You are on page 1of 63

 W a r t a

Geologi September 2009

Pengantar Redaksi
Pembaca yang budiman

Artikel ketiga merupakan sumbangan salah

Dalam Warta Geologi edisi nomor 3 tahun

seorang Profesor Riset Badan Geologi, Hamdan

2009 ini, dewan redaksi menyuguhkan tiga

Z. Abidin bersama rekan Baharudin. Tulisan

artikel utama dalam rubrik Geologi Populer,

berjudul Peta Geologi Indonesia, Proses dan

dua artikel dalam rubrik Lintasan Geologi,

Manfaatnya mengupas mengenai proses

sebuah artikel dalam rubrik Geofakta,

pembuatan Peta Geologi oleh Pusat Survei

sebuah profil, dan sebuah artikel dalam

Geologi - Badan Geologi sejak awal tahun

Layanan Informasi Geologi. Selain itu

1970an. Peta Geologi memuat informasi

disajikan pula beberapa berita dalam Seputar

mengenai data geologi seperti litologi, umur

Geologi.

batuan, struktur geologi, dan perkembangan


tektonik daerah bersangkutan yang sangat

Artikel pertama dalam rubrik Geologi

berguna bagi kepentingan potensi sumber

Populer berjudul Suka Duka Berburu

daya,

Batugamping Tersier di Pegunungan Duabelas,

pekerjaan-pekerjaan teknik sipil, dan mitigasi

Jambi dan merupakan bagian pertama dari

bencana geologi. Namun sayang sekali, sejak

dua tulisan sumbangan Rian Koswara dan

adanya regulasi Otonomi Daerah, pekerjaan

Nana Suwarna. Tulisan ini merupakan catatan

pembuatan Peta Geologi ini terhenti karena

pengalaman para penulisnya saat bertugas di

terkendala oleh tidak tersedianya sarana dan

lapangan mencari singkapan batugamping

sumber daya manusia di daerah-daerah.

usaha

pertambangan,

pertanian,

Formasi Baturaja di tahun 2006. Dalam Peta


Geologi Lembar Muarabungo (Simanjuntak

Pembaca yang budiman,

drr., 1996) atau laporan geologi lainnya

Artikel-artikel dalam rubrik Lintasan Geologi

kehadiran

mengupas

Duabelas

batugamping
belum

di

pernah

Pegunungan

mengenai

peristiwa

Gempa

diinformasikan.

Bumi Tasikmalaya tanggal 2 September

Penemuan ini serta suka duka perjalanannya

2009 dan dampaknya. Donny Hermana

kiranya bisa menggambarkan seperti apa

melaporkan peristiwa longsor yang terjadi

pekerjaan seorang geolog di lapangan.

di Bukit Urug Hanafi di Kampung Babakan


Caringin, Kecamatan Cibinong, Kabupaten

Artikel kedua berjudul Hubungan antara

Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Sementara

Letusan Gunung Api dengan Salah Satu

Rudy Suhendar drr. menguraikan analisis

Penyebab

Tulisan

kerusakan bangunan-bangunan di berbagai

dan

lokasi gempa dikaitkan dengan geologi

sumbangan

Proses

Karstifikasi.

Wawan

Hermawan

Hermawan ini menyatakan bahwa penyebab

lingkungan.

proses karstifikasi di daerah Sukolila dan


Tuban adalah hujan asam yang disebabkan

Selanjutnya rubrik Profil mengangkat profil

oleh gas-gas vulkanik hasil letusan gunung

seorang pegawai UPT Museum Geologi

api.

di lingkungan Badan Geologi bernama


Iwan Kurniawan. Dewan Redaksi sengaja
Pengantar Redaksi 

Pengantar Redaksi
mewawancarai

Iwan

atas

prestasinya

Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H kepada

menemukan fosil gajah purba elephas sp

para pembaca Warta Geologi, mohon maaf

di Dusun Sunggun, Kelurahan Medalem,

lahir batin kiranya apabila dewan redaksi

Kradenan, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa

melakukan kesalahan pemberitaan dalam

Tengah. Penemuan fosil ini terhitung penting

media Warta Geologi terbitan Badan Geologi

karena

ini.

memberikan

informasi

untuk

melengkapi missing link evolusi gajah


purba di Asia Tenggara.

Akhir kata, selamat menikmati Warta Geologi


edisi 3 Tahun 2009.n Redaksi

Terakhir rubrik Layanan Informasi Geologi


Warta Geologi mengupas Jurnal Geologi
Indonesia sebagai jurnal ilmiah kebumian
terbitan Badan Geologi yang menjadi wadah
tulisan ilmiah bagi para pejabat fungsional
di lingkungan Badan Geologi dan instansi
lainnya. Kiprah Jurnal Geologi Indonesia
terhitung penting setelah pada tahun 2008
menggagas terbentuknya Forum Komunikasi
Editor Jurnal Kebumian (ejb). Forkom ejb ini
memiliki tujuan untuk menjalin komunikasi
antar pengelola dan dewan redaksi jurnal
kebumian dalam pengelolaan jurnal masingmasing.
Pembaca yang budiman,
Dewan Redaksi Warta Geologi mengucapkan
terima kasih atas sumbangan tulisan pada
edisi ini dan senantiasa mengajak para
pembaca

khususnya

para

peneliti

dan

pengamat bidang geologi dari dalam dan luar


lingkungan Badan Geologi untuk menulis.
Mari kita menumbuhkan budaya menulis dan
membaca dengan mulai menyemarakkan
Warta Geologi ini dengan tulisan-tulisan
ilmiah populer anda.
Dengan ini juga segenap Dewan Redaksi
Warta Geologi mengucapkan Selamat Hari
 W a r t a

Geologi September 2009

Editorial

Fosil, Menyambung Mata Rantai yang Hilang


Suatu kaidah yang dikemukakan oleh James
Hutton kemudian dipegang teguh oleh para ahli
geologi, yaitu Present is The Key to The Past,
yang maknanya adalah fenomena yang tampak
pada masa kini adalah kunci masa lalu.

di beberapa tempat di Pulau Jawa, Sulawesi


dan Flores menjadi suatu temuan yang dapat
merangkai cerita bahwa gajah adalah binatang
yang tangguh dan berhasil mengembara melintasi
Garis Wallace.

Salah satu kunci masa lalu adalah fosil.


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa secara
definisi fosil diartikan sebagai bukti kehidupan
organisme yang terawetkan pada lapisan batuan
dalam kurun waktu yang sangat lama, puluhan
ribu hingga jutaan tahun. Dengan demikian sejarah
dan lingkungan kehidupan pada masa lalu dapat
diketahui dengan menelusuri dan menemukan
keberadaan fosil pada suatu wilayah. Kata fosil
sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu fossa yang
berarti menggali keluar dari dalam tanah.

Suatu kisah yang menarik untuk disimak adalah


kebiasaan orang Flores (masih berlaku sampai
saat ini) dalam hal pernikahan. Seorang calon
pengantin pria diharuskan menyediakan gading
gajah sebagai mas kawin bagi calon mempelai
wanita yang dikenal dengan belis. Untuk saat ini
kebiasaan tersebut terasa ganjil karena pada masa
sekarang diketahui secara luas bahwa gajah hanya
hidup di Pulau Sumatera. Dari penjelasan di atas
dengan ditemukannya fosil gajah antara lain di
Flores, sedikit membuka cakrawala berfikir bahwa
boleh jadi kebiasaan tersebut sudah berlaku sejak
dahulu kala yang ketika itu sangat memungkinkan
karena memang ada binatang gajah yang hidup di
Tanah Flores. Memang tidak mudah meninggalkan
kebiasaan nenek moyang yang sudah berlaku
turun-temurun meskipun secara nalar tidak masuk
akal.

Seorang naturalis berkebangsaan Inggris bernama


Alfred Russel Wallace yang memproklamirkan
biogeografi, pada tahun 1865 membagi
wilayah Indonesia atas dua bagian berdasarkan
keberadaan fauna dan flora, ternyata kemudian
juga dari sisi geologi, menjadi bagian barat dan
bagian timur. Bagian barat dimulai dari Sumatera,
berlanjut ke Jawa dan berakhir di Kalimantan.
Adapun bagian timur dimulai dari Pulau Sulawesi,
merambah ke selatan mencapai Nusa Tenggara,
berbelok ke Maluku dan berakhir di Papua. Garis
batas antara kedua wilayah tersebut dimulai dari
Sangihe, Sulawesi Utara melalui Selat Makassar
dan berujung di Timor, Nusa Tenggara Timur
sepanjang 5000 km yang kemudian dikenal
dengan Garis Wallace (Wallaces Line).
Korelasi antara penemuan suatu fosil dengan
Garis Wallace adalah pembuktian bahwa garis
biogeografi adalah suatu kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri. Meskipun demikian, beberapa
makhluk hidup di masa lalu ternyata berhasil
melampaui garis tersebut, salah satunya adalah
gajah. Ditemukannya fosil binatang besar tersebut

Pada 23 Maret 2009 secara tidak sengaja seorang


peneliti dari Museum Geologi, Badan Geologi
terperanjat melihat seonggok gading yang sudah
membatu menyembul dari longsoran penggalian
pasir penduduk di Dusun Sunggun, Desa
Mendalem, Kecamatan Kradem, Kabupaten Blora,
Jawa Tengah. Dari penggalian yang dilakukan
lebih lanjut, ternyata fosil gajah tersebut adalah
fosil vertebrata yang terlengkap (90% utuh) sejak
perburuan yang sudah dilakoni oleh para ahli
paleontolog sejak tahun 1850. Penemuan tersebut
tentu merupakan hal yang luar biasa dan patut
diacungi jempol. Fosil gajah tersebut adalah jenis
Elephas hysudrindicus, Mbahnya gajah purba.n
Salam Redaksi

Editorial 

Geologi Populer

Suka Duka Berburu


Batu Gamping Tersier
di Pegunungan Duabelas, Jambi
(Bagian 1)

Oleh: Rian Koswara dan Nana Suwarna

eskipun sama-sama di hutan,


tidak seperti pemburu binatang
yang dilengkapi dengan senapan,

panah, atau pun golok panjang, pemburu


batugamping hanya dilengkapi dengan peralatan
standar geologi lapangan, yakni kompas dan palu
geologi, loupe, GPS, kamera, dan alat ukur jarak,
serta buku catatan. Yang diburu pun bukanlah
makhluk hidup yang harus dikejar karena bisa
berlarian, namun singkapan batugamping yang
diam di tempat. Batugamping ini merupakan
batugamping Formasi Baturaja berumur Miosen,
yang di wilayah Cekungan Sumatra Selatan
dianggap sebagai batuan waduk (reservoir)
minyak

bumi.

Episode

kesatu

pelaksanaan

perburuan ini berlangsung pada 2006..

 W a r t a

Geologi September 2009

Tim terpaksa memotong pohon tumbang yang menghalangi lintasan Sungai


Kejasung. (Foto: N. Suwarna).

Peta lokasi dan geologi daerah perburuan (Simanjuntak drr., 1996).

Mendorong dan Menekan Perahu agar bisa masuk melalui sela-sela pohon tumbang. (Foto: R. Koswara).

Lokasi perburuan terletak di kaki timur laut


Pegunungan Duabelas, hulu Sungai Kejasung
dan sekitarnya yang secara administratif termasuk
Desa Batusawar, Kecamatan Maro Sebo Ulu,
Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Wilayah
kaki dan lereng Pegunungan Duabelas ini
merupakan kawasan hutan lindung/suaka Taman
Nasional Pegunungan Duabelas dan dihuni oleh
suku Anak Dalam.

mereka, yakni Temenggung Jelitai. Alasan lain


penghadangan itu adalah faktor balas dendam.
Porter kami yang berasal dari Desa Peninjauan
bukan suku Anak Dalam, akan ditangkap. Kejadian
ini dilandasi oleh keinginan balas dendam pemuda
suku Anak Dalam terhadap sebagian pemuda
desa, karena beberapa waktu lalu saat mereka
pergi ke Desa Peninjauan, mereka dianiaya oleh
pemuda desa tersebut.

Lokasi batugamping dapat dicapai dari Desa


Batusawar melalui sungai dengan menggunakan
perahu dayung, diselingi jalan kaki atau menarik
perahu tersebut pada bagian-bagian sungai yang
dangkal atau arusnya deras atau yang alirannya
tertutup oleh balok-balok kayu hasil penebangan
liar.

Setelah dijelaskan duduk perkaranya dan semua


pihak mengerti, kami diperkenankan melanjutkan
perjalanan. Seluruh perlengkapan kami yang
tadinya dirampas dikembalikan semua, kecuali
seperiuk nasi beserta lauknya dan seperiuk bubur
kacang hijau.

Suka Duka Perjalanan


Kengerian, duka, dan suka bercampur aduk
dalam perburuan pertama ini. Ketika rombongan
sedang melintasi sungai, perahu kami dihadang
oleh sekelompok Suku Anak Dalam. Suku Anak
Dalam ini dalam istilah lama disebut Suku Kubu.
Kami dilarang melanjutkan perjalanan oleh
mereka, karena belum ada izin dari kepala suku

Hambatan ini sebenarnya dapat diatasi jika kami


sebelumnya meminta izin dari Temenggung
(Kepala Suku) lainnya yang berada di tepi barat
Pegunungan Duabelas, yakni di wilayah Air
Hitam, Kabupaten Sarolangun. Namun hal ini
tidak mungkin kami lakukan, sebab kami berada
di bagian timur Pegunungan Duabelas. Akibat
adanya hambatan-hambatan teknis maupun non
teknis dalam perjalanan berburu lewat sungai
Geologi Populer 

Geologi Populer
ini, maka kami tidak dapat mencapai sasaran
perburuan.
Sukanya, adalah kami dapat menemukan
pengalaman baru, yakni dalam perjalanan lewat
sungai ini, penulis kesatu, selain melaksanakan
tugas utama berburu batugamping, juga harus
siap menjadi pendayung perahu, akibat kurangnya
tenaga bantuan setempat. Selain itu, dicegat dan
dilarang serta sedikit diancam untuk melanjutkan
perjalanan oleh Suku Anak Dalam, maupun tidur
di tenda tepi sungai dengan perasaan waswas,
trauma didatangi oleh Suku Anak Dalam malammalam, merupakan pengalaman berharga.

Penulis ke-1 yang berfungsi ganda menjadi juru dayung. (Foto: N. Suwarna).

Penulis ke-1 menarik perahu di air agak dangkal, tapi cukup deras, di S. Kejasung Besar, bersamasama dengan tenaga setempat. (Foto: N. Suwarna).

Tumpukan balok-balok kayu (log) sisa pembalakan liar, yang menutupi aliran Sungai Kejasung.
(Foto: A. K. Permana).

 W a r t a

Geologi September 2009

Pengalaman unik lainnya, yakni saat kami berniat


melakukan hajat besar atau pun kecil di sungai
maka kami diharuskan berteriak-teriak terlebih
dahulu untuk memberitahu warga suku Anak
Dalam, terutama kaum perempuannya, di sekitar
tempat tersebut bahwa kami sedang melaksanakan
hajat. Ada ketentuan yang tidak tertulis, apabila
kepunyaan laki-laki kaum pendatang terlihat
oleh perempuan suku Anak Dalam atau sebaliknya,
maka si pendatang akan kena denda. Dendanya
berupa seekor kambing dewasa atau kain sarung
batik sebanyak dua puluh lima lembar. Hal lain,
jangan coba-coba berani memotret perempuan
suku Anak Dalam, bila larangan ini dilanggar anda
bisa disandera suku Anak Dalam.
Sementara itu, yang paling utama adalah
dukanya, karena sudah lewat tujuh hari perjalanan
kami merasa bekerja sia-sia, akibat tidak
mendapatkan apa yang kami buru. Penyebab
lainnya yang merupakan hambatan perjalanan
ini adalah adanya rombongan pencari harta
karun yang didampingi oleh seorang penduduk
desa yang memutarbalikkan fakta agar mereka
bebas dan lancar kerja. Penunjuk jalan tersebut
menginformasikan kepada penduduk yang
dilewati, baik orang desa maupun suku Anak
Dalam, bahwa mereka adalah para geolog
petugas dari Jakarta yang sedang melakukan
survei, sedangkan rombongan kami diberitakan
sebagai pencari harta karun.
Untuk mencapai sasaran perburuan, taktik pun
perjalanan diubah. Sekarang kami laksanakan
lewat darat. Pertama, dari Desa Batusawar kami
menggunakan sepeda motor sampai batas
hutan tempat pemukiman Suku Anak Dalam,
dengan melewati jalan bekas perusahaan kayu,
yang sangat becek dan lengket karena sedang
musim penghujan, namun sangat berdebu
di musim kemarau. Selanjutnya masuk jalan
setapak, yang di beberapa tempat terhalangi oleh
bergelimpangannya batang-batang kayu, sehingga
kami kadang-kadang terpaksa memikul bersamasama kendaraan motor tersebut. Sehubungan
perjalanan selanjutnya harus dilaksanakan dengan

jalan kaki, maka kendaraan-kendaraan roda dua


yang kami pakai, kami sembunyikan di ceruk-ceruk
tebing yang rimbun. Kami berjalan kaki sampai
Sungai Kejasung dan menyusuri sungai itu sampai
ke lokasi perburuan.
Perjalanan melalui darat ini menghabiskan waktu
empat hari. Alhamdulillah, kami hampir tidak
menemukan lagi hambatan dari Suku Anak Dalam,
malahan Temenggungnya, yakni Temenggung
Meladang sangat wellcome dan membantu
kami. Ada satu anak buah Temenggung yang
agak menghambat. Namun hal itu dapat kami
tanggulangi, karena kami membawa surat khusus
dari Kepala Desa dan juga membawa telepon
satelit, sehingga ketika kami dihadang oleh anak
buah Temenggung tersebut, dia dapat melakukan
kontak langsung dengan kepala desa (mereka
sangat respek terhadap kepala desa).

Sepeda motor yang dipakai selama perburuan, melewati jalan berlumpur lengket yang licin dan
berlubang-lubang. (Foto: R. Koswara).

Selama perjalanan ke tempat sasaran, kami yang


dibantu oleh sejumlah tenaga setempat dari
desa, jika hari sudah petang membangun tenda
terbuka di tepi sungai untuk melepaskan penat
dan tidur semalam, persiapan untuk melanjutkan
perjalanan hari esoknya. Dalam perjalanan darat
ini, kami yang berangkat terburu-buru dari desa,
sehubungan dengan terbatasnya waktu untuk
mengejar buruan dan juga masih trauma atas
penghadangan ketika dalam perjalanan sungai,
menyebabkan kurangnya perhitungan dalam
persiapan logistik, sehingga pada hari keempat,
yakni hari terakhir, rombongan hanya sempat
makan pagi saja, karena bekal makanan sudah
habis.
Hasil Perburuan
Pada hari keempat atau terakhir ini, pukul 7 pagi,
kami berlima pergi menyusur Sungai Kejasung
untuk mengejar buruan yang jaraknya cukup jauh,
kira-kira 11 km dari kemah. Dalam perjalanan ini
kami hanya membawa bekal nasi 2 bungkus, yang
akan kami bagi nanti makan siang untuk berlima,
karena persediaan logistik sudah habis. Tiga
porter kami tinggalkan untuk membereskan tenda
dan peralatan, karena untuk pulang kami harus
melewati lagi tempat berkemah. Meskipun dalam
perburuan ini satu porter terpaksa kami tinggalkan
dulu di setengah perjalanan karena kakinya luka,
namun Alhamdulillah, akhirnya kami sampai juga
ke lokasi perburuan.
Sepanjang lintasan yang kami lewati, sebelum
mencapai batugamping yang kami buru, batuan
sedimen klastika halus Formasi Gumai yang
berlapis baik dan segar tersingkap dengan baik.
Batuan sedimen ini yang umumnya terdiri atas
batulempung gampingan dan napal, dengan
beberapa selingan atau nodul batugamping di
tempat-tempat tertentu, kami ambil percontohnya
dan diukur pula posisi perlapisannya. Selewat

Beberapa rintangan yang ada di jalan setapak, sehingga sepeda motor kadang-kadang harus
digotong untuk melewatinya. (Foto: R. Koswara).

Di dalam tenda dalam suasana makan pagi penulis ke-1 (keempat dari kiri) bersama Temenggung
Meladang (Kepala Suku Anak Dalam; kedua dari kiri), di S. Kejasung Besar. (Foto: N. Suwarna).
Geologi Populer 

Napal Formasi Gumai, berlapis baik, yang tersingkap di tepi dan dasar
S. Kejasung Besar. (Foto: R. Koswara)

Penulis kesatu berdiri di atas singkapan batugamping berlapis.


Lokasi: S. Kejasung Besar. (Foto: N. Suwarna).

Kriteria penentuan KP untuk RTRW kabupaten/kota sebelum UU No.4 Tahun


2009 terbit. Setiap kriteria terdiri atas indikator-indikotor yang memiliki bobot nilai
tertentu.

Nodul batugamping yang tersisip di dalam lapisan napal Formasi Gumai.


Lokasi: S. Kejasung Besar. (Foto: N. Suwarna).

Penulis kesatu sedang mengambil percontoh dan mengukur posisi perlapisan


batugamping Formasi Baturaja. Lokasi: S. Kejasung Besar. (Foto: N. Suwarna).

batuan Formasi Gumai, kami menemukan


singkapan batugamping, yang selama ini dalam
Peta Geologi Lembar Muarabungo (Simanjuntak
drr., 1996) maupun laporan geologi lainnya belum
pernah diinformasikan. Singkapan batugamping
yang kami buru di Pegunungan Duabelas ini,
secara geologis adalah batugamping Formasi
Baturaja. Kami sangat bergembira, karena yang
selama ini kami cari dan kejar dalam kurun waktu
sepuluh hari perjalanan, dapat kami tangkap.

motor. Dengan melewati jalan setapak di bawah


rimbunnya pepohonan, kami berjalan beriringan
dengan cepat, tanpa minum, tanpa penerangan
yang memadai. Meskipun hausnya tidak
ketulungan, karena tak adanya lagi persediaan
air minum, kami terus berjalan. Namun, tubuh
tidak dapat dibohongi, sehingga sesampainya di
pondok Temenggung Meladang, kami akhirnya
sedikit ambruk, sehingga rombongan berhenti
dulu sebentar untuk penyegaran.

Kami tidak dapat lama-lama meneliti buruan ini,


karena hari sudah mulai petang, sementara jarak
yang akan kami tempuh untuk pulang masih jauh.
Batugamping yang kami buru tersebut secara
cepat kami ukur posisi perlapisannya, lokasinya,
dan diambil percontohnya.

Begitu badan agak sedikit bertenaga, kami semua


berangkat lagi, menyusur sungai, kemudian
mendaki bukit dan menuruni lembah di hutan
yang cukup rimbun. Seringkali beberapa anggota
rombongan jatuh-bangun, terjerembab, sampai
sobek-sobek pakaiannya, karena gelapnya jalan
yang dilewati, apalagi kalau terkena duri rotan
yang malang-melintang, ditambah lagi mereka
membawa beban yang cukup berat.

Berangkat dari lokasi perburuan sekitar jam 3


petang, sehingga kami beserta rombongan kecil
ini harus jalan secara cepat agar tidak kemalaman
sampai ketempat berkemah malam sebelumnya.
Kami tidak sempat makan, pertama karena
makanan tidak mencukupi, kedua karena hari
petang. Begitu kami bertemu teman yang sedang
menunggu di tempat bekas bertenda, semuanya
langsung bergerak menuju ke tempat penyimpanan
10 W a r t a

Geologi September 2009

Pukul 23.30 sampailah rombongan ke tempat


motor-motor disembunyikan. Persiapan di sini
memerlukan waktu yang cukup lama juga, karena
beberapa motor mogok, tidak bisa dihidupkan,
sehubungan kehujanan dan ditinggalkan selama
3 hari. Kami berangkat dengan gembira pukul

Pompong yang digunakan pengangkut rombongan dan sepeda motor dari desa ke tempat awal lintasan geologi. (Foto: R. Koswara).

1.00 malam, dengan harapan dapat secepatnya


sampai ke kampung. Namun sesampainya di bekas
jalan perusahaan kayu, hambatan menghadang
lagi, kegembiraan menghilang seketika. Jalan
tanah yang becek bekas hujan semalam sangat
mengganggu kelancaran perjalanan; roda motor
tidak bisa berputar sama sekali, karena lengket
oleh lumpur. Kedua penulis yang bersama-sama
menaiki satu motor, berapa puluh kali jatuh
bangun terlempar ke semak-semak, dan berulangulang berhenti hanya untuk membuang lengketan
tanah di roda sepeda motor. Lagi-lagi tubuh tidak
dapat dibohongi, ketahanan fisik manusia terbatas,
apalagi tanpa minum dan makan sejak siang hari.
Kami berdua saking letihnya, bergeletak saja di
tanah becek tanpa memperdulikan ancaman
bahaya, di tengah-tengah hutan, sementara rekanrekan lainnya berceceran sepanjang perjalanan,
tanpa menghiraukan satu sama lainnya.
Sejumlah jembatan kayu yang licin oleh lumpur,
dan hanya merupakan kumpulan kayu bulat dan
papan kecil-kecil yang melintang di atas sungai yang
dalam dan sedang meluap airnya terpaksa kami
lewati dengan hati-hati, karena kami berdua ingin
segera sampai di kampung. Sesudah mengalami
jatuh bangun selama perjalanan malam yang
cukup melelahkan dan menegangkan, baik selama
jalan kaki maupun naik sepeda motor, hampir
tanpa makan dan minum, akhirnya pukul 5.00
pagi kami berdua sampai di tepi Sungai Kejasung,

tempat pompong (perahu kayu) menunggu


sejak siang hari. Dengan setengah berlari kami
mendekati pompong itu. Saking gembiranya
melihat pompong itu kami tidak melihat bahwa di
jalan yang akan kami lewati ada batang kayu bulat
melintang. Kami berdua sekali lagi terjerembab
dan jatuh terlempar ke semak-semak.
Penutup
Meskipun cukup sakit karena sering jatuh dari
sepeda motor yang sedang berlari kencang dan
juga perjalanan seharian yang melelahkan, kami
merasa bahagia dan gembira karena perjalanan
ini tidak sia-sia. Apa yang kami buru sudah kami
dapatkan. Perburuan 2006 yang merupakan
episode kesatu ini belum selesai sepenuhnya,
karena penyelesaiannya dilaksanakan pada 2007,
dan ceritanya akan dipaparkan pada episode
kedua. Pekerjaan ini dilaksanakan dalam rangka
kerja sama antara Pusat Survei Geologi (Badan
Geologi) dan MEDCO, pada 2006.n
Penulis adalah mantan petugas lapangan yang sekarang
berkiprah di Dewan Redaksi Jurnal Geologi Indonesia.
Badan Geologi

Geologi Populer 11

Geologi Populer

Hubungan antara Letusan


Gunung Api
dengan Salah Satu Penyebab
Proses Karstifikasi
Oleh: Wawan Hermawan dan Hermawan

eberadaan

pebukitan

batugamping

di daerah Pati dan Tuban menyisakan


pertanyaan besar, mengapa sebagian

besar gua batugamping di daerah Pati banyak


dijumpai di bagian utara, sedangkan di bagian
selatan tidak? Apakah hal ini ada kaitannya
dengan keberadaan Gunung Muria yang berada
di sebelah utara? Sementara itu, sebagian besar
gua batugamping di daerah Tuban banyak
dijumpai di bagian selatan, sedangkan di bagian
utara tidak. Apakah hal ini ada kaitannya pula
dengan keberadaan Gunung Semeru, Arjuno,
dan lain-lainnya yang berada di sebelah selatan?
Satu hipotesa mengaitkan kenyataan tersebut
dengan pelarutan kimiawi sebagai salah satu
proses karstifikasi yang membentuk kenampakan
endokarst

dan

eksokarst

pebukitan

batugamping

di

kedua

tersebut.

daerah
Pelarutan

kimiawi tersebut erat kaitannya dengan terjadinya


hujan asam akibat meterial letusan gunung api.
12 W a r t a

Geologi September 2009

Skema proses karstifikasi yang salah satunya dipengaruhi oleh hujan asam yang jatuh di daerah pebukitan batugamping

Pelarutan Batu Gamping


Prawoto (2001) dan Kiraly (2003) menyatakan
bahwa hujan asam yang terjadi di suatu daerah
batugamping dapat menyebabkan proses
pelarutan pada batugamping tersebut dan akan
menghasilkan larutan gamping (CaCO3) dengan
kepekatan tertentu sesuai dengan kepekatan
hujan asam. Larutan gamping tersebut suatu saat
akan mengalami kristalisasi dan presipitasi menjadi
bentukan-bentukan endokarst dan eksokarst.
Proses tersebut dikenal sebagai karstifikasi.
Seperti kita ketahui bahwa hujan asam yang
terjadi pada masa lampau bukan diakibatkan

oleh aktivitas pabrik atau kendaraan berbahan


bakar fosil seperti sekarang ini, tetapi lebih banyak
diakibatkan oleh gejala alamiah seperti pengaruh
nitrit dan nitrat yang dihasilkan oleh tumpukan
humus pada hutan tropis atau akibat letusan
gunung api yang menghasilkan beberapa gas-gas
vulkanik.
Gas-gas vulkanik yang terlarutkan oleh air hujan
akan menghasilkan hujan asam yang berpotensi
menyebabkan pelarutan kimiawi pada pebukitan
batugamping.
Kepekatan
larutan
CaCO3
tergantung dari kepekatan hujan asam yang
terjadi.
Geologi Populer 13

Geologi Populer
Semakin pekat air larutan CaCO3 hasil pelarutan
yang terbentuk, semakin mudah terbentuknya
endokarst dan eksokarst di pebukitan batugamping.
Apabila kepekatan larutan rendah atau tidak
terjadi lagi pelarutan, maka tidak akan terjadi
endokarst dan eksokarst, artinya proses karstifikasi
tidak aktif atau untuk sementara berhenti hingga
tersedia kembali larutan asam yang pekat (berasal
dari hujan asam). Struktur sesar, retakan dan kekar
Pada kekar, rekahan dan retakan akibat struktur
geologi berupa perlipatan dan sesar yang terjadi
sepanjang deretan pebukitan batugamping akan
mempercepat pelarutan tersebut, karena air hujan
yang bersifat asam tersebut akan melarutkan
batugamping melalui struktur-struktur tersebut
hingga suatu saat akan terbentuk gua-gua akibat
keruntuhan dinding-dinding sepanjang struktur.

DATA DAN ASUMSI


Karst Sukolilo dan Tuban
Peta sebaran gua-gua berair dan gua-gua kering
menunjukkan kondisi karst di daerah Sukolilo,
Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Dari peta
tersebut dapat diamati bahwa sebagian besar
gua-gua berair dan gua-gua kering terdapat pada
sayap batugamping di sebelah utara yang relatif
lebih dekat jaraknya dengan letak Gunung Api
Muria, sehingga kemungkinan besar sayap bagian
utara tersebut terpengaruh oleh gas-gas vulkanik
hasil letusan Gunung Api Muria. Sedangkan untuk
karst Tuban belum banyak data yang diperoleh
secara lengkap kondisi karstifikasi di daerah
tersebut.

Letusan Gunung Bromo menghasilkan debu dan gas (Sumber Self drr, 2007)
14 W a r t a

Geologi September 2009

Letusan Gunung Api


Letusan gunung api yang dimaksud dalam tulisan
ini adalah letusan dahsyat yang menghasilkan
sejumlah besar debu dan gas yang dilontarkan
ke udara dan berpengaruh terhadap iklim global
dunia. Pengaruhnya terhadap iklim dunia berupa
tutupan debu dan sebaran gas vulkanik hingga
radius yang sangat luas.
Sebaran Debu dan Gas-Gas Vulkanik
Beget, drr. (1993) menyatakan bahwa sebaran debu
dan gas vulkanik sangat tergantung pada besarnya
letusan, arah, dan kekuatan angin, sehingga jarak

Letusan G. Pinatubo di Filipina yang dahsyat terbawa angin ke arah barat daya
(Sumber Self dkk, 2007)

Sebaran debu dan gas vulkanik di sekitar tubuh gunungapi apabila letusan
berlangsung kecil dan tersebar luas mengikuti arah angin apabila letusan besar.

tempuh debu dan gas sangat bervariasi dari yang


dekat atau hanya di sekitar tubuh gunung api
hingga berkilo-kilo meter jauhnya.
Dari kedua besaran letusan gunung api tersebut
di atas dapat diketahui bahwa bukan saja
pebukitan batugamping di dekat gunung api yang
terpengaruh debu dan gas yang berasal dari suatu
letusan, tetapi pebukitan batugamping yang
jaraknya sangat jauh pun terpengaruh.
Oleh sebab itu bukan hal yang mustahil apabila
pebukitan batugamping yang tidak berdekatan
dengan gunung api pun dapat mengalami
proses karstifikasi yang sangat intensif bersamaan

dengan letusan gunung api dahsyat di belahan


bumi yang lain seperti Gunung Api Pinatubo,
Gunung Api Tobapurba, Gunung Api Tambora,
dan Gunung Api Krakatau. Tiupan angin akan
membawa debu dan gas vulkanik ke daerah
pebukitan batugamping di sekitar pusat letusan
gunung api maupun yang amat jauh dari pusat
letusan gunung api. Apabila terjadi hujan maka
terbentuklah hujan asam, kepekatan asam yang
terbentuk sangat tergantung pada media air yang
akan mengencerkannya. Semakin pekat asam yang
terbentuk dan bersentuhan dengan batugamping,
maka segera terjadi proses pelarutan batugamping
tersebut dan menghasilkan larutan gamping pekat
mengikuti struktur geologi yang ada.
Letusan gunung api yang besar menghasilkan
debu dan gas vulkanik dalam jumlah yang sangat
besar, dan segera setelah itu akan bereaksi
dengan air hujan menjadi hujan asam. Jenis
asam yang terbentuk, antara lain: H2SO4, H2CO3,
HCl, HNO3, dan HF. Diantara asam-asam tersebut
ada yang sangat reaktif terhadap batugamping
sehingga akan menjadi pemicu proses pelarutan
batugamping yang merupakan salah satu faktor
di dalam proses karstifikasi.
Geologi Populer 15

Grafik total SO2 versus Waktu setelah letusan. (Sumber Self dkk, 2007)

Debu dan gas vulkanik letusan G. Pinatubo menyebar ke sepanjang katulistiwa. (Sumber
Self dkk, 2007)

Pelamparan debu dan gas-gas vulkanik, serta perbandingan massa campuran


dan ketinggian debu dan gas-gas vulkanik versus waktu setelah letusan.
(Sumber Self dkk, 2007)

Gas-gas vulkanik yang dihasilkan oleh letusan gunung api berupa SO2, CO2, HCl, HF dan debu vulkanik menyebar mengikuti arah angin, akan menghasilkan hujan asam
(Sumber Beget, 1993).
16 W a r t a

Geologi September 2009

Total gas SO2 yang dilontarkan keluar pada saat


letusan Gunung Api Pinatubo versus sehabis
waktu letusan di dalam hari terlihat pada grafik
di bawah. Terlihat bahwa total gas SO2 akan
berkurang cukup signifikan dari waktu setelah
letusan hingga sekitar 170 hari, dari total di atas
10,00 hingga 20,00 megaton menjadi sekitar 0,10
hingga 1,00 megaton. Sehingga terbentuknya
hujan asam dengan kepekatan tinggi sangat
tergantung kepada intensitas curah hujan pada
saat letusan terjadi.
Pelamparan (surface area) debu, gas-gas vulkanik
dan ketinggian debu dan gas-gas vulkanik Gunung
Api Laramie, Lauder, dan Kiruna versus waktu
setelah letusan terlihat pada salah satu gambar.
Pada umumnya berada di bawah maksimum
ketinggian stratospherik, sehingga kemungkinan
besar masih dapat bereaksi dengan hujan hingga
2 - 3 tahun.
Pengaruh Curah Hujan
Curah hujan akan mempengaruhi pembentukan
hujan asam, semakin besar curah hujan yang
terjadi pada saat letusan atau mendekati setelah
letusan, maka akan terjadi pengenceran asam
yang terbentuk, sebaliknya semakin kecil curah

Pembentukan CaCO3 versus kesetimbangan CO2 pada perbedaan temperatur


dari 00 - 400 C, merupakan larutan sangat jenuh atau di bawah larutan jenuh tetapi
bersifat agresif. (Sumber Self dkk, 2007)

hujan yang terjadi maka akan semakin pekat hujan


asam yang terbentuk.
Hujan asam dapat terjadi pada saat atau setelah
letusan gunung api berlangsung kemudian menjadi
media yang melarutkan batugamping. Perubahan
gas CO2 dari fase gas menjadi cairan berupa hujan
asam yang berpotensi menjadi pemicu pelarutan
batugamping kemudian akan berubah bentuk
padat setelah melewati proses pengkristalan dan
pengendapan. Demikian juga berlaku analogi
terhadap gas-gas vulkanik lainnya.
Dengan semakin banyak kekar, retakan dan
rekahan pada lapisan batugamping maka akan
semakin mudah terbentuk proses karstifikasi, yakni
pembentukan gua-gua, endokarst dan esksokarst,
serta meninggalkan bentukan eksokarst berupa
sisa-sisa tubuh batugamping berupa Sinkhole,
Pinacle dengan lubang-lubang pelarutan oleh
hujan asam. Kastning dkk (1999) Sinkhole
terbentuk secara perlahan-lahan sejalan dengan
pelarutan oleh media pada batuan dasar di bawah
permukaan.
Proses pelarutan oleh asam bikarbonat (H2CO3)
adalah sebagai berikut:
CO2 + H2O + CaCO3 -------> (CaHCO3)2
Terlarut dalam aliran, dengan mekanisme sebagai
berikut:
2H2O + 2CO2 -------> 2H2CO3
2H2CO3 -------> 2H2 + 2(HCO3)
2H2+ + 2(HCO3)- + CaCO3 ------> H2O + CO2 +
Ca2 + 2(HCO3)(sebagai larutan bikarbonat)

Grafik perubahan phase gas vulkanik dari bentuk gas-cairan-padat.


( Sumber Prawoto, 2001)
Geologi Populer 17

Pinacle merupakan bagian luar bentuk karstifikasi yang diduga mengalami pelarutan setelah tertimbun debu vulkanik dan tertimpa hujan asam (sumber Anon, 2005).

Endokarst yang terbentuk oleh larutan gamping dengan kepekatan yang tinggi,hal ini hanya dapat dihasilkan dari pelarutan batu gamping oleh media asam yang sangat
pekat atau hujan asam (sumber Anon, 2005).

Pelarutan terjadi sepanjang zona lemah, retakan,


rekahan atau celahan rambut. Maka peranan
geotektonik menjadi sangat penting dalam proses
karstifikasi, di samping larutan asam pekat dari
hujan asam yang terjadi akibat letusan gunung
api, demikian juga analog pada gas-gas vulkanik
yang lainnya.
Semakin kuat (kepekatan tinggi) asam yang
terbentuk akan semakin cepat terjadi pelarutan
batugamping dan terbawa oleh aliran air,
18 W a r t a

Geologi September 2009

sehingga larutan gamping (CaCO3) pekat - sangat


pekat tersebut setelah melewati retakan, rekahan
dan kekar akan membentuk kristal-kristal gamping
berupa Stalagtit, Stalagmit, dan Flowstone.
Proses terjadinya bentukan-bentukan endokarst
tersebut sangat dipengaruhi oleh larutan gamping
(CaCO3) saat melewati bukaan retakan, rekahan
dan kekar dari yang sangat sempit hingga lebar.
Pada bukaan sangat sempit akan membentuk
stalagmit dan stalagtit melalui pengendapan

3. Gas-gas vulkanik yang berasal dari Gunung


Api Muria terletak di utara deretan pebukitan
batugamping Sukolilo berpengaruh terhadap
proses karstifikasi di sayap utara dengan
menghasilkan pelarutan yang sangat pekatpekat sehingga menyebabkan bentukan
indokarst berupa: Stalagmit, Flowstone, dan
bentukan-bentukan lain yang hanya mungkin
dibentuk oleh larutan batugamping sangat
pekat - pekat.
4. Gas-gas vulkanik yang berasal dari Gunung Api
Semeru, Arjuno, Welirang dan Penanggungan
di selatan deretan pebukitan gamping Tuban
kurang berpengaruh terhadap proses karstifikasi
di daerah Tuban karena letaknya terlampau
jauh, sehingga di daerah Tuban kerang banyak
dijumpai bentukan-bentukan indokarst, hanya
berupa gua-gua.
Saran
Dari uraian di atas maka dapat direkomendasikan
bahwa penelitian karstifikasi harus dilakukan
secara terintegrasi antara ketiga kelompok kerja
program di lingkungan Pusat Lingkungan Geologi
dengan kegiatan antara lain:
Sayatan endokarst yang menunjukkan umur perlapisan, dapat dilakukan
carbon dating untuk setiap perlapisan apakah ada kaitannya dengan letusan
gunung api pada saat itu. Di samping itu unsur-unsur pembentuk perlapisan
itu perlu diketahui guna memprediksi jenis asam yang berfungsi sebagai media
pelarut batu gamping.

larutan gamping yang membentuk lapisan kristal


warna-warni tergantung pengotoran larutan dan
jenis asam yang melarutkan batugamping. Pada
bukaan yang cukup lebar akan terjadi bentukan
berupa pengendapan dan pengkristalan gamping
(CaCO3) dari larutan yang sangat pekat yang
meleleh atau mengalir sangat lambat membentuk
flowstone dan bentukan-bentukan endokarst
lain yang sangat aneh, hal tersebut hanya dapat
dibentuk oleh larutan yang sangat pekat dan
larutan tersebut hanya diperoleh pada pelarutan
batugamping oleh asam yang pekat - sangat
pekat.

1. Kajian air tanah di daerah karst guna


pemanfaatan sumber daya alam, pengujian
kandungan kimia air tanah terutama (CaCO3)
terlarut dan unsur-unsur penting lainnya, arah
aliran dan kuantitas/kualitas air tanah.
2. Kajian umur absolut perlapisan pembentuk
endokarst dengan carbon dating, berkaitan
dengan penentuan masih aktif atau tidaknya
proses karstifikasi sudah berhenti akibat tidak
terjadi pasokan gas-gas yang menyebabkan
hujan asam. Pengujian unsur-unsur pembentuk
warna pada perlapisan endokarst dan hipotesa
pembentukan Pinacle serta lubang-lubang
pada eksokarst.n
Penulis adalah Penyelidik Bumi
Pusat Lingkungan Geologi
Badan Geologi

Kesimpulan
1. Penyebab salah satu proses karstifikasi
batugamping di daerah Sukolilo diakibatkan
oleh hujan asam yang disebabkan oleh gas-gas
vulkanik hasil letusan Gunung Api Muria.
2. Penyebab salah satu proses karstifikasi
batugamping di daerah Tuban diakibatkan
oleh hujan asam yang disebabkan oleh gasgas vulkanik hasil letusan Gunung Api Arjuno,
Welirang, Semeru dan Pananggungan.
Geologi Populer 19

Geologi Populer

Peta Geologi Indonesia,


Proses dan Manfaatnya
Oleh: Hamdan Z. Abidin & Baharuddin

alam Era Orde Baru dikenal adanya


program PELITA (Pembangunan Lima
Tahun). Program ini berlaku untuk

pembangunan dalam segala bidang termasuk


pembangunan geologi (kebumian). Salah satu
institusi

yang

menangani

bidang

kebumian

adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan


Geologi (P3G) yang sebelumnya berada di
bawah Dirjen Geologi, dan kemudian di bawah
Badan Litbang Geologi. Sekarang, institusi ini
bernama Pusat Survei Geologi (PSG) dan berada
di bawah Badan Geologi, Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral. Saat era Orde Baru,
tugas utamanya adalah mengeksekusi pemetaan
geologi skala 1:50.000 hingga 1:250.000, dengan
nama kegiatan Proyek Pemetaan Geologi dan
Interpretasi Foto Udara/Geofisika.
20 W a r t a

Geologi September 2009

Sekali waktu berjuang melawan arus Sungai Kapuas, Kalimantan di lain waktu memanfaatkan kuda membawa segala kebutuhan di Padang Lawas,
Sumetera Utara

Pelaksanaan proyek tersebut dimulai pada awal


tahun 1970-an, awal PELITA I, dan berakhir pada
PELITA V tahun 1990-an. Total waktu selama lebih
kurang 25 tahun (78% dari 32 tahun masa Orde
Baru) dihabiskan untuk melaksanakan pemetaan
geologi. Hasil akhir dari proyek ini berupa peta
geologi berskala 1:250.000 (181 lembar),
1:100.000 (58 lembar), 1:50.000, dan skala
1:1.000.000. Pemetaan geologi dengan skala
1:250.000 dilakukan di seluruh wilayah Indonesia,
sedangkan peta skala 1:100.000 terutama
dilakukan di Pulau Jawa dan Madura, dengan
sebagian kecil di Kalimantan dan Sumatra bagian
selatan dan utara. Selain itu, di sejumlah kawasan
terpilih di Jawa, dilaksanakan pula pemetaan
geologi skala 1:50.000. Peluncuran hasil pemetaan
geologi seluruh Indonesia yang berskala 1:250.000
(yang sudah dianggap sempurna) dilakukan pada
17 Agustus 1995 sebagai kado Hari Ulang Tahun
Kemerdekaan RI yang ke-50.
Sejak itu kegiatan pemetaan geologi bersistem
Indonesia tidak dilanjutkan lagi kecuali
menyelesaikan
penerbitan
sebagian
peta
dengan skala 1:100.000 dan 1:1000.000. Sejak
dilaksanakannya otonomi daerah, kegiatan
pemetaan geologi berskala 1:100.000 dilimpahkan
kepada pemerintah daerah. Namun sampai saat ini,
tidak satu pun peta geologi yang diterbitkannya,
karena tidak tersedianya sarana dan sumber daya
manusia (baca tenaga ahli geologi).
PROSES PEMBUATAN PETA GEOLOGI
Untuk menghasilkan sebuah peta geologi,
diperlukan beberapa tahapan, dimulai dari
olah perpustakaan, analisis foto udara dan
citra landsat, pekerjaan lapangan, pengolahan
data dan laboratorium, pembuatan peta
permulaan, penelaahan/kartografi, dan yang
terakhir pencetakan peta dan laporannya untuk
diterbitkan.

Persiapan
Persiapan meliputi penentuan lokasi/daerah
yang akan dipetakan, proposal tentang kegiatan
pemetaan geologi menyangkut latar belakang,
kondisi penduduk, pencapaian daerah pemetaan,
dan personil yang akan terlibat dalam kegiatan
pemetaan. Selain itu perlu dilakukan studi literatur
(perpustakaan) mengenai data geologi dari para
peneliti terdahulu. Yang tidak kalah penting adalah
membuat peta geologi tafsiran yang dikompilasi
dari interpretasi foto udara (sesuai dengan judul
proyek) dan citra landsat. Penekanan interpretasi
foto udara selain geologi tafsiran (litologi dan
struktur) juga penggambaran pola aliran sungai.
Pola aliran ini berguna untuk merencanakan
lintasan geologi yang akan dilewati di lapangan.
Selanjutnya menyiapkan peta dasar, baik dari
hasil interpretasi foto udara atau peta topografi
yang sudah tersedia. Biasanya, untuk melakukan
pemetaan geologi skala 1:250.000, digunakan
peta topografi berskala 1:100.000. Dalam peta
dasar ini, semua indikasi geologi diplot (lokasi,
struktur, litologi, indikasi tambang, cebakan
mineral, batubara, indikasi fosil, rembesan minyak,
dll.). Tentu hal yang tidak boleh dilupakan adalah
peralatan pemetaan geologi seperti kompas,
palu, loupe, kamera, GPS, dan tenda. Hal terakhir
adalah menyiapkan surat-surat untuk pemerintah
daerah tempat kegiatan pemetaan akan dilakukan.
Apabila persiapan awal ini dapat dibuat dengan
sempurna, maka pekerjaan lapangan akan berjalan
dengan baik.
Kegiatan Lapangan
Pekerjaan lapangan merupakan tahapan inti
pemetaan geologi. Tujuan utama dalam kegiatan
lapangan adalah untuk melakukan pendataan
semua jenis batuan, pengambilan percontoh
batuan, pengukuran jurus/kemiringan lapisan dan
struktur geologi, dan lain-lain. Dalam melakukan
Geologi Populer 21

Geologi Populer

Menyeberangi lembah sedalam puluhan meter dengan jembatan gantung di Taput, Sumatra Utara atau diangkut helicopter menyusuri Sungai Mahakam,
K alimantan.

Base Camp di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar dan suasana di dalamnya.

pemetaan geologi, tidak ada pekerjaan individu


kecuali kerja tim. Dalam satu tim dibutuhkan
personil sekitar 15 orang, mulai ahli geologi,
asisten ahli geologi, surveyor/teknisi, pengemudi,
dan pemandu lokal. Umumnya kegiatan lapangan
untuk satu lembar peta skala 1:250.000 dilakukan
dalam 2 sesi (tergantung tingkat kesulitan
lapangan). Pada kegiatan lapangan sejak 1968
hingga 1978, setiap sesi dilakukan selama 3 bulan,
bahkan jika dianggap perlu bisa dilakukan sampai
4 bulan, dengan jumlah keseluruhan per tahun 6
7 bulan. Namun sejak 1979 1989, setiap sesi
hanya dilaksanakan selama 2 bulan, bahkan dalam
kurun waktu 1990 1996 hanya 1 bulan.
Dalam melakukan pekerjaan lapangan, tim dibagi
menjadi beberapa subtim yang masing-masing
terdiri atas 2 4 orang dengan susunan 1 ahli
geologi dan 1 surveyor, atau 2 asisten ahli geologi,
ditambah tenaga setempat. Kegiatan lapangan
ini dilaksanakan dengan 2 cara, yaitu bertempat
tinggal tetap (base camp) apabila lokasi pemetaan
dapat dicapai dalam sehari pulang pergi, dan
dengan cara berpidah-pindah (fly camp) apabila
lintasannya panjang.
22 W a r t a

Geologi September 2009

Analisis Laboratorium
Analisis laboratorium merupakan salah satu
bagian penting dalam penyelesaian peta geologi.
Sejumlah percontoh batuan yang terpilih yang
mewakili setiap kelompok batuan dianalisis secara
petrografis (mineralogi batuan), geokimia batuan,
pentarikhan, kandungan fosil dll. Dari hasil analisis
laboratorium ini dapat diketahui jenis, komposisi,
umur batuan,
lingkungan
pengendapan,
serta jenis fosil yang terdapat di dalamnya. Dengan
demikian akan memudahkan mengkompilasi
satuan unit geologi yang mempunyai karakter
sama (kimiawi, komposisi, umur dll.) ke dalam
peta geologi, sedangkan percontoh batuan yang
merupakan hand specimen disimpan sebagai
koleksi Museum Geologi.
Kompilasi Peta Geologi
Data yang diperoleh di lapangan tidak serta-merta
bisa menghasilkan peta geologi yang memenuhi
persyaratan. Seperti telah disebutkan di atas,
pekerjaan pemetaan geologi merupakan pekerjaan
tim. Oleh karena itu, seseorang yang bertanggung
jawab dalam penyelesaian peta geologi tersebut
(Kepala Tim) harus berkomunikasi dengan anggota

Plotting data awal (primer) lapangan dalam peta topografi.

tim. Semua data lapangan yang diperoleh dari


anggota tim dikumpulkan dan didiskusikan serta
diplot ke dalam peta dasar yang telah tersedia. Data
awal yang harus diplot dalam peta dasar adalah
lokasi pengambilan setiap percontoh, jenis litologi
(batuan sedimen, batuan beku/terobosan, batuan
gunung api, batuan malihan, maupun alluvial),
struktur geologi (sesar dan lipatan), serta jurus dan
kemiringan lapisan batuan. Pekerjaan selanjutnya
adalah membuat kompilasi data subtim dan diplot
berupa peta geologi kompilasi. Pada tingkat ini
sudah tergambar batas litologi, struktur dan
lainnya. Selanjutnya, runtunan beberapa litologi
baik berdasarkan litologi sejenis, maupun umur,
disatukan sehingga membentuk suatu unit batuan
yang dikenal dengan formasi, dan lebih tinggi
dari formasi disebut kelompok. Oleh karena
itu, dalam peta geologi banyak ditemukan nama
formasi yang terdiri atas beberapa unit litologi.
Peta yang dihasilkan dari kompilasi dari data
lapangan dan interpretasi foto udara berupa peta
dua warna (belum diwarnai secara standar tetapi
setiap unit batuan sudah diberi notasi/simbol).
Sampai tahap ini, kondisi peta geologi masih
terbuka untuk diperbaiki atau diedit oleh ahli
lainnya (penyunting) sehingga masih disebut peta
open file (terbuka untuk menerima perbaikan
dan saran serta tambahan data lainnya). Peta

open file tersebut adalah peta dua dimensi


yang menggambarkan tentang pelamparan
litologi/formasi secara lateral. Untuk mengetahui
posisi runtunan batuan secara vertikal (tegak)
dibuat beberapa irisan penampang tegak, yang
memberikan gambaran hubungan antara batuan
dan ketebalan setiap litologi/formasi (takselaras/
selaras) serta hubungan antara batuan yang
diterobos maupun batuan yang menerobos.
Proses Penerbitan Peta
Sentuhan terakhir setelah peta disunting adalah
pewarnaan standar, misalnya unit batu granit
diberi warna merah, batupasir diberi warna kuning,
dan batugamping warna biru. Peta tersebut
sudah dilengkapi dengan data umur, petrografi,
kimia, kandungan fosil, dan sumber daya geologi.
Sebelum dikirim ke percetakan, dilakukan dulu
pengecekan terakhir oleh tim pemetaan untuk
dikoreksi kemudian dicetak dan diterbitkan.
MANFAAT PETA GEOLOGI
Sebagai peta yang memuat beragam informasi
geologi semisal jenis litologi, umur batuan,
struktur geologi, perkembangan tektonik daerah
bersangkutan, keberadaan fosil, dan sumber daya
geologi, maka peta geologi sangat berguna bagi
usaha pertambangan, pertanian, teknik sipil,
dan mitigasi bencana geologi. Sebagai institusi,
Geologi Populer 23

Salah satu produk peta geologi skala 1:250.000

Contoh peta plotting struktur (jurus/kemiringan), sebelum dipindahkan ke dalam peta open
file (terbuka). Bagian Lembar Putussibau, Klabar skala 1:250.000.

Pusat Survei Geologi (dahulu Pusat Penelitian dan


Pengembangan Geologi) identik dengan Peta
Geologi yang dikenal sangat luas di dalam dan
luar negeri. Sangat disayangkan pemetaan geologi
Indonesia belum tuntas dikerjakan karena proyek
semacam itu tidak ada lagi di masa Era Reformasi
ini.
24 W a r t a

Geologi September 2009

Contoh peta dua warna (open file), bagian Lembar Putussibau, Kalbar skala 1:250.000

KERJA SAMA PEMETAAN GEOLOGI


Untuk menyelesaikan peta geologi Indonesia
pada masanya, Pusat Survei Geologi telah bekerja
sama dengan beberapa lembaga asing seperti
Jepang (JICA), Australia (BMR/AGSO), Amerika
(USGS), Inggris (BGS), Perancis (BRGM), Inggris
(Proyek CTA-36), dan South Sumatra Geological

Indeks Peta Geologi Indonesia skala 1:250.000 dan 1:100.000.

Mapping and Exploration Project (SSGMEP), dll.


Proyek kerjasama pemetaan geologi ini tersebar di
seluruh Indonesia seperti di Sumatra (BGSUSGS),
Kalimantan (JICA-IAGMP-BRGM) dan Irian Jaya
(IAGMP). Dengan adanya kerja sama ini di
samping mempercepat penyelesaian pemetaan
geologi juga sebagai pelatihan dan penambahan
wawasan bagi para ahli geologi Indonesia.
PENUTUP
Tidak diragukan lagi bahwa peta geologi
merupakan bahan dasar utama untuk kegiatan
geologi berikutnya, baik untuk ilmiah (penelitian)
maupun untuk terapan. Selain itu, peta geologi
juga bermanfaat bagi ilmu multidisiplin seperti
pertanian, pertanahan, pembangunan jalan raya,
waduk, bangunan raksasa, dan pembangunan
kota. Pusat Survei Geologi, satu-satunya lembaga
pemerintah di bawah Badan Geologi yang telah
mengeksekusi pelaksanaan pemetaan geologi
di seluruh Indonesia selama lebih kurang 25
tahun dalam pemerintahan Orde Baru. Peta
geologi berskala 1:250.000 dan 1:100.000
telah diterbitkan. Peta geologi skala 1:250.000
telah selesai dilaksanakan di seluruh Indonesia,
sedangkan peta geologi skala 1:100.000 hanya

terbatas di Pulau Jawa dan di sebagian kecil


Sumatra Utara dan Selatan, serta Kalimantan
Selatan. Selebihnya adalah pekerjaan yang tertunda
dan menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah
sebagai amanat dari otonomi daerah.
Sesungguhnya masih banyak pekerjaan pemetaan
yang tertunda bahkan belum tersentuh sama
sekali, misalnya peta geologi yang lebih rinci (skala
kecil, 1:50.000 atau 1:25.000). Selain itu wilayah
perbatasan antara negara (Kalimantan - Malaysia,
Irian Jaya - Papua Nugini) merupakan daerah
yang sangat kritis yang perlu dilakukan penelitian
terpadu termasuk pemetaan geologi karena hal
tersebut menyangkut kedaulatan NKRI.n
Kedua Penulis adalah Pejabat Fungsional Peneliti
Pusat Survei Geologi
Badan Geologi

Geologi Populer 25

Lintasan Geologi

Bukit Urug Hanafi


Longsor Kembali
Oleh: Donny Hermana

abu siang (2 September 2009, pukul


14.55 wib) saat mentari masih menyisakan
terik panasnya dan mulai bergeser ke

ufuk barat, tanah tempat penulis berpijak tibatiba berguncang. Guncangan terasa berlangsung
beberapa

menit

dengan

kekuatan

semakin

lama semakin besar. Penulis dengan spontan


menyelamatkan diri, begitu pula beberapa teman
di sekitar penulis. Belakangan penulis mengetahui
bahwa guncangan tersebut merupakan gempa
bumi tektonik berkekuatan 7,3 skala Richter yang
terjadi akibat berbenturnya dua lempeng di bawah
permukaan bumi. Pusat gempa berada di dasar
laut pada kedalaman 30 km, sekitar 142 km arah
barat daya Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Gempa tersebut menggoyang hampir seluruh
pantai selatan Pulau Jawa dengan pengaruh paling
besar terjadi di bagian barat Pulau Jawa.
26 W a r t a

Geologi September 2009

Bukit Urug Hanafi yang mengalami longsor untuk kedua kalinya, kali ini menelan korban yang lebih banyak.

Gempa bumi yang berskala besar ini tentu


berdampak besar terutama bagi penduduk yang
berdomisili tidak jauh dari pusat gempa. Salah
satu akibatnya adalah kerusakan bangunan rumah
penduduk, gedung perkantoran, sarana ibadah,
dan prasarana lainnya. Berdasarkan data yang
dihimpun oleh Satkorlak PBP Provinsi Jawa Barat
sampai 5 September 2009, kerusakan yang terjadi
akibat gempa bumi tanggal 2 September tersebut
adalah sebagai berikut:

Data Kerusakan dan Korban


KOTA/
KABUPATEN

Bangunan

Meninggal
dunia

Luka-luka

Hilang

Mengungsi

Kab Tasikmalaya

827

90

450

Kota Tasikmalaya

26

22

3.387

Kab Garut

44

135

8.195

Kab Bandung

53

11

355

5.661

Kab Bandung Barat

70

21

Kab Sukabumi

211

18

60

Kab Cianjur

53

26

26

11.787

Kab Kuningan

23

287

Kab Bogor

663

Kab Ciamis

733

158

473

Data Kerusakan dan korban jiwa akibat gempabumi 2 September 2009

Wilayah yang terkena dampak cukup besar


adalah Kabupaten Cianjur (26 meninggal dunia
dan 11.787 mengungsi). Oleh karena itu penulis
berencana mengunjungi
lokasi bencana di
kabupaten itu. Dua hari pasca gempa, penulis
menelusuri wilayah Kabupaten Cianjur menuju
Kampung Babakan Caringin, Desa Cikangkareng,
Kecamatan Cibinong. Lokasi tersebut berada 167
km dari Kota Bandung, atau 24 km dari Kota
Kecamatan Cibinong. Untuk mencapai wilayah
tersebut diperlukan perjuangan ekstra karena
sarana jalan masih berupa jalan bebatuan,
dengan kiri kanannya diapit oleh perbukitan, serta
lembah dan jurang yang cukup dalam. Salah satu
perbukitan itu adalah Bukit Urug Hanafi yang
masuk dalam wilayah RT 01 RW 04, Kampung
Babakan Caringin. Bukit tersebut menjadi terkenal
karena pada tahun 1957 mengalami longsor
sehingga menutupi (mengurug) areal sekitarnya.
Peristiwa ini menewaskan seorang tokoh
masyarakat yang bernama Haji Hanafi. Untuk
mengenang peristiwa mengenaskan tersebut,
masyarakat setempat memberi nama pada sisa
bukit tersebut dengan Bukit Urug Hanafi yang
berarti bukit yang menimbun Haji Hanafi. (Sumber:
Tokoh Masyarakat Desa Cikangkareng).
Menurut penuturan penduduk di lokasi kejadian,
sekitar tiga puluh menit sesudah getaran gempa
mereda, tepatnya pada pukul 15.32 wib, Bukit Urug
Hanafi seakan terbelah dan melongsorkan jutaan
Lintasan Geologi 27

Lintasan Geologi

Tinggal di lembah, di bawah bukit yang tidak stabil adalah keputusan yang tidak tepat. Jangan pernah berhenti belajar.

28 W a r t a

Geologi September 2009

Bebatuan berbagai ukuran menimbun pemukiman. Manusia memang kecil dan tidak berdaya, oleh karena itu sebaiknya berbagi dengan alam.

meter kubik bebatuan berbagai ukuran. Longsor


kering yang tidak diawali oleh hujan tersebut
disertai suara gemuruh kuat dan kepulan asap
putih yang membumbung tinggi bergerak menuju
wilayah pemukiman RT 04 RW 01, Kampung
Babakan Caringin. Sebanyak 53 jiwa di dalam
17 rumah tidak dapat menghindari terjangan
bebatuan yang mengalir sangat kuat. Dalam sekilat
rumah-rumah itu digulung bongkah bebatuan
hingga rata dengan tanah. Material longsor
sekaligus menimbun jalan menuju Pamoyanan
dan menimbun seperempat Rawa Hideung yang
berada tidak jauh dari lokasi tersebut. Hamparan
material berupa bebatuan berbagai ukuran
diperkirakan sepanjang 250 m, lebar 50 m, dan
tinggi 10 m. Sangat disayangkan peristiwa longsor
puluhan tahun yang lalu hanya mengabadikan
nama seorang tokoh, tetapi belum memberikan
pelajaran bagaimana menata lingkungan hidup
dengan benar. Peristiwa gempa bumi 2 September
2009 membuktikan bahwa Bukit Urug Hanafi
longsor kembali karena digoyang gempa dan kali
ini, bukan hanya seorang yang menjadi korban,
tetapi puluhan warga yang meninggal karena
tertimbun (terurug) bebatuan. Untung tidak dapat

diraih, malang tidak dapat ditolak, peristiwa naas


tersebut memang tidak bisa dihindari, tetapi yang
harus menjadi pelajaran adalah bahwa bermukim
di suatu lembah di bawah suatu bukit yang tidak
stabil adalah keputusan yang tidak tepat.n
Penulis adalah Pranata Humas Madya
Pusat Survei Geologi
Badan Geologi

Lintasan Geologi 29

Lintasan Geologi

Dampak Gempa Tasikmalaya,


2 September 2009
Ditinjau dari Sisi Lingkungan Geologi
Oleh: Rudy Suhendar, Oki Oktariadi,
Agus Kustaman

anggal

September

2009,

pukul

14.54 WIB terjadi gempa bumi yang


menggoyang sebagian besar Pulau Jawa.

Gempa bumi tersebut berpusat pada lokasi 8,24o


LS 107,32o BT atau 115 km (Badan Geologi) atau
142 km (BMKG) sebelah barat daya Tasikmalaya
dengan kedalaman 49,5 km (Badan Geologi)
atau 30 km (BMKG) berkekuatan 7,3 pada Skala
Richter. Menurut Badan Geologi, penyebab gempa
tersebut adalah pergerakan sesar aktif yang berada
di bawah dasar laut dengan mekanisme sesar
naik. Gempa tersebut tidak menimbulkan tsunami
karena tidak mempunyai energi yang cukup untuk
meretakkan dasar laut.
30 W a r t a

Geologi September 2009

Gempa bumi Tasikmalaya tersebut menggoncang


dan merusak wilayah selatan dan tengah Pulau
Jawa bagian barat, seperti wilayah Sukabumi,
Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis,
sebagian Kuningan, dan Cilacap. Sedangkan
getarannya dirasakan hingga bagian utara Pulau
Jawa. Kerusakan yang terjadi lebih diperparah
karena memicu tejadinya gerakan tanah.
Pusat Lingkungan Geologi (PLG) sebagai unit
di bawah Badan Geologi yang memiliki fungsi
melaksanakan penilaian terhadap terjadinya
perubahan fenomena geologi yang terkait
dengan faktor lingkungan guna memberikan
arahan pengelolaan lingkungan dan penataan
ruang, perlu melakukan suatu identifikasi untuk
mengetahui hubungan antara kerusakan akibat
gempabumi dan lingkungan geologi. Berkaitan
dengan itu, pada 4, 5, dan 9 September
2009, PLG mengirimkan tim untuk melakukan
peninjauan ke beberapa lokasi yang mengalami
kerusakan, yaitu Cikole (Kabupaten Ciamis), Kota
Tasikmalaya, Manonjaya, Cigalontang, Cibalong,
Cipatujah (Kabupaten Tasikmalaya), Pameungpeuk
(Kabupaten Garut), dan Rancabali, Pangalengan
(Kabupaten Bandung).
Dalam tulisan ini diuraikan keadaan lingkungan
yang diakibatkan oleh kejadian bencana gempa
bumi di beberapa lokasi yang didatangi secara
terpilih oleh Tim. Uraian menyangkut faktor geologi
lingkungan, seperti kondisi topografi, batuan
dasar, ketebalan tanah pelapukan dan keberadaan
struktur geologi serta terjadinya retakan-retakan
pada permukaan tanah. Dari hal tersebut akan
terlihat kedepan peranan geologi lingkungan
dalam memberikan masukan penataan ruang
pemukiman di wilayah perkotaan dan pedesaan.
a.Cikole, Kabupaten Ciamis
Kampung Cikole, masuk dalam wilayah Kecamatan
Cihaurbeuti, Kabupaten Ciamis. Secara topografi
lokasi yang dilanda kerusakan berupa pedataran
yang disusun oleh batuan endapan vulkanik.
Tanah pelapukannya diperkirakan berupa pasir
lempungan dengan ketebalan > 5 m, tidak
ditemukan indikasi struktur geologi disekitar
permukaan. Kerusakan fisik sebagian besar adalah
bangunan rumah tinggal dan rumah ibadah
berupa terlepasnya ikatan struktur bangunan,
sehingga runtuhnya dinding bangunan. Bangunan
yang memiliki tulang beton hampir tidak terjadi
kerusakan. Tidak dijumpai retakan tanah di
permukaan sehingga kerusakan terjadi karena
getaran gempa yang cukup tinggi.

Sebuah rumah berdinding tembok di Kampung Cikole umumnya runtuh karena tidak memiliki
struktur tulang-tulang beton.

Satu-satunya bangunan yang runtuh di Kota Tasikmalaya.

b.Kota Tasikmalaya
Kota Tasikmalaya yang terletak di daerah yang
hampir datar dengan batuan dasar endapan
vulkanik dan aluvial. Tanah pelapukannya berupa
pasir lempungan hingga pasir kerikilan dengan
ketebalan bervariasi antara 1 hingga > 5 m.
Tidak terdapat struktur geologi yang muncul di
permukaan.
Kerusakan yang signifikan hanya terlihat satu
bangunan yang terletak di Jalan Cihideung yang
secara visual berupa bangunan lama, sedangkan
sisi kanan dan kiri yang relatif bangunan baru
(dikategorikan berstruktur bangunan baik) tetap
kokoh. Retakan dan rontok kecil pada pelapis
dinding tembok (plesteran) merupakan hal yang
umum terlihat.
Lintasan Geologi 31

Lintasan Geologi
c.Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya
Manonjaya terletak sekitar 15 km sebelah selatan
Kota Tasikmalaya dengan kondisi topografi berupa
pedataran yang disusun oleh endapan vulkanik,
tidak ditemukan struktur geologi yang muncul di
sekitar permukaan.
Kerusakan yang sangat signifikan adalah
robohnya balok penyangga serambi mesjid yang
mengakibatkan runtuhnya atap bangunan.
Bangunan lain hanya retak bagian plesterannya,
bahkan kebanyakan masih utuh.
Mesjid Agung Manonjaya yang roboh bagian depannya.

Rumah panggung aman dari gempa di Cigalontang

d.Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya


Secara topografi wilayah Kampung Jayapura, Desa
Lengkong Jaya, Kecamatan Cigalontang terletak
pada daerah perbukitan rendah yang disusun
oleh batuan endapan gunungapi muda. Tanah
pelapukannya berupa pasir lempungan hingga
kerikilan. Daerah ini memiliki banyak lembah dan
beberapa kelurusan-kelurusan yang diduga berupa
patahan lokal berdimensi kecil.
Kerusakan bangunan baik rumah maupun sarana
umum yang diakibatkan oleh kejadian gempa bumi
di wilayah Cigalontang ini hampir merata dengan
tingkat kerusakan dari berat sampai ringan.
Hampir semua bangunan yang berkonstruksi
tembok umumnya mengalami kerusakan yang
cukup signifikan, terutama yang letaknya sekitar
lereng bukit (bagian atas tebing). Sedangkan
bangunan yang terbuat dari kayu atau bambu
yang berupa rumah panggung betul-betul utuh,
tidak terpengaruh oleh gempa bumi.
e.Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya
Cibalong terletak di bagian selatan Kota
Tasikmalaya, topografinya berupa perbukitan
dan sedikit pedataran bergelombang. Batuan
penyusunannya endapan vulkanik dan sedimen,
sedangkan ketebalan tanah pelapukannya relatif
cukup tebal, terutama di daerah sekitar lembah.

Salah satu bangunan rumah yang roboh di Cibalong, berdinding tembok


sederhana dan berada di sekitar lereng.

Kerusakan bangunan rumah yang terjadi di Desa


Eureun palay, Kecamatan Cibalong, ini umumnya
pada bangunan rumah bertembok sederhana
tanpa penulangan beton dan berada di sekitar
tebing atau lereng.
f.Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya
Topografi wilayah Cipatujah berupa perbukitan
dan pedataran pantai yang disusun oleh batuan
endapan sedimen, dengan tanah pelapukan yang
relatif tipis.

Bangunan fasilitas wisata masih di pantai Cipatujah tetap kokoh


32 W a r t a

Geologi September 2009

Di daerah pantai tidak terlihat kerusakan bangunan


akibat gempa. Bangunan cukup kokoh, terutama
fasilitas umum (wisata) pantai. Getaan gempa
hanya menjatuhkan atap genting. Tidak dijumpai
adanya rekahan-rekahan dipermukaan.

Mesjid Agung di Kota Pameungpeuk tetap kokoh.

Bangunan rubuh ykarena tiang penyangganya patah.

g.Pameungpeuk, Kabupaten Garut


Kota Kecamatan Pameungpeuk terletak di bagian
selatan Kabupaten Garut. Topografi wilayah
ini berupa pedataran bergelombang yang
disusun oleh batuan sedimen. Ketebalan tanah
pelapukannya relatif tipis dibandingkan dengan
daerah di sekitar pedataran pantainya.
Kerusakan bangunan umumnya terjadi retakan
dan terlepasnya plesteran tembok dinding dan
sebagian besar pada bangunan-bangunan lama.
Banyak bangunan kokoh yang masih utuh, seperti
mesjid dan beberapa bangunan lainnya.

Bangunan-bangunan yang roboh sepanjang jalan Cikelet - Pameungpeuk.

h.Cikelet, Kabupaten Garut


Wilayah ini berupa pedataran pantai yang disusun
oleh endapan aluvial dengan pelapukan cukup
tebal, tidak dijumpai strukur geologi yang di
permukaan.
Kerusakan bangunan, khususnya rumah penduduk
banyak dijumpai di Desa Pamalayan. Hampir seluruh
rumah yang terbuat dari tembok mengalami
kerusakan yang cukup berat, baik dinding maupun
atap rumah yang hancur. Kerusakan di desa ini
cukup homogen dibandingkan dengan di tempat
lain.
Lintasan Geologi 33

Dinding rumah pemukiman yang roboh di Rancabali.

Dengan struktur bangunan yang sesuai, rumah ini tetap kokoh berdiri.
34 W a r t a

Geologi September 2009

Rumah panggung yang telah berusia 90 tahun tetap berdiri kokoh. Kerusakan hanya beberapa plesteran dindingnya yang terkelupas.

i.Rancabali, Kabupaten Bandung


Daerah ini merupakan wilayah Perkebunan Teh
Rancabali berupa perbukitan bergelombang yang
disusun oleh endapan vulkanik muda dengan
tanah pelapukan yang cukup tebal. Banyak
dijumpai kelurusan lereng yang diduga sebagai
garis atau zona struktur geologi.
Kerusakan bangunan terjadi pada rumah-rumah
pemukiman perkebunan teh yang terbuat dari
tembok, sedangkan bangunan pemukiman yang
terbuat dari kayu tidak mengalami kerusakan.
j.Pangalengan, Kabupaten Bandung
Topografi wilayah Pangalengan berupa perbukitan
bergelombang yang disusun oleh endapan vulkanik
muda dengan pelapukan yang relatif tebal.
Kerusakkan bangunan yang diakibatkan oleh
gempa bumi 2 September 2009 hampir merata
terutama yang berada di bagian lereng dan dasar
lembah. Kerusakan yang terjadi berupa terlepasnya
tahanan dinding bangunan, terutama pada
bangunan bertembok sederhana (tanpa tulang
beton), bahkan pada bangunan bertulang betonpun, terutama di yang posisinya berada disekitar
lereng atau ujung lereng, juga mengalami kerusakan
berat. Beberapa rumah dengan konstruksi yang
sesuai dengan kaidah struktur bangunan terlihat
kokoh, tidak ada satu retakanpun yang dijumpai
pada bagian dindingnya.

Dengan struktur bangunan yang sesuai, rumah ini


tetap kokoh berdiri
Rumah panggung yang telah berusia 90 tahun
tetap berdiri kokoh. Kerusakan hanya beberapa
plesteran dindingnya yang terkelupas.
Kesimpulan dan Saran
Dari peninjauan singkat ini dapat disimpulkan
bahwa, secara geologi lingkungan kerusakan
bangunan yang terjadi akibat gempa bumi yang
melanda bagian selatan dan tengah Pulau Jawa
Bagian Barat adalah sebagai berikut :
a.Topografi
tempat
berdirinya
bangunan
berpengaruh terhadap tingkat kerusakan
b.Adanya kelurusan-kelurusan lembah yang
diduga sebagai penguat getaran
c.Ketebalan tanah pelapukan dan batuan induk
dibawahnya berperan dalam kerusakan
bangunan di atasnya
d.Kualitas bangunan, terutama di wilayah
pedesaan pada umumnya tidak sesuai dengan
struktur bangunan yang tahan gempa
e.Pusat Geologi Lingkungan perlu meningkatkan
perannya dalam pengarahan tata ruang untuk
pembangunan, terutama di daerah pedesaan.n
Para Penulis adalah Penyelidik Bumi
Pusat Lingkungan Geologi
Badan Geologi
Lintasan Geologi 35

Geo Fakta

Louis Agassiz
Ahli Geologi

Jean Louis Rodolphe Agassiz


28 Mei 1807- 14 Desember 1873

Jean Louis Rodolphe Agassiz (28 Mei 1807- 14


Desember 1873) adalah seorang paleontologist,
glaciologist, dan ahli geologi, dan merupakan
pembaru yang menonjol dalam ilmu bumi dan
alam. Ia dibesarkan di Swiss dan menjadi profesor
sejarah alam di University of Neuchatel. Kemudian,
ia menerima sebuah gelar profesor di Harvard
University Amerika Serikat.
Louis Agassiz dilahirkan di Mtier (sekarang bagian
dari Haut-Vully) di distrik Fribourg, Swiss. Agassiz
menyelesaikan studi SD-nya di Lausanne dan
menghabiskan empat tahun di sekolah menengah
Bienne. Setelah menggeluti profesi sebagai
ahli obat, ia kemudian berturut-turut belajar di
perguruan tinggi dari Zrich, Heidelberg dan
Munich. Khususnya pengetahuan tentang sejarah
alam dan botani. Pada tahun 1829 ia menerima
gelar Doctor of Philosophy di Erlangen, dan pada
tahun 1830 memperoleh Doctor of Medicine di
Munich. Pindah ke Paris, ia mendapat bimbingan
intensif di bawah pengawasan dari Alexander
36 W a r t a

Geologi September 2009

von Humboldt dan Georges Cuvier, itulah yang


membuat karirnya bergeser untuk menggeluti
geologi dan zoology.
Pada tahap awal karirnya di Neuchatel, Agassiz
juga membuat dirinya sebagai peneliti yang piawai
untuk departemen ilmiah. Dibawah naungannya
Universitas Neuchatel segera menjadi lembaga
terdepan untuk penyelidikan ilmiah.
Pada periode 1819-1820, von Johann Baptist Spix
dan Carl Friedrich Philipp von Martius telah terlibat
dalam sebuah ekspedisi ke Brasil, dan mereka
kembali ke Eropa, antara lain berhasil mengkoleksi
benda alam. Mereka membawa pulang satu
set ikan air tawar yang penting dari Sungai
Amazon. Spix, yang meninggal pada 1826, tidak
hidup cukup lama untuk meneliti sejarah ikan
ini, dan Agassiz (yang masih segar karena baru
menyelesaikan sekolah) telah dipilih oleh martius
untuk tujuan ini. Tugas menjelaskan ikan Amazon
telah diselesaikan dan diterbitkan pada 1829.

Geofakta 37

Geo Fakta

Kemudian ini diikuti oleh penelitian sejarah ikan


danau Neuchatel. Pada 1830 ia mengeluarkan
prospektus a History of the Freshwater Fish of
Central Europe. Pada 1832 ia ditunjuk sebagai
profesor sejarah alam di University of Neuchatel.
Ia kemudian tertarik mempelajari lebih mendalam
tentang fosil ikan.
Awal 1829, berhasil menerbitkan pekerjaan
yang lebih dari yang lain, dan meletakkan dasar
yang terkenal di seluruh dunia. Lima volume
menghasilkan Recherches sur les poissons
fossiles muncul pada interval 1833-1843. Dalam
mengumpulkan bahan-bahan untuk pekerjaan ini,
Agassiz mengunjungi museum utama di Eropa,
dan bertemu Cuvier di Paris, ia menerima banyak
dukungan dan bantuannya.
Agassiz menemukan bahwa perlu dibuat klasifikasi
palaeontologi berdasar ichthyologi. Terutama
terdiri dari gigi, dan skala, bahkan tulang yang
relatif sempurna diawetkan dalam beberapa kasus.
Karena itu ia mengadopsi klasifikasi ikan yang
dibagi menjadi empat grup: Ganoids, Placoids,
Cycloids dan Ctenoids, berdasarkan sifat dari skala
appendage yg berhubung dgn kulit dan lainnya.
38 W a r t a

Geologi September 2009

Sebanyak 1290 gambar asli yang dibuat untuk


pekerjaannya yang telah dibeli dan disajikan
dalam Geological Society of London. Pada 1836
Wollaston Medal telah diberikan kepada Agassiz
untuk karyanya pada ilmu pengetahuan dan
fosil tentang ikan, dan pada 1838 ia terpilih
sebagai anggota kehormatan Royal Society.
Pada 1837 ia mengeluarkan Prodrome dari
monografi baru fosil Echinodermata, dan pada
1839-1840 ia menerbitkan dua quarto volume
pada fosil Echinoderms dari Swiss, dan akhirnya
ia meluncurkan Etudes sur les kritik mollusques
fossiles tahun 1840-1845.
Pada tahun 1837 Agassiz adalah yang pertama
secara ilmiah untuk mengusulkan bahwa Bumi
telah terganggu dari zaman es. Pada tahun 1860,
satu tahun setelah Darwin menulis bukunya: On
the origin of species, Agassiz telah menunjukkan
sifat spekulatip dari buku Darwin. Data yang
betul-betul ilmiah tidak mendukung teori evolusi.
Sepanjang hidupnya Agassiz menentang teori
evolusi.

Makam Louis Agassiz.

Karya-karya penting
Recherches sur les poissons fossiles (18331843)
History of the Freshwater Fishes of Central
Europe (1839-1842)
Etudes sur les glaciers (1840)
Etudes critiques sur les mollusques fossiles
(1840-1845)
Nomenclator Zoologicus (1842-1846)
Monographie des poissons fossiles du Vieux
Gres Rouge, ou Systeme Devonien (Old Red
Sandstone) des Iles Britanniques et de Russie
(1844-1845)
Bibliographia Zoologiae et Geologiae (1848)
(with AA Gould ) Principles of Zoology for the
use of Schools and Colleges (Boston, 1848)
Lake Superior: Its Physical Character, Vegetation
and Animals, compared with those of other
and similar regions (Boston: Gould, Kendall and
Lincoln , 1850)
Natural History of the United States (Boston:
Little, Brown, 1847-1862)

Geological Sketches (Boston: Ticknor & Fields,


1866)
A Journey in Brazil (1868)
De lespce et de la classification en zoologie
[Essay on classification] (Trans. Felix Vogeli. Paris:
Bailire, 1869) De lespce et de la klasifikasi id
zoologie
Geological Sketches (Second Series) (Boston: JR
Osgood, 1876)
Essay on Classification, by Louis Agassiz (1962,
Cambridge)
Numbers, Ronald L., The Creationists: From
Scientific Creationism to Intelligent Design, 2nd
ed., 2006.
Early Classics in Biography, Distribution, and
Diversity Studies: to 1950.n
Joko Parwata
Penulis adalah Fungsional Perencana
Sekretariat Badan Geologi
Badan Geologi

Geofakta 39

PROFIL

.rasa
terhadap

kecintaan yang

besar

fosil yang membuat saya


bertahan dengan segala

kondisi yang ada.

Iwan Kurniawan,
Penemu Fosil Gajah di Blora tahun 2009
Bulan Maret tahun 2009 kemarin, Museum Geologi
dan dunia penelitian vertebrata dihebohkan
dengan penemuan spektakuler berupa fosil gajah purba elephas sp di Dusun Sunggun,
Kelurahan Medalem, Kradenan, Kabupaten Blora,
Jawa Tengah oleh tim penelitian vertebrata Museum Geologi, Badan Geologi, yang diketuai oleh
Iwan Kurniawan. Temuan gajah purba elephas
sp di Blora tersebut sangat penting karena dapat
memberikan pencerahan terhadap upaya mengungkapkan missing link evolusi gajah purba
di Asia Tenggara, perubahan iklim, dan vegetasi
masa lalu pada perioda tersebut. Temuan ini pun
merupakan hadiah terindah Tim Penelitian Vertebrata karena bertepatan dengan Ulang Tahun Museum Geologi yang ke-80 (Dasa Windu). Hal tersebut merupakan buah dari ketekunan dan keuletan
Iwan bersama seluruh tim vertebrata yang dipimpinnya dalam melaksanakan tugas sebagai salah
seorang ahli paleontologi vertebrata di Museum
Geologi. Untuk mengetahui lebih dekat sosok
40 W a r t a

Geologi September 2009

seorang ahli paleontologi vertebrata yang tampil


sederhana dan dikenal rendah hati tersebut, tim
Warta Geologi berbincang-bincang dengan Iwan
Kurniawan di sela-sela kesibukannya dalam mempreparasi temuan terbarunya itu di ruang kerjanya.
WG berkepentingan melakukan wawancara mendalam ini untuk lebih memperkenalkan sosok
seorang yang tekun dan memiliki kecintaan yang
besar terhadap dunia fosil yang digelutinya selama
ini. Pria berkumis tebal yang lahir di Bandung, 23
Juli 1967 merupakan pegawai Museum Geologi,
Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, DESDM,
memiliki 2 orang putri bernama Annisa Aprilia
K. dan Elvira Octavida K. hasil buah cintanya bersama istri bernama Komariah. Iwan merupakan
geologist yang mengawali pendidikan di AGP tahun 2003 2006 (sekarang Politeknik Jepang) lalu
melanjutkan pendidikan S-1 Geologi di Universitas
Pajajaran Bandung Tahun 2006 Mei 2009. Awal
karir di Institusi awalnya bekerja pada tahun 1988
di Puslitbang Geologi (sekarang Pusat Survei Ge-

Profil 41

PROFIL

Lokasi ditemukannya Fosil gajah purba yang ditemukan di Blora.

ologi) pada program paleontologi (vertebratanya),


lalu masuk Museum Geologi pada tahun 2001 di
bidang vertebrata dengan Prof. Fachrul Aziz. Jika
dilihat dari pendidikan yang ditempuhnya, Iwan
terbilang baru menyandang gelar sebagai sarjana
geologi, namun berkat kecintaan, pengalaman,
dan ketekunannya dalam mendalami bidang vertebrata selama beliau bekerja (1988 sekarang)
menjadikan beliau sebagai salah seorang ahli
dalam fosil vertebrata yang dimiliki Badan Geologi
yang diperhitungkan di Indonesia.
Berikut adalah perbincangan tim Warta Geologi
bersama Iwan;
Tim Warta Geologi WG:
Bagaimana awalnya Anda bisa tertarik untuk mendalami bidang vertebrata (fosil)?
Iwan:
Awalnya saya tidak terlalu terfokus pada vertebrata, bahkan saya sangat awam dan bingung dengan bidang vertebrata tersebut, saat itu terdapat
beberapa pertanyaan dalam diri saya, yaitu seperti
apa yang namanya fosil itu? Untuk apa fosil itu
dipelajari dan diteliti? Namun kebetulan pada awal
bekerja di Puslitbang Geologi tahun 1988 saya ditempatkan di bagian vertebrata untuk membantu
pekerjaan Prof. Fachrul Aziz (sekarang). Dari sinilah saya mulai mengetahui sedikit demi sedikit dan
mempelajari vertebrata dengan bimbingan beliau.
Pengalaman pertama saya melakukan kegiatan
42 W a r t a

Geologi September 2009

lapangan tim vertebrata pada tahun 1989 ke Sulawesi yang merupakan kerjasama antara Puslitbang Geologi (P3G) dengan Universiteit Ultrecht
Belanda yang diketuai oleh Pa Fachrul selama 4
tahun. Dari situ saya mulai tertarik, memahami,
dan merasakan bahwa bidang vertebrata ini merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
cukup rumit namun jika ditekuni dengan serius
maka akan terasa mudah dan mengasyikkan.
Tim WG:
Nah, sekarang ini Anda dapat dikatakan sebagai
seorang ahli di bidang Paleontologi Vertebrata.
Apa hikmah yang bisa diambil selama menggeluti
bidang vertebrata ini?
Iwan:
Hikmahnya banyak sekali yang dapat saya rasakan,
baik itu hikmah bagi diri saya pribadi maupun untuk dunia ilmu pengetahuan. Hikmah bagi diri
saya, salah satunya dalam pendidikan baik formal
maupun informal, yang pada akhirnya saya dapat
memahami bidang tersebut. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman tersebut, saya pernah
dilibatkan dalam beberapa proyek internasional
seperti penggalian Dinosaurus di Australia. Lalu
pernah terlibat sebagai salah satu pembuat replika di salah satu museum di Jepang. Di samping
itu kepuasan yang tidak ternilai harganya dalam
melakukan setiap kegiatan penelitian vertebrata
yang dilakukan. Selain itu, bagi dunia ilmu pengetahuan, banyak sekali sumbangsih dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan sehingga

kita dapat setahap demi setahap memecahkan


teka-teki yang selama ini ada khususnya bagi kehidupan pada masa yang lalu, baik itu jenis-jenis
makhluk hidup yang pernah hidup pada masa itu,
bagaimana lingkungannya, dan lainnya. Jadi sangat banyak hikmahnya yang saya dapat selama
mendalami dan mempelajari bidang paleontologi
vertebrata tersebut. Hanya saya sangat menyayangkan karena di Indonesia ini khususnya di Pusat
Survei Geologi ini jarang sekali orang yang tertarik
untuk mempelajari bidang Paleontologi Vertebrata, padahal bidang ini sangat penting sekali bagi
kehidupan kita. Melalui bidang ini kita bisa mengetahui kehidupan masa lampau, lingkungannya
seperti apa? Pola migrasi nya bagaimana? Asalusulnya bagaimana? Semua itu dapat diketehui/
dilihat dari bidang paleontologi vertebrata ini.
Tim WG:
Tadi Anda mengatakan bahwa ahli vertebrata di
Indonesia ini dapat dikatakan langka karena sangat jarang sekali orang mendalami ilmu paleontologi vertebrata ini. Menurut Anda yang sudah
selama 21 tahun bekerja dan mempelajari ilmu
tersebut, apa sih permasalahan, hambatan atau
tantangan sehingga orang itu jarang sekali tertarik
untuk mendalami ilmu ini? Contohnya apakah
karena bidang yang kurang ekonomis atau rumit
dan sukar dalam mempelajarinya atau kurangnya
perhatian dari pemerintah atau institusi mengenai
bidang ilmu ini.
Iwan:
Jelas, kendala utamanya dapat dikatakan dari hal
ekonomi/pendanaan. Selain itu, perhatian dari
pemerintah kita sendiri baik itu sarana dan dana
tidak begitu men-support, karena jelas jika kita
ini (tim vertebrata) akan melakukan ekskavasi memerlukan dana yang cukup besar dan itu pun tidak dapat dijamin bahwa dalam penelitian yang
dilakukan tersebut akan berhasil. Di sisi lain, kenapa jarang sekali orang tertarik untuk mendalami
vertebrata karena bidang ini dapat dikatakan tidak

ekonomis (hasilnya tidak bisa dijual), hasil penelitian ini hanya untuk perkembangan ilmu pengetahuan (sains) saja, fosil vertebrata tidak bisa dijual.
Lain halnya dengan bidang seperti minyak bumi
dan batubara. Dengan terdapatnya kendala tersebut, kita pun harus memahami bahwa negara kita
ini tergolong dalam negara berkembang dengan
segala keterbatasan yang dimilikinya, namun
kita harus mampu bertahan dengan segala kondisi yang ada untuk kemajuan bangsa kita sendiri, khususnya dalam hal ilmu pengetahuan. Saya
sangat menyayangkan, sebetulnya Indonesia ini
kaya akan peninggalan fosil vertebrata, tinggal
bagaimana kita mensiasatinya dan memanfaatkannya sehingga dapat mengungkap tabir kehidupan pada masa lalu, serta sangat berpotensi
dalam memberikan banyak sumbangsih bagi dunia ilmu pengetahuan, yang pada akhirnya dapat
mengangkat dan mengharumkan bangsa Indonesia di dunia.
Tim WG:
Sangat jarang sekali orang mendalami ilmu paleontologi vertebrata karena alasan seperti Anda
jelaskan tadi, lalu apa yang membuat Anda tekun
dan setia dalam mempelajari serta mendalami dunia vertebrata ini?
Iwan:
Yang jelas, saya sangat mencintai dan sayang terhadap fosil, memiliki kepuasan tersendiri dalam
mempelajarinya, dan dapat lebih memahami
makna kehidupan pada masa yang lampau untuk
menjalani kehidupan di masa yang akan datang
sebagai tanda kebesaran Allah SWT, disamping
itu saya berfikir jika bukan saya maka siapa lagi
yang melanjutkan ilmu vertebrata ini khususnya di
intitusi kita (Museum Geologi), yang Alhamdulillah saat ini mulai bermunculan kader-kader yang
tertarik pada vertebrata ini namun masih bisa dihitung oleh jari sebelah tangan. Disamping itu, jika
kita perhatikan pengunjung Museum Geologi ini,
lebih tertarik untuk melihat fosil-fosil vertebrata
Profil 43

PROFIL

dibandingkan dengan yang lainnya, bukan berarti


yang lainnya kurang menarik. Justru sekarang,
lebih banyak para peneliti dari luar Indonesia (Jepang, Australia, Prancis, Amerika, dll) yang ingin
melakukan pencarian fosil di Indonesia ini, dan itu
sangat banyak sekali.
Tim WG:
Apakah krisis minat ini terjadi di dunia atau hanya
di Indonesia?
Iwan:
Tidak, krisis ini hanya di Indonesia, di negara-negara lain khususnya di negara-negara maju tidak
terjadi krisis minat tersebut karena yang saya ketahui bahwa di negara lain satu institusi (katakan
museum) dapat memberikan kontribusi ke instansi
lain sehingga tercipta koordinasi yang baik antar
institusi dan salah satu nya institusi yang bergerak
di bidang fosil vertebrata dapat menentukan kebijakan pemerintah secara keseluruhan maupun
secara sektoral. Contohnya: Departemen PU yang
memiliki rencana pembuatan jalan baru. Nah, PU
tersebut mensosialisasikan dan berkoordinasi terlebih dahulu untuk menentukan jalur yang akan
dibuat jalan tersebut, sehingga tidak bersinggungan dengan lokasi fosil tersebut bahkan berkordinasi seandainya lokasi tersebut akan dibuat
sebagai salah satu objek pariwisata, sehingga
jalur baru tersebut akan mendukung aksesibilitas
ke lokasi objek pariwisata tersebut. Nah, artinya
disini, pemerintah sangat memperhatikan dan
menganggap penting bidang fosil vertebrata. Dan
44 W a r t a

Geologi September 2009

tidak hanya orang yang berlatar belakang pendidikan formal yang mencintai dunia fosil namun
dari masyarakat luas pun sudah memiliki kecintaan terhadap kekayaan negara tersebut, sehingga
para ahli fosil vertebrata di negara-negara maju
tidak begitu kesulitan untuk mencari pendanaan
seandainya akan melakukan penelitian (research)
atau pun penggalian fosil, banyak para pengusaha
atau sponsor yang ingin terlibat dalam ekskavasi
tersebut, nah hal tersebut diakibatkan tingginya
kesadaraan dan kecintaan masyarakat di negara
maju akan pentingnya fosil tersebut. Di Indonesia
belum tercipta suatu iklim seperti itu, bahkan terkesan bahwa pemerintah menutup sebelah mata
pada bidang fosil vertebrata.
Tim WG:
Terkait dengan penemuan spektakuler di tahun
2009 ini berupa penemuan fosil gajah purba yang
tergolong utuh (80 %) di Blora, bisa diceritakan
sedikit pengalaman dan asal mulanya sehingga
dapat menemukan fosil gajah tersebut di Blora?
Iwan:
Awalnya waktu itu saya masih berada di Puslitbang Geologi (P3G) dan melakukan pekerjaan
penjajakan paleontologi yang bekerjasama dengan UNE (University of New England) Australia
pada tahun 1996 di Flores. Lalu setelah Paleontologi Vertebrata pindah ke Museum Geologi, kerjasama tersebut masih berlanjut. Selama 10 tahun
kerjasama tersebut, lokasi penelitian terjadi penggabungan tidak hanya di Flores, namun meluas ke

Kepala Badan Geologi (Dr.R. Sukyar) melakukan penjauan langsung ke lokasi ditemukannya Fosil gajah purba di Blora yang didampingi oleh Kepala Pusat Survei Geologi
dan Kepala Museum Geologi.

Kegiatan penggalian Fosil gajah purba yang ditemukan di Blora, oleh tim vertebrata Museum Geologi yang diketuai oleh Iwan Kurniawan.
Profil 45

PROFIL

...kita harus melakukan


pemetaan khusus untuk
sebaran keterdapatan fosil di
Indonesia ini...
Pulau Sulawesi, Timor, dan Pulau Jawa. Di Pulau
Jawa sendiri salah satunya kita melakukan penggalian fosil di Blora, yaitu di Sembungan sejak tahun 2004 yang diketuai oleh Pak Eko Edi Susanto.
Lalu pada tahun 2006, saya sebetulnya sudah
menemukan keberadaan fosil gajah tersebut, namun pada saat itu karena kita hanya terfokus pada
penggalian fosil di Sembungan dan keterbatasan
waktu serta dana pada saat itu maka saya dan
tim tidak melakukan apa-apa pada lokasi temuan
tersebut. Akhirnya saya dengan Mike Morwood
(Peneliti dari Australia) yang ikut mengecek lokasi tersebut berkali-kali merasa yakin bahwa fosil
tersebut adalah fosil gajah, namun belum diketahui secara rinci tentang fosil tersebut. Setelah itu,
lokasi tersebut setiap tahun saya survei, setiap tahun makin kelihatan singkapan fosil tersebut. Awal
penggalian fosil gajah tersebut dilakukan awal tahun 2009, pada saat saya sedang menyelesaikan
studi S-1 saya, yaitu melakukan pemetaan antara
Blora dan Bojonegoro, kebetulan lokasi tersebut
masuk dalam wilayah studi saya. Saya saat itu sedang melakukan survei pemetaan dengan Pak Sidarto. Pada saat saya melakukan survei, kebetulan
teras (dengan tinggi 15 m) lokasi fosil itu runtuh,
lalu nampak gading fosil gajah tersebut. Pada saat
itu, karena keterbatasan dana dan waktu untuk
menyelesaikan pemetaan terkait studi saya, maka
saya biarkan begitu saja fosil tersebut. Tiga hari
kemudian setelah itu, saya lapor ke Gert Van Den
Bergh (peneliti Belanda) yang sedang melakukan
penggalian di Sembungan, akhirnya dicek kembali
lokasi tersebut bersama beliau dan ternyata makin
kelihatan singkapan fosil tersebut, sudah nampak
tengkoraknya. Nah mulai dari situ kita sepakat, jika
tidak dilakukan penggalian, dikhawatirkan akan
rusak, akhirnya kita dibagi dua, yaitu penggalian
di sembungan dan penggalian di Blora. Setelah digali, ternyata yang tadinya kita tidak berfikir bahwa
fosil gajah tersebut komplit (utuh) ternyata banyak
sekali fosil/tulang yang ditemukan, akhirnya kami
menyatakan bahwa fosil gajah tersebut komplit
(80%). Alhamdulillah, kebetulan penemuan fosil
tersebut bersamaan dengan Ulang Tahun Museum
Geologi ke-80 (Dasa Windu), sehingga merupakan
hadiah ulang tahun terindah, karena temuan ini
dapat dikatakan spektakuler karena baru sekali ini
ditemukan fosil gajah dengan jenis elephas sp
46 W a r t a

Geologi September 2009

ditemukan secara utuh. Dahulu pada tahun 1816


(kalau tidak salah) pernah ditemukan jenis fosil gajah yang sama oleh orang belanda, namun hanya
berupa gigi gajahnya saja dengan tengkorak yang
sekarang berada di Museum Leiden - Belanda.
Tim WG:
Sekarang ini sedang mencuat isu cagar geologi
(salah satunya fosil) yang diamanatkan pada UU
No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
regulasi implementasinya PP No. 26 Tahun 2008,
menurut Anda, langkah-langkah apa dari kita dan
institusi yang harus dilakukan untuk mendukung
Cagar Lindung Geologi tersebut yang terkait dengan fosil?
Iwan:
Salah satunya kita harus melakukan pemetaan khusus untuk sebaran keterdapatan fosil di Indonesia
ini, yang mana itupun kita tidak bisa dilakukan secara sendiri, diperlukan koordinasi dan kerjasama
yang baik dengan pemerintah daerah dalam hal
pengawasan dan terutama pembebasan lahan
dengan tujuan untuk mengamankan lokasi fosil
(kekayaan Negara yang tidak ternilai) tersebut dari
tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab.
Sebetulnya kita sudah ada plot lokasi penyebaran
situs-situs fosil vertebrata, khususnya untuk Pulau
Jawa dapat dikatakan sudah lengkap, namun untuk dijadikan lokasi khususnya (smoothnya) belum
terdefinisikan secara rinci. Kendalanya kembali lagi
pada masalah dana namun secara garis besarnya
kita sudah memiliki ploting daerah-daerah yang
diduga mengandung banyak fosil terutama vertebrata ini. Namun semua itu kembali lagi pada
kepedulian Pemerintah Daerah terkait dengan
otonomi daerah yang sedang berjalan selama ini.

Fosil gajah purba yang ditemukan di Blora, dipamerkan untuk pertama kali kepada masyarakat luas di Hall Museum Geologi. Gajah Purba ini diperkirakan memiliki tinggi
3,75 4 m, panjang 5 m, berat 10 ton, dan panjang gading hingga 2 m.

Tim WG:
Terkait dengan diatas, apakah kurang kepeduliannya Pemda terhadap keberadaan fosil ini disebabkan dengan kurangnya sosialisasi dan informasi
yang dimiliki oleh pemda tentang plot lokasi tersebut atau ada hal lain?

Tim WG:
Mengenai tantangan kedepan, setelah menemukan fosil gajah yang spektakuler di Blora, rencananya akan research dimana lagi yang kiranya
sudah terdapat titik terang mengenai keberadaan
fosil vertebrata di Indonesia ini?

Iwan:
Sebetulnya kalo informasi, sebelum kita melakukan penelitan kan sudah lapor ke pemda setempat
dengan menyerahkan proposal dan setelah melakukan aktivitas penelitian tersebut kita pun memberikan hasil laporan penelitian yang sudah dilakukan,
namun kurang diperhatikan dengan baik. Minimal, pemda dapat memberikan sosialisasi terhadap masyarakat tentang keberadaan fosil tersebut
sehingga kawasan tersebut dapat terjaga dengan
baik. Jika masyarakat sudah mengetahui informasi
tersebut, minimal masyarakat jika menemukan
fosil dapat dengan segera melaporkan ke instansi
terkait untuk ditindak lanjuti dengan baik dan
benar.

Iwan:
Yang jelas kita tidak akan berhenti melakukan
penelitian karena penelitian dan ilmu pengetahuan itu bersifat dinamis dalam arti tidak akan
berhenti melakukan beberapa penelitian khususnya dalam bidang fosil vertebrata mengingat
kayanya Indonesia akan keberadaan fosil vertebrata tersebut. Pada saat ini, kita dari tim vertebrata lebih memfokuskan dalam bidang hominit
(fosil manusia), yang mana pada bulan ini pun
kita akan melakukan penelitian lapangan di daerah Sopeng, Pulau Sulawesi yang merupakan
suatu situs artefak yang sangat kaya. Lalu kita pun
pada tahun ini akan melakukan penelitian di Pulau
Jawa dan Atambua (Timor). Hal ini terkait dengan
penemuan fosil Homo Floresiensis di Pulau Flores
dengan tujuan untuk mengetahui pola penyebaran manusia tersebut.

Tim WG:
Apa harapan Anda dalam mendalami vertebrata ini baik terhadap institusi maupun generasi
penerus bangsa?
Iwan:
Harapan saya terhadap pemerintah, jangan menutup atau memandang sebelah mata (dalam arti
memang dunia vertebrata ini tidak ekonomis namun sangat penting bagi ilmu pengetahuan) terhadap vertebrata karena fosil itu kan merupakan
salah satu kekayaan Negara yang tak ternilai. Dan
bagi geologist muda, harapannya akan banyak
bermunculan para ahli vertebrata yang mencintai
dunia fosil, karena ilmu ini tidak kalah pentingnya
dengan ilmu-ilmu yang lainnya.

Demikianlah bincang-bincang tim Warta Geologi


dengan Iwan Kurniawan yang merupakan salah
satu ahli paleontologi vertebrata yang barubaru ini berhasil menemukan fosil gajah purba
di Blora. Dari hasil perbincangan tersebut, tim
dapat mengambil beberapa hikmah dari perjalanan seorang pria yang berkumis tebal ini tentang
makna ketekunan, kesetiaan, dan dedikasi yang
tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa dan negara. Bagaimana dengan anda?n (Tim Warta Geologi)

Profil 47

Seputar Geologi

Sosialisasi Bidang Geologi di Provinsi


Sumatra Utara

Kepala Badan Geologi Dr. Ir. R. Sukhyar (sebelah kanan) menyerahkan dokumen geologi kepada Ir. Washington Tambunan (Kepala Dinas Pertambangan Provinsi
S umatera Utara)

Badan Geologi pada tanggal 30 Juli 2009


menyelenggarakan Sosialisasi Pemberdayaan
dan Penyebarluasan Informasi Bidang Geologi di
Provinsi Sumatera Utara. Acara yang lebih dikenal
dengan kegiatan sosialisasi bidang geologi ini
dilaksanakan di Kota Medan dan merupakan
lanjutan kegiatan yang dilaksanakan di 7 Provinsi,
yakni: Papua, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Bengkulu,
dan Kalimantan Timur.

Badan Geologi melalui acara itu diharapkan dapat


menyampaikan pengalaman dan mendorong
pengembangan potensi sumber daya masyarakat
di daerah masing-masing dengan mengusahakan
forum kemitraan untuk saling bekerjasama dalam
suasana kebersamaan.

Sosialisasi bidang geologi dimaksudkan untuk


mensosialisasikan data-data geologi termasuk
kebijakan tentang perencanaan nasional secara
makro mengenai pendayagunaan sumber
daya alam. Sedangkan tujuannya adalah agar
Pemerintah Daerah lebih awal memahami data dan
informasi serta kebijakan dari Pemerintah Pusat,
untuk selanjutnya mengidentifikasi kegiatan yang
perlu dilakukan pada masa akan datang dalam
mempersiapkan diri untuk pengelolaannya.

Selain itu sosialisasi ini diharapkan pula dapat


memberikan pemahaman untuk meningkatkan
kepercayaan diri dalam menghadapi permasalahan
kebencanaan geologi yang harus berangkat
dari pribadi dan komunitas sendiri dan tidak
mengandalkan orang lain, yakni: pemahaman
pentingnya pengembangan akal budi daya
dan bersikap waspada hidup di daerah rawan
bencana. Sebagai contoh, kehadiran gunung api
di Indonesia yang yang merupakan terbanyak
di dunia, meskipun membawa berkah berupa
lahan yang subur dan alam yang indah untuk
dimanfaatkan dalam pariwisata, namun juga
mengandung potensi bencana.

Adapun tujuan dari kegiatan Pemberdayaan dan


Penyebarluasan Informasi Bidang Geologi adalah
untuk menyampaikan data dan Informasi kebumian
serta kebijakan-kebijakan di bidang geologi.

Hadir pada acara tersebut Kepala Badan Geologi,


Dr. R. Sukhyar; Sekretaris Badan Geologi, Dr. Ir.
Djadjang Sukarna; serta utusan dari unit eselon 2
di lingkungan Badan Geologi. Acara dibuka oleh

48 W a r t a

Geologi September 2009

Sekretaris Badan Geologi Dr. Ir. Djadjang Sukarna dan Kepala Pusat Survei Geologi Dr. Ir. A. Djumarma Wirakusumah
didampingi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Utara, Ir. Washington Tambunan

Suasana Sosiaslisasi Bidang Geologi di Provinsi Sumatera Utara

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera


Utara, Ir. Washington Tambunan, mewakili
Gubernur Sumatera Utara.
Kegiatan ini dihadiri oleh 106 peserta yang
merupakan perwakilan dari Dinas Pertambangan
dan Energi Provinsi dan Kabupaten, Dinas
Kehutanan, BMG, Dinas Bina Marga, BLH, ISTD,
FT. USU, Dinas PSDA, FTM ITM, Badan Lingkungan
Hidup Kota Medan, dan IAGI Sumatera Utara.
Materi yang disampaikan presentasi sosialisasi
adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan dan Program Pembangunan Sub
Sektor Geologi, disampaikan oleh Dr. Ir.
Djadjang Sukarna,

2. Kondisi Geologi Daerah Sumatera Utara,


disampaikan oleh Dr. Ir. A. Djumarma
Wirakusumah,
3. Sistem Informasi Sumber Daya Geologi,
disampaikan oleh Ir. Rina Wahyuningsih.
4. Geologi Lingkungan untuk Perencanaan Tata
Ruang, disampaikan oleh Ir. Adang Perwira
Kusuma, M.Sc.
5. Strategi Mitigasi Bencana Geologi, disampaikan
oleh Dr. Ir. E. Kusdinar Abdurachman, DEA.n
(M.M. Saphick Nurjaman)

Seputar Geologi 49

Liputan Khusus Gempa Bumi

Kepala Badan Geologi Dr. Ir. R. Sukhyar didampingi Jajaran Manajemen Badan Geologi saat melakukan kunjungan kerja ke Kmp. Caringin Desa Cikangkareng Kecamatan
Cibinong Kab Cianjur yang terkena Bencana Longsor 2 September 2009.

Kepala Badan Geologi Dr. Ir. R. Sukhyar, Sekretaris Badan Geologi Dr.Ir. Djadjang Sukarna dan Kepala Pusat Survei Geologi Dr.Ir. A. Djumarma Wirakusumah saat ber
koordinasi dengan petuhas Posko di Kmp. Caringin Desa Cikangkareng Kecamatan Cibinong Kab Cianjur yang terkena Bencana Longsor 2 September 2009.
50 W a r t a

Geologi September 2009

Kepala Pusat Survei Geologi Dr.Ir. A. Djumarma Wirakusumah saat melakukan


kunjungan kerja ke Desa Margamukti Kecamatan Pangalengan yang terkena
bencana Gempabumi, 2 September 2009.

Peneliti, Ahli Gempa Bumi Pusat Survei Geologi .Ir. Asdani Soehaimi saat
melakukan kunjungan kerja ke Desa Margamukti Kecamatan Pangalengan yang
terkena bencana Gempabumi, 2 September 2009.

Salah Satu Bangunan Balai Desa Margamukti Kecamatan Pangalengan yang


porak poranda akibat bencana Gempabumi, 2 September 2009.

Salah Satu Bangunan Gedung Olahraga diwilayah Desa Margamukti


Kecamatan Pangalengan yang porak poranda akibat bencana Gempabumi, 2
September 2009.

n(Pranata Humas Madya Drs. Donny Hermana)


Seputar Geologi 51

Pelantikan Pejabat di Lingkungan


Badan Geologi

Kepala Badan didampingi para Kepala Pusat melantik sejumlah Pegawai Badan Geologi.

Pada tanggal 7 Agustus 2009 bertempat di


Auditorium Geologi Bandung Kepala Badan
Geologi R. Sukhyar melantik para pejabat eselon III
dan IV serta mengambil sumpah dan janji PNS di
lingkungan Badan Geologi. Pada acara pelantikan
tersebut Kepala Badan Geologi yang didampingi
Sekretaris Badan Geologi dan para Kepala Pusat
mengucapkan selamat menunaikan tugas kepada
para pejabat yang baru dilantik.
Dalam kesempatan tersebut Kepala Badan Geologi
juga mengucapkan terimakasih atas dedikasi dan
pengabdiannya selama menjadi pejabat struktural
terutama Kepada Dr. Ir. Eddy Mulyadi (Kepala
Bagian Rencana dan Laporan) dan Ir. Dadi Mulyadi
(Kepala Bagian Umum) yang atas permohonan
sendiri untuk beralih ke jabatan fungsional
Perekayasa.
52 W a r t a

Geologi September 2009

Khusus kepada para istri atau suami yang


mendampingi, Kepala Badan juga berpesan agar
terus memberi semangat dan dorongan agar
suami dan isterinya dapat terus meningkatkan
kinerja dan prestasi kerja.n (Priatna)

No.

NAMA

JABATAN LAMA

JABATAN BARU

1.

Dr. Ir. Eddy Mulyadi

Kepala Bagian Rencana dan Laporan Sekretariat Badan Geologi

Fungsional Perekayasa

2.

Ir. Oman Abdurachman, M.T.

Kepala Sub Bagian Penyiapan Rencana Kerja Sekretariat Badan


Geologi

Kepala Bagian Rencana dan Laporan Sekretariat Badan Geologi

3.

Ir. Dadi Mulyadi

Kepala Bagian Umum Sekretariat Badan Geologi

Fungsional Perekayasa

4.

Ir. Agung Pribadi, MSc.

Kepala Sub Bagian Hukum Sekretariat Badan Geologi

Kepala Bagian Umum Sekretariat Badan Geologi

5.

Ir. Ucu Takhmat Akus M.T,

Kepala Sub Bidang Sarana Penyelidikan Pusat Lingkungan


Geologi

Kepala Bidang Sarana Teknik Pusat Lingkungan Geologi

6.

Dedi Budiman , SH

Pelaksana Kehumasan pada Sekretriat Badan Geologi

Kepala Sub Bagian Hukum Sekretariat Badan Geologi

7.

Ir. M. Rum Budi Susilo

Kepala Sub Bidang Kerja Sama Pusat Lingkungan Geologi

Kepala Sub Bidang Sarana Penyelidikan Pusat Lingkungan Geologi

8.

Ir. Hadi Setyanto

Penyelidik Geologi Pusat Lingkungan Geoloig

Kepala Sub Bidang Laboratorium Pusat Lingkungan Geologi

9.

Rusty Panggabean, B.A.

Analis Kepegawaian PenyeliaPusat Lingkungan Geologi

Kepala Sub Bidang Kerja Sama Pusat Lingkungan Geologi

Daftar jabatan baru para pegawai yang dilantik 7 Agustus 2009.

Para Pegawai Badan Geologi yang dilantik tanggal 7 Agustus 2009.

Seputar Geologi 53

Badan Geologi Pertahankan Gelar


Juara Bridge - Porseni Sektor ESDM 2009

Tim Bridge Badan Geologi PORSENI SEKTOR ESDM 2009.

Tim Bridge Geologi berhasil mempertahankan


gelar juara bridge pada Pekan Olahraga dan Seni
Sektor ESDM Tahun 2009 setelah pada babak
final berhasil mengalahkan Tim IKAPEDE (Ikatan
Pensiunan Departemen) 96-19 imp. Sebelum
melangkah ke final Tim Bridge Badan Geologi yang
menempati peringkat pertama babak penyisihan
pada babak semi final mengalahkan Tim BP
MIGAS 48-12 imp. Sementara Tim IKAPEDE yang
dimotori oleh Ir. Anton Saboe (Mantan Pemain
Badan Geologi) berhasil mengalahkan salah satu
Tim unggulan PLN 40-25 imp. Tim PLN akhirnya
harus puas di tempat ketiga setelah mengalahkan
BP MIGAS 96-48 imp.
Sementara itu penilaian pasangan dengan buttler
terbaik diraih oleh Robby Lempoy-Jacky Tirayoh
(PLN) 2,2 disusul di tempat kedua Nia Kurnia Praja54 W a r t a

Geologi September 2009

Dwi Agoes (Badan Geologi) 1,73 dan tempat


ketiga Priatna-Fera Damayanti (Badan Geologi)
1,63.
Pertandingan yang berlangsung tanggal 4-5
Agustus 2009 di Auditorium Geologi Bandung
diikuti oleh 5 regu yakni; Badan Geologi, IKAPEDE,
PLN, BP MIGAS, dan BALITBANG dimeriahkan
dengan pertandingan pasangan untuk tim yang
tidak lolos ke babak Semi final dan final ditambah
dengan para pemain Bandung.
Keluar sebagai Juara pasangan hiburan adalah
Kikik Hikmat-Ansori 180, Apin- Komar 161, dan
Ronny-Slamet 159. Pasangan ESDM terbaik diraih
oleh Ardy-Gatot dari PLN.

Ir. Anton Saboe (Mantan Pemain Badan Geologi)berpasangan dengan Ir. Rasdan Siregar, MSc. pasangan andalan IKAPEDE.

JUARA1: BADAN GEOLOGI


Nia Kurnia, Dwi Agoes, Priatna, Fera Damayanti,
Uchtari Chandra.
Djunaedi Rosadi (Manajer)
JUARA 2: IKAPEDE
Anton Saboe, Rasdan Siregar, Ahmadi, N. Yusuf,
Yurizal, Kusuma Wiryawan.
Johan Asmawi (Manajer)
JUARA 3: PLN 1
CH Nurhamidin, Fachreza, Robby Lempoy, Jacky
Tirayoh, Agus Lutfi, Amri Tanjung.
Harry Susanto (Manajer).n (Priatna)

Seputar Geologi 55

Layanan Informasi Geologi

JURNAL GEOLOGI INDONESIA


Wadah Tempat Menuangkan Hasil Penelitian Kebumian

Seiring dengan terbentuknya Badan Geologi pada tahun 2006 yang membawahi empat unit organisasi berbasis penelitian dan penyelidikan, maka salah satu syarat utama yang mutlak dipenuhi adalah menyediakan
wadah bagi para pejabat fungsional untuk menuangkan hasil karya mereka berupa tulisan ilmiah. Penerbitan sebuah majalah, jurnal, dan buletin bagi Badan Geologi yang mempunyai tugas pelayanan bidang
geologi menjadi sangat penting dengan meningkatnya kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, data,
dan informasi. Untuk maksud tersebut, Badan Geologi telah menyediakan suatu penerbitan ilmiah yang
diberi judul Jurnal Geologi Indonesia disingkat JGI. Jurnal Geologi Indonesia pada kenyataannya selain
dimanfaatkan oleh para pejabat fungsional di lingkungan Badan Geologi juga banyak ahli kebumian dari
luar seperti dari LIPI, Perguruan Tinggi, mahasiswa dan lain-lain yang ikut berperan serta.

FORKOM ejb
Dalam perkembangannya, pengelola jurnal ini
menggagas suatu ide yaitu membentuk suatu
forum komunikasi bagi semua dewan redaksi dan
pengelola penerbitan ilmiah kebumian. Ide awal
yang selenggarakan di Bandung tahun 2008 kini
berkembang menjadi menasional. Forum tersebut
diberi nama Forum Komunikasi Editor Jurnal
Kebumian yang disingkat Forkom ejb.
56 W a r t a

Geologi September 2009

Tujuan utama dari terbentuknya forkom ini adalah


untuk menjalin suatu komunikasi antar pengelola
dan dewan redaksi jurnal ilmu kebumian untuk
berbagi informasi mengenai suatu hasil karya
makalah ilmiah kebumian, agar tidak terjadi
tumpang tindih atau pengulangan suatu tulisan
yang akan atau yang sudah diterbitkan. Selain
itu keberadaan forkom ini juga dimaksudkan
untuk berbagi informasi mengenai kompetensi

Logo Forkom ejb

seseorang yang layak menjadi reviewer sebuah


makalah ilmiah. Dalam beberapa pertemuan
berkembang berbagai diskusi berkaitan dengan
kode etik kewajiban dan hak editor, reviewer, dan
penulis serta juga masalah penerbitan, misalnya
persyaratan untuk memperoleh atau meningkatkan
akreditasi yang dikeluarkan oleh LIPI atau DIKTI.
TEMU EDITOR JURNAL KEBUMIAN
Pada Temu Editor publikasi Kebumian Mei 2008
diundang para pengelola, Dewan Redaksi (editor),
dan Reviewer Jurnal Kebumian. Seluruh pengelola
jurnal menyampaikan paparannya terutama yang
berkaitan dengan Penerbitan. Untuk melengkapi
acara tersebut diundang juga pembicara dari LIPI
yakni Dr. LT. Handoko yang mempresentasikan
tentang Jurnal Elektronik. Pada acara tersebut
dilakukan juga serah terima dokumen berupa
jurnal sesama pengelola jurnal kebumian.
Peserta terdiri dari Para Editor dan Reviewer Jurnal
Geologi Indonesia, para editor Jurnal dan Buletin
lainnya yang berkaitan dengan geologi dan
kebumian terkait sebagai berikut:
1. Jurnal Geologi Indonesia - Badan Geologi
2. Jurnal Sumber Daya Geologi - PSG Badan
Geologi
3. Majalah Geologi Indonesia, IAGI
4. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Geoteknologi LIPI

5. Buletin Tekmira - TEKMIRA


6. Jurnal Geologi Kelautan - PPPGL
7. Jurnal JTM - ITB
8. Geoaplika -ITB
9. Bulletin Scientific Contribution UNPAD
10. Buletin Sumberdaya Geologi Badan Geologi
11. Buletin Vulkanologi dan Bencana Geologi
Badan Geologi
12. Buletin Geologi Tata Lingkungan Badan
Geologi
13. .Buletin Berkala Merapi Badan Geologi
JGI TERAKREDITASI
Salah satu pengakuan yang diterima bagi
suatu penerbitan majalah, jurnal, atau buletin
ilmiah adalah dengan memperoleh akreditasi
dari pemerintah, dalam hal ini Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Berdasarkan hasil
penilaian LIPI tentang Akreditasi Majalah Berkala
Ilmiah, maka Jurnal Geologi Indonesia ditetapkan
sebagai Majalah Berkala Ilmiah Terakreditasi B
Plus. Pengakuan tersebut tertuang dalam sertifikat
No. 109/AKRED-LIPI/P2MBI/10/2007 yang berlaku
selama tiga tahun.
Penilaian akreditasi menyangkut aspek-aspek
seperti kelembagaan penerbit, penyunting, dewan
penerbit, bentuk penampilan, gaya penulisan,
konsistensi jadwal terbit, jumlah pencetakan setiap
terbit, dan substansi isi yang konsisten.
Layanan Geologi 57

Layanan Informasi Geologi

Sertifikatt Akreditasi Majalah Berkala ILmiah

Sebagai jurnal yang berusia muda memperoleh


pengakuan dengan akreditasi B Plus menunjukkan
bahwa JGI dikelola dengan serius. Posisi ini
kemudian menempatkan JGI menjadi tempat
bertanya dan konsultasi, terutama yang berkaitan
dengan masalah penulisan ilmiah kebumian. Selain
itu JGI mempunyai perpustakaan, sekretariat, ruang
rapat dan jaringan yang luas yang memungkinkan
terjalinnya komunikasi dengan banyak pihak.
Fasilitas-fasilitas tersebut menjadi bagian yang
dibenahi sangat serius oleh pengelola JGI bagi
persyaratan untuk meningkatkan nilai akreditasi
peringkat A di masa yang akan datang.
APRESIASI UNTUK PARA PENULIS
Jurnal Geologi Indonesia sejak pertama kali
diterbitkan tahun 2006 hingga awal tahun
2009 telah terbit 13 kali dengan jumlah karya
tulis
sebanyak 70 makalah. Dewan Redaksi
JGI 2009 menetapkan 12 makalah yang telah
dimuat pada Jurnal Geologi Indonesia tahun
58 W a r t a

Geologi September 2009

penerbitan 2006 2009 untuk dipresentasikan.


Acara ini diselenggarakan untuk memberikan
apresiasi Badan Geologi kepada para penulis
yang telah memiliki kualifikasi penulisan Karya
Tulis Ilmiah di bidang kebumian dan secara
substansi tulisannya mengandung nilai ilmiah
yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara tidak
langsung Badan Geologi melalui kegiatan ini ingin
menumbuhkembangkan minat dan motivasi para
peneliti untuk senantiasa belajar dan berkarya
dalam bentuk karya tulis ilmiah di Jurnal Geologi
Indonesia.
LAYANAN KONSULTASI JURNAL
Walaupun tidak resmi membuka layanan konsultasi
penerbitan makalah ilmiah namun dewan penerbit
dan dewan redaksi JGI membantu memberikan
pelayanan dalam bentuk konsultasi informasi yang
berkaitan dengan penerbitan suatu majalah ilmiah,
khususnya makalah kebumian dengan berbagai
aturan yang dikeluarkan oleh LIPI dan DIKTI.

Sekretariat Jurnal Geologi Gd. E Lt. 2 Badan Geologi Jl. Diponegoro 57 Bandung.

Berkat keberhasilannya mengelola Jurnal Geologi


Indonesia, Ketua Dewan Redaksi Jurnal Geologi,
Dr. Nana Suwarna yang juga dalam kurun waktu
2004 2006 menjadi Ketua Dewan Redaksi Jurnal
Sumber Daya Geologi, Pusat Survei Geologi, Badan
Geologi, mendapat kepercayaan untuk mengelola
Majalah Geologi Indonesia (MGI) milik IAGI.
Saat ini MGI sedang dalam tahap pembenahan.
Menurut rencana tahun depan Majalah Geologi
Indonesia akan didaftarkan sebagai jurnal yang
terakreditasi. Selain itu, Dewan Redaksi dan
Dewan Penerbit JGI juga memberikan konsultasi,
khususnya bagi penulis pemula, mengenai tata
cara penulisan yang sesuai dengan kaidah Karya
Tulisan Ilmiah (KTI).

2006 menjabat sebagai Ketua Dewan Redaksi


selama 2 periode. Selain menjabat sebagai Ketua
Dewan Redaksi JGI, Dr. Nana Suwarna pada tahun
2008 dipilih menjadi Ketua Forum Komunikasi
Editor Jurnal Kebumian (forkom ejb). n
(Tim Warta Geologi)

PENGELOLA JURNAL GEOLOGI INDONESIA


Jurnal Geologi Indonesia Badan Geologi dikelola
oleh Bagian Rencana dan Laporan Sekretariat
Badan Geologi bekerjasama dengan Tim Dewan
Redaksi kebumian yang mayoritas berasal dari
Badan Geologi. Dr. Nana Suwarna sejak tahun
Layanan Geologi 59

Resensi Buku Geologi

TSUNAMI: Destructive Queen from the Sea

Judul buku : Tsunami


Penulis
: Sudandono Diposaptono &
Budiman
Penerbit : Penerbit Buku Ilmiah Populer
Tahun terbit : Mei, 2005
Tebal
: 300 hal.
Buku ilmiah populer yang ditulis oleh seorang
praktisi tsunami menjadi pilihan bacaan kita
di triwulan ketiga tahun 2009 ini. Tsunami
sebagaimana kita ketahui adalah salah satu
ancaman terbesar di perairan laut Indonesia.
Tragedi Aceh telah menyadarkan kita akan betapa
pentingnya kita Bangsa Indonesia untuk lebih
bersahabat dalam memahami fenomena bencana
alam jenis Tsunami ini. Kedua penulis adalah
ilmuwan yang pakar di bidang tsunami dan bekerja
di LIPI. Hanya satu tahun setelah tragedi tsunami
Aceh di tahun 2004, maka pada Mei 2005 buku
ini diterbitkan.
Penulis mengawali ceritanya dengan asal usul
arti kata tsunami. Kemudian ia menggambarkan
kronologis kejadian bencana tsunami yang
menimpa Indonesia selama kurun waktu 2 abad
terakhir. Beberapa bukti historis dan jumlah
60 W a r t a

Geologi September 2009

korban jiwa bencana penulis gambarkan sebagai


perbandingan. Tinjauan tsunami ini penulis jabarkan
dari berbagai perspektif baik itu yang menyangkut
ilmiah maupun sosial kemasyarakatan.
Dalam perspektif ilmiah, penulis memaparkannya
dengan terperinci dalam bab khusus berjudul
proses terjadinya tsunami. Menurutnya, kondisi
geologi bawah permukaan menjadi penyebab
utama bencana tsunami yang diakibatkan oleh
gempa bumi dasar laut. Gempa ini bisa membuat
permukaan air laut menyurut ke dasar laut untuk
kemudian dimuntahkan kembali menjadi suatu
gulungan ombak yang tingginya bisa melampaui
pohon kelapa.
Ditambah lagi, Indonesia secara geologis
diapit oleh tiga lempeng benua besar yang
saling berlawanan arahnya dan mendesak dari
berbagai arah di kepulauan Indonesia (dibahas
di dalam sub Proses terjadinya tsunami). Hal ini,
membuat daerah-daerah pertemuan tiga lempeng
penting itu menjadi sasaran gempa bumi yang
mengakibatkan tsunami. Daerah-daerah seperti
pesisir pantai barat Sumatra, pesisir pantai selatan
Jawa dan Flores, Maluku, dan Sulawesi bagian

utara, direkam dalam sebuah tulisan yang apik


dan kronologis dengan menampilkan rekamanrekaman kejadian bencana tsunami di daerahdaerah tersebut.
Bukti historis lainnya yang menggambarkan
kedahsyatan tsunami penulis rangkum dalam
kejadian-kejadian alam tsunami di belahan bumi
lain, seperti yang terjadi di Jepang, Chili, Mexico,
dan Nicaragua pada kurun waktu 1983-1993.
Rata-rata pemicu tsunami ini adalah gempa bumi
yang berada di dasar laut. Penyebab lain adalah
vulkanisme dasar laut yang memicu gempa bumi
di laut dan membangkitkan gelombang tsunami
sampai ke ujung pantai. Dalam bab ini terdapat
beberapa ilustrasi menarik dan mudah dipahami
tentang bagaimana proses pembangkitan
gelombang tsunami dan ilustrasi terjadinya gempa
vulkanis Gunung Anak Krakatau.
Riset sosial bencana tsunami
Riset mengenai tsunami dari segi ilmiah bisa
pula menjadikan tinjauan menarik dari segi
sosial. Jumlah korban yang banyak dari kalangan
wanita dan anak-anak mengidentifikasikan bahwa
berdasarkan riset psikologis, kaum laki-laki lebih
menyelamatkan diri sendiri sementara para wanita
lebih memikirkan nasib anak-anaknya. Maka, pada
saat bencana tsunami datang korban pertama
berada di pihak ibu dan anak-anak. Tentunya ini
tidak bisa dijadikan alasan seratus persen benar.
Kearifan lokal suatu daerah yang rawan tsunami
menjadi kajian menarik dalam buku ini. Bencana
tsunami telah bersatu menjadi bagian adat istiadat
suatu daerah rawan terhadap tsunami, dan secara
turun temurun menginformasikan bencana
tsunami menjadi suatu legenda. Mereka yang
hidup di daerah rawan bencana tsunami secara
tradisional memiliki kepekaan yang tinggi untuk
melihat fenomena alam yang akan mengakibatkan
tsunami. Sehingga mereka mempunyai selang
waktu untuk menyelamatkan diri dari terjangan
ratu laut yang merusakkan ini.

berusaha menyelamatkan diri sendiri adalah sudah


mengikuti nasihat Ten-Den-ko ini. Namun tentunya
itu tidak sepenuhnya benar. Hal yang paling
diutamakan adalah pentingnya pengetahuan
tentang tsunami dan kesadaran setiap individu
untuk menyelamatkan diri masing-masing apabila
bencana tersebut datang. Hal-hal seperti mitigasi
bencana tsunami pada saat sebelum, pada saat
tsunami berlangsung, dan mitigasi pasca tsunami
perlu menjadi perhatian baik dari pihak pemerintah
maupun individu warga yang tinggal di sekitar
daerah rawan bencana tsunami.
Riset ilmiah tsunami terakhir
Penambahan informasi riset mutakhir tentang
penelitian yang berhubungan dengan tsunami
penulis perbaharui dalam buku ini, khususnya
penelitian yang melibatkan kerjasama dengan
badan riset luar negeri setelah tsunami dasyat
terjadi di Aceh 2004 lalu, seperti HMS Scoot
antara navi Inggris dengan Dephankam
Indonesia, Jerman, Perancis, dan Jepang. Penulis
juga menginformasikan riset-riset terakhir yang
dilakukan Indonesia terkait fenomena tsunami
seperti penelitian daerah tsunami, perekaman data,
pembuatan model tsunami, serta analisis data yang
mengkaitkan data penunjang analisis bencana
tsunami dengan metode Remote Sensing dan GIS.
Hal tersebut tentunya dapat memutakhirkan data
dan membantu dalam pengambilan keputusan
terkait mitigasi bencana tsunami.
Buku dengan total 300 halaman ini mudah
dibaca, baik oleh kalangan umum maupun oleh
masyarakat ilmiah yang bergelut dengan analisis
tsunami. Bagi para geosain, buku ini menjadi
referensi yang wajib karena bisa menambah
wawasan kita tentang pengetahuan tsunami.n
F. Agustin
Penulis adalah Peneliti Survei Geologi
Badan Geologi

Penulis juga menambahkan kondisi sosial


masyarakat yang sering mengalami tsunami, yakni
di Jepang tepatnya di daerah Sanriku. Masyarakat
negara itu secara turun temurun mewariskan
nasihat yang dapat mengurangi jumah korban
tsunami, yaitu Tsunami Ten-Den-Ko sebuah
nasehat lama yang kurang lebih artinya dalam
sebuah tsunami setiap orang adalah untuk dirinya
sendiri. Jadi, kalau dikaitkan dengan korban
tsunami di daerah Flores, kaum laki-laki yang
Resensi Buku Geologi 61

62 W a r t a

Geologi September 2009

Resensi Buku Geologi 63

You might also like