You are on page 1of 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium tetani, tetapi akibat
toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman. Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan
toksin kuman Clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan
otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot
rangka.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah penyakit infeksi yang
diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani,yang ditandai dengan gejala kekakuan dan kejang
otot.(Ritharwan,2004)
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani,
dimanifestasikan dengan kejang otot secara paroksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan.
Kekakuan tonus otot ini tampak pada otot maseter dan otot-otot rangka (Hendarwanto cit
Soearparman, 1987)
2.2 Klasifikasi
Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi 4 yaitu (Sudoyo Aru, dkk 2009):
1.

Tetanus local: biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme
pada bagian paroksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu dan
menghilang.

2.

Tetanus neonatorum : biasanya terjadi dalam bentuk general dan fatal apabila tidak di
tangani, terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak imunisasi secara
adekuat, rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas, spasme.

3.

Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering, spasme otot, kaku kuduk, nyeri
tenggorokan, kesulitan membuka mulut, rahang terkunci (trismus), disfagia. Timbul kejang
menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian bawah.pada mulanya spasme
berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh periode relaksasi.

4.

Tetanus sefalik: varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari terjadi
sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi saraf III,
IV, VII, IX, dan XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum.

Berdasarkan beratnya tetanus oleh Albert (Sudoyo Aru, dkk 2009) :


1.

Derajat I (ringan)

: trismus (kekakuan otot mengunyah) ringan sampai

sedang, spastisitas general, tanpa gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau
tanpa disfagia.
2.

Derajat II (sedang)

: trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat

ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang RR>30x/menit, disfagia ringan.


3.

Derajat III (berat)

: trismus berat, spastisitas generaisata, spasme reflek

berkepanjangan, RR> 40x/menit, serangan apnea, disfagia berat, takikardia >120.

4.

Derajat IV (sangat berat)

: derajat tiga dengan gangguan otomik berat melibatkan

system kardiovaskuler. Hipotensi berat dan takikardiaterjadi berselingan dengan hipotensi


dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

2.3 Etiologi
Clostridium tetani merupakan basil berbentuk batang yang bersifat anaerob, membentuk
spora (tahan panas), gram postif, mengeluarkan eksotoksin yang bersifat neurotoksin (yang
efeknya mengurangi aktivitas kendali SSP), patogenesis bersimbiosis dengan mikroorganisme
piogenik.
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang di pupuk
kotoran kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk, luka dengan jaringan
mati (corpus alineum) karena merupakan kondisiyang baik untuk proliferasi kuman anaerob. Luka
dengan luka piogenik dimana bakteri piogenik mengonsumsi eksogen pada luka sehingga suasana
menjadi anaerob yang penting bagi tumbuhnya basil tetanus.
Penyakit tetanus disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang dapat masuk
melalui luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar, luka operasi yang tidak dirawat dan tidak
dibersihkan dengan baik, caries gigi, pemotongan tali pusat yang tidak steril, dan penjahitan luka
robek yang tidak steril. Penginfeksian kuman Clostridium tetani lebih mudah bila klien belum
terimunisasi.
2.4 Patofisiologi
Tetanus disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang masuk melalui luka tusuk,
gigitan binatang, luka bakar, luka operasi yang tida dirawat dan tidak dibersihkan dengan baik,
caries gigi, pemotongan tali pusat yang tidak steril, dan penjahitan luka robek yang tidak steril
yang lebih beresiko bagi orang-orang yang belum terimunisasi.
Toksin kuman C. tetani berbentuk spora. Bentuk spora dalam suasana anaerob dapat
berubah menjadi kuman vegetatif yang menghasilkan eksotoksin. Toksin ini menjalar intrakasonal
sampai ganglin/simpul saraf dan menyebabkan hilangnya keseimbanngan tonus otot sehingga
terjadi kekakuan otot baik lokal maupun mnyeluruh. Bila toksin banyak, selain otot bergaris, otot
polos dan saraf otak juga terpengaruh.
2.5 WOC Tetanus

2.6 Manifestasi Klinis


Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari
dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama)
bervariasi antara 1-7 hari. Minggu pertama : regiditas, spasme otot. Gangguan ototnomik biasanya
dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu tetapi kekakuan tetap
bertahan lebih lama. Pemulihan bisa memerlukan waktu 4 minggu (Sudoyo Aru, dkk 2009)
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah
terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan gejala
umum (Sumarmo, 2002):
1.

Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris

2.

Kaku kuduk sampai epistotonus karena ketegangan otot-otot erector trunki

3.

Ketegangan otot dinding perut

4.

Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior

5.

Risus sardonikus karena spasme otot muka (alias tertarik ke atas), sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi

6.

Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan (sering merupakan
gejala dini)

7.

Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dala
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Keadaan tetap sadar, spasme
mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi, kemudian tidak jelas lagi dan serangan
tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuscular karena
kontraksi yang kuat.

8.

Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi
urine dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.

9.

Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.

10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.

2.7 Penatalaksanaan Tetanus


Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1.

Imunisasi aktif dengan pemberian DPT, booster dose (untuk balita). Jika terjadi luka lagi
booster ulang.

2.

Imunisasi pasif, pemberian ATS profilaksis 1500-4500 UI (dapat betahan 7-10 hari).
Pemberian imunisasi ini sering menyebabkan syok anafilaksis sehingga harus dilakukan
skin test terlebih dahulu. Jika pada lokasi skin test tidak terjadi kemerahan, gatal, dan
pembengkakan maka imunisasi dapat diinjeksikan, anak-anak diberikan setengah dosis
(750-1250 UI). Hyper Tet 250 UI dan dosis untuk anak-anak diberikan setengahnya (125 UI)
bila tidak tahan ATS

3.

Pencegahan pada luka, toiletisasi (pemverian luka) memakai perhidrol (hidrogen peroksidaH2O2), debridemen, bilas dengan NaCl, dan jahit.

4.

Injeksi penisislin (terhadap basil anaerob dan basil simbiosis)

Penatalaksanaan pada klien dengan tetanus ada 2 macam yaitu farmakologi dan non-farmakologi.
1.

Farmakologi
1.

Antitoksin: antitoksin 20.000 1u/ 1.M/5 hari. pemberian baru diberikan setelah
dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.

2.

Anti kejang (antikonvulsan)

Fenobarbital (luminal): 3 x 100 mg/1.M. Untuk anak diberikan mula-mula 60-100 mg/1.M
lalu dilanjutkan 6x30 mg/hari (max. 200mg/hari).

Klorpromasin: 3x25 mg/1.M/hari. Untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg BB.

Diazepam: 0,5-10 mg/kg BB/1.M/4 jam, dll.

1.

Antibiotic: penizilin procain 1juta 1u/hari atau tetrasifilin 1gr/hari/1.V. Dapat memusnahkan
tetani tetapi tidak mempengaruhi proses neurologiknya.

2.

Non-farmakologi
1.

Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya,

2.

Diet TKTP. Pemberian tergantung kemampuan menelan. Bila trismus, diberikan


lewat sonde parenteral.

3.

Isolasi pada ruang yang tenang, bebas dari rangsangan luar.

4.

Menjaga jalan nafas agar tetap efisien.

5.

Mengatur cairan dan elektrolit.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada klien dengan tetanus meliputi:
1.

Darah

-Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.


-BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat
dari pemberian obat.
-Elektrolit (K, Na): ketidakseimbangan elektroit merupakan predisposisi kejang kalium (normal
3,80-5,00 meq/dl).
2.

Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.

3.

EEG: teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui focus aktifitas kejang, hasil biasanya normal.

2.9 Komplikasi pada klien Tetanus


1.

Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di rongga mulut. Hal
ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.

2.

Asfiksia.

3.

Atelektasis karena obstruksi secret.

2.10 Pognosis
1. semakin lama masa inkubasi maka prognosisnya akan semakin baik
2. semakin dekat jarak luka dengan SSP maka masa inkubasinya akan semakin cepat dan
prognosisnya akan semakin buruk.
3. klien yang pernah mendapat ATS sebelumnya maka masa inkubasi dapat lebih lama.

You might also like