlalu berbahaya tetapi dapat mengurangi dosis insulin.


Penyuntikan dilakakukan pada jaringan subkutan. Pada umumnya
disuntikan dengan sudut 90 derajat. Pada pasien kurus dan anak-anak
setelah kulit dijepit dan insulin disuntikan dengan sudut 45 derajat agar
tidak terjadi penyuntikan intra muskular. Aspirasi tidak perlu dilakukan
secara rutin. Bila suntikan terasa sakit atau mengalami pendarahan setelah
proses penyuntikan maka daerah tersebut sebaiknya ditekan selama 5-8
detik. Untuk mengurangi rasa sakit pada waktu penyuntikan dapat dilakukan
usaha-usaha sebagai berikut:
a. Menyuntik disuhu kamar
b. Yakini bahwa alat suntik tidak mengandung gelembung udara
c. Tunggulah sampai alcohol yang dipakai sebagai desinfektan sebelum
menyuntik
d. Usahakanlah agar otot yang akan disuntik tidak dalam keadaan tegang
e. Tusuklah kulit dengan cepat
f. Jangan merubah arah suntikan selama menyuntikan atau mencabut
suntikan
g. Jangan gunakan jarum yang sudah tampak tumpul.

Efek Samping Insulin4


1. Efek

samping

menyebabkan

utama

insulin

kerusakan

otak.

adalah
Terapi

hipoglikemia.
insulin

Ini

dapat

intensif

dapat

menyebabkan hipoglikemia berat 3x lebih tinggi. Terapi hipoglikemia


adalah minum air gula atau jika penderita tidak sadar dapat diberikan
glukosa intravena atau glukagon intramuskular.
2. Hiperglikemia kambuhan (Sontogyi effect) yang disebabkan oleh
pemberian insulin berlebihan. Ini adalah akibat dari insulin-opposing
atau counter-regulatory hormones dalam respons terhadap insulin yang
32

menimbulkan

hipoglikemia.

Dapat

menimbulkan

hiperglikemia

sebelum sara pan yang mengikuti serangan hiperglikemia selama tidur


fajar. Perlu mengenal ini untuk mencegah kesalahan dosis insulin pada
situasi ini.
3. Alergi terhadap insulin berupa reaksi lokal atau sistemik. Jarang terjadi
resisiensi insulin yang berat sebagai konsekuensi pembentukan
antibodi. Hal ini lebih sering terjadi pada penderita yang mendapat
insulin yang berasal dari hewan. Insulin dari manusia (Human
rekombinnn DNA) kurang bersifat immunogenik dari pada insulin yang
berasal dari hewan.
Penilaian hasil terapi3
1. Pemeriksaan glukosa darah
2. Pemeriksaan A1C
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri
4. Pemeriksaan glukosa urin
5. Penentuan benda keton pengendalian urin
Table 2.4 Kriteria Pengendalian DM
GD puasa
GD 2 jam pp
A1C
Kolesterol total
Kolesterol LDL
Kolesterol HDL
Trigliserida
IMT
Tekanan darah

Baik
80-109
80-144
<6,5
<200
<100
>45
<150
18,5-22,9
<130/80

2.9 Komplikasi diabetes melitus

33

Sedang
110-125
145-179
6,5-8
200-239
100-129

Buruk
126
180
>8
240
130

150-199
23-25
130-140/80-90

200
>25
> 140/90

Gambar 3. Komplikasi DM
Komplikasi yang terjadi pada kasus DM dapat bersifat akut maupun kronis

Akut
a. Hipoglikemi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa)

dibawah harga normal. Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan kadar gula
darah antara 70-110 mg/dL. Pada diabetes, kadar gula darah terlalu tinggi; pada
hipoglikemia, kadar gula darah terlalu rendah. Kadar gula darah yang rendah
menyebabkan berbagai sistem organ tubuh mengalami kelainan fungsi.14,15
Otak merupakan organ yang sangat peka terhdap kadar gula darah yang
rendah karena glukosa merupakan sumber energi otak yang utama. Otak
memberikan respon terhadap kadar gula darah yang rendah dan melalui sistem
saraf, merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin (adrenalin). Hal
ini akan merangsang hari untuk melepaskan gula agar kadarnya dalam darah tetap
terjaga. Jika kadarnya menurun, maka akan terjadi gangguan fungsi otak.15
Penyebab tersering hipoglikemia pada pasien DM yaitu akibat OHO
golongan sulfonilurea, hipoglikemi ini dapat berlangsung lama sehingga harus
diawasi sampai seluruh obat di ekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Waktu
pengawasannya bisa berlangsung 24-72 jam, terutama pada pasien dengan gagal
ginjal kronis.3,14

34

Gejala hipoglikemi dapat terdiri dari gejala adrenergik seperti berdebar,


banyak keringat, gemetar, rasa lapar dan gejala neurologik seperti pusing, gelisah,
penurunan kesadaran hingga koma.
Hipoglikemia bisa disebabkan oleh:
Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas
Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi, yang diberikan kepada
penderita diabetes untuk menurunkan kadar gula darahnya
Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal
Kelainan pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan glukosa di
hati.
Pada penderita diabetes berat menahun sangat peka terhadap hipoglikemia
berat. Hal ini terjadi karena sel-sel langerhans pankreasnya tidak membentuk
glukagon secara normal dan kelanjar adrenalnya tidak menghasilkan epinefrin
secara normal. Padahal kedua hal tersebut merupakan mekanisme utama tubuh
untuk mengatasi kadar gula darah yang rendah.15
Tatalaksana Hipoglikemia
Pada keadaan apapun pengobatan yang paling baik adalah pencegahan.
Apabila hipoglikemi telah terjadi, maka pengobatan harus segera dilakukan
terutama untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap otak yang paling sensitif
terhadap penurunan glukosa darah.4
- Stadium permulaan (Pasien sadar)
Pemberian gula ,urni + 30 gram (2 sendok makan) atau sirup, permen,
makanan yang mengandung hidrat arang.
Stop obat hipoglikemi, periksa GDS dan lakukan pengakjian ulang
-

setiap 4 jam selama 24 jam.


Stadium lanjut (koma hipoglikemi)
Penanganan keadaan gawat darurat ini harus cepat dan tepat. Berikan
larutan glukosa 40% sebanyak 2 flakson, intravena setiap 10-20 menit
hingga pasien sadar disertai pemberian cairan dextrose 10% perinfus 6
jam/kolf, untuk mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau
di atas normal. Bila belum teratasi dapat diberikan insulin antagonis
seperti adrenalin, kortison dosis tinggi adatu glukagon 1 mg intravena,
tetapi sebaiknya penggunaan adrenalin perlu dibatasi mengingat efek
sampingnya.4

35

Gambar 5. Skema penatalaksanaan hipoglikemia


b. Ketoasidosis diabetik
Merupakan keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai
dengan trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan
komplikasi akut DM yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat.
Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan
dapat samapai menyebabkan shock.3,4,16
Faktor Pencetus4,16

KAD terjadi saat sel-sel otot sangat kekurangan energi, sehingga terjadi
pemecahan lemak sebagai sumber energi menyebabkan ada benda-benda

keton.
Dapat disebabakan oleh stress atau suatu penyakit, seperti IMA, pankreatitis
akut

36

Infeksi menyebabkan tubuh mengeluarkan adrenalin kerjanya bertentang

dengan insulin
Pada pasien DM yang lupa memakai Insulin, mencoba menghentikan atau

mengurangi dosis insulin.


Penggunaan obat golongan steroid.
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau

relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, ketokolamin, kortisol,


dan hormon pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati
meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir
hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan
berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian yaitu (gambar 5) :16
Akibat hiperglikemia
Akibat ketosis

Gambar 6. Patofisiologi KAD


Walaupun sel tubh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem homeostasis
tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak
sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan
kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase
sensitif pada jaringan lemak. Akibat lipolisis meningkat, sehingga terjadi
peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan.
Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik
37

asidosis. Benda keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi
butirat (3HB); dalam keadaan normal kadar 3HB meliputi 75-85% dan aseton
darah merupakan benda keton yang tidak begitu penting. Meskipun sudah tersedia
bahan bakar tersebut sel-sel tubuh masih tetap lapar dan terus memproduksi
glukosa. Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke dalam sel,
memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen , menghambat
lipolisis pada sel lemak (menekan pembentukan asam lemak bebas), menghambat
glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong proses oksidasi melalui siklus
Krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan dihasilkan
adenin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi utama sel.16
Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi
insulin relatif. Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya
asam lemak bebas, hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan asambasa dapat mengganggu sensitivitas insulin.16
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah di kenal.dan ini
sangat membantu untuk mengenalai KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi
akut KAD dan segera mengatasinya. Pada pasien KAD di jumpai pernafasan
cepat dan dalam (kussmaul), derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang,lidah dan
bibir kering), kadang kadang di sertai hipovolimia sampai syok dan bau aseton
dari nafas tidak terlalu tercium.16
Aretaeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut, keluhan
poliurin dan polidipsi. Sering kali terdapat riwayat menghentikan insulin, demam
atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering di temui terutam pada
anak, dan dapat pula di jumpai nyeri perut yang menonjol hal itu berhubungan
dengan dilatasi lambung.16
Derajat kesadaranya dapat di jumpai mulai dari kompos mentis, delirium
atau depresi sampai koma. Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering.
Infeksi yang paling sering di temukan ialah infeksi saluran kemih dan pneumonia,
walaupun begitu kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila di jumpai
adanya nyeri abdomen, perlu di fikirkan kemungkinan kolesistisis, iskemia usus,
apendistis, diverkulitis, atau perforasi usus.bila pada pengobatan pasien tidak

38

mengalami kemajuan maka perlu di cari adanya kemungkinan lain yaitu


kemungkinan terinfeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirectal).16
Ketoasidosis diabetic perlu dibedakan dengan ketosis diabetic ataupun
hiperglikemia hiperosmolar nonketotik. Beratnya hiperglikemia, ketodemia dan
asidosis dapat dipakai dengan criteria diagnosis KAD. Walaupun demikian
penilaian kasus per kasus selalu diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
Langkah-langhkah diagnosis :
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama
memperhatikan patensi jalan nafas, status mental, status ginjal dan
kardiovaskular, dan status dehidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menetukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segara dilakukan,
sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adaanya penundaan.
2. Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah adalah
pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine
dengan menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah
glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium
lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi
kadar HCO3 anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan
kadar AcAc dan laktat serta 3HB.
Kadar glukosa >250 mg%
pH <7,35
HCO3 rendah
Anion gap yang tinggi
Keton serum positif16

Tata Laksana KAD


Prinsip pengelolaan utama adalah dengan segera menangani KAD dengan cara

Penggantian cairan dan garam yang hilang

Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan
pemberian insulin

Mengatasi stress sebagai pencetus KAD

39

Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya


pemantauan serta penyesuain pengobatan

Ada 6 hal yang harus diberikan 5 diantaranya ialah cairan, garam, insulin, kalium,
glukosa dan yang sangat menentukan adalah asuhan keperawatan.16

Cairan
Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis. Pada jam
pertama diberikan 1-2 liter, jam ke 2 diberikan 1 liter dan selanjutnya
sesuai protocol.
Tujuannya ialah untuk memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan
hormone kontraregulator insulin, menurunkan kadar gula darah dan
memperbaiki prfusi ginjal.. Bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka
perlu diberikan larutan yang mengandung glukosa(dekstrosa 5% / 10%)

Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan
rehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan menurunkan konsentrasi
hormone glucagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati,
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino
dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan.
Tujuan pemberian insulin di sini bukan hanya untuk mencapai konsentrasi
glukosa normal, tetapi untuk mengatasi keadaan ketonemia. Oleh karena
itu, bila konsentrasi glukosa kurang dari 200 mg%, insulin diteruskan dan
untuk mencegah hipoglikemia diberi cairan mengandunmg glukosa sampai
asupan kalori oral pulih kembali.
Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah berikatan dengan
reseptor. Kemudian reseptor yang telah berikatan akan mengalami
internalisasi dan insulin akan mengalami destruksi. Dalam keadaan
hormone kontraregulator masih tinggi dalam darah, dan untuk mencegah
terjadinya lipolisis dan ketogenesi, pemberian insulin tidak boleh
dihentikan tiba-tiba dan perlu dilanjutkan beberapa jam setelah koreksi

40

hiperglikemia tercapai bersamaan dengan pemberian larutan mengandung


glukosa untuk mencegah hipoglikemia.

Kalium
Ion kalium terutama terdapat pada intraseluler dan pada keadaan KAD
biasanya konsentrasi ion K serum meningkat. Hal ini membuat ion K
bergerak ke luar sel yang selanjutnya dikeluarkan melalui urin.
Total deficit ion K yang terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5
mEq/kg BB. Selama terapi ion K akan kembali ke dalam sel. Untuk
mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel serta mempertahankan
konsentrasi K serum dalam batas normal, perlu pemberian Kalium. Pada
pasien tanpa gagal ginjal serta tidak ditemukan gelombang T yang lancip
dan tinggi pada elektrokardiogram, pemberian kalium segera dimulai
setelah jumlah urin cukup adekuat.
Jika tidak dijumpai gangguan miksi maka sejak awal pasien sudah harus
mendapat kalium yaitui 40 mEq/L (BB<30Kg) atau 80 mEq/L (BB>30
Kg)

Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya konsentrasi glukosa darah
akan menurun. Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi
penurunan konsentrasi glukosa sekitar 60 mg%/ jam. Jika konsentrasi
glukosa mencapai < 200 mg% maka dapat dimulai infuse mengandung
glukosa.

Bikarbonat
Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Adapun
alas an keberatan pemberian bikarbonat adalah :
1. Menurunkan pH intraseluler akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat
2. Efek negative pada dissosiasi oksigen di jaringan
3. Hipertonis dan kelebihan natrium
4. Meningkatkan insidens hipokalemia
5. Gangguan fungsi serebral dan
6. Terjadi alkaliemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton
Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun
demikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam
tetap merupakan indikasi pemberian bikarbonat.
41

Pengobatan umum KAD terdiri atas :


1) Antibiotic yang adekuat
2) Oksigen bila pO2 < 80 mmHg
3) Heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (> 380 mOsm/l)
Pemantauan
1. kadar glukosa darah tiap jam dengan alat glukometer
2. elektrolit tiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan
3. analisi gas darah bila pH kurang dari 7
4. tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan, dan suhu setiap jam
5. keadaan hidrasi, balans cairan
6. waspada terhadap kemungkinan DIC
c. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK)
Merupakan komplikasi akut / emergensi diabetes melitus yang ditandai
dengan dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala
klinis utamanya adalah hiperglikemia berat serta sering kali disertai dengan
gangguan neurologis dengan atau tanpa ketosis. Perjalanan klinis penyakit ini
berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa
minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuria, polidipsia,
dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan pada 10% kasus.14,17
Komplikasi ini dapat terjadi pada orang tua dengan DM, yang memiliki
penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor
pencetusnya dibagi atas enam kategori yaitu infeksi, pengobatan, noncompliance,
DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta.17
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria.
Glukosuria

mengakibatkan

kegagalan

pada

kemampuan

ginjal

dalam

mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air.


Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang
batas tertentu. Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan natrium
menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk
menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terjadi resistensi insulin.+17
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya
hiperglikemia. Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh
42

sel otot dan lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada
otot dan hati, serta stimulus glukagon pada sel hati untuk glukogenesis
mengakibatkan semakin naiknya kadar glukosa darah. Pada keadaan dimana
insulin tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan kadar glukosa darah juga
tergantung dari status hidrasi dan masukan karbohidrat oral.17
Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis

osmotik,

dan

mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular, dimana


glukoneogenesis dan masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan
cairan akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan hilangnya volume
sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma yang
mengikuti kehilangan cairan intravaskular menyebabkan keadaan hiperosmolar
yang memicu sekresi hormon antidiuretik serta menimbulkan rasa haus. Jika
hilangnya caoran ini tidak di kompensasi, maka akan timbul dehidrasi dan
kemudian hipovolemia yang nantinya dapat mengakibatkan terjadinya hipotensi
serta gangguan perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan stadium akhir proses
hiperglikemia ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya
dengan hipotensi.17

Gambar 7. Perbandingan KAD dan HHNK


Keluhan pasien HHNK adalah rasa lemah, gangguan penglihatan atau kaki
kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika
dibandingkan dengan KAD. Kadang pasien datang dengan disertai keluhan saraf
seperti letargi, disorientasi, hemiparese, kejang, atau koma. Pada pemeriksaan
43

fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa
pipi yang kering, mata cekung, ekstremitas dingin dan denyut nadi yang cepat
dan lemah. Dapat ditemukan distensi abdomen jika terjadi gastroparesis.14,17
Perubahan status mental berkisar dari disorientasi dampai koma. Koma
terjadi jika serum telah mencapai > 350 mOsm per kg. Secara klinis HHNK sulit
dibedakan dengan KAD terutama bila hasi laboratorium seperti kadar glukosa
darah, keton, dan analisa gas darah belum ada hasilnya. Berikut beberapa gejala
yang dapat menjadi pegangan, yaitu :14,17
- Sering ditemukan pada usia > 60 tahun
- Hampir semua pasien tak memiliki riwayat DM atau DM tanpa insulin
- Mempunyai penyakit dasar lain, seperti ginjal atau kardiovaskular,
-

akromegali, tirotoksikosis, dan cushing disease


Sering disebabkan oleh obat-obatam seperti tiazid, furosemid, manitol,

digitalis, reserpin, steroid, CPZ, hidralazin, simetidin, HLD


Memiliki faktor pencetus infeksi, penyakit kardiovaskular, aritmia,
perdarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik,
dan operasi.

Pemeriksaan laboratorium sangat membantu dalam membedakan HHNK


dengan KAD. Biasanya pasien dengan HHNK akan ditemukan kadar glukosa
darah >600 mg/dL dan osmolaritas serum > 320 mOsm/kg, dengan pH > 7,3
dengan atau tanpa ketonuria ringan. Kadar kalium dapat meningkat atau normal,
kadar kreatinin, blood urea nitrogen (BUN), dan hematokrit hampir selalu
meningkat. HHNK menyebabkan tubuh banyak kehilangan berbagai macam
elektrolit. Kadar natrium harus dikoreksi jika kadar glukosa darah pasien sangat
meningkat. Yang dapat dihitung dengan rumus berikut :
Sodium (mEq/L) + 165 x (glukosa darah 100)
100
Untuk menghitung Osm serum yang efektif digunakan rumus :
(2 x sodium (mEq/L) + glukosa darah (mg/dL)
18

44

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan HHNK meliputi beberapa pendekatan, yaitu :14,17
1. Rehidrasi cairan
Pertimbangkan defisit cairan. Cairan yang bisa diberikan yaitu cairan
isotonic maupun hipotonic. Sebaiknya untuk awal diberikan 1L normal
saline/jam sampai ciran intravaskular dan perfusi jaringan mulai
membaik, kemudian pertimbangkan kekurangannya dan diberikan dalam
12-48 jam. Hati-hati pemberian cairan isotonis pada pasien dengan gagal
jantung, penyakit ginjal, atau hipernatremia. Glukosa 5% bisa diberikan
saat kadar gula sekitar 200-250 mg/dL.
2. Elektrolit
Kadar kalium harus terus dipantau dan irama jantung juga harus di
monitor. Jika kadar kalium < 3,3 mEq/L, pemberian insulin ditunda dan
diberikan kalium. Sedangkan jika kadar kalium > 5,0 mEq/L harus
diturunkan.
3. Insulin
Terlebih dahulu berikan cairan yang adekuat. Jika insulin diberikan
sebelum pemberian cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan
berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular atau
kematian. Insulin sebaiknya diberikan bolus IV awal 0,15 U.kgBB dan
diikuti drip 0,1 U/kgBB perjam sampai kadar glukosa darah turun antara
250-300 mg/dL. Jika kadar glukosa darah tidak turun 50-70 mg/dL
perjam maka dosis insulin dapat ditingkatkan.
Kronis4,11
a. Makroangiopati
Misalnya seperti stroke, penyakit jantung dan pembuluh darah perifer
(terutama kaki )

Penyakit arteri koroner


Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah arteri koroner
menyebabkan peningkatan insidens infark miokard pada penderita
diabetes. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyakit arteri
koroner menyebabkan 50% hingga 60% dari semua kematian pada
pasien-pasien diabetes.
45

Penyakit serebrovaskuler
Perubahan

aterosklerotik

dalam

pembuluh

darah

serebral

atau

pembentukan emboli ditempat lain dalam sistem pembuluh darah yang


kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah
serebral dapat menimbulkan serangan iskemia sepintas dan stroke.

Penyakit vaskuler perifer


Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas
bawah merupakan penyebab meningkatnya insidens penyakit osklusif
arteri perifer pada pasien diabetes. Bentuk penyakit oklusif arteri yang
parah pada ekstremitas bawah ini merupakan penyebab utama
meningkatnya insidens gangren dan amputasi pada pasien-pasien
diabetes.

b. Mikroangiopati
Misalnya seperti retinopati, nefropati dan neuropati.
Retinopati diabetik
Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik disebabkan oleh
perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata. Ada
tiga stadium utama retinopati: retinopati nonproliferatif (background
retinopathy), praproliferatif dan retinopati proliferatif. Sebagian besar
pasien diabetes mengalami retinopati nonproliferatif dengan derajat
tertentu dalam waktu 5 hingga 15 tahun setelah diagnosis diabetes
ditegakkan.

Nefropati
Penyakit diabetes turut menyebabkan kurang lebih 25% dari pasienpasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang memerlukan
dialysis atau tranplantasi setiap tahunnya di Amerika Serikat.
Penyandang diabetes memiliki risiko sebesar 20% hingga 40% untuk
menderita penyakit renal.

Neuropati diabetes
Neuropati dalam diabetes mengacu kepada sekelompok penyakit yang
menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor),
otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan
bergantung pada lokasi sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati
46

meningkat bersamaan dengan pertambahan usia penderita dan lamanya


penyakit tersebut. Angka prevalensi dapat mencapai 50% pada pasienpasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Kenaikan kadar
glukosa darah selama bertahun-tahun telah membawa implikasi pada
etiologi neuropati.

2.10 Pencegahan Diabetes Melitus


Strategi pencegahan3,4
Pendekatan populasi masyarakat.
Mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup sehat dan menghindari
cara hidup berisiko. Upaya ini bukan hanya untuk mencegah diabetes tapi juga
untuk mencegah penyakit lain.upaya ini sangat berat karena populasi yang sangat
luas oleh karena itu LSM, pemuka masyarakat dan pemuka agama harus ikut
serta.
Pendekatan individu berisiko tinggi.
Upaya pencegahan yang di lakukan terhadap risiko penderita diabetes.
Individu yang berumur >40 tahun, gemuk, hipertensi riwayat keluarga DM, riwaat
mleahirka bayi <4 kg, riwayat DM pad kehamilan, dislipidemia.
Pencegahan primer
Cara ini merupakan cara yang agak sulit karena yang menjadi saran adalah
orang orang yang masih sehat. Cakupanya sangat luas. Yang bertanggung jawab
bukan hanya profesi tetapi juga seluruh masyarakat dan semua pihak harus
menerapkan hidup yang tidak berisiko.menjelaskan kepada masyarakat bahwa
mencegah lebih baik dari pada mengobati, kampanye makanan sehat yaitu
makanan yang rendah lemak atau pola makanan yang seimbang. Tempe misalnya
(menurunkan kadar kolesterol). Caranya bisa melalui guru guru, radio atau
televisi. Jaga berat badan, olahraga teratur. Terutama ada anak anak risiko
diabetes.
Pencegahan sekunder
Mencegah timbulnya kompikasi, dan relative mudah karena populasinya
kecil. Tetapi tidak gampang memotivasi pasien untuk berobat secaa teratur, dan
47

menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh. Syarat untuk


mencegah komplikasinya ialah menurunkan kadar gula darah sepanjang hari,
selain itu tekanan darah dan kadar lipid harus normal dan supaya tidak ada
resistensi insulin, misalnya dengan cara diet dan olahraga teratur, tidak merokok
dll. Bila tidak berhasil baru menggunakan medikamentosa.
Pada dasrnya penyuluhan pun harus di lakukan, di tambah dengan
peningkatan pelayanan kesehatan. Diperlukan penyuluhan kepada pasien dan
keluarga tentang berbagai hal pencegahan dan komplikasi yang bisa terjadi yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan ahli seperti dokter yang sudah mendapat
pelatihan. Usaha ini akan lebih berhasil bila cakupan pasien diabetesnya sangat
luas.
Oleh karena itu WHO pada tahun 1994 menyatakan bahwa pendeteksian
pasien baru dengan cara skrinning dimasukkan kedalam upaya pencegahan
skunder agar bisa diketahui secara dini, namun di Indonesia upaya ini termasuk
mahal.
Peran profesi sangat di tantang untuk pasien yang tidak terdiagnosis, agar
pasien tidak datang pada kondisi yang sudah parah.
Pencegahan tersier
Upaya ini terdiri dari 3 tahap

Pencegahan komplikasi diabetes (termasuk pencegahan skunder)


Mencegah beranjutnya komplikasi untuk tidak menjurus ke penyakit

organ.
Mencegah terjadinya kecacatan di sebabkan oleh karena kegagalan organ
atau jaringan.

2.11 Prognosis
Latihan dan penurunan berat badan membuat tubuh lebih sensitif terhadap
tindakan insulin dan dengan demikian membantu untuk mengontrol kadar glukosa
darah. Hasil yang menguntungkan dengan pengaturan kadar glukosa darah yang
baik dan sesuai dengan rejimen perawatan diri direkomendasikan. Pengembangan
komplikasi negatif akan mempengaruhi hasil. Diabetes terkait, kebutaan, penyakit
ginjal, dan amputasi dapat mengakibatkan cacat permanen.3,4

48

Meskipun diabetes tipe 2 adalah kondisi, kronis progresif dengan belum bisa
disembuhkan, kondisi tersebut dapat secara efektif dikelola dengan pendidikan
pasien dan teratur, perawatan medis yang sesuai.3,4

BAB III
PENUTUP
Jumlah pasien diabetes dalam kurun waktu 25-30 tahun yang akan datang
akan sangat meningkat akibat peningkatan kemakmuran, perubahan pola
demografi dan urbanisasi. Di samping itu juga karena pola hidup yang akan
berubah menjadi pola hidup berisiko. Pencegahan baik primer, sekunder maupun
tersier merupakan upaya yang paling tepat dalam mengantisipasi ledakan jumlah
ini, dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait seperti pemerintah, LSM,
guru-guru dan lain-lain. Dari segi teknis, karena cakupannya sangat luas dalam
pelaksanaannya perlu dibantu oleh para penyuluh diabetes yang terampil.

49

DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, Riset Kesehatan dasar
(Riskesdas 2013). Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
2. Gustaviani, Reno. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI;
2007. Hal 1857-1859
3. Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia.

Konsesnsus

Pengelolaan

dan

Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta:


Perkeni; 2008
4. Soegondo, Sidarta. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini dalam
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Cetakan ke-7. Soegondo S,
Soewondo S, Subekti I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. Hal : 19-30
5. Rani A, Soegondo S, Nasir A, Wijaya I P, nafrialdi, Mansjor A. Panduan
Pelayanan Medik perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Jakarta : PB PAPDI; 2009. Hal 9-15
6. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007. Hal 18521856
7. Suyono, Slamet. Kecenderungan peningkatan Jumlah Penyandang Diabetes
dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Cetakan ke-7. Soegondo S,
Soewondo S, Subekti I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. Hal : 3-10
8. Gustaviani, reno. Sindrom Metabolik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi IV. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007. Hal 1849-1851

50

9. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi keenam.


Jakarta : EGC; 2006
10. Arthur C, Guyton. Buku teks Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2008
11. Yunir E, Soebardi S. Terapi non-farmakologi Pada Diabetes Melitus dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UI; 2007. Hal 1864-1866
12. Soegondo, Sidartawan. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes
Melitus tipe 2 dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007. Hal 1860-1863
13. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Terapi Insulin pada Pasien Diabetes
Melitus. Jakarta : Perkeni; 2007
14. Boedisantoso R. Komplikasi Akut Diabetes Melitus dalam Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu. Cetakan ke-7. Soegondo S, Soewondo S, Subekti I.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. Hal : 163-174
15. Soemadji, Wahono. Hipoglikemia iatrogenik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007. Hal 18701873
16. Soewondo, Pradana. Ketoasidosis Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007. Hal 18741877
17. Soewondo, Pradana. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik non Ketotik dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UI; 2007. Hal 1878-1880

51

You might also like