Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam beberapa tahun belakangan ini ilmu forensik epidemiologi mulai berkembang,
tentunya ilmu tersebut dapat membantu di bidang kedokteran forensik, dalam menangani
kasus kekerasan, termasuk kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan. Dalam hal ini
ilmu tersebut dapat membantu menemukan pola kekerasaan pada anak dan perempuan
sehingga dapat mempermudah pemeriksa untuk kepentingan peradilan.
Janice CL pada tahun 2013 meneliti tentang pola cedera kasus kekerasan fisik pada
anak di RS Bhayangkara Manado.1 Pada penelitian ini, jenis-jenis kekerasan yang tersering
ditemukan pada anak berupa penganiayaan dengan jenis cedera tersering berupa memar.1
Lokasi cedera tersering pada daerah kepala, terutama mata kiri. Karena penelitian tentang
pola perlukaan pada kekerasan terhadap anak dan perempuan masih sangat sedikit, maka
dari itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola perlukaan yang terbentuk pada
kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Kekerasan perempuan dan anak semakin meningkat setiap tahunnya. Kasus kekerasan
tersebut tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga, tetapi juga di sekolah dan masyarakat
dengan pelaku adalah orang-orang yang seharusnya memberikan perlindungan. Keluarga
merupakan unit paling kecil dalam sebuah organisasi yang perannya begitu penting
khususnya dalam membina kebutuhan jiwa keluarga tersebut. Keluarga juga sebagai
pranata kehidupan memiliki fungsi pengaturan seksual, sosialisasi, afeksi, penentuan
status, perlindungan dan ekonomis sehingga keluarga memiliki dampak yang besar dalam
perkembangan suatu negara.
Berdasarkan kasus yang diterima dari kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPPA) tercatat tahun 2009 sebanyak 145.586 kasus KDRT pada ibu
rumah tangga. Meningkat lagi tahun 2010 sebanyak 154.250 kasus. Sementara itu
memasuki tahun 2011 kasus yang meningkat 169.107 kasus.2
Selama bulan Maret sampai dengan Agustus tahun 2011 jumlah kekerasan terhadap
perempuan dilaporkan oleh badan pemberdayaan Perempuan Provinsi Jawa Tengah. Jawa
Tengah mengalami kejadian yang luar biasa, jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga
semakin tinggi, yang mencapai angka 25.628 korban. Rata-rata kekerasan terbanyak adalah
kekerasan dalam rumah tangga mencapai 113.878 kasus, yang 110.468 kasus kekerasan
terhadap istri, sementara yang lainnya terjadi dalam hubungan pacar sebanyak 1.405
kasus.2
Di Indonesia, tidak ada data nasional tentang kekerasan terhadap anak yang tersedia.
Sementara itu, meskipun terbatas pada kabupaten dan provinsi tertentu, studi yang ada
menunjukkan indikasi yang jelas bahwa banyak anak di negara ini mengalami kekerasan.
Dalam Survey Kelompok Indikator Berlapis (MCIS) tahun 2011, yang dilakukan di tiga
kabupaten di provinsi Papua, menunjukkan antara 67 hingga 79 persen anak di bawah usia
15 telah dihukum secara fisik, dengan 24-31 persen bahkan terkena hukuman fisik yang
berat. Pada tahun 2012 menurut data KPAI pada Januari Agustus 2012 mencatat terdapat
3.332 kasus kekerasan terhadap anak Indonesia. Sebanyak 496 attau (14,88%) kasus
kekerasan terjadi di keluarga, 470 atau (14,1%) kasus dalam bidang pendidikan, dan 195
atau (5,85%) anak di bidang agama.3
1.2 Rumusan masalah
Bagaimana pola perlukaan pada kekerasan terhadap anak dan perempuan?
1.3 Tujuan penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pola perlukaan pada kekerasan terhadap anak dan perempuan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui sebaran frekuensi umur pada korban kekerasan terhadap anak dan
perempuan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang periode Januari Desember
2015.
2. Mengetahui sebaran frekuensi jenis kelamin pada korban kekerasan terhadap anak
dan perempuan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang periode Januari
Desember 2015.
3. Mengetahui sebaran frekuensi jenis kekerasan pada korban kekerasan terhadap
anak dan perempuan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang periode Januari
Desember 2015.
4. Mengetahui sebaran frekuensi jenis luka pada korban kekerasan terhadap anak
dan perempuan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang periode Januari
Desember 2015.
5. Mengetahui sebaran frekuensi jumlah lukapada korban kekerasan terhadap anak
dan perempuan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang periode Januari
Desember 2015.
2
6. Mengetahui sebaran frekuensi lokasi luka pada korban kekerasaan terhadap anak
dan perempuan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang periode Januari
Desember 2015
7. Mengetahui sebaran frekuensi jenis kekerasan fisik pada korban kekerasaan
terhadap anak dan perempuan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang periode
Januari Desember 2015
8. Mengetahui sebaran frekuensi jenis kejahatan pada korban kekerasaan terhadap
anak dan perempuan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang periode Januari
Desember 2015
Bagi masyarakat
Agar masyarakat dapat mengenali pola perlukaan yang kerap terjadi pada anak dan
perempuan, sehingga dapat membedakan apakah luka tersebut disebabkan oleh
tindak kekerasan (penganiayaan) atau bukan.
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
2.1.1 Definisi Kekerasan
Kekerasan menurut kamus besar bahasa Indonesia merupakan perbuatan seseorang
atau kelompok orang yg menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain. Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan
kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok orang atau
Pengertian anak secara implisit diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata. Pasal 330
KUHPerdata Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua
puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin
eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/ kerugian nyata atau potensial terhadap
kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau matabak anak, yang
dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.6
Berikut beberapa jenis kekerasan pada anak:5
a. Penelantaran anak
Kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh
kembangnya anak termasuk kegagalan dalam mengawasi dan melindungi secara
layak dari bahaya atau gangguan.
b. Eksploitasi anak
Penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktifitas lain untuk keuntungan orang lain.
c. Kekerasan fisik terhadap anak
Kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial terhadap anak,
sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi, yang layaknya berada
dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan tanggung jawab,
kepercayaan atau kekuasaan. Kekerasan ringan atau berat berupa trauma, atau
penganiayaan yang dapat menimbulkan risiko kematian. Yang termasuk dalam
kategori ini meliputi memar, perdarahan internal, perdarahan subkutan, fraktur,
trauma kepala, luka tikam dan luka bakar, dan peracunan.
d. Kekerasan seksual terhadap anak
Perlibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia sendiri tidak sepenuhnya
memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan, atau karena perkembangannya
belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang melanggar hukum atau
pantangan masyarakat. Penganiayaan seksual dapat berupa inces (penganiayaan
seksual oleh orang yang masih mempunyai hubungan keluarga), perkosaan,
hubungan orogenital, pornografi, prostitusi, ekploitasi, dan penganiayaan seksual
yang bersifat ritual.
e. Kekerasan anak secara psikis
Meliputi penghardikkan, penyampaian kata kata kasar dan kotor, memperlihatkan
buku, gambar atau film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan
ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu,
menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu orang lain.
Kekerasan terhadap perempuan menurut Deklarasi PBB tahun 1993 Pasal 1 adalah
setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin (gender based violence) yang berakibat pada
5
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk
ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Dari berbagai
macam betuk kekerasan yang menimpa perempuan, bentuk yang paling umum dikategotikan
menjadi tiga jenis, yakni kekerasan fisik, psikologis, dan seksual.7
Kekerasan fisik, yaitu kekerasan yang meninggalkan bekas nyata di tubuh korban
seperti pukulan, tendangan, tamparan, sundutan rokok dan sebagainya. Sementara kekerasan
psikologis atau emosional, misalnya caci maki, bentakan, kata-kata kasar, ancaman
meninggalkan, cemburu berlebihan, dan sebagainya. Sedangkan kekerasan seksual, bisa
berupa ucapan tidak senonoh yang berkaitan dengan seks, menyentuh bagian-bagian tubuh
secara seksual di luar keinginan korban, hingga memaksa melakukan hubungan seksual
disertai janji-janji atau paksaan.7
Bentuk-bentuk kekerasan yang menimpa perempuan dapat ditemui dalam seluruh
jenis hubungan sosial yang dijalaninya, termasuk dalam rumah tangga atau hubungan
keluarga, perkawanan dekat, dalam hubungan kerjanya, maupun dalam hubungan-hubungan
sosial kemasyarakatan secara umum.7
Jenis Kelamin
Kekerasan Fisik
Kekerasan Seksual
Kekerasan Psikis
Laki-laki
61-73%
9-18%
28-29%
Perempuan
25-73%
28-33%
24-30%
Berdasarkan data UNICEF tahun 2012 presentase anak usia 10-18 tahun yang
mengalami kekerasan di rumah atau dalam masyarakat. Data Survey Kekerasan Terhadap
Anak Indonesia tahun 2013 oleh Unicef Indonesia didapatkan 7.061.946 orang atau 47,74%
dari total sampel survey berjenis kelamin laki-laki yang mengalami kekerasan baik
kekerasan seksual, fisik, maupun emosional.9 Sedangkan pada anak perempuan didapatkan
2.603.770 orang atau 17,98% dari total sampel survey yang berjenis kelamin perempuan.
Sebanyak 40,57% laki-laki mengalami kekerasan fisik, sedangkan pada perempuan 7,63%.
Pada kekerasan emosional atau psikis didapatkan laki-laki sebanyak 13,35%, sedangkan
perempuan sebanyak 3,76%. Pelaku kekerasan fisik di keluarga terbanyak pada anak lakilaki adalah ayahnya sendiri (38,23%), sedangkan pada anak perempuan yang terbanyak
adalah kerabat lain (53,44%). Pelaku kekerasan fisik di masyarakat yang terbanyak untuk
kelompok anak laki-laki adalah teman sekolah (66,69%), sedangkan untuk anak perempuan
adalah guru (62,05%).9
Berdasarkan data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak pun menunjukkan
angka yang semakin meningkat dari tahun ke tahun untuk kasus tindak kekerasan pada
anak.3 Dengan presentasi kasus kekerasan seksual anak yang kian meningkat dibandingkan
dengan kasus kekerasan lainnya.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebanyak 305.535 kasus. Sebanyak 11.207
kasus di ranah KDRT/RP, 60% atau 6.725 kasus berupa kekerasan terhadap istri, 24% atau
2.734 kasus kekerasan dalam pacaran, dan 8% atau 930 kasus kekerasan terhadap anak
perempuan.10 KtP dalam ranah KDRT/RP, kekerasan fisik menempati peringkat pertama
dengan persentase 38% atau 4.304 kasus, diikuti dengan kekerasan seksual 30% atau 3.325
kasus, kekerasan psikis 23% atau 2.607, dan ekonomi 9% atau 971 kasus. Sedangkan dalam
ranah komunitas sebantak 5.002 kasus. Pada tahun 2015 sama seperti tahun 2014,
kekerasan tertinggi adalah kekerasan seksual (61%). Jenis kekerasan seksual di komunitas
tertinggi adalah: perkosaan (1.657 kasus), lalu pencabulan (1.064 kasus), pelecehan seksual
(268 kasus), kekerasan seksual lain (130 kasus), melarikan anak perempuan (49 kasus), dan
percobaan perkosaan (6 kasus).
2.2.2 Faktor Risiko
2.2.2.1 Faktor Risiko Kekerasan terhadap Anak
Faktor-faktor risiko terhadap kejadian kekerasan terhadap anak dapat ditinjau
dari 3 aspek yaitu faktor sosial, orang tua dan anak.11
1. Faktor masyarakat/ sosial, yaitu tingkat kriminalitas yang tinggi, layanan sosial yang
rendah, kemiskinan yang tinggi, tingkat pengangguran yang tinggi, adat istiadat
mengenai pola asuh anak, pengaruh pergeseran budaya, stres pada para pengasuh,
budaya memberikan hukuman badan kepada anak, dan pengaruh media massa.
2. Faktor orang tua atau situasi keluarga, yaitu riwayat orang tua dengan kekerasan fisik
atau seksual pada masa kecil, orang tua remaja, imaturitas emosi, kepercayaan diri
rendah, dukungan sosial rendah, keterasingan dari masyarakat, kemiskinan, kepadatan
hunian (rumah tinggal), masalah interaksi dengan masyarakat, kekerasan dalam rumah
tangga, riwayat depresi dan masalah kesehatan mental lainnya (ansietas, skizoprenia),
mempunyai banyak anak balita, riwayat penggunaan zat/ obat-obatan terlarang
(NAPZA) atau alkohol, kurangnya dukungan sosial bagi keluarga, diketahui ada
riwayat child abuse dalam keluarga, kurang persiapan menghadapi stres saat kelahiran
anak, kehamilannya disangkal, orang tua tunggal, riwayat bunuh diri pada orang tua/
keluarga, pola mendidik anak, nilai-nilai hidup yang dianut orangtua, dan kurang
pengertian mengenai perkembangan anak.
3. Faktor anak, yaitu, prematuritas, berat badan lahir rendah, cacat, dan anak dengan
masalah/ emosi. Menurut Bittner dan Newberger perlakuan salah pada anak disebabkan
faktor-faktor multidimensi (Gambar 1). Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi
8
dua golongan, yaitu1 dalam keluarga (perlakuan salah fisis, perlakuan salah seksual,
perlakuan salah emosional, penelantaran anak, dan sindrom Munchausen) dan di luar
keluarga (dalam institusi/lembaga, tempat kerja, jalan, medan perang).
Trauma tumpul dapat menyebabkan tiga macam luka yaitu luka memar (contusio), luka
lecet (abrasio) dan luka robek (vulnus laceratum). Trauma tajam ialah suatu ruda paksa
yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh oleh benda-benda tajam. Trauma tajam
dikenal dalam tiga bentuk pula yaitu luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk
(vulnus punctum) atau luka bacok (vulnus caesum).13
Trauma Tumpul
Jenis-jenis luka yang disebabkan oleh trauma tumpul:
Luka memar
Memar adalah perubahan warna permuka kulit yang disebabkan oleh suatu perdarahan
dalam jaringan bawah kulit akibat pecahnya kapiler dan vena. Memar merupakan salah satu
bentuk luka yang ditandaioleh kerusakan jaringan tanpa disertai discontinuitas permukaan
kulit.14 Pada saat timbul memar berwarna merah, kemudian berubah menjadi ungu atau
hitam setelah 4-5 hari akan berwarna hijau yang kemudian akan menjadi kuning dalam 710 hari, dan akhirnya menghilang dalam 14-15 hari. Perubahan warna tersebut berlangsung
mulai dari tepi.
Pola luka dapat menentukan penyebab luka contohnya memar Tramline disebabkan
oleh benda yang berbentuk longitudinal dan biasanya silinder, memar yang berukuran 12cm oval atau bulat membentuk 4 garis mungkin disebabkan oleh buku-buku jari dan
kumpulan memar kecil berbentuk oval atau oval mungkin merupakan memar yang terjadi
akibat tekanan dari jari apabila dicengkam.14
Gambar 2.2 Memar Tramline yang Disebabkan Baton Polis Di Kiri dan Memar yang Disertai
Luka Lecet Karena Dicengkam di Kanan14
10
Luka Lecet
Luka lecet dapat terjadi superfisial jika hanya epidermis saja yang terkena, lebih dalam
ke lapisan bawah kulit (dermis) atau lebih dalam lagi sampai ke jaringan lunak bawah kulit.
Jika abrasi terjadi lebih dalam dari lapisan epidermis pembuluh darah dapat terkena sehingga
terjadi perdarahan.14 Ciri-ciri luka lecet adalah :15
o Bentuk luka tidak teratur
o Batas luka tidak teratur
o Tepi luka tidak rata
o Kadang-kadang ditemukan sedikit perdarahan
o Permukaan tertutup oleh krusta
o Warna coklat kemerahan
o Pada pemeriksaan mikroskopis terlihat adanya beberapa bagian yang masih tertutup
epitel dan reaksi jaringan.
Ukuran, bentuk dan tipe luka lecet ditentukan berdasarkan kontak permukaan benda
yang mengenai permukaan kulit termasuk sudut pertemuan. Kontak kulit dengan permukaan
batu contohnya akan menyebabkan uka lecet berbentuk linear manakala kontak kulit dengan
permukaan jalan raya akibat kecelekaan lalu lintan menyebabkan luka lecet yang disebut
dengan gravelrash.14
11
Luka robek
Luka robek (vulnus laceratum) / luka terbuka adalah luka yang disebabkan karena
persentuhan dengan benda tumpul dengan kekuatan yang mampu merobek seluruh lapisan
kulit dan jaringan di bawahnya, yang ciri cirinya sebagai berikut :15
o Bentuk garis batas luka tidak teratur dan tepi luka tak rata
o Bila ditautkan tidak dapat rapat (karena sebagaian jaringan hancur)
o Tebing luka tak rata serta terdapat jembatan jaringan
o Di sekitar garis batas luka di temukan memar
Karena terjadinya luka disebabkan oleh robeknya jaringan maka bentuk dari luka
tersebut tidak menggambarkan bentuk dari benda penyebabnya. Jika benda tumpul yang
mempunyai permukaan bulat atau persegi dipukulkan pada kepala maka luka robek yang
terjadi tidak berbentuk bulat atau persegi.15
Trauma Tajam
Luka akibat kekerasan tajam dapat berupa: luka tusuk, luka iris, dan luka bacok. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Erlando dkk, luka tusuk memiliki persentase tertinggi
sebanyak 88,9% dari total keseluruhan kasus. Beberapa luka tusuk ditemukan pada satu
korban akibat kekerasan tajam. Luka iris ditemukan sebanyak 5,55% dan luka bacok
sebanyak 5,55% dari total keseluruhan kasus.
12
Luka tusuk
Pada luka tusuk, panjang luka pada kulit dapat sama, lebih kecil ataupun lebih besar
dibandingkan dengan lebar pisau. Kebanyakan luka tusuk akan menganga bukan karena sifat
benda yang masuk tetapi sebagai akibat elastisitas dari kulit. Pada bagian tertentu pada
tubuh, dimana terdapat dasar berupa tulang atau serat otot, luka itu mungkin nampak
berbentuk seperti kurva. Panjang luka penting diukur dengan cara merapatkan kedua tepi
luka sebab itu akan mewakili lebar alat. Panjang luka di permukaan kulit tampak lebih kecil
dari lebar alat, apalagi bila luka melintang terhadap otot. Bila luka masuk dan keluar melalui
alur yang sama maka lebar luka sama dengan lebar alat. Tetapi sering yang terjadi lebar luka
melebihi lebar alat kerena tarikan ke samping waktu menusuk dan waktu menarik. Demikian
juga bila alat/pisau yang masuk kejaringan dengan posisi yang miring.16
Bentuk dan ukuran dari luka tusuk di kulit tergantung pada jenis pisau, arah dorong,
gerakan pisau saat menusuk, pergerakan korban saat ditusuk, dan keadaan elastisitas kulit.
Ketajaman alat dapat menentukan batas luka, tepinya dapat tajam dan teratur, kulit
terkelupas, memar ataupun bergerigi. Luka yang mematikan biasanya pada daerah leher,
dada, dan pada daerah perut yang merupakan letak organ-organ vital. Luka tusuk pada dada
bisa melibatkan jantung yang menyebabkan trauma pada miokardium, arteri koroner, struktur
katup atau pembuluh darah besar, yang bisa mendatangkan ancaman nyawa bagi
korbannya.16
Luka iris
Ciri utama luka iris dibanding luka akibat benda tajam lainnya adalah panjangnya
melebihi kedalamannya, sebab terjadi akibat tekanan ringan benda tajam sewaktu digeserkan
pada permukaan kulit. Dengan demikian panjang dan dalam luka iris sama sekali tidak
menginformasikan ukuran benda tajam penyebab. Luka iris berukuran 3 cm bisa saja
diakibatkan oleh pisau dapur berukuran 6 cm, pisau cukur berukuran 2 cm, atau bahkan
sepotong pecahan kaca.16
13
Luka bacok
Luka bacok disebabkan oleh alat instrumen berat senjata yang mempunyai setidaknya
satu sisi yang tajam, contohnya seperti kapak, pemotong daging dan parang.16
1. Luka bacok terdiri dari luka iris yang memiliki alur atau potongan pada dasar tulang.
2. Jika arah bacokan melingkar, maka bagian yang terkena berbentuk seperti piringan
yang terpotong pada tulang atau jaringan lunak sekitarnya.
3. Tepi yang tumpul pada senjata bacok (seperti sekop) bisa menyebabkan lebih banyak
remukan daripada irisan pada jaringan yang menghasilkan luka yang lebih konsisten ke
arah robekan daripada luka irisan.
4. Baling-baling yang bergerak (kapal atau pesawat) bisa menyebabkan luka bacok yang
lebih parah.
5. Adanya jaringan lunak yang disertai hemoragik dengan luka bacok atau luka iris secara
umum dianggap sebagai bukti yang baik, bahwa luka timbul sebelum kematian. Tubuh
yang terendam lebih lama didalam air bisa menyebabkan hemoragik yang pada awalnya
ada di luka lebih memudar, dan menyebabkan tampilan penyebab kematian yang sulit
ditemukan.
yang tersering ditemukan pada anak berupa penganiayaan dengan jenis cedera tersering
berupa memar. Lokasi cedera tersering pada daerah kepala, terutama mata kiri.
15
Molenaar ER, dkk pada tahun 2013 di RS Bhayangkara Manado meneliti tentang
pola luka pada kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan. Pada penelitian
tersebut didapatkan jenis kekerasan fisik sebanyak 93%, kekerasan seksual 2%, dan
kekerasan fisik disertai kekerasan seksual sebanyak 2%. Jumlah cedera multiple sebanyak
53,49% dan cedera lebih dari 1 lokasi sebanyak 65,12%. Jenis cedera berupa memar
sebanyak 69,86%, luka (lecet dan gores) sebanyak 26,03%, dan robekan selaput dara
sebanyak 4,11%.18
Gambar
2.7.
Letak Cedera Pada Kasus KDRT.18
Perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga dilakukan dengan menerapkan program dan kegiatan pelayanan langsung untuk anakanak yang membutuhkan perlindungan khusus. Aspek hukum terhadap anak yang menjadi
korban kekerasan telah ditetapkan sejak tahun 1945 dan berkembang terus hingga saat ini.
Beberapa dasar yang dianut dalam penegakkan perlindungan terhadap anak sejak tahun 1945
adalah Pasal 28 UUD Tahun 1945 terutama Pasal 28G ayat (1) UUD tahun 1945, Undangundang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-undang No. 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak.
Menurut Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang
dimaksud hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia (sipil, politik, sosial, ekonomi,
budaya) dan wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Konvensi Hak Anak PBB yang diratifikasi oleh Kebutuhan Dasar
Anak pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990, meliputi 4 (empat)
prinsip dasar yaitu : non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak kelangsungan hidup
dan tumbuh kembang, dan penghargaan pendapat anak.
Pada 23 Juli 2012 juga telah disahkan oleh Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang
Yudhoyono, Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi
Anak, dan Pornografi Anak yang dituangkan dalam Undang-undang RI No. 10 tahun 2012.
Undang-undang ini ditetapkan dengan menimbang bahwa anak mempunyai hak untuk
dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan bekerja pada pekerjaan yang membahayakan atau
mengganggu pendidikan anak, merusak kesehatan fisik, mental, spiritual, moral, dan
perkembangan sosial anak dan bahwa kegiatan penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi
anak merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus diberantas, dimana Indonesia
sebagai bagian dari masyarakat internasional juga harus turut serta secara aktif untuk
mencegah, memberantas dan menghukum pelaku tindak pidana ini.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang menjamin kesejahteraan
tiap warga negaranya, termasuk hak anak. Setiap anak juga berhak hidup, tumbuh, berkembang
dan berpartisipasi serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Mengingat
juga bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa
sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi. Dengan demikian
sebagai usaha meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian
17
sesuatu
2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan alau perlakuan yang rnerendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suara politik dari negara lain.
3. Undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Pasal 1 :
a. Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani
maupun sosial;
b. Usaha Kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk
menjamin terwujudnya Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.
Pasal 9 : Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya
kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c. penelantaran
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
e. ketidakadilan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
5. Undang-undang No. 23 tahun 2002 pasal 77-90 tentang Ketentuan Pidana yang
Menyangkut Perlindungan Anak
Pasal 77 : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil
maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya
b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan,
baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 80 :
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta
rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
19
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Pasal 81 :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Adapun dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan
anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang
bersifat independen. Hal ini tertuang dalam pasal 74-76 Undang-undang No. 23 tahun 2002.
6. Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang
No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Dalam undang-undang ini disisipkan sepuluh pasal antara pasal 76 dan pasal 77, yakni
pasal: Pasal 76A, Pasal 76B, Pasal 76C, Pasal 76D, Pasal 76E, Pasal 76F, Pasal 76G, Pasal
76H, Pasal 76I, dan Pasal 76J sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 76 A
Setiap orang dilarang:
a. Memperlakukan Anak secara diskriminatif yangmengakibatkan Anak mengalami
kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b. Memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara diskriminatif.
Pasal 76 B
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan
Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.
20
Pasal 76 C
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan,
atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.
Pasal 76 D
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 76 E
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Pasal 76 F
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan,
atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak.
Pasal 76 G
Setiap Orang dilarang menghalang-halangi Anak untuk menikmati budayanya sendiri,
mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya dan/atau menggunakan bahasanya
sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan Masyarakat dan budaya.
Pasal 76 H
Setiap Orang dilarang merekrut atau memperalat Anak untuk kepentingan militer
dan/atau lainnya dan membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa.
Pasal 76 I
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan,
atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak.
Pasal 76 J
21
Pasal 77A
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap Anak yang masih
dalam kandungan dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45A, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan.
Pasal 77B
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Adapun perubahan dilakukan pada pasal 80 hingga 89 sehingga mengatur mengenai
sanksi apabila melakukan pelanggaran terhadap pasal 76 C hingga 76 J.
22
Dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan
sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang
tersebut dalam butir ke-1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang
diketahuinyaa belum cukup umurnya atau yang sepatutnya harus diduga
demikian,dengan orang lain.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian attau
kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.
Kekerasan Seksual
Pasal-pasal pada tindak pidana seksual
Persetubuhan dengan wanita di bawah umur (pasal 287 & 288 KUHP)
Ke II:
a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padaha ldiketahui
bahwa yang turut bersalah telah kawin
b. Seorang wanita tidak kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu
padahal diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal
27 B.W. berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami atau istri yang
tercemar.
Pasal 285 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 286 KUHP
Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal
diketahui, bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 287 KUHP
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang waniit diluar perkawinan, padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun,
ataau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu kawin, diancam dengan
pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
25
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita
belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal tersebut dalam pasal
291 dan pasal 294.
Pasal 288 KUHP
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinan yang
diketahui atau sepatuutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin,
diancam, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling
lama dlapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan idana penjara paling lama dua belas tahun.
26
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama
jenisnya yang diketahuinya atau sepatutnya diduga belum dewasa, diancam
dengan pidana paling lama 5 tahun.
Pasal 296 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghubungkan ataau memudahkan perbuatan
cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai
pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Undang-undang terkait:
UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal
1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga. Undang-undang ini juga berisikan hak-hak korban hingga ketentuan
pidana bagi pelaku kekerasan.
27
BAB III
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP
- Jenis Kelamin
- Usia
- Jenis Luka
- Lokasi Luka
Pola
Perlukaan
- Jumlah Luka
- Jenis Kekerasan
28
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.5 Populasi
4.5.1. Populasi Target
Pasien Perempuan dan anak laki-laki yang berusia kurang dari 18 tahun.
29
18 tahunn = dewasa
< 18 tahun = anak
0 = Tidak ada
1 = Luka memar
2 = Luka lecet
3 = Luka robek
4 = Luka iris
30
5 = Luka tusuk
6 = Lain-lain
0 = Tidak ada.
1 = Kepala.
2 = Wajah.
3 = Leher.
4 = Dada.
5 = Perut .
6 = Punggung.
7 = Ekstremitas atas.
8 = Ekstremitas bawah.
9 = Alat kelamin.
0 = Tidak ada
1=1
2=25
3=>5
31
0 = Tidak ada
1 = fisik
2 = seksual
0 = Tidak ada
1 = Luka tumpul
2 = Luka tajam
3. Entri Data
Entri data merupakan kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan kedalam master
tabelatau data base komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana.
33
BAB V
HASIL PENELITIAN
Dari hasil pengumpulan data yang didapat pada Rumah Sakit Bhayangkara Semarang
pada bulan Januari sampai dengan Desember 2015 didapatkan hasil penelitian sebagai berikut.
Frekuensi
Persentase
< 18 Tahun
31
31,0%
>18 Tahun
69
69,0%
Laki-laki
23
23,0%
Perempuan
77
77,0%
Umur Anak
Jenis Kelamin
Tabel 5.2 Sebaran Frekuensi Jenis Luka, Lokasi Luka dan Jumlah Luka pada Anak
Laki-laki pada Korban Kekerasan pada Januari Desember 2015
Variabel Anak Laki-laki
Frekuensi
Persentase
6,9%
Luka Memar
20
34,5%
Luka Lecet
26
44,8%
13,8%
Tidak Ada
6,9%
Kepala
6,9%
Wajah
26
44,8%
Leher
5,2%
Punggung
3,4%
Jenis Luka
Tidak Ada
Lokasi Luka
34
Ekstremitas Atas
14
24,1%
Ekstremitas Bawah
8,6%
Tidak Ada
19,0%
1 Luka
33,3%
2 5 Luka
33,3%
14,3%
Jumlah Luka
>5 Luka
Tabel 5.3 Sebaran Frekuensi Jenis Luka, Lokasi Luka, dan Jumlah Luka pada Anak
Perempuan pada Korban Kekerasan pada Januari Desember 2015.
Variabel Anak Laki-laki
Frekuensi
Persentase
3,8%
Luka Memar
19,2%
Luka Lecet
13
50,0%
23,1%
Kombinasi
3,8%
Tidak Ada
3,8%
Wajah
15,4%
Perut / Pinggang
7,7%
Ekstremitas Atas
15,4%
Ekstremitas Bawah
15,4%
Alat Kelamin
11
42,3%
Tidak Ada
10,0%
1 Luka
20,0%
2 5 Luka
10,0%
60,0%
Jenis Luka
Tidak Ada
Lokasi Luka
Jumlah Luka
>5 Luka
35
Tabel 5.4 Sebaran Frekuensi Jenis Luka pada Wanita Lebih Dari 18 Tahun pada Korban
Kekerasan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang pada Januari Desember 2015.
Variabel Wanita
Frekuensi
Persentase
3,9%
Luka Memar
68
43,9%
Luka Lecet
67
43,2%
12
7,7%
Luka Iris
0,6%
Kombinasi
0,6%
Tidak Ada
3,9%
Kepala
14
9,0%
Wajah
53
34,2%
Leher
3,9%
Dada
1,9%
Perut
0,6%
Punggung
1,3%
Ekstremitas Atas
41
26,5%
Ekstremitas Bawah
25
16,1%
Alat Kelamin
2,6%
Tidak Ada
9,0%
1 Luka
17
25,4%
2 5 Luka
37
55,2%
10,4%
Jenis Luka
Tidak Ada
Lokasi Luka
Jumlah Luka
>5 Luka
36
Tabel 5.5 Sebaran FrekuensiJenis Kekerasan Fisik pada Korban Kekerasan di Rumah
Sakit Bhayangkara Semarang pada Januari Desember 2015.
Variabel Wanita
Frekuensi
Persentase
11
4,6%
Luka Tumpul
226
94,6%
Luka Tajam
0,8%
Jenis Kekerasan
Tidak Ada
Tabel 5.6 Sebaran FrekuensiJenis Kejahatan pada Korban Kekerasan di Rumah Sakit
Bhayangkara Semarang pada Januari Desember 2015.
Variabel Wanita
Frekuensi
Persentase
11
4,6%
Fisik
213
89,1%
Seksual
15
6,3%
Jenis Kekerasan
Tidak Ada
37
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Analisa Univariat Distribusi Sebaran Frekuensi Umur dan Jenis Kelamin pada
Korban Kekerasan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang periode Januari Desember
2015.
Responden terdiri dari 100 orang korban kekerasan yang divisum di Rumah Sakit
Bhayangkara Semarang dimana sebanyak 31 orang berusia < 18 tahun (persentase 31%) dan
sebanyak 69 orang berusia >18 tahun (persentase 69%). Pada jenis kelamin didapatkan jumlah
laki-laki lebih sedikit (sebanya 23 orang dengan persentase 23%) dan perempuan berjumlah 77
orang (persentase 77%).
Berdasarkan hasil diatas, didapatkan bahwa kekerasan pada anak di Rumah Sakit
Bhayangkara Semarang tidak mencapai setengah dari kejadian kekerasan. Berbeda dengan
WHO yang memperkirakan bahwa kejadian kekerasan fisik pada anak-anak mencapai 25
hingga 50 persen. namun prevalensi pasti untuk kekerasan anak masih belum dapat dipastikan
karena belum ada penelitian yang menjabarkan secara lengkap mengenai hal ini.
Centers of Disease Control (CDC) melakukan penelitian bersama dengan UNICEF
mengenai prevalensi kekerasan pada anak berdasarkan jenis kelamin. Prevalensi kekerasan
fisik pada laki-laki dan perempuan memiliki persentase tertinggi yaitu 73%, dimana angka
kejadian pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hasil ini berbanding
terbalik dengan penelitian diatas, dimana perempuan memiliki persentase lebih tinggi
terjadinya kekerasan fisik dibandingkan dengan laki-laki. Laporan dari beberapa penelitian
selalu menunjukkan perempuan sebagai mayoritas korban dalam kasus kekerasan. Isu gender,
factor social budaya, dan tingkat pemahaman masyarakat yang masih rendah merupakan factor
yang menyebabkan dominasi perempuan sebagai korban.
6.2 Analisa Univariat Distribusi Sebaran Frekuensi Jenis Luka, Lokasi Luka, Jumlah
Luka pada Anak Laki-laki Pada Korban Kekerasan di Rumah Sakit Bhayangkara
Semarang periode Januari Desember 2015.
Berdasarkan tabel penelitian 4.2. bahwa jenis luka pada anak laki-laki dengan luka
memar sebanyak 4 orang dengan persentase 6,9%, luka lecet sebanyak 20 orang dengan
persentase 34,5%, luka lecet sebanyak 26 orang dengan persentase 44,8%, luka robek / terbuka
38
sebanyak 8 orang dengan persentasse 13,8% dan tidak terdapat luka sebanyak 4 orang dengan
persentase 6,9%.
Pada lokasi luka didapatkan lokasi luka pada kepala sebanyak 4 kejadian dengan
persentase 6,9%, di wajah sebanyak 26 kejadian dengan persentase 44,8%, pada leher sebanyak
3 kejadian dengan persentase 5,2%, pada punggung dengan 2 kejadian sebanyak 3,4%, pada
ekstremitas atas sebanyak 14 kejadian dengan persentase 24,1% dan pada ekstremitas bawah
sebanyak 5 kejadian dengan persentase 8,6% dan tidak ada lokasi luka sebanyak 4 kejadian
dengan persentase 6,9%.
Pada jumlah luka didapatkan hanya berjumlah 1 luka sebanyak 7 orang dengan
persentase 33,3%. Pada luka berjumlah 2 5 luka didapatkan sebanyak 7 orang dengan
persentase 33,3%. Pada luka lebih dari 5 luka didapatkan sebanyak 3 orang dengan peersentase
14,3%. Pada korban tidak ada luka didapatkan sebanyak 4 orang dengan persentase 19,0%.
Pada hasil penelitian diatas, jenis luka terbanyak pada anak-anak adalah luka robek
dengan persentase 50,0%. Berbeda dengan penelitian Janice CL pada tahun 2013 dimana jenis
luka tersering yang ditemukan di Rumah Sakit Bhayangkara Manado adalah luka memar yang
mencapai persentase 53% dan jenis luka memar hanya 27%.
Lokasi luka pada penelitian diatas tersering pada alat kelamin dengan persentase 42,3%,
sedangkan pada penelitian Janice CL, lokasi luka tersering ditemukan pada kepala dengan
persentase 65%. Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi pada masing-masing
individu sehingga memberikan prevalensi yang berbeda pada kedua penelitian.
6.3 Analisa Univariat Distribusi Sebaran Frekuensi Jenis Luka, Lokasi Luka dan Jumlah
Luka pada Anak Perempuan Pada Korban Kekerasan di Rumah Sakit Bhayangkara
Semarang periode Januari Desember 2015.
Berdasarkan tabel penelitian 4.3. bahwa jenis luka pada anak perempuan dengan luka
memar sebanyak 5 orang dengan persentase 19,2%, luka lecet sebanyak 13 orang dengan
persentase 19,2%, luka robek / terbuka sebanyak 6 orang dengan persentase 50,0%, luka
kombinasi sebanyak 1 orang dengan persentasse 3,8% dan tidak terdapat luka sebanyak 1 orang
dengan persentase 3,8%.
Pada lokasi luka didapatkan lokasi luka pada wajah sebanyak 4 kejadian dengan
persentase 15,4%, di perut / pinggang sebanyak 2 kejadian dengan persentase 7,7%, pada
ekstremitas atas sebanyak 4 kejadian dengan persentase 15,4%, pada ekstremitas bawah dengan
4 kejadian sebanyak 15,4%, pada alat kelamin sebanyak 11 kejadian dengan persentase 42,3%
dan tidak ada lokasi luka sebanyak 1 kejadian dengan persentase 3,8%.
39
Pada jumlah luka didapatkan hanya berjumlah 1 luka sebanyak 2 orang dengan
persentase 20,0%. Pada luka berjumlah 2 5 luka didapatkan sebanyak 2 orang dengan
persentase 10,0%. Pada luka lebih dari 5 luka didapatkan sebanyak 6 orang dengan peersentase
60,0%. Pada korban tidak ada luka didapatkan sebanyak 1 orang dengan persentase 10,0%.
Pada hasil penelitian diatas, jenis luka terbanyak pada anak-anak adalah luka robek
dengan persentase 50,0%. Berbeda dengan penelitian Janice CL pada tahun 2013 dimana jenis
luka tersering yang ditemukan di Rumah Sakit Bhayangkara Manado adalah luka memar yang
mencapai persentase 53% dan jenis luka robek hanya 27%.
Lokasi luka pada penelitian diatas tersering pada alat kelamin dengan persentase 42,3%,
sedangkan pada penelitian Janice CL, lokasi luka tersering ditemukan pada kepala dengan
persentase 65%. Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh tingkat pendidikan individu yang
mempengaruhi seseorang melakukan tindak kejahatan seksual.
6.4 Analisa Univariat Distribusi Sebaran Frekuensi Jenis Luka, Lokasi Luka dan Jumlah
Luka pada Wanita Pada Korban Kekerasan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang
periode Januari Desember 2015.
Berdasarkan tabel penelitian 4.4. bahwa jenis luka pada wanita dengan luka memar
sebanyak 68 orang dengan persentase 43,9%, luka lecet sebanyak 67 orang dengan persentase
43,2%, luka robek / terbuka sebanyak 12 orang dengan persentase 7,7%, luka iris sebanyak 1
orang dengan persentase 0,6%, luka kombinasi sebanyak 1 orang dengan persentase 0,6% dan
tidak terdapat luka sebanyak 6 orang dengan persentase 3,9%.
Pada lokasi luka didapatkan lokasi luka pada kepala sebanyak 14 kejadian dengan
persentase 9,0%, di wajah sebanyak 53 kejadian dengan persentase 34,2%, pada leher sebanyak
6 kejadian dengan persentase 3,9%, pada dada dengan 3 kejadian sebanyak 1,9%, pada perut
sebanyak 1 kejadian dengan persentase 0,6%, pada punggung sebanyak 2 kejadian dengan
persentasse 1,3%, pada ekstremitas atas sebanyak 41 kejadian dengan persentase 26,5%, pada
ekstremitas bawah sebanyak 25 kejadian dengan persentase 16,1%, pada alat kelamin ebanyak
4 kejadian dengan persentase 2,6% dan tidak ada lokasi luka sebanyak 6 kejadian dengan
persentase 3,9%
Pada jumlah luka didapatkan hanya berjumlah 1 luka sebanyak 17 orang dengan
persentase 25,4%. Pada luka berjumlah 2 5 luka didapatkan sebanyak 37 orang dengan
persentase 55,2%. Pada luka lebih dari 5 luka didapatkan sebanyak 7 orang dengan persentase
10,4%. Pada korban tidak ada luka didapatkan sebanyak 6 orang dengan persentase 9,0%.
40
Dari hasil penelitian diatas didapatkan jenis luka terbanyak terdapat pada luka memar
dengan persentase 43,9%. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Affandi D, et
al pada tahun 2011 di Rumah Sakit Bhayangkara Riau didapatkan luka memar sebagai jenis
luka yang paling banyak ditemukan dengan persentase 79,3%. Hasil terbanyak oleh karena
memar ini oleh karena alasan pelaku melakukan kekerasan pada dasarnya adalah untuk
memberi pelajaran bukan untuk membuat luka yang mematikan. Alasan ini juga dapat
menjelaskan mengapa sebagian besar derajat luka yang dialami oleh korban adalah luka derajat
ringan.
Jumlah luka yang lebih dari satu jenis luka pada korban ini sesuaidenga teori yang
menyebutkan bahwa korban wanita pada umumnya mengalami kekerasan yang berulang
dengan berbagai macam jenis kekerasan yang umumnya tumpul dan dilakukan oleh pelaku
pada lokasi tubuh yang berbeda.
6.5 Analisa Univariat Distribusi Sebaran Frekuensi Jenis Kekerasan Fisik Pada Korban
Kekerasan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang periode Januari Desember 2015.
Pada hasil penelitian diatas didapatkan bahwa Luka Tumpul berjumlah 226 kejadian
dengan persentase 94,6%, Luka Tajam berjumlah 2 kejadian dengan persentase 0,8% dan tidak
ada perlukaan dengan jumlah 11 kejadian dengan persentase 4,6%.
Sama seperti penjelasan pada kekerasan wanita, tindakan melukai dengan alasan inigin
memberi pelajaran terhadap anak dan wanita yang memberikan hasil penelitian terhadap luka
memar dengan hasil tinggi. Bila dihubungkan dengan jenis kekerasan, luka sebagian besar
diakibatkan oleh kekerasan tumpul.
6.6 Analisa Univariat Distribusi Sebaran Frekuensi Jenis Kejahatan Pada Korban
Kekerasan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang periode Januari Desember 2015.
Dari hasil penelitian diatas didapatkan kejahatan fisik sebanyak 213 kejadian dengan
persentase 89,1%, kejahatan seksual sebanyak 15 kejadian dengan persentase 6,3%, dan tidak
ada kejahatan sebanyak 11 kejadian dengan persentase 4,6%.
Dari hasil diatas tampak kekerasan seksual memiliki persentase yang kecil, hasil ini
serupa juga didapatkan dari laporan Komnas Anti Kekerasan terhada Perempuan. Jika ditinjau
dari alasannya, para korban KDRT masih mengganggap tabu untuk melaporkan kekerasan
41
seksual yang mungkin pernah mereka alami, karena mereka berpendapat bahwa masalah
seksual merupakan wilayah internal lingkup rumah tangga.
42
BAB VII
PENUTUP
7.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai korban kekerasan di Rumah SAkit Bhayangkara
Semarang periode Januari Desember 2015 didapatkan sebaran frekuensi umur terbanyak
yaitu pada usia >18 tahun sebanyak 69 orang dengan persentase 69%, frekuensi jenis kelamin
terbanyak yaitu pada perempuan sebanyak 77 orang dengan persentase 77%. Pada anak lakilaki, frekuensi jenis luka terbanyak yaitu pada luka lecet sebanyak 26 orang dengan persentase
44,8%, lokasi luka terbanyak pada wajah sebanyak 26 kejadian dengan persentase 44,8%, dan
jumlah luka terbanyak yaitu 1 5 luka sebanyak 7 kejadian dengan persentase 33,3%. Pada
anak perempuan didapatkan frekuensi jenis luka terbanyak pada luka robek sebanyak 6 orang
dengan persentaset 50,0%, lokasi luka terbanyak pada alat kelamin sebanyak 11 kejadian
dengan persentase 42,3% dan jumlah luka terbanyak pada lebih dari 5 luka dengan jumlah 6
orang persentase 60,0%. Pada wanita didapatkan frekuensi jenis luka terbanyak pada luka
memar sebanyak 68 orang dengan persentase 43,9%, lokasi luka terbanyak pada wajah
sebanyak 53 kejadian dengan persentase 34,2%, dan jumlah luka terbanyak didapatkan pada
luka berjumlah 2 5 luka sebanyak 37 orang dengan persentase 55,2%. Pada frekuensi jenis
kekerasan fisik terbanyak ditemukan pada luka tumpul berjumlah 226 kejadian dengan
persentaset 94,6%. Pada frekkuensi jenis kekerasan terbanyak ditemukan pada kekerasan fisik
sebanyak 213 kejadian dengan persentase 89,1%.
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Rumah Sakit
1. Agar tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit dapat bekerja sama dengan
pemerintah daerah dalam mensosialisasi dan advokasi kepada aparat penegak hukum
tentang lembaga yang mampu memberikan layanan konseling bagi pelaku kekerasan.
2. Rumah sakit perlu menyusun standar operasional prosedur untuk pelaksanaan dan
pengawasan serta pelaporan proses konseling bagi suami sebagai pelaku kekerasan
yang sifatnya membantu.
43
44
Daftar Pustaka
1. Janise CL, Kristanto EG, Siwu JF. Pola cedera kasus kekerasan fisik pada anak di RS
Bhayangkara Manado periode tahun 2013.Jurnal Biomedik 2015; 7(1):36-41.
2. Yanto B. Kekerasan dalam Rumah Tangga. 25 November 2015. Diunduh dari
http://tempo.com/topic/masalah/2027/kekerasan_dalam_rumah_tangga. 8 November
2016.
3. Komisi Nasional Perlindungan Anak. Campaign: Stop Child Abuse.2014. Diakses
dari: www.gotongroyongfund.com. 8 November 2016.
4. Ariyulinda N. Penanganan Kekerasan Terhadap Anak Melalui UU Tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan UU Tentang Perlindungan Anak. Jurnal Rechts Vinding.
Diunduh
di:http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PenangananKekerasanTerhadapAnak.
pdf. 8 November 2016.
5. Widiastuti D, Sekartini R. Deteksi Dini, Faktor Risiko, dan Dampak Perlakuan Salah
Pada Anak. Sari Pediatri 2006; 7(2): 105-112.
6. UNICEF. Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak Bagi Petugas
Kesehatan. 2007.
7. Guamarawati NA. Suatu kajian kriminologis mengenai kekerasan terhadap perempuan
dalam relasi pacaran heteroseksual. Jurnal Kriminologi Indonesia 2009; 5(1):43-55.
8. Bappenas dan UNICEF. Laporan Gabungan: Pemetaan Sistem Perlindungan Anak di 6
Provinsi di Indonesia: Aceh, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Bappenas (National Development Planning
Agency) and UNICEF; 2012.
9. Bappenas dan UNICEF. Survey kekerasan terhadap anak Indonesia. 2013.
10. 10.Komisi Nasional Anti Kekerasan pada Perempuan. Lembar fakta catatan tahunan
(Catahu). 2016.
11. Widiastuti D, Sekartini R. Deteksi Dini, Faktor Risiko, dan Dampak Perlakuan Salah
Pada Anak. Sari Pediatri 2005; 7(2): 105-112.
12. WHO.
Violence
against
women.
2014.
Diakses
dari:
14. James JP, Jones R, Karch SB, Manlove J. Assesment, classification dan documentation
of injury Simpsons Forensic Medicine. London; Arnold, 2011;(13):76-89.
15. Dahlan S. Traumatologi Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang, 2007;(5):67-71.
16. Nerchan E, Mallo JF, Mallo TS. Pola Luka Pada Kematian Akibat Kekerasan Tajam Di
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode 2013. Jurnal e-Clinic (eCl). 2015; (3): 640-5.
17. Affandi D, Rosa WY, Suyanto, Khodijah, Widyaningsih C. Karakteristik kasus
kekerasan dalam rumah tangga. J Indon Med Assoc 2012; 62(11):435-8.
18. Molenaar ER, Mallo NTS, Kritanto EG. Pola luka pada kekerasan dalam rumah tangga
terhadap perempuan di RS Bhayangkara Manado periode 2013. Jurnal e-CLinic (eCl);
3(2): 634-9.
46