You are on page 1of 14

BAB I

Pendahuluan
1.1.

Latar Belakang Masalah

Kasus tanah Lemukih berawal dari sengketa tanah adat Lemukih seluas 93 hektar. Dengan
adanya aturan Landreform, kepemilikan tanah desa Lemukih dibatasi maksimal 30 hektar.
Sisanya seluas 63 hektar dimohon oleh penggarap tanah sehingga keluar sertifikat hak milik.
Kepala Kantor Pertanahan Buleleng I Gede Sukardan Ratnasa, S.H. mengatakan, sejak 1974
terjadi peralihan sertifikat kepada ahli warisnya. Padahal banyak ahli waris tak mengetahui batas
tanahnya. Terbitnya sertifikat ini memunculkan bibit-bibit perpecahan, namun konflik itu tidak
muncul ke permukaan.
Mulai tahun 2003, warga dengan diantar kuasa hukum mereka mulai mendatangi lembagalembaga resmi, seperti Kantor Bupati, DPRD dan Kantor Pertanahan. Tututan warga antara lain
meminta Bupati Bagiada, DPRD maupun Kantor Pertanahan mengambil peran untuk
membatalkan sertifikat yang dipegang sekelompok warga di Lemukih.
Selain tanah yang disertifikatkan itu merupakan tanah duwe pura, warga juga menilai sertifikat
yang dipegang warga itu cacat karena proses permohonannya tidak sesuai prosedur. Selama
tahun 2003 hingga tahun 2008, warga sesekali tetap melakukan aksi-aksi demo agar sertifikat
atas tanah yang disengketakan itu dibatalkan. Sementara warga pemegang sertifikat tetap ngotot
mempertahankan tanah mereka.
Setelah tim bekerja beberapa bulan ditemukan kesimpulan bahwa tanah yang disengketakan
antara Desa Pakraman Lemukih dengan sekelompok warga pemegang sertifikat adalah tanah
duwe pura yang dikerjakan oleh para penggarap secara turun-temurun dan disertifikatkan
menjadi hak milik perseorangan berdasarkan Surat Gubernur Nomor 34 sampai dengan Nomor
62/HM/DA/BLL/74.
Menurut Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali dalam surat Nomor
570.61-594 yang ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional, prosedur penerbitan
sertifikat itu cacat administrasi.

Suasana makin panas ketika tahun 2009 Sehingga akhirnya pengukuran dijadwalkan 27 Agustus
2009. Yang terjadi kemudian malah bentrok antara warga dari pihak desa pakraman dengan
warga pemegang sertifikat. Sementara pengukuran batal dilaksanakan karena petugas merasa
keselamatannya terancam.
Selama ketegangan ini berlangsung terjadi beberapa pelanggaran, diantaranya adalah
pembakaran rumah, penyiksaan warga pendukung sertifikat, pengusiran warga yang pro pemilik
sertifikat, sweeping warga, perusakan fasilitas umum, dan lain-lain.
1.2.

Rumusan Masalah

Bagaimana landreform atau reformasi agraria yang baru muncul pada tahun 1960 dapat
menjamin keadilan bagi seluruh masyarakat komunal, sebab landreform memungkinkan
beberapa individu untuk memiliki sertifikat hak milik atas tanah Lemukih yang merupakan tanah
milik masyarakat desa Pakraman Lemukih secara turun temurun jauh sebelum tahun 1960?

BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1.

Agraria dan Hak Ulayat Masyarakat Adat

Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh G. Kertasapoetra dan kawan kawan
dalam bukunya - Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi keberhasilan Pendayahgunaan Tanah
menyatakan bahwa, Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu
persekutuan hukum ( desa, suku ) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan / pendayahgunaan
tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum ( desa ,suku ) dimana
para warga masyarakat ( persekutuan hukum ) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah,
yang pelaksanaanya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku / kepala desa yang
bersangkutan)1.
Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat
yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Kewenangan dan
kewajiban tersebut masuk dalam bidang hukum perdata dan ada yang masuk dalam bidang
hukum publik. Kewenangan dan kewajiban dalam bidang hukum perdata berhubungan dengan
hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut, sedangkan dalam bidang hukum publik, berupa
tugas kewenangan untuk mengelola,mengatur, dan memimpin peruntukan, penguasaan,
pengunaan, dan pemeliharaannya ada pada kepala adat / tetua adat.2
Subjek Hukum Hak Ulayat adalah masyarakat persekutuan adat dalam keseluruhannya, yakni
seluruh nusantara ini, masyarakat menguasai hak ulayat tidak boleh ditangan otonomi pribadi
1 G. Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, A.G Kartasapoetra, A. Setiady, Hukum Tanah,
Jaminan Undang Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayahgunaan
Tanah,Jakarta : Bina Aksara,1985,hlm 88
2 Yenni Sellywati Siagian,Tinjauan Hukum Terhadap Sengketa Tanah Hak Ulayat
Suku Moi ( Marga Kalagisan dan Mali Bela ) dikaitkan dengan Undang undang no 5
tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok pokok agraria dan undang undang no
21 tentang otonomi khusus bagi Papua,Bandung Universitas Padjadjaran,2011,hal
31

tetapi harus ditangan masyarakat.3 Objek hak ulayat meliputi tanah (daratan), air, tumbuh
tumbuhan (kekayaan alam) yang terkandung didalamnya, dan binatang liar yang hidup bebas
dalam hutan.4 Hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum ( Subjek
hukum ) dan tanah / wilayah tertentu ( objek hak )5.
Isi hak ulayat adalah :
1. Kebebasan dari Anggota Masyarakat desa untuk menikmati tanah hak ulayat itu
misalnya berbumi, mengambil kayu, atau buah buahan yang tumbuh ditanah
tersebut.
2. Orang asing dilarang menguasai atau menikmati tanah ulayat kecuali setelah
mendapat izin dari ketua adat desa dan membayaruang pengakuan.6
Istilah Agraria berasal dari kata Akker (bahasa belanda) yang berarti tanah pertanian,jikalau
melihat dari bahasa yunani maka asal katanya adalah Agros yang berarti tanah Pertanian,
Agraria menurut bahasa latin tertulis Agger memiliki makna sebidang tanah atau Agrarius
yang berarti perladangan, persawahan, pertanian. Pengertian Agraria Menurut Para Ahli :

Andi Hamzah, Agraria adalah masalah tanah dan semua yang ada didalam dan

diatasnya.
Subekti dan R. Tjitrosoedibjo, Agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang
ada didalam dan diatasnya

3 Sumardi Basuki, Diklat Kuliah Asistensi, Hukum Agraria, Yogyakarta Universitas


Gadjah Mada, 1977 hal 73
4 Bushar Muhammad,Pokok Pokok Hukum Adat, Jakarta : Pradaya
Paramita,1983,hal 109
5 Maria SW Sumardjono,kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi,
Penerbit Buku Kompas,Jakarta, Juni 2001,hal 56
6 Yenni Sellywati Siagian,Tinjauan Hukum Terhadap Sengketa Tanah Hak Ulayat
Suku Moi ( Marga Kalagisan dan Mali Bela ) dikaitkan dengan Undang undang no 5
tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok pokok agraria dan undang undang no
21 tentang otonomi khusus bagi Papua,Bandung Universitas Padjadjaran,2011,hal
32

Undang undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok pokok agraria
(UUPA), Ruang Lingkup Agraria meliputi bumi,air,ruang angkasa, dan kekayaan

alam yang terkandung didalamnya.


Boedi Harsono, Hukum Agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang
hukum yang masing masing mengatur hak hak penguasaan sumber sumber
daya alam tertentu yang termasuk pengertian Agraria.

2.2.

Landreform atau Reforma Agraria: Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan

Boedi Harsono mengatakan bahwa Landreform didalam arti sempit merupakan serangkaian
tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Dan dalam arti luas. Landreform meliputi
perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hubungan hukum yang
bersangkutan dengan penguasaan tanah.7
Perkataan Landreform berasal dari kata Land yang artinya tanah dan Reform yang artinya
perubahan, perombakan atau penataan kembali. Jadi Landreform itu berarti merombak kembali
struktur hukum pertanahan lama dan membangun struktur pertanahan baru.
Landreform adalah suatu asas yang menjadi dasar dari perubahan-perubahan dalam struktur
pertanahan hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Asas itu adalah bahwa Tanah pertanian
harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri
Landreform bermaksud mengadakan suatu perubahan sistem pemilikan dan penguasaan atas
tanah yang lampau ke arah sistem pemilikan dan penguasaan atas tanah yang baru yang
disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang sedang giat melaksanakan
pembangunan ekonomi sesuai dengan cita-cita Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

7 Boedi Harsono, Himpunan Peraturan Agraria, Pen.Jembatan, Jakarta, 1973, hal.


221.

Secara teknis pengertian Landreform mempunyai arti secara luas dan secara sempit. Pengertian
Landreform dalam UUPA dan UU No. 56/Prp/1960 adalah pengertian Landreform dalam arti
luas, yaitu:
1.

Pelaksanaan pembaharuan hukum agraria, yaitu dengan mengadakan perombakan

terhadap sendi-sendi hukum agraria yang lama yang sudah tidak sesuai dengan kondisi dan
situasi zaman modern dan menggantinya dengan ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan
perkembangan masyarakat modern.
2.

Penghapusan terhadap segala macam hak asing dan konsepsi kolonial.

3.

Diakhirinya kekuasaan para tuan tanah dan para feodal atas tanah yang telah banyak

melakukan pemerasan terhadap rakyat melalui penguasaan tanah.


4.

Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan atas tanah secara berencana serta

berbagai hubungan-hubungan yang berkenaan dengan penguasaan atas tanah.


5.

Perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana sesuai

dengan kemampuan dan perkembangan kemajuan.


Sedangkan Landreform dalam arti sempit merupakan serangkaian tindakan-tindakan dalam
rangka Agraria Reform Indonesia, yaitu mengadakan perombakan mengenai pemilikan dan
penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan yang bersangkutan dengan pengusahaan atas
tanah.Pengertian Landreform menurut UUPA disebut Agrarian Reform, pada dasarnya mencakup
3 masalah pokok, yaitu :
1.

Perombakan den pembangunan kembali sistem pemilikan dan penguasaan atas tanah.

Tujuannya yaitu melarang adanya Groot Ground Bezit yaitu pemilikan tanah yang melampauai
batas, sebab hal yang demikian akan merugikan kepentingan umum, asas ini tercantum dalam
pasal 7, 10 dan 17.
2.

Perombakan dan penetapan kembali sistem penggunaan tanah atau Land use planning.

3.

Penghapusan hukum agraria kolonial dan pembangunan Hukum Agraria Nasional.

Tujuan Landreformadalah usaha untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani
penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan
ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Secara terinci tujuan Landreform di Indonesia adalah :
1. Usaha mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang
berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan mengubah
struktur pertanahan secara revolusioner, guna merealisasi keadilan sosial.
2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai obyek
spekulasi dan alat pemerasan.
3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warganegara
Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi sosial. Suatu perlindungan
terhadap privat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan dan
turun-temurun, tetapi berfungsi sosial.
4. Untuk mengakhiri sstem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah
secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum
dan batas minimm untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga dapat seorang laki-laki
maupun wanita. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan kapitalisme atas
tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah.
5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang
intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya,
untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil disertai dengan sistem perkreditan
yang khusus ditujukan kepada golongan lemah.8
Landasan Operasional pelaksanaan Landreform di Indonesia yaitu ;
1.

Pasal 7 UUPA
Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan

yang melampaui batas tidak diperkenankan.

8 Eddy Ruchiyat,S.H. pelaksanaan Landreform dan jual gadai tanah, Pen. CV.
Armico, Bandung, 1983, hal. 16.

tanah

2.

Pasal 10 UUPA
Ayat (1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian pada

dasarnya diwajibkan mengerjakan dan mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah
cara-cara pemerasan.
Ayat (2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih
lanjut dengan peraturan perundangan.
3. Pasal 17 UUPA
Ayat (1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7, maka untuk mencapai tujuan
dalam pasal 2 (3) diatur luas maksimum dan luas minimum tanah yang boleh dipunyai dengan
sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
Ayat (2) penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan
dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat.
Ayat (3) tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum yang termaksud
dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi, untuk selanjutnya dibagikan
kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.
Ayat (4) tercapainya batas maksimum termaksud dalam ayat 1 yang akan ditetapkan
dengan peraturan perundangan dilaksanakan secara berangsur-angsur.

BAB III
Analisis Masalah
Permasalahan yang dihadapi dalam kasus Lemukih agak kompleks. Di satu sisi, kita melihat
adanya kebijakan landreform yang bertujuan baik. Di sisi lain, kita melihat sisi dari kebijakan
landreform yang tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal yang merupakan karakteristik bangsa.
Kebijakan landreform sebetulnya memiliki keuntungan dan secara umum penting bagi
perkembangan hukum agraria Indonesia karena dengan adanya kebijakan ini maka pengaruh
barat dapat dikikis perlahan-lahan. Adanya landreform juga diharapkan dapat mengurangi jumlah
pemerasan kelas yang terjadi antara kaum tuan tanah dengan kaum rakyat jelata. Akan tetapi tiba
suatu pertanyaan, apakah landreform sudah mengakomodasi seluruh kepentingan rakyat jelata?
Pertentangan besar terlihat dalam asas landreform yang mengedepankan pembaharuan.
Tentunya bukan berarti bahwa pembaharuan ini buruk, jauh dari itu. Namun kita dapat bertanyatanya, apakah pembaharuan ini berarti kita hendak mengganti setiap peninggalam masa lampau,
atau hanya bagian yang buruk saja? Dan siapa yang bisa menentukan mana peninggalan yang
cukup baik untuk dipertahankan dan mana peninggalan yang tidak cukup baik untuk dibaharui?
Dalam kasus lemukih kita melihat adanya konflik antara masa lalu dan masa depan. Sebagian
masyarakat memiliki klaim yang dapat dibuktikan bahwa secara adat tanah yang disengketakan
dalam kasus ini adalah tanah milik adat, dengan berbagai keuntungannya. Sementara itu,
kebijakan landreform dipahami oleh sebagian lagi masyarakat adat dengan mengklaim tanah adat
tersebut menjadi tanah pribadi.
Siapa yang memiliki klaim lebih kuat?
Jika Lemukih dijadikan tanah adat, terdapat beberapa keuntungan yang jelas terlihat. Sebagai
tanah adat, maka Lemukih akan menjadi milik negara Indonesia, bukan hanya milik beberapa
orang pribadi. Hal ini adalah sesuatu yang baik, apalagi mengingat bahwa Bali kini menjadi
suatu tujuan wisata yang terbesar di Indonesia. Di tengah derasnya perubahan Bali, alangkah
baiknya jika masyarakat diingatkan dan disadarkan bahwa adat masih memiliki tempat di dalam
kehidupan dan dalam hukum Indonesia. Pada waktunya, keberadaan Lemukih sebagai tanah adat
dapat mengajarkan banyak hal pada generasi mendatang. Nilai-nilai luhur ini misalnya

penguasaan suatu hal secara komunal, pendayagunaan tanah demi kepentingan bersama, cara
untuk hidup tanpa memperhitungkan profit semata, dan cara menahan diri untuk tidak
memanfaatkan tanah adat demi memajukan kepentingan sendiri.
Oleh G. Kertasapoetra, hak ulayat diartikan sebagai suatu hak tertinggi atas tanah. Pernyataan
Kertasapoetra ini dapat diterjemahkan menjadi suatu artian di mana hak ulayat bisa mengalahkan
keinginan dan hak-hak pribadi untuk menguasai suatu tanah.
Dalam kasus Lemukih, kita dapat melihat dengan jelas bahwa tanah adat yang tidak memiliki
suatu pengaturan jelas dalam kebijakan landreform turut terpotong karena dianggap sebagai
tanah milik pribadi. Sebelum kesalahan fatal ini sempat diluruskan, masyarakat malah membagibagi sisa tanah adat yang sudah dipotong oleh kebijakan landreform. Hal inilah yang menjadi
suatu sengketa karena tidak ada kesamaan pandang antara masyarakat yang ingin
mempertahankan hak ulayat serta individu-individu yang menginginkan kepemilikan pribadi.
Dengan

mempertimbangkan

pendapat-pendapat

dan

pandangan

ini,

kelompok

kami

berkesimpulan bahwa ada suatu kesalahan dalam kebijakan landreform Indonesia atau dalam
prakteknya. Kebijakan landreform sendiri tampaknya lalai atau mengabaikan pengaturan
mengenai hak ulayat dan adat, dan berorientasi hanya pada masa depan serta tanah secara
nasional. Kekosongan hukum besar tercipta dari pandangan ini.
Masyarakat adat menghadapi berbagai tantangan di era modern. Salah satunya timbul dari dalam
masyarakat itu sendiri yang menginginkan kemajuan dan tidak mau lagi menjadi masyarakat
adat. Tugas dari kebijakan landreform adalah melakukan mediasi untuk masalah ini secepat dan
seadil mungkin.
Tidak dapat dipungkiri, pemerintah harus mendukung masyarakat adat dalam kasus ini.
Landreform tidak boleh dijadikan alat untuk mengalihfungsikan lahan menjadi suatu penguasaan
yang berorientasi privat. Hal ini secara umum bertentangan dengan sikap pemerintah Indonesia
yang sangat menghormati masyarakat dan hukum-hukum adat, dan berasaskan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Sifat tanah adat yang sangat komunal seperti dilihat di bab II
adalah gambaran jelas dari cita-cita keadilan sosial Indonesia dan oleh karena itu harus
dipertahankan oleh pemerintah.

Mekanisme yang baik dalam pemecahan masalah ini adalah mengakui adanya tanah adat dalam
kebijakan landreform dan membentuk suatu peraturan baru yang bertujuan untuk melindungi
tanah adat dari kesalahpahaman tujuan yang terjadi di Lemukih dan memberi pegangan bagi
pejabat di lapangan dalam menentukan sikap.
Mengingat situasi di Lemukih yang cukup parah, pemerintah harus melakukan mediasi jangka
panjang antara penduduk. Tidak cukup hanya membuat suatu kebijakan atau keputusan
pengadilan yang mendukung masyarakat adat, tapi harus pula didukung dengan pengawasan dan
pelaksanaan yang baik serta proses pendamaian antara kedua pihak yang bersengketa.

BAB IV PENUTUP
Kesimpulan
- Diterapkannya Landreform di suatu daerah tentunya akan ada pihak yang merasa diuntungkan
dan pihak yang merasa dirugikan.
- Pihak yang merasa diuntungkan adalah mereka yang memiliki sertifikat, tapi kesalahannya
adalah tidakbersedianya mereka untuk melakukan pengukuran ulang. Pihak yang dirugikan
adalah mereka yang tidak memiliki sertifikat, karena merasa lahan yang mereka dapatkan tidak
sesuai.
- Nampaknya pemecahan masalah dengan cara musyawarah telah hilang dari benak masyarakat,
karena warga lebih memilih untuk membakar rumah, menganiaya, dan merusak daripada
menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan.

TUGAS KELOMPOK
Alih Fungsi Lahan di Tanah Adat Lemukih
dan Kaitannya dengan Kebijakan
Landreform

Nama:- Jonathan Diva Sadikin (110110120027)


- Adhytra Cipta R (110110120076)
- Ario Fahmi Muhammad (110110120023)
- Aisyah Shaumasari (110110120060)
- Elandio Kurniadie Pratama (110110120066)
- Muhammad Fauzan (110110120028)

2013/2014

Daftar Pustaka

G. Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, A.G Kartasapoetra, A. Setiady, Hukum Tanah,


Jaminan Undang Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayahgunaan Tanah,

Jakarta : Bina Aksara,1985


Yenni Sellywati Siagian,Tinjauan Hukum Terhadap Sengketa Tanah Hak Ulayat Suku
Moi ( Marga Kalagisan dan Mali Bela ) dikaitkan dengan Undang undang no 5 tahun
1960 tentang Peraturan dasar pokok pokok agraria dan undang undang no 21 tentang

otonomi khusus bagi Papua, Bandung Universitas Padjadjaran, 2011


Sumardi Basuki, Diklat Kuliah Asistensi, Hukum Agraria, Yogyakarta Universitas Gadjah

Mada, 1977
Bushar Muhammad,Pokok Pokok Hukum Adat, Jakarta : Pradaya Paramita, 1983
Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi,

Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Juni 2001


Boedi Harsono, Himpunan Peraturan Agraria, Penerbit Jembatan, Jakarta, 1973
Eddy Ruchiyat,S.H. Pelaksanaan Landreform dan Jual Gadai Tanah, Penerbit CV.
Armico, Bandung, 1983

You might also like