You are on page 1of 49

CEKUNGAN SUMATRA TENGAH

Tektonik Regional
Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan sedimentasi
tersier penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia. Ditinjau dari posisi
tektoniknya, Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan belakang
busur.
Cekungan Sumatra tengah ini relatif memanjang Barat lautTenggara, dimana pembentukannya dipengaruhi oleh adanya subduksi
lempeng Hindia-Australia dibawah lempeng Asia (gambar 1). Batas
cekungan sebelah Barat daya adalah Pegunungan Barisan yang tersusun
oleh batuan pre-Tersier, sedangkan ke arah Timur laut dibatasi oleh
paparan Sunda. Batas tenggara cekungan ini yaitu Pegunungan Tigapuluh
yang sekaligus memisahkan Cekungan Sumatra tengah dengan Cekungan
Sumatra selatan. Adapun batas cekungan sebelah barat laut yaitu Busur
Asahan, yang memisahkan Cekungan Sumatra tengah dari Cekungan
Sumatra utara (gambar 2).

Gambar 1. Peta pergerakan lempeng Daerah Sumatra dan kawasan


Asia Tenggara lainnya pada masa kini
Proses subduksi lempeng Hindia-Australia menghasilkan
peregangan kerak di bagian bawah cekungan dan mengakibatkan
munculnya konveksi panas ke atas dan diapir-diapir magma dengan
produk magma yang dihasilkan terutama bersifat asam, sifat magma
dalam dan hipabisal. Selain itu, terjadi juga aliran panas dari mantel ke
arah atas melewati jalur-jalur sesar. Secara keseluruhan, hal-hal
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 1

tersebutlah yang mengakibatkan tingginya heat flow di daerah cekungan


Sumatra tengah (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995).

Gambar 2. Lokasi Cekungan Sumatra tengah dan batas-batasnya


Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan
Sumatra tengah adalah adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada
zaman kapur. Subduksi lempeng yang miring dari arah Barat daya pulau
Sumatra mengakibatkan terjadinya strong dextral wrenching stress di
Cekungan Sumatra tengah (Wibowo, 1995). Hal ini dicerminkan oleh
bidang sesar yang curam yang berubah sepanjang jurus perlapisan
batuan, struktur sesar naik dan adanya flower structure yang terbentuk
pada saat inversi tektonik dan pembalikan-pembalikan struktur (gambar
3). Selain itu, terbentuknya sumbu perlipatan yang searah jurus sesar
dengan penebalan sedimen terjadi pada bagian yang naik (inverted)
(Shaw et al., 1999).
Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah memiliki pola
yang hampir sama dengan cekungan Sumatra Selatan, dimana pola
struktur utama yang berkembang berupa struktur Barat laut-Tenggara dan
Utara-Selatan (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995). Walaupun
demikian, struktur berarah Utara-Selatan jauh lebih dominan dibandingkan
struktur Barat lautTenggara.
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 2

Elemen tektonik yang membentuk konfigurasi Cekungan Sumatra


tengah dipengaruhi adanya morfologi High Low pre-Tersier. Pada gambar
4 dapat dilihat pengaruh struktur dan morfologi High Low terhadap
konfigurasi basin di Cekungan Sumatra tengah (kawasan Bengkalis
Graben), termasuk penyebaran depocenter dari graben dan half graben.
Lineasi Basement Barat laut-Tenggara sangat terlihat pada daerah ini dan
dapat ditelusuri di sepanjang cekungan Sumatra tengah. Liniasi ini telah
dibentuk dan tereaktivasi oleh pergerakan tektonik paling muda
(tektonisme Plio-Pleistosen). Akan tetapi liniasi basement ini masih dapat
diamati sebagai suatu komponen yang mempengaruhi pembentukan
formasi dari cekungan Paleogen di daerah Cekungan Sumatra tengah.
Sejarah tektonik cekungan Sumatra tengah secara umum dapat
disimpulkan menjadi beberapa tahap, yaitu :
1 Konsolidasi Basement pada zaman Yura, terdiri dari sutur yang
berarah Barat laut-Tenggara.
2 Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman
Yura akhir dan zaman Kapur.
3 Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah
(Paleogen) menghasilkan sistem graben berarah Utara-Selatan dan
Barat laut-Tenggara. Kaitan aktivitas tektonik ini terhadap
paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah terjadinya
perubahan lingkungan pengendapan dari longkungan darat, rawa
hingga lingkungan lakustrin, dan ditutup oleh kondisi lingkungan
fluvial-delta pada akhir fase rifting.
4 Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai awal Miosen
awal yang mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok
Sihapas, tektonik Sumatra relatif tenang. Sedimen klastik
diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari arah
Timur laut meliputi Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen
dari arah timur laut Pulau Sumatra menuju cekungan, diakomodir
oleh adanya struktur-struktur berarah Utara-Selatan. Kondisi
sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih dipengaruhi oleh
fluktuasi muka air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode
sedimentasi transgresif dari kelompok Sihapas dan Formasi Telisa,
ditutup oleh episode sedimentasi regresif yang menghasilkan
Formasi Petani.
5 Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan tektonisme kembali
intensif dengan rejim kompresi mengangkat pegunungan Barisan di
arah Barat daya cekungan. Pegunungan Barisan ini menjadi sumber
sedimen pengisi cekungan selanjutnya (later basin fill). Arah
sedimentasi pada Miosen akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan
dari arah selatan menuju utara dengan kontrol struktur-struktur
berarah utara selatan.
6 Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan
terjadinya inversi-inversi struktur Basement membentuk sesar-sesar
naik dan lipatan yang berarah Barat laut-Tenggara. Tektonisme PlioPleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan regional antara
formasi Minas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi
di bawahnya.
Stratigrafi Regional
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 3

Proses sedimentasi di Cekungan Sumatra tengah dimulai pada awal


tersier (Paleogen), mengikuti proses pembentukan cekungan half graben
yang sudah berlangsung sejak zaman Kapur hingga awal tersier.
Konfigurasi basement cekungan tersusun oleh batuan-batuan
metasedimen berupa greywacke, kuarsit dan argilit. Batuan dasar ini
diperkirakan berumur Mesozoik. Pada beberapa tempat, batuan
metasedimen ini terintrusi oleh granit (Koning & Darmono, 1984 dalam
Wibowo, 1995).
Secara umum proses sedimentasi pengisian cekungan ini dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
Rift (Siklis Pematang)
Secara keseluruhan, sedimen pengisi cekungan pada fase tektonik
ekstensional (rift) ini dikelompokkan sebagai Kelompok Pematang yang
tersusun oleh batulempung, serpih karbonan, batupasir halus dan
batulanau aneka warna. Lemahnya refleksi seismik dan amplitudo yang
kuat pada data seismik memberikan indikasi fasies yang berasosiasi
dengan lingkungan lakustrin.
Pengendapan pada awal proses rifting berupa sedimentasi klastika
darat dan lakustrin dari Lower Red Bed Formation dan Brown Shale
Formation. Ke arah atas menuju fase late rifting, sedimentasi berubah
sepenuhnya
menjadi lingkungan lakustrin dan diendapkan Formasi
Pematang sebagai Lacustrine Fill sediments.
a Formasi Lower Red Bed
Tersusun oleh batulempung berwarna merah hijau, batulanau,
batupasir kerikilan dan sedikit konglomerat serta breksi yang tersusun
oleh pebble kuarsit dan filit. Kondisi lingkungan pengendapan
diinterpretasikan berupa alluvial braid-plain dilihat dari banyaknya muddy
matrix di dalam konglomerat dan breksi
b Formasi Brown Shale
Formasi ini cukup banyak mengandung material organik, dicirikan
oleh warna yang coklat tua sampai hitam. Tersusun oleh serpih dengan
sisipan batulanau, di beberapa tempat terdapat selingan batupasir,
konglomerat dan paleosol. Ketebalan formasi ini mencapai lebih dari 530
m di bagian depocenter.
Formasi ini diinterpretasikan diendapkan di lingkungan danau dalam
dengan kondisi anoxic dilihat dari tidak adanya bukti bioturbasi. Interkalasi
batupasir batupasirkonglomerat diendapkan oleh proses fluvial channel
fill. Menyelingi bagian tengah formasi ini, terdapat beberapa horison
paleosol yang dimungkinkan terbentuk pada bagian pinggiran/batas danau
yang muncul ke permukaan (lokal horst), diperlihatkan oleh rekaman inti
batuan di komplek Bukit Susah (gambar 6).
Secara tektonik, formasi ini diendapkan pada kondisi penurunan
cekungan yang cepat sehingga aktivitas fluvial tidak begitu dominan.
c Formasi Coal Zone
Secara lateral, formasi ini dibeberapa tempat equivalen dengan
Formasi Brown Shale. Formasi ini tersusun oleh perselingan serpih dengan
batubara dan sedikit batupasir.
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 4

Lingkungan pengendapan dari formasi ini diinterpretasikan berupa danau


dangkal dengan kontrol proses fluvial yang tidak dominan. Ditinjau dari
konfigurasi cekungannya, formasi ini diendapkan di daerah dangkal pada
bagian aktif graben menjauhi depocenter (gambar 6).
d Formasi Lake Fill
Tersusun oleh batupasir, konglomerat dan serpih. Komposisi batuan
terutama berupa klastika batuan filit yang dominan, secara vertikal terjadi
penambahan kandungan litoklas kuarsa dan kuarsit. Struktur sedimen
gradasi normal dengan beberapa gradasi terbalik mengindikasikan
lingkungan pengendapan fluvial-deltaic.
Formasi ini diendapkan secara progradasi pada lingkungan fluvial
menuju delta pada lingkungan danau. Selama pengendapan formasi ini,
kondisi tektonik mulai tenang dengan penurunan cekungan yang mulai
melambat (late rifting stage). Ketebalan formasi mencapai 600 m.
e Formasi Fanglomerate
Diendapkan disepanjang bagian turun dari sesar sebagai seri dari
endapan aluvial. Tersusun oleh batupasir, konglomerat, sedikit
batulempung berwarna hijau sampai merah. Baik secara vertikal maupun
lateral, formasi ini dapat bertransisi menjadi formasi Lower Red Bed,
Brown Shale, Coal Zone dan Lake Fill.
Di beberapa daerah sepertihalnya di Sub-Cekungan Aman, dua
formasi terakhir (Lake Fill dan Fanglomerat) dianggap satu kesatuan yang
equivalen
dengan
Formasi
Pematang
berdasarkan
sifat
dan
penyebarannya pada penampang seismik.
Sag
Secara tidak selaras diatas Kelompok Pematang diendapkan
sedimen Neogen. Fase sedimentasi ini diawali oleh episode transgresi
yang diwakili oleh Kelompok Sihapas dan mencapai puncaknya pada
Formasi Telisa.
(Siklis Sihapas transgresi awal)
Kelompok Sihapas yang terbentuk pada awal episode transgresi
terdiri dari Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap dan
Formasi Duri. Kelompok ini tersusun oleh batuan klastika lingkungan
fluvial-deltaic sampai laut dangkal. Pengendapan kelompok ini
berlangsung pada Miosen awal Miosen tengah.
a)
Formasi Menggala
Tersusun oleh batupasir konglomeratan dengan ukuran butir kasar
berkisar dari gravel hingga ukuran butir sedang. Secara lateral, batupasir
ini bergradasi menjadi batupasir sedang hingga halus. Komposisi utama
batuan berupa kuarsa yang dominan, dengan struktur sedimen trough
cross-bedding dan erosional basal scour. Berdasarkan litologi
penyusunnya diperkirakan diendapkan pada fluvial-channel lingkungan
braided stream.
Formasi ini dibedakan dengan Lake Fill Formation dari kelompok
Pematang bagian atas berdasarkan tidak adanya lempung merah terigen
pada matrik (Wain et al., 1995). Ketebalan formasi ini mencapai 250 m,
diperkirakan berumur awal Miosen bawah.
b)
Formasi Bangko
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 5

Formasi ini tersusun oleh serpih karbonan dengan perselingan


batupasir halus-sedang. Diendapkan pada lingkungan paparan laut
terbuka. Dari fosil foraminifera planktonik didapatkan umur N5 (Blow,
1963). Ketebalan maksimum formasi kurang lebih 100 m.
c)
Formasi Bekasap
Formasi ini tersusun oleh batupasir masif berukuran sedang-kasar
dengan sedikit interkalasi serpih, batubara dan batugamping. Berdasarkan
ciri litologi dan fosilnya, formasi ini diendapkan pada lingkungan air payau
dan laut terbuka. Fosil pada serpih menunjukkan umur N6 N7. Ketebalan
seluruh formasi ini mencapai 400 m.
d) Formasi Duri
Di bagian atas pada beberapa tempat, formasi ini equivalen dengan
formasi Bekasap. Tersusun oleh batupasir halus-sedang dan serpih.
Ketebalan maksimum mencapai 300 m. Formasi ini berumur N6 N8.
(Formasi Telisa transgresi akhir)
Formasi Telisa yang mewakili episode sedimentasi pada puncak
transgresi tersusun oleh serpih dengan sedikit interkalasi batupasir halus
pada bagian bawahnya. Di beberapa tempat terdapat lensa-lensa
batugamping pada bagian bawah formasi. Ke arah atas, litologi berubah
menjadi serpih mencirikan kondisi lingkungan yang lebih dalam.
Diinterpretasikan lingkungan pengendapan formasi ini berupa lingkungan
Neritik Bathyal atas.
Secara regional, serpih marine dari formasi ini memiliki umur yang
sama dengan Kelompok Sihapas, sehingga kontak Formasi Telisa dengan
dibawahnya adalah transisi fasies litologi yang berbeda dalam posisi
stratigrafi dan tempatnya. Ketebalan formasi ini mencapai 550 m, dari
analisis fosil didapatkan umur N6 N11.
(Formasi Petani regresi)
Tersusun oleh serpih berwarna abu-abu yang kaya fosil, sedikit
karbonatan dengan beberapa lapisan batupasir dan batulanau. Secara
vertikal, kandungan tuf dalam batuan semakin meningkat.
Selama pengendapan satuan ini, aktivitas tektonik kompresi dan
volkanisme kembali aktif (awal pengangkatan Bukit Barisan), sehingga
dihasilkan material volkanik yang melimpah. Kondisi air laut global
(eustasi) berfluktuasi secara signifikan dengan penurunan muka air laut
sehingga terbentuk beberapa ketidakselarasan lokal di beberapa tempat.
Formasi ini diendapkan pada episode regresif secara selaras diatas
Formasi Telisa. Walaupun demikian, ke arah timur laut secara lokal formasi
ini memiliki kontak tidak selaras dengan formasi di bawahnya. Ketebalan
maksimum formasi ini mencapai 1500 m, diendapkan pada Miosen
tengah Pliosen.
INVERSI
Pada akhir tersier terjadi aktivitas tektonik mayor berupa puncak
dari pengangkatan Bukit Barisan yang menghasilkan ketidakselarasan
regional pada Plio-Pleistosen. Aktivitas tektonik ini mengakibatkan
terjadinya inversi struktur sesar turun menjadi sesar naik. Pada fase
tektonik inversi ini diendapkan Formasi Minas yang tersusun oleh endapan
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 6

darat dan aluvium berupa konglomerat, batupasir, gravel, lempung dan


aluvium berumur Pleistosen Resen.

CEKUNGAN SUMATRA SELATAN


Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan
tektonik yang berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia,
yang bergerak ke arah utara hingga timurlaut terhadap Lempeng Eurasia
yang relatif diam. Zone penunjaman lempeng meliputi daerah sebelah
barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil
(micro-plate) yang berada di antara zone interaksi tersebut turut bergerak
dan menghasilkan zone konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah.
Penunjaman lempeng Indi-Australia tersebut dapat mempengaruhi
keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan.
Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur
depan, magmatik, dan busur belakang.
Cekungan Sumatera Selatan terbentuk dari hasil penurunan
(depression) yang dikelilingi oleh tinggian-tinggian batuan Pratersier.
Pengangkatan Pegunungan Barisan terjadi di akhir Kapur disertai
terjadinya sesar-sesar bongkah (block faulting). Selain Pegunungan
Barisan sebagai pegunungan bongkah (block mountain) beberapa
tinggian batuan tua yang masih tersingkap di permukaan adalah di
Pegunungan Tigapuluh, Pegunungan Duabelas, Pulau Lingga dan Pulau
Bangka yang merupakan sisa-sisa tinggian "Sunda Landmass", yang
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 7

sekarang berupa Paparan Sunda. Cekungan Sumatera Selatan telah


mengalami tiga kali proses orogenesis, yaitu yang pertama adalah pada
Mesozoikum Tengah, kedua pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal dan
yang ketiga pada Plio-Plistosen. Orogenesis Plio-Plistosen menghasilkan
kondisi struktur geologi seperti terlihat pada saat ini. Tektonik dan struktur
geologi daerah Cekungan Sumatera Selatan dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok, yaitu, Zone Sesar Semangko, zone perlipatan yang berarah
baratlaut-tenggara dan zona sesar-sesar yang berhubungan erat dengan
perlipatan serta sesar-sesar Pratersier yang mengalami peremajaa.
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan
Tersier berarah barat laut tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan
Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur laut,
Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan
tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan
Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan
Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah.Posisi Cekungan
Sumatera Selatan sebagai cekungan busur belakang (Blake, 1989)
Tektonik Regional, Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan
Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier
yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda
(sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera
India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km 2, dimana
sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di
sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi
oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian
Lampung.
Menurut Salim et al. (1995), Cekungan Sumatera Selatan terbentuk
selama Awal Tersier (Eosen Oligosen) ketika rangkaian (seri) graben
berkembang sebagai reaksi sistem penunjaman menyudut antara lempeng
Samudra India di bawah lempeng Benua Asia. Menurut De Coster, 1974
(dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode orogenesa yang
membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu
orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir Tersier Awal dan
Orogenesa Plio Plistosen.

073.13.115_Teuku M. Iqbal | 8

Episode pertama, endapan endapan Paleozoik dan Mesozoik


termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan
diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur
cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997),
fase ini membentuk sesar berarah barat laut tenggara yang berupa sesar
sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan
gerak gerak tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah
umum utara selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik
dan hasil pelapukan batuan batuan Pra Tersier, gerak gerak tensional
ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra
Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio Plistosen yang
menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan
dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 9

konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi


pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar
mendatar Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit
Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai
sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah
sehingga sesar sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai
perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan
horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio Plistosen menghasilkan
lipatan yang berarah barat laut tenggara tetapi sesar yang terbentuk
berarah timur laut barat daya dan barat laut tenggara. Jenis sesar yang
terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar
normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat
laut tenggara sebagai hasil orogenesa Plio Plistosen. Dengan demikian
pola struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah
utara selatan dan barat laut tenggara serta pola muda yang berarah
barat laut tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera .
STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA BAGIAN SELATAN
Stratigrafi daerah Cekungan Sumatera Selatan telah banyak dibahas
oleh para ahli geologi terdahulu, khususnya yang bekerja dilingkungan
perminyakan. Pada awalnya pembahasan dititik beratkan pada sedimen
Tersier, umumnya tidak pernah diterbitkan dan hanya berlaku di
lingkungan sendiri.
Peneliti terdahulu telah menyusun urutan-urutan stratigrafi umum
Cekungan Sumatera Selatan, antara lain : Van Bemmelen (1932), Musper
(1937), Marks (1956), Spruyt (1956), Pulunggono (1969), De Coster
2(1974), Pertamina (1981).
Berdasarkan peneliti-peneliti terdahulu, maka Stratigrafi Cekungan
Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok batuan
Pra-Tersier, kelompok batuan Tersier serta kelompok batuan Kuarter.
1.

Batuan Pra-Tersier
Batuan Pra-Tersier Cekungan Sumatera Selatan merupakan dasar
cekungan sedimen Tersier. Batuan ini diketemukan sebagai batuan beku,
batuan metamorf dan batuan sedimen (De Coster, 1974) Westerveld
(1941), membagi batuan berumur Paleozoikum (Permokarbon) berupa
slate dan yang berumur Mesozoikum (Yurakapur) berupa seri fasies
vulkanik dan seri fasies laut dalam. Batuan Pra-Tersier ini diperkirakan
telah mengalami perlipatan dan patahan yang intensif pada zaman Kapur
Tengah sampai zaman Kapur Akhir dan diintrusi oleh batuan beku sejak
orogenesa Mesozoikum Tengah (De Coster, 1974).
2.

Batuan Tersier
Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di
Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan,
yaitu tahap genang laut dan tahap susut laut. Sedimen-sedimen yang
terbentuk pada tahap genang laut disebut Kelompok Telisa (De Coster,
1974, Spruyt, 1956), dari umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah terdiri
atas Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 10

(BRF), dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap
susut laut disebut Kelompok Palembang (Spruyt, 1956) dari umur Miosen
Tengah Pliosen terdiri atas Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara
Enim (MEF), dan Formsi Kasai (KAF).
a.
Formasi Lahat (LAF)
Menurut Spruyt (1956), Formasi ini terletak secara tidak selaras
diatas batuan dasar, yang terdiri atas lapisan-lapisan tipis tuf andesitik
yang secara berangsur berubah keatas menjadi batu lempung tufan.
Selain itu breksi andesit berselingan dengan lava andesit, yang terdapat
dibagian bawah. Batulempung tufan, segarnya berwarna hijau dan
lapuknya berwarna ungu sampai merah keunguan. Menurut De Coster
(1973) formasi ini terdiri dari tuf, aglomerat, batulempung, batupasir
tufan, konglomeratan dan breksi yang berumur Eosen Akhir hingga
Oligosen Awal. Formasi ini diendapkan dalam air tawar daratan. Ketebalan
dan litologi sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lainnya
karena bentuk cekungan yang tidak teratur, selanjutnya pada umur Eosen
hingga Miosen Awal, tejadi kegiatan vulkanik yang menghasilkan andesit
(Westerveld, 1941 vide of side katilli 1941), kegiatan ini mencapai
puncaknya pada umur Oligosen Akhir sedangkan batuannya disebut
sebagai batuan Lava Andesit tua yang juga mengintrusi batuan yang
diendapkan pada Zaman Tersier Awal.
b.

Formasi Talang Akar (TAF)


Nama Talang Akar berasal dari Talang Akar Stage (Martin, 1952)
nama lain yang pernah digunakan adalah Houthorizont (Musper, 1937)
dan Lower Telisa Member (Marks, 1956). Formasi Talang akar dibeberapa
tempat bersentuhan langsung secara tidak selaras dengan batuan Pra
Tersier. Formasi ini dibeberapa tempat menindih selaras Formasi Lahat (De
Coster, 1974), hubungan itu disebut rumpang stratigrafi, ia juga
menafsirkan hubungan stratigrafi diantara kedua formasi tersebut selaras
terutama dibagian tengahnya, ini diperoleh dari data pemboran sumur
Limau yang terletak disebelah Barat Daya Kota Prabumulih (Pertamina,
1981), Formasi Talang Akar dibagi menjadi dua, yaitu : Anggota Gritsand
terdiri atas batupasir, yang mengandung kuarsa dan ukuran butirnya pada
bagian bawah kasar dan semakin atas semakin halus. Pada bagian teratas
batupasir ini berubah menjadi batupasir konglomeratan atau breksian.
Batupasir berwarna putih sampai coklat keabuan dan mengandung mika,
terkadang terdapat selang-seling batulempung coklat dengan batubara,
pada anggota ini terdapat sisa-sisa tumbuhan dan batubara, ketebalannya
antara 40 830 meter. Sedimen-sedimen ini merupakan endapan fluviatil
sampai delta (Spruyt, 1956), juga masih menurut Spruyt (1956) anggota
transisi pada bagian bawahnya terdiri atas selang-seling batupasir kuarsa
berukuran halus sampai sedang dan batulempung serta lapisan batubara.
Batupasir pada bagian atas berselang-seling dengan batugamping tipis
dan batupasir gampingan, napal, batulempung gampingan dan serpih.
Anggota ini mengandung fosil-fosil Molusca, Crustacea, sisa ikan foram
besar dan foram kecil, diendapkan pada lingkungan paralis, litoral, delta,
sampai tepi laut dangkal dan berangsur menuju laut terbuka kearah
cekungan. Formasi ini berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal.
Ketebalan formasi ini pada bagian selatan cekungan mencapai 460 610
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 11

meter, sedangkan pada bagian utara cekungan mempunyai ketebalan


kurang lebih 300 meter (De Coster, 1974).
c.
Formasi Baturaja (BRF)
Menurut Spruyt (1956), formasi ini diendapkan secara selaras diatas
Formasi Talang Akar. Terdiri dari batugamping terumbu dan batupasir
gampingan. Di gunung Gumai tersingkap dari bawah keatas berturut-turut
napal tufaan, lapisan batugamping koral, batupasir napalan kelabu putih,
batugamping ini mengandung foram besar antara lain Spiroclypes spp,
Eulipidina Formosa Schl, Molusca dan lain sebagainya. Ketebalannya
antara 19 - 150 meter dan berumur Miosen Awal. Lingkungan
Pengendapannya adalah laut dangkal. Penamaan Formasi Baturaja
pertama kali dikemukakan oleh Van Bemmelen (1932) sebagai Baturaja
Stage, Baturaja Kalk Steen (Musper, 1973) Crbituiden Kalk (v.d.
Schilden, 1949; Martin, 1952), Midle Telisa Member (Marks, 1956),
Baturaja Kalk Sten Formatie (Spruyt, 1956) dan Telisa Limestone (De
Coster, 1974). Lokasi tipe Formasi Baturaja adalah di pabrik semen
Baturaja (Van Bemelen, 1932).
d.

Formasi Gumai (GUF)


Formasi ini diendapkan setelah Formasi Baturaja dan merupakan
hasil pengendapan sedimen-sedimen yang terjadi pada waktu genang laut
mencapai puncaknya. Hubungannya dengan Formasi Baturaja pada tepi
cekungan atau daerah dalam cekungan yang dangkal adalah selaras,
tetapi pada beberapa tempat di pusat-pusat cekungan atau pada bagian
cekungan yang dalam terkadang menjari dengan Formasi Baturaja
(Pulonggono, 1986). Menurut Spruyt (1956) Formasi ini terdiri atas napal
tufaan berwarna kelabu cerah sampai kelabu gelap. Kadang-kadang
terdapat lapisan-lapisan batupasir glaukonit yang keras, tuff, breksi tuff,
lempung serpih dan lapisan tipis batugamping. Endapan sediment pada
formasi ini banyak mengandung Globigerina spp, dan napal yang
mengeras. Westerfeld (1941) menyebutkan bahwa lapisan-lapisan Telisa
adalah seri monoton dari serpih dan napal yan mengandung Globigerina
sp dengan selingan tufa juga lapisan pasir glaukonit. Umur dari formasi ini
adalah Awal Miosen Tengah (Tf2) (Van Bemmelen, 1949) sedangkan
menurut Pulonggono (1986) berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah
(N9 N12).
e.

Formasi Air Benakat (ABF)


Menurut Spruyt (1956), formasi ini merupakan tahap awal dari siklus
pengendapan Kelompok Palembang, yaitu pada saat permulaan dari
endapan susut laut. Formasi ini berumur dari Miosen Akhir hingga Pliosen.
Litologinya terdiri atas batupasir tufaan, sedikit atau banyak lempung
tufaan yang berselang-seling dengan batugamping napalan atau
batupasirnya semakin keatas semakin berkurang kandungan glaukonitnya.
Pada formasi ini dijumpai Globigerina spp, tetapi banyak mengadung
Rotalia spp. Pada bagian atas banyak dijumpai Molusca dan sisa
tumbuhan. Di Limau, dalam penyelidikan Spruyt (1956) ditemukan serpih
lempungan yang berwarna biru sampai coklat kelabu, serpih lempung
pasiran dan batupasir tufaan. Di daerah Jambi ditemukan berupa
batulempung kebiruan, napal, serpih pasiran dan batupasir yang
mengandung Mollusca, glaukonit kadang-kadang gampingan. Diendapkan
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 12

dalam lingkungan pengendapan neritik bagian bawah dan berangsur


kelaut dangkal bagian atas (De Coster, 1974). Ketebalan formasi ini
berkisar 250 1550 meter. Lokasi tipe formasi ini , menurut Musper
(1937), terletak diantara Air Benakat dan Air Benakat Kecil (kurang lebih
40 km sebelah utara-baratlaut Muara Enim (Lembar Lahat). Nama lainnya
adalah Onder Palembang Lagen (Musper, 1937), Lower Palembang
Member (Marks, 1956), Air Benakat and en Klai Formatie (Spruyt,
1956).

f.

Formasi Muara Enim (MEF)


Menurut Spruyt (1956) formasi in terlatak selaras diatas Formasi Air
Benakat. Formasi ini dapat dibagi menjadi dua anggota a dan anggota
b. Anggota a disebut juga Anggota Coklat (Brown Member) terdiri atas
batulempung dan batupasir coklat sampai coklat kelabu, batupasir
berukuran halus sampai sedang. Didaerah Palembang terdapat juga
lapisan batubara. Anggota b disebut juga Anggota Hijau Kebiruan (Blue
Green Member) terdiri atas batulempung pasiran dan batulempung tufaan
yang berwarna biru hijau, beberapa lapisan batubara berwarna merah-tua
gelap, batupasir kasar halus berwarna putih sampai kelabu terang. Pada
anggota a terkadang dijumpai kandungan Foraminifera dan Mollusca
selain batubara dan sisa tumbuhan, sedangkan pada anggota b selain
batubara dan sisa tumbuhan tidak dijumpai fosil kecuali foram air payau
Haplophragmoides spp (Spruyt, 1956). Ketebalan formasi ini sekitar 450
-750 meter. Anggota a diendapkan pada lingkungan litoral yang
berangsur berubah kelingkungan air payau dan darat (Spruyt, 1956).
Lokasi tipenya terletak di Muara Enim, Kampong Minyak, Lembar Lahat
(Tobler, 1906)
g.

Formasi Kasai (KAF)


Formasi ini mengakhiri siklus susut laut (De Coster dan Adiwijaya,
1973). Pada bagian bawah terdiri atas batupasir tufan dengan beberapa
selingan batulempung tufan, kemudian terdapat konglomerat selangseling lapisan-lapisan batulempung tufan dan batupasir yang lepas, pada
bagian teratas terdapat lapisan tuf batuapung yang mengandung sisa
tumbuhan dan kayu terkersikkan berstruktur sediment silang siur, lignit
terdapat sebagai lensa-lensa dalam batupasir dan batulempung tufan
(Spruyt, 1956). Tobler (1906) menemukan moluska air tawar Viviparus spp
dan Union spp, umurnya diduga Plio-Plistosen. Lingkungan pengendapan
air payau sampai darat. Satuan ini terlempar luas dibagian timur Lembar
dan tebalnya mencapai 35 meter.
3.

Satuan Endapan Alluvial


Penyebaran satuan ini meliputi daerah sungai dan tepian sungai-sungai
besar berupa meander-meander ditengah dan ditepi sungai. Ketebalan
endapan alluvial ini bervariasi, dan satuan ini terdiri dari hasil rombakan
beku, batuan sedimen, batuan metamorf yang bersifat lepas berukuran
pasir halus hingga kerakal.
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 13

CEKUNGAN BENGKULU
Cekungan Bengkulu adalah
salah satu cekungan forearc di
Indonesia. Cekungan forearc artinya
cekungan yang berposisi di depan
jalur volkanik (fore arc; arc = jalur
volkanik). Tetapi, kita menyebutnya
demikian
berdasarkan
posisi
geologinya saat ini. Apakah posisi
tersebut sudah dari dulu begitu?
Belum tentu, dan inilah yang harus
kita selidiki. Publikasi-publikasi dari
Howles (1986), Mulhadiono dan
Asikin (1989), Hall et al. (1993) dan
Yulihanto et al. (1995)semuanya
di proceedings IPA baik untuk
dipelajari soal Bengkulu Basin.

Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan


Barisan (dalam hal ini adalah volcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat
Sumatra pada Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu
adalah bahwa sebelum Misoen Tengah berarti tidak ada forearc basin
Bengkulu sebab pada saat itu arc-nya sendiri tidak ada.

Begitulah yang selama ini diyakini, yaitu bahwa pada sebelum


Miosen Tengah, atau Paleogen, Cekungan Bengkulu masih merupakan
bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu pada periode
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 14

setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik,


Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai
saat itulah, Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan Cekungan
Sumatera Selatan menjadi cekungan backarc (belakang busur).

Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari


Cekungan Sumatera Selatan dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan
Neogen kedua cekungan itu. Dapat diamati bahwa pada Paleogen,
stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan
sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben
Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di
Cekungan Sumatera Selatan saat itu ada graben-graben Jambi,
Palembang, Lematang, dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan
Bengkulu masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan
Sumatera Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya terumbu-terumbu
karbonat yang masifghlighter.
pada Miosen Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan
karbonat Parigi di Jawa Barat (para operator yang pernah bekerja di
Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga). Pada saat yang
sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan sedimensedimen regresif (Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara
Enim/Middle
Palembang)
karena
cekungan
sedang
mengalami
pengangkatan dan inversi.
Secara tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen
di Cekungan Bengkuluyaitu Cekungan Bengkulu dalam fase
penenggelaman sementara Cekungan Sumatera Selatan sedang
terangkat. Karena pada Neogen, Cekungan Bengkulu menjadi diapit oleh
dua sistem sesar besar yang memanjang di sebelah barat Sumatera, yaitu
Sesar Sumatera (Semangko) di daratan dan Sesar Mentawai di wilayah
offshore, sedikit di sebelah timur pulau-pulau busur luar Sumatera
(Simeulue-Enggano). Kedua sesar ini bersifat dextral. Sifat pergeseran
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 15

(slip) yang sama dari dua sesar mendatar yang berpasangan (couple
strike-slip atau duplex) akan bersifat trans-tension atau membuka wilayah
yang diapitnya. Dengan cara itulah semua cekungan forearc di sebelah
barat Sumatera yang diapit dua sesar besar ini menjadi terbuka oleh sesar
mendatar (trans-tension pull-apart opening) yang mengakibatkan
cekungan-cekungan ini tenggelam sehingga punya ruang untuk
mengembangkan terumbu karbonat Neogen yang masif asalkan tidak
terlalu dalam.
Di cekungan-cekungan forearc utara Bengkulu (Mentawai, Sibolga,
Meulaboh) pun berkembang terumbu-terumbu Neogen yang masif akibat
pembukaan dan penenggelaman cekungan-cekungan ini. Dan, dalam
dunia perminyakan terumbu-terumbu inilah yang sejak akhir 1960-an
telah menjadi target-target pemboran eksplorasi. Sayangnya, sampai saat
ini belum berhasil ditemukan cadangan yang komersial, hanya ditemukan
gas biogenik dan oil show (Dobson et al., 1998 dan Yulihanto, 2000
proceedings IPA untuk keterangan Mentawai dan Sibolga Basins).
Cekungan Bengkulu merupakan salah satu dari dua cekungan
forearc di Indonesia yang paling banyak dikerjakan operator perminyakan
(satunya lagi Cekungan Sibolga-Meulaboh). Meskipun belum berhasil
menemukan minyak atau gas komersial, tidak berarti cekungan-cekungan
ini tidak mengandung migas komersial. Sebab, target-target pemboran di
wilayah ini (total sekitar 30 sumur) tak ada satu pun yang menembus
target Paleogen dengan sistem graben-nya yag telah terbukti produktif di
Cekungan-Cekungan Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.

CEKUNGAN KUTAI
REGIONAL
Cekungan Kutai dibatasi oleh Paternoster platform, Barito Basin, dan
Pegunungan Meratus ke selatan, dengan Schwaner Blok ke barat daya,
lalu Tinggian Mangkalihat di sebelah utara - timur laut, dan Central
Kalimantan Mountains (Moss dan Chambers, 1999) untuk barat dan utara

073.13.115_Teuku M. Iqbal | 16

(Gambar 2.1). Cekungan Kutai


memiliki sejarah yang kompleks
(Moss et al., 1997), dan merupakan
satu - satunya cekungan Indonesia
yang telah berevolusi dari internal
rifting fracture/foreland basin ke
marginal-sag.. Sebagian besar produk
awal pengisi Cekungan Kutai telah
terbalik dan diekspos (Satyana et al.,
1999), pada Miosen Tengah sampai
Miosen Akhir sebagai akibat dari
terjadinya tumbukan / kolusi block
Micro Continent.
Dari peristiwa ini menyebabkan
adanya
pengangkatan cekungan,
perubahan sumbu antiklin dan erosi
permukaan yang mengontrol sedimentasi pada Delta Mahakam. Delta
Mahakam terbentuk di mulut sungai Mahakam sebelah timur pesisir pulau
Kalimantan. Dengan garis pantainya berorientasi arah NE-SW dan dibatasi
oleh Selat Makasar, selat yang memisahkan pulau Kalimantan dan
Sulawesi.
STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN KUTAI
Satyana et all, 1999 dalam An Outline Of The Geology Of Indonesia, 2001
melakukan penelitian dan menyusun stratigrafi Cekungan Kutai dari tua ke
muda sebagai berikut :
1) Formasi Beriun
Formasi Beriun terdiri dari batulempung, selang seling batupasir dan
batugamping. Formasi Beriun berumur Eosen Tengah Eosen Akhir
dan diendapkan dalam lingkungan fluviatil hingga litoral.
2) Formasi Atan
Diatas Formasi Beriun terendapkan Formasi Atan yang merupakan
hasil dari pengendapan setelah terjadi penurunan cekungan dan
pengendapan padaFormasi Beriun. Formasi Atan terdiri dari
batugamping dan batupasir kuarsa. Formasi Atan berumur Oligosen
Awal.
3) Formasi Marah
Formasi Marah Diendapakan secara selaras diatas Formasi Atan.
Formasi Marah terdiri dari batulempung, batupasir kuarsa dan
batugamping berumur Oligosen Akhir.
4) Formasi Pamaluan
Diendapkan pada kala Miosen Awal hingga Miosen Akhir di
lingkungan neritik, dengan ciri litologi batulempung, serpih,
batugamping, batulanau dan sisipan batupasir kuarsa. Formasi ini
diendapkan dalam lingkungan delta hingga litoral.
5) Formasi Bebulu
Diendapkan pada kala Miosen Awal hingga Miosen Tengah di
lingkungan neritik. Ciri litologi Formasi Bebulu adalah batugamping.
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 17

6) Formasi Pulubalang
Formasi Pulubalang diendapkan selaras di atas Formasi Pamaluan,
terdiri dari atas selang-seling pasir lanauan dengan disipan
batugamping tipis dan batulempung. Umur dari formasi ini adalah
Miosen Tengah dan diendapkan pada lingkungan sub litoral, kadangkadang dipengaruhi oleh marine influx . Formasi ini mempunyai
hubungan menjari dengan Formasi Bebulu yang tersusun oleh
batugamping pasiran dengan serpih
7) Formasi Balikpapan
Formasi Balikpapan diendapkan secara selaras di atas Formasi
Pulubalang. Formasi ini terdiri dari selang seling antara batulempung
dan batupasir dengan sisipan batubara dan batugamping di bagian
bawah. Data pemboran yang pernah dilakukan di Cekungan Kutai
membuktikan bahwa Formasi Balikpapan diendapkan dengan sistem
delta, pada delta plain hingga delta front . Umur formasi ini Miosen
Tengah Miosen Akhir.
8) Formasi Kampungbaru
Formasi Kampung Baru ini berumur Mio-Pliosen, terletak di atas
Formasi
Balikpapan,
terdiri
dari
selang-seling
batupasir,
batulempung dan batubara dengan disipan batugamping tipis
sebagai marine influx . Lingkungan pengendapan formasi ini adalah
delta.
9) Formasi Mahakam
Formasi Mahakam terbentuk pada kala Pleistosen sekarang. Proses
pengendapannya masih berlangsung hingga saat ini, dengan ciri
litologi material lepas berukuran lempung hingga pasir halus.

STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN KUTAI


073.13.115_Teuku M. Iqbal | 18

Seperti halnya beberapa cekungan di Asia Tenggara lainnya, half


graben terbentuk selama Eosen sebagai akibat dari fase ekstensional atau
pemekaran regional (Allen dan Chambers, 1998). Pemekaran ini
merupakan manifestasi tumbukan sub lempeng Benua India dengan
lempeng Benua Asia yang memacu pemekaran di sepanjang rangkaian
strike-slip fault dengan arah baratlaut-tenggara (NW-SE) yang merupakan
reaktifasi struktur sebelumnya, yaitu sesar Adang- Lupar dan sesar
Mangka.
Cekungan ini mulai terisi endapan sedimen transgresif pada kala
Eosen Akhir hingga Oligosen. Kemudian diikuti oleh sekuen regresif pada
kala Miosen Awal yang merupakan inisiasi kompleks Delta Mahakam saat
ini. Proses progadasi Delta Mahakam meningkat dengan sangat signifikan
pada kala Miosen Tengah, yaitu ketika tinggian Kuching di bagian Barat
terangkat dan inversi pertama terjadi. Progradasi tersebut masih
berlangsung hingga saat ini. Inversi Kedua terjadi pada masa Mio-Pliosen,
ketika
bagian
lempeng
Sula-Banggai
menabrak
Sulawesi
dan
menghasilkan mega shear Palu-Koro.
Pembentukan dan perkembangan struktur utama yang mengontrol
sub Cekungan Kutai Bawah erat kaitannya dengan proses tektonik Inversi
Kedua, yaitu struktur-struktur geologi dengan pola kelurusan arah
timurlaut-baratdaya (NNE-SSW). Menurut Allen dan Chambers, (1998) pola
ini dapat terlihat pada struktur umum yang tersingkap di Cekungan Kutai
saat ini, yaitu berupa jalur sesar-sesar anjakan dan kompleks rangkaian
antiklin /antiklinorium.
Perkembangan struktur lainnya adalah pola kelurusan berarah
baratlauttenggara (NW-SE), berupa sesar-sesar normal yang merupakan
manifestasi pelepasan gaya utama yang terbentuk sebelumnya. Sesarsesar ini terutama berada di bagian utara cekungan, memotong sedimen
berumur Miosen Tengah dan bagian lain yang berumur lebih tua.

073.13.115_Teuku M. Iqbal | 19

Tatanan tectonic cekungan kutai dapat diringkas sebagai berikut :


Awal Synrift (Paleosen ke Awal Eosen): Sedimen tahap ini terdiri dari
sedimen aluvial mengisi topografi NE-SW dan NNE-SSW hasil dari trend
rifting di Cekungan Kutai darat. Mereka menimpa di atas basemen
kompresi Kapur akhir sampai awal Tersier berupa laut dalam sekuen.
Akhir Synrift (Tengah sampai Akhir Eosen): Selama periode ini, sebuah
transgresi besar terjadi di Cekungan Kutai, sebagian terkait dengan rifting
di Selat Makassar, dan terakumulasinya shale bathial sisipan sand .
Awal Postrift (Oligosen ke Awal Miosen): Selama periode ini, kondisi bathial
terus mendominasi dan beberapa ribu meter didominasi oleh akumulasi
shale. Di daerah structural shallow area platform karbonat berkembang
Akhir Postrift (Miosen Tengah ke Kuarter): Dari Miosen Tengah dan
seterusnya sequence delta prograded secara major berkembang terus ke
laut dalam Selat Makassar, membentuk sequence Delta Mahakam, yang
merupakan bagian utama pembawa hidrokarbon pada cekungan. Berbagai
jenis pengendapan delta on dan offshore berkembang pada formasi
Balikpapan dan Kampungbaru, termasuk juga fasies slope laut dalam dan
fasies dasar cekungan. Dan juga hadir batuan induk dan reservoir yang
sangat baik dengan interbedded sealing shale. Setelah periode ini, proses
erosi ulang sangat besar terjadi pada bagian sekuen Kutai synrift.

TARAKAN BASIN
CEKUNGAN TARAKAN

073.13.115_Teuku M. Iqbal | 20

CEKUNGAN TARAKAN
Cekungan Tarakan, sesuai namanya berada di sekitar Pulau Tarakan.
Pulau Tersebut secara geografis terletak di daerah Tarakan, dan
Sekitarnya, Provinsi Kalimantan Timur, sekitar 240 km arah Utara Timur
Laut dari Balikpapan. Secara geologis pulau ini terletak di bagian tengah
dari Cekungan Tarakan yang merupakan bagian dari NE Kalimantan Basin
(Gambar 1).
Pada dasarnya, wilayahnya Cekungan NE Kalimantan terbagi
menjadi 4 grup Sub cekungan: Sub Cekungan Tidung, Sub Cekungan
Berau, Sub Cekungan Muara, dan Sub Cekungan Tarakan.
Cekungan Tarakan berada pada bagian Utara dari Pulau
Kalimantan.Luasnya mencapai 68.000 km2. Secara umum, bagian Utara
dari cekungan ini dibatasi oleh paparan Mangkaliat, di bagian Timur
dibatasi oleh Laut Sulawesi dan dibagian Barat dibatasi oleh Central
Range Complex.

Gambar 1. Peta Lokasi Cekungan Tarakan


Cekungan Tarakan
(Gambar2) yaitu :

dapat

dibagi

menjadi

beberapa

sub-cekungan

1.
Sub Cekungan Tidung
Sub Cekungan ini terletak paling utara dan berada di darat meluas ke
Sabah dan berkembang pada kala Eosen Akhir sampai Miosen Tengah.
Dipisahkan dari anak Cekungan Berau disebelah selatannya oleh
Punggungan Latong. Terpisah dari Tarakan oleh Paparan Sebuku, antiklin
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 21

dan sesar naik berarah barat laut di sepanjang pantai dan dibatasi oleh
sesar datar mengiri di Sempoa utara.
2.
Sub Cekungan Tarakan
Sub Cekungan ini berkembang terutama pada daerah lepas pantai yang
diisi oleh endapan klastik tebal Plio-Pleistosen dengan pusat pengendapan
disekitar Pulau Bunyu dan Tarakan serta telah mengalami pinchout dan
onlap ke arah barat
dan selatan.
3.
Sub Cekungan Muara
Sub Cekungan ini terletak di lepas pantai Tinggian Mangkalihat.
Mempunyai pusat pengendapan paling selatan, berkembang di lepas
pantai. Dibatasi oleh sesar-sesar mendatar sejajar berarah barat laut,
sesar Mangkalihat dan Maratua, sedimen-sedimen retakan dan passive
margin, serta strukturisasi karbonat Oligosen-Recent pada bagian postrift,
yang merupakan batuan induk pada umur Eosen.
4.
Sub Cekungan Berau
Sub Cekungan Berau terletak dibagian paling selatan Cekungan Tarakan
yang berkembang dari Eosen sampai Miosen dan mempunyai sejarah
pengendapan yang sama dengan Sub Cekungan Tidung. Struktur yang
dominan yang terdapat di pulau Tarakan ini adalah patahan normal
berarah Barat Laut hingga Utara dengan bidang patahan miring ke Timur.
Sebagian dari patahan ini merupakan patahan tumbuh (growth fault)
dengan antiklin (roll over).

073.13.115_Teuku M. Iqbal | 22

Gambar 2. Sub Cekungan Tarakan (Tossin dan Kodir, 1996)


TEKTONIK
Cekungan Tarakan memiliki variasi sesar, elemen struktur dan trend.
Sejarah tektonik cekungan Tarakan diawali denganfase ekstensi sejak
Eosen Tengah yang membentuk wrench fault dengan arah NW SE serta
berpengaruh pada proses perekahan selat Makasar yang berhenti pada
Miosen Awal. Fase tektonik awal ini merupakan fase pembukaan cekungan
ke arah timur yang diindikasikan dengan adanya enechelon block faulting
yang memiliki slope ke arah timur (Gambar 3).
Dari Miosen Tengah hingga Pliosen merupakan kondisi yang lebih
stabil dimana terendapkan sedimen dengan lingkungan delta yang
menyebar dari beberapa sistem pola penyaluran dari barat ke timur.
Contoh sungai yang memiliki hilir di daerah ini yaitu sungai Proto-Kayan,
Sesayap, Sembakung dan beberapa lainnya. Pada fase ini cekungan
mengalami subsidence akibat gravitasi beban dari endapan delta yang
semakin banyak, sehingga terbentuk sesar listrik. Pertumbuhan struktur
sesar disini mengindikasikan bahwa terjadi proses penyebaran endapan
delta ke arah barat yang menjadi lebih sedikit dan mulai terendapkan
karbonat. Pada bagian cekungan yang mengarah ke timur tersusun atas
endapan delta yang tebal, yang berasosiasi dengan sesar normal
syngenetik (sesar normal yang terbentuk bersamaan dengan
pengendapan).
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 23

Fase akhir tektonik pada cekungan ini yaitu proses kompresi yang
terjadi pada Plio Pleistosen Akhir akibat dari kolisi lempeng Filipina
dengan lempeng Borneo / Kalimantan Timur. Hal ini mengaktifkan kembali
struktur yang telah ada dan membalikkan arah beberapa patahan
gravitasional. Akan tetapi gaya yang lebih kuat berada pada bagian utara
cekungan dimana endapan Miosen dan Plosen menjadi terlipat dan
terpatahkan dengan arah NW SE hingga WNE ESE. Pada bagian timur
cekungan, fase kompresi ini membentuk struktur yang tinggi karena
material endapan bersifat plastis sehingga membentuk antiklin Bunyu dan
Tarakan.
Dari fase tektonik tersebut dipercaya bahwa deformasi yang
terbentuk sejak awal proses tektonik merupakan pengontrol utama
pembentukan cebakan hidrokarbon di cekungan Tarakan.

Gambar 3. Tatanan Tektonik Cekungan Tarakan (Modifikasi


BEICIP,1985)
GEOLOGI REGIONAL STRATIGRAFI DAN SEDIMENTASI
Cekungan Tarakan tersusun oleh batuan berumur Tersier yang
diendapkan di atas batuan dasar berumur PraTersier. Dinamika
sedimentasi pada cekungan Tarakan diawali pada umur Eosen, pada
awalnya Cekungan Tarakan merupakan wilayah daratan yang
mengendapkan Formasi Sembakung Formasi Sujau. Pada Oligosen
terbentuk pola pengendapan transgresi yang didominasi oleh klastik kasar
dan juga batuan karbonat (Formasi Seilor). Perkembangan sistem
transgresi berlangsung terus hingga diendapkan sedimen halus (Formasi
Nainputo) dan di beberapa tempat diendapkan batugamping terumbu
(Formasi Tabular). Selanjutnya terjadi regresi hingga Cekungan mengalami
pengangkatan, dan kemudian terendapkan sedimen klastik kasar yang
sumbernya disebut sebagai Central Range Complex (LEMIGAS, 2006).
Lingkungan pengendapan berupa delta yang kompleks dan
membentang dari Barat ke Timur (Formasi Latih / Meliat). Formasi Tabul
berada di sebelah Timur dyang merupakan bagian Prodeltas yang tersusun
atas fasies batulempung. Pada Miosen akhir, terjadi pengangkatan di
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 24

tinggian Kuching, sehingga mengangkat bagian Utara dari Cekungan


Tarakan. Dan pada Pliosen terbentuk lingkungan delta kembali dan
diendapkan Formasi Tarakan.
Stratigrafi dari cekungan tarakan, dari tua ke muda adalah
sebagai berikut:
Formasi Sembakung
Batuan Tersier Awal terdiri atas Formasi Sembakung, yang menindih
tak
selaras batuan alas Kapur Akhir, terdiri atas batuan silisiklastik karbonatan
dari
lingkungan laut litoral hingga laut dangkal pada kala Eosen.
Formasi Sujau
Formasi Sujau terdiri dari sedimen klastik (konglomerat dan
batupasir), serpih, dan volkanik. Klastika Formasi Sujau merepresentasikan
tahap pertama pengisian cekungan graben like yang mungkin terbentuk
sebagai akibat dari pemakaran Makassar pada Eosen Awal.
Litologi penyusun berupakonglomerat, batupasir, volkaniklastik
dengan ketebalan 1000 meter. Struktur geologi yang berkembang
sangatlah kompleks dan mengakibatkan daerah ini terlipat kuat.
Formasi Seilor
Batugamping mikritik dari Formasi Seilor diendapkan secara selaras
di atas Formasi Sujau dan Formasi Mangkabua yang terdiri dari serpih laut
dan napal yang berumur Oligosen menjadi penciri perubahan suksesi ke
basinward.
Formasi Mangkabua
Pada formasi ini terjadi perubahan progradasional dari formasi Seilor
(micrite limestone) menjadi batunapal yang tebal dan masif. Terdapat
Nummulites fichteli (Marks, 1957) yang berumur Oligosen. Formasi ini
tererosi intensif pada akhir Oligosen karena proses tektonik berupa
pengangkatan yang diakibatkan aktivitas vulkanik.

CEKUNGAN BARITO
Secara tektonik Cekungan Barito terletak pada batas bagian
tenggara dari Schwanner Shield, Kalimantan Selatan. Cekungan ini
dibatasi oleh Tinggian Meratus pada bagian Timur dan pada bagian Utara
terpisah dengan Cekungan Kutai oleh pelenturan berupa Sesar Adang, ke
Selatan masih membuka ke Laut Jawa, dan ke Barat dibatasi oleh Paparan
Sunda.
Cekungan Barito merupakan cekungan asimetrik, memiliki cekungan
depan (foredeep) pada bagian paling Timur dan berupa platform pada
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 25

bagian Barat. Cekungan Barito mulai terbentuk pada Kapur Akhir, setelah
tumbukan (collision) antara microcontinent Paternoster dan Baratdaya
Kalimantan (Metcalfe, 1996; Satyana, 1996).
Pada Tersier Awal terjadi deformasi ekstensional sebagai dampak
dari tektonik konvergen, dan menghasilkan pola rifting Baratlaut
Tenggara. Rifting ini kemudian menjadi tempat pengendapan sedimen
lacustrine dan kipas aluvial (alluvial fan) dari Formasi Tanjung bagian
bawah yang berasal dari wilayah horst dan mengisi bagian graben,
kemudian diikuti oleh pengendapan Formasi Tanjung bagian atas dalam
hubungan transgresi.
Pada Awal Oligosen terjadi proses pengangkatan yang diikuti oleh
pengendapan Formasi Berai bagian Bawah yang menutupi Formasi
Tanjung bagian atas secara selaras dalam hubungan regresi. Pada Miosen
Awal dikuti oleh pengendapan satuan batugamping masif Formasi Berai.
Selama Miosen tengah terjadi proses pengangkatan kompleks
Meratus yang mengakibatkan terjadinya siklus regresi bersamaan dengan
diendapkannya Formasi Warukin bagian bawah, dan pada beberapa
tempat menunjukkan adanya gejala ketidakselarasan lokal (hiatus) antara
Formasi Warukin bagian atas dan Formasi Warukin bagian bawah.
Pengangkatan ini berlanjut hingga Akhir Miosen Tengah yang pada
akhirnya mengakibatkan terjadinya ketidakselarasan regional antara
Formasi Warukin atas dengan Formasi Dahor yang berumur Miosen Atas
pliosen.
Tektonik terakhir terjadi pada kala Plio-Pliestosen, seluruh wilayah
terangkat, terlipat, dan terpatahkan. Sumbu struktur sejajar dengan
Tinggian Meratus. Sesar-sesar naik terbentuk dengan kemiringan ke arah
Timur, mematahkan batuan-batuan tersier, terutama daerah-daerah
Tinggian Meratus.

STATIGRAFI CEKUNGAN BARITO


Urutan stratigrafi Cekungan Barito dari tua ke muda adalah :

073.13.115_Teuku M. Iqbal | 26

Formasi Tanjung (Eosen Oligosen Awal)


Formasi ini disusun oleh batupasir, konglomerat, batulempung,
batubara, dan basalt. Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral
neritik.
Formasi Berai (Oligosen Akhir Miosen Awal)
Formasi Berai disusun oleh batugamping berselingan dengan
batulempung / serpih di bagian bawah, di bagian tengah terdiri dari
batugamping masif dan pada bagian atas kembali berulang menjadi
perselingan batugamping, serpih, dan batupasir. Formasi ini
diendapkan dalam lingkungan lagoon-neritik tengah dan menutupi
secara selaras Formasi Tanjung yang terletak di bagian bawahnya.
Kedua Formasi Berai, dan Tanjung memiliki ketebalan 1100 m pada
dekat Tanjung.
Formasi Warukin (Miosen Bawah Miosen Tengah)
Formasi Warukin diendapkan di atas Formasi Berai dan ditutupi
secara tidak selaras oleh Formasi Dahor. Sebagian besar sudah
tersingkap, terutama sepanjang bagian barat Tinggian Meratus,
malahan di daerah Tanjung dan Kambitin telah tererosi. Hanya di
sebelah selatan Tanjung yang masih dibawah permukaan.
Formasi ini terbagi atas dua anggota, yaitu Warukin bagian bawah
(anggota klastik), dan Warukin bagian atas (anggota batubara). Kedua
anggota tersebut dibedakan berdasarkan susunan litologinya.
Warukin bagian bawah (anggota klastik) berupa perselingan antara
napal atau lempung gampingan dengan sisipan tipis batupasir, dan
batugamping tipis di bagian bawah, sedangkan dibagian atas
merupakan selang-seling batupasir, lempung, dan batubara.
Batubaranya mempunyai ketebalan tidak lebih dari 5 m., sedangkan
batupasir bias mencapai ketebalan lebih dari 30 m.
Warukin bagian atas (anggota batubara) dengan ketebalan
maksimum 500 meter, berupa perselingan batupasir, dan
batulempung dengan sisipan batubara. Tebal lapisan batubara
mencapai lebih dari 40 m, sedangkan batupasir tidak begitu tebal,
biasanya mengandung air tawar. Formasi Warukin diendapkan pada
lingkungan neritik dalam (innerneritik) deltaik dan menunjukkan fasa
regresi.
Formasi Dahor (Miosen Atas Pliosen)
Formasi ini terdiri atas perselingan antara batupasir, batubara,
konglomerat, dan serpih yang diendapkan dalam lingkungan litoral
supra litoral.

Stratigrafi Cekungan Barito, Cekungan Kutai,


dan Cekungan Tarakan.
(Courtney, et al., 1991, op cit., Bachtiar, 2006).

073.13.115_Teuku M. Iqbal | 27

CEKUNGAN JAWA-BARAT UTARA


NORTH WEST JAVA BASIN
A. ULASAN SINGKAT GEOLOGI REGIONAL
Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai hydrocarbon
province utama di wilayah Pertamina DOH JBB, Cirebon. Cekungan ini
terletak di antara Paparan Sunda di Utara, Jalur Perlipatan Bogor di
Selatan, daerah Pengangkatan Karimun Jawa di Timur dan Paparan Pulau
Seribu di Barat. Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem block
faulting yang berarah Utara Selatan. Patahan yang berarah Utara Selatan membagi cekungan menjadi graben atau beberapa sub-basin,
yaitu Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat, Rangkas Bitung dan beberapa
tinggian basement, seperti Arjawinangun, Cilamaya, Pamanukan,
KandanghaurWaled, Rengasdengklok dan Tangerang. Berdasarkan
stratigrafi dan pola strukturnya, serta letaknya yang berada pada pola
busur penunjaman dari waktu ke waktu, ternyata cekungan Jawa Barat
telah mengalami beberapa kali fase sedimentasi dan tektonik sejak Eosen
sampai dengan sekarang (Martodjojo, 2002).
B. TEKTONOSTRATIGRAFI DAN STRUKTUR GEOLOGI
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut (offshore)
di Utara dan darat (onshore) di Selatan (Darman dan Sidi, 2000). Seluruh
area didominasi oleh patahan ekstensional (extensional faulting) dengan
sangat minim struktur kompresional. Cekungan didominasi oleh rift yang
berhubungan dengan patahan yang membentuk beberapa struktur
deposenter (half graben), antara lain deposenter utamanya yaitu SubCekungan Arjuna dan Sub-Cekungan Jatibarang, juga deposenter yang lain
seperti : Sub-Cekungan Ciputat, Sub-Cekungan Pasirputih. Deposenterdeposenter itu didominasi oleh sikuen Tersier dengan ketebalan melebihi
5500 m.
Struktur yang penting pada cekungan tersebut yaitu terdiri dari
bermacam-macam area tinggian yang berhubungan dengan antiklin yang
terpatahkan dan blok tinggian (horst block), lipatan pada bagian yang
turun pada patahan utama, keystone folding dan mengena pada tinggian
batuan dasar. Struktur kompresional hanya terjadi pada awal
pembentukan rift pertama yang berarah relative barat laut-tenggara pada
periode Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali pada Oligosen. Tektonik
Jawa Barat dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari Pra Tersier
hingga Plio-Pliostosen.
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 28

Fase tektonik tersebut adalah sebagai berikut :


1.

Tektonik Pertama
Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat
dilkasifikasikan sebagai Fore Arc Basin dengan dijumpainya orientasi
struktural mulai dari Cileutuh, Sub Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan
Muriah dan Cekungan Florence Barat yang mengindikasikan kontrol
Meratus Trend. Periode Paleogen (Eosen-Oligosen) di kenal sebagai
Paleogen Extensional Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser
mendatar menganan utama krataon Sunda akibat dari peristiwa tumbukan
Lempeng Hindia dengan Lempeng Eurasia. Sesar-sesar ini mengawali
pembentukan cekungan-cekungan Tersier di Indonesia Bagian Barat dan
membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull apart basin.
Tektonik ektensi ini membentuk sesar-sesar bongkah (half gnraben
system) da merupakan fase pertama rifting (Rifting I : fill phase). Sedimen
yang diendapkan pada rifting I ini disebut sebagai sedimen synrift I.
Cekungan awal rifting terbentuk selama fragmentasi, rotasi dan
pergerakan dari kraton Sunda. Dua trend sesar normal yang diakibatkan
oleh perkembangan rifting-I (early fill) berarah N 60o W N 40o W dan
hampir N S yang dikenal sebagai Pola sesar Sunda. Pada masa ini
terbentuk endapan lacustrin dan volkanik dari Formasi Jatibarang yang
menutup rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus
berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi Talangakar.
Sistem ini kemudian diakhiri dengan diendapkannya lingkungan karbonat
Formasi Baturaja.
2.

Tektonik kedua
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligo-Miosen)
dan dikenal sebagai Neogen Compressional Wrenching. Ditandai dengan
pembentukan sesar-sesar geser akibat gaya kompresif dari tumbukan
Lempeng Hindia.Sebagian besar pergeseran sesar merupakan reaktifasi
dari sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen.
Jalur penunjaman baru terbentuk di selatan Jawa. Jalur volkanik
periode Miosen Awal yang sekarang ini terletak di lepas pantai selatan
Jawa. Deretan gunungapi ini menghasilkan endapan gunungapi bawah laut
yang sekarang dikenal sebagai old andesite yang tersebar di sepanjang
selatan Pulau Jawa. Pola tektonik ini disebut Pola Tektonik Jawa yang
merubah pola tektonik tua yang terjadi sebelumnya menjadi berarah
barat-timur dan menghasilkan suatu sistem sesar naik, dimulai dari
selatan (Ciletuh) bergerak ke utara. Pola sesar ini sesuai dengan sistem
sesar naik belakang busur atau yang dikenal thrust foldbelt system.
3.

Tektonik Terakhir
Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen Pleistosen,
dimana terjadi proses kompresi kembali dan membentuk perangkapperangkap sruktur berupa sesar-sesar naik di jalur selatan Cekungan Jawa
Barat Utara. Sesar-sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik Pasirjadi
dan sesar naik Subang, sedangkan di jalur utara Cekungan Jawa Barat
Utara terbentuk sesar turun berupa sesar turun Pamanukan. Akibat
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 29

adanya perangkap struktur tersebut terjadi kembali proses migrasi


hidrokarbon.

(Sayatan melintang fisiografi cekungan dan busur gunungapi Jawa Barat)


(sumber : Pertamina, 1996)
C. STRATIGRAFI REGIONAL
Stratigrafi umum Jawa Barat Utara berturut-turut dari tua ke muda adalah
sebagai berikut:
1.
Batuan Dasar
Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang
berumur Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang
berumur Pra Tersier (Sinclair, et.al, 1995). Lingkungan Pengendapannya
merupakan suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk
(Koesoemadinata, 1980).
2. Formasi Jatibarang
Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama dijumpai di
bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian
barat cekungan ini kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat
tipis) dijumpai. Formasi ini terdiri dari tufa, breksi, aglomerat, dan
konglomerat alas. Formasi ini diendapkan pada fasies fluvial. Umur formasi
ini adalah dari Kala Eosen Akhir sampai Oligosen Awal. Pada beberapa
tempat di Formasi ini ditemukan minyak dan gas pada rekahan-rekahan
tuff (Budiyani, dkk, 1991).
3. Formasi Talang Akar
Pada fase syn rift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar secara
tidak selaras di atas Formasi Jatibarang. Pada awalnya berfasies fluviodeltaic sampai faises marine. Litologi formasi ini diawali oleh perselingan
sedimen batupasir dengan serpih nonmarine dan diakhiri oleh perselingan
antara batugamping, serpih, dan batupasir dalam fasies marine. Pada
akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai dengan berakhirnya
sedimentasi synrift. Formasi ini diperkirakan berkembang cukup baik di
daerah Sukamandi dan sekitarnya. Adapun terendapkannya formasi ini
terjadi dari Kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 30

4.

Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar.
Pengendapan Formasi Baturaja yang terdiri dari batugamping, baik yang
berupa paparan maupun yang berkembang sebagai reef buildup manandai
fase post rift yangs secara regional menutupi seluruh sedimen klastik
Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara. Perkembangan
batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah tinggian. Namun,
sekarang diketahui sebagai daerah dalaman. Formasi ini terbentuk pada
Kala Miosen AwalMiosen Tengah (terutama dari asosiasi foraminifera).
Lingkungan pembentukan formasi ini adalah pada kondisi laut dangkal, air
cukup jernih, sinar matahari ada (terutama dari melimpahnya foraminifera
Spriroclypens Sp).
5. Formasi Cibulakan Atas
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir
dan batugamping. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan
batugamping kklastik serta batugamping terumbu yang berkembang
secara setempat-setempat. Batugamping ini dikenali sebagai Mid Main
Carbonate (MMC). Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen Awal-Miosen
Akhir. Formasi ini terbagi menjadi 3 Anggota, yaitu:
Massive
Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Baturaja.
Litologi anggota ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir
yang mempunyai ukuran butir dari halus-sedang. Pada massive ini
dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama pada bagian atas. Selain itu
terdapat fosil foraminifera planktonik seperti Globigerina trilobus,
foraminifera
bentonik
seperti
Amphistegina
(Arpandi
dan
Patmosukismo, 1975).
Main
Anggota Main terendapkan secara selaras diatas Anggota Massive.
Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan
batupasir yang mempunyai ukuran butir halus-sedang (bersifat
glaukonitan). Pada awal pembentukannya berkembang batugamping
dan juga blangket-blangket pasir, dimana pada bagian ini Anggota Main
terbagi lagi yang disebut dengan Mid Main Carbonat (Budiyani
dkk,1991).
Parigi
Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas Anggota Main.
Litologinya adalah perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan
batulanau. Anggota ini terbentuk pada Kala Miosen Tengah-Miosen
Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik Tengah-Neritik Dalam
(Arpandi & Patmosukismo, 1975), dengan dijumpainya fauna-fauna laut
dangkal dan juga kandungan batupasir glaukonitan.
6. Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan
Atas.. Litologi penyusunnya sebagian besar adalah batugamping klastik
maupun batugamping terumbu. Pengendapan batugamping ini melampar
ke seluruh Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan pengendapan formasi
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 31

ini adalah laut dangkalneritik tengah (Arpandi & Patmosukismo, 1975).


Batas bawah Formasi Parigi ditandai dengan perubahan berangsur dari
batuan fasies campuran klastika karbonat Formasi Cibulakan Atas menjadi
batuan karbonat Formasi Parigi. Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen
Akhir-Pliosen.
7. Formasi Cisubuh
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi.
Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir
dan serpih gampingan. Umur formasi ini adalah dari Kala Miosen Akhir
sampai Pliosen Pleistosen. Formasi diendapkan pada lingkungan laut
dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan litoral paralik (Arpandi
& Patmosukismo, 1975).

(Tabel Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara)


(sumber : Pertamina, 1996)
D. SEDIMENTASI CEKUNGAN
Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai
pada kala Eosen Tengah Oligosen Awal (fase transgresi) yang
menghasilkan sedimentasi vulkanik darat laut dangkal dari Formasi
Jatibarang. Pada saat itu aktifitas vulkanisme meningkat. Hal ini
berhubungan dengan interaksi antar lempeng di sebelah selatan Pulau
Jawa, akibatnya daerah-daerah yang masih labil sering mengalami
aktivitas tektonik. Material-material vulkanik dari arah timur mulai
diendapkan.
Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung
pada kala Oligosen Akhir Miosen Awal yang menghasilkan sedimen
trangresif transisi deltaik hingga laut dangkal yang setara dengan
Formasi Talang Akar pada awal permulaan periode. Daerah cekungan
terdiri dari dua lingkungan yang berbeda yaitu bagian barat paralic
sedangkan bagian timur merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas
vulkanik semakin berkurang sehingga daerah-daerah menjadi agak stabil,
tetapi anak cekungan Ciputat masih aktif. Kemudian air laut menggenangi
daratan yang berlangsung pada kala Miosen Awal mulai dari bagian barat
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 32

laut terus ke arah tenggara menggenangi beberapatinggian kecuali


tinggian Tangerang. Dari tinggian-tinggian ini sedimen-sedimen klastik
yang dihasilkan setara dengan formasi Talang Akar.
Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relative stabil, dan daerah
Pamanukan sebelah barat merupakan platform yang dangkal, dimana
karbonat berkembang baik sehingga membentuk setara dengan formasi
Baturaja, sedangkan bagian timur merupakan dasar yang lebih dalam.
Pada kala Miosen Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan Jawa
Barat Utara diendapkan sediment-sedimen laut dangkal dari formasi
Cibulakan Atas. Sumber sedimen yang utama dari formasi Cibulakan Atas
diperkirakan berasal dari arah utara barat laut. Pada akhir Miosen Tengah
kembali menjauhi kawasan yang stabil, batugamping berkembang dengan
baik. Perkembangan yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik yang
sangat lemah dan lingkungan berupa laut dangkal. Kala Miosen Akhir
Pliosen (fase regresi) merupakan fase pembentukan Formasi Parigi dan
Cisubuh. Kondisi daerah cekungan mengalami sedikit perubahan dimana
kondisi laut semakin berkurang masuk kedalam lingkungan paralik.
Pada Kala Pleistosen Aluvium ditandai untuk pengangkatan sumbu
utama Jawa. Pengangkatan ini juga diikuti oleh aktivitas vulkanisme yang
meningkat dan juga diikuti pembentukan struktur utama Pulau Jawa.
Pengangkatan sumbu utama Jawa tersebut berakhir secara tiba-tiba
sehingga mempengaruhi kondisi laut. Butiran-butiran kasar diendapkan
secara tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.

CEKUNGAN JAWA TIMUR

073.13.115_Teuku M. Iqbal | 33

GEOMORFOLOGI
Zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari Tuban ke
arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau
Madura. Merupakan daerah dataran yang berundulasi dengan jajaran
perbukitan yang berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran
aluvial. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km dengan puncak tertinggi 515
m (Gading) dan 491 (Tungangan). Litologi karbonat mendominasi zona ini.
Aksesibilitas cukup mudah dan karakter tanah keras.
Jalur Rembang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk
Antiklinorium yang memanjang ke arah Barat Timur, dari Kota Purwodadi
melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura. Morfologi di daerah
tersebut dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan Morfologi dataran
rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi perbukitan terjal,
dengan punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang berarah
Barat Timur, sehingga pola aliran sungai umumnya hampir sejajar (subparallel) dan sebagian berpola mencabang (dendritic). Sungai utama yang
melewati daerah penyelidikan yaitu S. Lusi, yang mengalir ke arah
Baratdaya, melalui Kota Blora dan bermuara di Bengawan Solo.
STRATIGRAFI
Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah
penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan bagian dari
cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian Utara (East Java Geosyncline).
Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur Barat
hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949).
Menurut Koesoemadinata (1978), cekungan Jawa Timur bagian Utara
lebih merupakan geosinklin dengan ketebalan sedimen Tersier mungkin
melebihi 6000 meter. Suatu hal yang khas dari cekungan Jawa Timur
bagian Utara berarah Timur-Barat dan terlihat merupakan gejala tektonik
Tersier Muda.
Tiga tahap orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap
pengendapan seri batuan Kenozoikum di Indonesia (Van Bemmelen, 1949).
Yang pertama terjadi di antara interval Kapur Akhir Eosen Tengah, kedua
pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny) dan ketiga terjadi pada PlioPleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah ditandai oleh
peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 34

dan fauna, terutama di daerah Indonesia bagian Barat dan juga


menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam
waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen
Tengah ditandai juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan oleh
perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi menjadi fasies regresi di
seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut diatas, fase orogenesa ini
ditandai oleh munculnya beberapa batuan dasar Pra Tersier di daerah
pulau Jawa Utara (Van Bemmelen, 1949).
Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari endapan
endapan yang berada pada Mandala Kendeng, Mandala Rembang, dan
Paparan laut Jawa yaitu sedimen. Mandala Kendeng pada umumnya terisi
oleh endapan arus turbidit yang selalu mengandung batuan piroklastik
dengan selingan napal dan batuan karbonat serta merupakan endapan
laut dalam. Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan
tersesar sungkup ke arah Utara, sedangkan Mandala Rembang
memperlihatkan batuan dengan kadar pasir yang tinggi disamping
meningkatnya kadar karbonat serta menghilangnya endapan piroklastik.
Sedimen-sedimen Mandala Rembang memberi kesan berupa endapan laut
dangkal yang tidak jauh dari pantai dengan kedalaman dasar laut yang
tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh adanya sesar-sesar bongkah (Block
faulting) yang mengakibatkan perubahan-perubahan fasies serta
membentuk daerah tinggian atau rendahan. Daerah lepas pantai laut Jawa
pada umumnya ditempati oleh endapan paparan yang hampir seluruhnya
terdiri dari endapan karbonat.
Mandala Rembang menurut sistem Tektonik dapat digolongkan ke
dalam cekungan belakang busur (retro arc back arc) (Dickinson, 1974)
yang terisi oleh sedimen-sedimen berumur Kenozoikum yang tebal dan
menerus mulai dari Eosen hingga Pleistosen. Endapan berumur Eosen
dapat diketahui dari data sumur bor (Pringgoprawiro, 1983).
Litostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian Utara banyak
diteliti oleh para pakar geologi diantaranya adalah Trooster (1937), Van
Bemmelen (1949), Marks (1957), Koesoemadinata (1969), Kenyon (1977),
dan Musliki (1989) serta telah banyak mengalami perkembangan dalam
susunan stratigrafinya. Kerancuan tatanama satuan Litostratigrafi telah
dibahas secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983) dimana susunan endapan
sedimen di Cekungan Jawa Timur bagian Utara dimasukkan kedalam
stratigrafi Mandala Rembang dengan urutan dari tua ke muda yaitu
Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban,
Formasi Tawun, Formasi Bulu, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi
Lidah dan endapan yang termuda disebut sebagai endapan Undak Solo.
Anggota Ngrayong Formasi Tawun dari Pringgoprawiro (1983) statusnya
ditingkatkan menjadi Formasi Ngrayong oleh Pringgoprawiro, 1983.
Anggota Selorejo Formasi Mundu (Pringgoprawiro, 1983) statusnya
ditingkatkan menjadi Formasi Selorejo oleh Pringgoprawiro (1985) serta
Djuhaeni dan Martodjojo (1990). Sedangkan Formasi Lidah mempunyai
tiga anggota yaitu Anggota Tambakromo, Anggota Malo (sepadan dengan
Anggota Dander dari Pringgoprawiro, 1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni,
1995).
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 35

Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona


Rembang yang disusun oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi
menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan Pra Tersier, Formasi
Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi
Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi
Ledok, Formasi Mundu, Formasi Selorejo, Formasi Paciran,
Formasi Lidah dan Undak Solo. Pembahasan masing masing satuan
dari tua ke muda adalah sebagai berikut :
1. Formasi Tawun
Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi
Tuban, dengan batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak
(batulempung dan napal). Bagian bawah dari Formasi Tawun, terdiri dari
batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan lignit, sedangkan pada
bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang kaya akan
moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang mengandung
mika dan oksida besi. Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun,
yang dipakai pertama kali oleh Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki
penyebaran luas di Mandala Rembang Barat, dari lokasi tipe hingga ke
Timur sampai Tuban dan Rengel, sedangkan ke Barat satuan batuan masih
dapat ditemukan di Selatan Pati. Lingkungan pengendapan Formasi Tawun
adalah paparan dangkal yang terlindung, tidak terlalu jauh dari pantai
dengan kedalaman 0 50 meter di daerah tropis. Formasi Tawun
merupakan reservoir minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan
kandungan fosil yang ada, Formasi Tawun diperkirakan berumur Miosen
Awal bagian Atas sampai Miosen Tengah.
2. Formasi Ngrayong
Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi
Tawun. Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa dengan
perselingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada
batupasir kwarsanya kadang-kadang mengandung cangkang moluska laut.
Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat
pantai yang makin ke atas lingkungannya menjadi littoral, lagoon, hingga
sublittoral pinggir. Tebal dari Formasi Tawun mencapai 90 meter. Karena
terdiri dari pasir kwarsa maka Formasi Tawun merupakan batuan reservoir
minyak yang berpotensi pada cekungan Jawa Timur bagian Utara.
Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Ngrayong diperkirakan
berumur Miosen Tengah.
3. Formasi Bulu
Formasi Bulu secara selaras berada di atas Formasi Ngrayong.
Formasi Bulu semula dikenal dengan nama Platen Complex dengan posisi
stratigrafi terletak selaras di atas Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong.
Ciri litologi dari Formasi Bulu terdiri dari perselingan antara batugamping
dengan kalkarenit, kadang kadang dijumpai adanya sisipan
batulempung. Pada batugamping pasiran berlapis tipis kadang-kadang
memperlihatkan struktur silang siur skala besar dan memperlihatkan
adanya sisipan napal. Pada batugamping pasiran memperlihatkan
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 36

kandungan mineral kwarsa mencapai 30 %, foraminifera besar, ganggang,


bryozoa dan echinoid. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut
dangkal antara 50 100 meter. Tebal dari formasi ini mencapai 248 meter.
Formasi Bulu diperkirakan berumur Miosen Tengah bagian atas.
4. Formasi Wonocolo
Lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dinyatakan oleh Trooster, 1937,
kemungkinan berasal dari desa Wonocolo, 20 km Timur Laut Cepu.
Formasi Wonocolo terletak selaras di atas Formasi Bulu, terdiri dari napal
pasiran dengan sisipan kalkarenit dan kadang-kadang batulempung. Pada
napal pasiran sering memperlihatkan struktur parallel laminasi. Formasi
Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan kedalaman antara
100 500 meter. Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai 339 meter.
Formasi Wonocolo diperkirakan berumur Miosen Akhir bagian bawah
sampai Miosen Akhir bagian tengah.

Gambar Kolom Stratigrafi Mandala Rembang (Harsono Pringgoprawiro,


1983)
STRUKTUR GEOLOGI
Pada masa sekarang (Neogen Resen), pola tektonik yang
berkembang di Pulau Jawa dan sekitarnya, khususnya Cekungan Jawa
Timur bagian Utara merupakan zona penunjaman (convergent zone),
antara lempeng Eurasia dengan lempeng Hindia Australia (Hamilton,
1979, Katili dan Reinemund, 1984, Pulonggono, 1994).
Evolusi tektonik di Jawa Timur bisa diikuti mulai dari Jaman Akhir
Kapur (85 65 juta tahun yang lalu) sampai sekarang (Pulonggono, 1990).
Secara ringkasnya, pada cekungan Jawa Timur mengalami dua periode
waktu yang menyebabkan arah relatif jalur magmatik atau pola
tektoniknya berubah, yaitu pada jaman Paleogen (Eosen Oligosen), yang
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 37

berorientasi Timur Laut Barat Daya (searah dengan pola Meratus). Pola
ini menyebabkan Cekungan Jawa Timur bagian Utara, yang merupakan
cekungan belakang busur, mengalami rejim tektonik regangan yang
diindikasikan oleh litologi batuan dasar berumur Pra Tersier menunjukkan
pola akresi berarah Timur Laut Barat Daya, yang ditunjukkan oleh
orientasi sesar sesar di batuan dasar, horst atau sesar sesar anjak dan
graben atau sesar tangga. Dan pada jaman Neogen (Miosen Pliosen)
berubah menjadi relatif Timur Barat (searah dengan memanjangnya
Pulau Jawa), yang merupakan rejim tektonik kompresi, sehingga
menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar sesar anjak dan
menyebabkan cekungan Jawa Timur Utara terangkat (Orogonesa Plio
Pleistosen) (Pulonggono, 1994). Khusus di Cekungan Jawa Timur bagian
Utara, data yang mendukung kedua pola tektonik bisa dilihat dari data
seismik dan dari data struktur yang tersingkap.
Menurut Van Bemmelen (1949), Cekungan Jawa Timur bagian Utara
(North East Java Basin) yaitu Zona Kendeng, Zona Rembang Madura,
Zona Paparan Laut Jawa (Stable Platform) dan Zona Depresi Randublatung.
Keadaan struktur perlipatan pada Cekungan Jawa Timur bagian
Utara pada umumnya berarah Barat Timur, sedangkan struktur
patahannya umumnya berarah Timur Laut Barat Daya dan ada beberapa
sesar naik berarah Timur Barat.
Zona pegunungan Rembang Madura (Northern Java Hinge Belt)
dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian Utara (Northern Rembang
Anticlinorium) dan bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium).
Bagian Utara pernah mengalami pengangkatan yang lebih kuat
dibandingkan dengan di bagian selatan sehingga terjadi erosi sampai
Formasi Tawun, bahkan kadang kadang sampai Kujung Bawah. Di bagian
selatan dari daerah ini terletak antara lain struktur struktur Banyubang,
Mojokerep dan Ngrayong.
Bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium) ditandai oleh dua
jalur positif yang jelas berdekatan dengan Cepu. Di jalur positif sebelah
Utara terdapat lapangan lapangan minyak yang penting di Jawa Timur,
yaitu lapangan : Kawengan, Ledok, Nglobo Semanggi, dan termasuk juga
antiklin antiklin Ngronggah, Banyuasin, Metes, Kedewaan dan
Tambakromo. Di dalam jalur positif sebelah selatan terdapat antiklinalantiklinal / struktur-struktur Gabus, Trembes, Kluweh, Kedinding Mundu,
Balun, Tobo, Ngasem Dander, dan Ngimbang High.
Sepanjang jalur Zona Rembang membentuk struktur perlipatan yang
dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Bagian Timur, dimana arah umum poros antiklin membujur dari Barat Laut Timur
Tenggara.
2. Bagian Barat, yang masing masing porosnya mempunyai arah Barat timur dan
secara umum antiklin-antiklin tersebut menunjam baik ke arah barat ataupun ke arah
timur.

073.13.115_Teuku M. Iqbal | 38

CEKUNGAN BUTON
PETA LOKASI
Kepulauan Buton berlokasi di bagian timur Indonesia, tepatnya di
pantai timur Sulawesi Tenggara. Stratigrafi dan struktur kepulauan
dibedakan dari Sulawesi Tenggara dan Kepulauan Muna. Tetapi terdapat
kesamaan antara Buton dan kepulauan di sebelahnya pada Busur Banda,
terutama Timor, Seram, dan Pulau Buru.
Secara Administratif Kabupaten Buton terletak di posisi 4.30 - 7.0
LS dan 125 - 125 BT. Cekungan Buton memiliki batas-batas sebagai
berikut :
Sebelah Utara
: Pulau Wawoni
Sebelah Selatan : Laut Flores
Sebelah Barat
: Kepulauan Muna dan Teluk Bone
Sebelah Timur
: Laut Banda
Sebelah Tenggara
: Platform Tukangbesi

Gambar 1. Peta Lokasi Buton


Geografis Pulau Buton

Gambar 2. Posisi

FISIOGRAFI REGIONAL
Berdasarkan geomorfologinya fisiografi daerah Buton dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu :
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 39

1 Bagian Selatan terdiri atas perbukitan dan lembah berarah timur laut
dengan teras-teras reef yang terangkat dan topografi karst.
2 Bagian Tengah didominasi oleh pegunungan yang berarah utara
sepanjang pantai barat, batuan sedimennya berarah timur laut.
3 Bagian Utara didominasi oleh pegunungan di tepi pantai yang
memiliki bentuk menyerupai tapal kuda, pola pengalirannya berarah
ke selatan menuju rawa mangrove pada cekungan lambele. Secara
umum pegunungan-pegunungan yang ada berarah barat lauttenggara yang memiliki relief rendah disertai dengan koral reef yang
terangkat.
SITUASI CEKUNGAN

Gambar 3. Peta Cekungan Buton


TEKTONIK REGIONAL
Buton dipercaya terdiri atas 2 fragmen mikro kontinen yang berbeda
dan terpisah. Satu berada pada bagian timur Pulau Buton dan Tukang Besi
sedangkan yang satunya lagi berada pada bagian barat dari Pulau Buton
dan Pulau Muna (Hamilton, 1979). Berdasarkan data geologi dan data
geofisika baru-baru ini menunjukan bahwa Buton terdiri atas 3 fragmen
mikro kontinen berbeda yang memiliki hubungan juxtapose dengan
daerah Buton, Pulau Buton, Muna/ SE Sulawesi, dan Tukang Besi.
Stratigrafi pulau ini mengindikasikan bahwa setiap fragmen mikro kontinen
memiliki posisi paleogeografi yang berbeda ketika Mesozoik dan Paleogen
(De Smet, 1991).
Seperti kebanyakan pulau-pulau Banda Arc, Buton dianggap sebagai
fragmen yang lepas dari kontinen Australia-New Guinea, terutama
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 40

berdasarkan korelasi kesamaan fosil-fosil berumur Mesozoik, stratigrafi


pre-rift, dan ketika rift. Banyak kesamaan pada sejarah tektonik dan
stratigrafi mendukung kesamaan dari pembentukan Buru, Seram, BanggaiSula, dan Timor (Audley-Charles et al., 1972; Price, 1976; Hamilton, 1979;
Pilgram dan Panggabean, 1984; Gerrard et al., 1988; Katili, 1989; De Smet
et al., 1991).
Sejarah tektonik dan stratigrafi dari kebanyakan pulau-pulau Banda
Arc dicirikan oleh beberapa event. Event pre-rift dicrikan dengan
pengendapan sedimen kontinen pada half-graben, rift event dicrikan
dengan adanya pengangkatan, erosi, dan volkanisme lokal, event drift
dicirikan dengan adanya subsidence dan pengendapan sedimen laut
terbuka, dan sebuah event tumbukan (collision) berumur Neogen.
Perbedaan yang mendasar antara setiap pulau hanyalah waktu dan durasi
dari event-event individual tektonik dan stratigrafi.

Sedimentasi pada buton di kontrol oleh 4 tektonik event :


1 Pre-Rift Perm sampai Akhir Trias
Pengendapan dari sedimen kontinental pada half-graben, dicirikan
dengan adanya pengangkatan, erosi, dan vulkanisme lokal. Terjadi
penurunan dan pengendapan sedimen laut terbuka diikuti dengan
neogen collision. Pada lapisan berumur trias di intrusi dike batuan
beku dan menandakan awal dari rifting, pembentukan patahan
ekstensional, dan regional subsidence.
2 Rift-Drift Akhir Trias sampai Oligosen
Periode transisi menuju pada lingkungan laut terbuka dengan
sedimentasi pada pasif margin terjadi pada pertengahan sampai
akhir Jura hasil pengendapan klastik-klastik syn orogenic pada
cekungan neogen merupakan hasil dari erosi dan sesar naik yang
berarah timur akibat pengangkatan lapisan berumur Trias sampai
Oligosen.
3 Syn dan Post Orogenic awal Miosen sampai Pliosen terjadi subduksi,
kompresi, dan deformasi hingga pertengahan Miosen pada bagian
selatan menghasilkan pengangkatan dan erosi dari klastik-klastik
syn orogenic berumur awal Miosen sehingga terbentuk unconformity
secara
regional.
Collision
dari
Pulau
Buton-Muna
tidak
mempengaruhi bagian utara Pulau Buton sampai pertengahan
Miosen. Pada akhir pertengahan Miosen sampai akhir Miosen terjadi
obduksi sehingga menghasilkan ketidakselarasan atau unconformity.
Setelah pertengahan Miosen terjadi sistem sesar geser utama
(Kioko) yang memapaskan sedimen dari dua lingkungan yang
berbeda. Pada lima juta tahun yang lalu terjadi perubahan deformasi
dan gaya struktural yang disebabkan oleh zona subduksi Buton
terhadap Muna serta Buton terhadap Tukang Besi. Collision antara
Buton dengan Tukang Besi terekam pada lapisan berumur akhir
Pliosen, collision oblique ini menghasilkan pergerakan strike-slip dan
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 41

dip-slip yang mengakibatkan pengangkatan dan subsidence lokal


(Chamberlain et al.,1990; Fortuin et al., 1990) hingga saat ini.
4 Resen Orogenic, selatan Buton sekarang mengalami pengangkatan
sedangkan utaranya mengalami penurunan (de Smet et al., 1989).
Mikrokontinen Buton pada saat ini juga mengalami transpressive
strike-slip terhadap mikroplate Tukang Besi dan Muna, lempeng
Buton bergerak ke arah utara. Orientasi en-echelon wrench fault
dengan orientasi timur laut yang berhubungan dengan antiklin pada
selat Buton mengindikasikan bahwa terjadi pengaktifan kembali
paleo suture zone, pergerakan utamanya sinistral strike-slip.
STRUKTUR GEOLOGI
Struktur geologi umumnya merupakan struktur antiklin dan sinklin
serta beberapa struktur sesar yang terdiri atas sesar naik dan sesar
normal, serta sesar mendatar.
Struktur antiklin-sinklin berarah Baratdaya-Timurlaut hingga UtaraSelatan. Struktur ini hampir mempengaruhi seluruh formasi dimana
terlihat bahwa seluruh formasi yang ada mengalami pelipatan dengan
sudut kemiringan lapisan batuan di bagian timur relatif lebih terjal
dibanding dengan di bagian barat.
Sesar mendatar umumnya dijumpai di bagian selatan dan
memotong Formasi Winto, Formasi Tondo, dan Formasi Sampolakosa. Arah
sesar mendatar umumnya tegak lurus terhadap sumbu lipatan yaitu
Baratlaut-Tenggara. Sedangkan sesar normal merupakan struktur yang
terbentuk paling akhir sebagai struktur patahan sekunder.
Berdasarkan data gravity regional dan orientasi timur laut-barat
daya sesar naik yang berumur awal Miosen menunjukkan bahwa selatan
pulau Buton mengalami rotasi 450 searah jarum jam. Waktu daripada
rotasi belum dapat ditentukan tetapi kemungkinan disebabkan oleh
kompresi pada pertengahan Miosen yang disebabkan tumbukan dari
Buton-Muna/SE Sulawesi. Titik tumpuan atau rotasi berada pada di laut
gian timur Buton pada Kulisusu Bay.

Gambar 4. Tectonic Setting Of Eastern Indonesia

073.13.115_Teuku M. Iqbal | 42

Gambar 5. Skema Tektonik Jurassic-Resen / Perkembangan Model


Pengendapan Pulau Buton Bagian Selatan

Gambar 6. Peta Tektonik Regional Pulau Buton

073.13.115_Teuku M. Iqbal | 43

WNW

ESE

Nolan et al. (1989) in Davidson (1991)

Gambar 7. Collision History of the Buton, Tukang Besi, and Muna,


Southeast Sulawesi. Nolan et al. (1989) in Davidson (1991)
KLASIFIKASI CEKUNGAN
Berdasarkan posisi subduksi plateform Tukang Besi terhadap Buton,
Cekungan Buton termasuk ke dalam Fore Arc Basin.

CEKUNGAN MIKROBENUA
DI INDONESIA TENGAH
Cekungan di Indonesia Tengah berhubungan dengan Fragmen Benua
yang disebut dengan Micro Continent yang berinteraksi dengan kerak
Samudra sekelilingnya sepanjang sesar geser. Tumbukan yang
mengakibatkan sesar sungkup dan imbrikasi serta terjadinya subduksi dan
obduksi yang komplek, sehingga melibatkan ophiolite.
SULAWESI
Cekungan Sulawesi Selatan (Kalosi Block)
Cekungan berada di atas kerak Benua Asia, Fragmen Sulawesi Selatan
ini memisahkan diri dari Kalimantan. Cekungan dalam hal ini dapat
dibagi atas: Cekungan Paleogen (sebagai Rift basin) dan Cekungan
Neogen. Istilah cekungan dalan hal ini lebih ke Cekungan Struktur
dibanding cekungan sedimenter. Cekungan sedimennya mneliputi
seluruh Sulawesi Selatan, dalam hal ini termasuk lepaspantai di selat
Makasar.
A. Cekungan Malawa (Depressi Malanae)
B. Cekungan Spermonde (Sulawesi Selatan, merupakan Carbonate shelf)
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 44

C. Cekungan Sengkang (lingkungan Karbonat) East Sengkang Basin


dipisahkan oleh sesar Walanae dari West Sengkang Basin
lingkungan karbonat
D. Kalosi-Mamuju; merupakan jalur lipatan Sesar sungkup (thrustbelt,
seperti duplex)
E. Cekungan Lariang
Perkembangan Tektonik Indonesia Tengah ini erat hubungannya
dengan tabrakan antara Australian Microcontinent; Banggai dan
Buton dengan Asian Microcontinent; Sulawesi Selatan. Tabrakan ini
membentuk subduksi di bawah Sulawesi Selatan dan menghasilkan
Gunung Api Miosen-Pleistosen (Magmatik arc).
Cekungan Malawa merupakan Paleogen Rift basin,
endapan
batubara di daerah itu sebagai endapan Syn-Rift termasuk Formasi
Malawa (Toraja Fm) yang berumur Eosen. Selanjutnya ditutupi
endapan batugamping Tonasa (Makale Fm) berumur Oligosen yang
merupakan endapan transgresi.
F. Cekungan Banggai
(Sula-Sulawesi Timur, disebut juga Tomori Block), merupakan
cekungan Forelad basin yang dibawahi oleh Rift-drift Mesozoikum
dan Banggai-Sula (Platform), yang relatif stabil dan suatu kompleks
tumbukan (Foreland thrust / Collision Complex) disebelah
baratnya.Urutan stratigrafinya khas Benua Australia, mengingat
Banggai-Sula merupakan micro continent bagian dari Benua
Australia. Cekungan Banggai merupakan belahan dari Cekungan
Salawati
yang
telah
terseret
oleh
Sesar
Sorong
yang
memisahkannya.

G. Percekungan Buton
Buton merupakan Micro Continent yang telah mengakrasi pada
Pulau Muna yang terjadi pada tahap-tahap akhir dari pertumbukan
lempeng Australia-Pasific. Sejarah tektonik Buton adalah sangat
kompleks yang melahirkan beberapa cekungan struktur. Dua
cekungan struktur itu diantaranya :

The East Buton Basin: memperlihatkan struktur kompresi

The Buton Straits Basin:menghasilkan beberapa Antiklin besar


dgn pola en echelon, erat bubungannya dengan pergeseran
gaya lipatan yang sederhananya (Simple fold style).
H. Busur Banda
1. Cekungan Seram
Cekungan di atas ini berada pada Fragmen Kerak Benua Australia, hal
ini nampak pada urutan stratigrafinya, telah mengalami Rifting
Transtension dan transpression yang menghasilkan lipatan dan sesar
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 45

sungkup dalam jalur kompleks sesar geser mengiri (Left lateral strike
slip zone). Antara Sesar Sorong di utara dan Sesae Tarera-Aiduna di
selatan, pada akhir Pliosen. Aktifitas tektonik terakhir membentuk
Young elongate perched thrust foreland basins Wahai Basin dan Bula
Basin berumur Pliosen-Pleistosen yang menutupi urutan lapisanlapisan Mesozoikum.
2. Cekungan Tanimbar
Daerah percekungan ini meliputi kepulauan Kai dan Tanimbar di
bagian timur Busur Banda, Cekungan ini hasil interaksi tektonik
tumbukan dari busur-busur Banda dan tektonik regangan
(extensional tectonics) dari palung Aru dan terletak pada Pinggiran
Pasif Benua Australia-Paparan Arafuru. Urutan Cekungan Pre-Rift di
zaman Paleozoikum, Syn-Rift zaman Jura dan Passive Margin di
zaman Kapur serta Drift pada zaman Tersier dapat dikenali di sini.
Aktifitas tektonik disini yang terakhir menghasilkan cekungan yang
melandai ke arah timur dan dibatasi oleh jalur sesar sungkup lipatan
Dalam cekungan ini potensi untuk minyak dan gasbumi sangat kecil.
(foldthrust belt) di sebelah barat.
3. Cekungan Timur
Percekungan Timor merupakan kelanjutan dari Busur Banda,
memperlihatkan kesesuaian dengan Cekungan Tanimbar, namun
lebih kompleks karena disini kerak benua Australia dengan ujung
passive marginnya bertumbukan secara frontal dengan jalur
subduksi Busur Banda. Urutan Stratigrafi Australia juga dapat
dikenali disini dan nampak dalam sesar sungkup yang sangat
kompleks. Kecil sekali diketemukan minyak dan gasbumi disini.
4. Cekungan Nusa Tenggara
Sulit untuk dapat mengatakan adanya cekungan sedimen di daerah
ini, kecuali pada laut dalam di belakang maupun dimuka kepulauan
mulai dari Bali sampai Sumba. Busur kepulauan ini merupakan jalur
Magmatisme dengan kecil kemungkinan didapatkannya minyak dan
gasbumi.

CEKUNGAN DI INDONESIA TIMUR


1. Cekungan di Perisai Sahul
Cekungan di Perisai Sahul (di atas Kerak Benua Australia). Stratigrafi
Cekungan ini ditandai adanya Ketidakselarasan antara Cekungan PreRift (Paleozoikum), Syn-Rift (Jura Awal), Passive margin (Jura AkhirKapur Akhir) dan Continent-arc Collision related Fore-land Basins dan
Strike-Slip related Basins.
2. Bagian utama Irian Jaya
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 46

Merupakan Pinggiran Benua Australia yang sejak Trias bergerak ke


utara dan ini sebenarnya merupakan Passive margin, dengan lempeng
Samudra di depannya membentuk subduksi terhadap lempeng Pasific.
Pada saat jalur subduksi yang terus menerus mengkomsumsi Lempeng
Samudra Australia bertumbukan dengan kerak benua Australia pada
Awal Tersier.
Mengakibatkan Lempeng Samudra Pasific tertekukkan ke atas dan
menghasilkan Obduksi, sedang lapisan-lapisan Paleozoic-Mesozoic serta
lapisan Tersier terlipat kuat membentuk sesar naik dan sungkup ke arah
selatan yang sering disebut dengan Papua Foldthrust Belt, Sementara
Foreland-basins terbentuk didepan Paparan Australia, Hinterland basin
dibelakang Pegunungan lipatan tersebut. Lapisan sedimen yang terlipat
ketat karena pertumbukan Collision ini disebut Suture. Masalah di sini
makin dipersulit dengan adanya sesar geser di jalur Pegunungan
tersebut.
A. Suture related basins

Cekungan Akimeugah (Foreland basins). Di selatan Irian Jaya

Cekungan Mamberano (Foredeep basin). Di utara Irian Jaya

Cekungan di Paparan Australia Utara (Timor Gap), merupakan


cekungan Rift basin dan Passive margin pada Pra-Tersier
B. Strike-slip related basin

Cekungan Salawati
Cekungan ini berhubungan dengan Sesar Geser Sorong,yang
membentuk asimetri, ada dugaan bahwa Cekungan Salawati
ini merupakan bahagian terpotong dari Cekungan Banggai.

Cekungan Bintuni
Pada Cekungan ini terbukti batuan Pra- Tersier menghasilkan
Gas, bukan merupakan bessement, Gas ditemukan pada
batuan umur Jura. Stratigrafi Pra-Tersier. Cekungan ini diduga
terbentuk
karena sesar geser yang menghasilkan
Transpressional struktur sesar sungkup dari Jakur Lengguru
pada penampang berbentuk asimetri.

Cekungan-cekungan yang terbentuk karena pengaruh Sesar Geser Sorong


(Sorong Fault Zone), berbentuk Half Graben, Cekungan Banggai merupakan
belahan dari cekungan Salawati yang telah ditransport beberapa ribu Km, ke
arah Barat pada zaman Tersier. Urutan Pre-Rift, Syn-Rift dan Passive-margin,
serta terakhir Drift dapat dikenali pada kedua cekungan ini. Transpressional
pada akhir Tersier telah menghasilkan ribuan meter sedimen klastik yang
berpotensi untuk minyak dan Gasbumi

DAFTAR PUSTAKA

CEKUNGAN SUMATERA TENGAH


Moulds, P.J., 1989, Development Of The Bengkalis Depression, Central Sumatra and Ins
Subsequent Deformation A Model for Other Sumatran Grabens, Proceedings
Indonesian Petroleum Association Eighteenth Annual Convention vol.1, Jakarta.
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 47

Shaw, J.H., Hook, S.C. dan Sitohang E.P., 1999, Extensional Fault-Bend Folding and
Synrift Deposition: An Example from the Central Sumatra Basin, Indonesia,
AAPG Bulletin, V. 81, No. 3 - Online presentation.
http://www.searchanddiscovery.net/documents/Indonesia
Wain, A.S. dan Jackson, B.A., 1995, New Pematang Depocentres on The Kampar
Uplift, Central Sumatra, Proceedings Indonesian Petroleum Association Twenty
Fourth Annual Convention vol.1, Jakarta.
Wibowo, R.A., 1995, Pemodelan Termal Sub-Cekungan Aman Utara Sumatra Tengah,
Bidang Studi Ilmu Kebumian Program Pasca Sarjana Institut Teknologi
Bandung, Unpublished.

CEKUNGAN SUMATERA SELATAN


http://muhammadafit.blogspot.com/2013/11/geologi-indonesia-cekungan-sumatra.html
http://pswtkertas.tumblr.com/post/32869528255/geologi-regional-cekungan-sumateraselatan

CEKUNGAN BENGKULU
http://geologi.iagi.or.id/2009/03/22/cekungan-bengkulu/

CEKUNGAN KUTAI
http://www.academia.edu/7302602/Laporan_Proposal_Eksplorasi_Batubara_di_Cekungan
_Kutai_Balikpapan_Kalimantan_Timur_-_Johan_Edwart

CEKUNGAN TARAKAN
http://nicoandreasnainggolan.blogspot.com/2014/04/tarakan-basin.html

CEKUNGAN BARITO
Satyana, A.H., 2000, Kalimantan, An Outline of The Geology of Indonesia, Indonesian
Association of Geologists, p.69-89.
Bachtiar, A., 2006, Slide Kuliah Geologi Indonesia, Prodi Teknik Geologi, FITB-ITB

CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA


Amril, A., Sukowitono., Supriyanto., .1991. Jatibarang Sub Basin a
half Graben Model in the Onshoe of North West Java. IPA Proceedings,
20th Annual Convention, Jakarta. hal 279-307.
Arpandi, D., Patmosukismo, S., .1975 The Cibulakan Formation as
One of the Most Prospective Stratigraphic Units in the Northwest Java
Basinal Area. IPA Proceeding. Vol 4th Annual Convention. Jakarta
Budiyani,S., Priambodo, D.,Haksana, B.w.,Sugianto,P., .1991. Konsep
Eksplorasi Untuk Formasi Parigi di Cekungan Jawa Barat Utara. Makalah
IAGI. Vol 20th, Indonesia. hal 45-67.
Darman, H. dan Sidi, F.H.,. 2000. An Outline of The Geology of
Indonesia. IAGI. Vol 20th. Indonesia
Gordon, T. L., .1985. Talang Akar coals Ardjuna subbasin oil source.
Proceedings of the Fourteenth Annual Convention Indonesian Petroleum
Association, v.2. hal. 91-120.
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region. USGS
Professional Paper, 1078.
Hunt, J.M., .1979. Petroleum Geochemistry and Geology. xxi+617
pp., 221 figs. Oxford: Freeman.
073.13.115_Teuku M. Iqbal | 48

Noble, Ron A.,. 1997. Petroleum System of Northwest Java Indonesia.


Proceeding IPA. 26th Annual Convention. hal: 585 600.
Reminton. C.H., Nasir. H.,. 1986. Potensi Hidrokarbon Pada Batuan
Karbonat Miosen Jawa Barat Utara. PIT IAGI XV. Yogyakarta
Sinclair, S., Gresko, M., Sunia, C.,. 1995. Basin Evolution of the
Ardjuna Rift System and its Implications for Hydrocarbon Exploration,
Offshore Northwest Java, Indonesia. IPA Proceedings, 24th .Annual
Convention, Jakarta. hal 147-162.

CEKUNGAN JAWA TIMUR


https://www.academia.edu

CEKUNGAN BUTON
https://www.scribd.com/doc/121365561/Geologi-Buton

CEKUNGAN MIKROBENUA DI INDONESIA TENGAH &


CEKUNGAN DI INDONESIA TIMUR
http://jus-jusri.blogspot.com/2013/01/cekungan-di-indonesia-bagian-barat.html

073.13.115_Teuku M. Iqbal | 49

You might also like